Produk: parliamentary threshold

  • Sambut Dukungan Pengurus DPW-DPC, Mardiono Siap Maju Caketum PPP

    Sambut Dukungan Pengurus DPW-DPC, Mardiono Siap Maju Caketum PPP

    Jakarta

    Plt Ketua Umum (Ketum) PPP Muhamad Mardiono menyambut deklarasi dukungan pengurus DPW-DPC dari 33 provinsi untuk maju caketum partai periode 2025-2030. Mardiono menegaskan bahwa meloloskan partai ke DPR menjadi pekerjaan rumah (PR) besar partai di periode selanjutnya.

    “Ini tentu amanah yang berat memang bagi saya. Saya harus berjuang kembali. Apalagi tentu karena PPP saat ini tidak lolos parliamentary threshold maka tujuan utama untuk perjuangan ke depan adalah bagaimana PPP di pemilu tahun 2029 itu bisa kembali ke parlemen yaitu memenuhi parliamentary threshold,” kata Mardiono kepada wartawan, Kamis (18/9/2025).

    Utusan Khusus Presiden Bidang Ketahanan Pangan ini mengapresiasi dukungan kepada dirinya untuk melanjutkan kepemimpinan partai. Mardiono menegaskan siap jika mendapat amanah untuk terus memimpin partai.

    “Ketika rekan-rekan wilayah yang mayoritas di seluruh Indonesia itu meminta kembali saya maka Insyaallah bismillah, sebagaimana yang beberapa waktu saya sampaikan, saya sebagai seorang kader kalian masih dibutuhkan untuk melanjutkan perjuangan, saya bismillah,” ujarnya.

    Mardiono juga menanggapi munculnya figur eksternal partai yang didukung maju caketum PPP. Terkait ini, ia mengungkit adanya AD/ART partai yang telah mengatur syarat menjadi ketum PPP ialah harus menjadi pengurus setidaknya selama satu periode kepengurusan partai.

    “Setiap rumah orang, setiap rumah tangga itu tentu di situ akan ada aturan lainnya. Nah tentulah aturan lain itu sebagai landasan sebagai konstitusinya yaitu patut, untuk harus selalu dipatuhi. Jadi kita tidak menutup, tetapi semua harus ada mekanismenya. Itu karena kita sudah punya konstitusi yang baku,” kata Mardiono.

    Waketum PPP Amir Uskara turut menanggapi senada soal ini. Menurut dia, aturan mengenai syarat ketum dalam AD/ART itu pun tak akan diutak-atik saat pelaksanaan Muktamar mendatang.

    “Kita ini partai terbuka tapi memang ada aturan. Persoalan dia mau maju silakan tapi ikut aturan yang ada. Kan tidak mungkin kita mau buka aturan-aturan itu hanya karena ada kepentingan sesaat apalagi kalau itu kepentingan pragmatis. Tentu kita jaga itu. Ini partai Islam, partai yang didirikan oleh para ulama-ulama besar sehingga kami sebagai penerus harus menjaga itu,” ujar Amir.

    “Salah satu aturannya itu calonnya harus dari internal dan juga pengurus 5 tahun. Itu masuk dalam AD/ART kita sudah dikunci terkait dengan siapa yang mau jadi Ketua Umum, siapa yang mau jadi Sekjen, siapa yang mau jadi Ketua Wilayah, siapa yang mau jadi Sekretaris Wilayah sampai ke tingkat cabang itu dikunci di anggaran dasar dan saya kira itu tidak pernah diubah sejak tahun 2003,” lanjut dia.

    Pengurus DPW dan DPC PPP dari 33 provinsi menggelar deklarasi dukungan kepada Muhamad Mardiono untuk maju sebagai calon Ketum PPP periode 2025-2030. Dukungan itu disampaikan menjelang Muktamar X PPP.

    Pembacaan deklarasi dukungan dilaksanakan di Hotel Sheraton Jakarta, Kamis (18/9). Hadir para pimpinan DPW dan DPC partai dari 33 provinsi.

    “Mendukung dan mengusung Bapak H Muhamad Mardiono sebagai Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Partai Persatuan Pembangunan masa bakti 2025-2030 dalam Muktamar X DPP PPP tanggal 27-29 September 2025 di Jakarta,” ujar salah satu pimpinan DPW membacakan poin deklarasi.

    Halaman 2 dari 2

    (fca/rfs)

  • Partai Hanura Akan Gelar Bimtek Keliling Nasional Serentak di Tiga Lokasi

    Partai Hanura Akan Gelar Bimtek Keliling Nasional Serentak di Tiga Lokasi

    Surabaya (beritajatim.com) – Partai Hanura akan menggelar bimbingan teknis (bimtek) nasional. Bimtek ini akan diikuti 525 anggota DPRD dari Partai Hanura yang ada di provinsi, dan kabupaten/kota seluruh Indonesia.

    Sekjen DPP Partai Hanura, Benny Rhamdani mengatakan, Bimtek tahun ini merupakan terobosan baru. Di mana Hanura tidak ingin menjadikan Bimtek ini menjadi siklus tahunan semata, tanpa menghasilkan peningkatan kualitas anggota DPRD dan kader partai di daerah.

    “Ini merupakan evaluasi sejauh mana anggota dewan Partai Hanura di daerah mampu menyentuh kehidupan masyarakat di daerah,” kata Benny dalam keterangan tertulisnya kepada media, Kamis (11/9/2025).

