Produk: PNBP

  • DPR RI sahkan RAPBN 2026, belanja negara ditetapkan Rp3.842 triliun

    DPR RI sahkan RAPBN 2026, belanja negara ditetapkan Rp3.842 triliun

    Jakarta (ANTARA) – DPR RI bersama Pemerintah resmi mengesahkan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) Tahun 2026.

    Pengesahan itu diambil dalam Rapat Paripurna DPR ke-5 di Jakarta, Selasa, yang dipimpin oleh Ketua DPR RI Puan Maharani.

    “Apakah RUU APBN dapat disetujui untuk disahkan menjadi Undang-Undang?” tanya Puan kepada anggota dewan yang hadir.

    “Setuju”, ujar seluruh anggota rapat serentak.

    Kemudian, Puan mengetukkan palu sidang sebagai tanda pengesahan.

    Sebelum keputusan diambil, Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR RI Said Abdullah merinci postur APBN 2026 yang ditetapkan.

    Selain itu, Said juga membacakan pendapat seluruh fraksi DPR RI yang menyatakan persetujuan terhadap RAPBN 2026.

    Berdasarkan keputusan rapat, belanja negara pada 2026 ditetapkan sebesar Rp3.842,72 triliun.

    Anggaran itu terdiri atas belanja pemerintah pusat Rp3.149,73 triliun dan transfer ke daerah Rp692,99 triliun.

    Rinciannya, belanja kementerian/lembaga (K/L) mencapai Rp1.510,55 triliun, sedangkan belanja non-K/L sebesar Rp1.639,19 triliun.

    Sementara itu, pendapatan negara ditargetkan sebesar Rp3.153,58 triliun, terdiri dari penerimaan perpajakan Rp2.693,71 triliun, penerimaan negara bukan pajak (PNBP) Rp459,2 triliun, dan hibah Rp0,66 triliun.

    Dengan postur tersebut, RAPBN 2026 diproyeksikan mengalami defisit Rp698,15 triliun atau setara 2,68 persen terhadap produk domestik bruto (PDB).

    Keseimbangan primer dipatok sebesar Rp89,71 triliun dan pembiayaan Rp689,15 triliun.

    DPR RI juga menyepakati sejumlah asumsi makro APBN 2026, di antaranya pertumbuhan ekonomi 5,4 persen, inflasi 2,5 persen, nilai tukar Rp16.500 per dolar AS.

    Kemudian pemerintah menyepakati suku bunga SBN 10 tahun 6,9 persen, harga minyak mentah Indonesia (ICP) 70 dolar AS per barel.

    Target lifting minyak ditetapkan 610 ribu barel per hari dan gas bumi 984 ribu barel setara minyak per hari.

    Selain itu, RAPBN 2026 juga menargetkan tingkat pengangguran terbuka 4,44-4,96 persen, kemiskinan 6,5-7,5 persen, kemiskinan ekstrem 0-0,5 persen, dan Gini ratio 0,377-0,380.

    Indeks Modal Manusia dipatok 0,57, Indeks Kesejahteraan Petani 0,7731, penciptaan lapangan kerja formal 37,95 persen, serta Pendapatan Nasional Bruto (PNB) per kapita 5.520 dolar AS.

    Pemerintah juga menargetkan penurunan intensitas emisi gas rumah kaca 37,14 persen dan Indeks Kualitas Lingkungan Hidup 76,67 persen.

    Pewarta: Bayu Saputra
    Editor: Abdul Hakim Muhiddin
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Komisi IV DPR RI tekankan tata kelola kawasan hutan di Sulteng

    Komisi IV DPR RI tekankan tata kelola kawasan hutan di Sulteng

    Palu (ANTARA) – Wakil Ketua Komisi IV DPR RI Abdul Kharis Almasyhari menekankan pentingnya tata kelola kawasan hutan di Provinsi Sulawesi Tengah dilakukan secara adil dan berkesinambungan.

    “Hal ini agar potensi besar yang dimiliki benar-benar memberi manfaat nyata bagi masyarakat,” katanya dalam keterangannya di Palu, Selasa, saat kunjungan kerja Komisi IV DPR RI untuk melaksanakan diskusi bersama Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah tentang penggunaan kawasan hutan.

