Produk: PNBP

  • DPR Sepakati RAPBN 2026, Ekonomi RI Ditargetkan Tumbuh 5,8 Persen

    DPR Sepakati RAPBN 2026, Ekonomi RI Ditargetkan Tumbuh 5,8 Persen

    Jakarta, Beritasatu.com – Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Pemerintah Indonesia resmi menyepakati Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) serta Rencana Kerja Pemerintah (RKP) Tahun 2026.

    Kesepakatan ini diambil dalam Rapat Paripurna DPR RI ke-25 masa persidangan IV tahun sidang 2024-2025 yang digelar di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (24/7/2025).

    Wakil Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR Jazilul Fawaid, memaparkan sejumlah asumsi dasar ekonomi makro dalam RAPBN 2026. 

    Target pertumbuhan ekonomi ditetapkan sebesar 5,2%-5,8%, laju inflasi 1,5%-3,5%, serta nilai tukar rupiah berkisar antara Rp 16.500 hingga Rp 16.900 per dolar AS.

    Selain itu, pembahasan juga menghasilkan postur makro fiskal 2026. Pendapatan negara ditetapkan sebesar 11,71%-12,31% dari produk domestik bruto (PDB), yang terdiri dari perpajakan 10,08%-10,54% PDB, penerimaan negara bukan pajak (PNBP) 1,63%-1,76%, dan hibah 0,002%-0,003%.

    Untuk belanja negara, angkanya disepakati sebesar 14,19%-14,83% dari PDB. Rinciannya, belanja pemerintah pusat 11,41%-11,94%, dan transfer ke daerah sebesar 2,78%-2,89% dari PDB.

    “Arah dan strategi kebijakan fiskal didesain untuk mewujudkan kedaulatan pangan, energi, ekonomi menuju Indonesia tangguh, mandiri, dan sejahtera,” ujar Jazilul dalam rapat.

    Sementara itu, Ketua DPR Puan Maharani menyatakan bahwa DPR telah menyepakati arah kebijakan fiskal 2026 untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan.

    “DPR RI menekankan pentingnya dukungan anggaran yang efisien, kredibel, dan berorientasi hasil guna mewujudkan tema sebagai fondasi menuju Indonesia Emas 2045,” ungkap Puan.

    Rencana Kerja Pemerintah (RKP) tahun 2026 sendiri mengusung tema “Kedaulatan Pangan, Energi, serta Ekonomi Produktif dan Inklusif”, yang sejalan dengan arah kebijakan prioritas nasional dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025-2029.

  • KPK Serahkan Temuan Potensi Korupsi Pertambangan ke ESDM hingga Kemenkeu

    KPK Serahkan Temuan Potensi Korupsi Pertambangan ke ESDM hingga Kemenkeu

    Bisnis.com, JAKARTA — Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyerahkan sejumlah temuan yang berangkat dari pencegahan korupsi di sektor pertambangan, kepada tujuh kementerian.

    Temuan-temuan yang diberikan meliputi soal tumpang tindih perizinan hingga potensi pelanggaran. 

    Ketua KPK Setyo Budiyanto menyebut kajian yang dilakukan lembaganya itu sudah ada sejak 2009, atau saat kepemimpinan Antasari Azhar, berlangsung sampai dengan sekarang. Kajian itu meliputi temuan soal potensi-potensi korupsi yang berangkat dari masalah perizinan maupun pengelolaan. 

    “Di antaranya seperti informasi dan basis data, kemudian tumpang tindih perizinan, kemudian kegiatan penambangan yang tanpa izin, tanpa IUP, kemudian juga masalah ketidaksinkronan dan disparitas antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah,” ujar Setyo pada konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Kamis (24/7/2025). 

    Di sisi lain, kajian yang sudah dilakukan sejak 16 tahun yang lalu itu turut mencakup temuan ihwal rendahnya pemenuhan kewajiban perusahaan tambang yang harusnya dipenuhi. Baik secara keuangan maupun administrasi. 

