Produk: Presidential threshold

  • MPR apresiasi MK hapus “presidential treshold” guna kualitas demokrasi

    MPR apresiasi MK hapus “presidential treshold” guna kualitas demokrasi

    MK dengan putusan terakhir yang menghapus PT dengan argumentasi konstitusi, rasio dan etika serta moralitas itu dapat menegakkan semua aturan konstitusi. Hal ini dapat meningkatkan kualitas demokrasi dan hasil pemilu bukan hanya pilpres saja

    Jakarta (ANTARA) – Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid mengapresiasi dan mendukung putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menghapuskan ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold (PT) meski telat, guna meningkatkan kualitas demokrasi.

    Menurutnya, selain sesuai dengan aspirasi dan harapan masyarakat luas, hal itu juga sejalan dengan konstitusi yang membuka harapan akan hadirnya pilpres yang lebih demokratis dengan bisa majunya lebih banyak lagi capres dan cawapres yang berkualitas.

    “Sekalipun telat, tapi keputusan penting itu tetap diapresiasi, agar ke depan tidak terulang lagi pembelahan di tingkat Rakyat akibat dari hanya adanya kandidat capres/cawapres yang sangat terbatas akibat adanya PT 20 persen,” kata pria yang akrab disapa HNW dalam keterangannya di Jakarta, Jumat.

    Meski begitu, dia mengakui MK sendiri di dalam putusan ini juga seperti mengkhawatirkan adanya jumlah calon presiden yang terlalu banyak, sehingga memberikan amanat kepada DPR dan Pemerintah selaku pembentuk undang-undang untuk melakukan rekayasa konstitusional (constitutional engineering) dengan melakukan revisi UU Pemilu.

    HNW menambahkan agar MK dengan putusan terakhir yang menghapus PT dengan argumentasi konstitusi, rasio dan etika serta moralitas itu dapat menegakkan semua aturan konstitusi.

    Hal ini dapat meningkatkan kualitas demokrasi dan hasil pemilu bukan hanya pilpres saja. Untuk itu, ia juga berharap agar MK konsisten menegakkan atau memberlakukan ketentuan-ketentuan konstitusi dengan merevisi/meluruskan beberapa putusan MK lainnya.

    Dirinya mencontohkan salah satunya adalah terkait dengan masih diberlakukannya ambang batas pencalonan kepala daerah, di mana di dalam putusan terakhirnya soal pilkada, MK masih menetapkan adanya ambang batas pencalonan sekalipun sudah jauh di bawah 20 persen.

    HNW menyebutkan putusan MK mengenai pileg dan pilpres yang dilakukan secara serentak dan mulai diberlakukan pada Pileg dan Pilpres tahun 2019 juga perlu dipertimbangkan untuk dievaluasi dan dikoreksi oleh MK.

    Masalahnya, bila merujuk kepada Pasal 6A ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD NRI 1945) dan ketentuan lain dalam konstitusi, tidak ada ketentuan yang eksplisit menyebutkan bahwa pemilu (pileg dan pilpres) dilakukan secara serentak.

    Ia mengusulkan agar poin-poin itu juga sebaiknya menjadi bahan pembahasan di DPR sebagaimana amanat dari MK untuk melakukan rekayasa konstitusional (constitutional engineering).

    Pewarta: Narda Margaretha Sinambela
    Editor: Edy M Yakub
    Copyright © ANTARA 2025

  • Kami Sepenuhnya Tunduk dan Patuh

    Kami Sepenuhnya Tunduk dan Patuh

    loading…

    Ketua DPP PDI Perjuangan (PDIP) Said Abdullah menanggapi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menghapus persyaratan ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden (presidential threshold).

    JAKARTA – Ketua DPP PDI Perjuangan (PDIP) Said Abdullah menanggapi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menghapus persyaratan ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden (presidential threshold).

    Hal itu tertuang dalam putusan Nomor: 62/PUU-XXII/2024 yang mengabulkan permohonan terhadap pengujian Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.

