Produk: Pinjol

  • OJK sebut 59 juta pelajar punya tabungan dengan total Rp32 triliun

    OJK sebut 59 juta pelajar punya tabungan dengan total Rp32 triliun

    Sebanyak 59 juta anak-anak Indonesia sudah memiliki tabungan, dan tentu termasuk adik-adik di sini

    Jakarta (ANTARA) – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyebutkan sebanyak 59 juta pelajar Indonesia memiliki produk tabungan Simpanan Pelajar (Simpel) dengan total nilai mencapai Rp32 triliun.

    Hal itu disampaikan Ketua Dewan Komisioner OJK Mahendra Siregar saat menghadiri acara literasi keuangan “Like It” di Bumi Perkemahan dan Graha Wisata (Buperta) Pramuka Cibubur Jakarta Timur, Kamis.

    “Sebanyak 59 juta anak-anak Indonesia sudah memiliki tabungan, dan tentu termasuk adik-adik di sini. Kalau lihat jumlahnya Rp32 triliun, saya rasa semua ada isinya, walaupun tentu nilainya tidak sama (setiap rekening pelajar),” kata Mahendra.

    Ia mengatakan bahwa simpanan ini tidak hanya bermanfaat bagi pemiliknya, tetapi juga berkontribusi pada pembangunan nasional, penciptaan lapangan kerja dan pembiayaan usaha mikro kecil dan menengah (UMKM).

    “Apa yang adik-adik sumbangkan dalam bentuk tabungan itu, kemudian pada gilirannya memberikan nilai tambah dan sumbangsih yang besar kepada bangsa ini. Jadi terima kasih atas semua itu,” kata Mahendra.

    OJK bersama Bank Indonesia (BI), Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) turut mengajak siswa berkebutuhan khusus menumbuhkan kebiasaan menabung sejak dini.

    Mahendra mengingatkan bahwa kebiasaan menabung sejalan dengan nilai-nilai kepramukaan karena mengajarkan hidup hemat dan disiplin.

    “Semua nilai-nilai tersebut pada gilirannya akan memberikan penguatan kepada pembentukan karakter, kedisiplinan dan ketangguhan adik-adik untuk terus membangun diri dan terus berkembang ke depannya. Ini adalah ciri-ciri yang baik sekali dengan kebiasaan menabung itu,” kata dia.

    Mahendra menambahkan kebiasaan menabung sejak dini juga menjadi bekal untuk menghadapi pengeluaran tak terduga dan mewujudkan keinginan yang membutuhkan dana lebih besar di masa depan.

    Ketua Dewan Komisioner LPS Purbaya Yudhi Sadewa juga menekankan pentingnya literasi keuangan sejak muda agar generasi mendatang terbiasa mengelola keuangan secara bijak.

    Kepada para berkebutuhan khusus, Purbaya mengingatkan bahwa kebiasaan menyisihkan uang sejak seseorang berada di bangku sekolah akan terbawa hingga dewasa ketika masuk di dunia pekerjaan.

    Kebiasaan ini mencegah pola hidup boros dan meminimalkan risiko terjebak pada pinjaman online ilegal atau utang konsumtif seperti layanan pay later.

    Ia pun mendorong siswa untuk tidak hanya menabung, tetapi juga belajar berinvestasi secara bertahap, dimulai dari instrumen aman hingga yang berisiko lebih tinggi namun memberi potensi keuntungan lebih besar.

    “Kalau Anda mengerti cara menabung dan investasi sejak muda, Anda tidak akan tertipu investasi bodong dan pinjaman online ilegal,” kata Purbaya.

    Adapun kelompok penyandang disabilitas merupakan salah satu sasaran prioritas penerima program edukasi keuangan yang tercantum dalam Strategi Nasional Literasi Keuangan Indonesia (SNLKI) 2021-2025.

    Sebagai bentuk dorongan peningkatan literasi dan inklusi keuangan bagi kelompok ini, OJK telah menerbitkan Pedoman Akses Pelayanan Keuangan untuk Disabilitas Berdaya (SETARA).