    “Kemudian ada kaitan juga dengan masalah BBM, LPG, dan terakhir adalah disparitas harga antara pasar ekspor dan domestik,” tuturnya. 

    Ketua KPK jilid VI itu lalu menyebut telah menyerahkan kajian maupun temuan itu kepada tujuh kementerian, yakni Kementerian Kehutanan, Kementerian ESDM, Kementerian Keuangan, Kementerian Investasi dan Hilirisasi/BKPM, Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan serta Kementerian Perhubungan. 

    Hasil kajian lalu akan ditindaklanjuti menjadi rencana aksi yang bakal dilakukan setiap kementerian itu.

    Meski demikian, kajian Kedeputian Pencegahan dan Monitoring itu juga, terang Setyo, sudah menghasilkan sejumlah keberhasilan. Baik dari masalah perizinan serta sistem informasi dan data. 

    Contohnya, berangkat dari kajian itu, kini pemerintah melalui kementerian-kementerian sudah memiliki sistem informasi dan data pertambangan seperti Minerba One Data Indonesia (MODI), Minerba One Map Indonesia (MOMI), integrasi geoportal, sistem pembayaran PNBP elektronik atau ePNBP, Sistem Informasi Mineral dan Batu Bara (SIMBARA), Sistem Informasi PNBP Online (SIMPONI) dan lain-lain. 

    Setyo mengakui bahwa sampai dengan saat ini pun penunggakan PNBP di sektor tambang masih mengalami tunggakan. Namun, dia mengeklaim besaran penerimaan negara di luar pajak itu sudah naik signifikan di sektor energi. 

    “Kemudian pelaksanaan penerimaan PNBP di sektor energi juga naik signifikan, dari yang Rp9 triliun di tahun 2013 menjadi Rp14 triliun, harapannya juga semakin tahun ini akan semakin meningkat. Itu beberapa keberhasilannya,” tuturnya.

    Mantan Direktur Penyidikan KPK itu lalu berpesan bahwa masalah pertambangan merupakan tanggung jawab lintas kementerian. Dia berharap agar ke depannya tidak ada lagi ego sektoral.

    “Tidak ada lagi yang bersifat sektoral, semuanya nanti bisa dilakukan secara sinergi antara kementerian dan tentunya melipatkan Komisi Pemberantasan Korupsi,” pungkasnya. 

  • Dua juta warga DKI berusia 19 tahun ke atas belum menikah

    Dua juta warga DKI berusia 19 tahun ke atas belum menikah

    Jakarta (ANTARA) – Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil DKI Jakarta mencatat sebanyak 2.098.685 dari 7.781.073 jiwa penduduk Jakarta berusia 19 tahun ke atas belum menikah.

    Merujuk data, dari jumlah penduduk yang belum menikah, sebanyak 1.201.827 jiwa adalah laki-laki, sementara sisanya yakni 896.858 jiwa merupakan perempuan.

    Berkaca pada data tersebut, Kepala Dinas Dukcapil Provinsi DKI Jakarta, Denny Wahyu Haryanto saat dihubungi di Jakarta, Minggu mengatakan kesibukan dan aktivitas masyarakat yang tinggi menjadi penyebab adanya kecenderungan warga menunda menikah.

    “Aktivitas yang tinggi di Jakarta dikarenakan kebutuhan ekonomi, persaingan secara umum, karier hingga pendidikan. Hal ini berimplikasi terhadap penundaan pernikahan hingga sampai pada masalah enggan untuk menikah,” kata dia.

    Selain itu, biaya hidup yang tinggi di Jakarta juga menjadi salah satu faktor yang membuat individu takut atau khawatir membangun rumah tangga atau menikah.

    Data Dukcapil juga menunjukkan, laki-laki rata-rata menikah di usia 30-31 tahun, sementara perempuan di usia 27-28 tahun.

    Denny menyampaikan, Pemprov DKI Jakarta menawarkan berbagai kemudahan bagi warga untuk melangsungkan pernikahan termasuk penerbitan akta perkawinan, yang dapat diakses secara online melalui aplikasi Alpukat Betawi.

