Produk: Pinjol

  • Era Digital dan AI, BPKN Soroti Ancaman Penipuan terhadap Konsumen

    Era Digital dan AI, BPKN Soroti Ancaman Penipuan terhadap Konsumen

    Heru menjelaskan, kegiatan edukasi tersebut melibatkan berbagai mitra, antara lain DPRD Kabupaten Jember, Pemerintah Kabupaten Belitung, Dinas Koperasi dan UKM Provinsi Gorontalo, Universitas Singaperbangsa Karawang, IPB University, hingga sejumlah perguruan tinggi dan instansi daerah lainnya.

    “Berbagai isu strategis diangkat dalam kegiatan tersebut, meliputi perlindungan konsumen di era ekonomi digital, keamanan pangan, potensi dan risiko e-commerce, bahaya pinjaman online ilegal, hingga penguatan peran konsumen agar menjadi cerdas, kritis, dan berdaya,” kata Heru.

    Ia menambahkan, peserta yang berasal dari asosiasi, UMKM, pelaku usaha, dan mahasiswa diharapkan menjadi agen literasi yang dapat menyebarluaskan pemahaman perlindungan konsumen di lingkungan masing-masing.

    Selain edukasi tatap muka, BPKN juga memperkuat literasi publik melalui podcast perlindungan konsumen di kanal YouTube resmi. Sepanjang 2025, delapan episode diproduksi dengan mengangkat isu-isu aktual seperti kosmetik ilegal, pangan fortifikasi, BBM, mafia tanah, hingga penipuan digital.

     

