Produk: Peraturan Menteri Keuangan (PMK)

  • Pemerintah Jamin Kekurangan Dana Desa 2025 Dilunasi Tahun Depan

    Pemerintah Jamin Kekurangan Dana Desa 2025 Dilunasi Tahun Depan

    Jakarta

    Menteri Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal (Mendes PDT) Yandri Susanto memastikan dana desa yang belum dibayarkan pada 2025 akan dilunasi pada tahun depan. Yandri menegaskan pembayaran kekurangan Dana Desa 2025 itu tidak mempengaruhi besaran Dana Desa pada tahun 2026.

    Hal ini disampaikan Yandri usai membahas sejumlah upaya terkait pencairan Dana Desa menyusul diterbitkannya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 81 Tahun 2025 tentang Pengalokasian Dana Desa Setiap Desa, Penggunaan, dan Penyaluran Dana Desa Tahun Anggaran 2025.

    Aturan ini membuat sejumlah pemerintah desa khawatir karena Dana Desa tahap II pada 2025, terutama yang bersifat non-earmarked atau yang tidak ditentukan secara spesifik, tidak dibayarkan. Yandri membeberkan lima upaya yang disiapkan pemerintah.

    “Pertama, menggunakan Sisa Dana Desa yang ditentukan penggunaannya (Earmarked) untuk membayar kegiatan Non earmarked yang belum terbayarkan,” ujar Yandri dalam keterangannya, Kamis (4/12/2025).

    Kedua, pembayaran dilakukan menggunakan Dana Penyertaan Modal Desa ke lembaga-lembaga ekonomi yang belum disalurkan dan/atau belum digunakan termasuk Penyertaan Modal ke BUM Desa/BUM Desa bersama untuk ketahanan pangan.

    Ketiga, menggunakan sisa anggaran/penghematan anggaran tahun berjalan (tahun 2025) termasuk yang bersumber dari pendapatan selain Dana Desa dan/atau menunda kegiatan yang belum dilaksanakan. Keempat, memanfaatkan Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SILPA) 2025.

    “Jika langkah pertama hingga empat masih belum mencukupi, maka selisih kekurangan dicatat sebagai kewajiban yang belum dibayarkan untuk dianggarkan dan dibayarkan di Tahun Anggaran 2026 yang bersumber dari pendapatan selain Dana Desa,” tambah Yandri.

    Solusi ini dibahas dengan Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan Askolani dan Direktur Jenderal Bina Pemdes Kemendagri La Ode Ahmad dan sejumlah asosiasi, seperti Asosiasi Pemerintahan Desa Merah Putih, Persatuan Perangkat Desa Seluruh Indonesia, hingga Papdesi.

    Pemerintah Terbitkan Surat

    Kemendagri, Kemendes PDT dan Kemenkeu, Yandri, akan menerbitkan surat sebagai dasar Pemerintah Kabupaten/Kota dan Pemerintah Desa mengambil langkah-langkah tindak lanjut, seperti, kewajiban yang belum dibayarkan diungkapkan dalam Catatan atas Laporan Keuangan (CaLK) Tahun Anggaran 2025.

    Lalu, bupati menugaskan Camat untuk melakukan evaluasi APB Desa Tahun 2025 khusus terhadap pergeseran anggaran untuk mengalokasikan anggaran kegiatan yang belum terbayarkan. Kemudian, pemerintah desa segera melakukan Perubahan APB Desa tahun 2025 untuk pergeseran alokasi anggaran.

    Keempat, menerbitkan Peraturan Kepala Desa tentang Penjabaran APB Desa Tahun 2026 untuk menindaklanjuti SILPA mendahului Perubahan APB Desa 2026 dan Kelima, melakukan Perubahan APB Desa 2026 untuk memanfaatkan SILPA Tahun 2025 dan sumber pendapatan selain Dana Desa untuk mengutamakan penyelesaian kewajiban yang belum dibayar.

    “Kami semua optimis langkah-langkah tersebut dapat dijalankan sehingga potensi gagal bayar mendapatkan solusi terbaik. Kami sampaikan terima kasih pada para Ketua Asosiasi yang turut bersama-sama merumuskan tindaklanjut terbaik kita semua,” tambah ia.

    “Agar proses pelaksanaan langkah-langkah tersebut dapat berlangsung cepat dan efektif maka Pemerintah maupun Pemerintah Kabupaten akan terus melakukan pendampingan dan mitigasi,” terang Yandri.

    Halaman 2 dari 2

    (rea/ara)

  • APEDNAS Jatim Kecam Lambannya Pemerintah Desa, Kehilangan Dana Desa Rp10 Miliar Lebih

    APEDNAS Jatim Kecam Lambannya Pemerintah Desa, Kehilangan Dana Desa Rp10 Miliar Lebih

    Pacitan (beritajatim.com) – Polemik gagal cairnya Dana Desa (DD) tahap II di Kabupaten Pacitan terus memantik reaksi keras. Ketua Asosiasi Badan Permusyawaratan Desa Nasional (APEDNAS) Jawa Timur, Badrul Amali, mengecam lambannya kinerja pemerintah desa hingga membuat anggaran lebih dari Rp 10 miliar tak dapat dicairkan.