    Benny mengatakan, Bimtek Hanura tahun 2025 ini akan digelar serentak di tiga lokasi berbeda yaitu di Surabaya, Medan, dan Makassar. Bimtek pertama digelar di Surabaya pada 12-14 September 2025 yang diikuti 189 Anggota DPRD provinsi, kabupaten/kota dari 11 provinsi meliputi, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, NTT, NTB, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Utara, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Tengah.

    Bimtek kedua, lanjut Benny, di Medan pada 19-21 September 2025. Bimtek di Medan akan diikuti 172 Anggota DPRD provinsi, kabupaten/kota dari Aceh, Sumatera Utara, Riau, Jambi, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Lampung, Bangka Belitung, Kepulauan Riau, dan Bengkulu.

    Bimtek ketiga dilanjutkan di Makassar pada 26-28 September 2025 yang diikuti 164 anggota DPRD provinsi, kabupaten/kota dari Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Barat, Gorontalo, Maluku, Maluku Utara, Papua, Papua Tengah, Papua Pegunungan, Papua Selatan, Papua Barat, Papua Barat Daya.

    Benny menyebut tema utama Bimtek yaitu ‘Daerah Berdaya, Indonesia Sejahtera’ dengan Sub Tema ‘Memberdayakan Daerah di Tengah Kebijakan Efisiensi Anggaran’.

    Benny mengungkapkan, Hanura akan menggali persoalan kesulitan anggaran di daerah di tengah efisiensi anggaran yang berdampak pada peningkatan kesejahteraan rakyat di daerah.

    Harapannya, para anggota DPRD dari Hanura bisa menghasilkan terobosan baru bersama pemerintah daerah yang muaranya peningkatan ekonomi masyarakat di daerah.

    “Kami harap bimtek kelililng daerah ini menjadi role model agar kader Hanura di daerah lebih dekat dan merasa lebih memiliki partai ini. Hal ini juga menjadi tolak ukur kekuatan Hanura di daerah menyongsong pemilu 2029 mendatang,” tegasnya.

    Ketua Panitia Bimtek Nasional Partai Hanura, Bambang Irianto mengatakan, seluruh kader Hanura se Jawa Timur dan para anggota DPRD se Jawa, NTT, Bali, NTB, dan Kalimantan siap menyambut kehadiran Ketum Hanura Oesman Sapta.

    “Persiapan Kami sudah matang. Bapak Oesman Sapta akan hadir dan membuka bimtek keliling nasional ini. Kerja sama dan sinergitas panitia DPP dengan DPD Hanura Jawa Timur sangat baik dan kami mengapresiasi itu semua,” ungkapnya.

    Bambang menambahkan sebelum digelar bimtek di Surabaya, Ketum Hanura Oesman Sapta akan melantik Pengurus DPD Hanura Jatim periode 2025-2030. Diketahui Sumarzen Marzuki telah terpilih secara aklamasi sebagai Ketua DPD Hanura Jatim periode 2025-2030 pada musda yang telah digelar pada 1-2 juli 2025 lalu.

    Bimtek Hanura ini rencananya akan dihadiri dan dibuka langsung oleh Ketua Umum Partai Hanura DR. Oesman Sapta beserta jajaran elit pengurus DPP Pattai Hanura. Bimtek serentak ini merupakan kali pertama dilakukan oleh Partai Hanura dan belum pernah ada partai lain yang menggelar bimtek serentak di berbagai daerah.

    Sederet narasumber akan memberikan materi dalam bimtek ini seperti Pengamat Politik Indikator Politik Indonesia Prof. Burhanuddin Muhtadi yang akan mengupas positioning Partai Hanura dalam politik Indonesia.

    Selanjutnya, ada Wakil Ketua Umum Partai Hanura Dr. Patrice Rio Capella yang menganalisa posisi strategis DPRD Partai Hanura dalam konstelasi politik nasional. Lalu dari Kementrian Dalam Negeri Dr.Drs. Agus Fathoni M.Si akan menyampaikan sambutan sekaligus mengisi materi tentang APBD berdaulat dan tantangan efisiensi kebijakan pemerintah pusat dalam politik anggaran.

    Di internal DPP Partai Hanura, Irjen Pol Purn Marwan Paris akan mengisi materi tentang Fungsi pengawasan Internal Partai Hanura. Materi yang menarik juga akan disampaikan oleh Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Porludem), Heroik Mutaqin Pratama. Dia akan menyampaikan materi Pengaruh ambang batas parlemen (Parliamentary Threshold) terhadap kualitas pemilu Indonesia.

    Tidak kalah menarik materi yang akan disampaikan oleh Dosen FISIP Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Suko Widodo. Suko akan mengupas persoalan Fungsi pengawasan legislator sebagai kontrol demokrasi. Mantan anggota DPR RI Akbar Faisal juga akan hadir dan mengisi materi tentang Dinamika Politik Nasional dan implikasinya terhadap Partai Hanura. (tok/ian)

  • Kemaruk Jokowi-PSI Berpotensi Dilibas di Era Prabowo

    Kemaruk Jokowi-PSI Berpotensi Dilibas di Era Prabowo

    GELORA.CO -Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang identik sebagai kendaraan politik Presiden ke-7 RI Joko Widodo dan keluarganya, diprediksi akan terdegradasi di era pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.

    Direktur Eksekutif Survei dan Polling Indonesia (SPIN), Igor Dirgantara memandang, pernyataan Presiden Prabowo tentang Serakhnomic dan banyaknya kader PSI di Kabinet Merah Putih, bukan sekadar satire.

