Produk: PKL

  • Satpol PP Pamekasan Bersitegang dengan PKL di Monumen Arek Lancor, Pj Sekda Turun Tangan

    Satpol PP Pamekasan Bersitegang dengan PKL di Monumen Arek Lancor, Pj Sekda Turun Tangan

    Pamekasan (beritajatim.com) – Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Pamekasan kembali bersitegang dengan sejumlah Pedagang Kaki Lima (PKL) di area Monumen Arek Lancor, Jumat (31/1/2025).

    Ketegangan ini dipicu oleh aksi oknum PKL yang nekat meletakkan rombong dagangan di area terlarang. Petugas Satpol PP pun mengambil tindakan dengan mengangkut rombong dagangan tersebut ke mobil.

    Namun, aksi ini tidak diterima dengan baik oleh para PKL. Mereka merasa kecewa karena rombong dagangan diangkut tanpa pemberitahuan sebelumnya. Situasi pun memanas dan berujung pada keributan, mulai dari cekcok mulut hingga saling tarik-menarik antara petugas PKL dan Satpol PP.

    Menanggapi hal ini, Penjabat Sekretaris Daerah (Pj Sekda) Pamekasan, Ach Faisol, turun tangan untuk meredam ketegangan. “Kami pemerintah daerah tidak melarang masyarakat berjualan, tetapi harus tetap mematuhi aturan yang berlaku,” tegas Faisol. Ia menegaskan bahwa area Arek Lancor merupakan fasilitas yang dilarang untuk ditempati berjualan.

    Faisol juga menyampaikan bahwa Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Pamekasan terus berupaya meningkatkan fasilitas bagi PKL, salah satunya dengan menyediakan Sentra PKL di area Food Colony Pamekasan, Jalan Kesehatan. Sentra ini dilengkapi dengan fasilitas representatif, termasuk konsep Drive Thru, penerangan, dan parkir gratis.

    “Ketegangan ini merupakan bagian dari dinamika sosial yang harus kita sikapi dengan baik. Kita akan membuka ruang mediasi untuk mencari solusi terbaik bagi semua pihak. Prinsipnya, kita tetap berpegang pada Perda,” jelas Faisol.

    Ia berharap insiden ini menjadi pembelajaran bagi semua pihak dan mendorong langkah mediasi antara PKL dan pemerintah daerah untuk menghindari ketegangan serupa di masa depan. [sul/suf]

  • Rekomendasi Kuliner Viral dan Legendaris di Surabaya

    Rekomendasi Kuliner Viral dan Legendaris di Surabaya

    Liputan6.com, Surabaya – Berjalan-jalan ke Surabaya terasa kurang jika belum berburu kuliner viralnya. Mulai dari olahan bebek hingga sambal khasnya menjadi ikon kuliner Kota Pahlawan yang tak boleh ketinggalan.

    Sebagai kota multi-etnis, Surabaya memiliki kekayaan budaya yang memengaruhi berbagai aspek di dalamnya, termasuk dalam hal kuliner. Berikut beberapa rekomendasi kuliner viral Surabaya yang wajib dicoba:

    1. Bebek Tugu Pahlawan

    Bebek Tugu Pahlawan berlokasi di Jalan Tembaan 17F, Alun-alun Contong, Surabaya. Berada dekat dengan Tugu Pahlawan, tempat makan ini tak pernah sepi pembeli.

    Semakin malam, jumlah pengunjung Bebek Tugu Pahlawan akan semakin membludak. Bahkan, pengunjung harus antre untuk dapat mencicipinya.

    2. Rawon Kalkulator

    Rawon Kalkulator berlokasi di Sentra PKL Taman Bungkul, Jalan Raya Darmo, Surabaya. Tempat makan ini memiliki nama unik yang akan langsung menarik perhatian pengunjung.

    Sesuai namanya, penjual Rawon Kalkulator memiliki kemampuan menghitung dengan cepat, layaknya menghitung dengan kalkulator. Selain unik, Rawon Kalkulator juga merupakan salah satu kuliner legendaris di Surabaya yang sudah berdiri sejak 35 tahun lalu.

    Menu rawon di tempat ini memiliki cita rasa yang lezat dan gurih. Biasanya, rawon disantap dengan aneka lauk, seperti perkedel, tempe, telor asin, hingga paru.

    3. Rujak Cingur Genteng Durasim

    Rujak Cingur Genteng Durasim berlokasi di Jalan Genteng Durasim No.29, RT.001/RW.05, Genteng, Surabaya. Warung legendaris ini sudah berdiri sejak 1940. Konon, cobek yang digunakan untuk menghaluskan petis dan bumbu kacang rujak sudah berusia 80 tahun.