    Menurut Badrul, persoalan ini tidak bisa dilepaskan dari ketidaksiapan perangkat desa dalam memenuhi persyaratan administrasi, baik sekretaris desa maupun bendahara. Ia menegaskan persoalan ini bukan sekadar soal regulasi baru.

    “Ini murni ketidaksiapan pemerintah desa, khususnya yang membidangi. Entah sekretaris desa atau bendahara desa,” tegas Badrul, Kamis (4/11/2025).

    Ia menyebut, kerugian akibat gagal cairnya DD tahap II sangat dirasakan masyarakat. Program yang seharusnya dinikmati warga terancam tidak terlaksana, atau bahkan menimbulkan masalah baru.

    “Bagi BPD, ini fenomena luar, program tidak bisa dinikmati masyarakat atau program sudah jalan tapi uangnya tidak ada. Ini harus disikapi oleh bupati. Harus jelas siapa yang bertanggung jawab,” tegasnya.

    Badrul menilai alasan yang selama ini disampaikan terkait Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 81 tidak tepat. Pasalnya, syarat pencairan dana desa merupakan prosedur rutin setiap tahun. “Syarat itu sudah biasa dilakukan desa setiap tahunnya, jadi tidak karena PMK 81. Dengan atau tanpa PMK 81, ini tetap tanggung jawab desa,” ujarnya.

    Ia mengungkap, ada sejumlah masalah yang menjadi penyebab teknis, mulai dari laporan tahap I yang tidak lengkap, realisasi tahun sebelumnya yang masih bermasalah, hingga keterlambatan pengajuan dokumen. “Dalam jangka waktu Mei sampai September, desa sudah bisa mengajukan persyaratan tahap II. Namun faktanya tidak dilakukan,” tambahnya.

    Akibat kelalaian itu, sebanyak 45 desa di Pacitan kehilangan hak pencairan DD tahap II. Nilainya bervariasi, mulai dari Rp 80 juta hingga Rp 400 juta per desa. “Desa mencari anggaran sebesar itu ya berat. Lah ini ada anggaran, tapi disia-siakan,” kritik Badrul.

    Ia berharap pemerintah kabupaten segera mengambil langkah tegas, melakukan evaluasi, serta memastikan kejadian serupa tidak terulang. “Ini bukan persoalan sepele. Dampaknya langsung dirasakan masyarakat. Harus ada pertanggungjawaban,” tutupnya. (tri/kun)

  • Tok! Otorita Beri Diskon Pajak hingga 200% Buat Investor IKN

    Tok! Otorita Beri Diskon Pajak hingga 200% Buat Investor IKN

    Bisnis.com, JAKARTA — Otorita Ibu Kota Nusantara (OIKN) mengumumkan pemberian insentif berupa tax deduction atau mekanisme pengurangan penghasilan bruto atau neto sebelum menghitung pajak terutang hingga 200%.

    Direktur Pendanaan Badan Otorita IKN, Insyafiah menjelaskan bahwa tersebut dirancang untuk memberikan pengurangan pajak signifikan sekaligus mendorong keterlibatan sektor swasta dalam percepatan pembangunan Nusantara.

    “Skema Sumbangan Strategis ini memberikan pengurangan penghasilan bruto hingga 200%,” kata Insyafiah dalam keterangan resmi, Kamis (4/12/2025).

    Insyafiah mengatakan kontribusi yang diberikan tidak hanya berupa beban pajak perusahaan, tetapi juga meningkatkan pendapatan setelah pajak bagi para investor di IKN.

    Adapun, fasilitas Super Tax Deduction ini diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 28 Tahun 2024 tentang Fasilitas Perpajakan dan Kepabeanan di IKN.

    Selain mendapatkan manfaat fiskal, perusahaan juga memperoleh nilai tambah non-ekonomi berupa peningkatan citra dan branding. 

    Serta, fasilitas umum yang dibangun, seperti halte, ruang terbuka hijau, maupun destinasi wisata, dapat mencantumkan identitas perusahaan sebagai bentuk apresiasi atas kontribusi nyata kepada masyarakat.

    Lebih lanjut, Kepala Seksi Peraturan PPh Badan II Kementerian Keuangan, Dwi Setyobudi, menuturkan bahwa insentif fiskal tersebut dirancang untuk memberikan dampak ekonomi berantai bagi Indonesia.

    “Kami berharap fasilitas ini dapat memacu pertumbuhan investasi, memperluas sektor usaha, serta menciptakan iklim bisnis yang lebih kondusif bagi investor di Indonesia,” ujarnya.

    Dwi menjelaskan bahwa pengajuan permohonan fasilitas dilakukan melalui sistem OSS (Online Single Submission), sebagaimana diatur dalam Pasal 114 PMK No. 28 Tahun 2024.

  • Parkir berbayar di Polda Metro Jaya punya dasar hukum jelas

    Parkir berbayar di Polda Metro Jaya punya dasar hukum jelas

    Jakarta (ANTARA) – Parkir kendaraan berbayar di lingkungan Polda Metro Jaya hingga saat ini mempunyai dasar hukum jelas yakni mulai dari Peraturan Menteri Keuangan (PMK) hingga Peraturan Gubernur DKI Jakarta.

