Produk: Peraturan Menteri Keuangan (PMK)

  • Rokok Ilegal Bisa Bikin Kantong Negara Bolong, Ini Penjelasannya

    Rokok Ilegal Bisa Bikin Kantong Negara Bolong, Ini Penjelasannya

    Jakarta: Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati resmi menetapkan kenaikan Harga Jual Eceran (HJE) rokok pada 2025. Ketentuan tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 97 Tahun 2024 yang diteken Sri Mulyani pada 4 Desember 2024.
     
    Dalam beleid tersebut, pemerintah memutuskan untuk tidak menaikkan tarif Cukai Hasil Tembakau (CHT). Kendati begitu, pemerintah menaikkan HJE di hampir seluruh produk tembakau yang mulai berlaku 1 Januari 2025.
     
    Menyikapi PMK 97/2024, Kepala Pusat Industri Perdagangan & Investasi Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Andry Satrio Nugroho berpandangan, kendati pemerintah tak menaikkan CHT, namun masih ada yang mengganjal dengan naiknya tarif HJE.
    Menurut dia, argumentasi pemerintah bertujuan untuk pengendalian. Menaikkan HJE menurut Kemenkeu menjadi salah satu hal yang didorong untuk memenuhi pilar pengendalian dan dianggap sebagai win-win solution.
     
    “Dengan menggunakan alasan pengendalian untuk menaikkan HJE, namun mengganggu pilar yang lain, yakni pilar pengendalian rokok ilegal. Dengan menaikkan HJE, harga rokok akan tetap naik,” kata Andry dikutip dari keterangan tertulis, Senin, 16 Desember 2024.
     
    Menurutnya, dengan adanya perbedaan yang cukup jauh antara harga rokok legal dengan rokok ilegal, maka semakin mendorong masyarakat untuk mengkonsumsi rokok ilegal. Dimana, ekosistem rokok ilegal ini sudah sangat massif.
     

     

    Kantong penerimaan negara jadi bolong

    Andry mengatakan, rokok ilegal menyebabkan kebocoran penerimaan negara tak hanya karena tak kena cukai, tetapi juga lepas dari pajak pertambahan nilai (PPN). Ini berdampak negatif bagi penerimaan negara, mengingat cukai rokok berkontribusi besar, bersama dengan penerimaan PPN dan Pajak Penghasilan (PPh).
     
    Andry Satrio pesimistis target penerimaan CHT pada 2025 sebesar Rp230,09 triliun sebagaimana tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 201/2024 tentang Rincian APBN 2025, kemungkinan akan sulit tercapai, jika dengan kenaikan HJE membuat masyarakat pindah dari rokok legal ke rokok ilegal.
     
    “Pasti negara akan kehilangan penerimaan tidak hanya dari cukai, tetapi dari PPN. Jadi, pemerintah harus segera melakukan upaya yang extra ordinary. Jika tidak, tentunya ke depan kebocoran terkait dengan penerimaan negara itu juga pasti tidak akan teratasi,” sebut dia.
     
    Dikatakan Andry, industri hasil tembakau mempunyai daya besar terhadap perekonomian di beberapa daerah. Ketergantungan pada industri ini juga yang membuat perekonomian daerah yang dimaksud dapat terganggu jika industri rokok mendapat tekanan, salah satunya karena penurunan permintaan akibat peredaran rokok ilegal.
     
    “Selain perekonomian pemerintah daerah bisa turun akibat rokok ilegal, dampak lainnya adalah potensi bertambahnya pengangguran di tengah situasi ekonomi yang tidak baik-baik saja,” terangnya.  
     
    “HJE ini sangat berimplikasi makin suburnya rokok ilegal. Untuk kondisi sekarang, karena PMK 97/2024 sudah keluar, maka mau tidak mau, pemerintah perlu menjaga agar konsumsi tidak bergeser ke rokok ilegal,” tambah Andry.
     
    Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
    dan follow Channel WhatsApp Medcom.id

    (HUS)

  • Transjakarta Operasikan 90 Bus Listrik High Deck Buatan Golden Dragon

    Transjakarta Operasikan 90 Bus Listrik High Deck Buatan Golden Dragon

    Jakarta

    PT Transportasi Jakarta (Transjakarta) akan mengoperasikan sebanyak 90 unit bus listrik Golden Dragon tipe high deck. Bus listrik tersebut disediakan oleh PT Sinar Armada Globalindo (SAG) bekerja sama dengan operator bus PT Bianglala Metropolitan.

    Sebagai informasi, 90 unit bus listrik tersebut merupakan bagian dari 200 unit armada bus listrik baru Transjakarta yang diresmikan belum lama ini. Peluncuran 200 unit bus listrik tersebut menggenapi target 300 unit bus yang akan dioperasikan Transjakarta hingga penghujung tahun 2024.

    Dalam keterangannya, SAG mengatakan kontribusi 90 unit bus listrik Golden Dragon tersebut merupakan manifestasi komitmen perusahaan buat berkontribusi ke ekosistem transportasi publik yang lebih ramah lingkungan dalam misi mencapai target net emisi nol (net zero emission).

    Transjakarta operasikan 90 bus listrik high deck dari SAG Foto: Dok. SAG

    Provinsi Daerah Khusus Jakarta sendiri berkomitmen untuk memimpin upaya nasional dalam pengurangan emisi karbon, dengan target net zero emission pada 2050 dengan Jakarta dapat mencapai 100% elektrifikasi kendaraan umum pada 2030.