    Said mengatakan, dengan keluarnya putusan ini maka ketentuan Pasal 222 Undang-Undang No 7 Tahun 2017 tentang syarat pencalonan presiden dan wakil presiden oleh partai politik dan gabungan partai politik paling sedikit 20% kursi DPR atau memperoleh 25% suara sah nasional dalam pemilu DPR atau Presidential Threshold (PT) tidak berlaku lagi.

    “Atas putusan ini, maka kami sebagai bagian dari partai politik sepenuhnya tunduk dan patuh, sebab putusan MK bersifat final dan mengikat,” ujar Said, Jumat (3/12/2024).

    Dalam pertimbangannya, MK memerintahkan pembentuk undang-undang, dalam hal ini pemerintah dan DPR untuk mengatur dalam undang-undang agar tidak muncul pasangan calon presiden dan wakil presiden dengan jumlah yang terlalu banyak yang berpotensi merusak hakikat pemilu presiden dan wakil presiden secara langsung oleh rakyat. ”MK dalam pertimbangannya meminta pembentuk undang-undang untuk melakukan rekayasa konstitusional,” katanya.

    Namun tetap memperhatikan hal-hal seperti semua parpol boleh berhak mengusulkan capres dan cawapres dan pengusulan tersebut tidak didasarkan pada prosentase kursi DPR atau suara sah naisonal.

    “Pengusulan pasangan capres dan cawapres itu dapat dilakukan gabungan partai dengan catatan tidak menyebabkan dominasi partai atau gabungan partai yang menyebabkan terbatasnya pasangan capres dan cawapres,” ujarnya.

    MK juga memerintahkan agar pembuat undang undang melibatkan partisisipasi semua pihak termasuk partai politik yang tidak memiliki kursi di DPR. “Atas pertimbangan dalam putusan amar di atas, tentu kami akan menjadikannya sebagai pedoman nanti dalam pembahasan revisi Undang-Undang Pemilu antara pemerintah dan DPR,” katanya.

  • Penghapusan `presidential threshold` sesuai amanat reformasi

    Penghapusan `presidential threshold` sesuai amanat reformasi

    Wakil Ketua MPR RI Eddy Soeparno ANTARA/Melalusa Susthira K/am.

    MPR: Penghapusan `presidential threshold` sesuai amanat reformasi
    Dalam Negeri   
    Editor: Sigit Kurniawan   
    Jumat, 03 Januari 2025 – 14:34 WIB

    Elshinta.com – Wakil Ketua MPR RI Eddy Soeparno menyambut positif Putusan MK Nomor 62/PUU-XXII/2024 yang menghapus ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold karena merupakan amanat reformasi yang selama ini konsisten diperjuangkan dalam berbagai agenda dan kebijakan politik.

    “Dalam UUD NRI 1945 sangat jelas bahwa calon presiden dan wakil presiden diusung oleh partai politik dan atau gabungan partai politik. Apa yang diputuskan MK sesungguhnya menegaskan apa yang termaktub dalam UUD NRI 1945,” kata Eddy dalam keterangannya di Jakarta, Jumat (3/1).

    Dia menjelaskan sejak awal pihaknya memperjuangkan agar ruang demokrasi dibuka seluas-luasnya dengan memberikan kesempatan pada putra-putri terbaik bangsa sebagai capres dan cawapres.

    “Sudah seharusnya pemilihan presiden menjadi ruang adu ide dan gagasan putra-putri terbaik bangsa yang diajukan melalui partai politik dan tidak dihalangi oleh ambang batas,” ujarnya.

    Selain itu, Eddy mengatakan dengan semakin terbukanya kesempatan bagi putra-putri terbaik bangsa untuk maju dalam pilpres maka rakyat memiliki kesempatan untuk memilih yang terbaik diantara kandidat-kandidat terbaik.

    “Rakyat sebagai pemilih akan lebih selektif dalam memilih kandidat berbasis pada ide, gagasan dan visi misi yang disampaikan. Keputusan MK ini memberikan kedaulatan yang lebih luas untuk rakyat sebagai pemilih dalam memutuskan yang terbaik,” pungkas dia.

