Produk: Peraturan Menteri Keuangan (PMK)

  • Dirjen Pajak Pastikan Netflix Cs Hanya Kena PPN 11 Persen

    Dirjen Pajak Pastikan Netflix Cs Hanya Kena PPN 11 Persen

    Jakarta, CNN Indonesia

    Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Suryo Utomo memastikan layanan berlangganan, seperti Netflix, tetap pada tarif PPN 11 persen.

    “Kalau Netflix ini kan tidak termasuk yang (daftar barang) mewah tadi ya yang (dipungut PPN) 12 persen,” ucap Suryo dalam Media Briefing di DJP Kemenkeu, Jakarta Selatan, Kamis (2/1).

    “Kalau rumus saya, sepanjang tidak masuk ke yang tadi, daftar yang pertama tadi (daftar barang mewah), ya kenanya tetap di posisi sama seperti saat ini (PPN 11 persen). Tidak ada kenaikan (PPN untuk Netflix Cs),” tegasnya.

    Pemerintah mulanya akan mengerek PPN dari 11 persen ke 12 persen mulai 1 Januari 2025. Rencana tersebut berlaku secara umum untuk barang dan jasa yang selama ini dipungut pajak.

    Pijakan yang dipakai pemerintah adalah UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan alias UU HPP. Para pelaku usaha pemungut pajak pun sudah bersiap menarik PPN 12 persen dari masyarakat Indonesia.

    Akan tetapi, Presiden Prabowo Subianto membatalkannya pada 31 Desember 2024 malam. Sang Kepala Negara menegaskan kenaikan PPN di tahun ini hanya berlaku untuk barang mewah, seperti pesawat jet hingga yacht.

    Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 131 Tahun 2024 pun terbit tepat di akhir tahun lalu. Ini mengatur tentang Perlakuan PPN Atas Impor Barang Kena Pajak, Penyerahan Barang Kena Pajak, Penyerahan Jasa Kena Pajak, Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari Luar Daerah Pabean di Dalam Daerah Pabean, dan Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari Luar Daerah Pabean di Dalam Daerah Pabean.

    Jalan tengah itu mengatur dasar pengenaan pajak (DPP) nilai lain untuk barang dan jasa yang tidak masuk kelompok mewah. DPP nilai lain ditetapkan sebesar 11/12 dari tarif 12 persen, sehingga PPN yang dipungut tetap 11 persen.

    “Ini yang menjadi pertimbangan sebetulnya. Instead of yang lain, ini yang paling visible untuk kita jalankan. Dalam pemahaman kami, ya undang-undang memberikan ruang untuk itu. Jadi, satu sisi undang-undang tetap jalan, tapi di sisi yang lain masyarakat ya tadi, kenapa muncul? Karena pemerintah mendengarkan,” jelas Suryo.

    “Makanya terakhir, sampai dengan posisi Bapak Presiden (Prabowo) menyampaikan (pembatalan PPN 12 persen di 31 Desember 2024) itulah hasil dari kebijakan atau policy yang dikeluarkan oleh pemerintah,” tutupnya.

    (skt/agt)

  • Vidio Buka Suara soal Penerapan Pajak 12% untuk Paket Platinum Cs

    Vidio Buka Suara soal Penerapan Pajak 12% untuk Paket Platinum Cs

    Bisnis.com, JAKARTA – Vidio, platform streaming milik PT Surya Citra Media Tbk. (EMTK), mengungkapkan penerapan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12% pada paket langganan telah sesuai dengan peraturan yang berlaku. 

    Corporate Communication Head Emtek Beverly Gunawan mengatakan perusahaan selalu tunduk atas peraturan yang diterapkan pemerintah, tak terkecuali peraturan mengenai PPN 12%. Dengan penetapan PPN yang mulai berlaku pada 1 Januari 2025, maka harga layanan Vidio ikut terkerek.

    “Vidio selalu berkomitmen untuk mematuhi setiap peraturan pemerintah, termasuk kenaikan pajak menjadi 12% yang akan berlaku pada tahun 2025,” kata Beverly kepada Bisnis, Kamis (2/1/2025).

    Diketahui, pemerintah resmi mengundangkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 131/2024 yang mengatur tentang pengenaan tarif pajak pertambahan nilai atau PPN 12% khusus untuk barang mewah.

    Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 131/2024 itu resmi ditandangani dan diundangkan pada 31 Desember 2024. Dalam Pasal 2 ayat (2), dan (3), ditegaskan bahwa tarif PPN 12% hanya berlaku untuk barang mewah.

    Pasal 2 ayat (2) menjelaskan pengenaan PPN dihitung dengan cara mengalikan tarif 12% dengan Dasar Pengenaan Pajak berupa harga jual atau nilai impor. Kemudian Pasal 3 ayat (3) menegaskan:

    Barang Kena Pajak dengan Dasar Pengenaan Pajak berupa harga jual atau nilai impor sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah berupa kendaraan bermotor dan selain kendaraan bermotor yang dikenai pajak penjualan atas barang mewah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.