    Akan tetapi, dia memandang pernyataan kepala pemerintahan sekaligus kepala negara itu, lebih pada kegeraman seorang pemimpin terhadap anomali yang terjadi di kabinetnya.

    “Makna serakahnomics justru pas untuk menggambarkan PSI yang di masa pemerintahan Prabowo saat ini banyak menempatkan kadernya di kabinet meskipun tidak lolos parliamentary threshold di Pileg 2024 kemarin,” ujar Igor kepada Kantor Berita Politik dan Ekonomi RMOL, Selasa, 30 Juli 2025.

    Tanda lain atas ketidaknyamanan Presiden Prabowo terhadap PSI, Igor amati juga disampaikan elite Partai Gerindra yang Ketua Umumnya merupakan sang presiden.

    “Itu sebabnya, Prof Sufmi Dasco (Ketua Harian DPP Partai Gerindra) bercanda, bahwa pergantian logo PSI menjadi gajah yang berbadan besar, bisa juga diganti kancil yang kecil badannya,” tuturnya.

    Namun, yang Igor prediksi dari pernyataan Prabowo adalah mengenai dampak terhadap PSI dan juga Jokowi serta keluarganya, atas kemaruk kekuasaan di masa pemerintahan Presiden Prabowo.

    “Ada pepatah, jika sedikit air dapat selamatkan dari rasa haus jangan minta air terlalu banyak, nanti malah bisa membuat kamu tenggelam,” demikian Igor menutup. 

  • Menjaga Asa Survivalitas Politik PKB

    Menjaga Asa Survivalitas Politik PKB

    Jakarta

    Partai Kebangkitan Bangsa atau disingkat (PKB) merupakan salah satu partai berbasis massa Islam yang lahir dari rahim Nahdlatul Ulama (NU) di era reformasi, tepatnya pada tanggal 23 Juli 1998.

    Sebagai representasi politik utama warga Nahdlatul Ulama (NU), PKB memiliki sejarah panjang dalam kancah perpolitikan Indonesia pasca-reformasi. Partai yang didirikan sejumlah elite Kiai PBNU saat itu, kini berusia 27 tahun. Artinya dalam fase usia manusia, PKB ini sudah memasuki masa dewasa.

    Sejatinya, di usia dewasa, PKB selesai melewati masa ‘pubertas’ politiknya yang kerap bergejolak dan siap untuk menerima keberadaannya di tengah-tengah masyarakat politik lainnya.

    Di bawah kepemimpinan Muhaimin Iskandar (Cak Imin), PKB mengalami pasang surut yang signifikan, baik dari sisi elektoral, posisi tawar politik, maupun hubungan dengan basis kulturalnya-komunitas NU, termasuk dengan pengurus PBNU saat ini.

    Pertanyaannya adalah: apakah PKB di bawah Cak Imin masih memiliki daya survival politik yang kuat ke depan?

    Politik ‘Survival’

    Pertanyaan tersebut di atas penting untuk menjadi bahan perenungan sekaligus pencermatan di tengah tantangan-tantangan krusial yang dihadapi partai-partai Islam atau berbasis massa Islam di tanah air saat ini.

    Selama dua dekade, PKB di bawah kepemimpinan Muhaimin Iskandar (Cak Imin) masih bisa bertahan hidup (survive). Muhaimin Iskandar dikenal sebagai politisi yang lihai dalam membangun jejaring politik kekuasaan. Julukan yang kerap disematkan kepadanya sebagai “raja lobi” bukan tanpa alasan, karena; dalam dua dekade terakhir, ia berhasil menjaga PKB tetap relevan di tengah turbulensi politik nasional dan dinamika internal partai.

    Meskipun pernah mengalami konflik dualisme kepengurusan (2008-2010) yang memecah tubuh PKB, Cak Imin berhasil merebut kendali penuh dengan dukungan struktur partai dan koneksi elite struktural pemerintahan dari satu rezim ke rezim yang lain.

    Dengan konsolidasi internal yang solid, PKB di bawah kepemimpinan Cak Imin masih bisa bertahan (survive) dan mampu mempertahankan eksistensinya di Parlemen.

    Bisa dicermati, dalam penyelenggaraan tiga pemilu terakhir, perolehan suara PKB berhasil melampaui ambang batas Parlemen (Parliamentary Threshold) 4% yang ditetapkan dan terbanyak (9,04%: 2014), (9,69%: 2019) dan (10,62%: 2024) dibandingkan perolehan suara partai Islam (berbasis massa Islam) lainnya seperti; PKS, PAN, dan PPP.

    Artinya, di bawah kendali Cak Imin, posisi PKB beranjak naik dalam percaturan politik nasional, berada di urutan ke empat setelah PDIP, Golkar dan Gerindra.

    Survivalitas PKB tidak hanya dilihat dari keberlanjutan kepemimpinan Cak Imin dalam struktur kepengurusan PKB, tetapi juga dicermati dari kemampuannya menjadikan PKB sebagai partai yang selalu masuk dalam pemerintahan, terlepas siapa presiden yang mengendalikan kekuasaan.

    Menjaga keberlangsungan hidup berpolitik berarti beradaptasi dengan segala hal, baik internal maupun eksternal seperti halnya makhluk hidup bertahan hidup ; adaptasi fisiologis (Physiological adaptation), adaptasi sikap (behavioral adaptation), dan adaptasi morfologi (morphological adaptation) berkaitan dengan kamuflase fisik.

