Produk: PNBP

  • Anggaran Defisit Rp31,2 triliun, Penerimaan Negara Anjlok!

    Anggaran Defisit Rp31,2 triliun, Penerimaan Negara Anjlok!

    PIKIRAN RAKYAT – Kementerian Keuangan (Kemenkeu) akhirnya angkat bicara soal hilangnya dokumen Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Kinerja dan Fakta (APBN KiTa) edisi Februari 2025 dari situs resmi mereka.

    Laporan yang sempat muncul pada Rabu pagi, 12 Maret 2025, tiba-tiba tak lagi bisa diakses menjelang siang.

    Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kemenkeu, Deni Surjantoro, menjelaskan bahwa dokumen tersebut ditarik karena konferensi pers dimajukan. Sehingga, bisa dijelaskan secara lebih komprehensif oleh Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani.

    Akan tetapi, apa saja isi laporan yang sempat terungkap sebelum dihapus? Berikut ringkasan poin-poin penting yang berhasil dihimpun:

    Penerimaan Negara Merosot Tajam

    Dokumen APBN KiTa edisi Februari 2025 mencatat realisasi pendapatan negara hanya mencapai Rp157,32 triliun per 31 Januari 2025 — setara 5,24 persen dari target tahunan Rp3.005,13 triliun. Angka ini anjlok 28,3 persen dibandingkan Januari 2024 yang mencapai Rp219,3 triliun.

    Penerimaan perpajakan hanya mencapai Rp115,18 triliun (4,62 persen dari target), turun dari tahun sebelumnya yang menyentuh Rp175,8 triliun. Rinciannya:

    Pajak: Rp88,89 triliun (4,06 persen dari target) Bea dan Cukai: Rp26,29 triliun (8,72 persen dari target)

    Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) pun ikut turun, hanya mencapai Rp42,13 triliun (8,2 persen dari target), lebih rendah dari Januari 2024 yang mencapai Rp43,45 triliun.

    Belanja Negara Ikut Turun

    Realisasi belanja negara hingga 31 Januari 2025 tercatat Rp180,77 triliun atau 4,99 persen dari target, turun 1,84 persen dari tahun lalu (Rp184,19 triliun). Komponen belanja terdiri dari:

    Transfer ke daerah: Rp 94,73 triliun (10,3 persen dari target) Belanja pemerintah pusat: Rp 86,04 triliun (3,19 persen dari target) Belanja K/L: Rp 24,38 triliun (2,1 persen dari target) Belanja non-K/L: Rp 61,66 triliun (4 persen dari target) Defisit APBN Kian Melebar

    Per 31 Januari 2025, APBN mengalami defisit Rp23,45 triliun atau 0,1 persen dari PDB. Ini berbanding terbalik dengan Januari 2024 yang mencatat surplus Rp35,12 triliun (0,16 persen dari PDB).

    Defisit makin dalam hingga akhir Februari 2025, tercatat mencapai Rp31,2 triliun (0,13 persen dari PDB).

    “Saya ingatkan kembali, APBN didesain dengan defisit Rp 616,2 triliun. Jadi, defisit 0,13 persen ini masih di dalam target desain APBN sebesar 2,53 persen dari PDB,” ujar Sri Mulyani Indrawati dalam konferensi pers APBN KiTa edisi Januari 2025, Kamis 13 Maret 2025.

    Realisasi pendapatan hingga akhir Februari 2025 mencapai Rp316,9 triliun (10,5 persen dari target tahunan), turun dari tahun lalu yang mencapai Rp439,2 triliun. Belanja negara pun menurun ke Rp348,1 triliun (9,6 persen dari target), lebih kecil dari realisasi Februari 2024 yang mencapai Rp470,3 triliun.

    Meski demikian, keseimbangan primer masih mencatat surplus Rp31,2 triliun. Namun, angka ini anjlok drastis dibandingkan surplus tahun lalu sebesar Rp132,1 triliun.

    Mengapa APBN KiTa Februari 2025 Dihapus?

    Menurut Sri Mulyani, penghapusan sementara laporan APBN KiTa Februari 2025 bertujuan agar publik mendapat informasi yang lebih akurat dan terstruktur saat konferensi pers.