  • Keamanan Digital Indonesia: Retak di Hulu, Bocor di Hilir

    Keamanan Digital Indonesia: Retak di Hulu, Bocor di Hilir

    Keamanan Digital Indonesia: Retak di Hulu, Bocor di Hilir
    Doktor Sosiologi dari Universitas Padjadjaran. Pengamat sosial dan kebijakan publik. Pernah berprofesi sebagai Wartawan dan bekerja di industri pertambangan.
    Artikel ini adalah kolom, seluruh isi dan opini merupakan pandangan pribadi penulis dan bukan cerminan sikap redaksi.
    BERMULA
    dari seringnya nomor telepon Whatsapp dibajak orang-orang yang tidak bertanggung jawab, kemudian oleh mereka digunakan untuk melakukan penipuan seolah-olah berinteraksi dengan nomor kontak yang ada di ponsel, saya tergerak menulis artikel ini.
    Bukan semata-mata curhat pribadi, tetapi ada persoalan besar mengenai mudahnya data pribadi penduduk Indonesia, termasuk saya di dalamnya, dibajak oleh peretas. Mungkin juga pengalaman pribadi ini pernah dialami oleh para pembaca.
    Dengan tulisan ini, niatan saya adalah berbagi pengetahuan dan pengalaman, jangan sampai pembajakan nomor telepon dan mungkin juga akun-akun penting lainnya terjadi pada para pembaca dan menjadi bencana digital.
    Jujur, saya agak trauma tatkala nomor telepon atau akun media sosial kena bajak orang lain dengan tujuan busuk, yakni penipuan digital.
    Tahun 2010, saat berkunjung ke markas Kaspersky di Moskow, Rusia, saya melihat paparan sekaligus demo bagaimana para peretas di kawasan Rusia dan negara-negara dekatnya seperti Estonia dan Ukraina, menjebol akun bank hanya menggunakan ponsel di telapak tangan.
    Kaspersky sebagai produsen software antivirus terkemuka saat itu memperkenalkan antivirus khusus untuk ponsel.
    Dalam demo itu diperlihatkan, bagaimana seorang peretas muda dengan mudah mencuri password akun bank seseorang hanya dalam hitungan menit. Padahal kata sandi yang diretas terdiri dari 13 karakter; gabungan angka, huruf dan lambang yang ada di keyboard ponsel atau laptop.
    Dari sinilah saya “parno” seandainya tiba-tiba nomor Whatsapp saya diretas. Ini pastilah aksi sindikat terorganisir, pastilah ada orang berlatar IT atau seseorang yang punya bisnis menjual nomor-nomor Whatsapp ke sembarang orang.
    Keamanan ponsel dari pabrikan itu dianggap biang dari penyerapan -kalau tidak mau disebut perampokan- data pribadi para penggunanya.
    Dengan banyaknya aplikasi, seorang pengguna bisa dengan sukarela menyerahkan nomor KTP, nomor ponsel, alamat email beserta password-nya, lokasi di mana pengguna berada, rekening bank dan data-data sensitif lainnya.
    Kembali kepada persoalan mengapa akun media sosial dan nomor Whatsapp demikian sering kena retas? Itulah yang membuat saya coba menesuri akar persoalannya, syukur-syukur bisa menjawab ketidakpahaman saya.
    Tentu saya paham bahwa pemerintah Indonesia telah berupaya melindungi warganya di ranah digital melalui beberapa kebijakan dan institusi, utamanya Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP), yang mulai berlaku sejak 2022 dan mengatur hak subjek data, kewajiban pengendali data, serta sanksi atas pelanggaran.
    Di sisi lain, Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) bertugas mengawasi keamanan siber nasional, sementara Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) sering memblokir situs pinjaman online (pinjol) ilegal dan judi online (judol).
    Ada juga strategi nasional keamanan siber untuk mencegah serangan dari dalam maupun dari luar.
    Namun, secara realistis, perlindungan ini belum benar-benar efektif menjaga kerahasiaan data digital penduduk Indonesia. Buktinya Whatsapp saya sering coba dibajak.
    Implementasi UU PDP masih lambat, kesadaran dan penegakan hukum rendah, serta insiden kebocoran data terus meningkat.
    BSSN mencatat ratusan serangan siber setiap tahun, dan Indonesia sering masuk peringkat atas negara dengan kebocoran data terbanyak secara global. Saya termasuk salah satu “korban” di dalamnya tentu saja.
    Contoh kasus kebocoran data yang merugikan rakyat yang masuk kategori kasus besar dalam kurun waktu 2023-2025, menunjukkan kerentanan sistem itu sendiri.
    Kebocoran data Pusat Data Nasional Sementara (PDNS) 2024, misalnya, di mana peretas berhasil membobol ratusan juta data pribadi dari berbagai instansi pemerintah, termasuk data ASN dan layanan publik. Perlindungan yang jauh dari maksimal.
    Kemudian Data Dukcapil dan NPWP (2023-2024) di mana peretas seperti Bjorka membocorkan jutaan data kependudukan dan pajak untuk kemudian dijual di forum gelap.
    Bank Syariah Indonesia dan BPJS Kesehatan juga tidak luput dari serangan peretas di mana jutaan data nasabah dan pasien bocor, menyebabkan risiko penipuan identitas dan kerugian finansial. Mengerikan.
    KPU dan PLN Mobile jelas berisi data pemilih dan pelanggan listrik, juga bocor dengan total ratusan juta rekaman pada 2023-2025.
    Kasus-kasus ini jelas merugikan rakyat karena data pribadi (NIK, nomor HP, alamat) digunakan untuk penipuan, pinjol ilegal, atau pencurian identitas, menyebabkan kerugian materiil dan psikologis.
    Pertanyaan yang menggantung pada benak saya, mengapa momor telepon (Whatsapp) sering dibajak? Boleh jadi nomor telepon, terutama yang terkait Whatsapp, karena banyaknya layanan digital (bank, email, media sosial) menggunakan verifikasi SMS/OTP (One Time Password).
    Indonesia merupakan salah satu pengguna Whatsapp terbanyak di dunia, sehingga menjadi target empuk sasaran penipuan digital. Diperkirakan mencapai lebih dari 112 juta pengguna pada tahun 2025, menempatkan Indonesia di peringkat ketiga dunia setelah India dan Brasil.
    Dari literatur yang saya susuri, saya paham bagaimana cara utama pembajakan, yakni dengan cara yang disebut SIM Swapping, yakni kejahatan siber di mana pelaku menipu operator seluler untuk mentransfer nomor ponsel korban ke kartu SIM mereka, sehingga pelaku bisa menerima SMS dan panggilan korban, termasuk kode OTP untuk membajak akun bank, e-wallet dan media sosial, lalu menguras dana atau mencuri data.
    Bagaimana cara kerjanya? Penjahat siber mengumpulkan data pribadi korban (via phishing atau kebocoran data), lalu menghubungi operator seluler dengan berpura-pura sebagai korban untuk memindahkan nomor ke SIM baru mereka.
    Mereka lalu menerima OTP dan mengambil alih Whatsapp/akun bank sebagaimana telah saya jelaskan tadi.
    Phishing
    dan
    social engineering
    juga sering dilakukan, yakni mengirim
    link
    (tautan) palsu atau menipu korban dengan memberikan kode verifikasi Whatsapp, atau menggunakan data bocor untuk reset akun email/media sosial.
    Banyak cara lainnya, termasuk serangan
    malware
    sebagaimana yang saya lihat di Moskow, Rusia itu.
    Tatkala ponsel Whatsapp saya digunakan oleh orang yang tidak bertanggung jawab dengan maksud melakukan penipuan, jelas saya dirugikan.
    Setidak-tidaknya kredibilitas saya jatuh karena dalam aksi penipuannya para pembajak bisa berpura-pura meminjam uang atau menawarkan produk tertentu, biasanya lelang fiktif.
    Memang saya tidak kehilangan akses akun Whatsapp, email atau media sosial, tetapi penjahat tentu telah berkirim pesan ke “circle” saya dengan maksud menipu teman atau keluarga. Paling sering modus pinjam uang itu tadi, misalnya.
    Mungkin orang lain yang lebih sial dari saya telah kehilangan akses terhadap ponselnya sendiri di mana aplikasi Whatsapp ada di ponsel tersebut.
    Padahal, di dalamnya ada aplikas bank dan boleh jadi akses rekening bank seperti transfer ilegal dapat mengakibatkan kerugian jutaan bahkan miliaran rupiah.
    Penyebaran data pribadi yang dilakukan oleh seseorang juga dapat digunakan untuk teror, pinjol ilegal, atau pencemaran nama baik.
    Apa dampak dari nomor Whatsapp yang dibajak orang berkali-kali? Jelas akan waswas dan traumatis, apalagi “parno” yang tidak hilang begitu saja setelah melihat bagaimana anak-anak remaja di Rusia sedemikian gampangnya membobol akun bank dengan
    password
    rumit sekalipun.
    Tambahan lagi dampak psikologis berupa stres dan kehilangan privasi. Di berbagai tempat, banyak kasus bunuh diri akibat teror melalui
    peretasan
    akun aplikasi percakapan maupun akun media sosial.
    Pemerintah Indonesia aktif memblokir ribuan situs judol dan pinjol ilegal, serta ada Satgas Pemberantasan Judi Online.
    Namun, regulasi itu masih longgar dibanding Eropa, yang menerapkan GDPR (General Data Protection Regulation) yang sangat ketat soal data dan batasan usia untuk media sosial/ponsel. Misalnya, anak di bawah 13-16 tahun dilarang memakai platform tertentu tanpa izin orangtua.
    Di Indonesia, anak muda sangat rentan, mereka banyak terjebak pinjol ilegal (bunga mencekik, teror penagihan) dan judol (kecanduan cepat).
    Dampaknya tentu parah, yakni kerugian finansial, utang menumpuk, depresi, gangguan mental, hingga bunuh diri.
    Laporan menunjukkan korban pinjol/judol didominasi usia 19-35 tahun, sering dari kalangan mahasiswa atau pekerja muda.
    Dari penelusuran ini timbul pertanyaan pada diri saya, apakah penipuan digital ini terorganisir dan justru melibatkan aparat yang paham seluk-beluk data penduduk?
    Bukan saya berburuk sangka, tetapi memang banyak penipuan digital (terutama judol dan scam investasi) karakteristiknya menurut para pemerhati siber bersifat terorganisir, sering melibatkan sindikat internasional (WNA China , Rusia dan Ukraina di Indonesia atau WNI dipaksa menjadi bagian dari kriminalitas ilegal digital di Kamboja dan Myanmar).
    Ini seperti “bisnis” dengan
    call center, script
    penipuan, dan target korban massal.
    Soal keterlibatan aparat, ada dugaan oknum aparat penegak hukum terlibat di beberapa kasus lokal, misalnya “kebal hukum” karena kuatnya
    backing
    , tetapi ini bukan bukti sistematis atau melibatkan institusi secara keseluruhan.
    Kebanyakan kasus yang terungkap justru ditangani aparat, seperti penggerebekan sindikat WNA. Rumor ini sering beredar di media sosial, tetapi sumber kredibel lebih menunjuk ke korupsi oknum secara individu ketimbang konspirasi besar institusi.
    Atas semua fakta dan kejadian itu, secara pribadi saya berpendapat bahwa pemerintah Indonesia belum cukup serius dan efektif dalam melindungi rakyat di ranah digital, meski ada kemajuan seperti UU PDP tadi.
    Bukti nyata adalah kebocoran data masih saja terus terjadi, bahkan setelah regulasi baru diberlakukan dan hal itu menunjukkan
    enforcement
    masih lemah, tata kelola buruk, dan kurangnya investasi di keamanan siber di sini.
    Sementara semua layanan (e-KTP, bank, pemilu) sudah beralih online, rakyat dibiarkan “terpapar” tanpa perlindungan memadai. Ini ibaratnya seperti membangun pasar digital besar tanpa pagar dan personel keamanan yang kuat.
    Bandingkan dengan Eropa dan Singapura di mana mereka sangat peduli terhadap generasi mudanya dengan pemberlakuan ketat batas usia dan sanksi berat bagi perusahaan yang melanggar privasi.
    Sementara di sini, anak muda justru “terpenjara” pinjol/judol hanya karena edukasi literasi digital yang tidak serius, bahkan masih minim, regulasi yang masih longgar, dan blokir situs mudah diakali VPN (Virtual Private Network).
    Penipuan terorganisir memang seperti bisnis haram yang menguntungkan segelintir orang, dan dugaan oknum aparat terlibat semakin memperburuk kepercayaan publik. Bagi saya, ini mencerminkan masalah korupsi struktural yang lebih dalam lagi.
    Solusi yang saya usulkan adalah perlunya penegakan hukum super tegas (sanksi berat bagi pengelola data ceroboh), edukasi masif sejak di sekolah, batasan usia untuk platform berisiko, dan kolaborasi internasional melawan sindikat digital terorganisir.
    Tanpa itu, rakyat akan terus menjadi korban di “pasar digital” yang tak terkendali ini.
    Pemerintah harus bertindak lebih proaktif, bukan reaktif setelah kejadian demi kejadian. Jangan juga seolah menjadi korban seperti yang saya alami dan kesannya putus asa dengan terus menerusnya bertambah korban dari waktu ke waktu.
    Karena
    keamanan digital
    bukan sekadar pilihan, tapi keharusan bagi negara untuk melindungi rakyatnya.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • 7 Cara Pinjam Dana Siaga BPJS Ketenagakerjaan Langsung dari Aplikasi

    7 Cara Pinjam Dana Siaga BPJS Ketenagakerjaan Langsung dari Aplikasi

    Jakarta, Beritasatu.com – Di tengah kebutuhan finansial mendesak yang bisa muncul kapan saja, mulai dari kebutuhan keluarga, biaya medis, renovasi rumah, hingga kebutuhan tak terduga, dana siaga BPJS Ketenagakerjaan bisa menjadi solusi.