    Nah, adaptasi-adaptasi tersebut terlihat dimiliki PKB selama ini, termasuk pragmatisme politiknya yang sangat tinggi. Terlepas dari kritik dan politik (suka-tidak suka), dengan sikap-sikap tersebut, terbukti efektif menjaga eksistensi PKB dalam lanskap kekuasaan nasional.

    Dengan konsolidasi internal yang solid dan kemampuannya menjaga relasi politiknya dengan pihak lain, PKB masih bertahan (survive) sebagai peraih suara terbanyak partai berbasis massa Islam pada pemilu 2014, 2019 dan 2024. Bagaimana pasca Pemilu 2024?

    Tantangan Pasca Pemilu 2024

    Mengikuti jalan politik PKB di bawah kepemimpinan Cak Imin memang menarik. Pada Pilpres 2024, PKB tampil berbeda: tidak lagi di belakang kekuatan arus utama (koalisi pemerintah), tetapi membentuk poros alternatif bersama Anies Baswedan.

    Cak Imin sebagai Cawapres menunjukkan keberaniannya mengambil risiko politik yang sangat besar. Meskipun pasangan Anies-Muhaimin kalah dalam kontestasi, manuver ini justru membuka jalur dan peluang baru: positioning PKB sebagai kekuatan oposisi yang berpotensi menjadi alternatif politik Islam moderat yang kemudian bisa membawa partai kaum Nahdliyyin itu menjadi bagian dari kekuasaan.

    Diakui atau tidak, survivalitas PKB masih sangat bergantung pada figuritas dan manuver-manuver politik Cak Imin. Maka, tantangan yang perlu dipikirkan selanjutnya adalah bagaimana PKB dapat mengelola transisi dari partai berbasis kekuasaan ke partai dengan kekuatan advokasi politik inklusif dengan tetap menjaga posisinya sebagai representasi kultural-Nahdliyyin.

    Pertama, salah satu tantangan terbesar bagi PKB di bawah Cak Imin adalah bagaimana menjaga legitimasi di mata Nahdliyin. Sejak Cak Imin mengambil alih PKB secara penuh, relasi dengan PBNU tidak selalu harmonis. Ketegangan bahkan sempat mencuat ke publik, terutama saat PBNU (2021-2026) dibawah kepemimpinan K.H.Cholil Yahya Staquf menegaskan posisinya-netral dalam politik praktis-dengan jargon ‘menghidupkan kembali’ visi politik Gus Dur.

    Namun dalam kondisi demikian, Cak Imin terlihat cerdik memainkan kartu truf politiknya. Ia membangun kembali kedekatan struktural dan simbolik-terutama lewat konsolidasi kader muda NU di daerah dan pemberdayaan aruh bawah jaringan Kiai pesantren. Hanya saja, kekhawatiran masih ada di kalangan internal NU bahwa PKB terlalu “personalistik” dan menjauh dari cita-cita kolektif Nahdlatul Ulama-PBNU.

    Kedua, dalam tiga pemilu terakhir, PKB konsisten meraih suara signifikan dalam rentang 9 – 10 % perolehan suara nasional. Persentase ini, menandakan adanya stagnasi elektoral yang bisa mengancam survivalitas PKB dalam jangka panjang, sehingga diperlukan inovasi-inovasi platform politik yang akomodatif.

    Di tengah menguatnyua pragmatisme politik, basis massa (Nahdliyyin) terutama di Jawa Timur dan Jawa Tengah, semakin kompetitif dan diperebutkan. Munculnya partai-partai baru Islam moderat dan fragmentasi suara Nahdliyyin (dari kalangan muda) yang mulai diakomodir partai-partai nasionalis, semakin memperkecil ceruk konstituen PKB ke depan. Nah, jika PKB gagal memformulasi narasi dan komunikasi politiknya yang bisa menjawab kebutuhan kalangan milenial Nahdliyin dan kelas menengah muslim, PKB bisa tergeser secara perlahan sebagaimana dialami ”kakaknya” yaitu, PPP.

    Walhasil, di usianya yang ke 27, PKB di bawah kepemimpinan Cak Imin masih mampu membuktikan dirinya sebagai partai yang memiliki insting survival yang tinggi dan PKB diharapkan bisa menjadi pemimpin politik Islam di Indonesia.

    Dalam fase ini, PKB diharapkan dapat menyesuaikan diri dengan pola kehidupan politik yang lebih luas, menerima peran yang lebih berat dan bertanggung jawab dalam kehidupan politik nasional.

    Perlu disadari, survivalitas politik PKB ke depan tidak bisa hanya bergantung pada figuritas personal seorang Cak Imin. Maka, tanpa reformasi internal, regenerasi kader, dan penyegaran visi politik berbasis nilai-nilai kebangsaan dan keislaman moderat dan inklusif, PKB bisa stagnan dan kehilangan relevansinya dalam dekade mendatang. Waspadalah.

    Fathurrahman Yahya. Dosen Pengajar Wawasan Politik Islam dan Timur Tengah, Program Pendidikan Kader Ulama Masjid Istiqlal, Jakarta.