    Menurut cerita yang beredar, pendiri Rujak Cingur Genteng Durasim meminta dibuatkan cobek khusus oleh seseorang dari Magelang, Jawa Tengah. Pembuat cobek tersebut kemudian mengantarkan cobek langsung ke Surabaya dengan menggunakan sepeda onthel.

    Konon, si pembuat cobek menolak dibayar. Ia hanya meminta diajak berkeliling ke Surabaya dengan menaiki andong.

    Cobek tersebut menjadi cobek legendaris yang masih digunakan hingga sekarang. Karena sudah digunakan selama puluhan tahun, kondisi cobek ini sekarang terlihat aus dan cekung.

     

  • Semrawut Simpang Susun Cileunyi Bawah Tol Cisumdawu,

    Semrawut Simpang Susun Cileunyi Bawah Tol Cisumdawu,

    JABAR EKSPRES – Berdirinya Jalan Tol Cileunyi-Sumedang-Dawuan (Cisumdawu), tepatnya bagian bawah flyover kondisinya kian semrawut tidak teratur, bahkan tergolong kumuh memprihatinkan.

    Keberadaan kawasan Simpang Susun Cileunyi alias di bawah flyover Tol Cisumdawu, yang berada di wilayah Desa Cileunyi Wetan, Kecamatan Cileunyi, Kabupaten Bandung itu tak hanya marak terminal bayangan tapi kini menjamur pedagang kaki lima (PKL) liar.

    Salah seorang pengendara sepeda motor, Nasrul Nasrudin (27) mengaku, cukup terganggu dengan keberadaan angkot yang kerap memarkirkan kendaraan bahkan sampai membaris.

    BACA JUGA: Kasus Tol Cisumdawu Masih Belum Usai, MAKI Terus Kawal Jalannya Sidang

    “Risih aja lihatnya jadi gak teratur lalu lintas, kadang bikin macet juga. Kalau dibilang jalan raya lebih mirip pangkalan angkot, tapi mau disebut pangkalan atau terminal itu kan jalan raya,” katanya kepada Jabar Ekspres, Kamis (30/1).

    Pria berdomisili Kecamatan Rancaekek itu memaparkan, jika keberadaan terminal bayangan hingga kini menjamur juga PKL liar, dinilai merusak estetika dan mengganggu pandangan.

    “Kalau tertata disediakan memang area berdagang dan ada titik pangkalan resmi, saya rasa akan lebih enak. Jadinya enggak acak-acakan, kesannya jadi kumuh,” paparnya.

    Nasrul berharap, agar pihak Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bandung melalui dinas terkait, dapat mengambil tindakan dengan menyediakan ruang agar penataan kawasan Simpang Susun Cileunyi, tepatnya di bawah Jalan Tol Cisumdawu tidak semrawut.

    Dia juga menambahkan, dengan terkelolanya pangkalan angkot serta area berdagang bagi pelaku UMKM, dapat menghindari potensi terjadinya kecelakaan lalu lintas.

    “Biar enggak kumuh, kemudian biar pedagang dan angkot juga lebih aman. Takutnya pembeli atau penumpang angkot meleng, bisa saja keserempet motor atau mobil,” beber Nasrul.

    “Soalnya mau gimana juga itu jalan raya satu arah, kendaraan yang lewat sudah pasti kecepatannya lumayan tinggi,” tukasnya.

    Melalui pantauan Jabar Ekspres di lokasi, selain jadi terminal bayangan bagi angkot, kios-kois liar pun menjamur, baik di kolong jembatan atau pun di pinggir-pinggir jalan kawasan Simpang Susun Cileunyi.

    Dampaknya, kawasan pun jadi kumuh dan kerap jadi sumber kemacetan. Pasalnya, kawasan Simpang Susun Cileunyi ini menjadi akses kendaraan dari sejumlah arah, yang melintas pun mulai dari roda dua hingga empat bahkan lebih seperti truk, bus dengan volume tinggi.

  • Tak Boleh Jualan di Sekitar Sekolah, Puluhan Pedagang di Lawang Sambat ke Dewan

    Tak Boleh Jualan di Sekitar Sekolah, Puluhan Pedagang di Lawang Sambat ke Dewan

    Malang (beritajatim.com)- Puluhan pedagang kali lima (PKL) yang biasa mangkal dan berjualan di beberapa sekolah di Kecamatan Lawang mengeluh kepada anggota DPRD Kabupaten Malang lantaran tidak diperbolehkan berjualan disekitar sekolah.

