Produk: Peraturan Menteri Keuangan (PMK)

  • Pelaku industri aset kripto berharap tak dikenai PPN

    Pelaku industri aset kripto berharap tak dikenai PPN

    CEO Indodax Oscar Darmawan. ANTARA/HO-Indodax

    Pelaku industri aset kripto berharap tak dikenai PPN
    Dalam Negeri   
    Editor: Calista Aziza   
    Minggu, 05 Januari 2025 – 06:15 WIB

    Elshinta.com – Pelaku industri aset kripto di tanah air berharap tidak dikenai pajak pertambahan nilai (PPN) guna mempercepat adopsi aset kripto sebagai instrumen keuangan yang inklusif dan inovatif di Indonesia.

    CEO Indodax Oscar Darmawan menyatakan sifat kripto serupa dengan transaksi keuangan sehingga kripto dapat dikecualikan dari PPN, sebagaimana yang telah diterapkan di beberapa negara lain.

    “Dengan dihapusnya PPN, justru berpotensi meningkatkan pendapatan negara dari pajak penghasilan (PPh) final atas transaksi kripto,” ujarnya dalam keterangannya di Jakarta, Sabtu.

    Hal itu, tambahnya, karena volume trading kripto dapat tumbuh lebih besar dibandingkan dengan kondisi saat ini, seiring berkurangnya beban biaya bagi para pelaku pasar.

    “Kami percaya bahwa regulasi yang seimbang akan menciptakan ekosistem yang lebih kondusif. Di banyak negara, aset kripto tidak dikenakan PPN karena dianggap sebagai bagian dari transaksi keuangan,” katanya.

    Oscar mengharapkan Indonesia juga dapat mempertimbangkan kebijakan serupa untuk mendukung pertumbuhan industri aset kripto di tanah air.

    Meskipun demikian, lanjutnya, saat ini pihaknya tetap patuh terhadap regulasi perpajakan terbaru dengan melakukan penyesuaian tarif PPN yang berlaku efektif mulai 1 Januari 2025.

    Penyesuaian ini sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 131 Tahun 2024 dan PMK No. 81 Tahun 2024, yang mengatur tarif PPN untuk transaksi aset kripto dan barang tertentu lainnya.

    Kini, menurut dia, tarif PPN untuk transaksi pembelian aset kripto melalui Pedagang Fisik Aset Kripto (PFAK) yang ditetapkan sebesar 0,12 persen dari nilai transaksi. Sementara itu, transaksi lainnya, seperti biaya deposit, biaya penarikan rupiah, dan biaya trading, dikenakan tarif PPN efektif sebesar 11 persen, sesuai dengan PMK No. 131 Tahun 2024 Pasal 3.

    Oscar menjelaskan PPN dikenakan atas biaya transaksi tersebut, bukan atas jumlah uang yang didepositkan atau ditarik. Ketentuan ini merupakan bagian dari upaya pemerintah memberikan perlakuan pajak khusus terhadap aset kripto, mengingat sifatnya yang unik dan berbeda dengan barang atau jasa konvensional.

    “Sebagai pelaku industri, kami memastikan kepatuhan penuh terhadap peraturan yang berlaku dengan berkonsultasi secara intensif bersama otoritas terkait, termasuk Kantor Pajak,” katanya.

    Penyesuaian tarif PPN tambahnya, adalah langkah penting dalam mendukung transparansi perpajakan di Indonesia sekaligus memastikan keamanan dan kenyamanan transaksi bagi pengguna platform Indodax.

    Pada kesempatan itu dia menegaskan para member tidak perlu khawatir, karena semua biaya di Indodax sudah termasuk komponen pajak, biaya CFX, dan sebagainya.

    “Dengan demikian, semua biaya sudah otomatis dibayarkan, sehingga penggunaan platform Indodax menjadi lebih simpel dan mudah bagi para member,” katanya.

    Sumber : Antara

  • Pengusaha yang Terlanjur Kenakan PPN 12 Persen Diminta Kembalikan Lebih Bayar – Page 3

    Pengusaha yang Terlanjur Kenakan PPN 12 Persen Diminta Kembalikan Lebih Bayar – Page 3

    Sebelumnya, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan mengeluarkan aturan terkait petunjuk teknis penerbitan faktur pajak dalam rangka pelaksanaan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 131 Tahun 2024.

    Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak, Dwi Astuti menuturkan, berdasarkan aspirasi dan masukan dari masyarakat, pemerintah menyadari terdapat kebutuhan dari pelaku usaha untuk dapat melaksanakan ketentuan sesuai diatur dalam PMK 131 Tahun 2024.

    Hal ini antara lain terkait dengan penyesuaian sistem administrasi Wajib Pajak dalam menerbitkan Faktur Pajak dan cara pengembalian pajak jika PPN sebesar 12% telanjur dipungut yang seharusnya sebesar 11%.