    “Kita melihat ada beberapa perlambatan, terutama karena adanya koreksi harga-harga komoditas yang memberi kontribusi penting bagi perekonomian kita seperti batu bara, minyak, dan nikel,” katanya.

    Sri Mulyani juga menambahkan, restitusi pajak yang cukup besar di awal tahun turut mempengaruhi penurunan penerimaan.

    “Namun demikian, pencapaian akan terus diupayakan optimalisasi melalui berbagai inisiatif strategis dan perbaikan administratif,” ucapnya.

    Sri Mulyani menegaskan bahwa meski defisit membesar, APBN masih sesuai jalur Undang-Undang No 62 Tahun 2024.

    “Saya ingatkan kembali kolom sebelahnya APBN didesain dengan defisit Rp616,2 triliun. Jadi defisit 0,13 persen ini tentu masih di dalam target desain APBN sebesar 2,53 persen dari PDB,” tuturnya.***

    Simak update artikel pilihan lainnya dari kami di Google News

  • APBN di Awal 2025 Defisit, Menko Airlangga: Baru Dua Bulan – Halaman all

    APBN di Awal 2025 Defisit, Menko Airlangga: Baru Dua Bulan – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Menteri Koordinator (Menko) Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto tak khawatir Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) awal 2025 mengalami defisit.

    Realisasi APBN pada Februari 2025 mengalami defisit sebesar Rp 31,2 triliun atau 0,13 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).

    Airlangga berharap pada Maret ini angkanya bisa lebih baik lagi. 

    Menurut dia, biasanya pada bulan tersebut angkanya memang akan membaik.

    “Ini kan baru dua bulan, jadi diharapkan bisa lebih tinggi lagi. Secara natural biasanya Maret lebih tinggi karena itu menutup laporan perpajakan,” kata Airlangga kepada wartawan di Jakarta, dikutip Sabtu (15/3/2025).

    Selain itu, ia mengatakan dari segi defisit APBN di awal tahun ini masih dalam rentang aman yang ditentukan pemerintah.

    “Jadi, pemerintah optimis bahwa penerimaan dan pembelanjaan akan sesuai dengan apa yang direncanakan di 2025,” ujar Airlangga.

    Ia optimistis penerimaan dari mineral, batu bara, dan cukai bisa menutup defisit APBN pada Maret ini.

    Sebelumnya, Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani mengumumkan bahwa APBN untuk realiasi bulan Februari 2025 mengalami defisit sebesar Rp31,2 triliun atau 0,13 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).

    Dalam pemaparannya, Sri Mulyani mengungkapkan belanja negara yang terealisasi pada bulan Februari 2025 mencapai Rp348,1 triliun.

    Namun, pendapatan negara dari pajak hingga Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) lebih kecil yaitu sebesar Rp316,9 triliun.

    “Realisasi yang terjadi untuk belanja negara hingga akhir Februari, kita masih melihat belanja negara Rp348,1 triliun atau 9,6 persen dari total belanja yang dianggarkan tahun ini,” katanya dalam konferensi pers APBN Kita di Gedung Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Jakarta, Kamis (13/3/2025) dikutip dari YouTube Kementerian Keuangan RI.

    Sosok yang akrab disapa Ani itu menjelaskan belanja negara itu terdiri dari belanja pemerintah pusat dan transfer ke daerah (TKD).

    Untuk realisasi belanja pemerintah pusat bulan Februari 2025 mencapai Rp211,5 triliun.

    Adapun rinciannya adalah belanja kementerian/lembaga (K/L) mencapai 83,6 triliun dan belanja non K/L sebesar Rp127,9 triliun.

    “Untuk transfer terlihat lebih maju yaitu kita telah mentransfer ke daerah sampai akhir Februari mencapai Rp136,6 triliun.”

    “Dari persentase, ini lebih tinggi bahkan kecepatan belanja pemerintah pusat yaitu 14,9 persen dari total transfer tahun ini yaitu sebesar Rp919 triliun,” jelas Ani.

    Lalu, untuk pendapatan negara dari pajak, Sri Mulyani mengatakan pada Februari 2025 mencapai Rp187,8 triliun dan Rp52,6 triliun dari Kepabeanan dan cukai.

    Sementara, pendapatan negara lainnya yaitu dari Pendapat Negara Bukan Pajak (PNBP) sebesar Rp76,4 triliun.