    Dokumen ini menjadi pedoman bagi pelaku usaha sektor keuangan (PUSK) dalam menerapkan amanat POJK 22 Tahun 2023 tentang Pelindungan Konsumen dan Masyarakat di Sektor Jasa Keuangan untuk memastikan akses yang setara bagi calon konsumen/konsumen penyandang disabilitas.

    Pewarta: Rizka Khaerunnisa
    Editor: Agus Salim
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Tak Mungkin Ada Kartel Pinjol, Begini Penjelasan Bos Fintech

    Tak Mungkin Ada Kartel Pinjol, Begini Penjelasan Bos Fintech

    Jakarta, CNBC Indonesia – Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) buka suara usai menghadiri sidang Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) terkait tuduhan kesepakatan bunga pinjaman. Pihak asosiasi membantah adanya kesepakatan penentuan antar-anggota.

    Ketua Bidang Humas AFPI, Kuseryansyah mengatakan jumlah perusahaan pinjaman daring pernah mencapai lebih dari 100 platform. Jadi tidak mungkin ada kesepakatan penentuan harga.

    “Jadi, tidak ada kesepakatan menentukan batas atas manfaat ekonomi atau suku bunga. Batas atas manfaat ekonomi merupakan ceiling price, platform masih bisa berkompetisi. Jadi, dengan ceiling price itu platform masih punya ruang yang sangat besar untuk menentukan berapa harga yang akan dikenakan kepada pengguna,” kata Kuseryansyah dalam Konferensi Pers di Jakarta, Kamis (14/8/2025).

    Dia menuturkan para pelaku usaha memiliki kebebasan untuk menentukan tingkat suku bunga. Asalkan dengan syarat tidak melampaui batas. Batas maksimum yang diatur adalah sebagai cara perlindungan konsumen. Semua dilakukan sejalan dengan arahan OJK dan situasi yang terjadi saat itu.

    “Di mana situasi hari itu pinjol ilegal, banyak sekali beroperasi dan merajalela,” jelasnya.

    Kuseryansyah menjelaskan pula situasi saat penentuan batas 0,8%. Saat itu, industri fintech lending masih tahap awal dan tidak ada acuan.

    Kala itu juga banyak pinjol ilegal yang menetapkan bunga tinggi di atas 1%. Informasi ini juga bisa dibuktikan oleh pihak AFPI, ungkapnya.

    Terkait perlindungan konsumen adalah terkait praktik pinjol ilegal. AFPI tidak ingin adanya predatory pada lending.

    Predatory lending adalah pinjaman yang tidak ada patokan harga dan kesepakatan. “Kemudian tiba-tiba waktu itu ada orang pinjam 3 juta, ditagihkan 60 juta dalam waktu pinjaman 2 atau 3 bulan,” dia mencontohkan.

    “Itu adalah praktik ilegal yang kita mau hindari waktu itu. Maka ditetapkan lah sealing atas ini,” jelas Kuseryansyah.

    Pada praktiknya, semua platform bisa menentukan harga yang disesuaikan dengan produk, segmentasi, risiko dan tingkat efisiensi operasional platform.

    Dengan penurunan bunga dari yang sebelumnya di atas 1% menjadi 0,8% dinilai menguntungkan masyarakat. Mereka juga terhindar dari pinjaman yang tidak memiliki patokan harga dan kesepakatan.

    “Kemudian batas maksimum manfaat ekonomi di 0,8 persen di 2018 yang kemudian diturunkan di 0,4 di tahun 2021 tentunya membantu masyarakat untuk mendapatkan opsi bunga yang lebih rendah di platform yang terdaftar di OJK,” kata dia.

    (dem/dem)

    [Gambas:Video CNBC]

  • Bunga Pinjaman Online Turun Drastis, Ternyata Dulu Sampai Segini

    Bunga Pinjaman Online Turun Drastis, Ternyata Dulu Sampai Segini

    Jakarta, CNBC Indonesia – Sekitar 2018 lalu, atau awal industri fintech lending berkembang, bunga dalam platform ditetapkan 0,8%. Ada beberapa perhitungan penetapan bunga tersebut.