    “Untuk mengakomodasi kebutuhan pelaku usaha tersebut, telah diterbitkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-1/PJ/2025 tanggal 3 Januari 2025,” ujar Dwi dikutip dalam keterangan resmi, Sabtu (4/1/2025).

    Ia menuturkan, ketentuan itu memberikan masa transisi selama tiga bulan yakni sejak 1 Januari 2025-31 Maret 2025. Pengaturannya antara lain:

    1.Pelaku usaha diberi kesempatan untuk menyesuaikan sistem administrasi Wajib Pajak dalam menerbitkan faktur pajak sebagaimana diatur dalam PMK 131 Tahun 2024.

    2.Faktur pajak yang diterbitkan atas penyerahan selalin barang mewah dengan mencantumkan nilai PPN terutang sebesar:

    a.11% dikali dengan harga jual (seharusnya 12% x 11/12 x harga jual), atau

    b.12% dikali dengan harga jual (seharusnya 12% x 11/12 x harga jual), dianggap benar dan tidak dikenakan sanksi.

    Dwi mengatakan, dalam hal terjadi kelebihan pemungutan PPN sebesar 1% dari yang seharusnya 11% tetapi telanjur dipungut sebesar 12% diberikan pengaturan. Hal itu antara lain:

    a.Pembeli dapat meminta pengembalian kelebihan pemungutan PPN sebesar 1% kepada penjual.

    b.Atas permintaan pengembalian kelebihan PPN tersebut, PKP penjual melakukan penggantian faktur pajak.

  • Dirjen Pajak Rilis Aturan Pengembalian Lebih Bayar PPN 12 Persen

    Dirjen Pajak Rilis Aturan Pengembalian Lebih Bayar PPN 12 Persen

    Jakarta, CNN Indonesia

    Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) baru saja merilis aturan mengenai pengembalian kelebihan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12 persen yang mulai berlaku sejak 1 Januari 2025.

    Ketentuan ini tertuang dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-1/PJ/2025 yang ditandatangani oleh Dirjen Pajak Suryo Utomo pada 3 Januari.

    Beleid ini berisi mengenai pemberian masa transisi selama tiga bulan dari 3 Januari sampai 31 Maret 2025 bagi pelaku usaha yang terlanjur dipungut PPN 12 persen dari seharusnya tetap 11 persen.

    Untuk mendapatkan pengembalian kelebihan pembayaran PPN, pelaku usaha diberi kesempatan untuk menyesuaikan sistem administrasi Wajib Pajak dalam menerbitkan Faktur Pajak sebagaimana diatur dalam PMK 131 Tahun 2024.

    Faktur Pajak setidaknya berisi mengenai data nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak yang menyerahkan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak, dan identitas pembeli Barang Kena Pajak.

    Mengutip Bab II Pasal 4 ayat 2 Perdirjen tersebut, atas kelebihan pemungutan PPN, maka ada dua langkah yang harus dilakukan. Pertama, pembeli meminta pengembalian kelebihan pemungutan PPN sebesar 1 persen kepada penjual.

    Kedua, berdasarkan permintaan pengembalian pembeli, maka Pengusaha Kena Pajak penjual melakukan pembetulan atau penggantian Faktur Pajak atau dokumen.

    Sebelumnya, viral di media sosial beberapa pihak mengaku tetap dipungut PPM 12 persen saat berbelanja di sejumlah toko ritel per 1 Januari 2025.

    Padahal, Presiden Prabowo Subianto sudah membatalkan kenaikan pajak tersebut. Ia menegaskan tarif baru itu hanya berlaku untuk barang-barang mewah, seperti jet pribadi hingga yacht.

    Ditjen Pajak mengaku sudah bertemu para pengusaha ritel dan menerima penjelasan bahwa kenaikan PPN 12 persen itu sudah diatur dalam sistem toko, sehingga dibuat aturan Perdirjen ini.

    Dirjen Pajak Suryo Utomo mengaku sudah melakukan negosiasi dengan peritel yang telah mengubah sistem PPN menjadi 12 persen. Padahal, untuk barang yang tidak masuk kelompok mewah hanya dikenakan dasar pengenaan pajak (DPP) nilai lain sebesar 11/12 dari tarif 12 persen.

    Suryo menegaskan pihaknya tetap harus menjalankan UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) soal tarif 12 persen per 1 Januari 2025.

    Di sisi lain, pemerintah memutuskan tak mengerek PPN untuk barang-barang tidak mewah, sehingga perlu penetapan DPP lain dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 131 Tahun 2024.

    “Kami lagi duduk, diskusi, kira-kira tiga bulan cukup enggak sistem mereka diubah? Itu yang kami coba nanti dudukkan, kira-kira ya transisi tiga bulan lah bagi (peritel) menyesuaikan sistemnya (kembali ke PPN 11 persen),” ungkap Suryo.