    Kemudian, Pasal 5 menjelaskan ketentuan bagi pelaku usaha yang memungut PPN. Dijelaskan selama 1—31 Januari 2025, PPN yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif 12% dengan Dasar Pengenaan Pajak berupa nilai lain sebesar 11/12 (sebelas per dua belas) dari harga jual.

    Kemudian mulai 1 Februari 2025 dan seterusnya, berlaku ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2).

    “Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2025,” tutup Pasal 6 PMK tersebut.

    Masyarakat menonton video streaming di smartphonePerbesar

    Sebagai informasi, notabenenya tarif PPN 12% akan berlaku untuk semua barang/jasa dengan pengecualian kebutuhan pokok seperti bahan makanan hingga jasa pendidikan. Hanya saja, pemerintah berubah pikiran di detik-detik terakhir.

    Berdasarkan Undang-Undang No. 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), kenaikan tarif PPN dari 11% menjadi 12% akan mulai berlaku pada hari ini, Rabu (1/1/2025).

    Sehari sebelumnya, Presiden Prabowo Subianto mengumumkan tarif PPN 12% hanya akan dikenai untuk barang mewah yang selama ini diatur dalam peraturan perundang-undangan.

    Adapun Vidio menerapkan pajak pertambahan nilai 12% untuk paket platinium dan paket lainnya.

    Berdasarkan salah satu tangkapan layar, pelanggan harus membayar paket Vidio Platinium senilai Rp32.480/bulan, dengan perincian Rp3.480 untuk pajak dan Rp29.000 untuk paket bulanan. Adapun jika dihitung kembali, nilai pajak mencapai 12% dari harga pokok langganan.

    Dengan paket tersebut, pengguna dapat mengakses sejumlah layanan seperti video streaming sport, movies, dan series. 

    Sementara itu, Ketua Pusat Kajian Kebijakan dan Regulasi Telekomunikasi ITB Ian Yosef M. Edward mengatakan pemerintah belum jelas mengenai definisi barang mewah yang dikenakan PPN 12%. 

    Hal tersebut berdampak pada implementasi PPN 12% di sejumlah layanan VoD, tak terbatas di Vidio. 

    Menurutnya platform video berbasis permintaan atau Video on Demand (VoD) berani menerapkan PPN karena platform tersebut bukanlah layanan pokok. 

    “Video streaming berbasis permintaan adalah layanan add on bukan basic service/layanan dasar digital maka dapat dikategorikan sebagai yang layanan yang terkena 12%,” kata Ian. 

  • Pemerintah Tetapkan Masa Transisi PPN 12 Persen Selama Satu Bulan – Halaman all

    Pemerintah Tetapkan Masa Transisi PPN 12 Persen Selama Satu Bulan – Halaman all

    Laporan Wartawan Tribunnews.com, Nitis Hawaroh

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Pemerintah memberikan masa transisi selama satu bulan untuk beberapa barang mewah yang nantinya terkena Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12 persen, sejalan dengan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 131 Tahun 2024.

    “Jadi secara prinsip kami pun juga memberikan atau kita mengeluarkan waktu transisi karena faktur pajak yang dibuat oleh wajib pajak sebagian besar sudah dokumen dalam bentuk digital secara sistem,” kata Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Suryo Utomo, Kamis (2/1/2025).

    Suryo mengatakan, masa transisi ini dilakukan untuk pengusaha retail seiring dengan perubahan kebijakan PPN dari 11 persen menjadi 12 persen. Sehingga sistem administrasi juga perlu dilakukan penyesuaian.

    “Kalau transisinya, ya karena tadi berubah dari 11 ke 12 persen berarti sistem administrasi harus dilakukan penyesuaian,” jelasnya.

    Adapun dalam Pasal 5 PMK 131 Tahun 2024, disebutkan pengenaan tarif pajak 12 persen untuk barang mewah akan dikenakan mulai 1 Februari 2024.

    Sedangkan dari 1 Januari 2025 sampai 31 Januari 2025 PPN terutangnya dihitung dengan cara mengalikan tarif 12 persen dengan dasar pengenaan pajak (DPP) berupa nilai lain yang sebesar 11/12 dari harga jual.

    “Karena terbitnya PMK ini di penghujung tahun, otomatis kami juga tadi merencanakan transisi pembuatan faktur pajaknya akan seperti apa. Ini yang tadi kami diskusi, mudah-mudahan dalam beberapa hari ke depan kita bisa menentukan dikira-kira transisinya akan kita bentuk seperti apa,” ungkapnya.

    Adapun sebelumnya Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan bahwa kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen hanya berlaku pada barang yang terkena Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM).

    “PPN yang naik dari 11 ke 12 persen hanya berlaku untuk barang dan jasa mewah yang selama ini sudah terkena PPnBM yaitu pajak penjualan barang mewah,” kata Sri Mulyani dalam Konferensi Pers di Kementerian Keuangan, Selasa (31/12/2024).