    Para PKL yang mengatasnamakan Kelompok Pedagang Sekolah Sejahtera (KPSS) itu kemudian menyampaikan aspirasi mereka dan diterima oleh Komisi IV DPRD Kabupaten Malang.

    Ada beberapa poin yang disampaikan para pedagang kepada Komisi IV dalam agenda rapat dengar pendapat, Kamis (30/1/2025).

    Ketua Komisi IV DPRD Kabupaten Malang, Zia’ul Haq menyampaikan, pihaknya cukup menyayangkan adanya beberapa sekolah yang tidak memperbolehkan adanya PKL berjualan.

    Menurut Zia, selama ini belum ada kebijakan dari pemerintah daerah yang melarang pedagang berjualan di area luar sekolah.

    “Kan ada sekolah yang pasang banner tidak boleh jualan. Makanya kita suruh untuk tetap berjualan saja tidak apa-apa, wong tidak ada surat edaran kok. Memang ada kantin sehat surat edarannya, kalau kantin kan di dalam,” tegas Zia.

    Dalam rapat dengar pendapat yang juga dihadiri Dinas Pendidikan, Dinas Perindustrian dan Perdagangan, serta Bagian Hukum itu, para pedagang juga mengaku sempat diusir ketika hendak berjualan.

    “Ada beberapa dari mereka itu yang disuruh pindah, itu salah satu keluh kesah mereka. Tadi kita juga bilang, harus bersinergi kalau memang mau diatur ya sudah nanti akan kita fasilitasi, untuk tetap boleh berjualan,” ucap Zia.

    Zia mengaku, pihaknya siap pasang badan apabila para PKL tersebut masih mendapatkan larangan untuk berjualan di area sekitar sekolah.

    “Kalaupun nanti ada kendala, diusir dan sebagainya kami akan menegur kepala sekolah. Solusinya, mereka tetap kita minta berjualan, nanti ketika ada kendala, mereka diusir, mereka di macam-macam, langsung respon ke kami, kami juga kasih nomor hotline ke mereka, di sekolah mana yang melakukan penolakan,” tuturnya.

    Politisi Partai Gerindra inipun bilang, para PKL tersebut juga dapat mengajukan Perda inisiatif agar terlindungi saat berjualan. Hal itu untuk mengantisipasi adanya larangan kembali di masa mendatang.

    “Boleh mengajukan Perda inisiatif ke kami, untuk perlindungan para PKL itu,” pungkasnya. [yog/aje]

  • Kelaparan dan Kelelahan di Mobil, Kisah Wisatawan yang Hendak ke Puncak Terjebak Macet 8 Jam – Halaman all

    Kelaparan dan Kelelahan di Mobil, Kisah Wisatawan yang Hendak ke Puncak Terjebak Macet 8 Jam – Halaman all

     

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Libur panjang di awal pekan ini dimanfaatkan warga untuk liburan bersama keluarga ke tempat-tempat wisata.

    Termasuk liburan ke kawasan Puncak, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.

    Tempat wisata favorit bagi warga Jakarta dan sekitarnya.

    Banyaknya pengunjung ke kawasan Puncak membuat polisi melakukan rekayasa lalu lintas satu arah (one way).

    Senin (27/1/2025) kemarin one way   sudah diberlakukan.

    Namun tetap saja kemacetan menuju ke Puncak tak terhindarkan.

    Ini membuat ribuan wisatawan kesal. 

    One way yang dilakukan dari arah Puncak menuju Jakarta sejak pukul 11.30 WIB membuat mereka terjebak di Ciawi selama berjam-jam.

    Ribuan wisatawan ini tidak bisa melanjutkan perjalanan menuju Puncak hingga one way berakhir pada pukul 21.30 WIB.

    Para wisatawan merasa kesal karena pengaturan one way yang tidak jelas.

    Banyak wisatawan yang mengaku kelaparan dan capek menunggu waktu dibukanya jalur ke Puncak.

    Saking frustrasinya terjebak kemacetan, sejumlah wisatawan terpaksa naik ojek online menuju hotel yang telah dipesan.

    Putri (33), wisatawan asal Tangerang Selatan, Banten, salah satu di antaranya.

    Ia memilih naik ojeg online bersama dua anaknya yang masih kecil. 

    Sementara suaminya menunggu di mobil sampai lalu lintas menuju Puncak dibuka.

    “Kami sudah terjebak sejak pukuk 12.00 WIB di Gadog,” kata Putri di Simpang Gadog, Senin (37/1/2025).