    (ldy/pta)

  • DJP Terbitkan Aturan soal Masa Transisi & Lebih Bayar PPN 12%

    DJP Terbitkan Aturan soal Masa Transisi & Lebih Bayar PPN 12%

    Jakarta

    Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan menerbitkan petunjuk teknis pembuatan Faktur Pajak dalam rangka pelaksanaan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 131 Tahun 2024. Petunjuk teknis tersebut tertuang dalam bentuk Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-01/PJ/2025 tanggal 3 Januari 2025.

    Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Hubungan Masyarakat DJP Dwi Astuti mengatakan aturan tersebut ditetapkan guna memenuhi kebutuhan pelaku usaha yang membutuhkan waktu untuk menyesuaikan sistem administrasi penerbitan faktur pajak dan tata cara pengembalian pajak jika PPN 12% telanjur dipungut dari yang seharusnya adalah 11%.

    “Untuk mengakomodasi kebutuhan pelaku usaha tersebut, telah diterbitkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-1/PJ/2025 tanggal 3 Januari 2025 yang intinya memberikan masa transisi selama 3 bulan yaitu sejak 1 Januari 2025 sampai 31 Maret 2025,” kata Dwi Astuti dalam keterangan resmi, dikutip Minggu (5/1/2025).

    Sepanjang 1 Januari-31 Maret 2025, faktur pajak atas penyerahan barang kena pajak/jasa kena pajak (BKP/JKP) tidak mewah yang dibuat dengan mencantumkan dasar pengenaan pajak (DPP) berupa nilai impor, harga jual atau penggantian secara penuh, serta menggunakan tarif 12% atau 11% dianggap sebagai faktur pajak yang benar, lengkap dan jelas.

    Adapun kelebihan pemungutan PPN yang timbul akibat penerapan PPN 12% tanpa menggunakan DPP nilai lain sebesar 11/12 dari nilai impor, harga jual atau penggantian, bisa diminta oleh pembeli kepada pengusaha kena pajak (PKP) penjual. Atas permintaan tersebut, PKP penjual melakukan pergantian faktur pajak.

    “Dalam hal terjadi kelebihan pemungutan PPN sebesar 1% dari yang seharusnya 11% namun telanjur dipungut sebesar 12%, pembeli dapat meminta pengembalian kelebihan pemungutan PPN sebesar 1% kepada penjual. Atas permintaan pengembalian kelebihan PPN tersebut, PKP penjual melakukan penggantian Faktur Pajak,” jelasnya.

    Sebagai informasi, PMK Nomor 131 Tahun 2024 menjadi landasan bagi pemerintah untuk membatasi pemberlakuan tarif PPN 12% hanya untuk barang mewah dan jasa mewah berupa kendaraan bermotor dan selain kendaraan bermotor yang selama ini sudah menjadi objek Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM).

    Untuk BKP/JKP nonmewah, tarif PPN yang berlaku tetap 12%, hanya saja DPP yang digunakan dalam menghitung PPN atas BKP/JKP tidak mewah adalah DPP nilai lain sebesar 11/12 dari nilai impor, harga jual atau penggantian. Dengan demikian tarif efektif PPN atas BKP/JKP tidak mewah yang ditanggung masyarakat tetap sebesar 11%.

    (kil/kil)

  • Kenaikan PPN untuk Barang Mewah Tak akan Berdampak Signifikan Pada Pertumbuhan Ekonomi – Halaman all

    Kenaikan PPN untuk Barang Mewah Tak akan Berdampak Signifikan Pada Pertumbuhan Ekonomi – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Direktur Kebijakan Publik Center of Economic and Law Studies (Celios) Media Wahyudi Askar menilai pemberlakuan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12 persen untuk barang mewah tidak akan memberi dampak signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia.

    Sebab, konsumsi barang mewah hanya berkontribusi kecil terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) dibandingkan dengan konsumsi barang kebutuhan sehari-hari.

    Lalu, sektor-sektor terkait seperti properti premium, otomotif kelas atas, dan fesyen mewah kemungkinan tidak akan mengalami perlambatan akibat penurunan permintaan.

    Hal itu karena menurut Media, khusus untuk masyarakat desil 10 persen teratas, daya belinya masih bagus.

    “Pola konsumsi masyarakat atas relatif tidak berubah, dengan konsumen kelas atas tidak akan beralih ke barang substitusi yang lebih murah,” ujar Media kepada Tribunnews, dikutip Minggu (5/1/2025).

    Selain itu, ia mengatakan PPN 12 persen untuk barang mewah sebetulnya hanya pelengkap saja. Tidak akan ada kontribusi yang signifikan pada penerimaan negara.

    Beda dengan non barang mewah, konsumsi barang mewah tidak terlalu dipengaruhi oleh faktor lain seperti inflasi dan pertumbuhan pendapatan, serta financial shock pada rumah tangga.

    “Menaikkan PPN hanya untuk barang mewah memang mencerminkan keadilan. Namun, jumlahnya tidak seberapa potensi penerimaannya dibandingkan mendorong pajak penghasilan yang lebih progresif,” ucap Media.