    Bendahara negara itu bilang, kategori barang mewah yang dimaksud adalah pesawat jet, kapal pesiar, yacht dan rumah mewah yang nilainya telah diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 15 Tahun 2023 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 96/PMK.03/2021.

    PMK tersebut mengatur tentang Penetapan Jenis Barang Kena Pajak Selain Kendaraan Bermotor yang Dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah dan Tata Cara Pengecualian Pengenaan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.

    “Artinya yang disampaikan oleh Bapak Presiden, untuk barang dan biasa lain yang selama ini terkena 11 persen tidak mengalami kenaikan PPN menjadi 12 jadi tetap 11 persen,” jelas dia. 

    Sri Mulyani menegaskan bahwa seluruh barang dan jasa yang selama ini terkena PPN 11 persen tidak mengalami kenaikan atau tetap 11 persen.

    “Tidak ada kenaikan PPN untuk hampir seluruh barang dan biasa yang selama ini tetap 11 persen,” papar dia.

    Dia juga merincikan bahwa ada beberapa barang dan jasa mengalami pengecualian atau PPN nya hanya 0 persen meliputi barang pokok, misalnya beras, jagung, kedelai, buah-buahan, sayur-sayuran, ubi jalar.

    Kemudian gula, ternak dan hasilnya, susu segar, unggas, hasil pemotongan hewan, kacang tanah, kacang-kacangan lain, padian-padian yang lain, kemudian ikan, udang, biota lainnya, rumput laut.

    “Kemudian juga tiket kereta api, tiket bandara, angkutan orang, jasa angkutan umum, jasa angkutan sungai dan penyeberangan, penyerahan jasa paket penggunaan besar tertentu, penyerahan pengurusan paspor, jasa biro perjalanan, kemudian jasa pendidikan, pemerintah dan swasta, buku-buku pelajaran, kitab suci,” terangnya.

    Selaim itu, jasa kesehatan dan layanan medis pemerintah maupun swasta, jasa keuangan, dana pensiun, jasa keuangan lain seperti pembiayaan piutang, kartu kredit, asuransi kerugian, asuransi jiwa serta reasuransi tetap mendapatkan fasilitas PPN 0 persen atau tidak membayar PPN.

    “Sedangkan seluruh barang jasa yang lain yang selama ini 11 persen, tetap 11 persen, tidak ada atau tidak terkena kenaikan 12 persen,” ungkap dia.

  • Wajib Pajak Telanjur Bayar PPN 12%, Ditjen Pajak Janji Kembalikan Kelebihan Bayar

    Wajib Pajak Telanjur Bayar PPN 12%, Ditjen Pajak Janji Kembalikan Kelebihan Bayar

    Bisnis.com, JAKARTA – Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan (Kemenkeu) memastikan wajib pajak dapat mengajukan pengembalian kelebihan pembayaran pajak jika ada yang telah melakukan pembayaran dengan nilai Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12%.

    Direktur Jenderal Pajak Kemenkeu, Suryo Utomo menjelaskan pihaknya saat ini tengah merancang skema pengembalian kelebihan pembayaran pajak tersebut. Dia memastikan hak para wajib pajak akan dikembalikan jika ada kelebihan pembayaran.

    “Prinsipnya kalau pembayarannya (PPN) kelebihan ya bisa dikembalikan. Pengembaliannya bisa bermacam-macam. Dikembalikan ke yang bersangkutan bisa, atau menggunakan faktur pajak nanti dilaporkan ke kami (Ditjen Pajak) juga tidak masalah,” kata Suryo dalam Konferensi Pers di Kantor Ditjen Pajak, Jakarta pada Kamis (2/1/2025).

    Pernyataan tersebut merupakan respons dari keluhan masyarakat bahwa mereka tetap dikenakan PPN 12% dalam transaksi platform digital meskipun tidak termasuk golongan barang mewah.

    Salah satu platform yang telah menerapkan PPN 12% adalah aplikasi video berbasis permintaan, Vidio, yang menerapkan pajak untuk paket Platinum. 

    Berdasarkan salah satu tangkapan layar, pelanggan harus membayar paket Vidio Platinium senilai Rp32.480/bulan, dengan perincian Rp3.480 untuk pajak dan Rp29.000 untuk paket bulanan. Adapun jika dihitung kembali, nilai pajak mencapai 12% dari harga pokok langganan.

    Suryo melanjutkan, pihaknya juga telah bertemu dengan para pelaku usaha, terutama peritel, pada Kamis pagi tadi. 

    Pertemuan tersebut membahas situasi para pelaku terkait penerapan PPN terbaru tersebut. Dari pertemuan itu, dia mengatakan sudah ada pelaku usaha yang menggunakan skema perhitungan PPN sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No 131/2024.

    “Tetapi ternyata masih mix. Kami akan bikin aturan soal itu (pengembalian kelebihan pembayaran pajak) terutama juga nanti pada waktu penerbitan faktur pajaknya,” kata Suryo.

