Produk: Presidential threshold

  • Fraksi Golkar terima audiensi KAMMI bahas pemilu dan ketahanan energi

    Fraksi Golkar terima audiensi KAMMI bahas pemilu dan ketahanan energi

    Jakarta (ANTARA) – Ketua Fraksi Partai Golkar DPR RI Muhammad Sarmuji menerima audiensi Pengurus Pusat Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (6/11) untuk membahas sejumlah isu strategis.

    Adapun, isu yang dibahas mulai dari ideologi partai politik, sistem pemilu hingga kebijakan energi nasional.

    Ketua Umum KAMMI Ahmad Jundi dalam keterangan diterima di Jakarta, Jumat mengapresiasi atas keterbukaan Partai Golkar terhadap generasi muda dan aktivis.

    Menurutnya, tidak banyak partai politik yang memberi ruang bagi kader muda untuk tumbuh, seraya menyoroti pentingnya mengembalikan orientasi partai pada ideologi dan pendidikan politik.

    Menanggapi hal tersebut, Sarmuji menegaskan Partai Golkar konsisten memperkuat kapasitas kader melalui lembaga pendidikan politik.

    “Golkar memiliki Golkar Institute dan akan segera mendirikan Golkar Academy. Ini lembaga untuk meningkatkan kapasitas pejabat publik agar tidak hanya piawai menggalang suara tetapi juga memiliki kemampuan teknokratis,” kata Sarmuji.

    KAMMI mengharapkan agar putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 135 Tahun 2024 yang memerintahkan pemisahan pemilu nasional dengan pemilu daerah pada 2029 dapat disahkan menjadi Undang-Undang. Kebijakan itu untuk memberikan kepastian hukum dan waktu persiapan bagi partai maupun masyarakat.

    KAMMI juga mendukung langkah Partai Golkar dalam pembahasan RUU Pilkada, RUU Pemilu, dan RUU Partai Politik yang dinilai saling berkaitan. Selain itu, KAMMI mendorong penerapan sistem pemilu campuran karena sistem pemilu yang berlaku sekarang lebih banyak mudaratnya.

    Mengenai sistem pemilu, Sekretaris Jenderal Partai Golkar itu menyebut setiap sistem memiliki sisi positif dan negatif. Sistem proporsional terbuka yang berlaku saat ini, menurutnya, merupakan koreksi dari sistem proporsional tertutup yang dahulu membuat caleg nomor satu hampir pasti terpilih tanpa perlu turun ke rakyat.

    “Seburuk-buruknya sistem sekarang, caleg atau anggota DPR dipaksa untuk turun ke lapangan. Tapi ya setiap solusi pasti disertai problem baru, Today’s problem comes from yesterday’s solution, masalah hari ini adalah hasil solusi masa lalu. Tugas kita meminimalkan problem barunya,” ujarnya.

    Sarmuji juga menyinggung putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menghapus presidential threshold atau ambang batas perolehan suara yang harus diperoleh oleh partai politik dalam suatu pemilu untuk dapat mengajukan calon presiden yang masih sering menjadi perdebatan publik.

    “Kita harus patuh pada putusan MK tetapi MK juga memandang perlu ada rekayasa konstitusional agar tidak terlalu banyak calon presiden. Misalnya, hanya partai yang punya kursi di parlemen yang bisa mencalonkan. Ini untuk menjaga keseimbangan sistem presidensial,” katanya.

    Ia melanjutkan “Ini untuk mencegah terjadinya calon tunggal atau sedikit calon sehingga tidak kompatibel dengan sistem presidensial yang kita anut. Karena kalau terlalu banyak calon, tidak baik juga bagi sistem ketatanegaraan kita.”

    Audiensi tersebut juga membahas soal ketahanan energi nasional, termasuk kebijakan kebijakan bahan bakar dengan etanol yang digagas Menteri ESDM Bahlil Lahadalia. KAMMI menyatakan dukungannya terhadap kebijakan tersebut.

    Anggota Komisi VI DPR RI itu menilai isu energi merupakan pilar strategis kedaulatan bangsa.

    “Siapa yang punya kedaulatan energi, dia akan menjadi negara besar. Kebijakan etanol ini energi bersih, energi terbarukan, dan bisa menghidupkan pertanian, petani singkong, petani tebu, dan sebagainya,” kata Sarmuji.

    Namun, ia mengakui setiap kebijakan baik kerap menghadapi resistensi, seperti penolakan sebagian kalangan terhadap etanol, padahal manfaatnya jelas.

    “Bukan hanya energi bersih yang dihasilkan tetapi juga memakmurkan petani karena permintaan singkong, tebu dan bahan etanol lainnya meningkat,” tutur Sarmuji.

    Pewarta: Fianda Sjofjan Rassat
    Editor: Benardy Ferdiansyah
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Evolusi Syarat Capres-Cawapres: Dari Era Soekarno hingga Kini
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        10 Oktober 2025

    Evolusi Syarat Capres-Cawapres: Dari Era Soekarno hingga Kini Nasional 10 Oktober 2025