    Terkait defisit yang terjadi pada bulan Februari 2025, Sri Mulyani mengatakan masih sesuai target yang telah dirancang dalam desain APBN 2025.

    “Jadi, ini defisit 0,13 persen tentu masih di dalam target desain APBN sebesar 2,5 persen dari PDB yaitu Rp616,2 triliun,” jelasnya.

  • Jaksa Agung Klaim Selalu Capai Target PNBP, tapi Tak Diketahui Publik

    Jaksa Agung Klaim Selalu Capai Target PNBP, tapi Tak Diketahui Publik

    Jaksa Agung Klaim Selalu Capai Target PNBP, tapi Tak Diketahui Publik
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Jaksa Agung
    ST Burhanuddin
    mengeklaim bahwa
    Kejaksaan Agung
    telah menghasilkan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PBNP) dalam jumlah besar setiap tahunnya.
    Ia mengatakan, PNBP yang diperoleh Kejagung selalu mencapai, bahkan melampaui target yang diberikan Kementerian keuangan.
    “Kementerian Keuangan kan punya target. Target itu PNBP. Kita PNBP-nya selalu tinggi terus,” kata Burhanuddin dalam program
    Gaspol! Kompas.com
    , Jumat (14/3/2025).
    Burhanuddin menyebutkan, PNBP itu diperoleh dari pemulihan dan perampasan aset kasuskasus korupsi yang ditangani oleh Kejagung.
    Ia mengatakan, setiap melelang aset hasil korupsi, Kejagung selalu menyampaikan pengumuman.
    Namun, hasil lelang tersebut kerap kali tidak dipublikasikan sehingga tidak diketahui oleh masyarakat.
    “Tadinya ketika saya pikir di Kementerian Keuangan kan di dalam data yang ada di Kementerian Keuangan, itu sudah terlihat,” kata Burhanuddin.
    Ia pun mengakui bahwa Kejagung memiliki kelemahan dalam mempublikasikan total pemulihan dan perampasan aset dari kasus-kasus korupsi.
    Oleh karena itu, Burhanuddin berjanji akan lebih sering memberikan informasi terkait hal ini.

    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Beban Bisnis Internet Makin Berat, Insentif Komdigi Tak Jelas Kabarnya

    Beban Bisnis Internet Makin Berat, Insentif Komdigi Tak Jelas Kabarnya

    Jakarta, CNBC Indonesia – Sejak beberapa waktu lalu terdengar wacana pemberian insentif kepada para operator telekomunikasi. Sayang belum ada progress untuk rencana tersebut.

    “Enggak ada progress ya sayangnya itu ya. Kalau itu dilakukan menurut saya akan membantu banyak,” kata Director & Chief Business Officer Indosat Ooredoo, Danny Buldansyah ditemui Kamis malam (14/3/2025).

    Dia mengatakan usulan dari industri operator telekomunikasi terkait insentif sudah lama disuarakan. Namun memang tidak ada kemajuan soal usulan tersebut.

    Padahal insentif tersebut akan sangat positif bagi industri. Mengingat biaya yang dikeluarkan para operator sangat banyak.

    “Inisiatif memberikan insentif buat perusahaan telekomunikasi tentang PNBP itu yang digulirkan tahun lalu, menurut saya harus diteruskan lagi,” ucapnya.

    Danny menjelaskan beberapa cost yang harus dikeluarkan cukup banyak. Dari regulatory fee, USO, pajak, sejumlah izin dan operational cost.

    “Kita kan bangun kabel juga. Kalau bangun kabel itu kan banyak banget izinnya. Retribusi daerah dan lain-lain gitu. Selama ini masih ada yang seperti itu sekarang,” jelas Danny.

    Pemerintah diketahui ingin membuat internet murah seharga Rp 100-150 ribu untuk kecepatan 100 Mbps. Dia mengatakan objektifnya sudah bagus, tinggal bagaimana cara melakukannya agar hal tersebut bisa terjadi.

    Dari industri sendiri, dia mengatakan bisa terjadi jika skala perusahaan yang melakukannya besar dan harga frekuensi bisa lebih murah hal itu bisa diwujudkan.

    “Supaya bagaimana penetrasi jaringan data itu ke masyarakat kan bisa lebih affordable,” tuturnya.

