Produk: Peraturan Menteri Keuangan (PMK)

  • Emang Iya e-Money Kena PPN Jadi 12%?

    Emang Iya e-Money Kena PPN Jadi 12%?

    Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan mengklarifikasi isu transaksi uang elektronik menjadi objek pajak yang dikenakan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) jadi 12 persen.
     
    “Perlu kami tegaskan pengenaan PPN atas jasa layanan uang elektronik sudah dilakukan sejak berlakunya UU PPN Nomor 8 Tahun 1983 yang berlaku sejak 1 Juli 1984, artinya bukan objek pajak baru,” kata Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Mayarakat DJP Dwi Astuti saat dihubungi Antara, Jumat, 20 Desember 2024.
     
    UU PPN telah diperbarui dalam UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Dalam UU HPP, layanan uang elektronik tidak termasuk objek yang dibebaskan dari PPN. Artinya, ketika PPN naik menjadi 12 persen nanti, tarif tersebut juga berlaku untuk transaksi uang elektronik.
    Aturan rinci mengenai pengenaan PPN terhadap transaksi uang elektronik, atau layanan teknologi finansial (fintech) secara umum, diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 69 Tahun 2022.
     
    Layanan yang dikenakan PPN di antaranya uang elektronik (e-money), dompet elektronik (e-wallet), gerbang pembayaran, switching, kliring, penyelesaian akhir, dan transfer dana.
     
     

    PPN berlaku untuk biaya layanan atau komisi yang dibebankan kepada penyelenggara

    PPN berlaku untuk biaya layanan atau komisi yang dibebankan kepada penyelenggara. Misalnya, biaya layanan registrasi, pengisian ulang saldo (top-up), pembayaran transaksi, transfer dana, dan tarik tunai untuk uang elektronik.
     
    Hal yang sama berlaku pada layanan dompet elektronik, termasuk biaya pembayaran tagihan dan layanan paylater. PPN juga dikenakan pada biaya merchant discount rate (MDR). Sementara nilai uang elektronik itu sendiri, termasuk saldo, bonus point, reward point, dan transaksi transfer dana murni, tidak dikenakan PPN.
     
    Sebagai contoh, ketika pengguna melakukan top-up saldo uang elektronik dan dikenakan biaya administrasi, maka biaya administrasi tersebut yang dikenakan PPN. Jika biaya administrasi top-up adalah Rp1.000 dan tarif PPN yang berlaku saat ini sebesar 11 persen, maka PPN yang harus dibayar adalah Rp110, sehingga total biaya menjadi Rp1.110.
     
    Bila PPN naik menjadi 12 persen nantinya, maka PPN yang perlu dibayar sebesar Rp120, sehingga total biaya menjadi Rp1.120. Sedangkan ketika pengguna hanya mentransfer uang atau menggunakan saldo tanpa biaya tambahan, maka tidak ada PPN yang dikenakan.
     
    Untuk diketahui, UU HPP mengatur pembebasan PPN terhadap sejumlah jasa keuangan. Jasa ini meliputi penghimpunan dana seperti giro, tabungan, deposito, dan sertifikat deposito, yang dilakukan oleh bank atau lembaga keuangan.
     
    Selain itu, kegiatan penyaluran dan peminjaman dana, baik melalui transfer elektronik, cek, maupun wesel. Pembiayaan seperti leasing dengan hak opsi, anjak piutang, kartu kredit, dan pembiayaan konsumen juga tidak dikenakan PPN, termasuk yang berprinsip syariah.
     
    Layanan gadai, termasuk gadai syariah dan fidusia, serta jasa penjaminan untuk melindungi kewajiban finansial, juga dikecualikan dari pajak.
     
    Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
    dan follow Channel WhatsApp Medcom.id

    (AHL)

  • Begini Ketentuan Transaksi Uang Elektronik Kena PPN 12 Persen

    Begini Ketentuan Transaksi Uang Elektronik Kena PPN 12 Persen

    Jakarta Beritasatu.com – Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Dwi Astuti memberikan klarifikasi terkait isu transaksi uang elektronik yang menjadi objek pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 12 persen.

    Ditegaskan Dwi Astuti, pengenaan PPN atas jasa layanan uang elektronik bukan merupakan objek pajak baru karena telah berlaku sejak berlakunya Undang-Undang PPN Nomor 8 Tahun 1983.

    Dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP), layanan uang elektronik tidak termasuk dalam daftar objek yang dibebaskan dari PPN. Hal ini berarti apabila tarif PPN naik menjadi 12 persen, maka tarif tersebut juga berlaku untuk transaksi uang elektronik.

    “Pengenaan PPN atas jasa layanan uang elektronik sudah dilakukan sejak berlakunya UU PPN Nomor 8 Tahun 1983. Artinya bukan objek pajak baru,” kata Dwi Astuti, dikutip dari Antara, Sabtu (21/12/2024).

    Aturan teknis mengenai PPN pada transaksi uang elektronik diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 69 Tahun 2022. Beberapa layanan yang dikenakan PPN meliputi dompet elektronik (e-wallet), uang elektronik (e-money), switching, gerbang pembayaran, kliring, penyelesaian akhir, dan transfer dana.

    PPN dikenakan pada biaya layanan atau komisi yang dibebankan kepada penyelenggara. Misalnya, biaya administrasi registrasi, pengisian ulang saldo (top up), pembayaran transaksi, transfer dana, hingga tarik tunai untuk uang elektronik. Sedangkan nilai uang elektronik, termasuk saldo, reward point, bonus point, dan transaksi transfer dana murni, tidak dikenakan PPN.

    Sebagai contoh, untuk biaya administrasi top up sebesar Rp 1.000 dengan tarif PPN saat ini 11 persen, pengguna akan dikenakan PPN sebesar Rp 110, sehingga total biaya menjadi Rp 1.110. Apabila tarif PPN naik menjadi 12 persen, biaya PPN naik menjadi Rp 120, sehingga total biaya menjadi Rp 1.120.

    Pada saat pengguna transaksi uang elektronik hanya mentransfer uang atau menggunakan saldo tanpa biaya tambahan, maka tidak ada PPN yang dikenakan pada saat ini maupun ketika PPN 12 persen diimplementasikan.