    Evolusi Syarat Capres-Cawapres: Dari Era Soekarno hingga Kini
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Syarat untuk menjadi calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) di Indonesia mengalami perjalanan panjang, mengikuti perubahan konstitusi dan dinamika politik sejak era Presiden Pertama RI, Soekarno hingga kini.
    Dari semula berlandaskan semangat revolusi dan perjuangan kemerdekaan, kini ketentuan itu kian kompleks, menyesuaikan sistem demokrasi elektoral yang diatur undang-undang dan peraturan pemilu.
    Pakar kepemiluan Titi Anggraini menilai, perubahan syarat pencalonan dari masa ke masa menunjukkan dua sisi mata uang antara demokratisasi dan pembatasan.
    “Kalau kita telusuri, syarat pencalonan presiden dan wakil presiden memang mengalami pergeseran mengikuti dinamika politik dan perubahan konstitusi. Pada masa awal kemerdekaan, syaratnya sederhana dan menekankan integritas kebangsaan. Setelah reformasi, muncul penegasan baru seperti kewajiban dukungan partai serta syarat administratif dan moral yang lebih detail,” kata Titi kepada Kompas.com, Jumat (10/10/2025).
    Namun, menurutnya, perubahan itu tidak selalu identik dengan penguatan demokrasi.
    “Ada kecenderungan bahwa regulasi pencalonan semakin berfungsi sebagai instrumen kontrol politik dan pembatasan untuk ikut berkontestasi, bukan untuk penyaringan calon yang berkualitas,” kata dia.
    Pada masa awal kemerdekaan, konstitusi Indonesia masih sederhana.
    UUD 1945 sebelum amendemen menyebutkan presiden dan wakil presiden dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).
    Tidak ada mekanisme pemilihan langsung, dan tidak ada syarat elektoral yang rumit.
    Syarat utama seorang calon presiden saat itu hanya mencakup warga negara Indonesia sejak lahir, tidak pernah menerima kewarganegaraan lain, dan beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa.
    Dalam praktiknya, Soekarno terpilih secara aklamasi oleh PPKI pada 18 Agustus 1945 sebagai presiden pertama RI, tanpa ada kompetisi politik atau mekanisme pencalonan seperti saat ini.
    Memasuki masa Orde Baru, mekanisme pemilihan presiden tetap dilakukan oleh MPR.
    Namun, prosesnya berubah menjadi sangat formalistik.
    Presiden Soeharto terpilih secara berulang melalui MPR dengan pencalonan yang praktis tanpa pesaing.
    Syarat calon presiden tetap merujuk pada UUD 1945, tetapi dalam praktiknya, dukungan politik di MPR yang didominasi Golkar dan ABRI memastikan Soeharto menjadi calon tunggal.
    Meski demikian, pada masa ini mulai diperkenalkan ketentuan administratif, seperti batas usia minimum 35 tahun dan kewajiban setia kepada Pancasila dan UUD 1945.
    Perubahan besar terjadi setelah amendemen UUD 1945 pada awal 2000-an.
    Amandemen ketiga UUD mengubah sistem pemilihan presiden menjadi langsung oleh rakyat.
    Pasal 6A UUD 1945 hasil amendemen menegaskan, pasangan capres-cawapres diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu.
    Sejak saat itu, aturan teknis diatur lebih lanjut dalam Undang-Undang Pemilu.
    Pada Pemilu 2004, Indonesia untuk pertama kalinya menggelar pemilihan presiden secara langsung.
    Syarat pencalonan diatur dalam UU Nomor 23 Tahun 2003, yang mewajibkan partai politik atau gabungan partai memiliki sekurang-kurangnya 15 persen kursi DPR atau 20 persen suara sah nasional.
    Ambang batas ini, yang dikenal sebagai presidential threshold, kemudian menjadi perdebatan panjang karena dianggap membatasi munculnya alternatif calon di luar partai besar.
    Titi menilai,
    presidential nomination threshold
    merupakan salah satu hambatan paling nyata terhadap demokratisasi elektoral di Indonesia.
    “Awalnya, aturan ini dimaksudkan untuk memperkuat sistem presidensial agar tidak terlalu fragmentaris. Tapi dalam praktiknya justru membatasi jumlah calon, menghambat regenerasi elite, dan mempersempit pilihan rakyat,” ujarnya.
    Menurutnya, ambang batas pencalonan presiden telah mengubah hak pencalonan menjadi privilege partai besar.
    “Dalam sistem presidensial yang demokratis, setiap partai peserta pemilu seharusnya memiliki hak yang sama untuk mengajukan pasangan calon. Membatasi pencalonan berbasis hasil pemilu legislatif sebelumnya sangat tidak relevan, baik secara konstitusional maupun demokratis,” jelas Titi.
    Ia menambahkan, untuk menjaga efektivitas pemerintahan presidensial, bukan jumlah calon yang harus dibatasi, melainkan sistem kepartaian dan proses pencalonannya yang diperkuat.
    “Caranya dengan mendorong koalisi berbasis platform serta memastikan transparansi dan akuntabilitas dalam proses pencalonan,” kata Titi.
    Dalam perkembangannya, peraturan pemilu terus berubah.
    Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 mempertegas kembali ambang batas pencalonan sebesar 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara sah nasional.
    Selain itu, Mahkamah Konstitusi (MK) juga beberapa kali memutus perkara yang berkaitan dengan syarat pencalonan, termasuk soal usia minimal capres-cawapres dan status pejabat kepala daerah.
    Putusan MK pada 2023, misalnya, membuka peluang bagi kepala daerah berusia di bawah 40 tahun untuk maju sebagai calon wakil presiden, asalkan berpengalaman sebagai kepala daerah terpilih.
    Putusan ini memicu perdebatan publik karena dianggap membuka ruang politik dinasti.
    Titi menilai, perdebatan batas usia menunjukkan bahwa demokrasi Indonesia belum sepenuhnya mencapai meritokrasi dan keadilan kesempatan.
    “Batas usia dibenarkan jika tujuannya memastikan kematangan dan kapasitas calon. Tapi kalau digunakan secara politis untuk membuka jalan bagi pihak tertentu atau menutup peluang pihak lain, maka itu bentuk ketidakadilan baru,” katanya.
    Ia menegaskan, fenomena politik dinasti bukan semata soal hubungan keluarga, tetapi menyangkut etika kekuasaan.
    “Demokrasi akan tetap sehat selama peluang politik didasarkan pada kemampuan dan pilihan rakyat, bukan pada akses istimewa terhadap sumber daya negara,” ujar Titi.
    Untuk itu, menurutnya, arah regulasi ke depan perlu difokuskan pada pencegahan penyalahgunaan kekuasaan, bukan sekadar pelarangan hubungan keluarga semata.
    Titi juga menekankan pentingnya penguatan proses rekrutmen politik di internal partai.
    “Salah satu caranya dengan menerapkan syarat minimal sebagai kader bagi calon yang akan dinominasikan partai. Misalnya, berstatus sebagai kader minimal tiga tahun bagi calon anggota DPR dan DPRD. Dengan begitu, mereka yang dicalonkan benar-benar hasil proses kaderisasi,” ucapnya.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • PPP Jabar: Agus Suparmanto non partai dan akan segera jadi kader PPP

    PPP Jabar: Agus Suparmanto non partai dan akan segera jadi kader PPP

    “Beliau kini non partai. Tentu nanti kami harus masukkan beliau jadi kader partai (untuk diusulkan),”

    Bandung (ANTARA) – DPW PPP Jawa Barat mengungkapkan mantan Menteri Perdagangan Agus Suparmanto yang sebelumnya diketahui merupakan kader PKB, kini berstatus non partai dan akan segera dimasukkan sebagai kader PPP untuk maju sebagai calon ketua umum partai ka’bah.

    Plt Ketua DPW PPP Jawa Barat Pepep Saepul Hidayat, mengungkapkan hal ini dilakukan karena yang bersangkutan akan diusung termasuk oleh pihaknya menjadi Ketua Umum PPP selanjutnya (2025-2030).

    “Beliau kini non partai. Tentu nanti kami harus masukkan beliau jadi kader partai (untuk diusulkan),” kata Pepep saat dikonfirmasi di Bandung, Senin.

    Pepep mengakui, selama ini bagaimanapun Agus yang merupakan mantan menteri itu, memang merepresentasikan PKB (Partai Kebangkitan Bangsa).