    Sebelumnya saat masih menjadi Kementerian Komunikasi dan Informatika, pihak kementerian pernah mengungkapkan adanya kajian soal mekanisme insentif untuk operator seluler. Terkait apakah harus ada kajian lain mengingat waktu yang sudah lama sejak kajian tersebut dilakukan, Danny mengatakan perlu menanyakan itu ke pihak pemerintah.

    “Barangkali yang mesti ditanyakan ke Komdigi, ke pemerintah. Kalau industri sangat mengharapkan itu,” jelasnya.

    (dem/dem)

  • Pemerintah Kebut Rampungkan PP Kenaikan Royalti Batu Bara-Nikel

    Pemerintah Kebut Rampungkan PP Kenaikan Royalti Batu Bara-Nikel

    Bisnis.com, JAKARTA – Pemerintah tengah menyelesaikan penyusunan draf peraturan pemerintah (PP) yang akan mengatur kenaikan tarif royalti mineral dan batu bara (minerba).

    Wakil Menteri ESDM Yuliot Tanjung mengatakan, pihaknya sudah melakukan rapat dengan Kementerian Sekretariat Negara dan Kementerian Keuangan (Kemenkeu).

    “Jadi, ini sudah dirapatkan dengan Sekretaris Negara, ini juga dengan Kementerian Keuangan, itu akan melihat bagaimana penyesuaian-penyesuaian,” tutur Yuliot di Kantor Kementerian ESDM, Jumat (14/3/2025).

    Dia menekankan kenaikan tarif royalti batu bara, nikel, tembaga, emas, perak, dan logam timah tidak akan membebani pelaku usaha. 

    Oleh karena itu, pihaknya akan mempertimbangkan faktor keekonomian dari harga minerba yang bersangkutan.

    “Jadi, daya saing dan juga keberlanjutan usaha, tetap itu menjadi pertimbangan,” kata Yuliot.

    Di sisi lain, dia juga mengatakan,  pemerintah tidak akan mengguyur pengusaha dengan insentif ketika tarif royalti maupun iuran penerimaan negara bukan pajak (PNBP) minerba dikerek naik.

    Sebab, kenaikan itu dilakukan untuk mengoptimalisasi penerimaan negara dari sektor pertambangan. 

    “Ini kita optimalisasi penerimaan negara, kalau ini ada insentif baru lagi, berarti ada beban lagi terhadap negara,” jelas Yuliot.

    Pemerintah saat ini memang tengah mengkaji untuk menaikkan tarif royalti minerba. Penyesuaian itu seiring dengan revisi Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2022 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku pada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, serta Revisi Peraturan Pemerintah No. 15 Tahun 2022 tentang Perlakukan Perpajakan dan/atau PNBP di Bidang Usaha Pertambangan Batubara. 

    Berikut daftar usulan revisi royalti batu bara, nikel, tembaga, emas, perak, dan logam timah:  

    Tarif Royalti Minerba

    Komoditas

    Semula

    (PP 26 Tahun 2022)

    Usulan Revisi

    Batu bara
     Progresif, menyesuaikan HBA tarif PNBP IUPK 14-28%

    – Tarif royalti naik 1% untuk HBA ≥ US$90 sampai tarif maksimum 13,5%

    – Tarif IUPK 14-28% dengan perubahan rentang tarif (Revisi PP 15/2022)

    Bijih nikel 
     Single tariff bijih nikel 10%
     Tarif progresif 14%-19% menyesuaikan harga mineral acuan (HMA)

    Nikel matte

    – Single tariff 2%

    – Windfall profit tambah 1%

    – Tarif progresif 4,5%-6,5% menyesuaikan HMA. 

    – Windfall profit dihapus.

    Ferronikel

    Single tariff 2%

     Tarif progresif 5%-7% menyesuaikan HMA

    Nikel pig iron

    Single tariff 5% 

     Tarif progresif 5%-7% menyesuaikan HMA

    Bijih tembaga

    Single tariff 5%

     Tarif progresif 10%-17% menyesuaikan HMA

    Konsentrat tembaga

    Single tariff 4%

     Tarif progresif 7%-10% menyesuaikan HMA

    Katoda tembaga

    Single tariff 2%

     Tarif progresif 4%-7% menyesuaikan HMA

    Emas

    Tarif progresif 3,75%-10% menyesuaikan HMA

     Tarif progresif 7%-16% menyesuaikan HMA

    Perak

    Single tariff 3,25%

     Single tariff 5%

    Platina

    Single tariff2%

     Single tariff 3,75%.