    Ketua Bidang Humas AFPI, Kuseryansyah menjelaskan perhitungan tersebut terkait biaya platform yang masih tinggi dan data yang terbatas. Ini membuat risiko dari peminjam belum bisa diukur.

    “Biaya platform fintech masih tinggi, kemudian datanya masih terbatas, sehingga risk profile dari borrower belum terukur,” kata dia dalam Konferensi Pers di Jakarta, Kamis (14/8/2025).

    Berjalannya waktu, risiko tersebut sudah dapat dipetakan. Pada akhirnya bisa membuat adanya penurunan suku bunga secara bertahap.

    Sejak ditetapkan 2018 lalu sudah beberapa kali suku bunga pinjol diturunkan. Misalnya pada 2023 sempat menjadi 0,4%, lalu awal tahun 2024 menjadi 0,3%.

    “Dari waktu ke waktu data makin besar, risk profile semakin terpetakan. Bisa ada peluang untuk melakukan penurunan secara step by step,” ucap Kuseryansyah.

    Dalam kesempatan yang sama, dia menjelaskan penentuan 0,8% merupakan riset dari praktik di beberapa negara termasuk Inggris. Sebab kala itu industri masih dalam tahap awal dan tidak ada acuan sebelumnya.

    “Kita kalau pelaku usaha kan sebenarnya inginnya bunga itu enggak diatur. Tapi regulator dengan concern dan suasana batin waktu itu. Ada beroperasinya pinjol ilegal yang sangat masif. Banyak orang yang merasa terintimidasi. Orang merasa diperlakukan dengan bunga yang tidak fair,” jelasnya.

    “Maka sudah sewajarnya dalam konteks waktu itu OJK kemudian memberi arahan kepada asosiasi untuk memperjelas perbedaan antara pinjaman yang terdaftar dengan OJK dengan ilegal”.

    Akhirnya diputuskan dengan bunga 0,8%. Perusahaan tidak boleh menerapkan lebih dari bunga yang ditetapkan.

    “Gak boleh lebih dari itu. Tapi kalau ada yang mau di bawah ya silahkan,” dia menuturkan.

    (dem/dem)

    [Gambas:Video CNBC]

  • Cara Supaya Sales Pinjol dan Penipu Tidak Bisa Telepon Nomor Tri

    Cara Supaya Sales Pinjol dan Penipu Tidak Bisa Telepon Nomor Tri

    Jakarta, CNBC Indonesia – Setiap hari, kita sering menerima SMS atau telepon spam dari nomor tak dikenal. Bahkan, tak sedikit dari panggilan tersebut berujung hingga penipuan online dan menimbulkan kerugian finansial.

    Berdasarkan data, Indonesia menjadi negara penerima panggilan spam terbanyak di Asia Pasifik, dengan 65% masyarakat mengalami upaya scam setiap minggu dan 39% anak muda pernah menjadi korban penipuan online.

    Menjawab tantangan tersebut, Indosat Ooredoo Hutchison (IOH) melalui brand Tri meluncurkan Tri AI: Anti Spam/Scam yang memanfaatkan kecerdasan buatan (AI) terintegrasi dengan jaringan 5G, yang mereka sebut teknologi AIvolusi 5G.

    Teknologi ini mampu mendeteksi, mengklasifikasi, dan memperingatkan pengguna terhadap potensi ancaman digital secara real time.

    VP Head of Digital Experience & Service Excellence IOH, Yunus Arsyi Rachman, menjelaskan bahwa sistem ini bekerja dengan menganalisis pola panggilan atau pesan yang masuk ke nomor pelanggan Tri.

    Keunggulan AIvolusi 5G ini disebut mampu berevolusi sesuai kebutuhan pelanggan, sehingga tetap relevan, responsif, dan adaptif terhadap ancaman baru.

    “Sistem ini bekerja secara real time untuk mendeteksi scam maupun upaya penetrasi yang masuk ke nomor pengguna Tri. Kami melihat pola, lalu mengidentifikasi apakah pola ini mengganggu atau tidak,” ujar Yunus saat peluncuran Tri AI: Anti Spam/Scam di Jakarta, Kamis (14/8/2025).