    Kementerian Keuangan (Kemenkeu) pun disebut tidak pernah menjadikan untuk barang mewah sebagai opsi yang diambil.

    Menurut dia, opsi tersebut sejak awal tak pernah menjadi pertimbangan kementerian yang dipimpin Sri Mulyani itu.

    “Semua tahu gimana proses kekacauan kebijakan PPN ini selama beberapa bulan terakhir ini,” kata Media. 

    “Opsi menaikkan hanya untuk barang mewah sebetulnya dari awal tidak pernah menjadi opsi Kemenkeu,” pungkasnya.

    Menteri Keuangan Sri Mulyani telah menyatakan bahwa Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12 persen hanya dikenakan pada barang yang tergolong mewah.

    Barang mewah itu berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 15 Tahun 2023 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 96/PMK.03/2021.

    PMK tersebut mengatur tentang Penetapan Jenis Barang Kena Pajak Selain Kendaraan Bermotor yang Dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah dan Tata Cara Pengecualian Pengenaan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.

    “Jadi yang 12 persen itu barang yang sangat mewah yang diatur dalam PMK Nomor 15 Tahun 2023. Itu itemnya sangat sedikit,” kata Sri Mulyani dalam konferensi pers di Jakarta, dikutip Rabu (1/1/2025).

    Lantas, barang apa saja yang terkena PPN 12 persen?

    1. Kelompok hunian mewah seperti rumah mewah, apartemen, kondominium, town house, dan sejenisnya dengan harga jual sebesar Rp 30 miliar.

    2. Kelompok balon udara dan balon udara yang dapat dikemudikan, pesawat udara lainnya tanpa tenaga penggerak.

    3. Kelompok peluru senjata api dan senjata api lainnya, kecuali untuk keperluan negara:
    – peluru dan bagiannya, tidak termasuk peluru senapan angin.

    4. Helikopter

    5. Pesawat udara dan kendaraan udara lainnya selain helikopter.

    6. Kelompok senjata api dan senjata api lainnya, kecuali untuk keperluan negara:
    – Senjata artileri
    – Revolver dan pistol
    – Senjata api (selain senjata artileri, revolver dan pistol) dan peralatan semacam itu yang dioperasikan dengan penembakan bahan peledak.

    7. Kelompok kapal pesiar mewah, kecuali untuk keperluan negara atau angkutan umum:
    – Kapal pesiar, kapal ekskursi, dan kendaraan air semacam itu terutama dirancang untuk pengangkutan orang, kapal feri, dari semua jenis, kecuali untuk kepentingan negara atau angkutan umum.
    – Yacht, kecuali untuk kepentingan negara atau angkutan umum atau usaha pariwisata.

    Sementara itu, Sri Mulyani menegaskan bahwa seluruh barang dan jasa yang selama ini terkena PPN 11 persen tidak mengalami kenaikan atau tetap 11 persen.

    “Tidak ada kenaikan PPN untuk hampir seluruh barang dan biasa yang selama ini tetap 11 persen,” papar dia.

    Dia juga merincikan bahwa ada beberapa barang dan jasa mengalami pengecualian atau PPN nya hanya 0 persen meliputi barang pokok, misalnya beras, jagung, kedelai, buah-buahan, sayur-sayuran, ubi jalar.

    Kemudian gula, ternak dan hasilnya, susu segar, unggas, hasil pemotongan hewan, kacang tanah, kacang-kacangan lain, padian-padian yang lain, kemudian ikan, udang, biota lainnya, rumput laut.

    “Kemudian juga tiket kereta api, tiket bandara, angkutan orang, jasa angkutan umum, jasa angkutan sungai dan penyeberangan, penyerahan jasa paket penggunaan besar tertentu, penyerahan pengurusan paspor, jasa biro perjalanan, kemudian jasa pendidikan, pemerintah dan swasta, buku-buku pelajaran, kitab suci,” terangnya.

    Selain itu, jasa kesehatan dan layanan medis pemerintah maupun swasta, jasa keuangan, dana pensiun, jasa keuangan lain seperti pembiayaan piutang, kartu kredit, asuransi kerugian, asuransi jiwa serta reasuransi tetap mendapatkan fasilitas PPN 0 persen atau tidak membayar PPN.

    “Sedangkan seluruh barang jasa yang lain yang selama ini 11 persen, tetap 11 persen, tidak ada atau tidak terkena kenaikan 12 persen,” ungkap dia.

  • Gabungan Asosiasi Pengusaha Sambut Positif Keputusan Pemerintah Tentang PPN 12 Persen untuk Barang Mewah

    Gabungan Asosiasi Pengusaha Sambut Positif Keputusan Pemerintah Tentang PPN 12 Persen untuk Barang Mewah

    Jakarta, Beritasatu.com – Gabungan pengusaha memberikan apresiasi terhadap keputusan Pemerintah mengenai penerapan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12 persen yang hanya diberlakukan pada barang-barang mewah.