    Logam timah

    Single tariff 3%

    Tarif progresif 3%-10% menyesuaikan harga jual

  • APBN Februari 2025 defisit Rp31,2 triliun

    APBN Februari 2025 defisit Rp31,2 triliun

    Sumber foto: Antara/elshinta.com.

    APBN Februari 2025 defisit Rp31,2 triliun
    Dalam Negeri   
    Editor: Sigit Kurniawan   
    Kamis, 13 Maret 2025 – 17:25 WIB

    Elshinta.com – Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati melaporkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) per 28 Februari 2025 mengalami defisit sebesar Rp31,2 triliun atau 0,13 persen terhadap produk domestik bruto (PDB).

    “Defisit APBN 2025 didesain Rp616,2 triliun. Jadi, defisit Rp31,2 triliun masih dalam target APBN, yaitu 2,53 persen terhadap PDB atau Rp616,2 triliun,” kata Sri Mulyani dalam konferensi pers APBN KiTa Edisi Maret 2025 di Jakarta, Kamis.

    Pendapatan negara terealisasi sebesar Rp316,9 triliun atau 10,5 persen terhadap target APBN 2025 yang sebesar Rp3.005,1 triliun.

    Penerimaan perpajakan tercatat sebesar Rp240,4 triliun atau 9,7 persen dari target, dengan rincian Rp187,8 triliun berasal dari penerimaan pajak dan Rp52,6 triliun dari kepabeanan dan cukai.

    Sementara penerimaan negara bukan pajak (PNBP) terserap sebesar Rp76,4 triliun atau 14,9 persen dari target.

    Di sisi lain, realisasi belanja negara hingga akhir Februari 2025 mencapai Rp348,1 triliun atau 9,6 persen dari target sebesar Rp3.621,3 triliun.

    Belanja pemerintah pusat (BPP) tercatat sebesar Rp211,5 triliun atau 7,8 persen dari target. Rinciannya, belanja kementerian/lembaga (K/L) terealisasi sebesar Rp83,6 triliun dan belanja non-K/L Rp127,9 triliun.

    Adapun belanja transfer ke daerah (TKD) terealisasi sebesar Rp136,6 triliun atau 14,9 persen dari target.

    Dengan menghitung selisih dari total pendapatan negara dikurangi belanja negara di luar pembayaran bunga utang, keseimbangan primer tercatat surplus Rp48,1 triliun.

    Keseimbangan primer mencerminkan kemampuan negara mengelola utang. Dengan surplus keseimbangan primer, maka kondisi fiskal dapat dikatakan masih cukup memadai untuk mengelola pendapatan, belanja, dan utang.

    Akan tetapi, realisasi pembiayaan anggaran tercatat mencapai Rp220,1 triliun. Realisasi itu setara 35,7 persen dari target APBN 2025.

    Sri Mulyani pun mengakui terjadi penarikan pembiayaan yang cukup besar pada dua bulan pertama tahun 2025. “Ini berarti ada perencanaan dari pembiayaan yang cukup front loading. Artinya, realisasinya di awal cukup besar,” katanya.

    Dalam kesempatan itu, Menkeu menjelaskan alasan pihaknya baru menyampaikan laporan APBN setelah menundanya selama sebulan.

    Kementerian Keuangan menunggu sampai data cukup stabil sebelum disampaikan kepada publik. Hal itu bertujuan untuk menghindari risiko misinterpretasi terhadap data-data yang disampaikan.

    Sebagai informasi, APBN KiTa merupakan publikasi bulanan mengenai realisasi APBN yang dikeluarkan oleh Kementerian Keuangan. Publikasi itu bertujuan untuk menginformasikan masyarakat mengenai kinerja pendapatan, belanja, dan pembiayaan negara sebagai bentuk tanggung jawab publik dan transparansi fiskal.

    APBN KiTa biasanya dilaporkan pada bulan setelah periode realisasi. Artinya, realisasi APBN Januari umumnya dilaporkan pada Februari, realisasi Februari dilaporkan pada Maret, dan seterusnya.