    Calon pengantin juga bisa mendatangi loket pelayanan Dukcapil di tingkat kecamatan atau langsung ke Dinas Dukcapil Provinsi DKI Jakarta.

    Denny lalu berpesan agar calon pasangan membuat perencanaan yang matang secara bijak bila hendak menikah agar usia pernikahan akan lebih bahagia sehat dan sejahtera.

    Sebenarnya, pernikahan di Kantor Urusan Agama (KUA) kini menjadi tren di kalangan Generasi Z dan Milenial. karena praktis dan efisien. Merujuk Peraturan Pemerintah Nomor 59 Tahun 2018, pernikahan yang dilaksanakan di KUA pada jam kerja (Senin-Jumat, pukul 07.30-16.00 WIB) tidak dikenakan biaya alias gratis.

    Namun, jika akad nikah dilakukan di luar jam kerja atau di luar kantor KUA, akan dikenakan biaya sebesar Rp600.000 yang masuk ke kas negara sebagai Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).

    Pewarta: Lia Wanadriani Santosa
    Editor: Alviansyah Pasaribu
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Afrika Hadapi Kesenjangan Pembiayaan, Sri Mulyani Kasih Contoh Indonesia – Page 3

    Afrika Hadapi Kesenjangan Pembiayaan, Sri Mulyani Kasih Contoh Indonesia – Page 3

    Wakil Ketua Panja Defisit Komisi XI DPR RI, Hanif Dhakiri, menyatakan bahwa RAPBN 2026 mencerminkan kebijakan fiskal yang ekspansif, namun tetap menjaga kredibilitas dan keberlanjutan anggaran.

    Ia menyambut baik langkah penurunan defisit dari 2,78 persen menjadi sekitar 2,5 persen PDB, dengan catatan pemerintah tetap memastikan dukungan fiskal bagi program-program prioritas, seperti Makan Bergizi Gratis, penguatan koperasi dan UMKM, serta ketahanan pangan dan energi.

    Selain menyetujui target defisit, DPR juga menyepakati target pendapatan negara dalam RAPBN 2026 sebesar 11,71 persen hingga 12,31 persen dari PDB.

    Target tersebut terdiri dari penerimaan pajak sebesar 8,90 persen hingga 9,24 persen, kepabeanan dan cukai 1,18 persen hingga 1,30 persen, serta penerimaan negara bukan pajak (PNBP) 1,63 persen hingga 1,76 persen dari PDB.

    Pemerintah didorong untuk mengelola fiskal secara akuntabel dan berbasis manajemen risiko yang prudent.

     

  • Kesepakatan Dagang RI-AS Berisiko Kurangi Penerimaan Negara

    Kesepakatan Dagang RI-AS Berisiko Kurangi Penerimaan Negara

    JAKARTA – Analis Kebijakan Ekonomi Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Ajib Hamdani menilai, kesepakatan dagang antara Indonesia dan Amerika Serikat memiliki dampak yang berbeda bagi tiga pihak yaitu negara, sektor swasta, dan masyarakat.

    Sebagai informasi, Presiden AS Donald Trump telah mengumumkan barang-barang Indonesia yang masuk ke AS tetap dikenai tarif resiprokal dari sebelumnya 32 persen manjadi 19 persen, sementara barang-barang dari AS ke Indonesia tidak dikenal tarif.

    Ajib menyampaikan, dampak paling krusial justru dirasakan oleh negara, di mana kebijakan tarif 0 persen ini berpotensi mengurangi penerimaan negara dari sisi perpajakan dan kepabeanan.

    Padahal, lanjutnya, penerimaan negara tahun ini ditargetkan mencapai Rp3.600 triliun, dengan struktur yang sangat bergantung pada tiga komponen utama yaitu pajak, cukai, dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dan saat ini tengah menghadapi tekanan.

    “Dalam konteks fiskal, bisa bayangkan target kita tahun ini itu Rp3600 triliun, APBN kita itu udah proyeksi itu Rp600 triliun utang, struktur kita penerimaan dari 3 hal utama, satu pajak, dua cukai dan tiga PNBP,” ujarnya kepada VOI, Kamis, 17 Juli.

