Produk: Presidential threshold

  • Presidential Threshold Dihapus, Begini Respons Parpol

    Presidential Threshold Dihapus, Begini Respons Parpol

    loading…

    Parpol nasional peserta Pemilu 2024. Ilustrasi/Dok SINDOnews

    JAKARTA – Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan gugatan soal persyaratan ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden ( presidential threshold ). Sejumlah partai politik ( parpol ) pun merespons putusan tersebut.

    “Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya,” ucap Ketua MK Suhartoyo dalam sidang pengucapan putusan di Gedung MK, Jakarta, Kamis (2/1/2025).

    Adapun norma yang diujikan oleh para Pemohon adalah Pasal 222 UU 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum ( Pemilu ), yang menyatakan, pasangan calon diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya.

    “Menyatakan norma Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” ujar Suhartoyo.

    “Memerintahkan pemuatan Putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya,” lanjutnya.

    Untuk diketahui, permohonan ini diajukan oleh empat orang mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga, yakni Enika Maya Oktavia, dkk. Para Pemohon mendalilkan prinsip “one man one vote one value” tersimpangi oleh adanya presidential threshold. Hal ini menimbulkan penyimpangan pada prinsip “one value” karena nilai suara tidak selalu memiliki bobot yang sama.

    Idealnya, menurut para Pemohon, nilai suara seharusnya mengikuti periode pemilihan yang bersangkutan. Namun, dalam kasus presidential threshold, nilai suara digunakan untuk dua periode pemilihan, yang dapat mengarah pada distorsi representasi dalam sistem demokrasi. Oleh karena itu, hal ini menunjukkan adanya ketidakseimbangan atau penyimpangan pada prinsip asas periodik, nilai suara seharusnya mengikuti setiap periode pemilihan secara proporsional.

    Dikutip dari laman MK , dalil mengenai uji materiil ambang batas minimal persentase pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden (presidential threshold) juga diajukan dalam tiga perkara lainnya, yakni Perkara Nomor 129/PUU-XXI/2023 yang diajukan oleh Gugum Ridho Putra. Kemudian, Perkara Nomor 87/PUU-XXII/2024 yang diajukan oleh empat dosen, antara lain Mantan Ketua Bawaslu Muhammad, Dian Fitri Sabrina, S Muchtadin Al Attas, serta Muhammad Saad. Selain itu, Perkara Nomor 101/PUU-XXII/2024 yang diajukan oleh Yayasan Jaringan Demokrasi dan Pemilu Berintegritas (Netgrit) yang diwakili Hadar Nafis Gumay serta perorangan Titi Anggraini.

    Respons 6 Parpol

    1. PDIP

    Juru Bicara Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Chico Hakim menghormati putusan MK tersebut. “Tentu kita harus menghormati putusan MK yang final dan binding sifatnya. Namun tentu ada beberapa catatan terkait dengan sampai adanya threshold 20% sebelum ini tentunya adalah kesepakatan dari fraksi-fraksi dan partai politik yang ada di parlemen dan tentu banyak pertimbangan untuk mengapa sehingga mencapai threshold 20 persen,” jelas Chico dalam keterangannya, dikutip Jumat (3/1/2025).

    Menurutnya, banyaknya alternatif pilihan calon baik untuk demokrasi. Tetapi, ia menilai, penjaringan calon presiden penting dilakukan. “Karena tentu walaupun alternatif pilihan dan ketersediaan pilihan yang banyak itu juga baik untuk demokrasi, namun tentu penjaringannya juga penting. Dalam artian supaya tidak terlalu bebas sehingga tidak ada penjaringan ideologi misalnya dan hal-hal yang sifatnya untuk non-teknis lain,” ucap Chico.

  • Untung Rugi Pembatalan Aturan Ambang Batas Presidential Threshold

    Untung Rugi Pembatalan Aturan Ambang Batas Presidential Threshold

    Bisnis.com, JAKARTA – Direktur Indonesian Public Institute (IPI) Karyono Wibowo menilai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membatalkan ketentuan Pasal 222 UU No.7 Tahun 2017 yang mengatur ambang batas syarat pencalonan presiden dan wakil presiden atau presidential threshold yang merupakan keputusan progresif.

    Menurutnya, keputusan tersebut perlu diapresiasi tapi sekaligus perlu dicermati. Mengingat, kebijakan MK tersebut mengandung konsekuensi yaitu semua partai politik serta peserta pemilu memiliki hak yang sama untuk mengajukan pasangan calon. 