    “Kebijakan ini diterapkan berdasarkan ketentuan pemerintah pusat maupun daerah yang mengatur pemanfaatan aset negara secara resmi dan bertanggung jawab,” kata Kepala Pelayan Markas (Kayanma) Polda Metro Jaya, AKBP Agus Rizal dalam keterangannya di Jakarta, Rabu,

    Pernyataan itu menanggapi sebuah video di media sosial yang menuntut agar parkir di kawasan itu seharusnya gratis karena Polda Metro Jaya merupakan kantor pelayanan publik.

    Agus menjelaskan, tarif parkir mengacu pada Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 31 Tahun 2017, dengan tarif untuk mobil berkisar Rp 3.000–Rp 12.000 per jam, bus dan truk Rp 4.000–Rp 12.000 per jam, sepeda motor Rp 1.000–Rp 4.000 per jam, serta sepeda Rp 1.000 sekali parkir.

    “Selain itu, kebijakan parkir juga berlandaskan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 115/PMK.06/2020 mengenai pemanfaatan Barang Milik Negara (BMN) yang harus memberikan pemasukan kepada negara melalui penerimaan negara bukan pajak (PNBP),” katanya.

    Agus menambahkan bahwa Polda Metro Jaya bukan satu-satunya instansi pemerintah yang menerapkan parkir berbayar.

    “Sejumlah fasilitas pelayanan publik seperti Kementerian Perhubungan, Kementerian Ketenagakerjaan, RSUP Fatmawati, RS Harapan Kita, hingga beberapa RSUD di Jabodetabek dan daerah lain juga menjalankan kebijakan serupa demi menjaga ketertiban dan kualitas pelayanan,” katanya.

    Ia juga mengajak masyarakat untuk tetap menggunakan kantong parkir resmi, selalu meminta karcis dan segera melaporkan jika ada pungutan liar.

    “Kami terus meningkatkan kenyamanan dan keamanan pelayanan publik, silahkan hubungi pusat layanan (call center) polisi 110 bila menemukan pelanggaran,” kata Agus.

    Sebelumnya sebuah video di media sosial Instagram melalui akun @folkkonoha yang mengunggah seorang pria bahwa dia tidak lama parkir kendaraan tetapi harus membayar biaya parkir yang jumlahnya lumayan besar.

    “Seorang pria bernama Fritz Alor Boy meluapkan kekesalannya usai diminta uang parkir sebesar Rp4 ribu saat baru berhenti kurang lebih dari lima menit di kawasan Polda Metro Jaya,” tulis akun tersebut.

    Pewarta: Ilham Kausar
    Editor: Edy Sujatmiko
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Kenapa Parkir Kendaraan di Mapolda Metro Jaya Harus Bayar?
                
                    
                        
                            Megapolitan
                        
                        3 Desember 2025

    Kenapa Parkir Kendaraan di Mapolda Metro Jaya Harus Bayar? Megapolitan 3 Desember 2025

    Kenapa Parkir Kendaraan di Mapolda Metro Jaya Harus Bayar?
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com – 
    Seorang pengendara motor bernama Fritz mempertanyakan soal adanya biaya parkir kendaraan di Markas Polda (Mapolda) Metro Jaya.
    Dalam video unggahan di akun TikTok 
    @
    fritzalorboy yang kemudian dibagikan ulang di akun Instagram
    @
    folkkonoha, Fritz yang hendak keluar parkiran di
    Mapolda Metro Jaya
    terlihat jengkel dengan biaya parkir yang dinilainya begitu mahal.
    “Baru dua menit masuk sudah dikenakan Rp 4.000. Ini adalah permainan kotor, permainan busuk parkiran di Polda Metro Jaya,” kata Fritz dikutip dari video tersebut, Rabu (3/12/2025).
    Ia menyoroti para pengunjung lain yang memiliki urusan hingga berjam-jam di Mapolda Metro Jaya, sehingga harus membayar tarif parkir yang lebih besar.
    “Nah bagaimana dengan rakyat kecil yang berjam-jam di sini? Kalian parkir bikin susah. Telepon tuh pimpinan kalian,” kata dia.
    Dengan suara lantang, Fritz juga meminta agar parkir di lingkungan Mapolda Metro Jaya digratiskan karena tempat tersebut merupakan institusi negara.
    “Kalian itu merugikan rakyat kecil, parkir tuh digratiskan saja! Ini lembaga negara kok model begini, tidak boleh!” tegas dia.
    Kepala Pelayanan Markas Polda Metro Jaya AKBP Agus Rizal mengatakan, kebijakan parkir berbayar di lingkungan Mapolda Metro Jaya memiliki dasar hukum yang jelas.
    “Kebijakan ini diterapkan berdasarkan ketentuan pemerintah pusat maupun daerah yang mengatur pemanfaatan aset negara secara resmi dan bertanggung jawab,” tegas Agus dalam keterangan tertulisnya, Rabu.
    Ia menjelaskan, pengaturan parkir mengacu pada Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 115/PMK.06/2020 tentang pemanfaatan Barang Milik Negara (BMN).
    Aturan tersebut mengharuskan adanya pemasukan bagi negara melalui skema Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).
    Selain itu, tarif parkir di wilayah hukum Polda Metro Jaya juga mengacu pada Peraturan Gubernur (Pergub) DKI Jakarta Nomor 31 Tahun 2017.
    Dalam aturan tersebut, kendaraan roda dua dikenakan tarif Rp 1.000 hingga Rp 4.000 per jam.
    Sementara itu, kendaraan roda empat dikenakan tarif Rp 3.000 hingga Rp 12.000 per jam, bus dan truk sebesar Rp 4.000 hingga Rp 12.000 per jam, serta sepeda Rp 1.000 sekali parkir.
    Terkait tuntutan pembebasan biaya parkir, Agus menegaskan bahwa Mapolda Metro Jaya bukan satu-satunya institusi pemerintah yang menerapkan kebijakan parkir berbayar.
    Beberapa instansi lain yang juga memberlakukan kebijakan serupa, di antaranya RSUP Fatmawati, RS Harapan Kita, sejumlah RSUD di wilayah Jabodetabek, serta gedung Kementerian Perhubungan dan Kementerian Ketenagakerjaan.
    Menurut dia, kebijakan tersebut merupakan bentuk penegakan aturan guna menjaga ketertiban serta meningkatkan kualitas pelayanan publik.
    “Polda Metro Jaya bukan satu-satunya instansi pemerintah yang menerapkan parkir berbayar. Sejumlah fasilitas pelayanan publik lain juga menjalankan kebijakan serupa demi menjaga ketertiban dan kualitas pelayanan,” terang dia.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Investor Bangun Fasilitas Umum di IKN Bisa Dapat Diskon Pajak hingga 200%