    Dia menjelaskan, PNBP sudah ada potensi terkontraksi sebesar Rp80 triliun akibat pemisahannya ke Danantara dari sistem penerimaan negara, sementara penerimaan cukai terutama dari sektor rokok juga menunjukkan penurunan signifikan.

    Sedangkan dari sisi pajak, ia menyampaikan bahkan sebelum adanya kesepakatan dagang Indonesia dengan AS, Apindo telah memproyeksikan potensi shortfall pajak hingga Rp120 triliun dari target Rp2.180 triliun.

    “Artinya, dengan adanya kondisi seperti ini perlu dikalkulasi ulang berapa potensial short fall pajak dan berapa potensi short fall penerimaan negara,” tuturnya.

    Menurutnya jika kondisi saat ini yang tidak dimitigasi dengan strategi fiskal yang matang maka penerimaan negara akan berkurang dan pemerintah akan menghadapi dua opsi sulit di akhir tahun yaitu menambah utang dengan harus tetap dijaga di bawah 3 persen dari PDB atau memangkas belanja kementerian dan lembaga.

    Ia berharap mitigasi fiskal terhadap dampak kesepakatan ini segera dirancang sejak sekarang, agar stabilitas ekonomi dan keberlanjutan fiskal tetap terjaga hingga akhir tahun.

    “Jadi harapan kita adalah kebijakan ini diikuti oleh dimitigasi dengan kebijakan fiskal kita yang lebih bagus sejak sekarang. Jangan nanti diujung tahu tahu pengusaha dikejar kejar lagi. Makanya kenapa efeknya sekarang juga? Sekarang kalau kita lihat kan kalau sekarang kita. Jualan online itu kan kita jadi kirain pajak kan 0,5 persen,” ujarnya.

    “Nah poinnya adalah begini. Pemerintah perlu mendesain dengan lebih komprehensif bagaimana kebijakan kebijakan itu bukan tiba saat tiba pikir gitu, tapi kemudian didesain bagaimana bahkan kebijakan fiskalnya pun aman karena konteks masalah kebijakan dengan Amerika,” tambahnya.

    Ajib menyampaikan dari sudut sektor swasta, khususnya pelaku usaha yang mengekspor ke Amerika Serikat, kesepakatan ini memberikan kepastian dan stabilitas dalam proyeksi ekonomi.

    Sedangkan dari sisi masyarakat, ia menyampaikan bahwa kebijakan ini menguntungkan karena produk-produk impor dari AS akan menjadi lebih murah akibat tarif bea masuk yang kini 0 persen.

  • Hati-hati, Pengelola Pulau Kecil Bisa Didenda 250 Persen jika Tak Kantongi Izin

    Hati-hati, Pengelola Pulau Kecil Bisa Didenda 250 Persen jika Tak Kantongi Izin

    JAKARTA – Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menyebut, pengusaha yang ingin memanfaatkan pulau-pulau kecil harus mempunyai perizinan dari KKP.

    Jika hal tersebut tidak dipenuhi, pengusaha akan dikenakan denda hingga 250 persen.

    Direktur Penanganan Pelanggaran Direktorat Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) KKP Teuku Elvitrasyah mengatakan, ada perubahan perhitungan formulasi denda bagi pelanggaran kapal penangkap ikan maupun usaha di pulau-pulau kecil.

    Hal itu tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2025 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko.

    Misalnya untuk kapal penangkap ikan, Teuku bilang, pengenaan denda administrasi pada beleid lama ada beberapa faktor dalam perhitungannya, seperti ukuran kapal, berapa hari pelanggaran, jenis ikan, efektivitas alat tangkap hingga harga patokan ikan.

    “Kalau dilihat di dalam Pasal 365, itu disebutkan pengenaan denda administrasi untuk pelanggaran, misalnya tidak memiliki perizinan berusaha atau Perizinan Berusaha untuk Menunjang Kegiatan Usaha (PB UMKU). Dalam hal ini perusahaan tidak memenuhi, itu dia hanya dikalikan dari GT kapal’,” ujar Teuku dalam agenda Bincang Bahari bertajuk “Reformasi Izin Usaha Sektor Kelautan dan Perikanan Melalui PP 28/2025 di kantor KKP, Jakarta, dikutip Kamis, 17 Juli.