    Sementara itu, Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Kepatuhan Perpajakan Yon Arsal menambahkan bahwa hak wajib pajak tetap dijamin sepenuhnya. Dia berharap mekanisme pengembalian kelebihan pembayaran pajak tersebut akan diumumkan dalam beberapa hari ke depan.

    “Mekanismenya sedang kita siapkan. Pokoknya hak wajib pajak tidak ada yang kita ambil melebihi yang seharusnya mereka bayar,” katanya.

    Adapun, dalam PMK No. 131/2024, tarif pajak pertambahan nilai (PPN) akan tetap sebesar 12% untuk semua barang/jasa. Hanya saja, tarif dasar pengenaan pajak (DPP) ada dua. 

    Dalam Pasal 2 ayat (2) dan (3), dijelaskan pengenaan PPN untuk barang mewah dihitung dengan cara mengalikan tarif 12% dengan DPP berupa harga jual atau nilai impor sebesar 12/12 dari harga jual/nilai impor.

    Sementara itu, Pasal 3 ayat (2) dan (3) menegaskan pengenaan PPN untuk barang/jasa lain yang bukan tergolong mewah dihitung dengan cara mengalikan tarif 12% dengan DPP berupa nilai lain sebesar 11/12 dari harga jual atau nilai impor atau penggantian.

    Dengan nilai DPP yang dibedakan menjadi dua itu, skema penghitungan PPN-nya menjadi seperti berikut: 

    a. 12% x DPP = 12% x (12%/12% x nilai transaksi); 

    b. 12% x DPP = 12% x (11%/12% x nilai transaksi).

  • Bos Pajak soal Rp75 T Melayang Imbas Batal PPN 12 Persen: Otomatis

    Bos Pajak soal Rp75 T Melayang Imbas Batal PPN 12 Persen: Otomatis

    Jakarta, CNN Indonesia

    Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan gagal mendapatkan Rp75 triliun usai pajak pertambahan nilai (PPN) batal naik ke 12 persen di 2025.

    Dirjen Pajak Suryo Utomo tidak membenarkan atau membantah angka tersebut. Ia hanya menegaskan bakal mencari sumber-sumber penerimaan lain.

    “Strateginya gimana (menggenjot penerimaan pajak 2025)? Ya, saya optimalisasi penerimaan (pajak),” katanya dalam Media Briefing di DJP Kemenkeu, Jakarta Selatan, Kamis (2/1).

    “Karena (pembatalan PPN 12 persen untuk semua barang dan jasa) otomatis ada sesuatu yang hilang, yang kita gak dapatkan. Ya, kita mencari optimalisasi di sisi yang lain, di antaranya ada ekstensifikasi dan intensifikasi,” imbuh Suryo.

    PPN mulanya akan dinaikkan dari 11 persen ke 12 persen mulai 1 Januari 2025. Ini sesuai dengan ketetapan dalam UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan alias UU HPP.

    Akan tetapi, sikap pemerintah berubah. Presiden Prabowo Subianto memutuskan pada 31 Desember 2024 malam bahwa PPN 12 persen hanya berlaku untuk barang mewah, yakni yang selama ini dipungut pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM).

    Sedangkan potensi pendapatan Rp75 triliun sempat diungkap Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu. Ia mengatakan pendapatan sebesar itu bakal dikantongi negara andai kenaikan PPN 12 persen diberlakukan secara umum.

    Angka serupa juga dipakai Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad. Ia bahkan sudah menghitung potensi penerimaan dari skema PPN 12 persen hanya untuk barang mewah bakal lebih kecil.

    “Dengan penerapan kebijakan ini hanya menambah Rp3,2 triliun pada APBN 2025 dari potensi penerimaan Rp75 triliun apabila kenaikan PPN menjadi 12 persen diberlakukan penuh pada semua barang dan jasa,” ujar Dasco di Instagram pribadinya @sufmi_dasco, Selasa (31/12).

    Aturan turunan soal PPN ditetapkan dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 131 Tahun 2024 tentang Perlakuan PPN Atas Impor Barang Kena Pajak, Penyerahan Barang Kena Pajak, Penyerahan Jasa Kena Pajak, Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari Luar Daerah Pabean di Dalam Daerah Pabean, dan Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari Luar Daerah Pabean di Dalam Daerah Pabean. Beleid ini diteken Menteri Keuangan Sri Mulyani pada hari terakhir 2024.

    Tarif 12 persen diberlakukan untuk barang-barang mewah. Sedangkan sisanya, selain yang mendapatkan fasilitas bebas PPN, dipungut dengan dasar pengenaan pajak (DPP) nilai lain sebesar 11/12 dari tarif 12 persen.

    (skt/agt)

  • Baru Berlaku Februari 2025, Kemenkeu Berikan Masa Transisi Penerapan PPN 12% Barang Mewah

    Baru Berlaku Februari 2025, Kemenkeu Berikan Masa Transisi Penerapan PPN 12% Barang Mewah

    Bisnis.com, JAKARTA – Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan (Kemenkeu) memberikan masa transisi untuk pengenaan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) 12% bagi barang mewah. 