    Fitur ini menandai panggilan aman dengan warna toska dan notifikasi “Tri: Nomor Aman”, panggilan yang terindikasi spam dengan warna kuning bertuliskan “Tri: Nomor Tak Dikenal”, dan panggilan yang teridentifikasi scam dengan warna merah bertuliskan “Tri: Nomor Berisiko”. SMS mencurigakan juga akan memunculkan peringatan otomatis.

    Fitur ini tersedia untuk semua pelanggan Tri, fitur ini hadir dalam dua opsi:

    Basic: Otomatis aktif bagi pelanggan dengan paket data aktif, memberikan notifikasi dan peringatan SMS untuk nomor berpotensi ancaman.
    Plus+: Paket berbayar mulai Rp50.000 yang menawarkan tampilan peringatan lebih detail, pop-up notifikasi berwarna sesuai kategori, serta rangkuman riwayat panggilan di aplikasi bima+.

    Ketika sudah membeli paket isi ulang Happy, pengguna bisa aktifkan VoLTE di menu jaringan seluler, kemudian download atau update aplikasi bima+. Selanjutnya atur bima+ jadi aplikasi panggilan utama Anda.

    (dem/dem)

    [Gambas:Video CNBC]

  • Jangan Sembarangan Pakai Paylater, Cuma untuk Kebutuhan Mendesak – Page 3

    Jangan Sembarangan Pakai Paylater, Cuma untuk Kebutuhan Mendesak – Page 3

    Liputan6.com, Jakarta Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Purbaya Yudhi Sadewa, mengingatkan generasi muda menghindari paylater jika tidak mendesak. Menurutnya, prinsip utama dalam mengatur keuangan adalah menghindari utang yang tidak perlu.

    “Prinsipnya adalah kalau saya sih mencegah pinjaman online dan pemborosan kalau gak punya duit gak usah beli, pinjaman online ilegal maupun paylater juga,” kata Purbaya dalam acara LIKE IT! yang diselenggarakan di Bumi Perkemahan dan Graha Wisata (Buperta) Pramuka Cibubur, Jakarta Timur, Kamis (14/8/2025).

    Ia menegaskan, paylater sering kali membuat orang terdorong untuk membeli sesuatu secara impulsif. Padahal, kemudahan bertransaksi tanpa uang tunai dapat memicu perilaku konsumtif yang berujung pada kesulitan keuangan.

    Bagi Purbaya, paylater hanya boleh digunakan untuk kebutuhan yang benar-benar mendesak dan produktif.

    “Kalau gak butuh gak usah pakai paylater, kalau butuh aja,” ujar Purbaya.

     

  • Negara perkuat perlindungan antisipasi efek negatif judol

    Negara perkuat perlindungan antisipasi efek negatif judol

    Judi online. Foto: Ilustrasi/elshinta.com.

    PPATK: Negara perkuat perlindungan antisipasi efek negatif judol
    Dalam Negeri   
    Editor: Sigit Kurniawan   
    Rabu, 13 Agustus 2025 – 13:36 WIB

    Elshinta.com – Frustasi, depresi, hingga akhirnya bunuh diri menjadi masalah yang muncul akibat kecanduan judi online. Nyatanya, bukan hanya orang dewasa yang kecanduan judi online. 

    Kemajuan teknologi menjadi tantangan bagi pengguna. Alih-alih mempermudah komunikasi, kemajuan teknologi malah menjerat pengguna untuk kecanduan judi online berkedok permainan atau website, atau tergiur dengan promosi bernuansa judi online di media sosial.

    Judi online berkembang cepat melalui berbagai platform, dari situs web hingga aplikasi yang mudah diakses siapa saja. Kemudahannya menjadi jebakan bagi banyak orang, terutama generasi muda, yang tergoda oleh janji “kemenangan instan”.