    Sebelumnya, MK memutuskan penghapusan ketentuan ambang batas minimal persentase pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden pada Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu karena bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

    “Mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya,” ujar Ketua MK Suhartoyo saat membacakan amar putusan Nomor 62/PUU-XXII/2024 di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta, Kamis.

    MK memandang presidential threshold yang diatur dalam Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 menutup dan menghilangkan hak konstitusional partai politik peserta pemilu yang tidak memiliki persentase suara sah secara nasional atau persentase jumlah kursi di DPR pada pemilu sebelumnya untuk mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden.

    Selanjutnya, MK mempelajari bahwa arah pergerakan politik Indonesia cenderung selalu mengupayakan setiap pemilu presiden dan wakil presiden hanya diikuti dua pasangan calon.

    Menurut MK, kondisi ini menjadikan masyarakat mudah terjebak dalam polarisasi yang mengancam keutuhan Indonesia apabila tidak diantisipasi.

    Oleh karena itu, MK menyatakan presidential threshold yang ditentukan dalam Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tidak hanya bertentangan dengan hak politik dan kedaulatan rakyat, tetapi juga melanggar moralitas, rasionalitas, dan ketidakadilan yang tidak dapat ditoleransi.

    Sumber : Antara

  • MK hapus Presidential Threshold, Pengamat: Atasi monopoli elektoral

    MK hapus Presidential Threshold, Pengamat: Atasi monopoli elektoral

    ANTARA – Pengamat Hukum Tata Negara dari Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada (UGM) menganggap penghapusan Presidential Threshold atau penghapusan ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden oleh Mahkamah Konstitusi (MK) merupakan keputusan yang dapat mengatasi monopoli elektoral. Kepada ANTARA, di Jakarta, Jumat (3/1), ia berpendapat keputusan ini berdampak positif bagi demokrasi, masyarakat, dan pilpres mendatang.
    (Setyanka Harviana Putri/Irfansyah Naufal Nasution/Fahrul Marwansyah/I Gusti Agung Ayu N)

  • Jokowi Tanggapi Putusan MK Soal Presidential Threshold: Kita Semua Harus Menghormati

    Jokowi Tanggapi Putusan MK Soal Presidential Threshold: Kita Semua Harus Menghormati

    Bisnis.com, JAKARTA – Presiden ke-7 RI Joko Widodo (Jokowi) menanggapi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membatalkan ketentuan Pasal 222 UU No.7 Tahun 2017 yang mengatur ambang batas syarat pencalonan presiden dan wakil presiden atau presidential threshold.

    Dia meminta publik menghormati keputusan terkait presidential threshold atau ambang batas minimal persentase pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden.

    “Ya, itu kan keputusan final dan mengikat, kita semua harus menghormati apa yang diputuskan oleh MK,” katanya dilansir dari Antara, Jumat (3/1/2025).

    Jokowi mengatakan dengan keputusan tersebut maka ke depan akan ada banyak alternatif untuk calon presiden dan wakil presiden. Dia berharap nantinya keputusan tersebut segera ditindaklanjuti oleh pembuat undang-undang, yakni DPR RI.

    “Ya harapannya kan seperti itu,” katanya.

    Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi memutuskan menghapus ketentuan ambang batas minimal persentase pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden (presidential threshold) pada Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu karena bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

    “Mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya,” ucap Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Suhartoyo saat membacakan amar putusan Nomor 62/PUU-XXII/2024 di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta, Kamis.

    Dalam pertimbangan putusan, Wakil Ketua MK Saldi Isra mengatakan bahwa merujuk risalah pembahasan Pasal 6A ayat (2) UUD NRI Tahun 1945, pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu merupakan hak konstitusional partai politik.