    Program ini memungkinkan peserta aktif untuk meminjam uang secara legal tanpa harus datang ke kantor BPJS. Proses yang sebelumnya dilakukan secara tatap muka kini bisa sepenuhnya dilakukan melalui aplikasi ponsel JMO, sehingga peserta dapat mengajukan pinjaman dari rumah atau lokasi mana pun.

    Program dana siaga BPJS Ketenagakerjaan disalurkan bekerja sama dengan berbagai bank mitra, baik bank milik negara maupun bank swasta tertentu.

    Besaran pinjaman sangat bervariasi, mulai dari nominal kecil hingga puluhan juta rupiah, dengan pilihan tenor cicilan yang fleksibel. Bunga yang ditetapkan juga kompetitif dan lebih terjangkau dibandingkan layanan pinjaman informal.

    Hal ini membuat dana siaga menjadi salah satu pilihan kredit yang aman, resmi, dan kredibel bagi pekerja yang terdaftar sebagai peserta BPJS Ketenagakerjaan.

    Syarat Pengajuan Dana Siaga BPJS Ketenagakerjaan

    Sebelum mengajukan pinjaman, peserta harus memenuhi beberapa persyaratan dasar agar permohonan dapat diproses oleh bank mitra. Ketentuan umum yang biasanya berlaku mencakup:

    Peserta terdaftar aktif di BPJS Ketenagakerjaan dan tidak memiliki tunggakan iuran.Memiliki rekening payroll, biasanya di bank mitra yang bekerja sama sebagai kanal pencairan dan pembayaran gaji.Memenuhi masa kerja minimal sesuai aturan di perusahaan terakhir.Memiliki penghasilan bulanan yang memenuhi batas minimum, jika ketentuan tersebut diterapkan oleh bank.Memenuhi syarat usia tertentu agar tenor cicilan dapat diselesaikan dalam periode yang wajar.

    Persyaratan ini membantu memastikan proses analisis kredit berjalan lancar dan sesuai ketentuan lembaga keuangan yang bekerja sama dalam program dana siaga BPJS Ketenagakerjaan.

    Cara Mengajukan Dana Siaga melalui Aplikasi JMO

    Pengajuan pinjaman melalui aplikasi JMO dirancang sederhana dan praktis. Semua tahapan dapat dilakukan langsung dari smartphone tanpa perlu datang ke kantor cabang. Berikut ini langkah pengajuannya:

    Unduh dan pasang aplikasi JMO, kemudian login menggunakan akun BPJS Ketenagakerjaan.Masuk ke menu aplikasi dan pilih fitur dana siaga. Jika belum muncul, fitur dapat dicari di menu tambahan.Pilih bank mitra penyedia dana dari daftar yang tersedia.Baca seluruh syarat dan ketentuan pinjaman, termasuk plafon, bunga, tenor, dan kewajiban pembayaran.Isi formulir pengajuan dengan lengkap, mencakup data pribadi, data pekerjaan, dan nomor rekening payroll.Kirim pengajuan dan tunggu proses verifikasi serta analisis kredit dari pihak bank mitra.Jika disetujui, lakukan konfirmasi akhir melalui aplikasi. Dana akan dicairkan ke rekening payroll yang telah terdaftar.

    Seluruh proses dapat dipantau secara real-time melalui aplikasi JMO. Peserta akan menerima notifikasi mengenai status pengajuan mulai dari verifikasi, persetujuan, hingga pencairan dana, sehingga memberikan transparansi dan efisiensi.

    Keunggulan Dana Siaga BPJS Ketenagakerjaan Dibanding Pinjaman Biasa

    Program dana siaga menawarkan sejumlah kelebihan dibanding layanan pinjaman online atau pinjaman informal. Sebagai layanan resmi yang bekerja sama dengan bank dan berada di bawah lembaga jaminan sosial, program ini lebih aman, legal, dan dapat dipantau secara jelas.

    Data peserta yang sudah terintegrasi dengan keanggotaan BPJS Ketenagakerjaan membantu mencegah penipuan, penyalahgunaan data, maupun penetapan bunga yang tidak wajar.

    Selain itu, pengajuan lewat aplikasi JMO membuat proses menjadi jauh lebih efisien, terutama bagi pekerja yang membutuhkan dana cepat tetapi memiliki keterbatasan waktu untuk mengurus pinjaman ke kantor atau ke bank.

    Program dana siaga juga menunjukkan BPJS Ketenagakerjaan bukan hanya memberikan perlindungan jangka panjang, seperti jaminan hari tua (JHT), jaminan kecelakaan kerja, dan jaminan kematian, tetapi juga menyediakan solusi keuangan jangka pendek saat peserta berada dalam kondisi mendesak.

  • Agar Liburan Akhir Tahun Aman, Ini Fondasi Keuangan yang Harus Disiapkan

    Agar Liburan Akhir Tahun Aman, Ini Fondasi Keuangan yang Harus Disiapkan

    Jakarta

    Menjelang akhir tahun, kebutuhan rumah tangga biasanya ikut meningkat seiring persiapan liburan, biaya sekolah anak, hingga pengeluaran tak terduga. Kondisi ini membuat banyak perempuan yang memegang peran pengatur keuangan keluarga harus lebih cermat menjaga stabilitas finansial.

    Melihat situasi tersebut, AdaKami menggandeng Perencana Keuangan Profesional Rista Zwestika CFP® untuk merangkum tips sederhana namun relevan agar masyarakat, khususnya perempuan, lebih siap menghadapi tekanan finansial tanpa terjebak risiko pinjaman online ilegal yang masih banyak memakan korban. Menurutnya, pengelolaan keuangan bukan sekadar mencatat pemasukan dan pengeluaran.

    “Ini soal disiplin, prioritas, dan kesiapan menghadapi hal-hal yang tidak terduga,” ujarnya dalam keterangan tertulis, Jumat (5/12/2025).

    Ia menambahkan, sejumlah masalah finansial yang kerap ditemukan pada perempuan di antaranya tidak memiliki rencana keuangan yang jelas, mencampur uang pribadi dengan uang usaha/keluarga, belanja emosional, hingga bergantung pada satu sumber penghasilan.

    Sementara itu, Brand Manager AdaKami Jonathan Kriss menegaskan pentingnya literasi finansial bagi perempuan sebagai pengelola keuangan keluarga.

    “Perempuan punya peran strategis dalam menjaga stabilitas finansial rumah tangga. Dengan memahami prinsip dasar pengelolaan keuangan dan memilih layanan keuangan yang legal dan berizin, mereka bisa terhindar dari risiko pinjol ilegal dan membangun fondasi keuangan keluarga yang lebih kuat,” tuturnya.

    Lantas, langkah sederhana apa saja yang bisa dilakukan? Berikut ini lima tips yang bisa diterapkan untuk mengelola keuangan di akhir tahun:

    1. Susun Anggaran Secara Jujur dan Realistis

    Awali dengan memahami arus kas, berapa pemasukan dan ke mana pengeluaran selama ini berjalan. Pengeluaran akhir tahun biasanya meningkat akibat liburan, membeli hadiah, hingga acara keluarga.

    Rista menyarankan untuk memisahkan kategori wajib, butuh, dan ingin, serta menempatkan tabungan dan investasi sebagai ‘pengeluaran wajib’, bukan sisa.

    2. Kelola Utang dengan Bijak, Bukan Sekadar Membayar

    Utang tetap menjadi bagian dari manajemen finansial, namun, menurut Rista, penting untuk membedakan utang produktif dan konsumtif. Strateginya yang bisa dilakukan adalah dengan menghindari utang baru, mengupayakan tambahan pemasukan, dan melunasi utang satu per satu.