    Mengkutip dalam siaran pers PPATK Rabu (13/8), Data kuartal satu Tahun 2025, yang dikumpulkan oleh PPATK menunjukkan jumlah deposit yang dilakukan oleh pemain berusia 10-16 Tahun lebih dari Rp2,2 miliar. Usia 17-19 tahun mencapai Rp47,9 miliar dan deposit yang tertinggi usia antara 31-40 Tahun mencapai Rp2,5 triliun. 71,6% masyarakat yang melakukan judi online berpenghasilan dibawah Rp5 juta dan memiliki pinjaman diluar pinjaman perbankan, koperasi dan kartu kredit. Angka-angka yang ada ini bukan sekadar angka, namun dampak sosial dari persoalan besar kecanduan judi online ini adalah konflik rumah tangga, prostitusi, pinjaman online dan lain-lain.

    Pemerintah perlu bersikap lebih keras dalam memberantas judi online. Pasalnya efek judi online tidak hanya memicu tindakan kriminal tetapi juga gangguan psikis bagi para pelakunya.

    Padahal, di balik layar, sistem judi online dirancang sedemikian rupa untuk membuat pemain kalah. Korban tidak hanya mengalami kerugian materi, tetapi juga terjebak dalam lingkaran kecanduan, stres, bahkan depresi. Tak jarang, kecanduan ini berujung pada tindakan kriminal seperti pencurian, penipuan, hingga bunuh diri.

    Banyak kisah tragis bermula dari “sekadar coba-coba”. Bermain judol demi iseng, meminjam online demi kebutuhan mendesak. Namun dalam hitungan minggu, mereka terseret dalam pusaran masalah yang tak mudah diselesaikan.

    Pentingnya sinergi antara lembaga penegak hukum, regulator, sektor keuangan, dan pelaku industri teknologi dalam memerangi TPPU berbasis siber. Penindakan tidak boleh berhenti pada pelaku lapangan, tapi juga harus menyasar bandar dan pihak-pihak yang terlibat dalam jaringan pencucian uang digital. 

    “Kita tidak akan membiarkan dampak sosial dari judol ini terjadi. Nyawa yang hilang, Konflik rumah tangga, usaha bangkrut, terjerat pinjaman, putus sekolah dll. Negara memperkuat perlindungan dengan menjaga rekening – rekening nasabah bank agar tidak disalahgunakan oleh pelaku pidana. Rekening 100% aman  dan bisa dipergunakan kembali,” kata Ivan Yustiavandana selaku Kepala PPATK melalui akun resmi Instagram @ppatk_indonesia pada Kamis (31/7).

    Sumber : Elshinta.Com

  • OJK ingatkan masyarakat tidak ikut gerakan `Gagal Bayar Pinjol`

    OJK ingatkan masyarakat tidak ikut gerakan `Gagal Bayar Pinjol`

    Sumber foto: Antara/elshinta.com.

    OJK ingatkan masyarakat tidak ikut gerakan `Gagal Bayar Pinjol`
    Dalam Negeri   
    Editor: Sigit Kurniawan   
    Selasa, 12 Agustus 2025 – 19:47 WIB

    Elshinta.com – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melarang masyarakat untuk mengikuti gerakan `Gagal Bayar Pinjol`, sebab pinjaman daring (pindar) yang legal akan terintegrasi dengan Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK), yang sebelumnya dikenal sebagai BI Checking.

    “Jangan ikut-ikut gerakan kayak gitu (Gagal Bayar Pinjol). Untungnya mungkin sesaat, tetapi ruginya sampai ke depan-depan,” ucap Kepala Eksekutif Pengawasan Perilaku Pasar, Edukasi Keuangan, dan Perlindungan Konsumen OJK Friderica Widyasari Dewi di Jakarta, Selasa.

    Friderica menjelaskan bahwa dengan terintegrasinya pinjol legal ke SLIK, maka terdapat pencatatan konsumen yang tidak mau membayar pinjaman. SLIK merupakan sistem yang dikelola oleh OJK untuk mencatat dan menyimpan informasi mengenai riwayat kredit debitur.

    Apabila dalam catatan tersebut termaktub nama konsumen yang tidak mau membayar pinjol, Friderica mengatakan konsumen akan sulit apabila ingin mencicil rumah, bahkan mencari pekerjaan. Sebab, sejumlah perusahaan melakukan pengecekan SLIK kepada pelamar kerja.