  • Anwar Usman Tegaskan Penghapusan Presidential Threshold Tidak Berdasar

    Anwar Usman Tegaskan Penghapusan Presidential Threshold Tidak Berdasar

    Jakarta: Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan gugatan untuk menghapus ambang batas atau presidential threshold minimal 20 persen kursi DPR atau memperoleh 25 persen suara sah nasional pada pemilu sebelumnya sebagai syarat pencalonan presiden dan wakil presiden. Meski demikian, keputusan ini disertai dengan dissenting opinion atau pendapat berbeda dari dua hakim konstitusi, yakni Anwar Usman dan Daniel Yusmic P Foekh.

    Ketua MK Suhartoyo menjelaskan bahwa dua hakim, Anwar Usman dan Daniel Yusmic P Foekh, memiliki pandangan hukum yang berbeda dengan mayoritas hakim konstitusi. 

    “Terhadap hal tersebut, Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P Foekh dan Hakim Konstitusi Anwar Usman memiliki pendapat hukum berbeda (dissenting opinion) dari mayoritas hakim konstitusi, khususnya mengenai kedudukan hukum para Pemohon,” ujar Suhartoyo dalam putusan perkara 62/PUU-XXI/2023 yang dibacakan pada Kamis 2 Januari 2025.

    Baca juga: 5 Fakta MK Hapus Presidential Threshold 20%, Semua Parpol Bisa Usulkan Capres-Cawapres

    Lebih lanjut, Anwar Usman dan Daniel Yusmic P Foekh berpendapat bahwa untuk memohon pengujian Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017, pemohon harus dapat menjelaskan kualifikasi dan kerugian konstitusional yang mereka alami akibat berlakunya suatu undang-undang. 

    Mereka menilai, meskipun pembatasan pihak yang dapat mengajukan pengujian bukan berarti norma tersebut ‘kebal’ dari uji materi, namun karena tidak ada kerugian konstitusional yang dirasakan oleh pemohon, Mahkamah seharusnya menyatakan para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum. 

    “Bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum di atas, kami berpendapat bahwa Mahkamah seharusnya menyatakan para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum dan oleh karenanya permohonan para Pemohon tidak dapat diterima (niet ontvankelijke verklaard),” ujar Anwar Usman.

    Sebelumnya, MK menyatakan bahwa Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Hal ini memberi kesempatan bagi seluruh partai politik peserta pemilu untuk mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden tanpa harus memenuhi presidential threshold yang selama ini diberlakukan.

    Jakarta: Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan gugatan untuk menghapus ambang batas atau presidential threshold minimal 20 persen kursi DPR atau memperoleh 25 persen suara sah nasional pada pemilu sebelumnya sebagai syarat pencalonan presiden dan wakil presiden. Meski demikian, keputusan ini disertai dengan dissenting opinion atau pendapat berbeda dari dua hakim konstitusi, yakni Anwar Usman dan Daniel Yusmic P Foekh.
     
    Ketua MK Suhartoyo menjelaskan bahwa dua hakim, Anwar Usman dan Daniel Yusmic P Foekh, memiliki pandangan hukum yang berbeda dengan mayoritas hakim konstitusi. 
     
    “Terhadap hal tersebut, Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P Foekh dan Hakim Konstitusi Anwar Usman memiliki pendapat hukum berbeda (dissenting opinion) dari mayoritas hakim konstitusi, khususnya mengenai kedudukan hukum para Pemohon,” ujar Suhartoyo dalam putusan perkara 62/PUU-XXI/2023 yang dibacakan pada Kamis 2 Januari 2025.
    Baca juga: 5 Fakta MK Hapus Presidential Threshold 20%, Semua Parpol Bisa Usulkan Capres-Cawapres
     
    Lebih lanjut, Anwar Usman dan Daniel Yusmic P Foekh berpendapat bahwa untuk memohon pengujian Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017, pemohon harus dapat menjelaskan kualifikasi dan kerugian konstitusional yang mereka alami akibat berlakunya suatu undang-undang. 
     