    Karena itu, Pepep mengatakan pihaknya memastikan dengan teliti bagaimana hubungan Agus dengan PKB saat ini.

    “Dan beliau menyampaikan bahwa ada beberapa peristiwa yang secara mungkin beliau akhirnya lebih meyakini untuk perjuangannya pindah di Partai Persatuan Pembangunan,” katanya.

    Akan tetapi, diakui oleh Pepep, untuk mengusung Agus, pihaknya akan terkendala oleh proses konstitusi partai dan perlu dilakukan perubahan akan hal tersebut.

    “Karena itu kami akan usulkan dilakukannya perubahan AD/ART, tentang syarat seseorang menjadi ketua umum, maju menjadi ketua umum. Tentu itu kan akan dirumuskan di forum tertinggi, itu di muktamar,” ucapnya.

    Pepep mengatakan pengusungan Agus ini karena pihaknya melakukan evaluasi pola kaderisasi dari DPP partai, dan selama ini dirasakan oleh jajaran partai daerah sangat kurang dan berdampak dalam proses pemilu.

    “Ketika menjelang pemilu, mayoritas kader itu telah maksimal dan all-out, tetapi tanpa kekuatan leader dari kaderisasi yang terbentuk, akhirnya dari 11 kali ikut pemilu, PPP hari ini gagal mencapai PT (Presidential Treshold) dan masuk ke Senayan. Tentu ini harus disikapi secara menyeluruh dan kita evaluasi secara total. termasuk orang di dalamnya,” kata Pepep.

    Kaderisasi, lanjut Pepep, menjadi poin utama kelemahan DPP PPP, mengingat partai ini menegaskan mereka adalah partai kader.

    “Nyatanya dari tahun 2020 sampai tahun 2025 hari ini, DPP PPP tidak pernah melakukan ruang-ruang kaderisasi yang terlembaga,” ujarnya.

    Muktamar X dari Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PPP, akan digelar pada 27-29 September 2025 di Jakarta.

    Pewarta: Ricky Prayoga
    Editor: Agus Setiawan
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Baleg jelaskan isu krusial dalam pembahasan RUU Pemilu

    Baleg jelaskan isu krusial dalam pembahasan RUU Pemilu

    Padang (ANTARA) – Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Ahmad Doli Kurnia menjelaskan sejumlah isu krusial terkait pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilu yang masuk ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2026.

    “Ada beberapa isu klasik yang mesti segera dibahas dalam RUU Pemilu ini,” kata Wakil Ketua Baleg DPR RI Ahmad Doli Kurnia di Padang, Senin.

    Hal tersebut disampaikan Wakil Ketua Baleg dalam diskusi bertajuk Desain Penegakan Hukum Pemilu dalam Kodifikasi RUU Pemilu yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas.

    Pertama, kata Doli, publik kerap membahas tentang sistem pemilu itu sendiri dimana saat ini Indonesia menerapkan sistem proporsional terbuka. Sistem pemilu dinilai penting dibahas pada RUU Pemilu untuk mendapatkan wakil rakyat serta demokrasi yang berkualitas.

    Doli mengatakan saat ini pihak-pihak terkait dalam tahap pembahasan penerapan sistem campuran atau menggabungkan antara proporsional terbuka dan tertutup. Kajian ini ditujukan untuk mendapatkan kualitas demokrasi yang jauh lebih baik dari sebelumnya.

    Isu kedua berkaitan dengan presidential threshold maupun ambang batas parlemen (parliamentary threshold). Meskipun Mahkamah Konstitusi sudah menghapuskan ambang batas presidential threshold, pihaknya memandang hal itu tetap perlu dikaji lebih jauh.

    Sebab, perintah Mahkamah Konstitusi secara implisit meminta kepada pembuat undang-undang untuk melakukan rekayasa konstitusi supaya calon presiden tidak banyak dan juga tidak sedikit.

    Begitu juga dengan ambang batas parlemen dimana Mahkamah Konstitusi juga meminta pembuat undang-undang merumuskan ulang secara implisit di bawah empat persen.

    Kemudian, RUU Pemilu juga penting membahas tentang besaran kursi per daerah pemilihan. Hal ini untuk menjawab bagaimana masyarakat mengetahui sosok yang akan dipilih pada hari pencoblosan.

    “Jadi dalam proses pencalonan itu dimungkinkan pemilih lebih mudah mengenal calon-calonnya sehingga besaran per daerah pemilihan kita persempit,” jelas dia.

    Terakhir, anggota Komisi II DPR RI tersebut mengatakan RUU Pemilu juga penting membahas metodologi penghitungan konversi suara ke kursi. Secara umum, RUU Pemilu sudah digaungkan sejak awal 2025. Namun, seiring berjalannya waktu tidak ada alat kelengkapan dewan (AKD) yang mengusulkan pembahasan RUU tersebut sehingga Baleg berinisiatif mengusulkan ulang dan masuk pada Prolegnas Prioritas 2026.

    Pewarta: Muhammad Zulfikar
    Editor: Hisar Sitanggang
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Popularitas Vs Kapasitas, Mengapa Kualitas DPR Terus Dipertanyakan?
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        17 September 2025

    Popularitas Vs Kapasitas, Mengapa Kualitas DPR Terus Dipertanyakan? Nasional 17 September 2025