    Namun kali ini, realisasi Januari hingga Februari 2025 disampaikan dalam satu waktu yang sama, yakni pada konferensi pers APBN KiTa Edisi Maret 2025.

    Sumber : Antara

  • DPR Usul Danantara Biayai Promosi Pariwisata, Pengusaha Setuju?

    DPR Usul Danantara Biayai Promosi Pariwisata, Pengusaha Setuju?

    Bisnis.com, JAKARTA – Kadin Indonesia merespons usulan DPR RI agar dana yang dikelola Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara atau Danantara dapat digunakan untuk membiayai promosi pariwisata Indonesia.

    Wakil Ketua Umum Bidang Pariwisata Kadin Indonesia Raty Ning menyampaikan bahwa saat ini Indonesia tengah berencana membentuk Tourism Board. 

    Dalam hal pendanaan, Raty menyebut bahwa semua pihak perlu duduk bersama untuk menentukan sumber-sumber pendanaan Indonesia Tourism Board tanpa memberatkan pemerintah.

    “Kita coba cari dulu di dalam kita, sepakat dulu apa sih yang memungkinkan mendapatkan pembiayaan, karena semangatnya adalah jangan memberatkan pemerintah,” kata Raty kepada Bisnis di Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (13/3/2025).

    Sementara itu, Ketua Umum Gabungan Industri Pariwisata dan Pariwisata Indonesia (Gipi) Hariyadi B. Sukamdani mengatakan bahwa Danantara mungkin bisa menjadi salah satu sumber untuk mendanai promosi pariwisata Indonesia ke pasar internasional.

    Namun, berdasarkan pengalaman yang terjadi selama ini, pemerintah belum tentu bersedia untuk merealokasi dana yang ada untuk promosi pariwisata. 

    “Seperti misalnya pajak daerah. Nah kalau saya minta realokasi pemerintah daerahnya mau nggak tuh ngasih. Belum tentu dia mau. Atau PNBP yang dipungut oleh imigrasi untuk visa on arrival. Belum tentu dia mau berbagi juga kan. Kita repot jadinya,” tutur Hariyadi.

    Untuk itu, muncul ide membentuk Indonesia Tourism Board, sebuah lembaga yang diharapkan dapat meningkatkan citra kepariwisataan Indonesia. 

    Dalam paparan yang disampaikan Hariyadi pada rapat dengar pendapat dengan Komisi VII DPR RI, Gipi menawarkan opsi sumber pendanaan Indonesia Tourism Board seperti iuran anggota, Badan Layanan Umum Pariwisata, sumbangan/sponsor, atau sumber lain yang sah dan tidak mengikat, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

    Menurut Hariyadi, pemerintah mungkin akan memanfaatkan dana kelolaan Danantara untuk promosi pariwisata, jika badan investasi itu dikelola dengan baik dan benar.

    Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Evita Nursanty sebelumnya meminta Menteri Pariwisata (Menpar) Widiyanti Putri untuk membujuk Presiden Prabowo Subianto agar dapat memanfaatkan Danantara sebagai sumber pendanaan badan promosi pariwisata. Mengingat, pariwisata menyumbang devisa yang cukup besar bagi Indonesia.

    “Kenapa Ibu nggak bisa melakukan hal yang sama, mengatakan kepada Presiden begitu besarnya pemasukan dari pariwisata ini devisa pariwisata kita Rp317 triliun, masak mau bikin promosi pariwisata aja enggak bisa kan aneh gitu,” kata Evita dalam rapat kerja dengan pemerintah di Kompleks Parlemen, dikutip Kamis (13/3/2025).

    “Kita cari sama-sama Bu bagaimana ini ya kan ini sekarang ada Danantara untuk investasi pariwisata ini investasi loh ya kan ketika itu menjadi unsur dari pendanaan yang selama ini memang menjadi masalah terus,” pungkasnya. 

  • Penerimaan Pajak Anjlok 30,2 Persen ke Rp187,8 Triliun per Februari 2025

    Penerimaan Pajak Anjlok 30,2 Persen ke Rp187,8 Triliun per Februari 2025

    JAKARTA — Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyampaikan realisasi penerimaan pajak capai Rp187,8 triliun per Februari 2025 atau turun 30,2 persen secara tahunan atau year on year (yoy) atau jika dibandingkan dengan realisasi pajak Februari 2024 sebesar Rp269,02 triliun.