    Mereka menilai, meskipun pembatasan pihak yang dapat mengajukan pengujian bukan berarti norma tersebut ‘kebal’ dari uji materi, namun karena tidak ada kerugian konstitusional yang dirasakan oleh pemohon, Mahkamah seharusnya menyatakan para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum. 
     
    “Bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum di atas, kami berpendapat bahwa Mahkamah seharusnya menyatakan para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum dan oleh karenanya permohonan para Pemohon tidak dapat diterima (niet ontvankelijke verklaard),” ujar Anwar Usman.
     
    Sebelumnya, MK menyatakan bahwa Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Hal ini memberi kesempatan bagi seluruh partai politik peserta pemilu untuk mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden tanpa harus memenuhi presidential threshold yang selama ini diberlakukan.
     
    Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
    dan follow Channel WhatsApp Medcom.id

    (DHI)

  • Mahfud MD Sebut Putusan MK Hapus Presidential Threshold Harus Ditaati, Ini Alasannya

    Mahfud MD Sebut Putusan MK Hapus Presidential Threshold Harus Ditaati, Ini Alasannya

    Mahfud MD Sebut Putusan MK Hapus Presidential Threshold Harus Ditaati, Ini Alasannya
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK)
    Mahfud MD
    menyambut positif putusan MK nomor 62/PUU-XXII/2024 yang menghapus ketentuan ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden atau presidential threshold.
    Menurut Mahfud, putusan itu harus diterima dan ditaati karena dua alasan.
    “Pertama, karena adanya dalil bahwa putusan hakim yang sudah inkracht itu mengakhiri konflik dan harus dilaksanakan,” kata Mahfud dalam keterangannya, dikutip pada Jumat (3/1/2025).
    Kedua, Mahfud menilai selama ini adanya ambang batas kerap digunakan untuk merampas hak rakyat maupun partai politik (parpol) untuk dipilih maupun memilih.
    “Oleh sebab itu, vonis MK ini merupakan vonis yang bisa menjadi landmark decision baru. Ini bagus karena MK telah melakukan judicial activism untuk membangun keseimbangan baru dalam ketatanegaraan kita,” ungkap mantan Menko Polhukam ini.
    Mahfud mengatakan bahwa permohonan penghapusan ambang batas pencalonan presiden telah banyak dilakukan oleh masyarakat.
    Akan tetapi, menurutnya, pengajuan gugatan itu telah belasan kali selalu ditolak oleh MK dengan alasan open legal policy (OPL).
    “Sekarang setelah banyak hak konstitusional yang terampas oleh threshold, maka MK baru membuat pandangan baru yang mengikat dan harus dilaksanakan. Saya salut kepada MK yang berani melakukan judicial activism yang sesuai dengan aspirasi rakyat,” pungkas Mahfud.
    Diberitakan sebelumnya, MK mengabulkan gugatan ketentuan ambang batas pencalonan presiden dan calon wakil presiden atau presidential threshold.
    Hal tersebut diputuskan dalam sidang perkara nomor 62/PUU-XXII/2024 yang digelar di Ruang Sidang MK, Jakarta, Kamis (2/1/2025).
    Dengan putusan tersebut, MK memandang bahwa partai politik peserta pemilu berhak mengusulkan pasangan calon presiden dan calon wakil presiden (capres dan cawapres).
    Pasalnya, dalam putusan perkara nomor 62/PUU-XXII/2024 tentang Undang-Undang Pemilu, MK menghapus aturan terkait ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden atau presidential threshold.
    “Semua partai politik peserta pemilu berhak mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden,” ujar hakim MK Saldi Isra dalam pembacaan putusan di ruang sidang MK, Jakarta, Kamis.
    Hakim Konstitusi Saldi Isra juga menyebut, Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 yang mengatur ambang batas pencalonan bertentangan dengan hak politik dan kedaulatan rakyat, sekaligus melanggar moralitas.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Perindo Apresiasi Putuskan MK Hapus Presidential Threshold, Bermakna Besar bagi Demokrasi Indonesia