    Dengan bus listrik, potensi ini meningkat menjadi 422 ribu ton CO₂e atau setara dengan menanam 1,5 juta bibit pohon atau mendaur ulang 32 ribu ton sampah. Sebelumnya menyikapi regulasi pemerintah lewat Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 8 Tahun 2024 terkait aturan minimal 20% Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) produksi bus listrik, SAG menjalin kerja sama dengan PT Piala Mas Industri (Piala Mas) untuk perakitan bus listrik dengan nilai TKDN yang ditargetkan mencapai 40% di tahun 2025.

    Sekadar informasi, Golden Dragon merupakan salah satu produsen bus listrik terbesar di dunia dan sudah melakukan ekspor ke 170 negara. Selain Indonesia, Golden Dragon memiliki pengalaman perakitan knocked-down yang ekstensif di lebih dari sepuluh negara, termasuk Malaysia, Thailand, Mesir, dan Nigeria.

    Transjakarta operasikan 90 bus listrik high deck dari SAG Foto: Dok. SAG

    “Melalui panduan langsung dan kerja sama erat, Golden Dragon membantu para mitranya, termasuk SAG, dalam mencapai pelokalan suku cadang dan meningkatkan tingkat ketenagakerjaan lokal serta transfer teknologi,” tulis SAG.

    Sebelumnya pada tahun 2019 SAG memperkenalkan produk pertamanya Bus Low Deck 12M ke Indonesia dan sudah beroperasi di tahun 2023, dalam komitmen mendukung program pemerintah Langit Biru untuk pengendalian polusi udara.

    (lua/dry)

  • Pekerja Bergaji hingga Rp 10 Juta Bebas Pajak, Ini Bedanya dengan Era COVID-19

    Pekerja Bergaji hingga Rp 10 Juta Bebas Pajak, Ini Bedanya dengan Era COVID-19

    Jakarta

    Pemerintah bakal menanggung Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 untuk para pekerja di sektor padat karya mulai 2025. Kebijakan PPh ditanggung pemerintah sebelumnya juga berlaku saat awal pandemi Covid-19.

    Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Yassierli mengatakan, kebijakan ini berlaku untuk pekerja dengan gaji hingga Rp 10 juta. Menurutnya, batasan tersebut lebih kecil dibanding yang berlaku di era Covid-19.

    “Jadi itu kan batasnya, kalau sekarang kan nggak sampai sekain ya. Jadi Rp 10 juta per bulan. berarti satu tahun Rp 120 juta,” katanya di Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Jakarta Pusat, Senin (16/12/2024).

    Dalam catatan detikcom, pada 2020 lalu pekerja yang berada di 1.062 industri gajinya tidak dipotong pajak lantaran kewajibannya dibayar oleh pemerintah. Hanya saja, yang bisa mendapatkan fasilitas ini hanya pekerja bergaji sekitar Rp 16 juta per bulan atau di bawah Rp 200 juta per tahun.

    Ketentuan ini tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 44/PMK.03/2020 tentang Insentif Pajak Untuk Wajib Pajak Terdampak Pandemi Corona Virus Disease 2019. Beleid ini diteken Menteri Keuangan Sri Mulyani pada 27 April 2020 dan berlaku selama enam bulan hingga September 2020.

    Kali ini, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyebut kebijakan bebas PPh ini berlaku untuk karyawan di sektor padat karya. Hal ini demi menjaga daya beli masyarakat di tengah kemampuan mereka yang tengah turun belakangan.

    “Memperhatikan juga masyarakat kelas menengah, di sektor padat karya pemerintah memberikan insentif PPh Pasal 21 ditanggung oleh pemerintah yaitu yang gajinya sampai Rp 10 juta,” kata Airlangga.

    (ily/ara)

  • Airlangga & Sri Mulyani Ungkap Alasan Tetap Naikkan PPN Jadi 12% Tahun Depan

    Airlangga & Sri Mulyani Ungkap Alasan Tetap Naikkan PPN Jadi 12% Tahun Depan

    Jakarta

    Pemerintah memastikan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% mulai 1 Januari 2025. Kebijakan ini tidak berlaku untuk seluruh barang dan jasa.

    Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan, kenaikan PPN jadi 12% penting untuk menjaga stabilitas perekonomian, perlindungan sosial sekaligus mendukung program Asta Cita Presiden Prabowo Subianto. Hal ini diharapkan bisa terwujud melalui peningkatan pendapatan negara.

    “Peningkatan pendapatan negara di sektor pajak itu penting untuk mendorong program Asta Cita dan prioritas Pak Presiden baik untuk kedaulatan dan resiliensi di bidang pangan dan kedaulatan energi,” kata Airlangga dalam Konferensi Pers Paket Kebijakan Ekonomi, di kantornya, Jakarta, Senin (16/12/2024).

    “Di samping itu juga tentu penting untuk berbagai program infrastruktur pendidikan, kesehatan, perlindungan sosial dan juga program terkait dengan makanan bergizi,” sambungnya.

    Airlangga juga menjamin bahwa kebijakan perpajakan ini menjunjung prinsip keadilan dan gotong royong dalam rangka mensejahterakan masyarakat. Beberapa stimulus pun digelontorkan untuk mendorong daya beli masyarakat, mulai dari pembebasan PPN untuk barang kebutuhan pokok hingga bantuan UMKM.

    “Paket ini dirancang untuk melindungi masyarakat, mendukung pelaku usaha utamanya UMKM dan padat karya, menjaga stabilitas harga serta pasokan bahan pokok, dan ujungnya seluruhnya untuk sejahterakan masyarakat,” ujarnya.