    Setelah menunggu selama 8 jam, Putri dan suaminya sepakat untuk menyewa jasa ojek online menuju hotel yang berada di Megamendung.

    “Ya, mau ke hotel. Lokasinya di depan situ sebenernya, tidak jauh,” papar Putri.

    Putri terpaksa naik ojek online karena kedua buah hatinya sudah capai dan lelah menunggu berakhirnya one way.

    “Mending tunggu di hotel, bisa rebahan. Nanti suami yang menyusul dengan mobil,” tuturnya.

    Dia berharap polisi memberikan kepastian untuk waktu buka tutup di jalur Puncak.

    “Kami berharap ada waktu yang pasti kalau buka tutup jalur. Kalau ini kan gambling, kita tidak tahu sampak jam berapa,” tandas Putri.

    Penyebab Macet Parah

    Laju kendaraan roda dua mapun roda empat atau lebih   tersendat karena tingginya volume kendaraan yang melintas.

    Karena padatnya lalu lintas juga terdapat wisatawan yang memilih untuk beristirahat di pinggir jalan.

    Mereka menepikan kendaraanya untuk beristirahat di lapak pedagang kaki lima (PKL) sambil menikmati keindahan alam dari dataran tinggi.

    Bahkan, terdapat juga pemotor yang nekat naik ke trotoar di area Agro Wisata Gunung Mas Puncak Bogor.

    Hal itu dikarenakan adanya kendaraan roda empat yang menerobos one way memaksakan melaju ke arah atas.

    Dengan demikian, pemotor yang hendak mengarah ke atas menggunakan sisi kiri jalan tertutup oleh kendaraan tersebut dan terpaksa naik ke trotoar.

    Tak cuma itu, seorang wisatawan mengurai pengalamannya saat melihat kemacetan di jalur Puncak Bogor.

    Kisah tersebut diungkap sang wisatawan saat mengetahui ada angkutan kota (angkot) berwarna biru yang berhenti di pinggir namun memakan badan jalan tak jauh dari Gunung Mas.

    Hal itupun berdampak terhadap kemacetan karena kendaraan roda dua yang hendak menuju Puncak tertutup jalannya oleh angkot tersebut.

    Lalu Lintas Normal Malam

    Pantauan Wartakotalive.com, lalu lintas di Jalan Raya Puncak kembali normal dua arah pada pukul 21.30 WIB.

    “Untuk arus lalu lintas di jalur Puncak, pukul 21.30 WIB sudah penormalan,” kata Kasat Lantas Polres Bohor, AKP Rizky Guntama, kepada wartawan di Simpang Gadog, Megamendung, Senin (27/1/2025) malam.

    Dia menjelaskan jumlah kendaraan yang melintas di Jalur Puncak pada hari ketiga libur long weekend, Senin (27/1/2025), sebanyak 91.000 unit.

    “Hari ini 91.000 unit lebih kendaraan yang naik dan turun di jalur Puncak. Angka ini lebih rendah dari hari Minggu kemarin yang mencapai 100.000 unit kendaraan,” bebernya.

    Rizky menjelaskan kendaraan yabg melintas di jalur Puncak didominasi kendaraan roda dua.

    “Hampir 60 persen roda dua. Ini yang bikin macet karena mereka mengambil jalur sebelahnya,” tandasnya.

     

  • Kejari Depok Telisik soal Dugaan Pungli Berujung Penahanan Ijazah Alumni di SMA 3 Depok – Halaman all

    Kejari Depok Telisik soal Dugaan Pungli Berujung Penahanan Ijazah Alumni di SMA 3 Depok – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Kejaksaan Negeri (Kejari) Depok buka suara soal adanya polemik penahanan ijazah puluhan alumni SMA 3 Depok yang diduga disebabkan pungutan liar (Pungli) berkedok sumbangan.

    Terkait hal ini Kepala Seksi Intelijen (Kasi Intel) Kejari Depok, Arif Ubaidilah mengatakan, Jaksa Penyelidikan dari Tindak Pidana Khusus (Pidsus) tengah menyelidiki informasi yang telah pihaknya telah perihal kabar tersebut.

    “Saat ini kami mohon dukungan dari semua pihak untuk memberi kesempatan pada teman-teman Jaksa di tindak pidana khusus agar dapat bekerja terlebih dahulu setelah menerima hasil penelaahan kami,” kata Arif dalam keterangannya, Senin (27/1/2025).

    Ia juga menghimbau agar pihak sekolah menerapkan aturan yang berlaku dalam penunjukkan komite sekolah.