    Sri Mulyani menyampaikan realisasi ini setara 8,6 persen dari target penerimaan pajak dalam APBN 2025 sebesar Rp2.189,3 triliun.

    “Penerimaan pajak Rp187,8 triliun atau 8,6 persen dari target (Rp2.189,3 triliun),” ujarnya dalam Konferensi Pers APBN KiTa, Kamis, 13 Maret.

    Sementara itu, Sri Mulyani menyampaikan realisasi penerimaan kepabeanan dan cukai per Februari 2025 sebesar Rp52,6 triliun atau turun 2,13 persen jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu sebesar Rp51,5 triliun.

    Adapun realisasi penerimaan kepabeanan dan cukai per Februari 2025 setara 17,5 persen dari target APBN 2025 sebesar Rp301,6 triliun.

    Oleh sebab itu, Ia menjelaskan total penerimaan perpajakan per Februari 2025 yang terdiri dari penerimaan pajak dan kepabeanan & cukai mencapai Rp240,4 triliun atau setara 9,7 persen dari target APBN 2025 sebesar Rp2.490,9 triliun.

    Meski demikian, realisasi angka tersebut turun 24,9 persen (yoy) jika dibandingkan dengan penerimaan perpajakan per Februari 2024 sebesar Rp320,5 triliun.

    Sri Mulyani menyampaikan realisasi penerimaan negara bukan pajak (PNBP) per Februari 2025 sebesar Rp76,4 triliun atau turun 4,15 persen jika dibandingkan dengan realisasi PNBP Februari 2024 yang mencapai Rp79,71 triliun.

    Adapun, realisasi penerimaan negara bukan pajak (PNBP) per Februari 2025 setara 14,9 persen dari target APBN 2025 sebesar Rp513,6 triliun.

    Oleh sebab itu, Sri Mulyani menyampaikan realisasi pendapatan negara per Februari 2025 mencapai Rp316,9 triliun atau turun 20,84 persen secara tahunan atau year on year (yoy) jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu sebesar Rp400,4 triliun. Realisasi ini setara 10,5 persen dari target APBN 2025 sebesar Rp3.005,1 triliun.

  • Peneliti LPEM UI: Pemerintah perlu beri kepastian hukum industri sawit

    Peneliti LPEM UI: Pemerintah perlu beri kepastian hukum industri sawit

    bagaimanapun sektor sawit memberikan kontribusi yang besar bagi perekonomian nasional. Kepastian hukum sangat penting

    Jakarta (ANTARA) – Peneliti Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI) Eugenia Mardanugraha menilai pemerintah harus memberikan kepastian hukum terhadap para pelaku industri kelapa sawit.

    Eugenia dalam keterangan resmi di Jakarta, Kamis, menilai kepastian hukum penting untuk menjaga iklim investasi termasuk di sektor sawit.

    “Karena bagaimanapun sektor sawit memberikan kontribusi yang besar bagi perekonomian nasional. Kepastian hukum sangat penting,” kata Eugenia.

    Ia pun mendukung para pelaku sawit yang sudah menyelesaikan kewajibannya sesuai dengan pasal 110A UU Cipta Kerja untuk memperjuangkan dalam mendapatkan surat izin pelepasan hutannya.

    Menurut Eugenia, keberadaan Perpres No. 5 Tahun 2025 tentang Penertiban Kawasan Hutan tidak menggugurkan UU Cipta Kerja karena status UU lebih tinggi.

    Adapun ketentuan dalam Pasal 110A dan Pasal 110B UU Cipta Kerja, yakni mengizinkan kebun sawit yang berada di dalam kawasan hutan sebelum berlakunya undang-undang ini, untuk melakukan kegiatan usaha dengan memenuhi persyaratan dan memberikan sanksi berupa denda administratif kepada perusahaan yang tidak memenuhi persyaratan.

    Lebih lanjut, Eugenia mengatakan pengajuan izin Hak Guna Usaha (HGU) perlu dipercepat melalui penyederhanaan prosedur.