    Direktur Jenderal Pajak Kemenkeu, Suryo Utomo memaparkan, masa transisi ini juga telah termuat dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No 131/2024. 

    “Secara prinsip kami pun juga memberikan atau memberikan waktu transisi,” kata Suryo dalam Konferensi Pers di Kantor Ditjen Pajak, Jakarta pada Kamis (2/1/2025).

    Secara terperinci, pengenaan tarif pajak 12% untuk barang mewah akan dikenakan mulai 1 Februari 2025 mendatang. Sementara itu, dari 1 Januari 2025 sampai 31 Januari 2025 PPN terutang akan dihitung dengan cara mengalikan tarif PPN 12% dengan dasar pengenaan pajak (DPP) berupa nilai lain sebesar 11/12 dari harga jual.

    Suryo menjelaskan, transisi ini diberikan kepada para pengusaha kena pajak yang menjadi pihak pemungut PPN bertarif 12% khusus untuk barang mewah. Hal tersebut karena mereka harus melakukan penyesuaian faktur pajaknya.

    “Karena faktur pajak yang dibuat wajib pajak sebagian besar sudah dalam dokumen digital secara sistem. Otomatis waktu ubah sistem kami beri rentang waktu yang cukup bagi teman-teman wajib pajak untuk menyiapkan sistemnya,” kata Suryo.

    Sementara itu, Suryo mengatakan fase transisi ini tidak berlaku untuk tarif PPN yang bukan barang mewah. Hal tersebut karena tarif akhir barang atau jasa tersebut masih tetap sebesar 11%.

    Pasal 3 ayat 2 PMK No 131/2024 menjelaskan, untuk barang kena pajak (BKP) yang tidak tergolong barang mewah, pengenaan PPN dihitung dengan cara mengalikan tarif 12% dengan DPP berupa nilai lain. 

    Adapun, pasal 3 ayat 3 beleid yang sama juga memperinci nilai lain yang dimaksud berasal dari nilai impor, harga jual ataupun penggantian yang dihitung sebesar 11/12.

  • LCGC Dihantam Tarif PPN 12 Persen

    LCGC Dihantam Tarif PPN 12 Persen

    Jakarta, CNN Indonesia

    Kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 11 menjadi 12 persen berlaku untuk produk kendaraan bermotor yang dikenakan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM).

    “Saat ini, PPN 12 persen hanya dikenakan untuk Barang Kena Pajak yang tergolong mewah yang saat ini dikenakan PPnBM, termasuk kendaraan bermotor,” kata Analis Kebijakan Ahli Madya Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan RI Rustam Effendi kepada CNNIndonesia.com, Kamis (2/1).

    Menurut Rustam, ketentuan itu berdampak pada hampir seluruh jenis kendaraan mulai mobil harga terjangkau dan ramah lingkungan (Low Cost Green Car/LCGC).

    “Iya [LCGC kena imbas PPN 12 persen],” ucapnya.

    Pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 131 Tahun 2024 tentang Perlakuan PPN Atas Impor Barang Kena Pajak, Penyerahan Barang Kena Pajak, Penyerahan Jasa Kena Pajak, Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari Luar Daerah Pabean di Dalam Daerah Pabean, dan Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari Luar Daerah Pabean di Dalam Daerah Pabean.

    Beleid itu ditetapkan pada 31 Desember 2024. Pertimbangan sang Bendahara Negara merilis aturan ini adalah mewujudkan aspek keadilan dalam penerapan PPN di masyarakat.

    “Barang kena pajak dengan dasar pengenaan pajak berupa harga jual atau nilai impor sebagaimana dimaksud pada ayat 2 merupakan barang kena pajak yang tergolong mewah berupa kendaraan bermotor dan selain kendaraan bermotor yang dikenai pajak penjualan atas barang mewah, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan,” jelas pasal 2 ayat 3 beleid itu, dikutip Kamis (2/1).

    Sedangkan daftar barang mewah yang dikenai pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) diatur dalam PMK Nomor 141 Tahun 2021. Lalu, dirinci juga dalam PMK Nomor 15 Tahun 2023 terkait daftar barang bawah mewah kena pajak selain kendaraan bermotor.

    Saat pertama kali meluncur pada 2013, mobil LCGC mendapat fasilitas berupa keringanan PPnBM 0 persen seperti tertuang dalam Peraturan Menteri Perindustrian No. 33/M-IND/PER/7/2013 tentang Pengembangan Produksi Kendaraan Bermotor Roda Empat yang Hemat Energi dan Harga Terjangkau.

    Agar produsen bisa menikmati insentif tersebut, para produsen harus memenuhi ketentuan salah satunya konsumsi bahan bakar yaitu kapasitas isi silinder 980-1200 cc dengan konsumsi bahan bakar minyak (BBM) paling sedikit 20 km/liter.