    “Kalau punya utang di pinjol, punya utang di BNPL (Buy Now, Pay Later), gak bayar, itu nanti kalau mau nyicil rumah, gak bisa sama sekali,” ucap Friderica.

    Oleh karena itu, ia meminta kepada masyarakat untuk menjadi konsumen yang beritikad baik dan melakukan kewajibannya dalam membayar pinjaman.

    “Yang kami lindungi adalah konsumen yang beritikad baik. Jadi, untuk konsumen yang memang tidak berniat bayar, itu bukan tipe konsumen yang kami lindungi,” tuturnya.

    Otoritas Jasa Keuangan (OJK) secara resmi merilis pembaruan status pinjaman online (pinjol) per 1 Juli 2025. Total terdapat 96 penyelenggara fintech lending yang tercatat legal dan berizin penuh, menunjukkan peningkatan pengawasan terhadap industri keuangan digital.

    Sementara itu, Satgas PASTI yang terdiri dari OJK, BSSN, dan Kemkominfo telah memblokir 427 entitas pinjol ilegal hingga pertengahan Juni 2025. Langkah ini dilakukan sebagai upaya melindungi masyarakat dari praktik keuangan ilegal yang merugikan.

    Lebih lanjut, OJK memperkenalkan istilah baru “pindar” atau pinjaman daring untuk membedakan layanan pinjaman online (pinjol) legal dari pinjol ilegal yang kini dianggap memiliki konotasi yang lebih mengarah negatif di masyarakat.

    Sumber : Antara

  • OJK Kenalkan Pindar, Gantikan Pinjol yang Sarat Konotasi Negatif

    OJK Kenalkan Pindar, Gantikan Pinjol yang Sarat Konotasi Negatif

    Jakarta

    Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menilai konotasi pinjaman online (pinjol) sudah negatif seiring maraknya pinjol ilegal. Hal itu yang membuat OJK mengenalkan istilah baru bernama pindar atau kepanjangan dari pinjaman daring.

    Kepala Eksekutif Pengawasan Perilaku Usaha Jasa Keuangan, Edukasi, dan Perlindungan Konsumen OJK, Frederica Widyasari Dewi mengatakan saat ini pihaknya akan terus menggunakan pindar ke masyarakat.

    “Pindar atau pinjaman daring itu istilah baru yang kita gunakan untuk membedakan dari pinjol ilegal, karena istilah pinjol itu sekarang sudah lebih dikonotasikan negatif, jadi supaya ini membedakan yang positif,” ujar Federica dikutip Antaranews, Selasa (12/8/2025).

    Menurut OJK, pindar tetap merupakan salah satu moda pembiayaan yang memudahkan masyarakat mengakses pinjaman, terutama bagi pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Pemanfaatan yang tepat dinilai dapat memberikan dampak positif, meski bunga relatif tinggi.

    Sementara pinjol, merupakan sebutan lama yang kini mengarah pada platform pinjaman online yang ilegal. Meskipun, tidak semua pinjol ilegal karena ada yang legal, namun untuk membedakannya dihadirkan istilah pindar.

    Dengan adanya istilah pindar, OJK berharap masyarakat lebih memahami perbedaan antara pinjaman daring yang terdaftar dan diawasi secara resmi dengan pinjol ilegal.

    Edukasi ini diharapkan mendorong masyarakat menggunakan layanan pembiayaan digital secara bijak, mengutamakan kebutuhan produktif, dan menghindari jeratan utang konsumtif.

    Lebih lanjut, Friderica mengingatkan risiko penggunaan pindar untuk tujuan konsumtif, terutama bagi para anak muda yang mulai marak menjadi korban pinjol karena menggunakannya untuk membeli barang-barang konsumtif tanpa mempertimbangkan kemampuan mengembalikan pinjaman.

    “Mereka akan bisa pakai pinjol yang sekarang pindar itu dengan baik, karena walaupun bunganya relatif tinggi, tapi mereka tahu bisa segera mengembalikan. Tapi jeleknya kalau misalnya beli untuk konsumtif, misalnya beli baju, tas, hp, itu yang anak-anak muda sekarang itu banyak yang kemudian menjadi korban dari hal seperti itu,” tutur Friderica.

