Etomidate Jadi Narkotika Usai Kapolri Lapor ke Presiden Prabowo
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Pemerintah resmi memasukkan etomidate, obat bius yang belakangan marak dicampurkan dalam cairan vape, ke dalam daftar Narkotika Golongan II.
Kebijakan ini tertuang dalam Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 15 Tahun 2025 tentang Perubahan Penggolongan Narkotika yang ditetapkan pada awal Desember.
Dengan perubahan ini, para pengguna
vape
yang mengandung
etomidate
kini dapat dikenai jerat pidana berdasarkan Undang-Undang Narkotika.
Selain itu, aparat penegak hukum juga dapat merekomendasikan tindakan
rehabilitasi medis
maupun sosial.
“Sekarang (etomidate) sudah masuk golongan narkotika, jadi pengguna bisa dikenakan UU Narkotika, (dan) rehab,” ujar Direktur Tindak Pidana Narkoba Bareskrim Polri Brigjen Pol Eko Hadi Santoso, kepada wartawan, Kamis (11/12/2025).
Eko menjelaskan, sebelum adanya Permenkes terbaru ini, etomidate belum termasuk dalam golongan narkotika.
Penindakan atas temuan etomidate saat itu hanya mengacu pada Undang-Undang Kesehatan.
Konsekuensinya, hukum hanya dapat menjerat produsen dan pengedar, sementara pengguna tidak dapat dipidana.
“Dulu belum masuk golongan narkotika. Jadi penindakan masih pakai UU Kesehatan dan hanya bisa dikenakan pada pengedar/produsen, pengguna tidak bisa dikenakan UU Kesehatan,” ujar Eko.
Ia juga menunjukkan salinan Permenkes Nomor 15 Tahun 2025 sebagai dasar hukum baru tersebut.
Dalam aturan itu,
Narkotika Golongan II
didefinisikan sebagai narkotika berkhasiat pengobatan yang hanya digunakan sebagai pilihan terakhir, dapat dimanfaatkan untuk terapi atau riset, namun memiliki potensi ketergantungan tinggi.
Etomidate kini tercantum di urutan terakhir daftar golongan tersebut.
Pengetatan aturan ini muncul di tengah meningkatnya temuan peredaran vape berisi cairan etomidate.
Beberapa waktu lalu, kepolisian membongkar jaringan penyelundupan internasional yang memasok ribuan cartridge vape berisi zat anestesi tersebut, dengan nilai estimasi mencapai Rp 42,5 miliar.
Kapolresta Bandara Soekarno-Hatta Kombes Pol Ronald Sipayung mengungkapkan, satu warga negara asing asal Malaysia berinisial B ditetapkan sebagai tersangka dan masuk daftar pencarian orang (DPO).
B diduga menjadi pengendali sekaligus pemesan utama barang terlarang tersebut dari luar negeri.
“Yang bersangkutan diduga berperan sebagai pengendali atau pemesan barang dari luar negeri,” ujar Ronald, dalam konferensi pers di Mapolresta Bandara Soekarno-Hatta, Kota Tangerang, Rabu (12/11/2025).
Atensi pemerintah terhadap penyalahgunaan etomidate meningkat setelah Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo melaporkan langsung kepada
Presiden Prabowo Subianto
mengenai temuan dua jenis obat bius yang belum tercakup dalam hukum pidana.
Keduanya adalah ketamin dan etomidate.
Masalah tersebut disampaikan Kapolri dalam laporannya saat acara pemusnahan barang bukti narkoba seberat 214,84 ton dengan total nilai Rp 29,37 triliun di Lapangan Bhayangkara, Mabes Polri, Jakarta Selatan, Rabu (29/10/2025).
“Kami laporkan bahwa hasil temuan di lapangan saat ini telah terjadi tren baru yang cukup mengkhawatirkan, yaitu maraknya penggunaan senyawa berbahaya berupa ketamin, yang digunakan dengan cara dihirup melalui hidung serta etomidate yang dicampur dengan liquid vape dan kemudian dihisap menggunakan pods,” kata Kapolri.
“Kedua, senyawa berbahaya tersebut sampai dengan saat ini belum diatur dalam produk hukum, sehingga penggunanya tidak dapat dipidana,” tambah dia.