    Investor Bangun Fasilitas Umum di IKN Bisa Dapat Diskon Pajak hingga 200%

    Jakarta

    Fasilitas fiskal potongan pajak super atau super tax deduction ditawarkan Otorita Ibu Kota Nusantara (IKN) bagi pelaku usaha yang memberikan sumbangan ataupun membangun fasilitas sosial dan umum di ibu kota baru.

    Potongan pajak super itu bisa mencapai 200%. Insentif ini diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 28 Tahun 2024 tentang Fasilitas Perpajakan dan Kepabeanan di IKN.

    Kebijakan tersebut dirancang untuk memberikan pengurangan pajak signifikan sekaligus mendorong keterlibatan sektor swasta dalam percepatan pembangunan Nusantara.

    Direktur Pendanaan OIKN, Insyafiah, menjelaskan bahwa fasilitas super tax deduction merupakan bentuk fasilitas dari pemerintah yang memberikan manfaat fiskal langsung bagi perusahaan yang melakukan investasi di IKN.

    “Skema Sumbangan Strategis ini memberikan pengurangan penghasilan bruto hingga 200%. Artinya, kontribusi yang diberikan tidak hanya mengurangi beban pajak perusahaan, tetapi juga meningkatkan income after tax,” jelas Insyafiah dalam keterangannya, Senin (2/12/2025).

    Selain manfaat fiskal, perusahaan juga memperoleh nilai tambah non-ekonomi berupa peningkatan citra dan branding. Fasilitas umum yang dibangun, seperti halte, ruang terbuka hijau, maupun destinasi wisata, dapat mencantumkan identitas perusahaan tanpa perlu bayaran.

    “Ini bukan hanya investasi untuk perusahaan, tetapi juga untuk masyarakat dan negara. Aset yang dibangun akan meningkatkan kualitas hidup dan memperkuat kehadiran positif perusahaan di ruang publik,” ujar Insyafiah.

    Kepala Seksi Peraturan PPh Badan II Kementerian Keuangan Dwi Setyobudi menuturkan insentif fiskal ini dirancang untuk memberikan dampak ekonomi berantai bagi Indonesia.

    “Kami berharap fasilitas ini dapat memacu pertumbuhan investasi, memperluas sektor usaha, serta menciptakan iklim bisnis yang lebih kondusif bagi investor di Indonesia,” ujar Dwi.

    Dwi menjelaskan bahwa pengajuan permohonan fasilitas dilakukan melalui sistem Online Single Submission (OSS) sebagaimana diatur dalam Pasal 114 PMK nomor 28 Tahun 2024.

    (hal/hns)

  • DPR: Negara Pernah Ambil Pajak dari Perdagangan Baju Impor Bekas

    DPR: Negara Pernah Ambil Pajak dari Perdagangan Baju Impor Bekas

    Bisnis.com, JAKARTA — Anggota Komisi V DPR RI Adian Napitupulu mengungkapkan bahwa pemerintah pernah mengenakan pajak pada perdagangan pakaian impor bekas alias thrifting yang kini dinyatakan ilegal.

    Adian merujuk pada Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 132/PMK.010/2015 tentang perubahan aturan Penetapan Sistem Klasifikasi Barang Dan Pembebanan Tarif Bea Masuk Atas Barang Impor. Aturan ini telah dicabut dengan PMK No. 6/PMK.010/2017.

    “Tahun 2015, PMK No. 132 ada pajak untuk barang-baju bekas impor besarnya 35%, tetapi PMK itu sudah dihapus. Artinya, ada sejarah itu pernah dilegalkan dan negara pernah mengambil uang dari situ,” kata Adian usai kunjungan bersama Menteri UMKM Maman Abdurrahman ke pedagang thrifting Pasar Senen, Jakarta Pusat, Minggu (30/11/2025).

    Menurutnya, hal ini menjadi gambaran bahwa pedagang baju impor bekas bukan merupakan kompetitor langsung pedagang baju lokal, selain karena adanya segmentasi pasar yang berbeda.