    “Masyarakat jadi memiliki banyak pilihan untuk memilih figur capres dan cawapres,” ujarnya kepada Bisnis, Jumat (3/1/2025).

    Namun, Karyono juga menyebut bahwa putusan tersebut perlu dicermati terutama implikasi pengaturan pelaksanaan dan kontestasi pilpres ke depan. Mengingat, dihapusnya ambang batas pencalonan presiden di satu sisi membuka peluang munculnya figur-figur alternatif tapi di sisi lain, banyaknya calon presiden yang jumlahnya sama dengan jumlah partai peserta pemilu juga perlu dicermati.

    Implikasinya, kata Karyono, bisa menimbulkan kompetisi yang tidak sehat. Polarisasi di masyarakat justru berpotensi melebar jika tidak diantisipasi dari aspek regulasi dan teknis pelaksanaannya.

    Karyono menilai bahwa MK dalam amar putusannya sudah mengantisipasi potensi munculnya banyak calon. Oleh karena itu lembaga yudikatif itu meminta lembaga pembentuk undang-undang untuk melakukan rekayasa konstitusi (constitution engineering) termasuk di dalamnya harus memperhitungkan agar calon presiden dan wakil presiden tidak terlalu banyak.

    Hal ini dimaksudkan supaya tidak mengganggu hakikat pemilihan langsung oleh rakyat untuk menghasilkan pemilu yang demokratis dan berintegritas.

    Tak hanya itu, dia melanjutkan bahwa implikasi lainnya yang perlu dicermati adalah rusaknya mental elit dan para aktor politik yang terbiasa menggunakan cara-cara inkonstitusional untuk meraih kemenangan dengan budaya politik transaksional dan menghalalkan segala cara.

    Alhasil, menurutnya, aktivitas money politic dengan berbagai variasi, intimidasi, kampanye hitam, menyebarkan hoaks, manipulasi suara, melibatkan oknum ASN dan aparat dan cara-cara kotor lainnya yang mengabaikan etika, hukum dan moral akan makin marak terjadi.

    Apalagi, Karyono menyebut rendahnya pemahaman politik dan minimnya kesadaran demokrasi masyarakat di akar rumput juga menjadi masalah tersendiri yang memerlukan solusi, yaitu pendidikan tentang prinsip pemilu yang demokratis dan berintegritas.

    “Berbagai masalah tersebut terjadi berulang kali setiap pemilu. Oleh karena itu, jika kondisi tersebut masih belum diperbaiki, maka banyaknya calon presiden alternatif belum tentu menghasilkan pemilu dan pemimpin yang berkualitas dan berintegritas,” tuturnya. 

    Dia menilai bahwa dengan banyaknya calon presiden tentu biaya pemilu akan bertambah besar apalagi potensi pilpres dua putaran justru sangat besar jika persyaratan calon terpilih tidak berubah. Pasal 159, ayat 1 UU No.42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden telah diatur penetapan pasangan calon presiden dan wakil presiden terpilih.

    Belum lagi, pasangan Calon terpilih harus meperoleh suara lebih dari 50 persen dari jumlah suara dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dengan sedikitnya 20 persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia.

    “Ironisnya, terpilihnya paslon presiden tidak linear dengan kualitas pemilu jika mental para aktor politik dan pelaksanaan pemilunya masih belum baik. Terbukanya partai politik peserta pemilu dalam mengajukan pasangan calon tentu akan mengurangi koalisi. Namun, budaya politik transaksional yang  semakin menguat juga masih akan mewarnai koalisi,” pungkas Karyono.

  • Presidential Threshold Dihapus Perluas Alternatif Pilihan bagi Rakyat

    Presidential Threshold Dihapus Perluas Alternatif Pilihan bagi Rakyat

    JAKARTA – Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) menilai penghapusan ketentuan ambang batas minimal persentase pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden atau presidential threshold oleh Mahkamah Konstitusi (MK) mewujudkan demokrasi yang lebih inklusif dan setara.

    Peneliti Perludem Haykal mengatakan, penghapusan presidential threshold merupakan tonggak baru dalam demokrasi Indonesia lantaran dengan putusan tersebut, setiap partai politik memiliki hak setara untuk mencalonkan pasangan presiden dan wakil presiden.

    “Langkah ini diharapkan tidak hanya memperkuat prinsip kesetaraan, tetapi juga membuka ruang kompetisi politik yang lebih adil dan inklusif, menghindarkan masyarakat dari polarisasi, serta memperluas alternatif pilihan bagi rakyat Indonesia,” ucap Haykal seperti dikonfirmasi di Jakarta, Kamis 2 Januari, disitat Antara

    Namun, kata dia, tantangan implementasi tetap harus diantisipasi dengan baik.