  • Devisa Hasil Ekspor (DHE) SDA Diproyeksikan Capai US Miliar pada Akhir 2024

    Devisa Hasil Ekspor (DHE) SDA Diproyeksikan Capai US$14 Miliar pada Akhir 2024

    Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah memproyeksikan devisa hasil ekspor sumber daya alam atau DHE SDA yang telah ditempatkan di dalam negeri mencapai US$14 miliar pada akhir 2024.

    Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengaku implementasi kebijakan DHE SDA seperti yang diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 36/2023 sudah berjalan baik.

    Dia memerinci, kepatuhan eksportir untuk menempatkan DHE tersebut sudah hampir 90%. Oleh sebab itu, pihaknya meyakini DHE SDA mencapai US$14 miliar pada akhir 2024.

    “Nah tentu akan kita intensifikasikan lagi,” ujar Airlangga di Kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta Pusat, Jumat (20/12/2024).

    Apalagi, mantan ketua umum Partai Golkar itu meyakini neraca perdagangan Indonesia masih berjalan dengan baik. Dalam 55 bulan terakhir, neraca perdagangan Indonesia selalu surplus.

    Terakhir, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat surplus neraca dagang senilai US$4,42 miliar pada November 2024.

    Lebih lanjut, Airlangga menjelaskan pemerintah ingin merevisi PP No. 36/2023 agar kurun waktu penempatan DHE SDA bisa lebih lama. Menurut aturan sekarang, DHE SDA ‘hanya’ wajib ditempatkan di dalam negeri paling singkat tiga bulan dengan minimal 30% dari total nilai ekspor.

    Oleh sebab itu, Airlangga menggelar rapat bersama Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dan jajaran, Wakil Menteri Perindustrian Faisol Reza dan jajaran, Staf Ahli Bidang Ekonomi Sumber Daya Alam Kementerian ESDM Lana Saria dan jajaran di Kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta Pusat pada Jumat (20/12/2024) sore.

    Hanya saja, dia belum bisa mengumumkan detail perubahan aturan tersebut. Airlangga meminta setiap pihak bersabar karena PP, Peraturan Menteri Keuangan (PMK), Peraturan Bank Indonesia (PBI), dan Peraturan OJK terbaru ihwal DHE SDA sedang disusun.

    “Mungkin sekitar sebulan dari sekarang [akan terbit],” ujar Airlangga.

  • Kebijakan HJE Dikhawatirkan Tak Mampu Efektif Menekan Konsumsi Rokok di Masyarakat  – Halaman all

    Kebijakan HJE Dikhawatirkan Tak Mampu Efektif Menekan Konsumsi Rokok di Masyarakat  – Halaman all

    Laporan Wartawan Tribunnews.com, Fransiskus Adhiyuda 

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Majelis Pembina Kesehatan Umum (MPKU) Pimpinan Pusat Muhammadiyah dan Pimpinan Pusat Ikatan Pelajar Muhammadiyah menyatakan sikap mendukung upaya pengendalian konsumsi rokok yang komprehensif. 

    Tentu, peryataan ini merespons kebijakan pemerintah terkait Harga Jual Eceran (HJE) rokok. 

    Wakil Ketua MPKU PP Muhammadiyah, Emma Rachmawati mendesak pemerintah untuk melarang penjualan rokok secara eceran, meningkatkan cukai hingga harga rokok sebanding dengan negara-negara tetangga, dan memperketat regulasi rokok konvensional maupun elektronik.  

    Kenaikan HJE rokok merupakan langkah awal yang baik, namun perlu diikuti dengan kebijakan lain yang lebih komprehensif dan berkelanjutan.  

    Selain itu, edukasi dan kampanye bahaya rokok harus diperluas untuk melindungi masyarakat, khususnya generasi muda.  

    “MPKU PP Muhammadiyah Muhammadiyah siap berkontribusi dalam upaya preventif, kuratif, dan rehabilitatif demi mewujudkan Indonesia yang sehat dan bebas dari korban rokok,” kata Emma diskusi bertema ‘Kebijakan HJE Rokok 2025: Dilematisasi Pengendalian Konsumsi Rokok di Indonesia’, Jumat (20/12/2024).

    Youth Ambassador Tobacco Control Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM) Affan Fitrahman menyebut pihaknya mengapresiasi kenaikan HJE rokok sebagai langkah maju dalam pengendalian tembakau, namun menyayangkan tidak adanya kenaikan cukai rokok.  

    IPM pun mendorong pemerintah melakukan evaluasi berkala terhadap kebijakan ini, mengingat potensi peningkatan rokok ilegal.  

    “Kami harapkan pemerintah baru tetap berkomitmen pada isu pengendalian tembakau dan bersinergi dengan berbagai pihak untuk mewujudkan generasi muda yang sehat dan bebas rokok,” sambungnya. 

    Sementara itu, para ahli menyoroti Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 97 Tahun 2024, yang menetapkan batasan HJE dan tarif cukai hasil tembakau.  

    Meski HJE mengalami kenaikan, namun tidak dibarengi dengan kenaikan tarif cukai. Kondisi ini, menurut para pakar, dikhawatirkan tidak mampu secara efektif menekan konsumsi rokok di masyarakat. 

    Senior advisor CHED ITB-AD, Mukhaer Pakkanna menganalisis kebijakan HJE ini adalah kebijakan yang setengah hati dalam menekan prevalensi perokok, khususnya di kalangan masyarakat miskin dan remaja. 

    “Sayangnya, kebijakan ini tidak menyentuh Cukai Hasil Tembakau (CHT) yang selama ini menjadi instrumen strategis dalam pengendalian konsumsi rokok. Lebih ironis lagi, penetapan HJE tidak memperlihatkan keberpihakan pada upaya pro-kesehatan,” tambah Mukhaer. 

    Dia juga menegaskan bahwa dengan pendekatan seperti ini, tujuan untuk menekan prevalensi perokok akan sulit tercapai.  

    “Kebijakan ini lebih menguntungkan industri rokok besar ketimbang menjadi solusi bagi masalah kesehatan masyarakat. Jika pemerintah ingin serius, diperlukan kebijakan yang lebih komprehensif dan konsisten dalam melindungi masyarakat, terutama generasi muda, dari bahaya rokok,” katanya. 