    Menyusul pengumuman penerapan PPN 12% di 2025, pemerintah akan segera menerbitkan peraturan lanjutan, mulai dari Peraturan Menteri Keuangan (PMK) hingga Peraturan Pemerintah (PP) untuk mendukung penerapan kebijakan tersebut.

    Sementara itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, APBN adalah instrumen yang diandalkan untuk menjaga stabilitas sekaligus punya fungsi distribusi untuk mewujudkan azas gotong royong dan keadilan. Penyesuaian kebijakan dibutuhkan untuk mendukung stabilitas dan keberlanjutannya.

    “Paket kebijakan ini mencoba selengkap mungkin baik dari sisi demand side karena banyak permintaan menurun meski indikator dari konsumsi cukup bertahan baik,” kata Sri Mulyani.

    Hal ini seperti yang terjadi saat beberapa tahun terakhir, saat berbagai tantangan menerjang RI, mulai dari COVID-19, geopolitik, kenaikan harga komoditas, bahkan waktu krisis ekonomi dan keuangan global tahun 2010. Sri Mulyani mengatakan, dalam APBN ini undang-undang perpajakan menjadi salah satu instrumen yang punya pengaruh besar.

    “Yang mampu membantu dan membayar, yang tidak mampu dia dibantu dan dilindungi,” ujarnya.

    Sri Mulyani mengatakan, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) telah diteken sebagai salah satu upaya dalam menjaga stabilitas tersebut. Hal ini termasuk dengan kebijakan kenaikan PPN menjadi 12%.

    Seiring dengan berbagai tantangan yang dihadapi saat ini, pemerintah pun memutuskan menggelontorkan sederet stimulus dan paket kebijakan untuk masyarakat menengah ke bawah. Salah satunya dengan menanggung 1% PPN untuk sejumlah barang, sehingga barang-barang tersebut masih menerapkan pajak 11%.

    “Tetap dimaksimalkan untuk perlindungannya dan bahkan bantuannya di sisi lain stimulus ini untuk dukung sektor-sektor produktif di bawah kementerian perindutrian perumahan bisa meningkatkan kegiatannya karena ini penting untuk jaga momentum pertumbuhan ekonomi, penciptaan lapangan kerja dan optimisme masyarakat,” kata Sri Mulyani.

    Sejumlah kebutuhan yang dikenakan PPN 0% antara lain seperti kebutuhan pokok beras, daging, ikan, telur, sayur, susu. Begitu pula dengan jasa pendidikan, kesehatan, angkutan umum, air, jasa keuangan, hingga jasa asuransi. Sementara untuk tepung terigu, minyak goreng dan gula industri hanya akan dikenakan PPN sebesar 11%.

    Tahun depan juga akan ada bantuan pangan dan beras bagi desil satu dan dua ini sebesar 10 kg per bulan, serta bantuan tanggungan untuk daya listrik terpasang di bawah atau sampai dengan 2.200 volt ampere, akan diberikan biaya diskon sebanyak 50% untuk 2 bulan.

    (acd/acd)

  • Daftar Resmi Harga Rokok yang Naik Mulai 1 Januari 2025: Sigaret Kretek, Elektrik hingga Cerutu

    Daftar Resmi Harga Rokok yang Naik Mulai 1 Januari 2025: Sigaret Kretek, Elektrik hingga Cerutu

    TRIBUNJATIM.COM – Inilah daftar resmi harga rokok yang naik mulai 1 Januari 2025.

    Kenaikan harga rokok tersebut tertuang dalam lampiran dua Peraturan Menteri Keuangan (PMK), yakni PMK Nomor 96 Tahun 2024 dan PMK Nomor 97 Tahun 2024.

    Dalam beleid tersebut, pemerintah tidak menaikkan tarif cukai hasil tembakau.

    Namun, harga jual eceran hampir seluruh produk tembakau naik.

    Adapun tujuannya adalah untuk mendukung pengendalian konsumsi tembakau, melindungi industri tembakau padat karya, serta mengoptimalkan penerimaan negara.

    Berikut rincian harga rokok naik mulai 1 Januari 2025, dikutip dari kompas.tv.

    Harga Jual Eceran Rokok Konvensional

    1. Sigaret Kretek Mesin (SKM)

    SKM Golongan I paling rendah Rp 2.375 (naik 5,08 persen)
    SKM Golongan II paling rendah Rp 1.485 (naik 7,6 persen)

    2. Sigaret Putih Mesin (SPM)

    SPM Golongan I paling rendah Rp 2.495 (naik 4,8 % )
    SPM Golongan II paling rendah Rp 1.565 (naik 6,8 % )

    3. Sigaret Kretek Tangan (SKT) atau Sigaret Putih Tangan (SPT)

    SKT/SPT Golongan I lebih dari Rp 2.170 (naik 9,5 % )
    SKT/SPT Golongan I paling rendah Rp 1.55 (naik 13 % ) sampai Rp 2.170 (naik 9,5 % )
    SKT/SPT Golongan II paling rendah Rp 995 (naik 15 % )
    SKT/SPT Golongan III paling rendah Rp 860 (naik 18,6 % )
    Sigaret Kretek Tangan Filter (SKTF) atau Sigaret Putih Tangan Filter (SPTF)
    SKTF/SPTF tanpa golongan paling rendah Rp 2.375 (naik 5 % )

    4. Kelembak Kemenyan (KLM)

    KLM Golongan I paling rendah Rp 950 (tidak naik)
    KLM Golongan II paling rendah Rp 200 (tidak naik)