    (rdp/rdp)

  • Wamendagri: Revisi UU Pemilu Jangan untuk Kepentingan Jangka Pendek dan Partisan
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        27 Juli 2025

    Wamendagri: Revisi UU Pemilu Jangan untuk Kepentingan Jangka Pendek dan Partisan Nasional 27 Juli 2025

    Wamendagri: Revisi UU Pemilu Jangan untuk Kepentingan Jangka Pendek dan Partisan
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Wakil Menteri Dalam Negeri (Wamendagri)
    Bima Arya
    menekankan pentingnya penyusunan revisi Undang-Undang Pemilu yang mengedepankan
    kepentingan nasional
    jangka panjang ketimbang kepentingan jangka pendek dan partisan.
    “Yang perlu kita pastikan adalah jangan sampai kemudian proses revisi undang-undang ini lebih kental terhadap kepentingan jangka pendek atau kepentingan partisan. Itu paling utamanya,” kata Bima dalam diskusi daring Ngoprek: Tindak Lanjut Putusan MK Terkait
    Penyelenggaraan Pemilu
    Anggota DPRD, Minggu (27/7/2025).
    Menurut Bima, pemerintah telah mulai membahas berbagai opsi tindak lanjut atas putusan MK, termasuk dampaknya terhadap sistem politik dan kelembagaan daerah.
    Ia menyebut, pembahasan ini dilakukan bersama parlemen maupun lintas kementerian.
    “Banyak yang bertanya apakah sudah direspons? Ya, tidak mungkin tidak. Pasti sudah kami bahas, sudah kami telusuri satu-satu dampaknya,” ujarnya.
    Bima menyampaikan tiga poin utama yang harus menjadi pegangan dalam menyikapi putusan MK dan rencana
    revisi UU Pemilu
    .
    Pertama, revisi harus memperkuat pelembagaan politik, terutama dalam konteks sistem presidensial dan otonomi daerah.
    Ia menyoroti belum adanya Undang-Undang tentang Kepresidenan, padahal sistem presidensial Indonesia seharusnya memiliki regulasi yang mengatur secara jelas kewenangan eksekutif.
    “Kita menganut sistem presidensial, tetapi tidak ada undang-undang kepresidenan. Ini harus jelas,” katanya.
    Kedua, Bima menekankan pentingnya menempatkan reformasi politik dalam kerangka kepentingan nasional dan arah menuju Indonesia sebagai negara maju dalam 20-25 tahun ke depan.
    Ia mengingatkan bahwa sistem politik yang tidak selaras dengan target pembangunan bisa menjadi penghambat.
    “Kalau dulu di 1998-1999, semangat kita ya euforia membuka keran demokratisasi, gitu. Belum kita berbicara Indonesia maju, Indonesia emas. Jauh banget rasanya saat itu. Nah, sekarang ini dimensinya berbeda,” imbuh politikus Partai Amanat Nasional (PAN) ini.
    Ketiga, Bima menyinggung pentingnya memperkuat fungsi partai politik dan pendanaan politik.
    Ia menyambut baik wacana penguatan bantuan dana politik, namun menekankan pentingnya transparansi dan integritas.
    “Jadi
    party funding
    , pendanaan politik ini sangat penting sekali. Teman-teman KPK sudah bolak-balik diskusi dengan Kementerian Dalam Negeri, Bappenas yang memasukkan itu ke dalam rencana pemberantasan korupsinya, dan tentunya bagaimana menyandingkan antara dana politik, bantuan politik itu dengan sistem integritas partai politik,” jelas eks Wali Kota Bogor ini.
    Selain itu, Bima juga mendorong pemanfaatan teknologi dalam proses pemilu, khususnya untuk tahapan penghitungan dan pemungutan suara.
    Ia juga menyinggung tantangan dalam pelaksanaan pemilu serentak, termasuk potensi ketimpangan antara kepentingan lokal dan nasional.
    Ia menegaskan bahwa keserentakan yang telah dicapai saat ini memberikan banyak manfaat dalam hal perencanaan anggaran dan keselarasan program pusat-daerah, dan karenanya perlu dijaga.
    “Jangan sampai semua itu diuyak-uyak, gitu ya, dipukul ratakan semua. Mari kita letakkan tadi, satu, dalam konteks kita membangun sistem partai politik seperti apa, kedua, kepentingan nasional kita, integrasi kita seperti apa,” ungkapnya.
    Terakhir, ia mengingatkan bahwa tidak ada sistem politik yang sempurna.
    Karena itu, revisi UU Pemilu harus dilakukan dengan kehati-hatian dan dilandasi visi kebangsaan jangka panjang.
    Sebagai informasi, Komisi II DPR rencananya akan memulai pembahasan revisi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) pada 2026.
    Anggota Komisi II DPR, Muhammad Khozin, mengatakan, pengembangan terkait poin-poin yang akan direvisi dalam UU Pemilu sudah dilakukan dengan menggelar rapat dengar pendapat umum (RDPU) dan diskusi.
    “Kalau rancangan timeline yang ada di Komisi II, kalau tidak ada aral melintang, Insya Allah di tahun 2026 itu sudah mulai dilakukan (revisi UU Pemilu),” ujar Khozin, di Media Center Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Jakarta, Kamis (8/5/2025).
    Ia mencatat dua klaster dalam revisi UU Pemilu, yakni klaster teknis dan klaster politis.
    Klaster teknis adalah pembahasan terkait sistem pemilu, ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold, hingga ambang batas parlemen atau
    parliamentary threshold.
    “(Klaster politis) Sudah banyak dikupas bagaimana sistem yang ideal di tengah kerangka teoretis dan fenomena empiris di lapangan,” ujar Khozin.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Mendesak Reformasi Sistem Pemilihan Umum

    Mendesak Reformasi Sistem Pemilihan Umum

    Jakarta

    Tidak sedikit kawan-kawan saya yang berseloroh, “Demokrasi itu bukan tujuan, bukankah ia hanya jalan untuk mencapai kesejahteraan?”, lalu yang lain menyahut, “Ya betul, lihat Tiongkok, luar biasa bargaining position-nya di kancah global, dan tidak perlu repot-repot dengan demokrasi.”