    Advisor Indonesia Institute for Social Development (IISD), Sudibyo Markus menyoroti pentingnya pengendalian konsumsi rokok dalam kerangka Sustainable Development Goals (SDGs).  

    “Tembakau bukanlah komoditas unggulan perkebunan, melainkan tanaman semusim yang telah menjadi tradisi turun-temurun. Dalam sistem usaha yang monopsoni, petani tembakau selalu berada di posisi yang paling dirugikan karena seluruh rantai usaha tani sepenuhnya bergantung pada industri, khususnya tengkulak dan bandol yang menjadi perpanjangan tangan industri tembakau,” ujar Sudibyo Markus. 

    Di tengah menurunnya daya beli masyarakat dan kelas menengah akibat beban utang pemerintah, alih-alih menerapkan strategi fiskal dan non-fiskal yang komprehensif, pemerintah justru mengeluarkan kebijakan PMK No. 97 Tahun 2024 yang hanya mengatur harga jual rokok secara eceran. 

    “Di tingkat mikro, klaim industri tembakau sebagai ‘soko guru’ perekonomian nasional terasa ironis, karena mereka terus mengeksploitasi petani tembakau yang selalu dirugikan,” jelasnya. 

    Sedangkan, Direktur CHED ITB Ahmad Dahlan Jakarta, Roosita Meilani Dewi menjelaskan perspektif mikro ekonomi dalam pengendalian tembakau dan menghitung harga transaksi pasar kesehatan masyarakat. 

    “Bagi Pengendalian kenaikan HJE cukup penting untuk menaikkan Harga transaksi pasar, sehingga tidak dapat terjangkau oleh masyarakat rentan yaitu masyarakat miskin dan remaja.” 

    “Kenaikan Harga Jual Eceran rokok tahun 2025 yang diatur dalam PMK 97 tahun 2024, diperkirakan tidak mampu menekan konsumsi. Karena Rokok jenis SKM dan SPM yang memiliki pangsa pasar tertinggi hanya naik 5-7 persen sedangkan SKT yang masih memiliki pangsa pasar rendah justru naik 18,6 persen. Padahal fakta lapangan menunjukkan bahwa rokok dengan jenis SKM dan SPM banyak dikonsumsi remaja dan perokok pemula,” tegasnya. 

    Perwakilan Vital Strategies, Lily S. Sulistyowati menekankan urgensi pengendalian konsumsi rokok melalui kenaikan harga rokok dengan penyesuaian pajak dan harga jual eceran (HJE), selain dapat mengurangi daya beli dan konsumsi rokok, juga penting untuk kesehatan masyarakat. 

    “Kenaikan harga rokok dapat mendorong alokasi pengeluaran ke kebutuhan yang lebih mendukung kesehatan dan kesejahteraan, sekaligus mengurangi beban kesehatan masyarakat akibat penyakit terkait rokok,” jelas Lily.

  • Airlangga dan Sri Mulyani Cs Kumpul Bahas Aturan Baru Devisa Hasil Ekspor (DHE)

    Airlangga dan Sri Mulyani Cs Kumpul Bahas Aturan Baru Devisa Hasil Ekspor (DHE)

    Bisnis.com, JAKARTA — Sejumlah menteri ekonomi terpantau berkumpul di kantor Menteri Koordinator bidang Perekonomian Airlangga Hartarto untuk membahas evaluasi DHE SDA, Jumat (20/12/2024).  

    Usai pertemuan bersama Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Wakil Menteri Perindustrian Faisol Reza, perwakilan Kementerian ESDM, beserta Bank Indonesia, Airlangga menyampaikan telah membahas terkait kebijakan baru repatriasi Devisa Hasil Ekspor (DHE) Sumber Daya Alam (SDA). 

    “Pertama kita masih mempersiapkan regulasinya, nanti pada saat regulasi selesai kita umumkan ke publik,” ujarnya kepada media massa. 

    Dirinya enggan menyampaikan detail pembicaraan mengenai aturan baru tersebut, baik mengenai jangka waktu penyimpanan DHE yang diisukan akan diperpanjang maupun porsi dana yang disimpan. 

    Airlangga menuturkan pihaknya sedang menyiapkan peraturan pemerintah (PP), peraturan menteri keuangan (PMK), Peraturan Bank Indonesia (PBI), maupun Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK). 

    Pemerintah merencanakan beleid tersebut akan rampung dalam jangka waktu satu bulan atau akan terbit pada Januari mendatang. 

    “Time frame-nya mungkin sekitar sebulan dari sekarang [Januari]. Porsinya juga nanti kita umumkan,” ujarnya. 

    Sementara Airlangga menyampaikan bahwa dari evaluasi DHE sejauh ini menunjukkan tingkat kepatuhan eksportir mencapai 90%. 

    Sebelumnya, Presiden Prabowo Subianto telah meminta agar jangka waktu minimal penempatan DHE SDA diperpanjang, tidak lagi tiga bulan. 

    Saat ini, kebijakan yang berlaku yakni eksportir wajib menempatkan DHE ke dalam rekening khusus yang ditempatkan paling sedikit sebesar 30% dalam sistem keuangan Indonesia selama jangka waktu tertentu.

    Dana atau devisa yang dihasilkan dari kegiatan ekspor harus dimasukkan dan ditempatkan ke dalam Sistem Keuangan Indonesia (SKI) dengan tujuan meningkatkan likuiditas valas dan mendorong peningkatan jasa keuangan. DHE akan menjadi pasokan cadangan devisa yang bank sentral gunakan untuk stabilisasi rupiah. 

  • Tok! Pemerintah Rombak Aturan Main DHE, Berlaku Januari 2025

    Tok! Pemerintah Rombak Aturan Main DHE, Berlaku Januari 2025

    Jakarta, CNBC Indonesia – Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto telah menyelesaikan rapat koordinasi evaluasi peraturan devisa hasil ekspor (DHE) sumber daya alam (SDA). Hasilnya, revisi aturan itu akan terbit pada Januari 2025.

    Rapat itu dihadiri Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Wakil Menteri Keuangan Thomas Djiwandono, Wakil Menteri Perindustrian Faisol Reza, hingga Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Febrio Nathan Kacaribu.