    Komisi IV DPR RI membidangi pengawasan sektor pertanian, kehutanan dan kelautan. Wakil Ketua Komisi IV DPR menyebut luasnya kawasan hutan di Sulawesi Tengah harus dikelola dengan tata kelola yang lebih baik.

    Abdul Kharis menyoroti tanggung jawab pelaku usaha yang memegang izin Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan (PPKH) agar tidak hanya mengambil manfaat saja, tetapi juga harus melaksanakan kewajiban sesuai ketentuan.

    Menurut dia, kewajiban itu antara lain merehabilitasi daerah aliran sungai (DAS), membayar Penerimaan Negara Bukan Pajak Penggunaan Kawasan Hutan (PNBP-PKH), serta ikut memberdayakan masyarakat di sekitar kawasan.

    “Potensinya besar, tapi realitasnya belum memberikan kesejahteraan yang berdampak,” ujarnya.

    Wakil Gubernur Sulawesi Tengah Reny A. Lamadjido juga menekankan keseimbangan antara aspek ekologi dan ekonomi dalam pengelolaan kawasan hutan.

    “Lebih dari 66 persen wilayah Sulawesi Tengah merupakan kawasan hutan dengan beragam fungsi, mulai dari konservasi, lindung, hingga hutan produksi,” ujarnya.

    Pewarta: Nur Amalia Amir
    Editor: Zaenal Abidin
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Menjawab tantangan kredibilitas perpajakan melalui pembentukan BPN

    Menjawab tantangan kredibilitas perpajakan melalui pembentukan BPN

    Dalam konteks yang lebih luas, pembentukan BPN tidak boleh dilihat semata sebagai tujuan akhir, melainkan sebagai instrumen transformatif untuk menutup jurang antara potensi dan realisasi penerimaan negara.

    Jakarta (ANTARA) – Keputusan pemerintah membentuk Badan Penerimaan Negara (BPN) sebagaimana tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 79 Tahun 2025 tentang Pemutakhiran Rencana Kerja Pemerintah (RKP) Tahun 2025 menandai langkah besar dalam reformasi pengelolaan fiskal Indonesia.

    Program ini dikategorikan sebagai salah satu Program Hasil Terbaik Cepat yang ditujukan untuk meningkatkan rasio penerimaan negara terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) hingga mencapai target ambisius sebesar 23 persen.

    Kehadiran BPN tidak hanya dipandang sebagai kebijakan teknokratis, melainkan juga sebagai jawaban atas tantangan kredibilitas perpajakan yang selama ini menjadi sorotan, baik di ranah akademis, praktisi, maupun dalam ruang publik.

    Kritik yang belakangan ini ramai, termasuk dari Dewan Energi Nasional (DEN), menyebut bahwa Direktorat Jenderal Pajak (DJP) sering dianggap “hanya berburu di kebun binatang”. Istilah ini menggambarkan kecenderungan aparat pajak mengejar wajib pajak yang sudah patuh dan berada dalam lingkaran formal, alih-alih memperluas basis pajak dengan menjangkau sektor informal dan potensi baru.

    Kritik ini menohok legitimasi DJP sebagai lembaga yang seharusnya menjadi tulang punggung penerimaan negara. Maka, pembentukan BPN hadir sebagai bentuk koreksi struktural dan institusional untuk mengubah paradigma lama tersebut.

    Dalam konteks inilah, gagasan pembentukan BPN menemukan relevansinya. Pemerintah berupaya keluar dari jebakan “perburuan di kebun binatang” dengan membangun satu institusi baru yang tidak hanya mengintegrasikan penerimaan pajak, bea-cukai, dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), tetapi juga memperkuat basis data, sistem informasi, serta strategi intelijen fiskal.

    Esensi dari langkah ini adalah memperluas jangkauan penerimaan negara dengan instrumen kelembagaan yang lebih modern, terintegrasi, dan kredibel.

    Langkah besar reformasi fiskal

    Narasi pemerintah tentang BPN tidak bisa dilepaskan dari realitas penerimaan negara tahun berjalan. Data fiskal menunjukkan adanya shortfall penerimaan di beberapa kuartal 2025, sementara realisasi pajak hingga pertengahan tahun belum mampu menembus separuh target. Situasi ini membuat pemerintah terdesak untuk mencari solusi struktural.