    Gabungan asosiasi ini mencakup Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) bersama sejumlah asosiasi sektoral, seperti Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo), Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI), Asosiasi Pengusaha Ritel Merek Global Indonesia (Apregindo), serta Himpunan Peritel dan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo).

    Selain itu, terdapat juga Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi), Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI), dan Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI).

    “Kami menghargai kebijakan ini karena menunjukkan keseimbangan antara kebutuhan negara dan kepentingan masyarakat serta pelaku usaha,” ujar Handaka Santosa, Ketua Komite Perdagangan Dalam Negeri Apindo sekaligus Ketua Umum Apregindo dikutip dari Antara, Sabtu (4/1/2025).

    Melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 131 Tahun 2024, Pemerintah memutuskan bahwa kenaikan PPN dari 11 persen menjadi 12 persen hanya berlaku pada barang-barang mewah yang dikonsumsi oleh kalangan masyarakat kelas atas.

    Kebijakan ini dipandang sebagai langkah bijaksana yang tidak hanya mempertahankan daya beli masyarakat, tetapi juga memberikan kepastian dan keadilan bagi sektor usaha.

    “Kebijakan yang terukur ini berfungsi untuk mendorong daya beli masyarakat serta mendukung pertumbuhan industri meskipun ada tantangan dari ekonomi global,” tambahnya.

    Selain itu, adanya periode transisi tiga bulan yang diberikan pemerintah dianggap sebagai langkah cerdas untuk memberikan waktu bagi pelaku usaha mempersiapkan implementasi kebijakan ini dengan maksimal.

    Sosialisasi teknis yang akan dilakukan pemerintah bersama asosiasi sektoral diharapkan dapat memastikan kebijakan ini dapat diterapkan dengan lancar.

    APINDO dan asosiasi sektoral lainnya berkomitmen mendukung penerapan kebijakan ini dan percaya bahwa komunikasi yang baik antara pemerintah dan dunia usaha akan menciptakan iklim usaha yang positif, memperkuat daya saing industri, serta mendorong pemulihan ekonomi nasional.

    Sebagai tanggapan atas PMK 131/2024, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan mengeluarkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-1/PJ/2025 pada 3 Januari 2025.

    Dalam peraturan tersebut, pelaku usaha diberi kesempatan untuk menyesuaikan sistem administrasi wajib pajak dalam penerbitan faktur pajak selama periode tiga bulan, mulai 1 Januari hingga 31 Maret 2025.

    Selama masa transisi ini, faktur pajak atas penyerahan barang selain barang mewah yang mencantumkan nilai PPN sebesar 11 persen atau 12 persen dianggap sah tanpa dikenakan sanksi.

    Jika terjadi kelebihan pemungutan PPN sebesar 1 persen, misalnya pada barang non-mewah yang seharusnya dikenakan PPN 11 persen tetapi dipungut 12 persen, pembeli dapat meminta pengembalian kepada penjual. Pengusaha kena pajak (PKP) kemudian diwajibkan mengganti faktur pajak untuk memproses permintaan pengembalian lebih bayar tersebut.

  • Harga Rokok Resmi Naik 2025, Cek Daftar Lengkapnya di Sini

    Harga Rokok Resmi Naik 2025, Cek Daftar Lengkapnya di Sini

    Jakarta, CNBC Indonesia – Pemerintah resmi menaikkan harga rokok per 1 Januari 2025. Naiknya harga rokok tercantum dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 97 Tahun 2024 tentang Perubahan Ketiga atas PMK Nomor 192/2021 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau berupa Sigaret, Cerutu, Rokok Daun atau Klobot, dan Tembakau Iris.

    Dalam PMK tersebut tarif cukai hasil tembakau tidak mengalami perubahan per 1 Januari 2025, namun harga jual ecerannya berubah berdasarkan jenis rokok yang diperdagangkan.

    “Batasan Harga Jual Eceran per Batang atau Gram dan tarif cukai per batang atau gram untuk setiap jenis Hasil Tembakau yang diimpor sebagaimana tercantum dalam Lampiran II Peraturan Menteri ini, mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2025,” dikutip dari PMK 97/2024.

    Dalam lampiran I dan II PMK tersebut telah dirincikan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani daftar batasan harga jual eceran dan tarif cukai perbatang, yang berubah dibandingkan PMK 191/2022 sebagai aturan perubahan kedua dari PMK 192/2021, berikut ini rinciannya per batang atau per gram:

    1. Sigaret Kretek Mesin (SKM)

    a. Jenis SKM I paling rendah menjadi Rp 2.375 naik sekitar 5% dari sebelumnya Rp 2260 dengan tarif cukai tetap Rp 1.231

    b. Jenis SKM II paling rendah Rp 1.485 atau naik sekitar 7,6% dari sebelumnya Rp 1.380 dengan tarif cukai tetap Rp 746