    Airlangga mengatakan, aturan DHE SDA itu akan diubah secara menyeluruh, mulai dari level Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Menteri Keuangan (PMK), Peraturan Bank Indonesia (PBI), serta Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK). Sebagaimana diketahui PP DHE SDA kini diatur dalam PP Nomor 36 Tahun 2023.

    “Jadi untuk kapannya (pengumuman perubahan) lagi kita siapin PP, PMK, dan juga kita siapin PBI nya, dan juga dari OJK. Time framenya mungkin sekitar sebulan dari sekarang,” kata Airlangga saat ditemui usai rapat koordinasi tersebut di kantornya, Jakarta, Jumat (20/12/2024).

    Meski belum mau mendetailkan apa saja yang diubah dalam aturan PP DHE SDA, ia menekankan, dari hasil rapat evaluasi ini implementasi PP DHE yang wajib ditempatkan sebesar 30% dari total ekspor telah berjalan dengan baik dengan tingkat kepatuhan eksportir hampir 90%.

    Selain itu, ia memperkirakan, potensi retensi dari hasil penempatan dolar hasil ekspor yang diwajibkan selama tiga bulan di sistem keuangan dalam negeri akan mencapai US$ 14 miliar.

    “Kita perkirakan bisa sampai akhir tahun ini US$ 14 billion, tentu kita akan intensifkan lagi retensi yang 3 bulan, dan kita juga melihat kan kita punya trade baik, antara ekspor dan impor kan positif di November, tinggi,” ucap Airlangga.

    Sebagaimana diketahui, kajian perubahan ketentuan PP DHE SDA ini sudah lama santer berhembus sejak pertengahan tahun lalu. Staf Khusus Menko Perekonomian Raden Pardede mengatakan, selain rancangan ketentuan durasi penempatan yang lebih lama di dalam negeri, nilai hasil ekspor yang harus disimpan di sistem keuangan domestik juga tengah dikaji.

    Ia mengatakan, opsi yang dipertimbangkan ialah apakah menurunkan kewajiban penempatan dananya menjadi 25% dari yang selama ini sebesar 30% atau bahkan menaikkannya ke level 50% sampai dengan 75%.

    “Apakah 50% atau 75%, apakah 25%, itu masih akan dikaji,” kata Raden seusai menghadiri acara Sarasehan 100 Ekonom Indonesia di Menara Bank Mega, Jakarta, pada awal Desember lalu.

    Raden menekankan, perubahan ketentuan ini dilakukan dalam rangka pemerintah semakin menciptakan transparansi pencatatan nilai hasil ekspor yang selama ini terjadi di Indonesia. Selain itu, juga untuk makin mempertambah cadangan devisa pemerintah untuk stabilitas kurs.

    “Kalau dia lebih banyak lagi yang bisa masuk maka cadangan devisa kita akan lebih baik, ya. Jadi kita jadi punya instrumen untuk bisa tetap membuat, menjaga rupiah stabil,” tegasnya.

    Sebagai informasi, dalam aturan yang berlaku saat ini, para eksportir dengan nilai ekspor pada Pemberitahuan Pabean Ekspor 250 ribu dolar AS atau lebih, wajib menempatkan DHE-nya minimal 30% ke rekening khusus (reksus) dalam negeri yang difasilitasi oleh Bank Indonesia (BI) minimal 3 bulan.

    (arj/mij)

  • Tanpa PPN 12%, Penjualan Mobil 2025 Bisa Sampai 900 Ribu

    Tanpa PPN 12%, Penjualan Mobil 2025 Bisa Sampai 900 Ribu

    Jakarta, FORTUNE – Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) memproyeksikan penjualan mobil pada 2025 dapat mencapai 900.000 unit, sebuah taksiran yang setidaknya lebih baik dari kondisi saat ini.

    Sekretaris Umum Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), Kukuh Kumara, mengatakan angka tersebut didasarkan pada asumsi kebijakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) tetap pada level 11 persen, seperti tahun ini.

    “Kami perkirakan kalau aturannya seperti tahun ini, penjualan bisa di kisaran 900 ribu unit. Namun, kita masih menunggu perkembangan kebijakan lebih lanjut,” kata Kukuh saat ditemui di Jakarta, Jumat (20/12).

    Sepanjang Januari-November 2024, penjualan seluruh jenis mobil di Indonesia memang terbilang lesu, dengan mengakumulasi penurunan 14,7 persen secara tahunan menjadi 784.788 unit dibandingkan dengan periode  sama tahun sebelumnya yang sebanyak 920.518 unit.

    Sebelumnya, pemerintah telah mengumumkan kebijakan baru yang berlaku pada 2025, yaitu insentif untuk mobil hybrid yang bentuknya berupa PPnBM DTP sebesar 3 persen. Kebijakan ini juga sebagai kompensasi kenaikan pajak pertambahan nilai atau PPN menjadi 12 persen yang dilakukan pada periode sama.

    Meski detail kebijakan tersebut masih menunggu Peraturan Menteri Keuangan (PMK), Gaikindo menilai langkah ini setidaknya memberikan sinyal positif untuk menjaga pertumbuhan Industri Otomotif.

    “Kalau salah menginterpretasikan, nanti repot. Jadi, kami pelajari dulu setelah PMK-nya keluar. Tapi secara umum, ini menunjukkan bahwa pemerintah menyadari pentingnya menjaga keberlanjutan industri otomotif,” ujarnya.

    Dukungan untuk keberlanjutan industri otomotif

    Kukuh juga optimistis insentif itu akan memberikan dampak positif bagi pasar kendaraan listrik berbasis baterai dan hybrid, yang diharapkan mampu mendongkrak penjualan mobil kembali menyentuh angka 1 juta unit.

    Namun, ia mengingatkan pertumbuhan industri tidak hanya bergantung pada insentif, tetapi juga faktor eksternal seperti sentimen global dan nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing.

    “Jadi, banyak faktor dan kita tidak mau gegabah,” ujarnya.

    Ketika dikonfirmasi soal kenaikan PPN menjadi 12 persen terhadap industri otomotif, Kukuh mengaku belum bisa memastikan dampaknya terhadap penjualan mobil. Namun, ia menegaskan bahwa setiap perubahan kebijakan harus mempertimbangkan daya beli masyarakat dan daya saing industri.