    Popularitas Vs Kapasitas, Mengapa Kualitas DPR Terus Dipertanyakan?
    Dosen Komunikasi Politik FIKOM Universitas Pancasila dan Pengurus Asosiasi Perguruan Tinggi Ilmu Komunikasi (ASPIKOM) Korwil Jabodetabek.
    YUSRIL
    Ihza Mahendra baru-baru ini, melontarkan kritik tajam terhadap sistem pemilu saat ini. Menurut Yusril, sistem pemilu membuat politisi berbakat sulit muncul ke permukaan, sementara banyak kursi DPR justru diisi selebritas atau pesohor.
    Kondisi ini dianggap sebagai salah satu penyebab menurunnya kualitas DPR yang terus dipertanyakan.
    Saat ini tercatat ada 24 anggota DPR dan DPD periode tahun 2024-2029, yang berasal dari kalangan selebriti (Cnbcindonesia.com). Fenomena politik yang menegaskan betapa kuatnya pengaruh popularitas dalam proses rekrutmen politik.
    Jumlah ini menjelaskan bahwa partai politik cenderung mengandalkan modal sosial berupa popularitas untuk mendulang suara, ketimbang menjalankan proses kaderisasi politik yang berbasiskan kapasitas dan kompetensi.
    Fenomena politisi yang berasal dari kalangan artis memang bukan satu-satunya faktor, karena akar persoalannya terletak pada struktur pemilu dan input partai politik.
    Dengan biaya kampanye yang sangat besar dengan sistem berbasis suara terbanyak (proporsional terbuka), partai politik cenderung mengusung kandidat dari kalangan artis yang memiliki modal popularitas untuk mendongkrak elektabilitas.
    Akibatnya, kandidat dengan kapabilitas memadai, tetapi kurang dikenal publik menjadi sulit bersaing.
    Persoalan ini juga diperparah oleh peran media sosial yang sering kali mengonstruksi citra dan sensasi dibandingkan dengan menawarkan substansi kontestasi.
    Seorang calon yang mudah “viral” lebih diuntungkan daripada seorang calon yang hanya menawarkan program kerja dan solusi atas ragam masalah rakyat, tapi tidak dikenal baik oleh publik.
    Akibatnya, kualitas DPR akhirnya menjadi lemah dalam fungsi legislasi dan pengawasan.
    Menyalahkan politisi selebriti semata tidak akan menemukan keseluruhan jawaban. Akar masalahnya pada desain institusi politik.
    Oleh karena itu, revisi Undang-undang Pemilu semestinya fokus untuk memperbaiki proses rekrutmen partai, transparansi anggaran dan mendorong literasi politik bagi pemilih.
    Selama ini, proses rekrutmen partai tidak dijalankan secara berjenjang dan tidak berdasarkan kapabilitas kader, melainkan lebih menekankan popularitas dan ketokohan.
    Partai politik bertumpu pada kandidat yang bisa menjadi pendulang suara (
    vote getter
    ), yakni para selebriti dan tokoh besar. Padahal mereka belum tentu memiliki kapabilitas sebagai wakil rakyat.
    Pernyataan Yusril berkorelasi saat putusan Mahkamah Konstitusi mengubah ketentuan penting dalam pemilu, yakni penghapusan ambang batas pencalonan presiden (
    presidential Threshold
    ).
    Putusan MK ini dalam praktiknya akan memperlebar pencalonan politik, yang bisa menjadi alasan bagi pemerintah untuk meninjau UU Pemilu serta UU partai politik.
    Oleh karena itu, perlu dicatat bahwa perubahan aturan tanpa perencanaan institusional yang matang bisa memunculkan konsekuensi besar, yakni selesai dengan persoalan satu maka muncul persoalan baru.
    Misalnya, kebijakan menaikan standar pendidikan minimum calon anggota legislatif barangkali akan efektif untuk menyeleksi figur selebriti. 
    Namun, di sisi lain akan mengecualikan individu yang memiliki kapasitas pada bidang tertentu atau malah mengurangi keragaman perwakilan politik.
    Dalam sistem politik demokrasi kerapkali dibenturkan dengan dilema antara inklusivitas dan kualitas. Inklusivitas menegaskan transparansi agar publik bisa terlibat seluas-luasnya.
    Namun, inklusivitas tanpa alat ukur yang jelas akan berdampak menurunkan kualitas wakil rakyat.
     
    Sebaliknya, jika hanya memilih kualitas dengan seleksi yang ketat, demokrasi dianggap elitis dan kehilangan sifat partisipasi masyarakat. Hal itu bertentangan dengan jargon demokrasi dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.
    Oleh karena itu, tantangan utama dalam menemukan keseimbangan tersebut dengan menjaga keterbukaan demokrasi dan sekaligus memastikan kapabilitas dan integritas wakil rakyat.
    Jika tujuan reformasi untuk memperbaiki kualitas wakil rakyat (DPR), ada beberapa faktor penting yang lebih tepat daripada sekadar membidik politisi selebriti.
    Pertama, perkuat internal partai politik. Partai harus menjalankan mekanisme penjaringan yang menekankan pada kompetensi dan rekam jejak kader.
    Mempertimbangkan popularitas dan elektabilitas tentu tidak sepenuhnya salah, tetapi harus berpijak pada kapasitas dan rekam jejak.
    Dalam demokrasi elektoral, popularitas dan elektabilitas memang menjadi faktor penting dalam menentukan peluang kemenangan seorang kandidat dalam kontestasi pemilu.
    Namun, partai politik tidak boleh semata-mata terpaku pada aspek tersebut, partai mempunyai tanggung jawab besar untuk menjalankan tahapan rekrutmen yang berdasarkan pada kompetensi, integritas serta kualitas kader internal.
    Dengan demikian, partai politik semestinya tidak sekadar berorientasi pada kemenangan jangka pendek yang selama ini menjadi prioritas dalam setiap kontestasi demokrasi, tetapi juga harus memastikan hadirnya wakil rakyat yang benar-benar mampu menjawab setiap persoalan publik yang semakin rumit.
    Kemudian, partai politik mempunyai tanggang jawab untuk menciptakan kaderisasi yang berkelanjutan, menanamkan nilai-nilai integritas kepada kader, serta mengutamakan kepentingan publik di atas matematika elektoral semata.
    Dengan cara seperti itu, partai diharapkan tidak hanya menjadi mesin politik dalam pemilu langsung, tetapi juga menjadi lembaga politik yang berkomitmen dalam memperjuangkan aspirasi masyarakat dan memperkokoh kualitas demokrasi.
    Kedua, terkait dengan pendanaan dan batasan pengeluaran kampanye. Salah satu instrumen penting bagaimana pendanaan dan pengeluaran kampanye bisa menciptakan titik keseimbangan antara ketenaran dengan daya tarik personal dengan seorang calon yang menawarkan program substansial.
    Dengan demikian, maka kontestasi tidak hanya dimenangkan bagi mereka yang mempunyai kekuatan finansial dan ketenaran, melainkan juga memberikan ruang bagi kandidat dengan berbasiskan kapasitas, visi dan misi yang jelas.
    Kebijakan ini satu sisi juga mendorong partai politik untuk lebih memprioritaskan dalam menyeleksi kandidat serta mendorong untuk lebih fokus pada penyusunan program kerja yang sesuai dengan akar masalah di masyarakat.
    Ketiga, literasi politik bagi publik. Literasi politik bagi publik menjadi faktor penting untuk memperkuat kualitas demokrasi.
     