    Namun pada Oktober 2022, mobil LCGC sudah tidak lagi diberikan diskon PPnBM, sehingga LCGC dikenakan pajak 3 persen sesuai aturan berlaku.

    Sebelumnya, Ketua Umum Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) Yohanes Nangoi mengatakan kenaikan PPN menjadi 12 persen tidak akan berdampak negatif pada penjualan kendaraan karena pemerintah menggelontorkan insentif-insentif fiskal.

    “Kenaikan pajak pertambahan nilai atau PPN menjadi 12 persen pada 1 Januari 2025 mendatang tidak akan berdampak negatif pada potensi penjualan, dan bahkan dapat diabaikan,” kata Ketua Umum Gaikindo Yohanes Nangoi dalam keterangan resmi, Desember 2024.

    Menurut Yohanes, kebijakan insentif fiskal awal Januari 2025 dapat mengeliminasi kekhawatiran pemain industri kendaraan bermotor akan risiko kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen pada tahun ini.

    (can/mik)

    [Gambas:Video CNN]

  • Menkeu Sri Mulyani: ‘Hari-hari Ini Kalau Ngomongin Pajak, Ada yang Sering Nyelomotin Saya’ – Halaman all

    Menkeu Sri Mulyani: ‘Hari-hari Ini Kalau Ngomongin Pajak, Ada yang Sering Nyelomotin Saya’ – Halaman all

     

    Laporan wartawan Tribunnews.com, Endrapta Pramudhiaz

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Menteri Keuangan Sri Mulyani mengakui saat ini perpajakan tengah menjadi isu yang sensitif.

    Hal itu ia sampaikan ketika memberi sambutan dalam acara Peresmian Pembukaan Perdagangan Bursa Efek Indonesia (BEI) Tahun 2025, Kamis (2/1/2025).

    Sri Mulyani awalnya membicarakan implementasi pajak karbon dan regulasi batas atas emisi sektoral untuk mendorong pengembangan bursa karbon.

    Ia mengatakan akan berkoordinasi dengan kementerian terkait untuk membicarakan hal tersebut.

    “Jadi kami akan terus berkoordinasi dengan para menteri dan lembaga terkait, terutama dengan Kementerian Perdagangan, karena dalam hal ini kita terus akan memperkuat termasuk berbagai instansi seperti Kementerian ESDM dan bahkan transportasi,” ujar Sri Mulyani.

    Setelah itu, mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu pun menyinggung bagaimana perpajakan tengah menjadi isu yang sensitif belakangan ini.

    “Hari-hari ini kalau ngomong pajak, ada yang sering sudah nyelomotin saya, sering banget,” ujar Sri Mulyani.

    Isu perpajakan tengah menjadi perbicangan hangat karena kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen pada tahun ini.

    Kenaikan PPN menjadi 12 persen ini merupakan amanat dari Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2024 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).

    PPN 12 persen menjadi polemik di kalangan masyarakat. Kebijakan ini dinilai akan mendatangkan dampak buruk. Gelombang penolakan pun datang dari berbagai kalangan.

    Akhirnya, pemerintah memutuskan untuk memberlakukan PPN 12 persen hanya untuk barang dan jasa mewah yang selama ini sudah terkena Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPnBM).

    Barang mewah itu berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 15 Tahun 2023 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 96/PMK.03/2021.

    PMK tersebut mengatur tentang Penetapan Jenis Barang Kena Pajak Selain Kendaraan Bermotor yang Dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah dan Tata Cara Pengecualian Pengenaan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.

    Lantas, barang apa saja yang terkena PPN 12 persen?

    1. Kelompok hunian mewah:

    Rumah mewah, apartemen, kondominium, town house, dan sejenisnya dengan harga jual sebesar Rp 30 miliar.

    2. Kelompok balon udara dan balon udara yang dapat dikemudikan, pesawat udara lainnya tanpa tenaga penggerak.

    3. Kelompok peluru senjata api dan senjata api lainnya, kecuali untuk keperluan negara:

    Peluru dan bagiannya, tidak termasuk peluru senapan angin.

    4. Helikopter

    5. Pesawat udara dan kendaraan udara lainnya selain helikopter.

    6. Kelompok senjata api dan senjata api lainnya, kecuali untuk keperluan negara:

    Senjata artileri
    Revolver dan pistol
    Senjata api (selain senjata artileri, revolver dan pistol) dan peralatan semacam itu yang dioperasikan dengan penembakan bahan peledak.

    7. Kelompok kapal pesiar mewah, kecuali untuk keperluan negara atau angkutan umum:

    Kapal pesiar, kapal ekskursi, dan kendaraan air semacam itu terutama dirancang untuk pengangkutan orang, kapal feri, dari semua jenis, kecuali untuk kepentingan negara atau angkutan umum.
    Yacht, kecuali untuk kepentingan negara atau angkutan umum atau usaha pariwisata.