    Sebab kata Arief, hal itu agar komite tersebut bisa menjadi perwakilan bagi para orang tua murid.

    Tak hanya itu, Arif juga menekankan agar seluruh SMK dan SMA negeri maupun swasta di Depok dapat memastikan pengelolaan keuangan yang berasal dari negara benar-benar digunakan untuk kepentingan pendidikan.

    “Jika ada pihak-pihak yang tetap melakukan  pelanggaran dan menyebabkan kebocoran keuangan negara di tingkat SMA dan SMK kami tidak akan segan mengambil tindakan tegas,” jelasnya.

    Dilansir dari TribunnewsDepok.com, sebelumnya puluhan wali murid dan alumni mendatangi SMKN 3 Depok, Sukmajaya untuk mengambil ijazah yang sempat ditahan, Kamis (24/1/2025).

    Penahan ijazah tersebut sempat viral dan menjadi polemik di media sosial (medsos) hingga akhirnya pihak sekolah memberikannya.

    Orang tua murid, berinisial L mengaku, ijazah anaknya ditahan pihak sekolah karena masih memiliki tunggakan iuran.

    “Karena aku belum punya uang, ada tunggakan, kalau nggak salah 2,8 juta,” kata L.

    Pihak SMKN 3 Depok berdalih, L belum melunasi sumbangan pembangunan di awal sekolah.

    “Sebenarnya nggak ada nominal ke SPP, cuma waktu pertama masuk SMK ini obrolannya sumbangan,” ujarnya.

    Jumlah uang yang dibebankan ke wali murid juga tak tanggung-tanggung, tiap orang dibebankan biaya hingga Rp 8,4 juta.

    “Kalau dinominalkan kelas 10 sampai kelas 12 itu sekitar 8,4 juta kurang lebih. Itu sudah termasuk PKL, wisuda pokoknya seragam, udah semua segitu, cuma bisa dicicil,” ujarnya.

    Nasib serupa juga dialami, Rony, ia tak dapat mengambil ijazah anaknya karena belum melunasi sumbangan sekolah dengan nominal Rp 6 juta.“Pas mau ngambil, ditotalkan Rp 6 juta, tapi enggak tahu yang lain, saya baru bayar Rp 100 ribu,” ungkapnya.

    Roni mengaku tak mampu membayar nominal yang disodorkan pihak sekolah, hingga berujung ijazah anaknya ditahan. 

    “Aduh enggak bisa kalau Rp 6 juta yang 2 juta aja saya nggak bisa,” pungkasnya.

    Sementara itu, Kepala Sekolah SMKN 3 Depok, Samsuri membantah pihak sekolah menahan puluhan ijazah alumni karena persoalan tunggakan iuran.

    Samsuri berdalih, orang tua siswa sendirilah yang belum datang ke sekolah untuk mengambil ijazah anaknya.

    “Istilah penahanan ijazah tidak ada, hanya orang tua itu sebenarnya belum pernah datang ke sekolah untuk mengambil ijazah,” kata Samsuri, Jumat (24/1/2025).

    Samsuri menjelaskan, orang tua bisa mengambil ijazah anak-anaknya meski tidak didampingi Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).

    “Sebenarnya selama ini walaupun nggak pakai itu pasti difasilitasi toh hak dia, jadi tidak ada istilah sekolah menahan ijazah,” ungkapnya.

    Sedangkan, terkait tunggakan orang tua siswa, Samsuri menilai, iuran tersebut atas keselamatan komite sekolah.

    “Kalau memang orang tua merasa masih memiliki kewajiban terus belum ada, akhirnya nggak datang untuk ambil ijazah,” ungkapnya.

    “Itu tidak betul bukan tunggakan tapi mereka ada kewajiban selama bersekolah, istilahnya sesuai dengan kesepakatan waktu rapat komite, itu yang menentukan bukan sekolah komite itu misalnya ada LSP, PKL, dan sebagainya, itu yang menentukan bukan sekolah,” sambungnya. (*)

  • Orang Singapura Paling Ogah Kerja Pekerjaan Ini

    Orang Singapura Paling Ogah Kerja Pekerjaan Ini

    Jakarta

    Singapura merupakan salah satu negara maju yang menyediakan beragam pilihan pekerjaan. Namun, ternyata ada sebuah pekerjaan yang dihindari oleh masyarakat Singapura, yakni bekerja di gerai pinggir jalan atau kaki lima.

    Salah satu pemilik gerai Wok AI, Ang Chip Hong mengaku tidak ada yang mau melamar pekerjaan sebagai koki di kedainya. Putus asa, Ang pun membeli robot dari China sebagai penggantinya.