    Melalui pendidikan pemilih (
    voter education
    ), pemilih tidak hanya terlibat untuk memahami tahapan pemilu, tetapi juga dibekali kemampuan membaca pesan politik secara kritis dan holistik.
    Dengan demikian, mereka tidak akan terjebak pada pencitraan semu yang dikonstruksi melalui popularitas, kampanye berbiaya fantastis atau memanipulasi media.
    Pemilih yang melek politik akan lebih rasional dan kritis dalam menentukan pilihannya, sehingga keputusan politik tidak hanya sekadar faktor emosional atau popularitas kandidat semata.
    Selain itu, literasi politik juga mendorong publik untuk menilai kapasitas, rekam jejak, serta integritas calon secara obyektif.
    Hal ini bisa menciptakan ekosistem politik yang produktif, karena partai politik akan terdorong untuk mencalonkan sosok yang berkualitas dan mempunyai visi jangka panjang yang berkelanjutan.
    Dengan meningkatnya kesadaran kritis pemilih, diharapkan arah demokrasi bergerak menuju representasi dan tidak terjebak lagi dalam politik pencitraan.
    Sejalan dengan pernyataan Yusril yang menilai sistem pemilu sekarang ini membuat kualitas DPR menurun karena banyaknya kursi diisi oleh selebriti atau pesohor, literasi politik menjadi relevan untuk memperkokoh posisi pemilih agar lebih kritis terhadap manipulasi dan pencitraan.
    Jika publik mampu menilai kapabilitas dan integritas calon secara obyektif, maka insentif partai politik untuk mengusung figur popular akan semakin berkurang.
    Dengan demikian, perubahan sistem pemilu yang diusulkan Yusril bisa berjalan seiring dengan peningkatan kualitas kesadaran politik warga.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Yusril: Sistem Pemilu Sekarang Bikin Orang Berbakat Kalah dari Artis
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        4 September 2025

    Yusril: Sistem Pemilu Sekarang Bikin Orang Berbakat Kalah dari Artis Nasional 4 September 2025

    Yusril: Sistem Pemilu Sekarang Bikin Orang Berbakat Kalah dari Artis
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Menteri Koordinator (Menko) bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan RI Yusril Ihza Mahendra menyebut sistem pemilihan umum (pemilu) saat ini membuat orang-orang yang berbakat di bidang politik sulit dikenal publik.
    Dengan begitu, kata Yusril, banyak posisi anggota DPR yang diisi oleh selebritas atau artis.
    “Sistem sekarang ini membuat orang yang berbakat politik tidak bisa tampil ke permukaan, maka diisi oleh para selebritas, diisi oleh artis, dan kita lihat ada kritik terhadap kualitas anggota DPR sekarang ini, dan pemerintah menyadari hal itu,” ungkap Yusril di Kompleks Istana, Jakarta, Kamis (4/9/2025).
    Menurut Yusril, pemerintah tengah berencana melakukan perubahan terhadap Undang-Undang terkait pemilu dan partai politik.
    Terlebih, sudah ada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memutuskan untuk menghapus ketentuan ambang batas pencalonan presiden dan calon wakil presiden atau
    presidential threshold
    .
    “Hal-hal yang lain juga, perubahan terhadap Undang-Undang Pemilu, Undang-Undang Kepartaian, itu memang sedang akan kita lakukan, karena sudah ada putusan dari Mahkamah Konstitusi yang mengatakan bahwa sistem pemilu kita harus diubah, tidak ada lagi
    threshold
    dan lain-lain sebagainya,” jelasnya.
    Selain itu, ia menyebut Presiden RI Prabowo Subianto pernah menegaskan bahwa perlu dilakukan reformasi politik.
    “Pak Presiden pun di awal-awal masa pemerintahan beliau menegaskan bahwa kita perlu melakukan reformasi politik yang seluas-luasnya,” ucap Yusril.
    “Supaya partisipasi politik itu terbuka bagi siapa saja, dan tidak hanya orang-orang yang punya uang, tidak saja mereka yang selebritas, artis yang menjadi politisi, tapi harus membuka kesempatan pada semua,” sambungnya.
    Badan Legislasi (Baleg) DPR ditugaskan DPR membahas revisi UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
    Revisi itu dijalankan sebagai inisiatif DPR. Revisi U Pemilu masuk Prolegnas 2025 alias harus selesai tahun ini.
    Revisi itu akan dijalankan termasuk menindaklanjuti Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135/PUU-XXII/2024, yang memisahkan pemilu nasional dan daerah mulai 2029.
    Pakar hukum tata negara sekaligus dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI), Titi Anggraini menjelaskan, pembahasan revisi UU Pemilu harus disegerakan. Apalagi undang-undang tersebut belum lagi diubah sejak Pemilu 2019 dan kini membutuhkan penyesuaian, khususnya setelah adanya sejumlah putusan MK.
    “Pertama ya tentu saja harus segerakan pembahasan RUU Pemilu. Karena putusan MK itu bukan obat bagi semua persoalan pemilu kita,” ujar ujar Titi dalam diskusi daring bertajuk Ngoprek: Tindak Lanjut Putusan MK Terkait Penyelenggaraan Pemilu Anggota DPRD, Minggu (27/7/2025).
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Gelar retreat dan konsolidasi di Yogyakarta, aktivis 98 desak Prabowo reshuffle kabinet

    Gelar retreat dan konsolidasi di Yogyakarta, aktivis 98 desak Prabowo reshuffle kabinet

    Sumber foto: Izan Raharjo/elshinta.com.

    Gelar retreat dan konsolidasi di Yogyakarta, aktivis 98 desak Prabowo reshuffle kabinet
    Dalam Negeri   
    Editor: Sigit Kurniawan   
    Senin, 11 Agustus 2025 – 23:11 WIB

    Elshinta.com – Para aktivis 98 menggelar retreat dan konsolidasi di Yogyakarta menyikapi situasi Indonesia akhir-akhir ini. Para pembantu Presiden dinilai tidak mampu merespon cepat. Merekapun mendesak agar Prabowo segera melakukan reshuffle kabinet. 

    “Kami menegaskan, reshuffle kabinet bukan sekadar rotasi jabatan, tetapi langkah strategis untuk memastikan hanya pejabat dengan rekam jejak, integritas, dan keberpihakan pada rakyat yang menduduki posisi kunci pemerintahan,” ujar Presidium Aktivis 98 Indonesia, M. Surya dalam konferensi pers di Pendopo Lawas, Alun-Alun Utara Yogyakarta, Minggu (10/08/2025).
     
    Retreat dan konsolidasi Aktivis 98 Indonesia  tersebut digelar di Lor Sambi, Kaliurang, Yogyakarta pada 9–10 Agustus 2025. Konsolidasi ini dihadiri perwakilan dari Jakarta, Jawa Barat, Lampung, Yogyakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Timur, NTB, Sumatera Barat, dan Sulawesi Selatan.

    Hasil dari retreat dan konsolidasi tersebut, menyatakan:

    1. Mendesak Presiden Prabowo segera melakukan reshuffle kabinet.

    2. Mengkaji ulang kebijakan insentif pajak yang membebani rakyat.

    3. Menegaskan bahwa Danantara bukan milik elit, melainkan milik rakyat. 

    4. Reformasi UU Politik yang Demokratis

    Sistem politik di Indonesia masih membatasi hak berpolitik setiap warga negara. Oleh sebab itu kami meminta kepada pemerintah untuk segera merevisi UU Partai Politik dan UU Pemilu. 