Menurut Kapolri, ketamin kini banyak disalahgunakan dengan cara dihirup melalui hidung, sementara etomidate dicampur dalam cairan vape (liquid) dan dihisap menggunakan perangkat pods.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Produk: Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes)
-

Buruh Tolak Wacana Kemasan Rokok Polos, Ini Alasannya
Jakarta –
Buruh Industri Hasil Tembakau (IHT) menolak wacana penyeragaman kemasan rokok dengan warna yang sama atau plain packaging. Wacana ini dinilai akan menyulitkan konsumen membedakan produk legal dan ilegal.
Ketua Umum Pengurus Pusat Federasi Serikat Pekerja Rokok, Tembakau, Makanan dan Minuman (PP FSP RTMM-SPSI), Sudarto AS melanjutkan, wacana ini bisa memudahkan pelaku industri ilegal memalsukan produk tanpa perlu meniru desain dan logo merek yang kompleks. Akibatnya, penerimaan negara dari cukai bisa terancam.
Lebih jauh, ia menyoroti dampak terhadap keberlanjutan industri dan tenaga kerja. Penyeragaman kemasan dinilai dapat menekan penjualan produk legal dan berimbas pada nasib jutaan pekerja di sektor IHT.
“Kami sepakat dengan apa yang disampaikan oleh Menteri Keuangan Purbaya kalau belum bisa mencarikan atau membuka lapangan pekerjaan untuk sektor padat karya seperti industri hasil tembakau lebih baik diam,” tegas Sudarto dalam keterangan tertulis, Kamis (11/12/2025).
Sudarto meminta Kementerian Kesehatan (Kemenkes) untuk membuka ruang dialog yang inklusif sebelum mengesahkan Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes). Ia menilai rapat koordinasi yang telah dilakukan belum mencerminkan komitmen untuk mendengarkan masukan dari seluruh pemangku kepentingan.
“Kami dengan tegas menolak rencana penyeragaman warna kemasan rokok. Kemasan, warna, dan logo bukan sekadar tampilan, tapi bagian dari identitas merek dan hak kekayaan intelektual perusahaan. Rokok adalah produk legal, dan kami adalah tenaga kerja legal,” ujar Sudarto.
Kebijakan kemasan polos pada rokok dinilai melampaui batas kewenangan Kemenkes yang seharusnya hanya mengatur aspek peringatan kesehatan bergambar (GHW). Ia menyatakan bahwa penyeragaman warna dan logo merek dalam kemasan rokok merupakan pelanggaran terhadap hak kekayaan intelektual (HAKI) dan berpotensi menimbulkan sengketa hukum.
Selain itu, kebijakan tersebut juga disebut bertentangan dengan amanat Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024, yang secara spesifik hanya memberikan mandat kepada Kemenkes untuk mengatur GHW, bukan kemasan secara keseluruhan.
“Mereka tidak memiliki hak untuk mengatur soal kemasan, apalagi sampai menyeragamkan warna logo. PP 28/2024 secara spesifik meminta Kemenkes mengatur gambar peringatan kesehatannya (GHW), bukan mengatur-atur soal kemasan,” pungkasnya.
(ada/ara)
-

Kemenkes Susun Regulasi Donor Organ untuk Cegah Perdagangan Organ Ilegal
Jakarta –
Kementerian Kesehatan (Kemenkes) tengah menyiapkan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) tentang donor organ sebagai langkah penting dalam memperkuat sistem transplantasi organ di Indonesia. Regulasi ini ditargetkan rampung sebelum akhir tahun 2025.
Menteri Kesehatan RI Budi Gunadi Sadikin mengatakan, kerusakan organ vital masih menjadi penyebab kematian tinggi di Indonesia, padahal hampir semua organ tubuh manusia dapat dicangkokkan, kecuali otak.
“Prosedur cangkok ini harus ada donor dan resipien. Biasanya diatur oleh negara untuk mencegah praktik ilegal perdagangan organ,” ujar Menkes Budi di RS Fatmawati, Jakarta, Rabu (8/10).
Ia menegaskan bahwa pengaturan donor organ harus menjunjung prinsip keadilan dan mencegah diskriminasi.
“Karena ini menyangkut nyawa, semua orang pasti ingin dapat organ. Jangan sampai hanya orang kaya yang bisa,” katanya.
Selain itu, Budi menyoroti potensi tekanan ekonomi yang dapat membuat seseorang terpaksa mendonorkan organ karena alasan finansial.
“Donor jangan sampai terpaksa karena kurang uang. Itu bisa menimbulkan masalah etika dan sosial,” tegasnya.