    “Kalau kebijakan PPN berubah menjadi 12 persen, kita harus lihat bagaimana daya beli masyarakat. Itu pasti akan berpengaruh pada proyeksi penjualan. Tapi kita masih berharap agar kebijakan ini tetap mendukung pertumbuhan industri otomotif,” ujarnya.

    Tak hanya insentif untuk hybrid, pemerintah juga melanjutkan pemberian insentif PPN DTP 10 persen untuk impor mobil listrik completely knocked down (CKD). Lalu, PPnBM DTP untuk impor mobil listrik secara utuh atau completely built up (CBU) dan CKD sebesar 15 persen, serta pembebasan bea masuk impor mobil listrik CBU.

    Dengan kombinasi insentif hybrid dan kebijakan pajak yang mendukung, Gaikindo berharap industri otomotif Indonesia mampu terus tumbuh di tengah tantangan global, sambil menjaga keseimbangan antara inovasi teknologi dan kebutuhan konsumen.

  • Kenaikan HJE Dinilai Tak Efektif Tekan Konsumsi Rokok – Page 3

    Kenaikan HJE Dinilai Tak Efektif Tekan Konsumsi Rokok – Page 3

    Liputan6.com, Jakarta – Center of Human Economic Development (CHED) ITB Ahmad Dahlan Jakarta bersama Muhammadiyah Tobacco Control Network (MTCN) menggelar diskusi terkait Harga Jual Eceran (HJE) rokok.

    Dengan tema “Kebijakan HJE Rokok 2025: Dilematisasi Pengendalian Konsumsi Rokok di Indonesia”, diskusi ini mengupas tantangan yang dihadapi dalam upaya pengendalian konsumsi rokok.

    Dalam diskusi tersebut, para ahli menyoroti Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 97 Tahun 2024, yang menetapkan batasan HJE dan tarif cukai hasil tembakau. Meski HJE mengalami kenaikan, namun tidak dibarengi dengan kenaikan tarif cukai. Kondisi ini, menurut para pakar, dikhawatirkan tidak mampu secara efektif menekan konsumsi rokok di masyarakat.

    Salah satu isu utama yang diangkat adalah potensi munculnya efek negatif seperti down trading, di mana konsumen beralih ke produk rokok yang lebih murah. Selain itu, maraknya peredaran rokok ilegal juga menjadi ancaman serius yang dapat mengurangi efektivitas kebijakan ini.

    Sudibyo Markus selaku Advisor Indonesia Institute for Social Development (IISD) menyoroti pentingnya pengendalian konsumsi rokok dalam kerangka Sustainable Development Goals (SDGs).

    “Tembakau bukanlah komoditas unggulan perkebunan, melainkan tanaman semusim yang telah menjadi tradisi turun-temurun. Dalam sistem usaha yang monopsoni, petani tembakau selalu berada di posisi yang paling dirugikan karena seluruh rantai usaha tani sepenuhnya bergantung pada industri, khususnya tengkulak dan bandol yang menjadi perpanjangan tangan industri tembakau,” ujar Sudibyo Markus.

    “Situasi ini menciptakan paradoks di seluruh mata rantai industri produk tembakau, baik pada tingkat makro, meso, maupun mikro. Di tingkat makro, pemerintah yang sedang memacu kualitas SDM menuju Indonesia Emas 2045 justru tidak konsisten dalam kebijakan fiskalnya dengan membatalkan kenaikan cukai produk tembakau pada tahun 2025.”

    Pada tingkat meso, di tengah menurunnya daya beli masyarakat dan kelas menengah akibat beban utang pemerintah, alih-alih menerapkan strategi fiskal dan non-fiskal yang komprehensif, pemerintah justru mengeluarkan kebijakan PMK No. 97 Tahun 2024 yang hanya mengatur harga jual rokok secara eceran,” tambah Sudibyo.

    “Di tingkat mikro, klaim industri tembakau sebagai ‘soko guru’ perekonomian nasional terasa ironis, karena mereka terus mengeksploitasi petani tembakau yang selalu dirugikan. Lebih jauh, dengan inovasi produk seperti rokok generasi baru dan pave, posisi rokok tradisional, yang menjadi tumpuan utama petani, semakin terpinggirkan,” pungkasnya.

    Mukhaer Pakkanna selalu Senior advisor CHED ITB-AD menganalisis kebijakan HJE ini adalah kebijakan yang setengah hati dalam menekan prevalensi perokok, khususnya di kalangan masyarakat miskin dan remaja.

    “Sayangnya, kebijakan ini tidak menyentuh Cukai Hasil Tembakau (CHT) yang selama ini menjadi instrumen strategis dalam pengendalian konsumsi rokok. Lebih ironis lagi, penetapan HJE tidak memperlihatkan keberpihakan pada upaya pro-kesehatan. Tarif dan harga rokok yang diproduksi massal melalui mesin tetap rendah dibandingkan dengan rokok manual, sehingga membuka peluang bagi beredarnya rokok murah yang terjangkau oleh masyarakat bawah,” tambah Mukhaer.

    Ia menegaskan bahwa dengan pendekatan seperti ini, tujuan untuk menekan prevalensi perokok akan sulit tercapai. “Kebijakan ini lebih menguntungkan industri rokok besar ketimbang menjadi solusi bagi masalah kesehatan masyarakat. Jika pemerintah ingin serius, diperlukan kebijakan yang lebih komprehensif dan konsisten dalam melindungi masyarakat, terutama generasi muda, dari bahaya rokok,” pungkasnya.

    Roosita Meilani Dewi (Direktur CHED ITB Ahmad Dahlan Jakarta) menjelaskan perspektif mikro ekonomi dalam pengendalian tembakau dan menghitung harga transaksi pasar kesehatan masyarakat.

    “Bagi Pengendalian kenaikan HJE cukup penting untuk menaikkan Harga transaksi pasar, sehingga tidak dapat terjangkau oleh masyarakat rentan yaitu masyarakat miskin dan remaja. Kenaikan Harga Jual Eceran rokok tahun 2025 yang diatur dalam PMK 97 tahun 2024, diperkirakan tidak mampu menekan konsumsi. Karena Rokok jenis SKM dan SPM yang memiliki pangsa pasar tertinggi hanya naik 5-7%, sedangkan SKT yang masih memiliki pangsa pasar rendah justru naik 18,6%. Padahal fakta lapangan menunjukkan bahwa rokok dengan jenis SKM dan SPM banyak dikonsumsi remaja dan perokok pemula” tegasnya.