    Sementara itu, Sri Mulyani menegaskan bahwa seluruh barang dan jasa yang selama ini terkena PPN 11 persen tidak mengalami kenaikan atau tetap 11 persen.

    “Tidak ada kenaikan PPN untuk hampir seluruh barang dan biasa yang selama ini tetap 11 persen,” papar dia.

    Dia juga merincikan bahwa ada beberapa barang dan jasa mengalami pengecualian atau PPN nya hanya 0 persen meliputi barang pokok, misalnya beras, jagung, kedelai, buah-buahan, sayur-sayuran, ubi jalar.

    Kemudian gula, ternak dan hasilnya, susu segar, unggas, hasil pemotongan hewan, kacang tanah, kacang-kacangan lain, padian-padian yang lain, kemudian ikan, udang, biota lainnya, rumput laut.

    “Kemudian juga tiket kereta api, tiket bandara, angkutan orang, jasa angkutan umum, jasa angkutan sungai dan penyeberangan, penyerahan jasa paket penggunaan besar tertentu, penyerahan pengurusan paspor, jasa biro perjalanan, kemudian jasa pendidikan, pemerintah dan swasta, buku-buku pelajaran, kitab suci,” terangnya.

    Selaim itu, jasa kesehatan dan layanan medis pemerintah maupun swasta, jasa keuangan, dana pensiun, jasa keuangan lain seperti pembiayaan piutang, kartu kredit, asuransi kerugian, asuransi jiwa serta reasuransi tetap mendapatkan fasilitas PPN 0 persen atau tidak membayar PPN.

    “Sedangkan seluruh barang jasa yang lain yang selama ini 11 persen, tetap 11 persen, tidak ada atau tidak terkena kenaikan 12 persen,” ungkap dia.

  • Perlu legalisasi UMKM agar insentif kenaikan PPN efektif

    Perlu legalisasi UMKM agar insentif kenaikan PPN efektif

    Ilustrasi UMKM dalam negeri. ANTARA/HO-Kementerian UMKM

    Ekonom: Perlu legalisasi UMKM agar insentif kenaikan PPN efektif
    Dalam Negeri   
    Editor: Novelia Tri Ananda   
    Kamis, 02 Januari 2025 – 06:00 WIB

    Elshinta.com – Kepala Pusat Ekonomi Digital dan UKM Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Eisha Maghfiruha Rachbini menyatakan pemerintah perlu menggencarkan legalisasi UMKM agar pemberian insentif terkait kenaikan PPN menjadi 12 persen berjalan efektif.

    Pemerintah memberikan insentif berupa perpanjangan masa berlaku PPh final 0,5 persen sepanjang 2025 sebagai upaya perlindungan kepada UMKM dan industri padat karya. Sementara UMKM dengan omzet di bawah Rp500 juta per tahun sepenuhnya dibebaskan dari pengenaan PPh tersebut.

    Saat dihubungi ANTARA di Jakarta, Rabu, ia menyampaikan bahwa sebenarnya kedua insentif tersebut membantu UMKM untuk mengurangi potensi dampak yang diakibatkan oleh kenaikan PPN menjadi 12 persen di tengah daya beli masyarakat yang menurun saat ini.

    “Namun, yang paling banyak usaha mikro kecil itu kan masih informal ya, mereka tidak akan terdampak (insentif PPh) di situ, tidak akan menikmati kemudahan (insentif) tersebut karena mereka kan tidak masuk ke dalam sistem (perpajakan),” kata Eisha Maghfiruha Rachbini.

    Meskipun para pelaku usaha informal tidak terjangkau oleh insentif PPh final tersebut, ia menyatakan bahwa UMKM masih dapat menikmati penghapusan PPN terhadap sejumlah komoditas yang menjadi bahan baku produksi, seperti beras, kedelai, buah, sayur, jagung, gula, susu, ikan, udang, serta hasil ternak dan perikanan lainnya.

    “Ini sebenarnya sebagai penolong juga buat UMKM bahwa bahan baku dari UMKM, terutama mereka industri kecil menengah di bidang pengolahan makanan dan minuman, harganya tidak naik,” ujarnya.

    Eisha menuturkan bahwa UMKM yang bergerak di sektor perdagangan dan retail akan menjadi yang paling terdampak akibat kenaikan PPN tersebut, terutama yang menjual barang-barang kena pajak.

    Untuk meredam dampak tersebut, ia pun meminta pemerintah untuk terus mendorong UMKM agar dapat meningkatkan kapasitas mereka melalui berbagai pelatihan. Ia juga mengatakan bahwa para pelaku usaha kecil tersebut memerlukan dukungan akses yang lebih luas terhadap pasar, bahan baku, dan pembiayaan.

    “Terutama juga formalitas dari UMKM ini, legalitasnya juga harus didorong untuk mereka supaya mereka dapat akses,” kata Eisha.