Budi menyebut, etika, keadilan, dan transparansi menjadi dasar utama perumusan regulasi ini. Negara perlu memastikan sistem donor organ aman, adil, dan tidak merugikan pihak mana pun.
“Selama ini kita belum punya aturan yang kuat. Karena itu saya minta agar Dirjen Kesehatan Lanjutan segera menuntaskan regulasi ini sebelum akhir tahun,” ujarnya.
Permenkes tersebut nantinya akan menjadi payung hukum pelaksanaan donor organ di Indonesia, mencakup tata cara donor, kriteria penerima, mekanisme perizinan, serta perlindungan hukum bagi donor dan tenaga medis.
Dengan hadirnya regulasi ini, pemerintah berharap sistem transplantasi organ di Indonesia dapat berjalan lebih aman, transparan, dan berlandaskan kemanusiaan.
“Tujuan utama kami adalah memastikan setiap orang, tanpa memandang status ekonomi, memiliki kesempatan yang sama untuk hidup lebih baik melalui transplantasi organ,” tutur Menkes Budi.
Halaman 2 dari 2
Simak Video “Video: Menkes Bahas Revisi Anggaran 2026 di Rapat Tambahan Bareng DPR”
[Gambas:Video 20detik]
(kna/kna) -

PP 28 Tahun 2024 tentang Kesehatan Ancam Sektor Padat Karya
PIKIRAN RAKYAT – Ketua Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI Mukhamad Misbakhun memperingatkan, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 memicu kekhawatiran serius di kalangan legislatif dan pelaku ekonomi nasional.
Menurut dia, industri tembakau adalah sektor yang banyak menyerap tenaga kerja dan padat karya.
“Regulasi ini berpotensi menimbulkan kerugian ekonomi hingga ratusan triliun rupiah serta mengancam kedaulatan kebijakan nasional,” katanya dalam keterangan di Jakarta, Senin 30 Juni 2025.
Diketahui, PP Nomor 28 Tahun 2024 adalah peraturan pelaksana dari Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. PP ini mengatur berbagai aspek terkait penyelenggaraan upaya kesehatan, pengelolaan tenaga kesehatan, fasilitas pelayanan kesehatan, kefarmasian, teknologi kesehatan, dan lain sebagainya.
PP Nomor 28 Tahun 2024 juga mengatur tentang pengamanan zat adiktif, termasuk rokok elektronik, dan ketentuan umum, jenis fasilitas, fasilitas pajak penghasilan, serta ketentuan pembebasan bea masuk.
Misbakhun menyoroti kontribusi besar sektor tembakau terhadap penerimaan negara. Pada 2024, Cukai Hasil Tembakau (CHT) tercatat mencapai Rp 216,9 triliun atau sekitar 72% dari total penerimaan kepabeanan dan cukai.
“Yang menjadi pertanyaan, apakah pemerintah sudah menyiapkan strategi pengganti penerimaan cukai hasil tembakau sebesar Rp 300 triliun di industri hasil tembakau ini?” ujarnya.
Dia menilai, PP 28/2024 sebagai pukulan telak terhadap industri hasil tembakau (IHT), yang selama ini menjadi tulang punggung ekonomi di berbagai daerah. Dikatakan, sektor ini tidak hanya terkait dengan isu kesehatan, tetapi juga menyangkut industri, pertanian, dan ketenagakerjaan padat karya.
Misbakhun secara khusus menyoroti pentingnya melindungi sigaret kretek tangan (SKT) sebagai kekuatan ekonomi lokal. Ditegaskan Misbakhun, sektor ini menghidupkan ekonomi rakyat, dari petani hingga pelaku industri kecil.
“Ini soal amanat konstitusi untuk melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia,” tuturnya.
Lebih lanjut, dia mempertanyakan legitimasi PP 28/2024 yang dinilai menyimpang dari Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan sebagai kebijakan induknya.
Ia menilai PP tersebut mengatur hal-hal yang tidak secara eksplisit diatur dalam UU, bahkan melampaui kewenangannya. “PP 28/2024 ini sangat jelas apa yang tidak ada dalam UU diatur di dalam PP-nya,” katanya.
Dicontohkan Misbakhun, sejumlah ketentuan seperti pembatasan tar (zat kimia yang dihasilkan dari pembakaran rokok) dan nikotin, zonasi larangan iklan, hingga rencana penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas merek dalam Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes), aturan turunan PP 28/2024, yang menurut dia, tidak memiliki dasar hukum kuat dalam UU Kesehatan.