    5. Tembakau Iris (TIS)

    TIS tanpa golongan lebih dari Rp 275 (tidak naik)
    TIS tanpa golongan lebih dari Rp 180 sampai Rp 275 (tidak naik)
    TIS tanpa golongan paling rendah Rp 55 sampai Rp 180 (tidak naik)

    6. Rokok Daun atau Klobot (KLB)

    KLB tanpa golongan paling rendah Rp 290 (tidak naik)

    7. Cerutu (CRT)

    CRT tanpa golongan lebih dari Rp 198 ribu (tidak naik)
    CRT tanpa golongan lebih dari Rp 55 ribu sampai dengan Rp 198 ribu (tidak naik)
    CRT tanpa golongan lebih dari Rp 22 ribu sampai dengan Rp 55 ribu (tidak naik)
    CRT tanpa golongan paling rendah Rp 459 sampai dengan Rp 5.500 (tidak naik)

    Sementara itu, pemerintah juga menetapkan batasan HJE untuk setiap jenis hasil tembakau yang diimpor, di antaranya:

    1. SKM senilai Rp 2.375 per batang/gram

    2. SPM senilai Rp 2.495 per batang/gram

    3. SKT atau SPT senilai Rp 2.171 per batang/gram

    4. SKTF atau SPTF senilai Rp 2.375 per batang/gram

    5. TIS senilai Rp 276 per batang/gram

    6. KLB senilai Rp 290 per batang/gram

    7. KLM senilai Rp 950 per batang/gram

    8. CRT senilai Rp 198.001 per batang/gram

    Ilustrasi rokok. (TribunJatim.com/Fikri Firmansyah)

    Harga Rokok Elektrik 2025

    1. Rokok elektrik padat

    Harga jual eceran minimum: Rp 6.240 per gram (naik 6,01 persen)

    Tarif cukai: Rp 3.074 per gram (tetap)

    2. Rokok elektrik cair sistem terbuka (isi ulang)

    Harga jual eceran minimum: Rp 1.368 per mililiter (naik 22,03)

    Tarif cukai: Rp 636 per mililiter (tetap)

    3. Rokok elektrik cair sistem tertutup

    Harga jual eceran minimum: Rp 41.983 per cartridge (naik 5,99 persen)

    Tarif cukai: Rp 6.776 per mililiter (tetap).

    Hasil pengolahan tembakau lain

    1. Tembakau molasses

    Harga jual eceran minimum: Rp 257 per gram (naik 6,19 persen)

    Tarif cukai: Rp 135 per gram (tetap)

    2. Tembakau hirup

    Harga jual eceran minimum: Rp 257 per gram (naik 6,19 persen)

    Tarif cukai: Rp 135 per gram (tetap)

    3. Tembakau kunyah

    Harga jual eceran minimum: Rp 257 per gram (naik 6,19 persen)

    Tarif cukai: Rp 135 per gram (tetap)

    Informasi lengkap dan menarik lainnya di Googlenews Tribunjatim.com

  • Harga Naik: Perusahaan Rokok Elektrik Untung, Industri Konvensional Buntung

    Harga Naik: Perusahaan Rokok Elektrik Untung, Industri Konvensional Buntung

    Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah akan menaikkan harga jual eceran rokok pada 2025, tetapi tidak dengan tarif cukainya. Akibatnya, perusahaan rokok elektrik diyakini akan untung, sedangkan perusahaan rokok konvensional akan merugi.

    Manajer Riset Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar menjelaskan kebijakan kenaikan harga jual eceran (HJE) atas produk hasil tembakau terdiri dari beberapa layar berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 97/2024. Beleid terbaru itu membedakan antara rokok konvensional dengan rokok elektrik.

    Masalahnya, menurut Fajry, HJE atas beberapa rokok elektrik yang diterapkan pemerintah masih di bawah harga di tingkat konsumen. Dia mengakui bahwa satu batang rokok lebih murah dibanding satu rokok elektrik sistem tertutup.

    Hanya saja, sambungnya, satu produk rokok elektrik dapat dikonsumsi lebih lama atau jumlah hisapan lebih banyak. Oleh sebab itu, harga rokok konvensional masih lebih mahal dibandingkan dengan rokok elektrik. 

    Selain itu, beban cukai rokok elektrik jauh lebih rendah dibandingkan dengan rokok konvensional. Fajry pun meyakini kenaikan HJE bagi rokok elektrik tanpa adanya kenaikan tarif cukai hanya akan meningkatkan keuntungan perusahaan rokok elektrik. 

    “Dengan begitu akan ada peralihan konsumsi dari rokok konvensional ke rokok elektrik. Kalau ada peralihan, artinya tujuan pengendalian menjadi tidak terpenuhi,” ujarnya kepada Bisnis, Minggu (15/12/2024).

    Jika benar demikian maka terbantahkan alasan pemerintah menaikkan HJE rokok untuk meningkatkan kesehatan masyarakat. Fajry melihat konsumsi produk hasil tembakau tidak akan menurun secara agregat, hanya terjadi peralihan dari rokok konvensional ke rokok elektrik.

    Dia pun menukil dari dari Badan Pusat Statistik, Riset Kesehatan Dasar, dan Survei Kesehatan Nasional yang menunjukkan terjadi kenaikan pengguna rokok elektrik dalam beberapa tahun terakhir pada saat prevalensi perokok menurun.