    Obrolan itu bermula dari pembahasan hangat seputar pemilihan umum (pemilu), dengan konteks putusan Mahkamah Konstitusi (MK) 135/2024 yang memisahkan pemilu nasional dan pemilu daerah.

    Namun, saya masih meyakini demokrasi sebagai jalan kehidupan berbangsa dan bernegara, mengutip Abraham Lincoln “No man is good enough to govern another man without that other’s consent.”

    Langkah untuk menjamin “persetujuan” tersebut memiliki legitimasi yang kuat melalui proses pemilu yang demokratis. Saya memahami mungkin sebagian dari kita telah jenuh, bosan, atau mungkin marah, dengan “janji manis” demokrasi yang tak kunjung datang.

    Beragam efek samping pemilu yang tidak diharapkan telah menimbulkan permasalahan, seperti maraknya politik uang (money politic) yang ikut menyumbang terjadinya korupsi, biaya tinggi dalam pemilu (pusat maupun daerah), dan lamban atau lemahnya institusionalisasi demokrasi.

    Nah, reformasi terbuka lebar melalui masuknya RUU Pemilu dalam prioritas prolegnas 2025, akan tetapi sayang sampai sekarang kita belum tahu kapan pembahasannya akan dilangsungkan.

    Urgensi Reformasi Pemilu

    Reformasi sistem pemilu kian mendesak untuk segera dilakukan di Indonesia. Terlebih, setelah keluarnya keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) 135/2024 tentang pemisahan pemilu nasional dan pemilu daerah. Riuh rendah terkait putusan ini, terus saling bersahutan hingga saat ini. Namun, sepatutnya publik tidak boleh hanyut dalam kondisi ini.

    Seharusnya yang kita lakukan adalah mendesak agar DPR dan pemerintah, segera melakukan pembahasan terhadap revisi UU Pemilihan Umum (RUU Pemilu).

    Mengapa desakan itu penting? Setidaknya terdapat 2 (dua) putusan MK sebelumnya yang berharga bagi perbaikan pelaksanaan Pemilu 2029 mendatang. Pertama, putusan tentang penghapusan ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden. Kedua, putusan soal ambang batas parlemen yang tidak lagi 4 persen. Sayangnya sampai dengan saat ini, belum jelas kapan RUU Pemilu akan dibahas.

    Siapa yang menjadi leading sector RUU Pemilu masih belum jelas, namun sepatutnya tidak perlu berebut siapa yang akan menjadi leading sector pembahasan RUU Pemilu. Apakah akan diserahkan kepada Komisi II, Badan Legislasi (Baleg) ataupun Panitia Khusus (Pansus)? Tidak jadi masalah, toh sama-sama DPR juga.

    Melemahnya Partai Politik

    Pemilihan anggota DPR baik pusat maupun daerah, semakin terpersonalisasi pada figur kandidat dari pada partai politik, terutama setelah diterapkannya proporsional daftar terbuka pada Pemilu 2009.

    Aspinall dan Berenschot (2020) menyebut fenomena tersebut menyebabkan terjadinya apa yang disebut sebagai free-wheeling clientelism (klientelisme gelindingan roda lepas), yang membuat partai politik terdegradasi perannya dalam proses pemilihan dibandingkan kandidat itu sendiri.

    Declaining partai politik terlihat dari semakin rendahnya party-id dari partai politik di Indonesia. Dari survei Politika Research & Consulting (PRC) sejak 2020 hingga 2024 menunjukkan bahwa orang yang merasa dekat dengan partai politik tertentu hanya berkisar 15,2 persen hingga 10,3 persen saja dari total pemilih. Hal ini menunjukkan bahwa perlu segera dilakukan perbaikan atas pelembagaan partai politik.

    Selain itu, melemahnya partai politik tercermin dari semakin berkurangnya jumlah pemilih yang mencoblos partai politik. Pemilih lebih cenderung mencoblos kandidat atau figur (caleg) dari pada partai politik. Apabila dibandingkan pada Pemilu 2019 dan Pemilu 2024, menunjukkan hampir semua partai politik mengalami penurunan jumlah pemilih yang mencoblos partai politik, kecuali hanya Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang mengalami peningkatan.

    Ketika mekanisme yang digunakannya adalah electoral threshold jumlah suara terbuang (tidak terkonversi menjadi kursi DPR) harusnya lebih kecil apabila dibandingkan dengan penerapan parliamentary threshold, namun ternyata tidak selalu demikian. Suara terbuang menjadi sumber kritik bagi pemerhati demokrasi di Indonesia.

    Semakin besarnya suara terbuang mencerminkan terjadinya disproporsionalitas di dalam sistem Pemilu kita yang menganut proporsionalitas.

    Pemilu pasca reformasi (1999-2024), berdasarkan data KPU RI menunjukkan bahwa suara terbuang terbesar terjadi pada Pemilu 2009 yang mencapai 19.047.481 suara atau setara dengan 18,3 persen total suara sah. Di sisi lain, suara terbuang terendah pada Pemilu di Indonesia terjadi pada tahun 2014 dengan 2.964.975 suara atau setara dengan 2,4 persen (sudah menggunakan parliamentary threshold).