    Ang menilai masyarakat Singapura tidak berminat untuk bekerja di gerai kaki lima. Menurut Ang, penghasilan yang diterima tidak sepadan dengan jam dan beban kerja.

    “Orang Singapura tidak menginginkan pekerjaan ini. Tidak sepadan bagi mereka mendapatkan gaji sebesar 4.000 dolar Singapura (Rp 48 juta) per bulan dengan jam kerja yang panjang di depan kompor panas,” kata Ang dikutip dari South China Morning Post, Sabtu (25/1/2025).

    Kondisi itu berbeda dengan pekerjaan di kantoran. Ang menjelaskan copywriter di Singapura bergaji 3.000 dolar Singapura atau setara Rp 36 juta (kurs Rp 12.000) tanpa harus berpanas-panasan.

    Selain itu, Ang juga menyebut ada kebijakan dari pemerintah Singapura yang semakin mempersulit pedagang. Badan Lingkungan Nasional (NEA) mewajibkan pegawai gerai kaki lima harus merupakan warga negara Singapura.

    Kebijakan tersebut diberlakukan untuk tetap mempertahankan identitas lokal. Namun, sejak 1 Januari lalu, beberapa orang dengan visa jangka panjang kini dapat bekerja sebagai staf di gerai kaki lima.

    Perjuangan Ang untuk mencari staf lokal merupakan hal yang umum di antara 35 pedagang kaki lima. Mereka mengklaim kesulitan mencari staf telah lama mengganggu budaya pedagang kaki lima. Banyak yang telah menghabiskan waktu berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun untuk mencari staf penuh waktu.

    Mengatasi hal itu, beberapa pedagang mempekerjakan seseorang yang mempunyai izin visa panjang. Eric Chan, Pengelola Nasi Lemak Aneka Mee di Ayer Rajah Food Centre, telah mencari staf penuh waktu selama tiga hingga empat bulan. Namun, tidak ada yang bisa bertahan lama bekerja di tempatnya.

    “Saya pernah menerima orang yang datang selama dua hari dan kemudian tidak muncul keesokan harinya. [Pekerjaan itu] berlangsung dari pagi hingga malam, jadi tidak banyak yang mau bekerja setelah mencobanya,” imbuh Chan.

    Di sisi lain, budaya pedagang kaki lima ini juga tengah menghadapi tantangan, yakni penerus usaha. Banyak dari pedagang kaki lima yang enggan meneruskan usahanya kepada anak-anak mereka.

    Seperti, Syed Ibrahim, penjual generasi ketiga yang telah menjalankan Ibrahim Mee Stall di Adam Road Food Centre selama lebih dari 30 tahun. Dia enggan putranya mengambil alih bisnis tersebut.

    “Anak saya kuliah di jurusan teknik kedirgantaraan NTU (Nanyang Technological University). Jadi saya tidak ingin dia datang ke sini untuk bekerja. “Kita lihat saja nanti bagaimana keadaannya setelah saya pensiun,” ujar Syed.

    (fdl/fdl)

  • PKL Gedebage Ditertibkan, Pedagang Pasar: Tidak Tepat

    PKL Gedebage Ditertibkan, Pedagang Pasar: Tidak Tepat

    JABAR EKSPRES – Penertiban pedagang kaki lima (PKL) di kawasan Pasar Induk Gedebage menuai protes dari para pedagang. Mereka mengeluhkan kebijakan relokasi yang dinilai tidak memperhatikan kondisi lapangan, termasuk kelayakan lokasi baru yang disediakan oleh pengelola pasar.

    Sejumlah PKL pun mengeluhkan kondisi los dan kios yang belum layak untuk berjualan. Ia menambahkan bahwa penertiban ini semakin memberatkan di tengah musim hujan dan masalah banjir yang kerap melanda kawasan pasar.

    Pada prinsipnya, para PKL menyatakan kesiapan untuk pindah, namun dengan syarat lokasi baru harus layak dan mendukung aktivitas perdagangan. Hal itu diungkapkan dalam audiensi yang digelar dengan pihak PT Ginanjar Saputra pada Selasa (23/1/2025) sore.

    Pasar Induk Gedebage masih menghadapi masalah banjir yang kerap terjadi, terutama saat musim hujan. Hal ini memengaruhi jumlah pembeli yang datang. Den, Koordinator PKL Pasar Gedebage, menyoroti bahwa kebijakan relokasi ini datang di waktu yang tidak tepat.