    Perindo Apresiasi Putuskan MK Hapus Presidential Threshold, Bermakna Besar bagi Demokrasi Indonesia

    loading…

    Wakil Ketua Umum Partai Perindo Ferry Kurnia Rizkiyansyah memberikan keterangan kepada media di Kantor DPP Perindo, Jakarta Pusat, Jumat (3/1/2025). Ferry mengapresiasi putusan MK yang menghapuskan ketentuan presidential threshold. FOTO/ACHMAD AL FIQRI

    JAKARTA – Wakil Ketua Umum Partai Perindo Ferry Kurnia Rizkiyansyah mengapresiasi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menghapuskan ketentuan presidential threshold melalui putusan perkara nomor 62/PUU-XXII/2024. Ia meyakini putusan itu sangat besar maknanya bagi iklim demokrasi Tanah Air.

    “Ya terkait dengan putusan MK nomor 62, tentunya pada kesempatan ini kami dari Partai Perindo menghormati dan juga mengapresiasi atas putusan tersebut. Saya yakin putusan tersebut adalah satu putusan yang betul-betul sangat maknanya bagi demokrasi Indonesia itu luar biasa,” kata Ferry saat ditemui di Kantor DPP Perindo, Jakarta Pusat, Jumat (3/1/2025).

    Sebagai pihak yang turut dimintai keterangan oleh MK dalam perkara itu, Ferry berkata, Perindo mendukung MK yang menghapus ketentuan presidential threshold. Pasalnya, kata dia, putra-putri Indonesia berpeluang besar untuk turut serta berkontestasi di pemilihan presiden (pilpres).

    “Nah, oleh karena itu tentunya kami dari Partai Perindo mengapresiasi, menghormati putusan MK tersebut dan mudah-mudahan ini nanti bisa ditindaklanjuti oleh DPR dan juga oleh KPU dalam turunan-turunan kebijakan selanjutnya,” ucap Ferry.

    Ferry menilai, putusan MK yang hapus ambang batas presiden bisa memunculkan koalisi alamiah dan strategis. Dengan begitu, ia menilai, partai politik (parpol) dan koalisi gabungan partai bisa mengusung paslon tanpa adanya perkongsian sesaat.

    “Sehingga partai politik ataupun gabungan partai politik bisa melakukan upaya-upaya itu tanpa adanya pemaksaan di dalam aktivitas proses koalisi yang ada. Seperti itu. Itu karena ada threshold-nya tadi,” ucap Ferry.

    “Kalau ini kan enggak. Sehingga tidak ada semacam perkongsian sesaat yang ada. Tapi adalah bagaimana betul-betul ini murni dari partai politik untuk mengusung,” imbuhnya.

    Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan gugatan nomor 62/PUU-XXI/2024 soal persyaratan ambang batas calon peserta Pilpres. Putusan dilaksanakan di ruang sidang Gedung MK, Jakarta, Kamis (2/1/2025). “Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya,” ucap Ketua MK Suhartoyo.

  • Usulan PDIP usai MK Hapus Presidential Threshold 20%

    Usulan PDIP usai MK Hapus Presidential Threshold 20%

    Bisnis.com, JAKARTA — Ketua DPP PDI Perjuangan (PDIP), Said Abdullah mengusulkan akomodasi rekayasa konstitusional seperti dalam putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pasca dihapusnya ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold 20%.

    Said menuturkan bahwa PDIP mengusulkan supaya ada mekanisme yang mengatur mekanisme kerja sama atau koalisi partai untuk mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden.

    Menurutnya, dengan mangatur mekanisme kerja sama partai itu dan selama tanpa mengurangi hak setiap partai untuk mengajukan calon presiden dan wakil presiden, maka presiden dan wakil presiden terpilih tetap akan memiliki dukungan politik yang kuat di DPR

    “Semangat kami di DPR saat pembahasan pasal 222 dalam Undang-Undang Pemilu adalah untuk memperkuat dukungan politik yang kuat di DPR terhadap pasangan calon presiden dan wakil presiden terpilih,” katanya saat dikonfirmasi Bisnis, pada Kamis (2/1/2025).