    Namun sejak itu, jumlah suara terbuang kian meningkat 13.595.842 suara atau 9,7 persen (2019) dan 17.304.303 suara atau 11,4 persen (2024). Salah satu bukti empiris yang mendukung mengapa suara terbuang pada Pemilu 2014 relatif lebih sedikit adalah, karena partai politik peserta Pemilu relatif sedikit (12 partai politik) jika dibandingkan dengan periode Pemilu pasca reformasi lainnya.

    Menanti Arah Baru?

    Ambang batas pencalonan Pilpres yang sudah digugurkan, menandakan lahirnya sebuah baru dalam Pilpres di Indonesia. Artinya semua partai politik berhak mencalonkan presiden dan wakil presidennya. Sudah seharusnya momentum ini bisa dijadikan oleh partai politik untuk menggerakkan pendalaman demokrasi (deepening democracy) dan menciptakan sistem yang lebih inklusif.

    Sikap anti-partai politik yang selama ini seperti mewabah harus dilawan dengan gerakan nyata, dengan merebut hati rakyat. Bagaimanapun juga partai politik adalah pilar penting dalam demokrasi.

    Secara konseptual oleh Norris (2004) perdebatan tentang reformasi elektoral secara umum adalah perdebatan memilih di antara adversarial democracy dan consensual democracy. Indonesia sendiri lebih cenderung pada consensual democracy. Visi utama consensual democracy adalah menekankan pada pengambilan keputusan secara konsensus, tawar-menawar atau kompromi di antara beragam partai politik di parlemen, mendukung sistem elektoral proporsional yang mengurangi hambatan bagi partai minoritas, memaksimalkan partisipasi pemilih, dan parlemen yang mencerminkan keragaman.

    Namun di sisi lain, consensual democracy memiliki kelemahan karena menghasilkan hasil elektoral yang tidak tegas atau koalisi pemerintahan yang cenderung lemah, tidak efektif, dan tidak stabil, memungkinkan terjadinya permasalahan fragmentasi multi-partai, dan cenderung mendorong pengambilan keputusan yang lambat dan terlalu berhati-hati.

    Karena adanya kelemahan atau kelebihan itu barangkali yang membuat adanya usulan jalan ketiga, seperti usul tentang sistem pemilu campuran dalam pemilihan anggota legislatif. Hemat penulis, Indonesia harus bisa belajar dengan caranya sendiri. Apakah jalan yang dipilih adalah memberikan peluang yang lebih besar terhadap partai-partai kecil atau partai baru, namun disisi lain menimbulkan “bahaya” fragmentasi partai.

    Ada pula jalan lainnya, seperti mengurangi jumlah partai di level nasional, untuk mendorong penyederhanaan partai politik (multi-partai sederhana).

    Apapun langkah yang akan diambil oleh para pengambil kebijakan, RUU Pemilu mendesak untuk dilakukan pembahasan serta mengedepankan partisipasi publik yang bermakna (meaningful participation).

    Sudah saatnya momentum RUU Pemilu menjadi ajang konsolidasi sistem politik Indonesia untuk jangka panjang. Tidak ada sistem pemilihan yang benar-benar sempurna, tapi yang bisa kita lakukan adalah menentukan sistem pemilihan secara sadar yang paling menunjang agar bangsa Indonesia bisa bertumbuh.

    Faris Widiyatmoko. Dosen FISIP UPNV Jakarta dan Direktur Eksekutif Politika Research & Consulting.

    (rdp/rdp)