    BACA JUGA:Rentan Menjamur di Momen Libur Panjang, Satpol PP Beberkan Strategi Pengawasan PKL Lewat Hal Ini!

    “Pasar ini banjir, bagaimana pembeli mau datang? Kami sudah berjualan di depan kios sejak kebakaran beberapa tahun lalu, dengan izin. Tapi sekarang kami disuruh pindah saat kondisi masih sulit,” ungkap Deni berdasarkan keterangan yang diterima Jabar Ekspres, beberapa waktu lalu.

    Ia juga mengingatkan bahwa tempat yang disediakan tidak mencukupi untuk semua PKL, sehingga berpotensi menghilangkan mata pencaharian mereka. Hal ini, menurutnya, bertentangan dengan Pasal 27 Ayat (2) UUD 1945 yang menjamin hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak.

    Agus, Ketua Paguyuban Warga Pasar Induk Gedebage (PWPIG), mengungkapkan bahwa pihaknya mendukung penertiban PKL, namun pelaksanaannya dinilai tidak mempertimbangkan situasi terkini.

    “Kami mendukung penertiban, tapi momentumnya kurang tepat. Sekarang musim hujan, omset pedagang—baik PKL maupun kios—menurun. Selain itu, sarana dan prasarana di tempat baru jauh dari layak,” ujar Agus.

    BACA JUGA:Zona Bebas PKL, Ujian Ketegasan Pemkot Bandung Jelang Libur Panjang

    Menurutnya, paguyuban telah memfasilitasi keluhan para PKL yang awalnya berencana menggelar aksi demonstrasi di Balai Kota Bandung. Audiensi dengan PT Ginanjar Saputra dilakukan sebagai upaya mencari solusi.

  • Viral Ijazah Ditahan di SMKN 3 Depok, Pihak Sekolah Akhirnya Mengembalikan – Halaman all

    Viral Ijazah Ditahan di SMKN 3 Depok, Pihak Sekolah Akhirnya Mengembalikan – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM – Kejadian penahanan ijazah yang dialami oleh alumni SMKN 3 Depok, Sukmajaya, baru-baru ini menjadi perbincangan hangat di media sosial.

    Setelah viral, pihak sekolah akhirnya menyerahkan puluhan ijazah yang sebelumnya ditahan.

    Namun, apa yang sebenarnya terjadi di balik penahanan tersebut?

    Puluhan wali murid dan alumni mendatangi sekolah pada Kamis, 24 Januari 2025, untuk mengambil ijazah mereka yang sempat ditahan.

    Salah satu orang tua siswa, yang berinisial L, menjelaskan bahwa ijazah anaknya tidak diberikan karena mereka masih memiliki tunggakan iuran. “Karena aku belum punya uang, ada tunggakan. Kalau nggak salah, 28 juta,” ungkap L.

    Pihak SMKN 3 Depok mengeklaim bahwa penahanan ijazah ini berkaitan dengan sumbangan pembangunan yang belum dilunasi oleh orang tua siswa. “Sebenarnya, nggak ada nominal ke SPP. Cuma waktu pertama masuk SMK ini obrolannya sumbangan,” tambahnya.

    Berapa Besar Biaya yang Dikenakan?

    Sumbangan yang dikenakan kepada wali murid tidaklah sedikit.

    Menurut informasi, jumlah biaya yang dibebankan kepada orang tua siswa mencapai sekitar Rp 84 juta untuk periode dari kelas 10 hingga kelas 12. “Itu sudah termasuk PKL, wisuda, pokoknya seragam, udah semua segitu, cuma bisa dicicil,” jelas salah satu wali murid lainnya.

    Rony, salah satu orang tua siswa yang juga mengalami nasib serupa, mengungkapkan bahwa ia tidak dapat mengambil ijazah anaknya karena belum melunasi sumbangan sekolah sebesar Rp 6 juta. “Pas mau ngambil, ditotalkan Rp 6 juta. Tapi enggak tahu yang lain, saya baru bayar Rp 100 ribu,” keluh Rony.

    Rony menekankan bahwa ia merasa tidak mampu untuk membayar jumlah yang diminta. “Aduh, enggak bisa. Kalau Rp 6 juta, yang 2 juta saja saya nggak bisa,” tambahnya dengan nada putus asa.

    Setelah penahanan ijazah ini viral, pihak sekolah akhirnya menyerahkan ijazah kepada alumni yang menunggu.

    Namun, dengan adanya biaya yang cukup besar ini, banyak orang tua merasa terbebani dan mempertanyakan kebijakan pihak sekolah mengenai sumbangan.