    Untuk pemanfaatan pulau-pulau kecil, kata Teuku, harus memenuhi beberapa persyaratan, termasuk mengantongi izin dari Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (PKKPRL).

    Sebelumnya, beleid tersebut hanya mengizinkan pelaku usaha perizinan berusaha.

    Sementara dalam peraturan baru yang diterbitkan pada 5 Juni kemarin, pelaku usaha harus mengantongi izin dari KKP.

    “Untuk pulau-pulau kecil itu harus ada izin konfirmasi dulu. Jadi, itu ada beberapa jumlah, bukan lagi PKKPRL terus muncul konfirmasi itu. Jadi, ada dulu itu, baru nanti PKKPRL-nya terbit. Nanti, kalau itu sudah dilakukan ada pengenaan untuk formulasi penghitungannya berubah, termasuk untuk PMA dengan untuk PMDN itu dalam penghitungannya ada perubahan,” beber Teuku.

    Pada Pasal 359 ayat 3 poin a, tertuang pemanfaatan sumber daya perairan pesisir dan perairan pulau-pulau kecil yang tidak memenuhi atau tidak memilik PB dan/atau PB UMKU administratif denda dikenai sebagaimana diatur dalam peraturan pemerintah yang mengatur mengenai jenis dan tarif atas jenis PNBP berlaku pada kementerian yang urusan menyelenggarakan pemerintahan.

    Pada poin b, pemanfaatan pulau-pulau kecil, dalam rangka Penanaman Modal Asing (PMA) yang tidak memiliki rekomendasi merupakan persyaratan persetujuan KKPR dikenakan denda administratif sebesar 250 persen dikali luasan pelanggaran (hektare) dikali tarif rekomendasi.

    Ini berlaku untuk pemanfaatan pulau-pulau kecil dibawah 100 kilometer persegi.

    “Sebenarnya fungsi kami di sini tidak semata-mata melakukan usaha sebanyak-banyaknya tanpa melihat ada perlindungan terhadap ekonomi. Makanya itu dilakukan konfirmasi untuk PKKPRL,” jelas dia.

    Menurut Teuku, selama ini pulau-pulau kecil dimanfaatkan dengan skema Penanaman Modal Asing (PMA).

    “Kalau dilihat di tempat kami itu memang beberapa pulau-pulau kecil itu sebenarnya bukan kepemilikan oleh asing, tapi pemanfaatan oleh PMA,” ungkapnya.

    Teuku menjelaskan, pulau-pulau kecil itu dimanfaatkan untuk resort hingga area wisata.

    Meski begitu, dalam pemanfaatannya harus memenuhi peraturan berlaku dari pemerintah, dalam hal ini izin KKP.