    2. Sigaret Putih Mesin (SPM)

    a. Golongan I paling rendah Rp 2.495/batang atau naik 4,8% dengan tarif cukai tetap Rp 1.336/batang

    b. Golongan II paling rendah Rp 1.565/batang naik 6,8% dengan tarif cukai Rp 794/batang

    3. Sigaret Kretek Tangan (SKT) atau Sigaret Putih Tangan (SPT)

    a. Golongan I harga jual eceran paling rendah Rp 1.555/batang sampai dengan Rp 2.170/batang dengan tarif cukai Rp 378/batang

    b. Golongan II harga jual eceran paling rendah Rp 995/batang naik 15% dengan tarif cukai Rp 223/batang

    c. Golongan III harga jual eceran paling rendah Rp 860 (naik 18,6%) dengan tarif cukai Rp 122/batang

    4. Sigaret Kretek Tangan Filter (SKTF) atau Sigaret Putih Tangan Filter (SPTF)

    Harga jual eceran paling rendah Rp 2.375/batang naik 5% dengan tarif cukai Rp 1.231/batang

    5. Sigaret Kelembak Kemenyan (KLM)

    a. Golongan I harga jual eceran paling rendah Rp 950 dengan tarif cukai Rp 483/batang atau masih sama dengan 2024

    b. Golongan II harga jual eceran paling rendah Rp 200 dengan tarif cukai Rp 25/batang juga sama dengan 2024

    6. Jenis Tembakau Iris (TIS)

    Harga jual paling rendah Rp 55-180, tidak berubah dari tahun ini

    7. Jenis Rokok Daun atau Klobot (KLB)

    Harga jual paling rendah Rp 290, tidak berubah dari tahun ini

    8. Jenis Cerutu (CRT)

    Harga jual paling rendah Rp 495 sampai Rp 5.500, tidak berubah dari tahun ini.

    Adapun daftar batasan harga jual eceran per batang atau gram untuk setiap jenis hasil tembakau yang diimpor sebagai berikut:

    1. SKM: Rp 2.375,00 dari sebelumnya Rp 2.260,00

    2. SPM: Rp 2.495,00 dari sebelumnya Rp 2.380,00

    3. SKT atau SPT: Rp 2.171,00 dari sebelumnya Rp 1.981,00

    4. SKTF atau SPTF: Rp 2.375,00 dari sebelumnya Rp 2.260,00

    5. TIS: Rp 276,00 tidak mengalami perubahan

    6. KLB: Rp 290,00 tidak mengalami perubahan

    7. KLM: Rp 950,00 tidak mengalami perubahan

    8. CRT: Rp 198.001,00 tidak mengalami perubahan

    (fsd/fsd)

  • Masa Transisi PPN 12% Berlaku 3 Bulan, Apindo Bilang Begini

    Masa Transisi PPN 12% Berlaku 3 Bulan, Apindo Bilang Begini

    Bisnis.com, JAKARTA – Pelaku usaha merespons positif masa transisi 3 bulan untuk penerapan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 12% untuk barang super mewah pada 2025. Langkah ini dilakukan agar pelaku usaha dapat melakukan penyesuaian sistem dan operasional.

    Ketua Komite Perpajakan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Siddhi Widyaprathama, menyatakan bahwa pemberlakuan masa transisi Tarif PPN 12% memberikan kelegaan bagi dunia usaha yang sebelumnya khawatir dampak langsung dari kenaikan PPN ini akan memengaruhi daya beli masyarakat.

    Siddhi mengaku dunia usaha menyambut positif kebijakan pemerintah yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 131 Tahun 2024.

    “Adanya masa transisi ini sangat membantu pelaku usaha untuk menyesuaikan sistem mereka. Pelaku usaha yang sudah memungut PPN 12% juga dapat melakukan koreksi administrasi dan mengembalikan kelebihan pungutan kepada konsumen sesuai aturan yang akan diterbitkan,” kata Siddhi dalam keterangan resmi, dikutip Sabtu (4/1/2024). 

    Masa transisi ini dianggap memberikan ruang yang cukup bagi dunia usaha untuk mengatur ulang mekanisme internal tanpa mengganggu aktivitas operasional. Kebijakan tersebut juga menunjukkan keseriusan pemerintah dalam merespons masukan dari sektor usaha mengenai pentingnya menjaga stabilitas ekonomi dan daya beli masyarakat.  

    Siddhi mengatakan kebijakan ini menciptakan keseimbangan antara kebutuhan pendapatan negara dan keberlanjutan usaha.  

    Dukungan terhadap kebijakan ini juga datang dari berbagai asosiasi sektor usaha, seperti Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo), Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI), Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (GAPMMI), serta Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI). 

    “Keputusan bijak ini tidak hanya memberikan kejelasan dalam implementasi teknis, tetapi juga menunjukkan perhatian pemerintah terhadap stabilitas sektor usaha di tengah dinamika ekonomi global,” katanya. 