    Hal ini penting untuk menjaga agar keberlangsungan industri sawit dalam mendukung perekonomian nasional.

    Data Kementerian Keuangan menyebut nilai kapasitas produksi nasional industri kelapa sawit 2023 diperkirakan sebesar Rp729 triliun.

    Kontribusi industri sawit ke APBN 2023 mencapai sekitar Rp88 triliun dengan rincian penerimaan dari sektor pajak Rp50,2 triliun, PNBP Rp32,4 triliun dan Bea Keluar Rp6,1 triliun.

    Sektor sawit di Indonesia saat ini telah melibatkan 2,4 juta petani swadaya dan 16 juta tenaga kerja.

    Lebih jauh, Eugenia sepakat terhadap upaya pemerintah dalam menertibkan lahan sawit di kawasan hutan.

    Syaratnya, penertiban lahan sawit di kawasan hutan sebaiknya dilakukan dengan tetap mempertimbangkan keberlanjutan kegiatan ekonomi di kebun sawit tersebut.

    Selain itu, pemerintah juga harus menjamin pengambilalihan lahan sawit harus disertai dengan pengelolaan bisnis yang profesional.

    “Karena itu, pemerintah harus benar-benar mempersiapkan perusahaan yang sudah terbiasa mengelola bisnis sawit. Karena pengelolaan bisnis sawit tidak sederhana, yang membutuhkan keahlian khusus,” kata dia.

    Pewarta: Arnidhya Nur Zhafira
    Editor: Agus Salim
    Copyright © ANTARA 2025

  • Pendapatan Negara Terkontraksi 20,85 Persen pada Februari 2025

    Pendapatan Negara Terkontraksi 20,85 Persen pada Februari 2025

    Jakarta, Beritasatu.com – Pemerintah telah mengumpulkan pendapatan negara senilai Rp 316,9 triliun per 28 Februari 2025. Dibandingkan dengan periode yang sama pada 2024, terjadi penurunan sebesar Rp 83,46 triliun atau 20,85 persen dari total pendapatan negara pada akhir Februari 2024 yang mencapai Rp 400,36 triliun.

    Pendapatan negara terdiri dari penerimaan perpajakan sebesar Rp 240,4 triliun dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sebesar Rp 76,4 triliun. Realisasi penerimaan perpajakan menunjukkan penurunan Rp 79,6 triliun atau 25% dari posisi akhir Februari 2024 yang sebesar Rp 320,5 triliun.

    “Realisasi pendapatan negara mencapai Rp 316,9 triliun atau 10,5% dari pagu pendapatan negara,” ujar Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam konferensi pers APBN Kinerja dan Fakta (KiTa) Edisi Maret 2025, Kamis (13/3/2025).

    Pendapatan negara dalam penerimaan perpajakan terdiri dari penerimaan pajak serta penerimaan kepabeanan dan cukai. Realisasi penerimaan pajak mencapai Rp 187,8 triliun atau 8,6 persen dari pagu, mengalami kontraksi 30,19 persen dibandingkan dengan Februari 2024 yang sebesar Rp 269,02 triliun.

    Sementara itu, realisasi penerimaan kepabeanan dan cukai tercatat sebesar Rp 52,6 triliun, mengalami kontraksi 2,13% dari periode yang sama tahun lalu yang mencapai Rp 51,5 triliun.

    “Realisasi kepabeanan dan cukai mencapai Rp 52,6 triliun atau 17,6 persen dari pagu APBN 2025,” tambah Sri Mulyani.

    Sementara, realisasi belanja negara hingga 28 Februari 2025 mencapai Rp 348,1 triliun, terdiri dari belanja pemerintah pusat sebesar Rp 211,5 triliun dan transfer ke daerah sebesar Rp 136,6 triliun.

    Belanja pemerintah pusat mencakup belanja kementerian/lembaga (K/L) senilai Rp 83,6 triliun serta belanja non-K/L sebesar Rp 127,9 triliun.

    Keseimbangan primer tercatat sebesar Rp 48,1 triliun, sedangkan pembiayaan anggaran telah mencapai Rp 220,1 triliun atau 35,7 persen dari target dalam APBN 2025.

    Pendapatan negara dari pajak, kepabean serta cukai menjadi sektor yang alami kontraksi tinggi mencapai 30,19 persen.