    Dia lantas mencontohkan bahwa di Blok III Pasar Senen, pedagang pakaian impor bekas terpusat di lantai 2, sedangkan pedagang atau UMKM pakaian lokal berada di lantai 1 bersama usaha lain yang berkaitan.

    Situasi serupa, jelas Adian, juga berjalan di kawasan Gedebage, Kota Bandung. Menurutnya, pedagang pakaian lokal dan pakaian bekas impor justru menopang keberlanjutan ekosistem pasar yang mencakup usaha terkait pakaian, seperti penjahit hingga jasa pencucian.

    Oleh karenanya, Adian meminta pemerintah mempertimbangkan secara saksama faktor ini agar geliat perdagangan pakaian di pasar tak surut.

    “Ekosistem ini sudah terbangun bertahun-tahun, berpuluh-puluh tahun. Ini harus dipertimbangkan. Mematikan salah satu akan mematikan mata rantai ekosistem ini,” tegasnya.

    Dalam kesempatan yang sama, Menteri UMKM Maman Abdurrahman mengaku telah menerima masukan dari pedagang yang terjerat larangan aktivitas thrifting. Menurutnya, pedagang meminta agar pemerintah melonggarkan larangan impor balpres pakaian bekas dengan penerapan kuota.

    “Memang ada aspirasi dari teman-teman asosiasi, kenapa enggak dibuka kuota [impor pakaian bekas], ataupun disiapkan aturan lainnya. Ini aspirasi, ya,” kata Maman kepada wartawan.

    Namun demikian, Maman mengaku masih mengkaji opsi tersebut. Menurutnya, permasalahan ini bukan hanya berada dalam lingkup Kementerian UMKM, melainkan juga lintas lembaga.

    “Kita belum masuk ke situ [penerapan kuota impor]. Cuma ini ada aspirasi, ada saran masukan dari teman-teman asosiasi. Dan itu akan kita rumuskan yang terbaik,” terangnya.

  • Menteri UMKM Ungkap Dilema soal Larangan Perdagangan Pakaian Impor Bekas
                
                    
                        
                            Megapolitan
                        
                        30 November 2025

    Menteri UMKM Ungkap Dilema soal Larangan Perdagangan Pakaian Impor Bekas Megapolitan 30 November 2025

    Menteri UMKM Ungkap Dilema soal Larangan Perdagangan Pakaian Impor Bekas
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com —
    Menteri Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) Maman Abdurrahman mengakui adanya dilema dalam penanganan polemik perdagangan pakaian bekas impor atau thrifting.
    Menurut Maman, pemerintah dihadapkan pada dua sisi yang saling bertolak belakang, yakni penegakan aturan larangan impor dan realitas ekonomi para pedagang di lapangan.
    “Di satu sisi, saya harus menyampaikan apa adanya dulu. Di satu sisi memang secara aturan, kita dilarang mengimpor barang-barang bekas. Ini secara aturannya dulu,
    real
    -nya begitu,” ujar Maman saat meninjau sentra penjualan pakaian bekas di
    Pasar Senen
    , Jakarta Pusat, Minggu (30/11/2025).
    Namun, di sisi lain, Maman menegaskan bahwa pemerintah tidak bisa menutup mata terhadap nasib pedagang yang menggantungkan hidupnya dari aktivitas perdagangan baju bekas ini.
    “Sisi keduanya adalah kita harus mengamankan keberlanjutan aktivitas ekonomi para pedagang. Keberadaan saya di sini, kita akan mencari jalan tengah, solusi terbaik apa untuk menyelesaikan situasi ini,” ujar dia.
    Meski begitu, Maman menekankan bahwa prioritas pemerintah saat ini adalah memastikan pedagang tetap bisa mencari nafkah sembari mencari formulasi kebijakan yang tepat.
    Ia juga menegaskan, isu yang menjadi perhatian utama adalah perdagangan barang bekas impor, bukan barang bekas lokal.
    “Coba kita luruskan dulu ya. Saya pikir saya tidak mau pakai diksi
    thrifting
    . Karena
    thrifting
    itu kan ada beberapa. Ada orang yang menjual baju bekas, orang Indonesia menjual baju bekas, itu tidak ada isu kan?” kata Maman.
    “Yang jadi isu ini kan sebetulnya baju-baju bekas yang diimpor. Kalau istilah di kampung saya itu ‘baju elong’. Nah kalau di Medan itu ‘monja’, barang monja. Nah yang jadi isu itu di situ,” imbuh dia.
    Kendati ada aturan yang melarang, Maman menyadari bahwa penindakan satu arah tanpa solusi yang jelas akan berdampak buruk bagi keberlangsungan ekonomi.
    “Pedagang harus berjalan aktivitas ekonominya. Itu dulu ya, tolong dipahami ya. Saya kepentingan kami dan ini juga pemerintah kepentingannya di situ,” kata dia.
    Maman juga mengakui bahwa wacana substitusi produk impor dengan produk lokal tidak dapat menjadi solusi instan.
    “Kami kan dari Kementerian UMKM juga mendorong untuk dilakukan substitusi. Tetapi kan substitusi itu tidak bisa langsung begitu saja, serta-merta. Ini kan butuh proses,
    step by step
    ,” kata politikus Partai Golkar itu.
    Maman pun berjanji akan berkoordinasi dengan kementerian lain, termasuk Kementerian Perdagangan dan Kementerian Keuangan, untuk merumuskan aturan yang realistis.
    Sementara, anggota Komisi V DPR Adian Napitupulu yang mendampingi Maman mengingatkan bahwa perdagangan
    pakaian bekas impor
    telah membentuk ekosistem ekonomi yang kompleks selama puluhan tahun, termasuk, mata rantai antara satu pedagang dengan yang lainnya.
    “Di Bandung, di Gedebage, ekosistemnya terbentuk. Ada penjual, ada yang penjahitnya di situ. Ada tukang lipat, ada tukang cuci, ada kuli panggul,” ujar Adian.
    Menurut dia, mematikan sektor ini secara tiba-tiba dinilai akan memutus mata rantai penghidupan banyak orang, bukan hanya pedagang lapak.
    Adian juga menyinggung bahwa aktivitas ini sebenarnya pernah dilegalkan dan dipajaki oleh negara melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) pada tahun 2015.
    “Tahun 2015, PMK 132 ada pajak untuk
    baju bekas impor
    besarnya 35 persen. Tapi PMK itu sudah dihapus. Artinya ada sejarah itu pernah dilegalkan, pernah diperbolehkan,” kata politikus PDI-P tersebut.
    Kehadiran Maman dan Adian di Pasar Senen disambut oleh para pedagang baju bekas.
    Sambil mengikuti Maman dan Adian yang berkeliling, para pedagang menunjukkan sejumlah pesan yang disematkan ke selembar potongan kardus kepada Maman.