    Ia mengingatkan, utang konsumtif bisa dengan cepat menggoyahkan kondisi keuangan terutama bagi perempuan yang memikul beban rumah tangga.

    3. Simpan Dana Darurat di Instrumen Likuid

    Dana darurat berfungsi sebagai pelindung saat situasi tidak terduga terjadi. Besarannya disesuaikan dengan kondisi masing-masing, mulai dari enam kali penghasilan bulanan bagi yang lajang, sembilan kali bagi yang menikah, hingga dua belas kali untuk yang memiliki anak.

    Menurut Rista, dana darurat tersebut bisa disimpan di tabungan, deposito, logam mulia, atau reksa dana pasar uang karena sifatnya likuid dan mudah dicairkan.

    4. Lindungi Diri dengan Asuransi

    Akhir tahun disebut sebagai momen tepat untuk mengevaluasi perlindungan diri dan keluarga. Rista sendiri menekankan terdapat tiga asuransi yang perlu diutamakan, yakni kesehatan, penyakit kritis, dan jiwa. Hal ini bertujuan untuk menghindari kondisi finansial terguncang akibat biaya medis atau hilangnya pemasukan.

    Waspada Pinjol Ilegal, Khususnya Perempuan

    Tekanan ekonomi, belanja emosional, hingga tidak adanya rencana keuangan kerap membuat perempuan mencari solusi cepat tanpa mempertimbangkan risikonya. Celah ini kemudian dimanfaatkan oleh oknum pinjol ilegal yang menawarkan akses instan namun menjerumuskan.

    Berdasarkan data, per Maret 2025, sebanyak 61% pelapor pinjol ilegal terdiri dari para perempuan. Sementara itu, porsi pinjaman perempuan di layanan pinjol legal mencapai 53,75% dari total saldo pembiayaan.

    Dengan meningkatnya tekanan finansial di akhir tahun, perempuan perlu semakin cermat mengelola uang dan memilih layanan keuangan yang aman. AdaKami menegaskan komitmennya untuk terus menghadirkan edukasi dan layanan resmi agar perempuan terlindungi dari risiko pinjol ilegal dan lebih percaya diri mengelola keuangan keluarga.

    (akn/ega)

  • Utang Pinjol Rp 1 Juta Menyeret Siska ke Lingkaran Gali Lubang Tutup Lubang
                
                    
                        
                            Megapolitan
                        
                        5 Desember 2025

    Utang Pinjol Rp 1 Juta Menyeret Siska ke Lingkaran Gali Lubang Tutup Lubang Megapolitan 5 Desember 2025

    Utang Pinjol Rp 1 Juta Menyeret Siska ke Lingkaran Gali Lubang Tutup Lubang
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com – 
    Siska (bukan nama sebenarnya) tak pernah membayangkan utang Rp 1.000.000 yang dimiliknya bisa menjadi mimpi buruk yang panjang.
    Sebagai orangtua tunggal, setiap rupiah selalu ia hitung dengan cermat. Namun ketika listrik hampir diputus, kontrakan menunggak dua bulan, dan beras di rumah sudah habis, pilihan untuk mengutang terasa seperti satu-satunya jalan keluar.
    Uang Rp 1.000.000 yang ia pinjam dari aplikasi pinjaman
    online
    (
    pinjol
    ) adalah pinjaman pertamanya. Meski jumlahnya tidak besar, beban yang harus ia tanggung justru terasa seperti gunung.
    Padahal, ia selalu berusaha menyeimbangkan antara pekerjaan yang seadanya dan kebutuhan rumah tangga.
    Dalam kondisi panik dan terdesak, janji “langsung cair, tanpa ribet” yang ditawarkan iklan di media sosial terasa seperti secercah harapan.
    Ia bahkan tidak sempat berpikir panjang apakah aplikasi itu legal atau tidak. Yang ia tahu hanyalah uang cepat bisa menyelamatkan hari itu juga.
    Namun, kelegaan sesaat itu segera berubah menjadi kecemasan. Dalam hitungan hari, jumlah tagihan utangnya membengkak jauh di luar perkiraannya.
    Dari hanya satu
    aplikasi pinjol
    , Siska akhirnya harus berurusan dengan lima aplikasi sekaligus. Hidupnya berubah menjadi siklus “gali lubang tutup lubang” yang tak berujung.
    Siska menuturkan awal mula ia mengajukan pinjaman sebesar Rp 1.000.000 untuk membayar kontrakan dan membeli sembako.
    Ia berharap bisa mengatur keuangan dan membayar tepat waktu, tapi bunga dan biaya administrasi yang dikenakan aplikasi pinjol membuat cicilan membengkak dalam hitungan hari.
    “Kira-kira satu minggu setelah cair. Tiba-tiba pas mau bayar kok jumlahnya lebih besar. ‘Lah, ini minjem sejuta kok balikin jadi sejuta lebih banyak banget?” ujarnya.
    Ketika jatuh tempo mendekat, Siska tidak memiliki dana yang cukup. Temannya malah menyarankan ia untuk meminjam lagi di aplikasi lain demi menutupi pinjaman pertama.
    Rasa ragu dan khawatir sebenarnya muncul, tapi tekanan membuatnya pasrah dan hilang arah.
    “Awalnya saya ragu, tapi karena takut diteror ya saya pinjem lagi. Dari situlah mulai gali tutup lubang,” katanya.
    Dalam beberapa minggu, satu pinjaman berkembang menjadi lima. Setiap kali cicilan mendekati jatuh tempo, Siska dipaksa mencari pinjaman baru.
    “Tiap mau jatuh tempo saya minjam yang lain terus,” ujarnya.
    Siska mencoba berhenti meminjam. Ia berharap bisa melunasi utang yang ada dan memulai kembali hidupnya dengan lebih tenang.
    Namun, niat itu gagal karena teror dari penagih utang atau
    debt