    Menurutnya, Pemerintah, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Komisi Pemilihan Umum (KPU), dan seluruh pemangku kepentingan harus memastikan bahwa perubahan aturan itu dapat diintegrasikan ke dalam sistem pemilu yang diakomodasi melalui revisi Undang-Indang (UU) Pemilu yang saat ini telah masuk ke Program Legislasi Nasional (prolegnas).

    Dengan revisi UU Pemilu yang telah masuk dalam Prolegnas 2025, ia berharap DPR dan Pemerintah menjadikan putusan MK tersebut sebagai dasar dalam merancang aturan pemilu yang baru.

    “Perludem percaya bahwa keputusan ini membuka jalan bagi terciptanya demokrasi yang lebih sehat, kompetitif, dan inklusif di Indonesia,” tuturnya.

    Untuk itu, sambung dia, Perludem mengajak seluruh masyarakat untuk mendukung implementasi putusan tersebut serta mendorong Pemerintah dan partai politik untuk berkomitmen menciptakan sistem politik yang menjunjung tinggi hak memilih dan dipilih sebagai wujud kedaulatan rakyat.

    Dengan demikian, dirinya menegaskan bahwa putusan tersebut bukan hanya sebuah akhir, melainkan awal dari perjuangan panjang menuju demokrasi yang lebih baik bagi bangsa Indonesia.

    MK melalui Putusan Nomor 62/PUU-XXII/2024 memutuskan bahwa norma Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

    Artinya putusan tersebut secara resmi menghapus ketentuan presidential threshold sebesar 20 persen suara sah nasional atau 25 persen kursi DPR untuk mengajukan calon presiden dan wakil presiden.

    Putusan itu menandai langkah bersejarah dalam perjalanan demokrasi Indonesia, memberikan peluang lebih besar bagi partai politik peserta pemilu untuk mencalonkan pasangan presiden-wakil presiden tanpa batasan ambang suara yang selama ini dinilai problematik.

    Ketentuan presidential threshold telah diuji materi ke MK lebih dari 30 kali dalam kurun waktu satu dekade terakhir, namun selalu ditolak meski disertai perbedaan pandangan di antara hakim MK.

    Dalam berbagai putusan sebelumnya, mayoritas hakim cenderung mendukung keberlanjutan aturan ini sebagai open legal policy (kebijakan hukum terbuka) dari pembentuk UU.

    Tetapi hari ini, terjadi pergeseran posisi pandangan hakim yang mempertimbangkan situasi demokrasi terkini.

    MK kini menilai bahwa mempertahankan ambang batas pencalonan presiden tidak konstitusional karena bertentangan dengan hak politik warga negara.

  • Wakil Ketua MPR: Penghapusan “presidential threshold” sesuai amanat reformasi

    Wakil Ketua MPR: Penghapusan “presidential threshold” sesuai amanat reformasi

    Jakarta (ANTARA) – Wakil Ketua MPR RI Eddy Soeparno menyambut positif Putusan MK Nomor 62/PUU-XXII/2024 yang menghapus ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold karena merupakan amanat reformasi yang selama ini konsisten diperjuangkan dalam berbagai agenda dan kebijakan politik.

    “Dalam UUD NRI 1945 sangat jelas bahwa calon presiden dan wakil presiden diusung oleh partai politik dan atau gabungan partai politik. Apa yang diputuskan MK sesungguhnya menegaskan apa yang termaktub dalam UUD NRI 1945,” kata Eddy dalam keterangannya di Jakarta, Jumat.

    Dia menjelaskan sejak awal pihaknya memperjuangkan agar ruang demokrasi dibuka seluas-luasnya dengan memberikan kesempatan pada putra-putri terbaik bangsa sebagai capres dan cawapres.

    “Sudah seharusnya pemilihan presiden menjadi ruang adu ide dan gagasan putra-putri terbaik bangsa yang diajukan melalui partai politik dan tidak dihalangi oleh ambang batas,” ujarnya.

    Selain itu, Eddy mengatakan dengan semakin terbukanya kesempatan bagi putra-putri terbaik bangsa untuk maju dalam pilpres maka rakyat memiliki kesempatan untuk memilih yang terbaik diantara kandidat-kandidat terbaik.

    “Rakyat sebagai pemilih akan lebih selektif dalam memilih kandidat berbasis pada ide, gagasan dan visi misi yang disampaikan. Keputusan MK ini memberikan kedaulatan yang lebih luas untuk rakyat sebagai pemilih dalam memutuskan yang terbaik,” pungkas dia.