    Sejak lama tax ratio Indonesia bergerak di kisaran 9 – 11 persen dari PDB, jauh di bawah rata-rata negara-negara OECD yang berada di atas 20 persen. Meski sempat membaik setelah pandemi, angka itu kembali bergejolak pada 2025, sehingga target ambisius 23 persen membutuhkan instrumen kelembagaan baru yang diyakini lebih mampu mendongkrak kinerja.

    Secara historis, tax ratio Indonesia sempat berada di kisaran 9,11 persen pada tahun 2020, kemudian naik perlahan menjadi 10,33 persen pada tahun 2023 dan diproyeksikan mencapai 11,1 persen pada akhir 2025. Namun, proyeksi ini masih jauh dari rata-rata negara berkembang di Asia yang sudah menembus 15–18 persen.

    Di sinilah BPN diharapkan memberikan dorongan signifikan melalui optimalisasi penerimaan, harmonisasi pajak dan bea cukai, serta integrasi dengan sektor penerimaan non-pajak.

    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Realisasi PNBP Migas Turun, Nonmigas Tumbuh Tipis Juni-Agustus 2025

    Realisasi PNBP Migas Turun, Nonmigas Tumbuh Tipis Juni-Agustus 2025

    Bisnis.com, JAKARTA — Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat kontraksi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari sektor migas dan minerba yang tumbuh tipis pada periode Juni-Agustus 2025. 

    Adapun, realisasi PNBP SDA migas mencapai Rp25,2 triliun pada Juni-Agustus 2025 atau turun 6,8% (year-on-year) dari periode yang sama tahun sebelumnya Rp27 triliun. 

    Wakil Menteri Keuangan Anggito Abimanyu mengatakan realisasi PNBP dari sektor migas turun lantaran dipengaruhi kontrkasi rata-rata ICP periode Mei-Juli sebesar 16,8% yoy dan lifting gas bumi yang terkontraksi 4,3% yoy pada periode yang sama. 

    “Kalau kita lihat karena koreksi dari harga dan lifting, pendapatan SDA migas kita masih negatif 6,8% (year-on-year/yoy),” kata Anggito dalam konferensi pers APBN Kita September 2025, Senin (22/9/2025). 

    Sementara itu, realisasi SDA nonmigas yang 90% disumbang oleh sektor Minerba mencapai Rp29 triliun atau tumbuh 1,5% pada Juni-Agustus 2025. Angka tersebut naik tipis dari periode yang sama tahun lalu Rp28,6 triliun. 

    Realisasi PNBP nonmigas ini dipengaruhi kinerja pertambangan minerba dari penurunan harga batubara acuan (HBA) dan volume produksi batubara. Adapun, rata-rata HBA periode Juni-Agustus terkontrasi 17,6% yoy dan rata-rata volume produksi batubara 10,1% yoy. 

    “Nonmigas ini sebagian besar dari minerba, minerba juga nasibnya cukup sama dengan perkembangan di migas meskipun demikian tidak sebesar kontraksi di sisi migas, kita tumbuh dibandingkan tahun lalu dan juga ini karena faktor harga dan produksi yang memuat PNBP nonmigas pertumbuhannya rendah,” tuturnya. 

    Pihaknya mencatat realisasi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) mencapai Rp306,8 triliun hingga 31 Agustus 2025. Adapun, SDA migas mencapai Rp65 triliun, SDA nonmigas Rp75,6 triliun, PNBP lainnya Rp91,9 triliun, dan BLU Rp62,5 triliun. 

  • Kemenkeu Sudah Tarik Utang Rp 463,7 T

    Kemenkeu Sudah Tarik Utang Rp 463,7 T

    Jakarta

    Kementerian Keuangan menarik utang Rp 463,7 triliun hingga Agustus atau selama 8 bulan pertama 2025. Utang pemerintah naik 33,4% dibandingkan periode yang sama tahun lalu (year-on-year/YoY) mencapai Rp 347,6 triliun.

    Wakil Menteri Keuangan II Thomas Djiwandono mengatakan, realisasi penarikan utang hingga Agustus 2025 mencapai Rp 463,7 triliun atau 59,8% dari porsi APBN 2025 yang mencapai Rp 775,9 triliun.