    Dukungan DPR yang kuat menurut Said akan mempengaruhi kelancaran agenda kebijakan, anggaran, dan legislasi dari pasangan presiden dan wakil presiden terpilih itu sendiri.

    Tak hanya itu, Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR RI ini juga menyebut perekayasaan konstitusional yang diperintahkan oleh MK dalam putusannya, juga bisa dilakukan dengan cara mengatur persyaratan calon presiden dan wakil presiden yang akan maju di ajang kontestasi Pemilu.

    “Seperti memenuhi aspek kepemimpinan, pengalamannya dalam peran publik, pengetahuannya tentang kenegaraan, serta rekam jejak integritasnya. Agar penggunaan hak dari semua partai untuk mengajukan calon presiden dan wakil presiden memenuhi aspek yang bersifat kualitatif yang kami maksudkan tersebut,” urainya.

    Nantinya, ujar Said, pengujian syarat aspek-aspek tersebut yang bersifat kualitatif terhadap bakal calon dapat juga dilakukan oleh unsur dari perwakilan lembaga negara dan perwakilan tokoh masyarakat, sebagai bagian syarat sahnya penetapan calon presiden dan wakil presiden oleh KPU.

    Sebelumnya, dia turut menyampaikan pihaknya menghormati putusan MK yang menghapus ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden (presidential threshold) minimal 20%.

    Dia mengemukakan sebagai bagian dari partai politik sudah sepatutnya patuh pada putusan MK lantaran bersifat final dan mengikat. “Atas putusan ini, maka kami sebagai bagian dari partai politik sepenuhnya tunduk dan patuh, sebab putusan MK bersifat final dan mengikat,” katanya.

  • MK Hapus Ambang Batas Pencalonan Presiden, Ketahui Empat Dampak Besarnya

    MK Hapus Ambang Batas Pencalonan Presiden, Ketahui Empat Dampak Besarnya

    Ini memperluas peluang munculnya lebih banyak calon pemimpin yang merepresentasikan berbagai kelompok masyarakat. Putusan MK ini juga efektif mengurangi polarisasi.

    Ini karena ketentuan PT 20 persen sering sekali menghasilkan hanya dua pasangan calon, yang cenderung memicu tingginya polarisasi masyarakat. Dengan lebih banyak kandidat, diharapkan pilihan rakyat lebih beragam dan mengurangi ketegangan politik.

    Dengan dibolehkannya semua partai politik peserta pemilu untuk mengajukan calon presiden, maka demokrasi Indonesia akan lebih substantif. Bagi Fahira Idris,

    Keputusan ini memungkinkan rakyat Indonesia memiliki lebih banyak pilihan yang sesuai dengan aspirasi, sehingga pemilu menjadi lebih bermakna.

    Dampak besar lainnya dari putusan ini adalah akan menumbuhkan lebih banyak calon pemimpin-pemimpin bangsa masa depan yang berkomitmen pada kepentingan rakyat. Kedepan di tiap gelaran pilpres, rakyat akan disuguhkan beragam kandidat sehingga mendorong debat publik yang lebih substansial.

    Para kandidat akan berlomba menawarkan solusi konkret atas berbagai permasalahan bangsa.

    “Putusan MK ini adalah tonggak penting dalam memperkuat demokrasi di Indonesia, sekaligus menegaskan bahwa suara rakyat adalah elemen utama dalam sistem demokrasi,” ujar Senator Jakarta ini.

    Sebagai informasi, MK memutuskan menghapus ketentuan presidential threshold dengan menyatakan Pasal 222 Undang-Undang (UU) Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.

    Putusan tersebut merupakan permohonan dari empat mahasiswa dari UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta dengan nomor perkara nomor 62/PUU-XXII/2024. Empat mahasiswa tersebut adalah Enika Maya Oktavia, Rizki Maulana Syafei, Faisal Nasirul Haq, dan Tsalis Khoirul Fatna. (Pram/fajar)