    Asosiasi-asosiasi ini menilai bahwa kebijakan yang dikeluarkan pada akhir tahun 2024 memberikan keseimbangan antara kebutuhan negara dan kepentingan pelaku usaha serta konsumen. Dengan kebijakan ini, daya beli masyarakat tetap terjaga, dan dunia usaha memiliki kepastian dalam mendukung pertumbuhan ekonomi.

    Diberitakan sebelumnya, Presiden Prabowo Subianto dan Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani mengumumkan bahwa tarif PPN yang naik menjadi 12% hanya diterapkan untuk barang-barang mewah.

    “Oleh karena itu seperti yang sudah saya sampaikan sebelumnya dan sudah berkoordinasi dengan DPR bahwa hari ini memutuskan kenaikan PPN dari 11% ke 12% hanya dikenakan kepada barang dan jasa mewah,” kata Prabowo, Selasa (31/12/2024).

    Menkeu Sri Mulyani Indrawati menambahkan barang yang dikenakan PPN 12% adalah barang yang sudah terkena PPnBM.

    “Itu kategorinya sangat sedikit, limited. Seperti private jet, kapal pesiar, yacht, dan rumah yang sangat mewah,” terang Sri Mulyani.

    Artinya, barang yang selama ini dikenakan PPN 11% atau sebelumnya dibebaskan PPN tidak akan terdampak dari kenaikan tarif PPN jadi 12%.

    “Seluruh barang dan jasa yang 11% tetap 11%, tidak ada kenaikan PPN untuk hampir seluruh barang dan jasa yang selama ini tetap 11%. Barang dan jasa yang selama ini mendapatkan pengecualian, yaitu PPN 0%, tidak sama sekali membayar PPN,” ungkapnya.

  • Jual-Beli Kripto Kini Sudah Kena PPN 12%

    Jual-Beli Kripto Kini Sudah Kena PPN 12%

    Jakarta: Crypto exchange Indodax telah melakukan penyesuaian tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang berlaku efektif mulai 1 Januari 2025. Penyesuaian ini sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 131 Tahun 2024 dan PMK Nomor 81 Tahun 2024, yang mengatur tarif PPN untuk transaksi aset kripto dan barang tertentu lainnya.
     
    Kini, tarif PPN untuk transaksi pembelian aset kripto melalui Pedagang Fisik Aset Kripto (PFAK) yang ditetapkan sebesar 0,12 persen (1 persen x 12 persen) dari nilai transaksi. Sementara itu, transaksi lainnya, seperti biaya deposit, biaya penarikan rupiah, dan biaya trading, dikenakan tarif PPN efektif sebesar 11 persen, sesuai dengan PMK Nomor 131 Tahun 2024 Pasal 3.
     
    Tarif PPN 12 persen ini dikenakan atas biaya transaksi tersebut, bukan atas jumlah uang yang didepositkan atau ditarik. Ketentuan ini merupakan bagian dari upaya pemerintah memberikan perlakuan pajak khusus terhadap aset kripto, mengingat sifatnya yang unik dan berbeda dengan barang atau jasa konvensional.
    “Penyesuaian tarif PPN ini adalah langkah penting dalam mendukung transparansi perpajakan di Indonesia sekaligus memastikan keamanan dan kenyamanan transaksi bagi pengguna kami,” kata CEO Indodax Oscar Darmawan dikutip dari keterangan tertulis, Sabtu, 4 Januari 2025.
     
    Oscar juga menekankan pentingnya regulasi yang jelas untuk mendorong kepercayaan di sektor aset kripto. Ia memahami interpretasi terhadap peraturan perpajakan sering kali menghadirkan tantangan.
     
    “Namun, melalui kerja sama dengan otoritas terkait, kami yakin langkah ini akan memberikan manfaat jangka panjang bagi ekosistem kripto di Indonesia,” yakin dia.
     
    Terkait hal ini, Oscar meminta para member Indodax tak perlu khawatir atas kenaikan PPN terhadap biaya transaksi aset kripto tersebut, karena semua biaya di Indodax sudah termasuk komponen pajak, biaya CFX, dan sebagainya.
     
    “Dengan demikian, semua biaya sudah otomatis dibayarkan, sehingga penggunaan platform Indodax menjadi lebih simpel dan mudah bagi para member,” tegasnya.
     

     

    Hapus pengenaan PPN untuk kripto

    Oscar bilang, mengingat sifat kripto yang serupa dengan transaksi keuangan, ia berharap agar kripto dapat dikecualikan dari pengenaan PPN, sebagaimana yang telah diterapkan di beberapa negara lain. Hal ini, menurutnya, akan mempercepat adopsi aset kripto sebagai instrumen keuangan yang inklusif dan inovatif di Indonesia.
     
    Selain itu, dengan dihapusnya PPN, justru berpotensi meningkatkan pendapatan negara dari Pajak Penghasilan (PPh) final atas transaksi kripto. Hal ini karena volume trading kripto dapat tumbuh lebih besar dibandingkan dengan kondisi saat ini, seiring berkurangnya beban biaya bagi para pelaku pasar.
     