    Sebelumnya, MK memutuskan penghapusan ketentuan ambang batas minimal persentase pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden pada Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu karena bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

    “Mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya,” ujar Ketua MK Suhartoyo saat membacakan amar putusan Nomor 62/PUU-XXII/2024 di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta, Kamis.

    MK memandang presidential threshold yang diatur dalam Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 menutup dan menghilangkan hak konstitusional partai politik peserta pemilu yang tidak memiliki persentase suara sah secara nasional atau persentase jumlah kursi di DPR pada pemilu sebelumnya untuk mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden.

    Selanjutnya, MK mempelajari bahwa arah pergerakan politik Indonesia cenderung selalu mengupayakan setiap pemilu presiden dan wakil presiden hanya diikuti dua pasangan calon.

    Menurut MK, kondisi ini menjadikan masyarakat mudah terjebak dalam polarisasi yang mengancam keutuhan Indonesia apabila tidak diantisipasi.

    Oleh karena itu, MK menyatakan presidential threshold yang ditentukan dalam Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tidak hanya bertentangan dengan hak politik dan kedaulatan rakyat, tetapi juga melanggar moralitas, rasionalitas, dan ketidakadilan yang tidak dapat ditoleransi.

    Pewarta: Narda Margaretha Sinambela
    Editor: Hisar Sitanggang
    Copyright © ANTARA 2025

  • MK Usul Rekayasa Konstitusi Cegah Capres Terlalu Banyak – Halaman all

    MK Usul Rekayasa Konstitusi Cegah Capres Terlalu Banyak – Halaman all

    Mahkamah Konstitusi menghapus aturan presidential threshold dalam pemilu. Namun MK menhgusulkan adanya rekayasa konstitusional untuk…

    Tayang: Jumat, 3 Januari 2025 13:20 WIB

    Deutsche Welle

    MK Usul Rekayasa Konstitusi Cegah Capres Terlalu Banyak 

    Mahkamah Konstitusi (MK) mengusulkan adanya rekayasa konstitusional (constitutional engineering) oleh DPR dan pemerintah saat merevisi UU Nomor 7 tahun 2017. Hal itu, dilakukan untuk mencegah potensi pasangan calon presiden dan wakil presiden yang terlalu banyak usai dihapusnya ambang batas syarat pengusulan calon presiden.

    Hal itu disampaikan Wakil Ketua MK Saldi Isra saat membacakan pertimbangan perkara 62/PUU-XXII/2024, di Gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis (2/1/2025). Dalam amar putusannya, MK mengabulkan seluruhnya gugatan perkara tersebut.

    Saldi mengatakan pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden merupakan hak konstitusional semua partai politik peserta pemilu. Namun, dalam revisi UU Pemilu nantinya, diharapkan dapat mengatur mekanisme pencegahan lonjakan jumlah pasangan calon berlebihan, sehingga pemilu tetap efektif.

    “Dalam revisi UU 7/2017, pembentuk undang-undang dapat mengatur agar tidak muncul pasangan calon presiden dan wakil presiden dengan jumlah yang terlalu banyak sehingga berpotensi merusak hakikat dilaksanakannya pemilu presiden dan wakil presiden secara langsung oleh rakyat,” ujar Saldi.

    Saldi mengatakan pasal 6A ayat 4 UUD NRI 1945 telah mengatur antisipasi kemungkinan terjadi pilpres putaran kedua. Namun, MK menilai pasangan calon yang terlalu banyak belum tentu memiliki dampak positif.

    “Jumlah pasangan calon presiden dan wakil presiden yang terlalu banyak belum menjamin berdampak positif bagi perkembangan dan keberlangsungan proses dan praktik demokrasi presidensial Indonesia,” kata Saldi.

    MK lantas memberikan lima pedoman untuk DPR dan pemerintah saat melakukan rekayasa konstitusional dalam merevisi UU Pemilu. Berikut hal-hal yang harus diperhatikan oleh DPR dan pemerintah saat merevisi UU Pemilu:

    Semua partai politik peserta pemilu berhak mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden; Pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden oleh parti politik atau, gabungan partai politik peserta pemilu tidak didasarkan pada persentase jumlah kursi di DPR atau perolehan suara sah secara nasional; Dalam mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden, partai politik peserta pemilu dapat bergabung sepanjang gabungan partai politik peserta pemilu tersebut tidak menyebabkan dominasi partai politik atau gabungan partai politik sehingga menyebabkan terbatasnya pasangan calon presiden dan wakil presiden serta terbatasnya pilihan pemilih; Partai politik peserta pemilu yang tidak mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden dikenakan sanksi larangan mengikuti pemilu periode berikutnya; Perumusan rekayasa konstitusional dimaksud termasuk perubahan UU 7/2017 melibatkan partisipasi semua pihak yang memiliki perhatian (concern) terhadap penyelenggara pemilu termasuk parpol yang tidak memperoleh kursi di DPR dengan menerapkan prinsip partisipasi publik yang bermakna. (rs)

    “);
    $(“#latestul”).append(“”);
    $(“.loading”).show();
    var newlast = getLast;
    $.getJSON(“https://api.tribunnews.com/ajax/latest_section/?callback=?”, {start: newlast,section:’15’,img:’thumb2′}, function(data) {
    $.each(data.posts, function(key, val) {
    if(val.title){
    newlast = newlast + 1;
    if(val.video) {
    var vthumb = “”;
    var vtitle = ” “;
    }
    else
    {
    var vthumb = “”;
    var vtitle = “”;
    }
    if(val.thumb) {
    var img = “”+vthumb+””;
    var milatest = “mr140”;
    }
    else {
    var img = “”;
    var milatest = “”;
    }
    if(val.subtitle) subtitle = “”+val.subtitle+””;
    else subtitle=””;
    if(val.c_url) cat = “”+val.c_title+””;
    else cat=””;

    $(“#latestul”).append(“”+img+””);
    }
    else{
    $(“#latestul”).append(‘Tampilkan lainnya’);
    $(“#test3”).val(“Done”);
    return false;
    }
    });
    $(“.loading”).remove();
    });
    }
    else if (getLast > 150) {
    if ($(“#ltldmr”).length == 0){
    $(“#latestul”).append(‘Tampilkan lainnya’);
    }
    }
    }
    });
    });

    function loadmore(){
    if ($(“#ltldmr”).length > 0) $(“#ltldmr”).remove();
    var getLast = parseInt($(“#latestul > li:last-child”).attr(“data-sort”));
    $(“#latestul”).append(“”);
    $(“.loading”).show();
    var newlast = getLast ;
    if($(“#test3”).val() == ‘Done’){
    newlast=0;
    $.getJSON(“https://api.tribunnews.com/ajax/latest”, function(data) {
    $.each(data.posts, function(key, val) {
    if(val.title){
    newlast = newlast + 1;
    if(val.video) {
    var vthumb = “”;
    var vtitle = ” “;
    }
    else
    {
    var vthumb = “”;
    var vtitle = “”;
    }
    if(val.thumb) {
    var img = “”+vthumb+””;
    var milatest = “mr140”;
    }
    else {
    var img = “”;
    var milatest = “”;
    }
    if(val.subtitle) subtitle = “”+val.subtitle+””;
    else subtitle=””;
    if(val.c_url) cat = “”+val.c_title+””;
    else cat=””;
    $(“#latestul”).append(“”+img+””);
    }else{
    return false;
    }
    });
    $(“.loading”).remove();
    });
    }
    else{
    $.getJSON(“https://api.tribunnews.com/ajax/latest_section/?callback=?”, {start: newlast,section:sectionid,img:’thumb2′,total:’40’}, function(data) {
    $.each(data.posts, function(key, val) {
    if(val.title){
    newlast = newlast+1;
    if(val.video) {
    var vthumb = “”;
    var vtitle = ” “;
    }
    else
    {
    var vthumb = “”;
    var vtitle = “”;
    }
    if(val.thumb) {
    var img = “”+vthumb+””;
    var milatest = “mr140”;
    }
    else {
    var img = “”;
    var milatest = “”;
    }
    if(val.subtitle) subtitle = “”+val.subtitle+””;
    else subtitle=””;

    $(“#latestul”).append(“”+img+””);
    }else{
    return false;
    }
    });
    $(“.loading”).remove();
    });
    }
    }

    Berita Terkini

  • Peneliti BRIN: Koalisi Makin Cair usai MK Hapus Presidential Threshold

    Peneliti BRIN: Koalisi Makin Cair usai MK Hapus Presidential Threshold

    Bisnis.com, JAKARTA – Peneliti Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Wasisto Raharjo Jati meyakini peta koalisi partai politik (parpol) bakal kian majemuk dengan penghapusan Presidential Threshold.