  • BRIN Ungkap Rencana Siapkan Teknologi Carbon Netting Berbasis Nuklir

    BRIN Ungkap Rencana Siapkan Teknologi Carbon Netting Berbasis Nuklir

    BRIN Ungkap Rencana Siapkan Teknologi Carbon Netting Berbasis Nuklir
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Badan Riset dan Inovasi Nasional (
    BRIN
    ) berencana mengembangkan teknologi
    carbon netting
    berbasis akselerator nuklir.
    Carbon netting
    merupakan upaya untuk menyeimbangkan emisi karbon dengan menyerapnya kembali ke alam, sehingga mencapai kondisi netral karbon.
    Kepala BRIN
    Laksana Tri Handoko
    mengatakan, karena kompleksitas proses pengadaan, instalasi alat tersebut ditunda dua tahun mendatang.
    Namun, saat ini Indonesia telah memiliki perangkat carbon netting, meskipun hanya terbatas untuk pengujian karbon hingga usia 50.000 tahun.
    “Tahun ini sebenarnya direncanakan pemasangan alat carbon netting yang berbasis akselerator atau
    teknologi nuklir
    , yang mampu mengukur karbon hingga jutaan tahun. Lokasinya direncanakan di Kawasan Nuklir Pasar Jumat,” ujar Handoko, dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi X DPR RI, Kamis (17/7/2025).
    Namun, karena alat tersebut bersifat
    customized
    dan memerlukan waktu produksi selama dua tahun, BRIN memutuskan untuk menunda instalasinya hingga tahun depan.
    “Kami sepakat dengan Kementerian Keuangan untuk menunda. Pembiayaannya juga bukan dari Rupiah Murni, melainkan dari Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP),” ujar dia.
    Menurut Handoko, alat carbon netting berbasis nuklir ini memiliki nilai investasi yang sangat tinggi, mencapai hampir Rp 70 miliar.
    Selain itu, biaya operasionalnya juga tergolong besar, sehingga tidak dapat dipasang sembarangan.
    “Alat seperti ini harus berada di kawasan nuklir. Dan kami di BRIN sudah memiliki semua infrastruktur dan SDM-nya, karena memang kami mengelola teknologi nuklir,” ujar dia.
    Handoko juga menyampaikan bahwa sekitar 60 persen dari total anggaran riset di BRIN saat ini dimanfaatkan oleh kalangan perguruan tinggi yang melakukan penelitian di berbagai fasilitas BRIN.
    “Khusus untuk riset berbasis infrastruktur besar seperti nuklir, itu sudah pasti harus melalui BRIN. Karena pengelolaan dan keamanannya tidak bisa dilakukan sembarangan,” tegas dia.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Ada Pemutihan Pajak, Cek Fisik Kendaraan di Samsat Bayar Berapa?

    Ada Pemutihan Pajak, Cek Fisik Kendaraan di Samsat Bayar Berapa?

    Jakarta

    Pemutihan pajak kendaraan masih diselenggarakan di beberapa provinsi di Indonesia. Ini menjadi kesempatan buat pemilik kendaraan untuk kembali memperpanjang masa berlaku STNK. Dalam proses perpanjangan STNK 5 tahunan, ada syarat cek fisik kendaraan. Berapa biaya cek fisik di Samsat?

    Untuk melakukan perpanjangan STNK, ada beberapa syarat yang harus dilengkapi. Salah satunya adalah syarat cek fisik kendaraan buat perpanjang STNK 5 tahunan. Dalam hal ini, kendaraan harus dihadirkan ke Samsat untuk dicek fisik.

    Cek fisik merupakan prosedur awal untuk perpanjang STNK 5 tahunan. Petugas akan mengecek dan menggesek nomor rangka serta nomor mesin kendaraan. Namun perlu diketahui, cek fisik kendaraan di Samsat seharusnya tidak dipungut biaya.

    Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 76 Tahun 2020 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), tidak disebutkan harus membayar biaya cek fisik kendaraan. Dikutip dari situs Indonesiabaik, juga ditegaskan bahwa cek fisik gratis alias tidak ada biaya sama sekali. Artinya, seharusnya cek fisik di Samsat tidak dikenakan biaya.

    Adapun biaya yang dikeluarkan untuk perpanjang STNK 5 tahunan roda 2 atau 3 di antaranya biaya penerbitan STNK sebesar Rp 100.000 dan biaya penerbitan TNKB (pelat nomor) RP 60.000. Sedangkan untuk kendaraan roda empat atau lebih, penerbitan STNK sebesar Rp 200 ribu dan penerbitan TNKB Rp 100 ribu.

    Selain biaya penerbitan STNK dan TNKB, pemilik kendaraan juga harus membayar pajak kendaraan bermotor (PKB) serta Sumbangan Wajib Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan (SWDKLLJ).

    Pajak kendaraan dan opsen berbeda-beda tergantung kendaraannya. Kamu bisa melihat/memperkirakan besaran PKB di lembar STNK. Bisa juga dengan mengecek besaran pajak kendaraan di situs pemerintah provinsi masing-masing dengan memasukkan pelat nomor.