    “Pembiayaan utang sebesar Rp 463,7 triliun atau 59,8% dari target APBN,” ujar Thomas, dalam Konferensi Pers APBN KiTa di Kementerian Keuangan, Jakarta Pusat, Senin (22/9/2025)

    Sedangkan pembiayaan non-utang minus Rp 38 triliun atau 23,8% dari APBN. Pembiayaan non-utang ini artinya tidak menambah utang melainkan berinvestasi di sektor tertentu.

    Dengan realisasi pembiayaan utang dan non-utang seperti yang disebutkannya, secara keseluruhan realisasi pembiayaan hingga 31 Agustus 2025 mencapai Rp 425,7 triliun, 69,1% dibandingkan dengan pagu Rp 616,2 triliun. Angka ini naik 44,3% dibandingkan realisasi 31 Agustus 2024 yang mencapai Rp 295 triliun.

    Secara keseluruhan, pendapatan negara sampai 31 Agustus 2025 mencapai Rp 1.638,7 triliun atau 57,2% dari outlook, sementara belanja negara terealisasi Rp 1.960,3 triliun atau 55,6% dari outlook.

    Lebih rinci diketahui, pendapatan negara yang terkumpul Rp 1.638,7 triliun berasal dari penerimaan pajak Rp 1.135,4 triliun, kepabeanan dan cukai Rp 194,9 triliun, serta Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Rp 306,8 triliun.

    Sementara itu, belanja negara Rp 1.960,3 triliun berasal dari belanja pemerintah pusat Rp 1.388,8 triliun, serta transfer ke daerah Rp 571,5 triliun.

    Keseimbangan primer berada pada posisi Rp 22 triliun. Sedangkan defisit tercatat hingga 31 Agustus 2025 mencapai Rp 321,6 triliun atau setara dengan 1,35% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).

    (shc/ara)

  • Setoran Bea Cukai Tumbuh Positif, Tembus Rp 195 T di Agustus 2025

    Setoran Bea Cukai Tumbuh Positif, Tembus Rp 195 T di Agustus 2025

    Jakarta, CNBC Indonesia – Setoran penerimaan kepabeanan dan cukai menjadi satu-satunya yang mengalami pertumbuhan dalam komponen pendapatan negara hingga Agustus 2025.

    Penerimaan kepabeanan dan cukai sudah tembus Rp 194,9 triliun atau naik 6,4% dibanding realisasi periode yang sama tahun lalu sebesar Rp 183,2 triliun.

    Sementara itu, komponen pendapatan negara lainnya, seperti penerimaan pajak sebesar Rp 1.135,4 triliun atau turun 5,1% dibanding realisasi per akhir Agustus 2024 yang sebesar Rp 1.196,5 triliun, dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) baru Rp 306,8 triliun, minus 20,1% dari sebelumnya Rp 384,1 triliun.

    “Jadi sudah di atas rata-rata itu kenaikan dari penerimaan bea cukai,” kata Wakil Menteri Keuangan Anggito Abimanyu saat konferensi pers APBN di kantornya, Jakarta, Senin (22/9/2025).

    Berdasarkan komponennya, penerimaan kepabeanan dan cukai Rp 194,9 triliun itu paling besar ditopang setoran cukai mencapai Rp 144 triliun dengan porsi 73,9% terhadap total setoran kepabeanan dan cukai.

    Nilai setoran cukai itu tumbuh 4,1% secara tahunan. Setoran cukai ini naik meskipun dari sisi produksi cukai hasil tembakau turun 1,9%.

    “Setelah kita melakukan kebijakan cukai yang lebih akomodatif, tidak menaikkan tarif tapi menyesuaikan HJE maka penerimaan cukai ini cukup stabil,” paparnya.

    Kedua, berasal dari setoran bea keluar yang tumbuhnya menjadi yang tertinggi, yakni 71,7% dengan nilai menjadi Rp 18,7 triliun dan porsinya terhadap keseluruhan setoran bea dan cukai 9,6%.

    Setoran bea keluar utamanya ditopang harga minyak mentah kelapa sawit atau CPO indonesia yang lebih tinggi dan kenaikan volume ekspornya hingga 8,5% terutama ke Pakistan, Amerika Serikat, dan Malaysia. Di sisi lain, adapula kebijakan ekspor konsentrat tembaga.

    Terakhir untuk bea masuk justru terkontraksi sebesar 5,1% menjadi senilai Rp 32,2 triliun. Porsinya sebesar 16,5% dari total penerimaan bea dan cukai.