    1. Hak politik rakyat harus dilindungi oleh negara, termasuk hak dalam mendirikan partai politik, agar tidak di dominasi oleh partai-partai besar atau yang berkuasa.
    2. Pemilu Tahun 2029 Perlementary Threshold dan Presidential Threshold harus 0%
    3. Pemilu Nasional dan Pemilu Daerah harus di pisah sesuai putusan MK 135
    4. Pilkada harus di pilih langsung oleh rakyat
    5. Atur Verifikasi Partai Politik harus diatur oleh MK, agar senafas dengan putusan MK 135.

    Dalam konsolidasi di Yogyakarta ini mereka juga menyoroti sejumlah kebijakan pemerintahan Prabowo diantaranya; 

    1. Kebijakan Insentif Pajak yang Membebani Rakyat. Kenaikan beban pajak dan implementasi insentif yang tidak tepat sasaran berpotensi menggerus daya beli masyarakat, terutama kelas menengah ke bawah. Kebijakan insentif yang terlalu menguntungkan korporasi besar dapat: Mengurangi penerimaan negara dari sektor yang seharusnya berkontribusi lebih besar. Memperlebar kesenjangan ekonomi antara kelompok kaya dan miskin.

    “Kami mendesak pemerintah untuk melakukan reformulasi kebijakan perpajakan dengan prinsip keadilan fiskal: beban terbesar harus ditanggung oleh pihak yang memiliki kemampuan lebih, bukan oleh rakyat kebanyakan,” katanya seperti dilaporkan Kontributor Elshinta, Izan Raharjo, Senin (11/8).

    2. Danantara untuk Kepentingan Publik, Bukan Elit. Pembentukan super holding BUMN bernama Danantara harus dipastikan berada di bawah kendali negara demi kepentingan publik. Modal dan aset Danantara berasal dari kekayaan negara yang dibangun dengan keringat rakyat.

    Potensi pengelolaan yang tidak transparan dapat memunculkan praktik oligarki ekonomi baru. Oleh karena itu, kami menuntut pemerintah membentuk mekanisme pengawasan independen yang melibatkan publik, akademisi, dan lembaga antikorupsi agar Danantara menjadi instrumen kedaulatan ekonomi, bukan sarana monopoli segelintir elit politik atau bisnis.  

    Sumber : Radio Elshinta

  • Wamendagri: Revisi UU Pemilu Jangan untuk Kepentingan Jangka Pendek dan Partisan
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        27 Juli 2025

    Wamendagri: Revisi UU Pemilu Jangan untuk Kepentingan Jangka Pendek dan Partisan Nasional 27 Juli 2025

    Wamendagri: Revisi UU Pemilu Jangan untuk Kepentingan Jangka Pendek dan Partisan
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Wakil Menteri Dalam Negeri (Wamendagri)
    Bima Arya
    menekankan pentingnya penyusunan revisi Undang-Undang Pemilu yang mengedepankan
    kepentingan nasional
    jangka panjang ketimbang kepentingan jangka pendek dan partisan.
    “Yang perlu kita pastikan adalah jangan sampai kemudian proses revisi undang-undang ini lebih kental terhadap kepentingan jangka pendek atau kepentingan partisan. Itu paling utamanya,” kata Bima dalam diskusi daring Ngoprek: Tindak Lanjut Putusan MK Terkait
    Penyelenggaraan Pemilu
    Anggota DPRD, Minggu (27/7/2025).
    Menurut Bima, pemerintah telah mulai membahas berbagai opsi tindak lanjut atas putusan MK, termasuk dampaknya terhadap sistem politik dan kelembagaan daerah.
    Ia menyebut, pembahasan ini dilakukan bersama parlemen maupun lintas kementerian.
    “Banyak yang bertanya apakah sudah direspons? Ya, tidak mungkin tidak. Pasti sudah kami bahas, sudah kami telusuri satu-satu dampaknya,” ujarnya.
    Bima menyampaikan tiga poin utama yang harus menjadi pegangan dalam menyikapi putusan MK dan rencana
    revisi UU Pemilu
    .
    Pertama, revisi harus memperkuat pelembagaan politik, terutama dalam konteks sistem presidensial dan otonomi daerah.
    Ia menyoroti belum adanya Undang-Undang tentang Kepresidenan, padahal sistem presidensial Indonesia seharusnya memiliki regulasi yang mengatur secara jelas kewenangan eksekutif.
    “Kita menganut sistem presidensial, tetapi tidak ada undang-undang kepresidenan. Ini harus jelas,” katanya.
    Kedua, Bima menekankan pentingnya menempatkan reformasi politik dalam kerangka kepentingan nasional dan arah menuju Indonesia sebagai negara maju dalam 20-25 tahun ke depan.
    Ia mengingatkan bahwa sistem politik yang tidak selaras dengan target pembangunan bisa menjadi penghambat.
    “Kalau dulu di 1998-1999, semangat kita ya euforia membuka keran demokratisasi, gitu. Belum kita berbicara Indonesia maju, Indonesia emas. Jauh banget rasanya saat itu. Nah, sekarang ini dimensinya berbeda,” imbuh politikus Partai Amanat Nasional (PAN) ini.
    Ketiga, Bima menyinggung pentingnya memperkuat fungsi partai politik dan pendanaan politik.
    Ia menyambut baik wacana penguatan bantuan dana politik, namun menekankan pentingnya transparansi dan integritas.
    “Jadi
    party funding
    , pendanaan politik ini sangat penting sekali. Teman-teman KPK sudah bolak-balik diskusi dengan Kementerian Dalam Negeri, Bappenas yang memasukkan itu ke dalam rencana pemberantasan korupsinya, dan tentunya bagaimana menyandingkan antara dana politik, bantuan politik itu dengan sistem integritas partai politik,” jelas eks Wali Kota Bogor ini.
    Selain itu, Bima juga mendorong pemanfaatan teknologi dalam proses pemilu, khususnya untuk tahapan penghitungan dan pemungutan suara.
    Ia juga menyinggung tantangan dalam pelaksanaan pemilu serentak, termasuk potensi ketimpangan antara kepentingan lokal dan nasional.
    Ia menegaskan bahwa keserentakan yang telah dicapai saat ini memberikan banyak manfaat dalam hal perencanaan anggaran dan keselarasan program pusat-daerah, dan karenanya perlu dijaga.
    “Jangan sampai semua itu diuyak-uyak, gitu ya, dipukul ratakan semua. Mari kita letakkan tadi, satu, dalam konteks kita membangun sistem partai politik seperti apa, kedua, kepentingan nasional kita, integrasi kita seperti apa,” ungkapnya.
    Terakhir, ia mengingatkan bahwa tidak ada sistem politik yang sempurna.
    Karena itu, revisi UU Pemilu harus dilakukan dengan kehati-hatian dan dilandasi visi kebangsaan jangka panjang.
    Sebagai informasi, Komisi II DPR rencananya akan memulai pembahasan revisi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) pada 2026.
    Anggota Komisi II DPR, Muhammad Khozin, mengatakan, pengembangan terkait poin-poin yang akan direvisi dalam UU Pemilu sudah dilakukan dengan menggelar rapat dengar pendapat umum (RDPU) dan diskusi.
    “Kalau rancangan timeline yang ada di Komisi II, kalau tidak ada aral melintang, Insya Allah di tahun 2026 itu sudah mulai dilakukan (revisi UU Pemilu),” ujar Khozin, di Media Center Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Jakarta, Kamis (8/5/2025).
    Ia mencatat dua klaster dalam revisi UU Pemilu, yakni klaster teknis dan klaster politis.
    Klaster teknis adalah pembahasan terkait sistem pemilu, ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold, hingga ambang batas parlemen atau
    parliamentary threshold.
    “(Klaster politis) Sudah banyak dikupas bagaimana sistem yang ideal di tengah kerangka teoretis dan fenomena empiris di lapangan,” ujar Khozin.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • DPR RI: Putusan MK soal pemisahan pemilu berpotensi langgar konstitusi