    Thrifting
    juga UMKM! Jangan ditutup, kami pedagang kecil!” teriak para pedagang kepada Maman.
    “Jangan dibikin ilegal pak Menteri, ini hidup kita pedagang di sini,” sahut pedagang lainnya.
    Sepanjang kunjungannya, Maman berkeliling melihat langsung situasi jual beli pakaian thrifting di Pasar Senen, sembari bertanya tentang asal baju dagangannya kepada sejumlah pedagang.
    Kunjungan itu dilakukan Maman menyusul adanya polemik larangan impor barang bekas, termasuk pakaian, yang banyak dijadikan sebagai produk dagangan di Pasar Senen.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Mimpi Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Setelah Empat Dekade

    Mimpi Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Setelah Empat Dekade

    Bisnis.com, JAKARTA – Pemerintah kembali mendeklarasikan ambisi besar untuk membawa perekonomian nasional tumbuh 8% dalam lima tahun ke depan. Target pertumbuhan ekonomi yang pernah lekat dengan ekonomi Indonesia empat hingga lima dekade lalu. Meski demikian, sejumlah tantangan struktural yang mengemuka sejak awal reformasi masih membayangi.

    Sebagai pengingat, pertumbuhan tinggi ekonomi Indonesia terjadi pada era Presiden Soeharto. Rinciannya, ekonomi tertinggi sepanjang sejarah Indonesia terjadi pada 1968 yakni mencapai 10,9%. Pertumbuhan tinggi di atas 8% kembali terjadi pada 1973 (8,1%), 1977 (8,3%), 1980 (10%), dan 1995 (8,2%). Meski demikian, rezim ini menutup kejatuhannya dengan anjlok -13,1% pada 1998 saat terjadi penggulingan kekuasaan lewat demonstrasi massa. 

    Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa dalam Rencana Strategis Kementerian Keuangan (Kemenkeu) 2025–2029 yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.70/2025, mengamanatkan jajaran di kementeriannya mendukung arah pertumbuhan ekonomi 8% ini melalui optimalisasi pendapatan negara, belanja negara, perluasan sumber dan inovasi pembiayaan, serta pengendalian inflasi untuk mengejar target pertumbuhan.

    Dalam rencana tersebut, indikator sasaran strategis pendapatan negara yang optimal antara lain rasio pendapatan negara terhadap PDB sebesar 12,36% pada 2025 dan naik ke kisaran 12,86% hingga 18% pada 2029.

    Rasio penerimaan perpajakan terhadap PDB juga ditargetkan meningkat. Pada 2025, targetnya sebesar 10,24% dan naik ke kisaran 11,52% hingga 15% pada 2029.

    Menteri Investasi dan Hilirisasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Rosan P. Roeslani menyampaikan bahwa Indonesia membutuhkan investasi sekitar Rp13.032 triliun untuk mendorong pertumbuhan ekonomi 8% pada 2029. “Kalau kita lihat, dalam 5 tahun ke depan, pertumbuhan investasi yang diharapkan kurang lebih adalah Rp13.032 triliun atau kurang lebih US$869 miliar,” ucap Rosan dalam Kompas 100 CEO Forum di Tangerang, Rabu (26/11/2025).

    Menurut Rosan, target investasi tersebut memiliki rata-rata pertumbuhan sekitar 15,7% dibandingkan realisasi investasi 10 terakhir. Ia mengakui target itu menantang, tetapi upaya memperbaiki iklim investasi terus ditempuh, termasuk penyempurnaan sistem perizinan. Integrasi perizinan dari 18 kementerian kini berada dalam kewenangan Kementerian Investasi dan Hilirisasi.