“Apakah boleh PP itu sebagai pelaksana UU mengatur hal yang berbeda dengan UU-nya? Inilah yang harus dijadikan acuan kita,” katanya.
Misbakhun juga mengkritik Rancangan Permenkes yang mengatur lebih lanjut soal penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas merek. Ia menilai hal ini sebagai bentuk pelanggaran terhadap disiplin konstitusi dan berpotensi menurunkan kepercayaan publik terhadap pemerintah. (*)
-

Pembatalan Aturan Bungkus Rokok Disambut Positif Daerah Penghasil Tembakau
Jakarta –
Wacana penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas merek (plain packaging) dan implementasi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 mendapat sorotan dari sejumlah kepala daerah sentra tembakau. Mereka menilai kebijakan tersebut berpotensi mengancam keberlangsungan industri hasil tembakau (IHT) nasional serta menggerus kontribusinya terhadap perekonomian daerah.
Lebih dari itu, sejumlah kepala daerah menilai bahwa kebijakan dalam PP 28/2024 dan aturan turunannya sarat dengan pengaruh eksternal yang tidak sejalan dengan semangat kedaulatan nasional. Hal ini bertolak belakang dengan visi Presiden Prabowo Subianto yang konsisten menegaskan pentingnya Indonesia berdiri di atas kepentingan sendiri, tanpa tunduk pada tekanan asing.
Prabowo menegaskan bahwa Indonesia harus memiliki kendali penuh atas kebijakan strategisnya. Pemerintah pun mengumumkan pembatalan rencana plain packaging beberapa waktu lalu. Wakil Menteri Perindustrian RI, Faisol Riza, sebelumnya menegaskan pemerintah tidak akan melanjutkan wacana tersebut dalam Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes), yang merupakan aturan turunan dari PP 28/2024.
Salah satu dukungan datang dari Gubernur Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa yang menyuarakan kekhawatiran terhadap dampak pasal-pasal tembakau dalam PP 28/2024 terhadap perekonomian daerah. “Jawa Timur menjadi tulang punggung penerimaan Cukai Hasil Tembakau (CHT) nasional. Kebijakan yang memengaruhi industri ini harus dipertimbangkan dengan cermat,” tuturnya.
Khofifah sebelumnya juga menandatangani dokumen Komitmen Bersama dengan Serikat Pekerja/Serikat Buruh yang mendukung revisi pasal-pasal terkait tembakau dalam PP 28/2024 dan menolak rencana kenaikan CHT pada 2026.
Sementara itu, Bupati Situbondo, Yusuf Rio Wahyu Prayogo turut menyebut pembatalan plain packaging sebagai langkah strategis bagi daerah penghasil tembakau. “Pembatalan penyeragaman bungkus rokok adalah langkah positif, terutama bagi daerah penghasil tembakau seperti Situbondo. Industri ini menyumbang penerimaan negara yang besar dan mendukung perekonomian daerah,” katanya.
Ia menyoroti bahwa pembatasan terhadap IHT dapat berdampak langsung pada pendapatan daerah. Situbondo, misalnya, menerima Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT) sebesar Rp59 miliar pada 2024, dan diproyeksikan meningkat menjadi Rp73 miliar pada 2025. Selain itu, Rio memperingatkan bahwa plain packaging justru dapat memperbesar celah peredaran rokok ilegal karena menyulitkan konsumen membedakan produk legal dan ilegal.
“Fokus pemerintah seharusnya pada pengendalian rokok ilegal, bukan pembatasan yang justru melemahkan industri legal,” tegasnya.
Senada, Bupati Temanggung, Agus Setyawan menekankan pentingnya keseimbangan antara aspek kesehatan dan keberlanjutan ekonomi. Temanggung sebagai salah satu lumbung tembakau nasional sangat rentan terhadap kebijakan yang menekan sektor ini.
“Kami berharap ada keseimbangan antara kepentingan kesehatan dan ekonomi. Indonesia bukan Singapura atau Australia. Industri rokok kita melibatkan banyak pihak, dari hulu ke hilir,” imbuhnya.