    Menteri Keuangan Sri Mulyani meneken Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 131 Tahun 2024 tentang pengenaan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) 12 persen pada 31 Desember 2024 yang mulai berlaku per 1 Januari 2025. Pasal 2 Ayat 2 dan 3 aturan tersebut menetapkan tarif PPN 12 persen dikenakan terhadap barang yang tergolong mewah, berupa kendaraan bermotor dan selain kendaraan bermotor yang dikenai pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM).

    Sementara untuk barang dan jasa di luar kelompok tersebut, PPN yang dikenakan adalah tarif efektif 11 persen, yang diperoleh melalui mekanisme dasar pengenaan pajak (DPP) nilai lain. Nilai lain yang dimaksud yaitu 11/12 dari nilai impor, harga jual, atau penggantian. Nilai lain kemudian dikalikan dengan tarif PPN 12 persen.

    Selama periode 1–31 Januari 2025, pengenaan tarif PPN terhadap barang mewah menggunakan DPP nilai lain. Artinya, selama kurun waktu itu, tarif PPN terhadap barang mewah tetap 11 persen. Sedangkan per 1 Februari 2025, tarif PPN 12 persen dikenakan secara penuh terhadap harga jual atau nilai impor barang mewah.

    Sumber : Antara

  • IHSG diprediksi menguat terbatas seiring optimisme “January Effect”

    IHSG diprediksi menguat terbatas seiring optimisme “January Effect”

    Pada awal tahun 2025 ini, IHSG diperkirakan bergerak menguat terbatas

    Jakarta (ANTARA) – Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) Bursa Efek Indonesia (BEI) pada Kamis, diperkirakan bergerak menguat terbatas seiring optimisme adanya January Effect.

    IHSG dibuka menguat 29,36 poin atau 0,41 persen ke posisi 7.109,26. Sementara itu, kelompok 45 saham unggulan atau Indeks LQ45 naik 3,52 poin atau 0,43 persen ke posisi 830,17.

    “Pada awal tahun 2025 ini, IHSG diperkirakan bergerak menguat terbatas,” sebut Tim Riset Lotus Andalan Sekuritas dalam kajiannya di Jakarta, Kamis.

    Dari dalam negeri, pemerintah akhirnya mengumumkan penetapan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12 persen hanya untuk barang mewah dan untuk barang sehari-hari yang menjadi kebutuhan masyarakat umum dipastikan tidak terdampak PPN 12 persen.

    Kategori barang mewah yang dimaksud tercantum dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) nomor 15 tahun 2023.

    Pelaku pasar akan disuguhi sentimen penting pada sesi perdagangan perdana 2025, diantaranya data inflasi dan Purchasing Manager Indexs (PMI) Indonesia yang merupakan indikator penting ekonomi.

    Konsensus memperkirakan Indeks Harga Konsumen (IHK) pada periode Desember 2024 akan naik atau mengalami inflasi secara bulanan sebesar 0,47 persen month to month (mtm) dan 1,61 persen year on year (yoy).

    Pada hari ini juga, akan terdapat rilis data PMI Manufaktur Indonesia periode Desember 2024 yang diperkirakan akan berada di zona ekspansi, apabila terjadi, menjadi pertama kali sejak lima bulan beruntun berada di zona kontraksi.

    Dari mancanegara, untuk 2025, pelaku pasar memperkirakan The Fed akan memangkas 50 basis poin.

    Pelaku pasar diperkirakan akan mencermati valuasi yang tinggi dan ketidakpastian seputar kebijakan pajak dan tarif dari pemerintahan Presiden terpilih Donald Trump.

    Investor kini menunggu katalis baru untuk menggerakkan harga indeks. January effect menjadi salah satu yang diharapkan akan terjadi di 2025

    Sementara itu, bursa saham Amerika Serikat (AS) cemerlang sepanjang 2024 karena didorong oleh performa dari sektor teknologi.

    Meskipun tidak mengalami Santa Claus rally dan ditutup dalam zona pelemahan harian pada akhir tahun, Wall Street berhasil menunjukkan performa ciamik yang didorong oleh perkembangan Artificial Intelligence (AI) dan pemangkasan suku bunga oleh The Federal Reserve (The Fed).

    Pada akhir perdagangan Selasa (31/12), indeks S&P 500 turun 25,14 poin, atau 0,43 persen, dan ditutup pada level 5.881,80 poin, sementara Nasdaq Composite turun 175,99 poin, atau 0,90 persen ke posisi 19.310,79, Sementara, Dow Jones Industrial Average turun 28,46 poin, atau 0,07 persen menjadi 42.545,27

    Bursa saham regional Asia pagi ini antara lain, indeks Nikkei melemah 38662 poin atau 0,00 persen ke level 39.894,54, indeks Shanghai melemah 28,62 poin atau 0,85 persen ke posisi 3.323,14, indeks Kuala Lumpur menguat 7,79 poin atau 0,47 persen ke posisi 1.634,49, dan indeks Straits Times menguat 0,74 poin atau 0,02 persen ke 3.786,55.

    Pewarta: Muhammad Heriyanto
    Editor: Faisal Yunianto
    Copyright © ANTARA 2025