    DPR RI: Putusan MK soal pemisahan pemilu berpotensi langgar konstitusi

    MK telah memasuki ranah kebijakan hukum terbuka (open legal policy) yang seharusnya menjadi kewenangan pembentuk undang-undang, yaitu DPR dan pemerintah

    Ponorogo, Jatim (ANTARA) – Anggota DPR RI Supriyanto menilai Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135/PUU-XXII/2024 yang memisahkan pelaksanaan pemilu nasional dan pemilu daerah berpotensi melanggar konstitusi.

    “Pemilu seharusnya digelar setiap lima tahun sekali untuk memilih presiden, wakil presiden, DPR, DPD, dan DPRD. Kalau dipisah dan jaraknya 2,5 tahun, ini jelas tidak sesuai konstitusional,” ujar Supriyanto dalam keterangannya, Minggu.

    Supriyanto menyebut, jeda waktu yang terlalu panjang antara dua jenis pemilu tersebut mengakibatkan siklus pemilihan anggota DPRD tidak lagi 5 tahunan, sehingga tidak sesuai dengan amanat Pasal 22E Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.

    Selain itu, menurut Supriyanto, MK telah memasuki ranah kebijakan hukum terbuka (open legal policy) yang seharusnya menjadi kewenangan pembentuk undang-undang, yaitu DPR dan pemerintah.

    “MK bukan pembuat undang-undang. Tugas pokok MK adalah melakukan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945, bukan menambahkan norma baru dalam perundang-undangan,” ujarnya.

    Ia juga menilai putusan terbaru MK tersebut menunjukkan inkonsistensi, merujuk pada sikap MK sebelumnya dalam perkara presidential threshold yang selalu menyebutnya sebagai ranah open legal policy.

    Sebelumnya, dalam putusan yang dibacakan pada 26 Juni 2025 tersebut, MK menyatakan pemilu nasional untuk memilih presiden dan wakil presiden, DPR RI, serta DPD RI digelar terpisah dari pemilu daerah yang meliputi pemilihan DPRD provinsi/kabupaten/kota serta kepala daerah dan wakil kepala daerah.

    Pemilu Daerah dijadwalkan dilaksanakan 2 hingga 2,5 tahun setelah Pemilu Nasional.

    “Dulu uji materi presidential threshold selalu ditolak dengan alasan itu wewenang pembentuk undang-undang. Tapi sekarang, MK justru menambahkan norma baru soal pemisahan pemilu,” katanya.

    Supriyanto juga mengingatkan bahwa pada 2019, MK telah mengeluarkan Putusan Nomor 55/PUU-XVII/2019 yang menyarankan model pemilu serentak.

    Atas dasar putusan itu, pemerintah dan DPR menyusun regulasi dan menyelenggarakan Pemilu Serentak pada 2024.

    “Pemilu serentak sudah dijalankan 2024. Tapi belum lama, MK kembali mengubah arah dengan putusan baru ini yang justru memisahkan pemilu nasional dan daerah,” ujarnya.

    Ia menilai keputusan tersebut dapat mengganggu konsistensi siklus kepemimpinan serta sistem pelembagaan pemilu yang telah dibangun secara lima tahunan.

    “Kita butuh kepastian hukum dan konsistensi dari MK sebagai penjaga konstitusi. Bukan justru memperumit tata kelola demokrasi,” pungkasnya.

    Pewarta: Destyan H. Sujarwoko
    Editor: Edy M Yakub
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Utak-atik MK Koreksi Produk Politik DPR