Agus menyoroti bahwa kebijakan seperti kenaikan cukai tahunan dan plain packaging dapat menurunkan daya serap industri terhadap hasil pertanian tembakau, yang pada akhirnya memukul petani dan buruh IHT. “Perputaran uang di Temanggung, Wonosobo, dan sekitarnya saat musim panen tembakau bisa mencapai Rp1,6 hingga Rp1,8 triliun,” ungkapnya.
(shc/fdl)
-

Tak Semua Langsung Bisa Ditangani, Ini Kriteria Gawat Darurat BPJS Kesehatan
Jakarta –
Viral pasien di RSUD dr Saridin Padang disebut tak mendapatkan pelayanan pasca dinilai tak masuk kondisi gawat darurat, hingga berujung meninggal dunia. Adapun pasien bernama Desi Erianti dinyatakan meninggal setelah sebelumnya memiliki riwayat sesak napas.
Pihak RSUD sempat mengklarifikasi yang bersangkutan tidak memiliki indikasi kegawatdaruratan medis selama menjalani pemeriksaan tahap awal, sehingga disarankan untuk kembali pulang dan melanjutkan pengobatan ke puskesmas.
Memang seperti apa kriterianya?
Sebagai catatan, tidak semua kondisi yang terlihat mendesak secara kasat mata dapat dikategorikan sebagai keadaan gawat darurat yang pembiayaannya dijamin oleh BPJS Kesehatan.
BPJS Kesehatan menegaskan terdapat kriteria medis tertentu yang harus dipenuhi agar suatu kasus bisa dianggap sebagai kondisi kegawatdaruratan medis. Bila tidak memenuhi kriteria tersebut, biaya pengobatan tidak akan ditanggung oleh BPJS, meskipun pasien datang ke IGD.
Penilaian Status Gawat Darurat oleh Dokter
Kepala Humas BPJS Kesehatan, Rizzky Anugerah, menjelaskan penilaian status gawat darurat dilakukan secara medis oleh dokter di rumah sakit. Hal ini sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan dan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 47 Tahun 2018 tentang Pelayanan Kegawatdaruratan.
“Penilaian status gawat darurat dilakukan oleh dokter di rumah sakit sesuai ketentuan,” kata Rizzky kepada detikcom, Kamis (5/6/2025).
Perpres 82/2018 menyebutkan dalam kondisi darurat, peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) berhak memperoleh layanan langsung di IGD, bahkan di rumah sakit yang tidak bekerja sama dengan BPJS Kesehatan. Namun, hal ini hanya berlaku jika kondisi pasien benar-benar masuk kategori gawat darurat menurut ketentuan medis.
Sementara itu, Permenkes 47/2018 menjelaskan bahwa kondisi gawat darurat adalah situasi klinis yang membutuhkan penanganan segera untuk menyelamatkan nyawa atau mencegah risiko kecacatan permanen. Artinya, keluhan medis yang dianggap mendesak oleh pasien atau keluarga belum tentu tergolong darurat secara medis.
Kriteria Gawat Darurat yang Dijamin BPJS
Agar suatu layanan IGD bisa dijamin oleh BPJS Kesehatan, kondisi pasien harus memenuhi lima kriteria utama berikut:
Mengancam nyawa atau menimbulkan bahaya bagi diri sendiri, orang lain, atau lingkungan.Terjadi gangguan pada jalan napas, pernapasan, atau sirkulasi tubuh.Penurunan tingkat kesadaran.Gangguan hemodinamik, yakni gangguan fungsi jantung dan pembuluh darah.Memerlukan tindakan medis segera.
Perlu kembali dipahami, penilaian terhadap kriteria ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab dokter yang menangani di fasilitas kesehatan. Jika dokter menilai kondisi pasien tidak masuk kategori tersebut, maka pembiayaan melalui BPJS Kesehatan tidak dapat dilakukan dan biaya menjadi tanggungan pribadi.
NEXT: Jenis Pelayanan Kesehatan yang Tidak Ditanggung BPJS
Selain batasan pada kondisi gawat darurat, BPJS Kesehatan juga memiliki daftar layanan yang tidak masuk dalam cakupan jaminan. Berdasarkan Perpres Nomor 59 Tahun 2024, ada sejumlah jenis layanan yang tidak ditanggung BPJS, di antaranya:
Pelayanan di fasilitas kesehatan yang tidak bekerja sama dengan BPJS (kecuali keadaan darurat).Cedera akibat kecelakaan kerja atau lalu lintas yang telah dijamin oleh asuransi lain.Pelayanan di luar negeri.Layanan untuk tujuan estetik, infertilitas, atau ortodonsi.Pengobatan ketergantungan narkoba atau alkohol.Gangguan akibat hobi ekstrem atau tindakan menyakiti diri.Pengobatan alternatif dan tindakan medis eksperimental.Pelayanan dalam kegiatan bakti sosial atau yang diselenggarakan oleh Kementerian Pertahanan, TNI, atau Polri.Layanan akibat tindak pidana seperti kekerasan seksual atau perdagangan orang yang telah ditanggung program lain.