    Turunnya setoran bea masuk ini dipengaruhi kebijakan mendukung perdagangan komoditas pangan dan utilisasi free trade agreement atau FTA.

    “Karena sejak awal kita membuat policy untuk tidak melakukan impor sehingga bea masuknya tidak kita pungut sehingga ada penurunan ini karena memang karena kebijakan yang kita lakukan sehingga mengurangi penerimaan negara dari bea masuk,” ucap Anggito.

    (haa/haa)

    [Gambas:Video CNBC]

  • ESDM paparkan sumber daya batu bara Indonesia capai 31,9 miliar ton

    ESDM paparkan sumber daya batu bara Indonesia capai 31,9 miliar ton

    kita memproduksi batu bara rata-rata di atas 700 juta ton mulai tahun 2023, tahun 2024 mencapai 836 juta ton

    Badung, Bali (ANTARA) – Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memaparkan sumber daya batu bara Indonesia saat ini mencapai 31,9 miliar ton dengan jumlah perusahaan tambang mencapai 959 perusahaan.

    Direktur Jenderal Mineral dan Batubara (Dirjen Minerba) Kementerian ESDM Tri Winarno dalam acara Fastmarkets CT Asia 2025 yang diselenggarakan oleh Asosiasi Pertambangan Batu bara Indonesia dan Indonesian Coal Mining Association (APBI-ICMA) di Jimbaran, Kabupaten Badung, Bali, Senin, mengatakan jumlah tersebut menempatkan Indonesia sebagai negara yang memiliki perusahaan tambang batu bara terbanyak di dunia.

    “Dengan jumlah perusahaan tambang 959 ini kita memproduksi batu bara rata-rata di atas 700 juta ton mulai tahun 2023, di tahun 2024 mencapai 836 juta ton dan pada saat ini kita menargetkan produksi 739 juta ton,” katanya.

    Dalam konferensi tahunan industri batu bara terbesar skala internasional yang mempertemukan pelaku usaha, pemerintah dan pemangku kepentingan terkait untuk membahas perkembangan pasar, kebijakan dan arah industri ke depan di Intercontinental Jimbaran Bali, Winarno membeberkan saat ini produksi batubara Indonesia sudah mencapai 509 juta ton atau 68 persen dari total produksi yang ditargetkan tahun 2025.

    Dia menjelaskan batu bara Indonesia telah mempengaruhi geopolitik global dan secara nasional telah menjadi penggerak ekonomi terutama sumbangan terhadap Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) mencapai 70 persen.

    Dimana pada tahun 2024, kata dia, penerimaan pajak dari subsektor minerba mencapai Rp143 triliun.

    Pemerintah, kata dia, menargetkan tahun 2025, PNBP dari sektor minerba bisa mencapai Rp123 triliun.

    Winarno menjelaskan pemerintah berkomitmen ke depan batu bara dikembangkan agar semakin bersih menuju target Net Zero Emission (NZE) pada 2060.

    “Peran batu bara di Indonesia di samping sebagai salah satu sumber energi, tetapi juga kita upayakan, batubara ini menuju ke transisi tahun 2060, sudah semakin bersih dibanding dengan kondisi pada saat ini,” ungkapnya.

    Dia menjelaskan Indonesia juga merencanakan mengurangi ketergantungan terhadap batu bara, dalam arti pengguna batu bara dapat menjadi lebih bersih dibanding dengan kondisi saat ini.

    Meskipun demikian, dirinya tidak menampik konsumsi batu bara untuk domestik sudah mencapai sekitar 300 juta ton per tahun.

    Di mana serapan paling besar batubara industri pembangkit listrik. Sementara untuk industri kertas, industri semen, tekstil dan lain sebagainya relatif lebih rendah dibanding serapan untuk pembangkit listrik tenaga uap.

    Dia berharap semua pemangku kepentingan dalam forum Fastmarkets CT Asia 2025 baik pelaku usaha maupun pemerintah dapat berkolaborasi dan bersinergi terutama mewujudkan transisi energi.

    Pewarta: Rolandus Nampu
    Editor: Agus Salim
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Tren Penerimaan Negara Turun, Menkeu Purbaya Beri Rincian

    Tren Penerimaan Negara Turun, Menkeu Purbaya Beri Rincian

    FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Tren penurunan pendapatan negara terjadi hampir pada semua komponen. Kondisi tersebut disampaikan Menteri Keuangan (Menkeu), Purbaya Yudhi Sadewa.