    Sedangkan SWDKLLJ, besarannya sudah ditentukan sesuai Peraturan Menteri Keuangan RI Nomor 36/PMK.010/2008. Biaya SWDKLLJ sebesar Rp 35.000 untuk sepeda motor dan Rp 143.000 untuk kendaraan roda empat yang bukan angkutan umum seperti sedan, pick up atau jip.

    (rgr/dry)

  • DPR Setujui Usulan Tambahan Anggaran Kemendag Tahun 2026 Jadi Rp1,98 Triliun

    DPR Setujui Usulan Tambahan Anggaran Kemendag Tahun 2026 Jadi Rp1,98 Triliun

    Bisnis.com, JAKARTA — Komisi VI DPR menerima usulan tambahan anggaran Kementerian Perdagangan (Kemendag) senilai Rp886,63 miliar untuk tahun anggaran 2026. Alhasil, anggaran Kemendag pada 2026 menjadi Rp1,98 triliun.

    Hal itu disampaikan Wakil Ketua Komisi VI Eko Patrio dalam rapat kerja Komisi VI DPR dengan Menteri Perdagangan di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (16/7/2025).

    “Komisi VI DPR RI telah menerima penjelasan dari Kementerian Perdagangan Republik Indonesia mengenai usulan tambahan anggaran tahun 2026, yaitu sebesar Rp886.635.770.000. Setuju, Pak Menteri [Menteri Perdagangan Budi Santoso]?” ujar Eko.

    Di samping itu, Eko menambahkan bahwa Komisi VI DPR juga telah menerima usulan pembangunan dan revitalisasi pasar rakyat sebanyak 404 unit dari 194 kabupaten/kota dengan total kebutuhan anggaran sebesar Rp2.424 triliun.

    Dalam kesempatan yang sama, Menteri Perdagangan (Mendag) Budi Santoso telah mengusulkan tambahan anggaran untuk 2026. Pasalnya, Budi mengungkap Kemendag mendapatkan pagu indikatif anggaran 2026 senilai Rp1,1 triliun.

    Pagu indikatif ini dialokasikan untuk sebagian besar belanja operasional dan sebagian kecil belanja non operasional.

    Perinciannya, pertama, belanja operasional dengan total Rp1,07 triliun yang terdiri dari belanja pegawai sebesar Rp722,12 miliar dan belanja barang sebesar Rp349,6 miliar. Kedua, belanja nonoperasional dengan total Rp28,62 miliar yang seluruhnya bersumber dari Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).

    “Dialokasikan untuk sebagian kecil anggaran layanan KDEI atau Kantor Dagang dan Ekonomi Indonesia, layanan Bappebti, layanan Ditjen PKTN, dan layanan BSDMP,” ungkap Budi.

    Namun, Budi menjelaskan bahwa belanja non operasional ini baru memenuhi sebagian kecil kegiatan yang mendukung tugas dan fungsi Kemendag.

    Memperhatikan penugasan Kementerian Perdagangan pada Perpres nomor 12 tahun 2025 tentang RPJMN tahun 2025-2029 untuk mengakomodir dan mengampu pencapaian target indikator kerja ekonomi nasional terkait sektor berdagangan yang sangat penting bagi kinerja berkembang nasional,

    Alhasil, Kemendag telah mengajukan usulan tambahan anggaran tahun 2026 melalui surat dinas Nomor PR.02.00/387/M-DAG/SD/06/2025 kepada Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati dan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional sebesar Rp886,63 miliar

    “… sehingga usulan anggaran tahun 2026 menjadi sebesar Rp1,98 triliun [untuk tahun anggaran 2026],” ungkapnya.

    Adapun, usulan tambahan anggaran ini terdiri dari belanja operasional senilai Rp272,57 miliar dan belanja nonoperasional sebesar Rp14,05 miliar. Budi menjelaskan bahwa usulan ini telah dibahas dalam trilateral meeting.