    “Kebijakan fiskal yang tidak adil hanya akan menyebabkan peralihan konsumsi bukan pengendalian konsumsi. Itulah mengapa, belakangan beberapa seperti Inggris melarang penjualan rokok elektrik per Juni 2025,” ungkap Fajry.

    Lebih lanjut, dia juga meyakini pendapatan kenaikan HJE rokok juga tidak akan berdampak positif ke penerimaan negara. Dia menjelaskan selama ini penerimaan negara dari ‘pajak dosa’ produk hasil tembakau berdasarkan tarif cukai bukan tarif ad-valorem.

    Tarif cukai sendiri dikenakan berdasarkan jumlah atau kuantitas barang tertentu seperti unit, berat, atau volumenya. Sementara itu, tarif ad-valorem dikenakan berdasarkan persentase dari nilai atau harga barang/jasa.

    “Besaran penerimaan [dari produk hasil tembakau] bergantung jumlah yang terjual bukan harga. Sedangkan kenaikan HJE akan menurunkan jumlah produk hasil tembakau yang terjual. Dengan begitu, kenaikan HJE malah akan menurunkan kinerja penerimaan cukai tahun depan,” jelas Fajry.

    Sebagai informasi, sebelumnya Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati resmi menaikkan HJE produk hasil tembakau mulai 1 Januari 2025 melalui PMK No. 97/2024 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau Berupa Sigaret, Cerutu, Rokok Daun atau Klobot, dan Tembakau Iris.

    “Untuk mengendalikan konsumsi hasil tembakau, melindungi industri hasil tembakau yang padat karya yang proses produksinya menggunakan cara lain daripada mesin, dan optimalisasi penerimaan negara,” tulisnya, dikutip pada Jumat (13/12/2024).

    Sri Mulyani menuliskan bahwa peraturan terkait rokok tersebut perlu diubah dan disempurnakan dengan perkembangan dan kebutuhan hukum di bidang tarif cukai hasil tembakau. 

    Pemerintah sebelumnya telah mengumumkan bahwa tidak akan menaikkan tarif cukai hasil tembakau (CHT) yang seharusnya dilakukan penyesuaian pada tahun depan. Sebagai gantinya, pemerintah hanya akan menaikkan HJE sementara tarif cukai produk tembakau tersebut tetap sama.

  • Penerimaan ‘Pajak Dosa’ Diprediksi Turun Akibat Kenaikan Harga Eceran Rokok

    Penerimaan ‘Pajak Dosa’ Diprediksi Turun Akibat Kenaikan Harga Eceran Rokok

    Bisnis.com, JAKARTA — Pengamat pajak meyakini penerimaan negara dari produk hasil tembakau bakal anjlok usai pemerintah menaikkan harga jual eceran rokok pada 2025. Meski demikian, tarif cukai hasil tembakau (CHT) atau cukai rokok tetap naik mulai 2025. 

    Manajer Riset Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar menjelaskan kenaikan harga jual eceran (HJE) akan lebih dirasakan oleh masyarakat daripada industri dibandingkan kenaikan tarif cukai.

    Alasannya, kenaikan HJE akan dirasakan langsung oleh masyarakat ketika membeli rokok. Sementara itu, jika tarif cukai produk hasil tembakau yang dinaikkan maka pelaku usaha justru cenderung akan mengorbankan keuntungan agar produknya masih bisa dijangkau konsumen.

    Fajry meyakini kenaikan HJE rokok konvensional tidak akan meningkatkan penerimaan negara, bahkan sebaliknya. Dia menjelaskan selama ini ‘pajak dosa’ produk hasil tembakau berdasarkan tarif cukai bukan tarif ad-valotem.

    Tarif cukai sendiri dikenakan berdasarkan jumlah atau kuantitas barang tertentu seperti unit, berat, atau volumenya. Sementara itu, tarif ad-valotem dikenakan berdasarkan persentase dari nilai atau harga barang/jasa.

    “Besaran penerimaan [dari produk hasil tembakau] bergantung jumlah yang terjual, bukan harga. Sedangkan kenaikan HJE akan menurunkan jumlah produk hasil tembakau yang terjual. Dengan begitu, kenaikan HJE malah akan menurunkan kinerja penerimaan cukai tahun depan,” jelas Fajry kepada Bisnis, Minggu (15/12/2024).

    Dia tidak menampik alasan kesehatan masyarakat menjadi salah satu pertimbangan pemerintah menaikkan HJE rokok. Kendati demikian, Fajry tidak yakin konsumsi produk hasil tembakau juga akan menurun.

    Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 97/2024, kebijakan tarif dan HJE atas produk hasil tembakau terdiri dari beberapa layer. Beleid terbaru itu membedakan antara rokok konvensional dengan rokok elektrik.

    Masalahnya, menurut Fajry, HJE atas beberapa rokok elektrik yang diterapkan pemerintah masih di bawah harga di tingkat konsumen. Dia mengaku bahwa satu batang rokok lebih murah dibanding satu rokok elektrik sistem tertutup.

    Hanya saja, sambungnya, satu produk rokok elektrik dapat dikonsumsi lebih lama atau jumlah hisapan lebih banyak. Oleh sebab itu, harga rokok konvensional masih lebih mahal dibandingkan dengan rokok elektrik. 

    Selain itu, beban cukai rokok elektrik jauh lebih rendah dibandingkan dengan rokok konvensional. Fajry pun meyakini kenaikan HJE bagi rokok elektrik tanpa adanya kenaikan tarif cukai hanya akan meningkatkan keuntungan perusahaan rokok elektrik. 