    Purbaya menyebutkan, pendapatan negara terkumpul sebesar Rp 1.638,7 triliun atau 57,2 persen dari proyeksi (outlook) APBN 2025.

    Dia menjelaskan nilai itu terkoreksi sebesar 7,8 persen dibandingkan realisasi pada periode yang sama tahun lalu sebesar Rp1.777,3 triliun.

    Menurut Purbaya, tren penurunan ini pun terlihat pada hampir seluruh komponen

    penerimaan negara. “Serapan dari perpajakan turun sebesar 3,6 persen dengan nilai realisasi

    Rp 1.330,4 triliun atau 55,7 persen dari outlook,” kata Purbaya saat konferensi pers APBN KiTa Edisi September 2025 di Jakarta, Senin (22/9).

    Adapun perinciannya, penerimaan dari pajak terkoreksi sebesar 5,1 persen dengan nilai

    realisasi Rp1.135,4 triliun atau 54,7 persen dari outlook.

    Namun, dukungan positif terlihat dari penerimaan kepabeanan dan cukai yang tumbuh 6,4

    persen dengan realisasi Rp194,9 triliun yang setara 62,8 persen dari outlook.

    Sementara penerimaan negara bukan pajak (PNBP) tercatat mencapai Rp306,8 triliun atau

    64,3 persen dari outlook, tetapi turun signifikan sebesar 20,1 persen.

    Oleh karena itu, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025 mengalami defisit

    sebesar Rp321,6 triliun atau 1,35 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) per 31

    Agustus 2025. “Defisit APBN Rp 321,6 triliun atau 1,35 persen PDB,” ungkap Purbaya.

    Di sisi lain, tren berbeda terlihat pada penyaluran belanja negara yang rata-rata komponen

  • APBN defisit Rp321,6 triliun per 31 Agustus 2025

    APBN defisit Rp321,6 triliun per 31 Agustus 2025

    Defisit APBN Rp321,6 triliun atau 1,35 persen PDB

    Jakarta (ANTARA) – Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa melaporkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025 mengalami defisit sebesar Rp321,6 triliun atau 1,35 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) per 31 Agustus 2025.

    “Defisit APBN Rp321,6 triliun atau 1,35 persen PDB,” kata Purbaya dalam konferensi pers APBN KiTa Edisi September 2025 di Jakarta, Senin.

    Pendapatan negara terkumpul sebesar Rp1.638,7 triliun atau 57,2 persen dari proyeksi (outlook) APBN tahun ini. Nilai itu terkoreksi sebesar 7,8 persen dibandingkan realisasi pada periode yang sama tahun lalu sebesar Rp1.777,3 triliun. Tren penurunan ini pun terlihat pada hampir seluruh komponen penerimaan.

    Serapan dari perpajakan turun sebesar 3,6 persen dengan nilai realisasi Rp1.330,4 triliun atau 55,7 persen dari outlook.

    Rinciannya, penerimaan dari pajak terkoreksi sebesar 5,1 persen dengan nilai realisasi Rp1.135,4 triliun atau 54,7 persen dari outlook.

    Namun, dukungan positif terlihat dari penerimaan kepabeanan dan cukai yang tumbuh 6,4 persen dengan realisasi Rp194,9 triliun yang setara 62,8 persen dari outlook.

    Sementara penerimaan negara bukan pajak (PNBP) tercatat mencapai Rp306,8 triliun atau 64,3 persen dari outlook, namun turun signifikan sebesar 20,1 persen.

    Tren berbeda terlihat pada penyaluran belanja negara yang rata-rata komponen mencatatkan pertumbuhan.

    Belanja negara per 31 Agustus 2025 tercatat sebesar Rp1.960,3 triliun atau 55,6 persen dari outlook, tumbuh 1,5 persen dibandingkan realisasi periode yang sama tahun lalu sebesar Rp1.930,7 triliun.

    Belanja pemerintah pusat (BPP) juga tumbuh 1,5 persen, dengan realisasi Rp1.388,8 triliun atau setara 52,1 persen dari outlook.

    Namun, perlambatan terjadi pada belanja kementerian/lembaga (K/L) yang terkoreksi 2,5 persen dengan realisasi Rp686 triliun yang setara 53,8 persen dari outlook.