    collector
    yang terus menekannya.
    “Begitu satu jatuh tempo, mereka neleponin terus. Jadi saya panik lagi. Ya udah minjem lagi” kata Siska.
    Setiap dering telepon dan notifikasi pesan WhatsApp menjadi sumber kecemasan. Waktu tidur menjadi penuh dengan pikiran tentang tagihan yang semakin membengkak.
    Bahkan pada siang hari, hati Siska tetap tidak tenang. Ia menyadari bahwa lingkaran setan ini bukan hanya masalah uang, tapi juga tekanan psikologis yang membuatnya sulit berpikir jernih.
    Bukan hanya bunga yang membuat Siska meminjam lagi.
    Debt collector
    pinjol juga menggunakan metode intimidasi agresif.
    Mereka menghubungi Siska puluhan kali dalam sehari dan mengirim pesan WhatsApp secara spam. Ada yang berbicara sopan, namun banyak yang kasar dan menakutkan.
    “Nelepon sampai 60 kali sehari pernah, Mas. Kadang dari nomor luar negeri. WA juga spam,” ungkap Siska.
    Tekanan ini membuat Siska merasa tidak punya pilihan lain selain meminjam uang lagi untuk menutupi pinjaman sebelumnya.
    Tidak hanya dirinya, para
    debt collector
    juga menghubungi keluarga dan tetangganya untuk memberikan tuduhan yang tak benar.
    “Mereka juga sebar berita ke tetangga, bilang saya kabur bawa uang,” tutur Siska.
    Kesadaran bahwa dirinya bukan satu-satunya korban pinjol datang ketika Siska akhirnya membuka diri kepada keluarganya. Dukungan dari sang adik menjadi titik awal pemulihan.
    Adiknya menenangkannya dan meyakinkan bahwa apa yang terjadi tidak sepenuhnya salahnya, serta masih ada jalan keluar meski terlihat sulit.
    Dukungan itulah yang mendorongnya untuk meminta pertolongan lebih lanjut.
    “Adik saya akhirnya nyuruh saya lapor ke lembaga bantuan. Baru dari situ saya mulai ngerti kalau saya bukan satu-satunya korban,” ujarnya.
    Melalui dukungan keluarga dan lembaga perlindungan, Siska mulai memahami cara keluar dari lingkaran utang.
    Siska mengisahkan bagaimana ia bisa
    terjerat pinjol
    hingga lima aplikasi sekaligus.
    Ia bilang, sebagai orangtua tunggal, seluruh beban rumah tangga bertumpu pada dirinya.
    Setiap hari ia bekerja di warung milik tetangganya dan penghasilannya hanya cukup untuk membeli kebutuhan paling dasar.
    Tidak ada ruang untuk menabung, apalagi menutup kebutuhan lain yang lebih besar.
    Di saat bersamaan, slip tagihan listrik menjadi pengingat bahwa pemutusan bisa terjadi kapan saja.
    Dari ponsel, pesan WhatsApp dari ibu kos muncul hampir setiap hari, menanyai kapan ia bisa melunasi kontrakan yang sudah terlambat dua bulan. Semua tagihan itu seolah mengejar dari segala arah.
    Sebagai satu-satunya orang dewasa di rumah, Siska hidup dari hari ke hari dengan sumber keuangan yang rapuh.
    Tidak ada suami, tidak ada keluarga yang bisa diandalkan secara rutin. Yang ada hanya seorang anak yang masih membutuhkan biaya sekolah dan makan yang ia upayakan sekuat tenaga agar tetap berjalan.
    Dalam keadaan seperti itu, pikirannya seperti menemui jalan buntu. Ia merasa berada di tengah pusaran tekanan yang terus mempersempit langkahnya.
    Pada akhirnya, Siska mengenang dengan jelas momen ketika ia menyerah dan memutuskan menekan pilihan “ajukan pinjaman” di layar ponselnya.
    “Kebutuhan rumah tuh numpuk, listrik mau diputus, kontrakan nunggak dua bulan. Ya akhirnya saya nekat cari pinjaman biar bisa nutup dulu yang mendesak,” kata Siska.
    Baginya, membayar kontrakan adalah hal paling utama. Jika tidak mampu membayar, ia dan anaknya tidak punya tempat lain untuk tinggal.
    Hal itulah yang membuat keputusan meminjam uang dari aplikasi pinjol tampak seperti satu-satunya jalan keluar, sebuah cara yang saat itu ia anggap untuk mengambil napas ketika merasa hampir tenggelam.
    Saat menggulirkan Instagram di ponselnya sambil rebahan, sebuah iklan muncul seolah menawarkan secercah harapan.
    “Lagi
    scroll
    HP sambil rebahan, muncul tuh iklan yang bilang ‘langsung cair, tanpa ribet’. Saya klik karena penasaran,” kata dia.
    Saat itu, Siska belum memahami seluk-beluk dunia pinjol. Ia tidak tahu perbedaan antara aplikasi legal dan ilegal, tentang bunga yang tak masuk akal, atau potensi ancaman yang mungkin mengikuti.
    Yang ia lihat hanya sesuatu yang tampaknya bisa menyelesaikan masalahnya seketika.
    Proses pengajuannya pun berlangsung begitu cepat, hampir tidak masuk akal bagi orang yang sebelumnya belum pernah meminjam.
    “Prosesnya cepet banget. Enggak pake foto KTP yang ribet, cuma selfie sama isi-isi data,” jelas dia.
    Tak lama kemudian, uang yang ia ajukan benar-benar masuk.
    “Pertama tuh saya ambil Rp 1.000.000. Buat bayar kontrakan dan sebagian buat beli sembako,” ujar dia.
    Siska sempat merasa lega. Seolah ada sedikit ruang bernapas setelah berminggu-minggu dihimpit ketakutan.
    Namun, ia tidak mengetahui bahwa keputusan sederhana itu justru menjadi pintu pertama menuju jurang yang jauh lebih gelap, yang menelannya dalam kebiasaan gali lubang-tutup-lubang.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Korban Pinjol Kena Mental, Diteror 60 Telepon Sehari dan Anak Terancam
                
                    
                        
                            Megapolitan
                        
                        4 Desember 2025

    Korban Pinjol Kena Mental, Diteror 60 Telepon Sehari dan Anak Terancam Megapolitan 4 Desember 2025