Pentingnya Edukasi dan Pemahaman Masyarakat
Seringkali, ketidaktahuan masyarakat tentang batasan ini menimbulkan kekecewaan ketika layanan tidak sesuai harapan atau klaim ditolak. Karena itu, BPJS Kesehatan mengimbau agar masyarakat lebih memahami hak dan batas jaminan yang diberikan.
“Pemahaman masyarakat akan aturan dan kriteria medis sangat penting agar tidak terjadi kesalahpahaman. Kami terus melakukan edukasi agar peserta JKN bisa menggunakan layanan kesehatan secara tepat dan efektif,” tutup Rizzky.
Simak Video “Video: Soal Narasi BPJS Kesehatan Bangkrut dan Gagal Bayar di 2025”
[Gambas:Video 20detik] -

Aturan Bungkus Rokok Dibatalkan, Industri Tembakau Dapat Angin Segar
Jakarta –
Pembatalan wacana penyeragaman bungkus rokok baru-baru ini disambut lega oleh banyak pihak, terutama mereka yang bergantung pada industri hasil tembakau (IHT) sebagai sumber penghidupan dan pendapatan daerah. Kebijakan ini dinilai penting untuk menjaga keberlangsungan ekonomi daerah sekaligus melindungi ribuan pekerja dari regulasi yang terlalu ketat.
Bupati Situbondo, Yusuf Rio Wahyu Prayogo, menyatakan dukungannya atas keputusan pemerintah pusat membatalkan wacana penyeragaman bungkus rokok. Ia menilai keputusan ini sebagai langkah bijak yang melindungi industri hasil tembakau (IHT) dari tekanan regulasi berlebihan.
“Industri hasil tembakau adalah salah satu tulang punggung penerimaan negara, dan bagi daerah seperti Situbondo, ini sangat krusial. Pembatalan penyeragaman kemasan adalah bentuk keberpihakan terhadap ekonomi daerah dan pekerja sektor tembakau,” tegas Rio dalam keterangannya, ditulis Rabu (4/6/2025).
Daerahnya sendiri menerima Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT) sebesar Rp59 miliar pada tahun 2024. Dana ini dimanfaatkan untuk pembangunan infrastruktur, penegakan hukum cukai, dan bantuan sosial seperti BLT bagi buruh tani dan pekerja pabrik rokok. Tahun lalu, sekitar Rp3,3 miliar telah digelontorkan untuk program BLT demi mendukung kesejahteraan mereka. Lebih lanjut, kabupaten di Jawa Timur tersebut juga dialokasikan menerima DBHCHT sebesar Rp77 miliar pada tahun 2025.
Lebih lanjut, Rio menekankan bahwa pemerintah pusat seharusnya memprioritaskan pemberantasan rokok ilegal, bukan membatasi produk legal. “Penyeragaman bungkus justru bisa memperbesar ruang bagi rokok ilegal karena menyulitkan konsumen dalam mengenali produk legal,” ujarnya.
Situbondo menunjukkan komitmennya dalam pengawasan peredaran rokok ilegal. Pada 2023, lebih dari 1 juta batang rokok ilegal berhasil disita dalam 152 operasi penindakan. Penegakan hukum akan terus dilakukan untuk menjaga integritas sektor tembakau yang legal dan produktif.Rio berharap agar kebijakan nasional ke depan lebih memperhatikan keseimbangan antara kesehatan masyarakat, penerimaan negara, dan keberlangsungan ekonomi daerah.
Sebelumnya, Wakil Menteri Perindustrian (Wamenperin) Faisol Riza menyatakan bahwa rencana kemasan rokok tanpa identitas merek dalam Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) telah dibatalkan. Kebijakan ini diambil sebagai upaya menjaga keseimbangan antara aspek kesehatan dan keberlanjutan industri.