    “Dengan begitu akan ada peralihan konsumsi dari rokok konvensional ke rokok elektrik. Kalau ada peralihan, artinya tujuan pengendalian menjadi tidak terpenuhi,” ujarnya.

    Sebagai informasi, sebelumnya Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati resmi menaikkan HJE produk hasil tembakau mulai 1 Januari 2025 melalui PMK No. 97/2024 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau Berupa Sigaret, Cerutu, Rokok Daun atau Klobot, dan Tembakau Iris.

    “Untuk mengendalikan konsumsi hasil tembakau, melindungi industri hasil tembakau yang padat karya yang proses produksinya menggunakan cara lain daripada mesin, dan optimalisasi penerimaan negara,” tulisnya, dikutip pada Jumat (13/12/2024).

    Sri Mulyani menuliskan bahwa peraturan terkait rokok tersebut perlu diubah dan disempurnakan dengan perkembangan dan kebutuhan hukum di bidang tarif cukai hasil tembakau. 

    Pemerintah sebelumnya telah mengumumkan bahwa tidak akan menaikkan tarif cukai hasil tembakau (CHT) yang seharusnya dilakukan penyesuaian pada tahun depan. Sebagai gantinya, pemerintah hanya akan menaikkan HJE sementara tarif cukai produk tembakau tersebut tetap sama. 

  • Kabar Buruk Buat Para Ahli Hisap, Harga Jual Eceran Rokok Naik Mulai 1 Januari 2025 – Halaman all

    Kabar Buruk Buat Para Ahli Hisap, Harga Jual Eceran Rokok Naik Mulai 1 Januari 2025 – Halaman all

     

     

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Harga rokok akan semakin mahal tahun depan baik rokok konvensional maupun rokok elektrik. 

    Pemerintah telah menetapkan kenaikan harga jual eceran (HJE) pada 2025 untuk rokok konvensional dan rokok elektrik melalui dua Peraturan Menteri Keuangan (PMK), yakni PMK 96/2024 dan PMK 97/2024.

    Tujuan penerbitan PMK ini untuk mendukung pengendalian konsumsi tembakau, melindungi industri tembakau padat karya, dan mengoptimalkan penerimaan negara.

    Dalam kedua beleid tersebut, pemerintah memutuskan untuk tidak menaikkan tarif cukai hasil tembakau. Kendati begitu, pemerintah menaikkan harga jual eceran (HJE) hampir seluruh produk tembakau yang mulai berlaku 1 Januari 2025.

    Dalam PMK 97/2024, pemerintah menetapkan kenaikan HJE rokok pada 2025 yang bervariasi, dengan rata-rata kenaikan sebesar 9,53 persen.

    Sementara dalam PMK 96/2024, pemerintah menetapkan kenaikan HJE rokok elektrik dan hasil pengolahan tembakau lainnya pada 2025 yang bervariasi, dengan kenaikan rata-rata sebesar 11,34 dan 6,19 persen. 

    Direktur Komunikasi dan Bimbingan Pengguna Jasa Bea Cukai, Nirwala Dwi Heryanto mengatakan seiring dengan terbitnya dua PMK tersebut, pihaknya akan menindaklanjuti dan mengamankan kebijakan tersebut sesuai dengan tugas Bea Cukai.

    “Tugas Bea Cukai selanjutnya adalah menindaklanjuti dan mengamankan kebijakan tersebut,” ujar Nirwala kepada Kontan.co.id, Jumat (13/12/2024).

    Tindak lanjut yang dimaksud antaranya penetapan HJE per merk rokok, berdasarkan usulan produsen rokok yang mengacu pada PMK baru tersebut.

    “Berdasarkan penetapan tersebut, produsen akan mengajukan P3C untuk memesan pita cukai,” katanya.

    Berdasarkan P3C tersebut, Bea Cukai akan memesan pencetakan pita cukai kepada Konsorsium Peruri. 

    Ia menegaskan, layanan tersebut dilakukan Bea Cukai secara elektronik, sehingga ditargetkan pita cukai akan dapat didistribusikan pada Januari 2025 sesuai pemberlakuan kedua beleid baru tersebut.

    Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto berharap kebijakan tersebut dapat mengendalikan konsumsi masyarakat dari barang-barang yang memiliki dampak negatif terhadap kesehatan.

    “Tentu kan kita hanya berharap barang-barang yang untuk kesehatan itu supaya dikurangin. Prinsipnya itu saja,” kata Airlangga kepada awak media di Jakarta, Jumat (13/12/2024).

    Senior Economist KB Valbury Sekuritas, Fikri C Permana mengatakan kebijakan tersebut akan menambah tekanan daya beli masyarakat, mengingat akan berlaku bersamaan dengan kebijakan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) di 2025.

    “Karena pada saat yang sama kan ada kenaikan PPN, ditambah juga dengan kenaikan HJE rokok. Jadi mungkin ada tekanan si,” ujar Fikri dikutip, Jumat (13/12/2024).

    Hanya saja, Fikri mengakui bahwa kenaikan HJE akan membantu dalam menjaga kesehatan masyarakat, khususnya dalam mengendalikan konsumsi rokok.

    “Karena beberapa survei terakhir kan mengatakan kalau rokok mungkin sumber pengeluaran terbesar ketiga ya untuk masyarakat kelas bawah khususnya,” katanya.

    Fikri juga menilai efektivitas kebijakan tersebut dalam mengendalikan konsumsi rokok masih belum optimal karena kenaikan HJE lebih banyak mendorong peralihan konsumsi rokok.