    Korban Pinjol Kena Mental, Diteror 60 Telepon Sehari dan Anak Terancam
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Ponsel milik Siska (bukan nama sebenarnya) tidak pernah benar-benar hening.
    Bunyi dering dan notifikasi pesan berdentang siang dan malam, seperti alarm yang menandai ketakutan yang tak kunjung reda.
    Setiap telepon, entah dari nomor lokal maupun luar negeri, membawa satu pesan yang sama, menagih utang.
    Bagi Siska, ibu tunggal berusia 32 tahun yang berjuang menghidupi anaknya dengan penghasilan dari membantu warung tetangga, telepon itu bukan sekadar pengingat.
    Bunyi deringnya berubah menjadi ancaman yang menekan secara psikologis.
    Dua bulan terakhir, setiap langkah Siska di rumah kontrakannya terasa diawasi. Setiap ketukan pintu membuat dadanya berdebar.
    Ia selalu melihat kanan-kiri sebelum keluar rumah, bahkan untuk sekadar membeli sembako.
    Intensitas panggilan meningkat seiring waktu. Dalam sehari, Siska bisa menerima puluhan panggilan dan pesan WhatsApp.
    Ada yang berbicara halus, tetapi tak jarang yang langsung membentak atau mengancam.
    Bahkan foto KTP Siska sempat diedit dan digunakan untuk menakut-nakuti. Bagi Siska, ancaman itu bukan sekadar kata-kata di layar, melainkan tekanan nyata yang merusak rasa aman dan ketenangan hidupnya.
    “Nelepon sampai 60 kali sehari pernah. Kadang dari nomor luar negeri. WA juga
    spam,”
    kata Siska.
    Dari telepon yang terus berdering inilah, cerita tentang teror
    pinjaman online
    ilegal bermula.
    Sebuah lingkaran menakutkan yang membuat korban seperti Siska sulit bernapas dan terus terjebak dalam ketakutan.
    Tekanan tidak berhenti pada jumlah panggilan. Nada bicara
    debt collector
    berubah-ubah, mulai dari berpura-pura sopan hingga langsung kasar.
    Siska mengingat bagaimana beberapa penagih memulai percakapan dengan halus seolah peduli, kemudian tiba-tiba meninggikan suara ketika ia mencoba memberi penjelasan.
    “Pernah tuh mereka kirim foto KTP saya yang mereka edit-edit, bilang saya mau ditangkap polisi,” kata Siska.
    Ancaman seperti itu bukan hal asing dalam modus penagihan
    pinjol
    ilegal.
    Mereka memanfaatkan data pribadi korban, termasuk foto KTP dan kontak telepon, sebagai senjata untuk menekan psikologis.
    Bagi Siska, ancaman bahwa dirinya akan “dicari polisi” atau “dijemput paksa” adalah bentuk teror yang paling memukul mentalnya.
    Ia tahu dirinya tidak melakukan kejahatan, tetapi intensitas penyampaian para penagih membuat informasi palsu itu terasa nyata.
    Ia mulai takut membuka pesan. Namun, tidak membuka pesan pun bukan solusi, karena telepon akan terus berdatangan. Setiap pilihan terasa salah.
    “Saya enggak tahu harus gimana,” ujar dia.
    Setiap kali Siska menolak angkat telepon, intensitas panggilan justru meningkat. Dari belasan menjadi puluhan.
    Ketika pinjaman dari aplikasi yang ia gunakan jatuh tempo,
    debt collector
    mengirim pesan beruntun tanpa henti, seolah ingin memastikan korban tidak sempat berpikir jernih.
    Panggilan itu datang bergantian, seakan dioper dari satu penagih ke penagih lain. Nomor yang berbeda-beda membuat Siska tak bisa memblokir semuanya.
    “Kalau HP saya bunyi, perut langsung mules,” ujar dia.
    Sejak teror telepon dimulai, ruang hidup Siska semakin menyempit. Kontrakan yang ia tempati bersama anaknya bukan lagi tempat yang aman seperti dulu.
    Setiap ketukan pintu, bahkan yang berasal dari tetangga, membuatnya terlonjak ketakutan.
    “Kalau ada suara motor berhenti di depan rumah, saya langsung mikir itu mereka,” ucap dia.
    Setiap kali melangkah keluar rumah untuk sekadar membeli sembako atau mengantar anaknya ke sekolah, ia selalu melihat sekeliling, memastikan tidak ada orang mencurigakan.
    Selama dua bulan penuh, Siska mematikan ponselnya pada siang dan malam hari.
    Hanya saat kebutuhan mendesak ia berani menyalakannya sebentar, lalu segera mematikannya kembali. Hidupnya seperti berada dalam mode bertahan.
    “Saya sampai takut liat HP. Bunyi notif apa pun bikin deg-degan,” ujar dia.
    Jika tekanan melalui pesan pribadi belum cukup, penagih mulai menyerang hal yang lebih sensitif, hubungan sosial dengan keluarga dan lingkungan sekitar.
    “Mereka juga sebar berita ke tetangga, bilang saya kabur bawa uang,” tutur Siska.
    Bagi banyak korban, inilah fase yang paling memalukan. Bukan hanya dituduh sebagai pencuri, tetapi informasi pribadi mereka disebarkan secara sengaja untuk mempermalukan.
    Beberapa tetangga mulai bertanya-tanya, sebagian percaya, sebagian lainnya hanya diam tak memperdulikan.
    Dampak sosial ini membuatnya semakin terpuruk.
    “Saya malu sama tetangga,” ucap dia.
    Perlakuan kasar kepada dirinya sudah cukup membuat Siska stres berat.
    Namun, ancaman yang melibatkan keselamatan anaknya menjadi titik terendah dari seluruh perjalanan ini.
    Ia mengaku tidak akan pernah melupakan momen ketika seorang penagih menyebut anaknya.
    “Waktu mereka ngomong mau ngejemput paksa anak saya. Padahal anak saya masih SD. Saya langsung nangis kejer,” kata dia.
    Ancaman itu datang melalui pesan yang dikirim pada malam hari. Siska membacanya berkali-kali sebelum akhirnya mematikan ponsel dan menangis hingga tertidur.
    Sebagai seorang ibu tunggal, ancaman itu menusuk langsung ke pusat ketakutannya.
    Sejak itu, ia melarang anaknya bermain di luar rumah sendirian. Bahkan ketika hendak ke sekolah, ia memastikan selalu mengantar.
    Kondisi panik ini menyebabkan Siska mengalami gangguan kesehatan.
    Menurut Pengacara Publik LBH Jakarta, Alif Fauzi, selama beberapa tahun terakhir, LBH melihat semakin banyak korban yang meminjam bukan untuk konsumsi, tetapi untuk menutup hutang dari aplikasi sebelumnya.
    Proses ini mirip sekali dengan pola korban judi online berupa lingkaran yang tak ada ujungnya. Namun dalam konteks pinjol, eksploitasi lebih sistematis.
    “Ini menguatkan adanya praktik yang eksploitatif dalam penyelenggaraan pinjaman online. Secara posisi hukum, ini juga menunjukkan ketiadaan perlindungan hukum bagi warga negara yang menghadapi masalah pinjaman online,” ujar dia.
    Di mata Alif, para peminjam ini bukanlah “debitur nakal” seperti stigma yang sering beredar. Mereka tak bisa dianggap pihak yang lalai, tetapi korban.
    “Bisa (disebut korban), sejauh ini praktik pengambilan data berbasis pada aplikasi yang terinstal (medium ICT/ITE), dan secara sistematis dipindahtangankan kepada pihak
    debt collector
    atau pihak aplikasi yang tidak terdaftar,” jelas Alif.
    Dengan kata lain, mereka adalah korban perdagangan data, korban eksploitasi sistem digital, dan korban kebijakan yang tidak protektif.
    Menurut Alif, alasan korban enggan melapor sangat jelas karena takut dipermalukan, takut dikriminalisasi, dan takut data pribadi mereka makin tersebar.
    “Seringkali korban juga takut data pribadi dan nomor kontak di gawainya disalin dan disebarkan yang menyebabkan malu karena masalah pinjaman online yang dihadapinya,” kata dia.
    Bagi korban, teror sosial jauh lebih mematikan daripada teror tagihan.
    Alasan seseorang pertama kali meminjam melalui aplikasi pinjol cenderung seragam.
    Tekanan ekonomi menjadi faktor utama, seperti kebutuhan untuk makan, membayar kontrakan, biaya sekolah anak, modal usaha yang terhambat, atau sekadar menutupi tagihan sehari-hari.
    “Selain itu, ada juga karena data pribadinya digunakan untuk mengajukan aplikasi pinjaman online,” ujar Alif.
    Dalam banyak kasus, korban awalnya mencari solusi cepat untuk kebutuhan mendesak.
    Namun, alih-alih mendapatkan bantuan, mereka justru terjebak dalam mekanisme penagihan yang menekan mulai dari bunga yang tidak wajar, biaya administrasi tersembunyi, hingga penyebaran data pribadi.
    LBH mencatat bahwa sebagian besar orang pertama kali terjerat pinjol karena promosi melalui telepon tanpa diminta.
    “Belakangan banyak aplikasi pinjaman online yang menawarkan pinjaman online melalui telepon dengan nomor yang tidak dikenal,” jelas Alif.
    Siklus terjerat ini kemudian diperkuat oleh tekanan verbal dari debt collector.
    Di samping itu, besaran bunga dan biaya tambahan yang tidak sesuai aturan menjadi pemicu utama utang semakin membengkak.
    “Bunga, admin, denda, dan penetapan bunga tidak sesuai standar/regulasi yang ada,” kata Alif.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Cerita Siska, "Single Parent" yang Bertahan dari Teror Pinjol Ilegal
                
                    
                        
                            Megapolitan
                        
                        4 Desember 2025

    Cerita Siska, "Single Parent" yang Bertahan dari Teror Pinjol Ilegal Megapolitan 4 Desember 2025