    Apalagi, kata Wasisto, saat ini demokrasi sarat dan kental dengan praktik kartel politik atau sistem kerja sama yang lebih banyak merangkul partai politik yang berlainan ideologi untuk menghindari konflik dalam pengambilan keputusan di parlemen, bukan untuk kepentingan masyarakat.

    Sehingga, sistem ini mewujudkan sebuah pemerintahan yang tidak sehat bagi masyarakat, terutama pada sistem negara demokrasi.

    “Kebijakan ini memang mendorong munculnya paslon yang lebih banyak daripada sekarang yang sejak dekade terakhir hanya diikuti 2—3 paslon saja. Tentu memberi variasi pilihan politik bagi pemilih untuk memilih kandidat yang tepat sesuai hati nuraninya,” ujarnya kepada Bisnis, Jumat (31/12/2024).

    Kendati demikian, Wasisto mengatakan lantaran variasi kandidat tak lagi dilandasi oleh keputusan golongan tertentu. Sehingga, berpotensi untuk menambah tingkat koalisi partai dalam mengusung kandidat, sebab setiap partai akan melihat popularitas kandidat yang akan diusung.

    “Untuk ke depan partai politik dan koalisi yang dibentuk nantinya tidak lagi menjadi penentu utama bagi kandidat yang akan maju, tetapi lebih pada popularitas kandidat yang itu berpontensi berdampak elektabilitas yang besar,” pungkas Wasisto.

    Untuk diketahui, Mahkamah Konstitusi (MK) melalui putusannya membatalkan ketentuan Pasal 222 UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang mengatur syarat ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden atau “presidential threshold” karena dipandang bertentangan dengan UUD 1945.

    Sekadar informasi, sebelum dibatalkan, ketentuan Pasal 222 UU Pemilu mensyaratkan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden harus didukung oleh sekurang-kurangnya 20 persen kursi parpol atau gabungan parpol di DPR RI, atau minimal 25 persen suara sah nasional parpol atau gabungan parpol berdasarkan hasil Pemilu lima tahun sebelumnya.

    Dengan pembatalan itu, maka setiap parpol peserta Pemilu mendatang, berhak mencalonkan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden tanpa ambang batas lagi.

  • Setelah Ambang Batas Pilpres, PKS Minta MK Hapuskan Ambang Batas Pilkada

    Setelah Ambang Batas Pilpres, PKS Minta MK Hapuskan Ambang Batas Pilkada

    FAJAR.CO.ID,JAKARTA — Kader Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Hidayat Nur Wahid angkat suara. Terkait diterimanya Judicial Riview (JR) terkait ambang bagas Pemilihan Presiden (Pilpres).

    Mantan Ketua MPR RI itu mengatakan pihaknya telah mengajukan gugatan serupa sebelumnya.

    “Setelah sebelumnya banyak pihak termasuk @PKSejahtera mengajukan JR ke MK terkait PT 20%, akhirnya #MKRI mengabulkan,” kata Hidayat Nur Wahid dikutip dari unggahannya di X, Jumat (3/1/2025).

    “Kami dukung,” tambahnya.

    Meski begitu, ia menyebut Mahkamah Konstitusi (MK) mestinya konsisten. Bukan hanya ambang batas Pilpres, Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) juga mesti dihapuskan.

    “Dan agar konsisten dengan argumen MK, mestinya treshold terkait Pilkada juga dihapuskan,” ujarnya.

    Selain itu, ia juga menyoroti Pilpres dan Pemilihan Legislatif (Pileg) yang dilaksanakan serentak. Menurutnya itu inkonstitusional.

    “Pilpres & Pileg serentak juga dikoreksi karena tidak sesuai dengan Konstitusi,” terangnya.

    Sebelumnya diberitakan, syarat ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold 20 persen yang diatur dalam Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang pemilu dinyatakan inkonstitusional.

    Itu setelah Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan gugatan yang dilayangkan Enika Maya Oktavia dalam perkara Nomor 62/PUU-XXII/2024, Kamis (2/1/2024).

    “Mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya,” demikian bunyi amar putusan yang dibacakan Ketua MK, Suhartoyo.

    “Pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden oleh partai atau gabungan partai politik peserta pemilu tidak didasarkan pada persentase jumlah kursi di DPR atau suara sah secara nasional,” sambung Suhartoyo, membacakan poin putusan berikutnya.
    (Arya/Fajar)

  • Video: MK Hapus Presidential Threshold Hingga China Cetak Rekor Panas

    Video: MK Hapus Presidential Threshold Hingga China Cetak Rekor Panas

    Jakarta, CNBC Indonesia – Mahkamah Konstitusi mengambil keputusan bersejarah dengan menghapus aturan ambang batas Presidensial atau Presidential Threshold yang selama ini membatasi partai politik/ dalam mengusung pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden. Selain itu data meteorologi China menunjukkan tahun 2024 merupakan tahun terhangat bagi negara tersebut sejak pencatatan dilakukan 6 dekade lalu. Tahun 2024 juga menjadi tahun kedua berturut-turut di mana rekor panas terik dipecahkan di negara itu.