    “Kami percaya regulasi yang seimbang akan menciptakan ekosistem yang lebih kondusif. Di banyak negara, aset kripto tidak dikenakan PPN karena dianggap sebagai bagian dari transaksi keuangan,” tutur dia.
     
    “Kami berharap Indonesia juga dapat mempertimbangkan kebijakan serupa untuk mendukung pertumbuhan industri ini,” harap Oscar menambahkan.
     
    Dengan langkah penyesuaian ini, Indodax tetap berkomitmen menjadi platform terpercaya bagi para penggunanya, sambil terus mendorong perkembangan industri kripto di tanah air.
     
    Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
    dan follow Channel WhatsApp Medcom.id

    (HUS)

  • Pengusaha Lega PPN 12% Hanya Dikenakan untuk Barang Mewah

    Pengusaha Lega PPN 12% Hanya Dikenakan untuk Barang Mewah

    Bisnis.com, JAKARTA – Kalangan pelaku usaha menyambut baik kebijakan pemerintah yang menetapkan kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% hanya berlaku untuk barang-barang mewah yang dikonsumsi oleh masyarakat kelas atas.

    Ketua Komite Perpajakan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Siddhi Widyaprathama mengatakan kebijakan ini membawa kelegaan bagi dunia usaha yang sebelumnya khawatir terhadap dampak penerapan PPN 12%.

    “Langkah ini memberikan kepastian dan keadilan bagi dunia usaha serta masyarakat. Masa transisi juga memungkinkan pelaku usaha yang telah memungut PPN 12% untuk melakukan koreksi administrasi, termasuk mengembalikan kelebihan pungutan sebesar 1% kepada konsumen, sesuai aturan pelaksanaan yang sedang disiapkan pemerintah,” ujar Siddhi dalam keterangannya, dikutip Sabtu (4/1/2025).

    Lebih lanjut dia mengatakan, sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 131/2024, pemerintah juga memberikan masa transisi selama tiga bulan bagi pelaku usaha untuk menyesuaikan sistem dan operasional mereka.

    Menurutnya, keputusan pemerintah ini tidak hanya memberikan kejelasan dalam implementasi teknis, tetapi juga menunjukkan perhatian terhadap stabilitas sektor usaha di tengah dinamika ekonomi global.

    Dukungan terhadap kebijakan ini juga disampaikan oleh sejumlah asosiasi sektoral, seperti Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo), Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI), Asosiasi Pengusaha Ritel Merek Global Indonesia (Apregindo).

    Selanjutnya, Himpunan Peritel dan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo), Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (GAPMMI), Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI), serta Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI).

    “Asosiasi-asosiasi ini menilai bahwa kebijakan yang dikeluarkan pada akhir tahun 2024 memberikan keseimbangan antara kebutuhan negara dan kepentingan pelaku usaha serta konsumen. Dengan kebijakan ini, daya beli masyarakat tetap terjaga, dan dunia usaha memiliki kepastian dalam mendukung pertumbuhan ekonomi,” pungkasnya.

    PPN untuk Kebutuhan Pokok Tetap 11%

    Diberitakan sebelumnya, Presiden Prabowo Subianto menekankan bahwa kenaikan PPN tersebut hanya akan menyasar barang-barang kategori mewah. Sementara untuk kebutuhan pokok, PPN yang berlaku tetap 11%.

    “Oleh karena itu seperti yang sudah saya sampaikan sebelumnya dan sudah berkoordinasi dengan DPR bahwa hari ini memutuskan kenaikkan PPN dari 11 ke 12% hanya dikenakan kepada barang dan jasa mewah,” katanya kepada wartawan di Kementerian Keuangan, Selasa (31/12/2024).

    Pada kesempatan yang sama, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati juga menegaskan barang yang dikenakan PPN 12% adalah barang yang sudah terkena Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), termasuk kendaraan bermotor.

    Sementara itu, barang yang selama ini dikenakan PPN 11% atau sebelumnya dibebaskan PPN tidak akan terdampak dari kenaikan PPN jadi 12%. Barang yang dimaksud mencakup bahan kebutuhan pokok termasuk makanan hingga sabun dan sampo.

    “Seluruh barang dan jasa yang 11% tetap 11%, tidak ada kenaikan PPN untuk hampir seluruh barang dan jasa yang selama ini tetap 11%. Barang dan jasa yang selama ini mendapatkan pengecualian, yaitu PPN 0%, tidak sama sekali membayar PPN,” kata Sri Mulyani.

    Perlu diketahui, ada beberapa kategori kendaraan bermotor yang dikenakan PPnBM sebagaimana tercantum dalam Peraturan Menteri Keuangan nomor 141/PMK.010/2021. Sementara itu, selain kendaraan bermotor pengenaan PPnBM diatur dalam PMK No. 15/2023.