    Cerita Siska, “Single Parent” yang Bertahan dari Teror Pinjol Ilegal
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Di sebuah kamar kontrakan, sebuah ruang kecil yang menjadi saksi bagaimana hidup Siska (bukan nama sebenarnya) berubah drastis.
    Di dalam kontrakan tersebut, perempuan berusia 32 tahun itu pernah menghabiskan malam-malam panjang tanpa tidur. Hanya menatap ponselnya yang bergetar puluhan kali setiap jam.
    Setiap getaran adalah ancaman. Setiap nada dering adalah ketakutan.
    Dan semua itu bermula dari keputusan yang ia ambil dalam keadaan terdesak.
    Siska yang merupakan orangtua tunggal harus menafkahi keluarga dari hasil membantu di warung milik tetangganya.
    Uang yang ia dapatkan hanya cukup untuk membeli beras satu liter dan sebungkus mi.
    Sementara, slip tagihan listrik sudah menumpuk, ditemani pesan WhatsApp dari ibu kos yang mulai menagih kontrakan dua bulan tertunggak.
    Sebagai orangtua tunggal, ia hidup dari hari ke hari. Tak ada suami, tak ada keluarga lain yang bisa rutin membantu.
    Yang ada hanya seorang anak kecil yang masih membutuhkan biaya sekolah.
    Dalam tekanan seperti itu, pikirannya buntu.
    Siska kembali mengingat momen yang membuatnya akhirnya menekan tombol “ajukan pinjaman”.
    “Kebutuhan rumah tuh numpuk, listrik mau diputus, kontrakan nunggak dua bulan. Ya akhirnya saya nekat cari pinjaman biar bisa nutup dulu yang mendesak,” kata Siska kepada
    Kompas.com,
    Senin (1/12/2025).
    Saat itu, kontrakan menjadi hal paling genting.
    Keputusan itu, bagi Siska, seperti mencari udara di tengah tenggelam.
    Dengan ponselnya, ia mulai menjelajah aplikasi. Lalu matanya terpaku pada sebuah iklan yang berseliweran di Instagram.
    “Lagi
    scroll
    HP sambil rebahan, muncul tuh iklan yang bilang
    ‘langsung cair, tanpa ribet’
    . Saya klik karena penasaran,” kata dia.
    Di titik itu, ia belum mengenal perbedaan antara
    pinjol
    legal dan ilegal. Yang ia lihat hanya satu hal: solusi instan.
    Prosesnya mudah, malah terlalu mudah.
    “Prosesnya cepet banget. Enggak pake foto KTP yang ribet, cuma
    selfie
    sama isi-isi data,” jelas dia.
    Pinjaman pertama cair: Rp 1 juta.
    “Buat bayar kontrakan dan sebagian buat beli sembako,” ujar dia.
    Namun, yang tampak sebagai pertolongan, justru membuka pintu ke jurang yang jauh lebih gelap.
    Dalam tujuh hari, kondisi berubah. Tagihan datang dengan jumlah yang membuatnya terpaku. Bunga, biaya administrasi, dan potongan lain membuat nilai pengembalian melonjak.
    “Tiba-tiba pas mau bayar kok jumlahnya lebih besar,” kata Siska.
    Rasanya seperti pukulan bertubi-tubi.
    Dalam putus asa, ia mengikuti saran teman yang justru semakin menjerumuskannya.
    “Terus ada temen bilang,
    ‘udah, minjem lagi di aplikasi lain buat nutup yang pertama’.
    Dari situ lah mulai gali tutup lubang,” kata dia.
    Hari demi hari, aplikasi lain datang menghampiri. Satu jadi dua, dua jadi lima.
    “Enggak kerasa. Tiap mau jatuh tempo saya minjam yang lain terus,” kata dia.
    Siska sempat mencoba berhenti, namun tekanan yang datang dari para penagih membuatnya merasa tak punya pilihan.
    “Pernah, Mas. Tapi begitu satu jatuh tempo, mereka neleponin terus. Jadi saya panik lagi. Ya sudah minjem lagi. Rasanya kayak lingkaran setan,” ucap dia.
    Apa yang awalnya terasa sebagai solusi, berubah menjadi mimpi buruk.
    Dalam hitungan hari, ponsel Siska menjadi alat penyiksa.
    Nomor tak dikenal muncul terus menerus—dalam negeri, luar negeri, hingga nomor yang baru dibuat.
    “Nelepon sampai 60 kali sehari pernah, kadang dari nomor luar negeri. WA juga
    spam,”
    kata dia.
    Percakapan-percakapan itu masih membekas dalam kepalanya. Bahkan kini, suara notifikasi saja bisa membuat tubuhnya kaku.
    Namun, yang paling menghancurkan adalah teror visual dan ancaman kriminalisasi.
    “Pernah tuh mereka kirim foto KTP saya yang mereka edit-edit, bilang saya mau ditangkap polisi. Terus ada yang bilang mau dateng ke rumah. Saya sampe gemeteran baca pesannya,” ujar dia.
    Tak hanya dirinya yang menjadi sasaran. Para penagih itu menyasar keluarganya, bahkan tetangganya.
    “Mereka juga sebar berita ke tetangga, bilang saya kabur bawa uang,” kata Siska.
    Tekanan psikologis itu berdampak langsung pada kesehatan fisik.
    Dan ada satu kalimat yang tak akan pernah ia lupakan sepanjang hidupnya. Kala para penagih mengancam keselamatan anak semata wayangnya.
    “Waktu mereka ngomong mau ngejemput paksa anak saya. Padahal anak saya masih SD. Saya langsung nangis kejer,” ujar dia.
    Dalam situasi itu, Siska pernah merasa dikepung dari segala sisi. Ia tak tahu harus melarikan diri ke mana.
    Ia akhirnya menceritakan semuanya kepada sang adik, orang pertama yang ia percaya.
    “Dia kaget banget dan marahin saya, tapi Dia bilang kita cari jalan sama-sama,” kata Siska.
    Dari pengakuan itu, Siska mulai merasakan titik terang. Untuk pertama kalinya, ia tak lagi memikul beban itu sendirian.
    Malam itu, ia dan adiknya berbicara panjang—tentang ketakutan, rasa malu, dan rasa bersalah yang terus menghantuinya.
    Adiknya mencoba menenangkannya, memastikan bahwa apa yang terjadi bukan sepenuhnya kesalahannya, dan bahwa ada jalan keluar meski tampak gelap.
    Dukungan itulah yang mendorongnya mencari pertolongan lebih jauh.
    “Adik saya akhirnya nyuruh saya lapor ke lembaga bantuan. Baru dari situ saya mulai ngerti kalau saya bukan satu-satunya korban,” katanya.
    Meski begitu, trauma yang tersisa sangat dalam. Hingga kini, membuka ponsel pun terasa seperti menghadapi monster yang siap menerkam.
    “Dua bulan penuh saya matiin HP siang malam. Keluar rumah pun lihat-lihat dulu. Trauma banget,” ucap dia.
    Dalam beberapa tahun terakhir, Pengacara Publik LBH Jakarta, Alif Fauzi melihat pola yang terus berulang.
    Banyak korban meminjam bukan untuk kebutuhan konsumsi, melainkan untuk menutup tagihan dari aplikasi sebelumnya.
    Situasi ini menyerupai pola yang dialami korban judi online, sebuah lingkaran yang tidak pernah benar-benar berhenti.
    Dalam kasus pinjol, cara kerjanya bahkan lebih terstruktur dan eksploitatif.
    “Ini menguatkan adanya praktik yang eksploitatif dalam penyelenggaraan
    pinjaman online
    . Secara posisi hukum, ini juga menunjukkan ketiadaan perlindungan hukum bagi warga negara yang menghadapi masalah pinjaman online,” ujar dia.
    Bagi Alif, para peminjam ini tidak tepat bila dianggap sebagai debitur yang lalai atau ceroboh.
    Mereka lebih tepat dipahami sebagai pihak yang terperangkap dalam sistem yang tidak memberikan ruang aman.
    “Betul bisa (
    korban pinjol
    ), sejauh ini praktik pengambilan data berbasis pada aplikasi yang terinstal (medium ICT/ITE), dan secara sistematis dipindahtangankan kepada pihak
    debt collector
    atau pihak aplikasi yang tidak terdaftar,” jelas Alif.
    Kondisi tersebut menunjukkan bahwa mereka bukan hanya berhadapan dengan utang yang menumpuk.
    Mereka juga menjadi sasaran perdagangan data, menjadi korban dari mekanisme digital yang merugikan, dan terjebak dalam situasi yang tidak didukung oleh regulasi yang melindungi.
    Menurut Alif, kelompok yang paling mudah terpapar masalah pinjol tidak pernah berubah dari tahun ke tahun.
    Perempuan, terutama ibu rumah tangga, masih menjadi pihak yang paling rentan.
    “Sejauh ini perempuan atau ibu rumah tangga masih menjadi kelompok paling rentan terkena masalah pinjaman online,” kata Alif.
    Beban mengurus keluarga, memenuhi kebutuhan anak, hingga memastikan makanan selalu tersedia membuat mereka berada dalam posisi yang rawan.
    Alif menyampaikan, banyak korban datang dalam kondisi mental yang sudah tertekan.
    Tidak sedikit ibu rumah tangga yang bahkan takut menyentuh ponsel karena telah menerima ratusan pesan ancaman dari penagih.
    Ketika membahas alasan awal seseorang meminjam melalui aplikasi pinjol, Alif melihat polanya hampir selalu sama.
    Tekanan ekonomi menjadi faktor paling kuat. Banyak orang terpaksa mencari dana cepat untuk memenuhi kebutuhan makan, membayar kontrakan, biaya sekolah anak, modal usaha yang terhambat, atau sekadar menutup kewajiban harian.
    “Selain itu, ada juga karena data pribadinya digunakan untuk mengajukan aplikasi pinjaman online,” kata Alif.
    Dalam berbagai kasus, para korban berharap dapat menyelesaikan kebutuhan darurat. Namun yang terjadi justru sebaliknya.
    Temuan LBH juga menunjukkan bahwa banyak korban pertama kali terpapar pinjol melalui panggilan telepon yang tidak pernah mereka minta.
    “Belakangan banyak aplikasi pinjaman online yang menawarkan pinjaman online melalui telepon dengan nomor yang tidak dikenal,” jelas Alif.
    Setelah itu, tekanan dari debt collector memperkuat lingkaran jebakan yang mulai menjerat mereka.
    “Biaya admin, denda, dan penetapan bunga tidak sesuai standar/regulasi yang ada,” kata Alif.
    Cerita Siska bukan satu-satunya. Di balik iklan “cair cepat tanpa ribet”, ada ribuan korban lain yang hidup dalam tekanan, teror, dan ancaman.
    Sebagian kehilangan pekerjaan.