    Simak informasi selengkapnya dalam program Profit CNBC Indonesia (Jumat, 03/01/2025) berikut ini.

  • Putusan MK Hapus Presidential Threshold Dinilai PKB akan Menuai Polemik & Kontroversi – Halaman all

    Putusan MK Hapus Presidential Threshold Dinilai PKB akan Menuai Polemik & Kontroversi – Halaman all

    Laporan Reporter Tribunnews.com, Reza Deni

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Wakil Ketua Umum PKB, Jazilul Fawaid, menanggapi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menghapus presidential threshold (PT) minimal 20 persen kursi DPR atau memperoleh 25% suara sah nasional di pemilu sebelumnya sebagai syarat pencalonan presiden dan wakil presiden. 

    “Kado tahun baru yang akan menuai berbagai pandangan, polemik, dan kontroversi,” kata Jazilul kepada wartawan, Jumat (3/1/2025).

    Jazilul menilai putusan itu merupakan open legal policy sehingga perlu ditindaklanjuti dalam revisi Undang-Undang (UU) Pemilu. 

    Adapun PKB, dikatakan Jazilul, segera menyusun langkah terkait putusan tersebut.

    “Pastinya akan berkonsekuensi pada revisi UU Pemilu yang ada,” tandasnya.

    Diberitakan sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan menghapus ambang batas atau presidential threshold (PT) dalam persyaratan pengajuan pencalonan pemilihan presiden dan wakil presiden, yang sebelumnya diatur parpol pemilik kursi 20 persen dari jumlah kursi DPR atau 25 persen dari suara sah nasional pemilu legislatif sebelumnya.

    Putusan ini merupakan permohonan dari perkara 62/PUU-XXII/2024, yang diajukan Enika Maya Oktavia dan kawan-kawan mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga. 

    “Mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua MK Suhartoyo di ruang sidang utama, Gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis (2/1/2025).

    MK menyatakan pengusulan paslon presiden dan wakil presiden (presidential threshold) dalam Pasal 222 UU 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

    “Menyatakan norma Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” kata Suhartoyo.

    Dalam pertimbangan hukumnya, MK menyatakan frasa ‘perolehan kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 persen dari suara sah secara nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya’ dalam Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, menutup dan menghilangkan hak konstitusional partai politik peserta pemilu yang tidak memiliki persentase suara sah nasional atau persentase jumlah kursi DPR di pemilu sebelumnya untuk mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden.

    Selain itu MK menilai penentuan besaran ambang batas itu tidak didasarkan pada penghitungan yang jelas dengan rasionalitas yang kuat.

    Satu hal yang dapat dipahami Mahkamah, penentuan besaran atau persentase itu lebih menguntungkan parpol besar atau setidaknya memberi keuntungan bagi parpol peserta pemilu yang memiliki kursi di DPR.

    MK menyatakan penentuan ambang batas pencalonan pilpres itu punya kecenderungan memiliki benturan kepentingan.

    Mahkamah juga menilai pembatasan itu bisa menghilangkan hak politik dan kedaulatan rakyat karena dibatasi dengan tidak tersedianya cukup banyak alternatif pilihan paslon.

    Selain itu setelah mempelajari seksama arah pergerakan politik mutakhir Indonesia, MK membaca kecenderungan untuk selalu mengupayakan agar setiap pemilu presiden dan wakil presiden hanya terdapat 2 paslon.

    Padahal pengalaman sejak penyelenggaraan pemilu secara langsung, dengan hanya 2 paslon masyarakat mudah terjebak dalam polarisasi yang jika tidak diantisipasi akan mengancam keutuhan kebhinekaan Indonesia.

    Bahkan jika pengaturan tersebut dibiarkan, tidak tertutup kemungkinan pemilu presiden dan wakil presiden akan terjebak dengan calon tunggal.

    Kecenderungan calon tunggal juga telah dilihat MK dalam fenomena pemilihan kepala daerah yang dari waktu ke waktu semakin bertendensi ke arah munculnya calon tunggal atau kotak kosong. Artinya mempertahankan ambang batas presiden, berpotensi menghalangi pelaksanaan pilpres secara langsung oleh rakyat dengan menyediakan banyak pilihan paslon.