    Rosan juga mencontohkan percepatan layanan perizinan berdasarkan ketentuan dalam PP No.28, yang memungkinkannya mengeluarkan izin apabila kementerian terkait tidak memberi respons dalam waktu yang ditentukan. “Dalam waktu 2 bulan, saya sudah mengeluarkan 151 perizinan,” katanya.

    Mimpi pertumbuhan ekonomi 8% juga pernah disinggung waktu era Presiden Joko Widodo dengan Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati. Kala itu mantan bos Bank Dunia itu menyebut ekonomi Indonesia sebesar 7% hingga 8% hanya terjadi di era kepemimpinan Soeharto. Sejak itu, perekonomian sulit melampaui kisaran 7%.

    Pertumbuhan tertinggi pasca-Soeharto terjadi pada era Susilo Bambang Yudhoyono, yakni 6,3% pada 2007. Adapun pada era Joko Widodo, pertumbuhan ekonomi rata-rata berada di sekitar 4,23%.

    “Dalam 50 tahun sejarah Indonesia, pertumbuhan tertinggi sebenarnya dicapai pada tahun 1990-an ketika kita mampu mencapai sekitar 8%. Itu sama persis dengan India saat ini,” ujarnya dalam The International Seminar and Growth Academy Asean di Aula Dhanapala Kemenkeu, Senin (23/9/2024).

    Meski ekonomi tumbuh solid, sejumlah catatan menunjukkan stabilitas ekonomi Orde Baru pada dekade 1970-an turut dipengaruhi booming minyak dan gas. Penerimaan migas mengalir deras ke kas negara, membuat pemerintah relatif leluasa menjalankan program pembiayaan. Akan tetapi, resesi global pada 1982 menjadi titik balik ketika harga minyak jatuh dan pendapatan negara tertekan. Ekonomi hanya tumbuh 2,2% pada tahun itu.

    Meski reformasi pajak dan pengembangan sektor nonmigas kemudian dilakukan, tekanan ekonomi kembali muncul menjelang akhir Orde Baru. Tensi politik meningkat pada 1996, inflasi naik menjadi 8,86%, defisit transaksi berjalan melebar, dan krisis finansial Asia 1997 memperparah kondisi ekonomi. Krisis tersebut menunjukkan kerentanan struktural perekonomian dan lemahnya tata kelola. Inflasi mencapai 77,6%, ekonomi terjun ke -13,7%, dan Soeharto akhirnya lengser setelah 32 tahun berkuasa.

    Reformasi 1998 membawa perubahan tata kelola politik, tetapi ekonomi masih belum kembali pada pertumbuhan tinggi seperti sebelum krisis. Pada 1998, ekonomi minus -13,13%, lalu berbalik tipis menjadi 0,79% pada 1999. Upaya pemulihan melalui penataan aset, penjualan BUMN, dan berbagai kebijakan fiskal membuat ekonomi tumbuh 3,64% pada 2001 dan 4,5% pada 2002.

    Pada 2003, pemerintahan Presiden Megawati menyampaikan optimisme bahwa pertumbuhan dapat mencapai 7% dalam tiga tahun namun tak pernah terealisasi. Menteri Keuangan Boediono, kala itu, menilai sasaran tersebut masih dalam jangkauan jika perbaikan iklim investasi dilakukan. Ia menekankan pentingnya kepastian hukum, keamanan, dan perlindungan hak usaha. Persoalan kelembagaan, aturan yang tumpang tindih, serta pungutan daerah menjadi tantangan.

    Hingga kini, data BPS menunjukkan ekonomi Indonesia belum pernah kembali menembus pertumbuhan tahunan di atas 7% setelah reformasi. Rekor pertumbuhan tertinggi tercatat pada 2007, yakni 6,35%. Pada era pemerintahan Joko Widodo, pertumbuhan tertinggi berada di kisaran 5%.

  • Mimpi Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Setelah Empat Dekade

    Mimpi Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Setelah Empat Dekade

    Bisnis.com, JAKARTA – Pemerintah kembali mendeklarasikan ambisi besar untuk membawa perekonomian nasional tumbuh 8% dalam lima tahun ke depan. Target pertumbuhan ekonomi yang pernah lekat dengan ekonomi Indonesia empat hingga lima dekade lalu. Meski demikian, sejumlah tantangan struktural yang mengemuka sejak awal reformasi masih membayangi.

    Sebagai pengingat, pertumbuhan tinggi ekonomi Indonesia terjadi pada era Presiden Soeharto. Rinciannya, ekonomi tertinggi sepanjang sejarah Indonesia terjadi pada 1968 yakni mencapai 10,9%. Pertumbuhan tinggi di atas 8% kembali terjadi pada 1973 (8,1%), 1977 (8,3%), 1980 (10%), dan 1995 (8,2%). Meski demikian, rezim ini menutup kejatuhannya dengan anjlok -13,1% pada 1998 saat terjadi penggulingan kekuasaan lewat demonstrasi massa. 

    Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa dalam Rencana Strategis Kementerian Keuangan (Kemenkeu) 2025–2029 yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.70/2025, mengamanatkan jajaran di kementeriannya mendukung arah pertumbuhan ekonomi 8% ini melalui optimalisasi pendapatan negara, belanja negara, perluasan sumber dan inovasi pembiayaan, serta pengendalian inflasi untuk mengejar target pertumbuhan.