    Sebagian kehilangan keluarga.

    Sebagian kehilangan keberanian untuk bertemu dunia.
    Dan sebagian, seperti Siska, sedang berusaha kembali berdiri dari kehancuran emosional dan finansial.
    Pinjol ilegal bekerja dengan pola yang sama: memanfaatkan kesulitan ekonomi, memudahkan pinjaman, lalu menjebak dengan bunga, biaya tersembunyi, akses kontak, dan teror sistematis.
    Bagi banyak perempuan, terutama orangtua tunggal dan pekerja informal, jerat ini terasa tak terhindarkan.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • OJK catat 90 kasus pinjol ilegal di Papua sepanjang 2025

    OJK catat 90 kasus pinjol ilegal di Papua sepanjang 2025

    ANTARA – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Papua mencatat sebanyak 90 pengaduan terkait pinjaman online ilegal yang diterima selama periode Januari-November 2025. Terkait hal ini, Kepala Bagian Pengawasan Perilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan, Edukasi, Perlindungan Konsumen, Keuangan Daerah, dan Layanan Manajemen Strategis OJK Papua, Viktorinus Donny Vika Permana, pada Rabu (3/12), menilai tren tersebut perlu mendapat perhatian serius, karena banyak masyarakat yang belum memahami perbedaan antara pinjol legal dan ilegal. (Laksa Mahendra/Yovita Amalia/Rijalul Vikry)

    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Kerja Keras Tak Cukup, Gimana Cara Orang Miskin Bisa Naik Kelas?

    Kerja Keras Tak Cukup, Gimana Cara Orang Miskin Bisa Naik Kelas?

    Jakarta

    Ketimpangan ekonomi masih menjadi masalah yang membelit banyak masyarakat di Indonesia. Akses terhadap pendidikan dan upah yang memadai menjadi salah satu penyebab struktural dari kalangan ekonomi rendah tetap kesulitan meningkatkan taraf hidup.

    Meski begitu, Direktur Eksekutif, CELIOS, Bhima Yudhistira menilai bukan hal yang mustahil untuk meningkatkan taraf hidup orang miskin di Indonesia agar mereka bisa ‘naik kelas’, setidaknya menjadi warga kelas menengah.

    Tentu dalam hal ini, menurutnya campur tangan pemerintah menjadi sangat penting. Salah satunya menyediakan fasilitas dan sarana pendidikan agar masyarakat miskin bisa mendapatkan pekerjaan dengan upah layak, serta ketersediaan fasilitas dasar seperti tempat tinggal dan air bersih jadi terjangkau.

    “Mendesak reformasi struktural, kebijakan pajak harus tajam ke atas, anggaran pendidikan jangan dipangkas untuk MBG, memastikan fasilitas dasar seperti air dan perumahan terjangkau,” kata Bhima kepada detikcom, Selasa (2/12/2025).

    Sementara itu, mereka yang miskin dinilai perlu untuk membatasi diri agar tidak konsumtif untuk hal-hal yang tidak perlu atau masih di luar kemampuan. Apalagi jika harus berutang dari peer to peer lending alias pinjaman online (pinjol).

    Parahnya lagi, menurut Bhima jangan sampai kelas menengah bahwa atau miskin terlibat dalam judi online (judol) jika tidak ingin hidup berkekurangan terus menerus.

    “Orang miskin jika mendapat bansos jangan untuk judol dan ketagihan pinjol,” tegas Bhima.

    Sementara itu, Ekonom Senior INDEF Tauhid Ahmad juga berpendapat bukan hal yang tidak mungkin bagi masyarakat miskin untuk naik kelas. Meski tentu mereka dari kalangan berpenghasilan rendah ini harus bekerja ekstra untuk bisa terbebas dari permasalahan struktural yang ada.

    Tauhid berpendapat salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan meningkatkan kemampuan atau skill di bidang tertentu. Sehingga mereka setidak-tidaknya bisa memulai usaha ‘naik kelas’ dari memiliki pekerjaan layak terlebih dulu.

    “Pertama ya tentu saja adalah penguatan skill mereka ya Kemampuan skill mereka, baik itu hardskill atau softskill mereka. Pendidikan minimum harus dicapai, misal semua minimal lulusan SMA/SMK ke atas,” ucapnya.

    “Kedua adalah bidang pekerjaan yang bisa mereka punya pendapatan yang cukup. Jadi terutama masuk ke lapangan pekerja formal, jangan ke informal,” sambung Tauhid.

    Di luar itu, pemerintah harus turut aktif membantu masyarakat kelas bawah ini agar bisa terbebas dari ‘lingkaran setan’ kemiskinan. Misalkan saja penyediaan layanan pendidikan dan kesehatan yang terjangkau.

    “Pemerintah harus siapkan jaminan sosial Ya, baik untuk pendidikan, kesehatan, kemudian layanan perumahan Air bersih dan sebagainya. Bahkan pembagian untuk katakanlah subsidi upah dan sebagainya itu diberlakukan,” tegas Tauhid.

    Lihat juga Video: Orang Miskin di Jatim Terbanyak, Tapi Pertumbuhan Ekonominya Naik

    (igo/eds)

  • Teror dan Jebakan Pinjol, Iklan di Berbagai Platform Jadi Sorotan Nasional 2 Desember 2025

    Teror dan Jebakan Pinjol, Iklan di Berbagai Platform Jadi Sorotan

    Nasional

    2 Desember 2025