    “Jadi bagus atau tidak tergantung dari kita sendiri yang pakai,” pungkasnya.

    (agt/agt)

  • Asosiasi soal Kasus Dugaan Kartel Pinjol: Sudah Busa-busa Saya Menjelaskan

    Asosiasi soal Kasus Dugaan Kartel Pinjol: Sudah Busa-busa Saya Menjelaskan

    Jakarta

    Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) akan menggelar sidang kasus dugaan kartel bunga pinjaman daring (pindar) atau fintech peer-to-peer (P2P) lending pada Kamis (14/8/2025). Menjelang sidang tersebut, Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) setidaknya sudah empat kali dipanggil.

    Ketua Umum AFPI Entjik S. Djafar mengatakan pihaknya sudah beberapa kali menjalin komunikasi dengan KPPU sebelum sidang ini digelar untuk menjelaskan persoalan bunga pindar tersebut.

    “Apakah pernah diskusi dengan KPPU? Saya empat kali dipanggil, Pak. Sudah busa-busa ini mulut saya menjelaskan. Sorry to say, saya jelaskan dari awal bahwa kita tidak ada niat jahat. Kita hanya mau protect consumer. Kalau ada yang mau lebih murah silakan. Ada yang mau gratis lagi silakan,” kata Entjik dalam Diskusi Publik di Kantor Celios, Jakarta, Senin (11/8/2025).

    Entjik menegaskan pihaknya mengatur ketentuan bunga batas atas untuk menghindari adanya platform pindar yang menerapkan bunga lebih tinggi. Ia juga menepis telah berkomplot untuk menyeragamkan harga atau melakukan price fixing demi kepentingan segelintir pihak.

    Ia menjelaskan penetapan besaran bunga pindar atau yang lebih dikenal dengan sebutan pinjol ini merupakan arahan dan ketetapan langsung dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Kebijakan tersebut menjadi salah satu langkah untuk memberikan perlindungan kepada konsumen.

    Penetapan bunga pindar ini juga menjadi salah satu upaya untuk membedakan pindar dengan pinjol ilegal yang meresahkan masyarakat. Jangan sampai ada perusahaan yang mematok bunga setinggi langit hingga merugikan konsumen.

    “Kita menghargai proses hukum ini, tetapi saya mau jelaskan bahwa tidak ada maksud kami untuk menentukan bunga-walaupun itu sudah arahan OJK-demi keuntungan. Ini tujuannya consumer protection, kita melindungi konsumen agar bunga tidak gila-gilaan,” jelasnya.

    Entjik juga mempertanyakan maksud KPPU yang menuduh industri fintech P2P lending bersekongkol seperti penjahat untuk menyesuaikan bunga pinjaman. Menurutnya, tidak adil apabila pindar dituduh melakukan kejahatan, sedangkan keberadaan pinjol ilegal yang lebih krusial justru malah dibiarkan.

    “Ini Tom Lembong kedua, nggak fair, sangat nggak fair. Kami melindungi konsumen tapi kita dituntut. Kita tetapkan ini untuk batas atas, bukan bawah, agar ‘hei, para pindar ini jangan terlalu banyak untung’,” ujarnya.

    Berdasarkan situs resmi KPPU, sidang perdana kasus dugaan kartel bunga pinjol akan digelar pada Kamis (14/8/2025) dengan agenda pertama memaparkan laporan dugaan pelanggaran oleh investigator.

    (shc/rrd)

  • Asosiasi Pinjol Sebut Bunga 0,3% per Hari Paling Ideal

    Asosiasi Pinjol Sebut Bunga 0,3% per Hari Paling Ideal

    Jakarta

    Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) memandang bahwa bunga pinjaman daring (pindar) atau pinjol untuk sektor konsumtif sebesar 0,3% merupakan persentase yang paling ideal. Apabila turun di bawah itu, ada kemungkinan jumlah penyalurannya ikut menurun.