Hal ini disampaikan Faisol melalui akun Instagram pribadinya. Kebijakan ini menjadi hasil diskusinya dengan Wakil Menteri Kesehatan (Wamenkes), Dante Saksono Harbuwono. Ia menegaskan bahwa pemerintah tetap mendukung isu kesehatan, namun juga perlu mempertimbangkan kepentingan industri.
“Kementerian Perindustrian (Kemenperin) juga memahami kepentingan industri, ketika kita sampaikan bahwa janganlah (kemasan rokok) itu diseragamkan, karena industri meminta untuk tidak ada isu yang semakin menekan industri,” ungkapnya dikutip Rabu, 14 Mei 2025.
(fdl/fdl)
-

Industri Rokok di Tengah Perubahan Aturan Pemerintah, Apa Dampaknya?
Jakarta –
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Kesehatan menuai kritik. Regulasi yang seharusnya menjadi tonggak penguatan sistem kesehatan nasional justru dinilai minim koordinasi antarkementerian dan berpotensi menimbulkan dampak luas yang merugikan banyak sektor, terutama industri strategis seperti tembakau dan makanan-minuman.
Beberapa pasal dalam PP 28/2024 ini mengatur pembatasan konsumsi Gula-Garam-Lemak (GGL), serta larangan penjualan rokok dalam radius 200 meter dan iklan rokok di luar ruang dalam radius 500 meter dari satuan pendidikan dan tempat bermain anak. Kebijakan ini memicu kekhawatiran karena dinilai mengancam keberlangsungan ekosistem industri yang menyerap jutaan tenaga kerja, mulai dari petani, buruh pabrik, hingga pedagang kecil.
Minimnya koordinasi lintas kementerian menjadi sorotan utama Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana yang menekankan pentingnya sinergi dalam penyusunan kebijakan lintas sektor.
“PP 28/2024 ini sebenarnya ketentuan yang bisa meredam ego sektoral dari satu kementerian ke kementerian lain dan bagaimana pemerintah kita membuat aturan yang lebih adil. Adil bagi para pelaku usahanya, perkebunan sebagai suatu industri strategis di Indonesia, perusahaan-perusahaan rokok, dan adil juga bagi konsumen,” ujar dia dalam keterangannya, Jumat (30/5/2025).
Menurutnya, regulasi yang baik harus melibatkan seluruh pemangku kepentingan agar tidak terjadi tumpang tindih kebijakan yang kontraproduktif. “Kementerian Kesehatan (Kemenkes) walaupun mereka akan mengeluarkan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes), tapi harus berkoordinasi dengan kementerian-kementerian lainnya. Nah, di sinilah pentingnya Menteri Koordinator (Menko). Menko sekarang sudah ada beberapa Menko itu harus bisa memastikan bahwa kepentingan kita, kepentingan kementerian-kementerian itu semua terakomodasi,” tegasnya.
Selain PP 28/2024, salah satu isu paling kontroversial adalah rencana penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas merek (plain pacakging), yang tengah disusun dalam Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) sebagai aturan turunan dari PP 28/2024. Kebijakan ini dinilai berpotensi merusak ekosistem pertembakauan nasional.
Dampaknya diprediksi luas: mulai dari meningkatnya peredaran rokok ilegal hingga ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK) di sektor hilir. Lebih jauh, kebijakan ini disebut-sebut mengadopsi prinsip dari Framework Convention on Tobacco Control (FCTC), yang secara resmi tidak diratifikasi oleh Indonesia, sehingga menimbulkan kekhawatiran akan intervensi asing dalam kebijakan domestik.
Kritik juga datang dari Wakil Menteri Hukum dan HAM, Edward Omar Sharif Hiariej, yang menyoroti potensi cacat prosedural dalam penyusunan PP 28/2024.
“Kalau misalnya terbukti PP (28/2024) dibuat tanpa ada partisipasi. Ya berarti secara prosedur cacat. Berarti dibatalkan, secara formilnya tidak terpenuhi. Cacat. Itu kita belum bicara substansi loh,” kata Eddy Hiariej.
Ia mendorong pihak-pihak yang merasa dirugikan untuk menempuh jalur hukum melalui uji materiil dan formil (Judicial Review) ke Mahkamah Agung (MA), baik secara materiil dan fomil. Jika terbukti bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, PP 28/2024 bisa dibatalkan secara hukum.
(fdl/fdl)
/data/photo/2025/08/20/68a57b5f52a20.png?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)