    “Usulan tambahan anggaran tersebut akan kami pergunakan untuk mengakomodir kekurangan belanja pegawai, belanja barang operasional lainnya, dan belanja non operasional dalam menunjang tupoksi Kementerian Perdagangan yang belum teralokasikan,” terangnya

    Lebih lanjut, Budi menyampaikan bahwa anggaran tersebut aka dikelompokkan menjadi tiga fokus program kerja Kemendag.

    Pertama, pengamanan pasar dalam negeri melalui peningkatan perdagangan antar wilayah, optimalisasi sarana perdagangan, fasilitasi pengembangan dan sertifikasi produk. Kemudian, peningkatan pemberdayaan konsumen, pengawasan berdagangan, kepastian dan kemudahan usaha, pengembangan produk dalam negeri, dan tindakan pengamanan perdagangan.

    Kedua, sambung Budi, perluasan pasar ekspor gun membuka akses pasar dan mengurangi hambatan beragangan melalui penguatan diplomasi perdagangan internasional dan peningkatan promosi dan informasi perdagangan.

    Serta ketiga, peningkatan UMKM Bisa Ekspor, yakni melalui peningkatan inovasi desain, business matching, pitching dengan perwakilan beragangan di luar negeri, pengaturan promosi beragangan di luar negeri, peningkatan peran agregator, penguatan diplomasi perdagangan internasional, serta peningkatan promosi dan informasi ekspor.

    “Melalui usulan tambahan anggaran ini, kami yakin dapat meningkatkan daya saing perdagangan di Indonesia, baik di pasar domestik maupun internasional. Sehingga dapat mewujudkan pencapaian target kinerja perdagangan nasional dan memberikan manfaat yang nyata bagi masyarakat,” pungkasnya.

  • Imigrasi Buka Visa Pendidikan Nonformal untuk WNA, Berlaku hingga Dua Tahun – Page 3

    Imigrasi Buka Visa Pendidikan Nonformal untuk WNA, Berlaku hingga Dua Tahun – Page 3

     

    Liputan6.com, Jakarta – Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan resmi membuka layanan visa tinggal terbatas (vitas) bagi warga negara asing (WNA) yang ingin mengikuti pendidikan nonformal di Indonesia.

    Kebijakan ini mulai berlaku pada Selasa (15/7/2025) dan memberikan izin tinggal melalui visa indeks E30 selama satu atau dua tahun.

    “Permohonan visa pendidikan nonformal dilakukan secara daring melalui evisa.imigrasi.go.id. Untuk mengajukan visa ini, WNA perlu memiliki penjamin. Penjamin tersebut bisa perorangan atau institusi pendidikan nonformal yang dituju,” kata Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Imigrasi, Yuldi Yusman, dalam keterangan resmi yang diterima di Jakarta, Rabu (16/7/2025).

    Visa ini ditujukan untuk memfasilitasi WNA yang mengikuti kursus bahasa, pelatihan keahlian atau keprofesian, serta pendidikan nonformal lainnya guna menunjang pengembangan karier.

    Syarat pengajuan vitas pendidikan nonformal tidak berbeda dari visa lainnya, seperti paspor dengan masa berlaku minimal enam bulan, bukti kemampuan finansial (minimal setara 2.000 dolar AS), serta pasfoto terbaru berwarna.

    Biaya penerimaan negara bukan pajak (PNBP) untuk visa E30 ditetapkan sebesar Rp6.000.000 untuk masa tinggal satu tahun, dan Rp8.500.000 untuk masa tinggal dua tahun.

    Selain visa pendidikan nonformal, Ditjen Imigrasi juga memperpanjang opsi masa tinggal untuk visa pendidikan formal. Visa pendidikan dasar dan menengah (indeks E30A), serta pendidikan tinggi (indeks E30B), kini bisa berlaku hingga empat tahun.

    “Sebelumnya, masa berlaku izin tinggal untuk pendidikan formal hanya satu tahun dan dua tahun,” ujar Yuldi.

     

    Ratusan Warga Negara Indonesia (WNI) gagal berangkat haji setelah diketahui tidak memiliki visa haji resmi. Mereka terpaksa dipulangkan dan tidak dapat melanjutkan ibadah ke Tanah Suci.