    Dalam rencana tersebut, indikator sasaran strategis pendapatan negara yang optimal antara lain rasio pendapatan negara terhadap PDB sebesar 12,36% pada 2025 dan naik ke kisaran 12,86% hingga 18% pada 2029.

    Rasio penerimaan perpajakan terhadap PDB juga ditargetkan meningkat. Pada 2025, targetnya sebesar 10,24% dan naik ke kisaran 11,52% hingga 15% pada 2029.

    Menteri Investasi dan Hilirisasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Rosan P. Roeslani menyampaikan bahwa Indonesia membutuhkan investasi sekitar Rp13.032 triliun untuk mendorong pertumbuhan ekonomi 8% pada 2029. “Kalau kita lihat, dalam 5 tahun ke depan, pertumbuhan investasi yang diharapkan kurang lebih adalah Rp13.032 triliun atau kurang lebih US$869 miliar,” ucap Rosan dalam Kompas 100 CEO Forum di Tangerang, Rabu (26/11/2025).

    Menurut Rosan, target investasi tersebut memiliki rata-rata pertumbuhan sekitar 15,7% dibandingkan realisasi investasi 10 terakhir. Ia mengakui target itu menantang, tetapi upaya memperbaiki iklim investasi terus ditempuh, termasuk penyempurnaan sistem perizinan. Integrasi perizinan dari 18 kementerian kini berada dalam kewenangan Kementerian Investasi dan Hilirisasi.

    Rosan juga mencontohkan percepatan layanan perizinan berdasarkan ketentuan dalam PP No.28, yang memungkinkannya mengeluarkan izin apabila kementerian terkait tidak memberi respons dalam waktu yang ditentukan. “Dalam waktu 2 bulan, saya sudah mengeluarkan 151 perizinan,” katanya.

    Mimpi pertumbuhan ekonomi 8% juga pernah disinggung waktu era Presiden Joko Widodo dengan Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati. Kala itu mantan bos Bank Dunia itu menyebut ekonomi Indonesia sebesar 7% hingga 8% hanya terjadi di era kepemimpinan Soeharto. Sejak itu, perekonomian sulit melampaui kisaran 7%.

    Pertumbuhan tertinggi pasca-Soeharto terjadi pada era Susilo Bambang Yudhoyono, yakni 6,3% pada 2007. Adapun pada era Joko Widodo, pertumbuhan ekonomi rata-rata berada di sekitar 4,23%.

    “Dalam 50 tahun sejarah Indonesia, pertumbuhan tertinggi sebenarnya dicapai pada tahun 1990-an ketika kita mampu mencapai sekitar 8%. Itu sama persis dengan India saat ini,” ujarnya dalam The International Seminar and Growth Academy Asean di Aula Dhanapala Kemenkeu, Senin (23/9/2024).

    Meski ekonomi tumbuh solid, sejumlah catatan menunjukkan stabilitas ekonomi Orde Baru pada dekade 1970-an turut dipengaruhi booming minyak dan gas. Penerimaan migas mengalir deras ke kas negara, membuat pemerintah relatif leluasa menjalankan program pembiayaan. Akan tetapi, resesi global pada 1982 menjadi titik balik ketika harga minyak jatuh dan pendapatan negara tertekan. Ekonomi hanya tumbuh 2,2% pada tahun itu.

    Meski reformasi pajak dan pengembangan sektor nonmigas kemudian dilakukan, tekanan ekonomi kembali muncul menjelang akhir Orde Baru. Tensi politik meningkat pada 1996, inflasi naik menjadi 8,86%, defisit transaksi berjalan melebar, dan krisis finansial Asia 1997 memperparah kondisi ekonomi. Krisis tersebut menunjukkan kerentanan struktural perekonomian dan lemahnya tata kelola. Inflasi mencapai 77,6%, ekonomi terjun ke -13,7%, dan Soeharto akhirnya lengser setelah 32 tahun berkuasa.

    Reformasi 1998 membawa perubahan tata kelola politik, tetapi ekonomi masih belum kembali pada pertumbuhan tinggi seperti sebelum krisis. Pada 1998, ekonomi minus -13,13%, lalu berbalik tipis menjadi 0,79% pada 1999. Upaya pemulihan melalui penataan aset, penjualan BUMN, dan berbagai kebijakan fiskal membuat ekonomi tumbuh 3,64% pada 2001 dan 4,5% pada 2002.

    Pada 2003, pemerintahan Presiden Megawati menyampaikan optimisme bahwa pertumbuhan dapat mencapai 7% dalam tiga tahun namun tak pernah terealisasi. Menteri Keuangan Boediono, kala itu, menilai sasaran tersebut masih dalam jangkauan jika perbaikan iklim investasi dilakukan. Ia menekankan pentingnya kepastian hukum, keamanan, dan perlindungan hak usaha. Persoalan kelembagaan, aturan yang tumpang tindih, serta pungutan daerah menjadi tantangan.

    Hingga kini, data BPS menunjukkan ekonomi Indonesia belum pernah kembali menembus pertumbuhan tahunan di atas 7% setelah reformasi. Rekor pertumbuhan tertinggi tercatat pada 2007, yakni 6,35%. Pada era pemerintahan Joko Widodo, pertumbuhan tertinggi berada di kisaran 5%.