    Dari sisi inflasi, dia memperkirakan kenaikan HJE bisa menyumbang sekitar 0,2 persen terhadap inflasi keseluruhan pada tahun depan.

    Sementara itu, Staf Bidang Ekonomi, Industri dan Global Markets dari Bank Maybank Indonesia, Myrdal Gunarto menilai kenaikan HJE rokok rata-rata sebesar 9,53 persen pada tahun depan merupakan keputusan yang tepat, mengingat pemerintah tidak menaikkan tarif cukai hasil tembakau (CHT).

    “Sudah tepat apalagi kan kalau kita lihat dari berbagai informasi kalau tahun ini tidak ada kenaikan cukai rokok. Jadi saya rasa tepat keputusannya,” kata Myrdal.

    Meski ada kenaikan HJE, ia melihat kontribusinya terhadap inflasi akan relati moderat, yaitu sekitar 43 bps seiring dengan penyesuaian daya beli masyarakat akibat kenaikan UMP 6,5 persen maupun kenaikan gaji guru hingga berbagai stimulus fiskal yang dilakukan pemerintah.

    Laporan Reporter: Dendi Siswanto | Sumber: Kontan

  • Bekas Stafsus Menteri Keuangan Sebut Kenaikan PPN 12 Persen Tahun Depan Bukan Keinginan Sri Mulyani – Halaman all

    Bekas Stafsus Menteri Keuangan Sebut Kenaikan PPN 12 Persen Tahun Depan Bukan Keinginan Sri Mulyani – Halaman all

    Laporan Reporter Tribunnews.com, Reza Deni

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Mantan Staf Khusus Menteri Keuangan Sri Mulyani, Yustinus Prastowo, mengatakan bahwa bahwa kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12 persen bukanlah keinginan Sri Mulyani, Joko Widodo, atau bahkan Presiden Prabowo Subianto.

    “Saya mau klarifikasi ya, PPN 12 persen bukan maunya Bu Sri Mulyani, bukan maunya Kementerian Keuangan, bukan maunya Pak Jokowi, apalagi Pak Prabowo yang baru memerintah. Ini keputusan politik bersama, karena undang-undang. Baik pada waktu dirumuskan dan saya yakin maksud tujuannya baik,” kata Pras dalam acara Insight Hub PKB Vol 2: Wacana PPN 12 Persen, Solusi Fiskal atau Beban Bagi Masyarakat?,” yang digelar di Kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu (14/12/2024).

    Dia menjelaskan bagaimana PPN ini dinaikkan secara bertahap dalam kurun waktu dua hingga tiga tahun.

    “Lalu kenapa PPN? Inilah kontribusi DPR yang juga bagus. Kami akhirnya sepakat 12 persen, tapi dua tahap. 11 persen dulu di 2022, lalu menjadi 12 persen di 2025, sambil mengamati kondisi ekonomi membaik atau tidak,” kata dia.

    Menurut Pras, kesepakatan dinaikannya PPN karena pajak penghasilan tidak mengangkat penerimaan negara. 

    “PPN semua bayar, gotong royong PPN itu. Tapi kan regresif pak, yang kaya dan miskin kalau beli Indomie sama-sama bayar 10 persen. Oke, kalau begitu yang kebutuhan pokok kita nol-kan,” kata Pras.

    “Tetap dipertahankan kebutuhan pokok, jasa pendidikan, kesehatan, transportasi tetap nol sampai sekarang, tidak bayar pajak. Sampai di situ kita bisa menerima, sampai akhirnya PPN 12 persen mau diterapkan,” pungkas dia.

    Diketahui, Pemerintah akan secara resmi mengumumkan soal kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) 12 persen pada Senin pekan depan 16 Desember 2024. 

    Hal itu disampikan oleh Menteri Koordinator bidang Perekonomian Airlangga Hartarto usai rapat terbatas di Istana Kepresidenan, Jakarta, Jumat, (13/12/2024). 

    “Diumumkan hari Senin, jam 10 nanti diundang. Soal PPN dan paket kebijakan ekonomi,” kata Airlangga.

    Sekarang ini pemerintah kata Airlangga masih melakukan penghitungan mengenai tarif PPN yang akan diberlakukan nanti. Yang pasti kata dia, PPN multi tarif akan diberlakukan.

    “Ya ada. Ada tarif tertentu,” katanya.

    Airlangga mengatakan nantinya payung hukum PPN multi tarif tersebut ada yang berupa peraturan menteri keuangan (PMK) dan ada juga yang berupa peraturan pemerintah.

    Airlangga mengatakan selain mengenai PPN, pada pekan depan, pemerintah juga akan mengumumkan paket kebijakan ekonomi baru. Namun ia belum mau menyampaikan paket kebijakan seperti apa yang akan diberlakukan nantinya.

    “Nanti diumumkan di kantor Menko,” pungkasnya.

    Sebelumnya Presiden Prabowo Subianto mengatakan bahwa kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen yang berlaku pada 1 Januari 2025 akan berlaku selektif. Kenaikan tarif PPN yang tadinya 11 persen menjadi 12 persen hanya untuk barang-barang mewah saja.

    Hal itu disampikan Prabowo sebelum meninggalkan Istana Negara, Jakarta, pada Jumat malam, (6/12/2024).

    “Kan sudah diberi penjelasan PPN adalah undang-undang, ya kita akan laksanakan, tapi selektif hanya untuk barang mewah,” kata Prabowo.

    “Jadi kalaupun naik itu hanya untuk barang mewah,” Imbuhnya.