    Berbeda dengan belanja K/L, belanja non-K/L terakselerasi sebesar 5,6 persen dengan realisasi Rp702,8 triliun atau 50,6 persen dari outlook.

    Sedangkan realisasi transfer ke daerah (TKD) tercatat sebesar Rp571,5 triliun atau 66,1 persen dari outlook. Realisasi ini tumbuh sebesar 1,7 persen.

    Dengan realisasi itu, keseimbangan primer tercatat surplus Rp22 triliun. Keseimbangan primer mencerminkan kemampuan negara mengelola utang.

    Dengan surplus keseimbangan primer maka kondisi fiskal dapat dikatakan masih cukup memadai untuk mengelola pendapatan, belanja dan utang.

    Pewarta: Imamatul Silfia
    Editor: Agus Salim
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Pendaftaran Internet 100 Mbps Dibuka, Pendapatan Negara Melonjak

    Pendaftaran Internet 100 Mbps Dibuka, Pendapatan Negara Melonjak

    Jakarta, CNBC Indonesia – Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) memastikan target Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) pada 2026 akan mengalami kenaikan dibandingkan tahun ini.

    “Kalau target PNBP ini memang terjadi kenaikan dari tahun 2025 ke tahun 2026,” ujar Sekretaris Jenderal Komdigi, Ismail, dalam acara Ngopi Bareng di Kantor Komdigi, Jumat (19/9/2025).

    Ismail menjelaskan bahwa ada tiga sumber utama PNBP di Komdigi, yakni dari spektrum frekuensi radio, jasa telekomunikasi yang melekat pada pendapatan usaha para pelaku bisnis, serta Badan Layanan Umum (BLU) Universal Service Obligation (USO).

    Menurutnya, tambahan penerimaan ini terutama diperoleh dari hasil lelang spektrum baru yang dilaksanakan pemerintah. Sebagai informasi, Komdigi baru membuka lelang frekuensi 1,4 GHz yang memiliki rentang 1432 MHz hingga 1512 MHz dengan lebar 80 MHz.

    Adapun pemanfaatannya untuk penyelenggaraan internet cepat 100Mbps dan juga menyediakan harga layanan yang lebih murah. Pendaftaran lelang frekuensi 1,4 GHz ini diikuti oleh beberapa penyedia layanan telekomunikasi seperti PT Telkom Indonesia (Persero) Tbk, PT XLSMART Telecom Sejahtera, dan PT Indosat Tbk.

    Selain frekuensi 1,4 GHz, Komdigi juga pada tahun ini berencana melelang 2 frekuensi lain. Masing-masing 700 MHz dan 26 GHz. 

    Secara total, PNBP Komdigi pada 2026 diproyeksikan mencapai sekitar Rp25 triliun, dengan mayoritas kontribusi berasal dari spektrum frekuensi.

    “Totalnya kita Rp 25 triliun kalau dari tiga sumber tadi. Tapi yang untuk spektrum itu di kisaran Rp 22 triliun jadinya untuk tahun 2026,” jelasnya.

    Kenaikan target ini melanjutkan tren positif kinerja PNBP Komdigi pada 2025. Pada kuartal I tahun ini, Komdigi tercatat sebagai penyumbang terbesar PNBP di antara seluruh kementerian dan lembaga (K/L). Dari total PNBP K/L sebesar Rp29,7 triliun, Komdigi memberikan kontribusi Rp3,25 triliun atau 10,9 persen.

    Capaian tersebut bahkan melampaui kementerian besar lainnya seperti Kementerian Perhubungan (Kemenhub) maupun Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan (Imipas).

    “PNBP K/L adalah Rp29,7 Triliun, 71,7 persennya ada di 10 kementerian ini. Jadi cukup besar kontribusinya. Ini memperlihatkan betapa pentingnya peran K/L dalam konteks PNBP kita,” kata Plh Direktur Jenderal Anggaran Kemenkeu, Suahasil Nazara, dalam ketarangan pers Komdigi.

    Adapun realisasi PNBP per 31 Maret 2025 telah mencapai Rp115,9 triliun atau 22,6 persen dari target APBN 2025 yang ditetapkan sebesar Rp513,6 triliun.

    (fab/fab)

    [Gambas:Video CNBC]