    “Jika itu terjadi makna hakiki dari Pasal 6A ayat (1) UUD 1945 akan hilang atau setidak-tidaknya bergeser,” kata Hakim Konstitusi Saldi Isra.

    Berkenaan dengan itu MK juga mengusulkan kepada pembentuk undang-undang dalam revisi UU Pemilu dapat merekayasa konstitusional. Meliputi:

    Semua partai politik peserta pemilu berhak mengusulkan paslon presiden dan wakil presiden.

    Pengusulan paslon oleh parpol atau gabungan parpol tidak didasarkan pada persentase jumlah kursi di DPR atau perolehan suara sah secara nasional.

    Dalam mengusulan paslon presiden dan wakil presiden, parpol peserta pemilu dapat bergabung sepanjang gabungan parpol tersebut tidak menyebabkan dominasi parpol atau gabungan parpol sehingga menyebabkan terbatasnya paslon presiden dan wakil presiden serta terbatasnya pilihan pemilih.

    Parpol peserta pemilu yang tidak mengusulkan paslon presiden dan wakil presiden dikenakan sanksi larangan mengikuti pemilu periode berikutnya

    Terakhir, perumusan rekayasa konstitusional dimaksud termasuk perubahan UU 7/2017 melibatkan partisipasi semua pihak yang memiliki perhatian terhadap penyelenggara pemilu, termasuk parpol yang tidak memperoleh kursi di DPR dengan menerapkan prinsip partisipasi publik yang bermakna.

    “Telah ternyata ketentuan Pasal 222 UU 7/2017 tidak sejalan dengan prinsip persamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, hak memperjuangkan diri secara kolektif, serta kepastian hukum yang adil,” kata Saldi.

     

  • Threshold Selama Ini Merampas Hak Rakyat dan Parpol

    Threshold Selama Ini Merampas Hak Rakyat dan Parpol

    Jakarta, CNN Indonesia

    Mantan Menko Polhukam Mahfud MD memuji keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) menghapus ambang batas syarat pencalonan presiden atau presidential threshold yang berlaku selama ini.

    Mahfud menilai threshold selama ini kerap digunakan untuk merampas hak masyarakat dan partai politik dalam memilih dan dipilih. 

    “Adanya threshold selama ini sering digunakan untuk merampas hak rakyat maupun parpol untuk dipilih maupun memilih. Oleh sebab itu, vonis MK ini merupakan vonis yang bisa menjadi landmark decision baru,” kata Mahfud dalam keterangannya, Jumat (3/1).

    Mantan Ketua MK ini mengakui bahwa dulu ia sering menganggap urusan ambang batas merupakan ruang open legal policy. Artinya kewenangannya menjadi ranah pembuat undang-undang dan tidak boleh diutak-atik MK.

    Namun, putusan MK lewat perkara nomor 62/PUU-XXII/2024 mengubah pandangan lamanya. Menurut Mahfud, putusan itu harus diterima semua pihak. MK menurut dia telah melakukan judicial activism untuk membangun keseimbangan baru dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia.

    “Ini bagus karena MK telah melakukan judicial activism untuk membangun keseimbangan baru dalam ketatanegaraan kita,” katanya.

    Meski gugatan dalam perkara yang sama sering ditolak, threshold, kata Mahfud, faktanya sering merampas hak konstitusional masyarakat. Dia karena itu memuji langkah MK dengan mengubah pandangan lama tersebut.

    “Saya salut kepada MK yang berani melakukan judicial activism sesuai aspirasi rakyat,” katanya.

    Keputusan MK yang dibacakan dalam sidang putusan, Kamis (2/1), mengabulkan gugatan yang dilayangkan empat mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, yakni Enika Maya Oktavia, Rizki Maulana Syafei, Faisal Nasirul Haq, dan Tsalis Khoriul Fatna.

    Dalam pertimbangannya, Mahkamah menilai proses kandidasi calon di pilpres selama ini terlalu didominasi partai politik tertentu dan akibatnya, membatasi hak konstitusional pemilih mendapatkan alternatif calon pemimpin mereka.

    Mahkamah juga menilai penerapan ambang batas pencalonan presiden justru membuat kecenderungan agar pilpres hanya diikuti dua pasangan calon. Padahal, pengalaman sejak pemilihan langsung menunjukkan, dua pasangan calon membuat masyarakat mudah terjebak dalam polarisasi.

    (thr/isn)

    [Gambas:Video CNN]