    Ke depan, diharapkan pihak sekolah bisa menciptakan solusi yang lebih baik dan transparan terkait pembiayaan pendidikan, sehingga tidak ada lagi penahanan ijazah yang merugikan para siswa dan orang tua.

    Konten ini disempurnakan menggunakan Kecerdasan Buatan (AI).

  • Viral Sekolah Tahan Puluhan Ijazah Siswa karena Nunggak Bayar Iuran, Kepsek Bantah: Tidak Ada

    Viral Sekolah Tahan Puluhan Ijazah Siswa karena Nunggak Bayar Iuran, Kepsek Bantah: Tidak Ada

    TRIBUNJATIM.COM – Ijazah puluhan siswa SMKN di Depok ditahan sekolah viral di media sosial.

    Ijazah ditahan karena puluhan siswa tersebut belum membayar tunggakan iuran sekolah.

    Kini setelah viral, puluhan wali murid dan alumni mendatangi sekolah untuk mengambil ijazah yang ditahan, Jumat (24/1/2025).

    Adapun kasus ini menimpa para siswa di SMKN 3 Depok.

    Namun terkait ijazah ditahan ini langsung dibantah oleh Kepala Sekolah SMKN 3 Depok, Samsuri.

    Samsuri mengatakan, orangtua siswa sendirilah yang belum datang ke sekolah untuk mengambil ijazah anaknya.

    “Istilah penahanan ijazah tidak ada, hanya orangtua itu sebenarnya belum pernah datang ke sekolah untuk mengambil ijazah,” kata Samsuri, Jumat, dikutip dari Kompas.com.

    Dia menerangkan, orangtua bisa mengambil ijazah anak-anaknya meski tidak didampingi Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).

    “Sebenarnya selama ini walaupun nggak pakai itu pasti difasilitasi. Toh hak dia, jadi tidak ada istilah sekolah menahan ijazah,” imbuh dia.

    Soal tunggakan orangtua siswa, Samsuri menilai, iuran tersebut atas kesepakatan komite sekolah.

    “Kalau memang orangtua merasa masih memiliki kewajiban terus belum ada, akhirnya nggak datang untuk ambil ijazah,” urai Samsuri.

    Puluhan wali murid dan alumni mendatangi SMKN 3 Depok untuk mengambil ijazah yang sempat ditahan. (TribunnewsDepok.com/M Rifqi Ibnumasy)

    Dia menekankan, bukan tunggakan iuran sekolah. 

    Namun mereka ada kewajiban selama bersekolah.

    “Istilahnya sesuai dengan kesepakatan waktu rapat komite. Itu yang menentukan bukan sekolah, komite itu. Misalnya ada LSP, PKL, dan sebagainya, itu yang menentukan bukan sekolah,” sambung dia.

    Salah satu orangtua murid berinisial L mengaku, ijazah anaknya ditahan pihak sekolah karena masih memiliki tunggakan iuran.

    “Karena aku belum punya uang, ada tunggakan, kalau enggak salah Rp 2,8 juta,” tutur L.

    Pihak SMKN 3 Depok berdalih, L belum melunasi sumbangan pembangunan di awal sekolah.

    “Sebenarnya enggak ada nominal ke SPP, cuma waktu pertama masuk SMK ini obrolannya sumbangan,” imbuh dia.

    Setiap murid dibebankan biaya hingga Rp 8,4 juta.

    “Kalau dinominalkan kelas 10 sampai kelas 12 itu sekitar Rp 8,4 juta kurang lebih. Itu sudah termasuk PKL, wisuda, pokoknya seragam, sudah semua segitu. Cuma bisa dicicil,” beber dia.

    Nasib serupa juga dialami Rony.

    Ia tidak bisa mengambil ijazah anaknya karena belum melunasi sumbangan sekolah dengan nominal Rp 6 juta.

    “Pas mau ngambil, ditotalkan Rp 6 juta, tapi enggak tahu yang lain. Saya baru bayar Rp 100.000,” kata dia.

    Roni mengaku tak mampu membayar nominal yang disodorkan pihak sekolah, hingga berujung ijazah anaknya ditahan.

    “Aduh, enggak bisa kalau Rp 6 juta. Yang Rp 2 juta aja saya enggak bisa,” imbuh dia.

    Setelah kedatangan orangtua dan alumni ke sekolah, pihak SMKN 3 Depok telah mengembalikan ijazah puluhan siswa tersebut.

    Informasi lengkap dan menarik lainnya di Googlenews Tribunjatim.com