    Berdasarkan Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan (SE OJK) Nomor 19/SEOJK.05/2023, ditetapkan bahwa pinjaman konsumtif untuk tenor kurang dari 6 bulan berada di angka 0,3% per hari. Sedangkan untuk tenor lebih dari 6 bulan ditetapkan sebesar 0,2% per hari. Bisa jadi di tahun depan angkanya kembali disesuaikan.

    Ketua Umum AFPI Entjik S Djafar mengatakan, penyesuaian suku bunga pinjol sepenuhnya merupakan kebijakan dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Angka ini turun cukup signifikan dibandingkan dengan awal AFPI berdiri yakni sebesar 0,8% per hari.

    Secara bertahap, suku bunga pinjol telah beberapa kali mengalami penurunan. Setelah sebelumnya ditetapkan sebesar 0,8% per hari sebagai acuan awal, bunga pinjol telah turun menjadi 0,4% per hari pada tahun 2023. Lalu angkanya kembali turun menjadi 0,3% di 2024, dan mengalami penyesuaian kembali di tahun ini.

    “Nah saat ini 0,3% (per hari) itu kita rasakan sudah pas. Sudah benar,” kata Entjik dalam Diskusi Publik di Kantor Celios, Jakarta, Senin (11/8/2025).

    Menurutnya, persentase 0,3% per hari merupakan titik keseimbangan yang pas antara kebutuhan lender, borrower, serta penyelenggara. Ketiga pihak tersebut memperoleh keuntungan serta manfaat yang pas.

    Hal ini juga terlihat dari angka disbursement atau penyalurannya yang justru mengalami peningkatan, meski bunga pinjol berangsur mengalami penurunan. Namun apabila angka ini diturunkan lagi pada tahun depan ke posisi 0,2% per hari, bisa jadi keseimbangan itu terganggu.

    “0,3% ini kita rasakan cukup karena resiko juga masih bisa ter-cover. Kalau diturunkan bagaimana pak ke 0,2%? Maka saya yakin 1.000% disburse pasti turun. Kenapa? Pasti penyelenggaraannya mikir-mikir untuk memberi pinjaman kepada masyarakat yang berisiko,” jelasnya.

    Secara keseluruhan, per Juni 2025 ini pokok pembiayaan atau outstanding pinjaman dari pindar mencapai Rp 83,52 triliun. Angka ini masih cukup jauh tertinggal dari outstanding pinjol ilegal yang diproyeksikan mencapai Rp 260 triliun.

    Entjik mengatakan, angka ini sudah menurun dibandingkan dengan masa lampau. Kondisi naiknya angka penyaluran pindar juga didukung dengan peralihan dari sejumlah konsumen pinjol ilegal ke pindar.

    Sementara itu, Direktur Ekonomi Digital Celios Nailul Hudamenilai, besaran bunga pinjol untuk tahun depan perlu disesuaikan dengan kondisi yang akan datang. Menurutnya, angka yang ideal sekarang belum tentu tepat di tahun depan.

    Hal ini mengingat besaran bunga merupakan hal yang sensitif bagi berbagai pihak. Selain dari pinjaman itu sendiri, Nailul melihat bahwa bunga fintech P2P Lending juga mesti dipertimbangkan dari sisi investor, baik dari lokal maupun asing.

    “Lender itu pasti akan mempertimbangkan investasi lainnya untuk menjadi tempat dia berinvestasi atau portfolio mereka investasi. Jadi memang sangat kritis sekali. Kalau boleh saya katakan 0,3% itu sudah ideal, tapi belum tentu tahun depan seperti apa,” ujar Nailul.

    “Karena tahun depan bisa jadi untuk suku bunga Bank Indonesia itu naik tinggi sekali, sehingga orang akan lebih cenderung untuk menanamkan investasinya di SBN ataupun di deposito dan sebagainya. Di sini sangat-sangat kritis sekali untuk bisa menyeimbangkan antara keinginan dari lender dan juga keinginan dari borrower,” sambungnya.

    Apabila tidak ada pendanaan, lanjut Nailul, maka likuiditas platform pinjol akan berkurang, hingga dapat menyebabkan penyaluran kepada peminjam juga turun. Kondisi tersebut dapat dimanfaatkan untuk rentenir masuk menawarkan opsi pinjamannya.

    (acd/acd)