    Lily S. Sulistyowati selalu perwakilan Vital Strategies menekankan urgensi pengendalian konsumsi rokok melalui kenaikan harga rokok dengan penyesuaian pajak dan harga jual eceran (HJE), selain dapat mengurangi daya beli dan konsumsi rokok, juga penting untuk kesehatan masyarakat.

    “Langkah ini tidak hanya bertujuan menurunkan prevalensi perokok, tetapi juga memperkuat perlindungan terhadap kalangan masyarakat prasejahtera dan kelompok rentan, termasuk anak-anak, serta mempromosikan gaya hidup sehat di masyarakat. Selain itu, kenaikan harga rokok dapat mendorong alokasi pengeluaran ke kebutuhan yang lebih mendukung kesehatan dan kesejahteraan, sekaligus mengurangi beban kesehatan masyarakat akibat penyakit terkait rokok,” jelas Lily.

    Lily juga menekankan bahwa pendapatan negara dari sektor cukai dapat dimanfaatkan untuk mendanai program kesehatan, seperti kampanye edukasi bahaya merokok, penerapan Kawasan Tanpa Rokok (KTR), pengendalian iklan rokok, hingga upaya prioritas lainnya seperti percepatan penurunan stunting, peningkatan vaksinasi dan imunisasi, serta peningkatan layanan kesehatan ibu dan anak.

    “Melalui strategi ini, kita dapat mempercepat penanganan penyakit terkait rokok, seperti kanker, TB, dan penyakit paru lainnya, serta meningkatkan kualitas fasilitas kesehatan di seluruh Indonesia,” pungkasnya.

    Majelis Pembina Kesehatan Umum (MPKU) Pimpinan Pusat Muhammadiyah dan Pimpinan Pusat Ikatan Pelajar Muhammadiyah menyatakan sikap mendukung upaya pengendalian konsumsi rokok yang komprehensif.

    “MPKU PP Muhammadiyah mendesak pemerintah untuk melarang penjualan rokok secara eceran, meningkatkan cukai hingga harga rokok sebanding dengan negara-negara tetangga, dan memperketat regulasi rokok konvensional maupun elektronik. Selain itu, edukasi dan kampanye bahaya rokok harus diperluas untuk melindungi masyarakat, khususnya generasi muda. Muhammadiyah siap berkontribusi dalam upaya preventif, kuratif, dan rehabilitatif demi mewujudkan Indonesia yang sehat dan bebas dari korban rokok,” terang Emma Rachmawati selaku Wakil Ketua MPKU PP Muhammadiyah.

    “Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM) mengapresiasi kenaikan HJE rokok sebagai langkah maju dalam pengendalian tembakau, namun menyayangkan tidak adanya kenaikan cukai rokok. IPM mendorong pemerintah melakukan evaluasi berkala terhadap kebijakan ini, mengingat potensi peningkatan rokok ilegal. IPM berkomitmen aktif dalam pengendalian tembakau melalui edukasi sebaya dan mendesak pemerintah untuk lebih tegas dalam pengawasan rokok ilegal, pelarangan sponsor rokok di media sosial, dan penegakan hukum terkait pelanggaran dalam pengendalian tembakau. IPM juga mengusulkan peningkatan alokasi anggaran untuk pengendalian tembakau agar isu ini mendapat perhatian serius dari pemerintah. IPM berharap pemerintah baru tetap berkomitmen pada isu pengendalian tembakau dan bersinergi dengan berbagai pihak untuk mewujudkan generasi muda yang sehat dan bebas rokok,” jelas Affan Fitrahman Youth Ambassador Tobacco Control Ikatan Pelajar Muhammadiyah.

     

  • Harga Emas Hari Ini Makin Mahal!

    Harga Emas Hari Ini Makin Mahal!

    Jakarta

    Harga emas hari ini keluaran Logam Mulia Antam 24 Karat, Jumat (20/12/2024) naik cukup tinggi jika dibandingkan kemarin. Harga emas hari ini naik hingga Rp 10.000 per gram dan berada di level Rp 1.515.000 per gram.

    Mengutip dari situs resmi Logam Mulia Antam, satuan harga emas hari ini yang terkecil ukuran 0,5 gram sekarang berada di angka Rp 807.500. Sementara harga emas10 gram dijual dengan harga Rp 14.645.000 dan ukuran emas terbesar yakni Rp 1.000 gram (1 kg) masih dibanderol Rp 1.455.600.000.

    Jika ditarik dalam sepekan terakhir, pergerakan emas Antam terpantau bergerak di rentang Rp 1.505.000-1.520.000 per gram. Sementara dalam sebulan terakhir, pergerakan harga emas berada di rentang Rp 1.499.000-1.548.000. Dalam rentang harga tersebut berkali-kali mencatatkan rekor.

    Harga emas hari ini untuk buyback emas Antam juga ikut mengalami kenaikan hingga Rp 12.000 per gram dan berada di level Rp 1.366.000 per gram. Harga buyback adalah jika Anda ingin menjual emas, maka Antam akan membelinya dengan harga tersebut

    Sesuai Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 34 Tahun 2017, pembelian emas batangan akan dikenakan PPh 22 sebesar 0,9%. Jika ingin mendapatkan potongan pajak lebih rendah sebesar 0,45%, harus menyertakan NPWP untuk transaksinya.

    Rincian Harga Emas Hari Ini dari Antam 1 Gram hingga 1.000 Gram 20 Desember 2024

    Harga emas 0,5 gram: Rp 807.500

    Harga emas 1 gram: Rp 1.515.000

    Harga emas 2 gram Rp 2.970.000

    Harga emas 3 gram Rp 4.430.000

    Harga emas 5 gram: Rp 7.350.000

    Harga emas 10 gram: Rp 14.645.000

    Harga emas 25 gram: Rp 36.487.500

    Harga emas 50 gram: Rp 72.895.000

    Harga emas 100 gram: Rp 145.712.000

    Harga emas 250 gram: Rp 364.015.500

    Harga emas 500 gram: Rp 727.820.000

    Harga emas 1.000 gram: Rp 1.455.600.000

    Demikian rincian harga emas hari ini keluaran Antam 1 gram hingga 1.000 gram, Jumat (20/12/2024).