    Presiden Prabowo memastikan bahwa kenaikan tarif PPN tidak akan membebani rakyat kecil. Menurutnya rakyat kecil tetap terlindungi dari kenaikan tarif PPN.

    “Sudah sejak akhir 2023 pemerintah tidak memungut yang seharusnya dipungut untuk membela, membantu rakyat kecil ya,” katanya.

    Sejumlah pimpinan DPR bertemu dengan Presiden Prabowo Subianto di Kantor Presiden, Komplek Istana Kepresidenan, Jakarta, Kamis, (5/12/2024). 

    Mereka diantaranya Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad dan Adies Kadir, Ketua Komisi 11 Mukhamad Misbakhun, Ketua Komisi 3 Habiburokhman, dan lainnya. 

    Mereka menemui Presiden Prabowo untuk menyampaikan aspirasi hasil rapat paripurna DPR mengenai rencana kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen yang berlaku pada 1 Januari 2025.  

    “Kami telah banyak berdialog dan berdiskusi dengan Bapak Presiden,” kata Dasco.

    Sementara itu Ketua Komisi XI Mukhamad Misbakhun mengatakan bahwa berdasarkan hasil diskusi dengan Presiden kenaikan tarif PPN 12 persen tetap berlaku pada Januari 2025 mendatang. Hanya saja kenaikan tersebut berlaku selektif.

    “Hasil diskusi kami dengan Bapak Presiden, kita akan tetap mengikuti undang-undang bahwa PPN akan tetap berjalan sesuai jadwal waktu amanat di undang-undang yaitu 1 Januari 2025. Tetapi kemudian akan diterapkan secara selektif,” kata Misbakhun.

    Kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen kata Misbakhun hanya berlaku untuk barang barang mewah saja. 

    “Selektif kepada beberapa komoditas baik itu barang dalam negeri maupun impor yang berkaitan dengan barang mewah,” katanya.

    Dengan kata lain kata Misbakhun, kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen hanya dibebankan kepada para konsumen barang mewah. Sementara masyarakat yang membeli barang selain barang mewah tetap dikenakan tarif Ppn 11 persen.

    “Masyarakat kecil tetap kepada tarif PPN yang saat ini berlaku,” pungkasnya.

  • Pimpinan Komisi XI DPR Usul Perluasan Kategori Barang Mewah Objek Pajak PPN 12 Persen – Halaman all

    Pimpinan Komisi XI DPR Usul Perluasan Kategori Barang Mewah Objek Pajak PPN 12 Persen – Halaman all

    Laporan Reporter Tribunnews.com, Reza Deni

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Wakil Ketua Komisi XI DPR RI fraksi PKB, Hanif Dhakiri, mengusulkan objek pajak barang mewah yang akan dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12 persen harus diperluas. 

    Hal itu perlu dilakukan lantaran pendapatan negara dari pajak barang mewah masih terlalu kecil. 

    “Sehingga kalau hanya digunakan untuk pajak barang mewah, nah itu tentunya kan hanya nilainya berapa tadi dapetnya? Sekitar Rp2 triliun. Nah mungkin tidak cukup worth it lah kalau misalnya digunakan,” kata Hanif dalam acara Insight Hub PKB Vol 2: Wacana PPN 12 Persen, Solusi Fiskal atau Beban Bagi Masyarakat?,” yang digelar di Kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu (14/12/2024). 

    Namun, dia mengaku belum ada informasi apakah ke depannya objek pajak barang mewah yang dikenakan akan diperluas pemerintah atau tidak. 

    “Nah, kita harus cek lagi, barang-barang mewah yang kemarin digunakan pajak itu apa aja sih? Nah itu harus diperluas,” ujarnya. 

    Dengan adanya perluasan objek pajak barang mewah itu, kata dia, bisa menambah pendapatan negara. 

    “Saya kira kalau mungkin diperluaskan bisa nambah lagi Rp 2 triliun mungkin lebih. Kita harus agak teknis, agak detail untuk mendorong perluasan objek pajaknya maupun juga wajib pajaknya,” katanya. 

    “Jadi level kayanya itu seberapa misalnya yang dikenakan itu. Ya kalau di PPH itu yang mirip-mirip pajak progresif itulah kali ya,” pungkas Waketum PKB itu. 

    Diketahui, pemerintah akan secara resmi mengumumkan soal kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) 12 persen pada Senin pekan depan 16 Desember 2024. 

    Hal itu disampikan oleh Menteri Koordinator bidang Perekonomian Airlangga Hartarto usai rapat terbatas di Istana Kepresidenan, Jakarta, Jumat, (13/12/2024). 

    “Diumumkan hari Senin, jam 10 nanti diundang. Soal PPN dan paket kebijakan ekonomi,” kata Airlangga.

    Sekarang ini pemerintah kata Airlangga masih melakukan penghitungan mengenai tarif PPN yang akan diberlakukan nanti. Yang pasti kata dia, PPN multi tarif akan diberlakukan.

    “Ya ada. Ada tarif tertentu,” katanya.

    Airlangga mengatakan nantinya payung hukum PPN multi tarif tersebut ada yang berupa peraturan menteri keuangan (PMK) dan ada juga yang berupa peraturan pemerintah.

    Airlangga mengatakan selain mengenai PPN, pada pekan depan, pemerintah juga akan mengumumkan paket kebijakan ekonomi baru. Namun ia belum mau menyampaikan paket kebijakan seperti apa yang akan diberlakukan nantinya.

    “Nanti diumumkan di kantor Menko,” pungkasnya.