    Utak-atik MK Koreksi Produk Politik DPR

    Utak-atik MK Koreksi Produk Politik DPR
    Penulis
    JAKARTA, KOMPAS.com

    Mahkamah Konstitusi
    (
    MK
    ) kembali disorot
    DPR
    setelah memutuskan untuk memisah pemilihan umum (
    pemilu
    ) nasional dan daerah mulai 2029.
    Dalam putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024, MK memutuskan pemilu nasional hanya ditujukan untuk memilih anggota DPR, DPD, dan presiden/wakil presiden. Sedangkan pemilihan anggota DPRD provinsi hingga kabupaten/kota akan dilaksanakan bersamaan dengan
    Pilkada
    .
    Putusan ini disorot DPR karena MK terkesan melampaui kewenangannya sebagai penjaga konstitusi atau
    guardian of constitution
    .
    Pasalnya, pemisahan pemilu nasional dan daerah akan berdampak terhadap sejumlah undang-undang, yakni Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang
    Pemilu
    , Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2019 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3), dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
    Namun sebelum putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024, MK sudah beberapa kali melakukan koreksi terhadap undang-undang yang dibentuk dan disahkan oleh DPR.
    Banyak dari produk politik DPR yang berkaitan dengan sistem kepemiluan di Indonesia “direvisi” oleh MK. Apa saja koreksi MK terhadap produk politik buatan DPR terkait kepemiluan? Berikut daftarnya
    Pada Senin (16/10/2023), MK mengabulkan perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 terkait usia minimal calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) dalam
    UU Pemilu
    .
    Pemohon gugatan adalah mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Surakarta (Unsa) bernama Almas Tsaqibbirru.
    Dalam putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023, Mahkamah membolehkan seseorang yang belum berusia 40 tahun mencalonkan diri sebagai capres atau cawapres selama berpengalaman menjadi kepala daerah atau jabatan lain yang dipilih melalui pemilihan umum.
    Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu sedianya berbunyi, “Persyaratan menjadi calon presiden dan calon wakil presiden adalah: berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun.”
    Atas putusan MK ini, seseorang yang pernah menjabat sebagai kepala daerah atau pejabat negara lainnya yang dipilih melalui pemilu bisa mencalonkan diri sebagai presiden atau wakil presiden meski berusia di bawah 40 tahun.
    “Menyatakan Pasal 169 huruf q Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109) yang menyatakan, “berusia paling rendah 40 tahun” bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum, termasuk pemilihan kepala daerah,” ujar Hakim Konstitusi Anwar Usman saat itu.
    Diketahui, putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023 menjadi gerbang masuk Gibran Rakabuming Raka untuk mendaftar sebagai cawapres dari Prabowo subianto pada pemilihan presiden (Pilpres) 2024.
    MK kemudian mengabulkan sebagian gugatan ambang batas parlemen atau
    parliamentary threshold
    (PT) sebesar 4 persen yang dimuat Pasal 414 ayat (1) UU Pemilu.
    Perkara yang terdaftar dengan Nomor 116/PUU-XXI/2023 ini diajukan oleh Ketua Pengurus Perludem Khoirunnisa Nur Agustyati dan Bendahara Pengurus Yayasan Perludem Irmalidarti.
    Dalam putusannya, MK menyatakan norma Pasal 414 ayat (1) UU Pemilu atau ambang batas parlemen 4 persen tetap konstitusional sepanjang tetap berlaku untuk pemilihan anggota DPR pada 2024.
    Selanjutnya,, MK menyatakan aturan itu konstitusional bersyarat untuk diberlakukan pada pemilihan DPR pada 2029 dan pemilu berikutnya sepanjang telah dilakukan perubahan dengan berpedoman pada beberapa syarat yang sudah ditentukan.
    Dengan kata lain, MK menyebut ambang batas 4 persen harus diubah sebelum Pemilu serentak tahun 2029.
    “Dalam pokok permohonan; satu, mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian,” kata Ketua MK Suhartoyo membacakan putusan di Gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis (29/2/2023).
    Setelah itu, mengatur ulang besaran ambang batas pencalonan kepala daerah yang diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (Pilkada).
    MK lewat putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024 menyatakan inkonstitusional Pasal 40 ayat (3) UU 10/2016 yang mengatur hanya partai politik yang memperoleh kursi di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) yang bisa mencalonkan kepala daerah.
    Dengan adanya putusan itu, partai politik atau gabungan parpol peserta pemilu yang memiliki suara sah bisa mengajukan calon kepala daerah tanpa harus mendapatkan kursi di DPRD.
    Kemudian, ambang batas pencalonan kepala daerah oleh parpol atau gabungan parpol tidak lagi sebesar 25 persen perolehan suara hasil pemilihan anggota DPRD atau 20 persen kursi di DPRD.
    Setelah mengubah parliamentary threshold sebesar 4 persen, MK juga menghapus ambang batas pencalonan presiden atau
    presidential threshold
    sebesar 20 persen.
    Penghapusan presidential threshold ini diputuskan dalam sidang perkara Nomor 62/PUU-XXII/2024 yang digelar pada Kamis (2/1/2025).
    Diketahui, UU Pemilu mengatur ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden oleh parpol atau gabungan parpol adalah paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR atau 25 persen dari suara sah nasional.
    MK menilai,
    presidential threshold
    sebagaimana tercantum dalam Pasal 222 UU Pemilu dinilai bertentangan dengan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, serta hak politik dan kedaulatan rakyat.
    “Rezim ambang batas pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden (presidential threshold) berapapun besaran atau angka persentasenya adalah bertentangan dengan Pasal 6A ayat (2) UUD NRI Tahun 1945,” ujar Wakil Ketua MK Saldi Isra.
    Dalam batas penalaran yang wajar, MK memandang
    presidential threshold
    dalam Pasal 222 UU Pemilu menutup dan menghilangkan hak konstitusional parpol untuk mengusulkan capres-cawapres.
    Terutama, partai politik yang tidak memiliki persentase suara sah secara nasional atau persentase jumlah kursi di DPR pada pemilu sebelumnya.
    MK berpandangan, penerapan angka ambang batas minimal persentase tersebut terbukti tidak efektif dalam menyederhanakan jumlah partai politik peserta pemilu.
    Di sisi lain, penetapan besaran atau persentasenya dinilai tidak didasarkan pada penghitungan yang jelas dengan rasionalitas yang kuat.
    Terbaru, MK memutuskan memisah antara pemilihan umum (Pemilu) nasional dan daerah mulai 2029 dalam putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024.
    Artinya, pemilu nasional hanya ditujukan untuk memilih anggota DPR, DPD, dan presiden/wakil presiden. Sedangkan Pileg DPRD provinsi hingga kabupaten/kota akan dilaksanakan bersamaan dengan Pilkada.
    Pakar hukum tata negara Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (STHI) Jentera, Bivitri Susanti, menilai reaksi partai politik yang resisten dengan putusan MK soal pemisahan pemilu nasional dan lokal disebabkan oleh kenyamanan yang terganggu.
    Menurut Bivitri, pengurus partai politik sudah terlanjur nyaman dengan sistem pemilu yang berlaku selama ini sehingga putusan MK tersebut membuat mereka protes.
    “Tentu saja Nasdem mungkin, maupun partai-partai lain menolak karena kan merasa apa yang sudah nyaman buat mereka diacak-acak oleh MK,” ucap Bivitri di Gedung MK, Jakarta Pusat, Selasa (1/7/2025).
    Bivitri juga menepis anggapan yang dikemukakan Partai Nasdem bahwa putusan MK tersebut inkonstitusional.
    Menurut dia, apa yang diputuskan Mahkamah Konstitusi sudah sesuai dengan tugas pokok dan fungsi sebagai penjaga konstitusi negara.
    Ia mengatakan, bukti bahwa putusan MK masih dalam koridor tugas mereka adalah adanya permintaan rekayasa konstitusional kepada pembentuk undang-undang.
    MK disebut masih menyerahkan kewenangan pemerintah dan DPR untuk membentuk aturan yang sesuai dengan penafsiran konstitusi.
    “Karena lihat saja, mereka (MK) minta tolong pembentuk undang-undang kan. Bikin dong rekayasa konstitusionalnya. Karena mereka memang tidak ada intensi untuk bikin undang-undang, mereka benar-benar hanya menafsirkan pasal yang diminta,” kata Bivitri.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.