    (fdl/fdl)

  • Yang perlu diketahui publik soal kenaikan PPN 12 persen

    Yang perlu diketahui publik soal kenaikan PPN 12 persen

    Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto (tengah) bersama Menteri Keuangan Sri Mulyani (ketiga kanan), Menteri Perindustrian Agus Gumiwang (kedua kanan), Menteri UMKM Maman Abdurrahman (kanan), Menteri Perdagangan Budi Santoso (kedua kiri), Menteri Ketenagakerjaan Yassierli (kiri), dan Menteri Perumahan dan Kawasan Pemukiman Maruarar Sirait (ketiga kiri) berpegangan tangan usai konferensi pers di kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta, Senin (16/12/2024). ANTARA FOTO/Asprilla Dwi Adha

    Yang perlu diketahui publik soal kenaikan PPN 12 persen
    Dalam Negeri   
    Editor: Calista Aziza   
    Kamis, 19 Desember 2024 – 07:38 WIB

    Elshinta.com – Rencana kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen resmi dilanjutkan oleh Pemerintah. Tarif ini bakal berlaku mulai 1 Januari 2025.

    Bersamaan dengan itu, Pemerintah menyiapkan paket stimulus ekonomi yang menyasar enam aspek, yakni rumah tangga, pekerja, UMKM, industri padat karya, mobil listrik dan hibrida, serta properti.

    Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyebut paket stimulus itu dirancang sekomprehensif mungkin untuk bisa memberikan keseimbangan antara data perekonomian dengan masukan dari berbagai pihak.

    Namun, reaksi publik menyangsikan keputusan Pemerintah yang dianggap makin menekan kemampuan ekonomi rakyat. Publik masih belum berhenti meminta Pemerintah untuk membatalkan kebijakan PPN 12 persen.

    Penjelasan PPN 12 persen

    Dalam beberapa kesempatan sebelumnya, Presiden Prabowo Subianto maupun DPR menyatakan tarif PPN 12 persen akan diterapkan secara selektif, utamanya menyasar kelompok barang mewah.

    Dari konferensi pers Senin (16/12), Pemerintah mengumumkan tarif tunggal PPN, yakni sebesar 12 persen, namun dengan fasilitas pembebasan terhadap barang dan jasa kebutuhan pokok serta pajak ditanggung pemerintah (DTP) terhadap tiga komoditas.

    Barang dan jasa kebutuhan pokok yang dimaksud dalam definisi Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), adalah barang dan jasa kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak, di antaranya beras, gabah, jagung, sagu, kedelai, garam, daging, telur, susu, buah-buahan, dan sayur-sayuran.

    Untuk jasa, mencakup jasa kesehatan, jasa pelayanan sosial, jasa keuangan, jasa asuransi, jasa pendidikan, jasa angkutan umum, dan jasa tenaga kerja. Buku, vaksin polio, rumah sederhana dan sangat sederhana, rusunami, serta pemakaian listrik dan air minum pun termasuk yang mendapat fasilitas pembebasan PPN.

    Sementara itu, terdapat tiga komoditas yang seharusnya termasuk dalam objek pajak PPN 12 persen, tetapi kenaikan tarif 1 persen ditanggung oleh Pemerintah karena dianggap sangat dibutuhkan oleh masyarakat umum. Ketiga komoditas itu  adalah tepung terigu, gula untuk industri, dan minyak goreng rakyat atau MinyaKita.

    Di luar dua kelompok itu, tarif PPN yang dikenakan adalah sebesar 12 persen.

    Terkait barang mewah, Pemerintah melakukan penyesuaian terhadap definisi barang mewah dalam kebijakan PPN 12 persen.

    Dari paparan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, konsep barang mewah selama ini mengacu pada ketentuan pengenaan pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM), yang terdiri dari dua kelompok, yaitu kendaraan bermotor dan non-kendaraan bermotor.

    Untuk non-kendaraan bermotor, rinciannya diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 15 Tahun 2023, di antaranya hunian mewah, balon udara, peluru dan senjata api, pesawat udara, serta kapal pesiar mewah.

    Adapun dalam konteks PPN 12 persen, Pemerintah memperluas kelompok barang mewah dengan turut menyasar barang kebutuhan pokok, jasa kesehatan, dan jasa pendidikan yang dikonsumsi oleh kalangan mampu — atau yang disebut oleh Sri Mulyani sebagai barang dan jasa premium.

    Mengacu pada definisi di UU HPP, kelompok-kelompok tersebut seharusnya mendapat fasilitas pembebasan PPN. Namun, karena sifatnya yang premium, Pemerintah bakal menarik PPN 12 persen terhadap barang dan jasa tersebut.

    Sebagai contoh, dalam UU HPP, daging termasuk barang kebutuhan pokok yang dibebaskan dari PPN. Namun, daging wagyu dan kobe nantinya bakal termasuk golongan yang dikenakan tarif PPN 12 persen. Sama halnya, ikan juga termasuk komoditas yang dibebaskan dari PPN, tetapi salmon dan tuna yang lebih banyak dikonsumsi masyarakat kelompok atas bakal diterapkan tarif 12 persen.

    Adapun untuk jasa pendidikan, yang termasuk objek pengenaan PPN adalah sekolah dengan iuran tinggi. Untuk jasa kesehatan, layanan VIP menjadi contoh jasa yang dianggap premium.

    Listrik pelanggan rumah tangga 3500-6600 VA juga akan dimasukkan dalam objek pajak tarif PPN 12 persen.

    Untuk detail lebih lanjut mengenai barang dan jasa yang menjadi objek pajak PPN 12 persen maupun yang diberikan insentif akan dituangkan dalam peraturan yang diterbitkan belakangan, bisa berupa peraturan menteri maupun peraturan pemerintah.

    Paket stimulus ekonomi

    Paket stimulus disiapkan untuk meredam efek kenaikan tarif PPN.

    Untuk merespons risiko daya beli masyarakat, Pemerintah menyediakan tiga stimulus untuk mendukung rumah tangga,  yakni bantuan beras sebanyak 10 kilogram per bulan yang akan dibagikan pada Januari dan Februari 2025, PPN DTP untuk tiga komoditas, dan diskon sebesar 50 persen untuk listrik di bawah 2.200 VA.

    Untuk memitigasi risiko pemutusan hubungan kerja (PHK), Pemerintah memperkuat program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP). Pemerintah melakukan penyesuaian terhadap nilai manfaat dan masa klaim. Besarannya diubah menjadi 60 persen untuk enam bulan masa penerimaan manfaat (dari sebelumnya 45 persen pada tiga bulan pertama dan 25 persen pada tiga bulan berikutnya) dengan masa klaim diperpanjang menjadi enam bulan setelah terkena PHK.

    Program JKP juga menyediakan akses informasi pasar kerja serta pelatihan keterampilan untuk membantu peserta program mendapatkan pekerjaan baru.

    Untuk risiko kerentanan pengusaha, disiapkan stimulus untuk UMKM, yakni perpanjangan insentif PPh final sebesar 0,5 persen bagi pengusaha dengan omzet di bawah Rp500 juta per tahun.

    Paket stimulus ekonomi berikutnya menyasar industri padat karya. Terdapat insentif PPh 21 DTP bagi pekerja dengan gaji sampai dengan Rp10 juta per bulan, bantuan pembiayaan dengan subsidi bunga 5 persen, serta bantuan jaminan kecelakaan kerja sebesar 50 persen selama 6 bulan.

    Pemerintah juga menyiapkan insentif untuk pembelian kendaraan listrik dan hibrida berupa PPN dan PPnBM, dengan rincian PPN DTP sebesar 10 persen untuk kendaraan bermotor listrik berbasis baterai (KBLBB) completely knocked down (CKD), PPnBM DTP 15 persen untuk KBLBB impor completely built up (CBU) dan CKD, serta bea masuk 0 persen untuk KBLBB CBU. Juga, PPnBM DTP sebesar 3 persen untuk kendaraan bermotor hibrida.

    Terakhir, paket stimulus menyasar sektor properti, dengan memperpanjang insentif PPN DTP untuk rumah dengan harga jual sampai dengan Rp5 miliar. PPN yang ditanggung maksimal untuk harga Rp2 miliar, dengan rincian diskon 100 persen untuk Januari-Juni 2025 dan 50 persen untuk Juli-Desember 2025.

    Dampak terhadap ekonomi

    Salah satu dampak yang disorot dari kebijakan tarif PPN 12 persen adalah potensi inflasi yang tinggi pada tahun depan. Center of Economics and Law Studies (Celios) memperkirakan kenaikan tarif PPN 12 persen pada 2025 bisa meningkatkan inflasi hingga ke level 4,11 persen. Sebagai catatan, inflasi per November 2024 tercatat sebesar 1,55 persen (year-on-year/yoy).

    Celios juga menghitung kenaikan PPN bisa menambah pengeluaran kelompok miskin sebesar Rp101.880 per bulan. Sementara kelompok kelas menengah mengalami kenaikan pengeluaran sebesar Rp354.293 per bulan.

    Sementara itu, Bank Indonesia (BI) menyebut dampak PPN 12 persen terhadap inflasi tak terlalu signifikan. Berdasarkan proyeksi Deputi Gubernur BI Aida S Budiman, efek PPN terhadap inflasi berkisar 0,2 persen.

    Dari sisi Pemerintah, Deputi Bidang Koordinasi Pengelolaan dan Pengembangan Usaha Badan Usaha Milik Negara Kemenko Perekonomian Ferry Irawan menyebut risiko kenaikan inflasi itu telah diantisipasi, yang terefleksi pada kehadiran paket stimulus bantuan pangan dan diskon listrik 50 persen pada Januari-Februari 2025. Insentif diberikan selama dua bulan untuk menjaga tingkat inflasi pada kuartal I, yang diyakini berperan penting dalam menentukan tingkat inflasi sepanjang tahun.

    Namun, efektivitas dari paket stimulus yang disiapkan Pemerintah banyak dipertanyakan. Salah satu komentar datang dari Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede yang menyebut keuntungan stimulus bersifat jangka pendek. Sementara untuk jangka panjang, perlu ada evaluasi lebih lanjut oleh Pemerintah.

    Senada dengan itu, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal menyatakan bahwa pemberian berbagai insentif tidak cukup untuk mengurangi dampak kenaikan PPN menjadi 12 persen. Pasalnya, kinerja permintaan maupun industri sudah terlanjur melemah. Meski ada insentif untuk industri padat karya, misalnya, industri ini sudah telanjur terpuruk, seperti yang terlihat pada industri tekstil dan industri alas kaki.

    Di sisi lain, juga ada sejumlah optimisme terhadap kebijakan tarif PPN 12 persen.

    Contohnya, peneliti Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet yang menilai paket stimulus bersifat inklusif dalam memitigasi dampak kenaikan tarif PPN. Tetapi, dia turut mewanti-wanti soal terbatasnya durasi dan jangkauan tiap insentif.

    Kemudian, Kepala Center of Food, Energy and Sustainable Development Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Abra Talattov berpendapat insentif diskon listrik dapat membantu meringankan beban biaya hidup, terutama bagi keluarga dengan penghasilan terbatas yang sebagian besar bergantung pada tarif listrik bersubsidi. Dia meminta Pemerintah memastikan pemberian diskon tarif listrik pada awal tahun depan agar tepat sasaran.

    Selain itu, ia juga mendorong Pemerintah melakukan evaluasi secara hati-hati agar efek kebijakan tidak hanya bersifat sementara, tetapi berdampak besar pada pola konsumsi jangka panjang.

    Bila hasil evaluasi menunjukkan dampak positif terhadap peningkatan konsumsi masyarakat, Pemerintah dapat mempertimbangkan untuk melanjutkan stimulus tersebut.

    Secara keseluruhan, paket stimulus Pemerintah dinilai bersifat temporer. Terlebih, rata-rata insentif merupakan perpanjangan atau penguatan dari kebijakan yang telah ada sebelumnya.

    Direktur Celios Bhima Yudhistira menyerukan agar Pemerintah mengkaji alternatif kebijakan tarif PPN. Menurutnya, memperluas basis pajak, penerapan pajak kekayaan, dan memberantas celah penghindaran pajak, lebih efektif meningkatkan penerimaan negara tanpa perlu membebani masyarakat.

    Sumber : Antara