  • Utak-atik MK Koreksi Produk Politik DPR

    Utak-atik MK Koreksi Produk Politik DPR

    Utak-atik MK Koreksi Produk Politik DPR
    Penulis
    JAKARTA, KOMPAS.com

    Mahkamah Konstitusi
    (
    MK
    ) kembali disorot
    DPR
    setelah memutuskan untuk memisah pemilihan umum (
    pemilu
    ) nasional dan daerah mulai 2029.
    Dalam putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024, MK memutuskan pemilu nasional hanya ditujukan untuk memilih anggota DPR, DPD, dan presiden/wakil presiden. Sedangkan pemilihan anggota DPRD provinsi hingga kabupaten/kota akan dilaksanakan bersamaan dengan
    Pilkada
    .
    Putusan ini disorot DPR karena MK terkesan melampaui kewenangannya sebagai penjaga konstitusi atau
    guardian of constitution
    .
    Pasalnya, pemisahan pemilu nasional dan daerah akan berdampak terhadap sejumlah undang-undang, yakni Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang
    Pemilu
    , Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2019 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3), dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
    Namun sebelum putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024, MK sudah beberapa kali melakukan koreksi terhadap undang-undang yang dibentuk dan disahkan oleh DPR.
    Banyak dari produk politik DPR yang berkaitan dengan sistem kepemiluan di Indonesia “direvisi” oleh MK. Apa saja koreksi MK terhadap produk politik buatan DPR terkait kepemiluan? Berikut daftarnya
    Pada Senin (16/10/2023), MK mengabulkan perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 terkait usia minimal calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) dalam
    UU Pemilu
    .
    Pemohon gugatan adalah mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Surakarta (Unsa) bernama Almas Tsaqibbirru.
    Dalam putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023, Mahkamah membolehkan seseorang yang belum berusia 40 tahun mencalonkan diri sebagai capres atau cawapres selama berpengalaman menjadi kepala daerah atau jabatan lain yang dipilih melalui pemilihan umum.
    Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu sedianya berbunyi, “Persyaratan menjadi calon presiden dan calon wakil presiden adalah: berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun.”
    Atas putusan MK ini, seseorang yang pernah menjabat sebagai kepala daerah atau pejabat negara lainnya yang dipilih melalui pemilu bisa mencalonkan diri sebagai presiden atau wakil presiden meski berusia di bawah 40 tahun.
    “Menyatakan Pasal 169 huruf q Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109) yang menyatakan, “berusia paling rendah 40 tahun” bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum, termasuk pemilihan kepala daerah,” ujar Hakim Konstitusi Anwar Usman saat itu.
    Diketahui, putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023 menjadi gerbang masuk Gibran Rakabuming Raka untuk mendaftar sebagai cawapres dari Prabowo subianto pada pemilihan presiden (Pilpres) 2024.
    MK kemudian mengabulkan sebagian gugatan ambang batas parlemen atau
    parliamentary threshold
    (PT) sebesar 4 persen yang dimuat Pasal 414 ayat (1) UU Pemilu.
    Perkara yang terdaftar dengan Nomor 116/PUU-XXI/2023 ini diajukan oleh Ketua Pengurus Perludem Khoirunnisa Nur Agustyati dan Bendahara Pengurus Yayasan Perludem Irmalidarti.
    Dalam putusannya, MK menyatakan norma Pasal 414 ayat (1) UU Pemilu atau ambang batas parlemen 4 persen tetap konstitusional sepanjang tetap berlaku untuk pemilihan anggota DPR pada 2024.
    Selanjutnya,, MK menyatakan aturan itu konstitusional bersyarat untuk diberlakukan pada pemilihan DPR pada 2029 dan pemilu berikutnya sepanjang telah dilakukan perubahan dengan berpedoman pada beberapa syarat yang sudah ditentukan.
    Dengan kata lain, MK menyebut ambang batas 4 persen harus diubah sebelum Pemilu serentak tahun 2029.
    “Dalam pokok permohonan; satu, mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian,” kata Ketua MK Suhartoyo membacakan putusan di Gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis (29/2/2023).
    Setelah itu, mengatur ulang besaran ambang batas pencalonan kepala daerah yang diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (Pilkada).
    MK lewat putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024 menyatakan inkonstitusional Pasal 40 ayat (3) UU 10/2016 yang mengatur hanya partai politik yang memperoleh kursi di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) yang bisa mencalonkan kepala daerah.
    Dengan adanya putusan itu, partai politik atau gabungan parpol peserta pemilu yang memiliki suara sah bisa mengajukan calon kepala daerah tanpa harus mendapatkan kursi di DPRD.
    Kemudian, ambang batas pencalonan kepala daerah oleh parpol atau gabungan parpol tidak lagi sebesar 25 persen perolehan suara hasil pemilihan anggota DPRD atau 20 persen kursi di DPRD.
    Setelah mengubah parliamentary threshold sebesar 4 persen, MK juga menghapus ambang batas pencalonan presiden atau
    presidential threshold
    sebesar 20 persen.
    Penghapusan presidential threshold ini diputuskan dalam sidang perkara Nomor 62/PUU-XXII/2024 yang digelar pada Kamis (2/1/2025).
    Diketahui, UU Pemilu mengatur ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden oleh parpol atau gabungan parpol adalah paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR atau 25 persen dari suara sah nasional.
    MK menilai,
    presidential threshold
    sebagaimana tercantum dalam Pasal 222 UU Pemilu dinilai bertentangan dengan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, serta hak politik dan kedaulatan rakyat.
    “Rezim ambang batas pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden (presidential threshold) berapapun besaran atau angka persentasenya adalah bertentangan dengan Pasal 6A ayat (2) UUD NRI Tahun 1945,” ujar Wakil Ketua MK Saldi Isra.
    Dalam batas penalaran yang wajar, MK memandang
    presidential threshold
    dalam Pasal 222 UU Pemilu menutup dan menghilangkan hak konstitusional parpol untuk mengusulkan capres-cawapres.
    Terutama, partai politik yang tidak memiliki persentase suara sah secara nasional atau persentase jumlah kursi di DPR pada pemilu sebelumnya.
    MK berpandangan, penerapan angka ambang batas minimal persentase tersebut terbukti tidak efektif dalam menyederhanakan jumlah partai politik peserta pemilu.
    Di sisi lain, penetapan besaran atau persentasenya dinilai tidak didasarkan pada penghitungan yang jelas dengan rasionalitas yang kuat.
    Terbaru, MK memutuskan memisah antara pemilihan umum (Pemilu) nasional dan daerah mulai 2029 dalam putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024.
    Artinya, pemilu nasional hanya ditujukan untuk memilih anggota DPR, DPD, dan presiden/wakil presiden. Sedangkan Pileg DPRD provinsi hingga kabupaten/kota akan dilaksanakan bersamaan dengan Pilkada.
    Pakar hukum tata negara Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (STHI) Jentera, Bivitri Susanti, menilai reaksi partai politik yang resisten dengan putusan MK soal pemisahan pemilu nasional dan lokal disebabkan oleh kenyamanan yang terganggu.
    Menurut Bivitri, pengurus partai politik sudah terlanjur nyaman dengan sistem pemilu yang berlaku selama ini sehingga putusan MK tersebut membuat mereka protes.
    “Tentu saja Nasdem mungkin, maupun partai-partai lain menolak karena kan merasa apa yang sudah nyaman buat mereka diacak-acak oleh MK,” ucap Bivitri di Gedung MK, Jakarta Pusat, Selasa (1/7/2025).
    Bivitri juga menepis anggapan yang dikemukakan Partai Nasdem bahwa putusan MK tersebut inkonstitusional.
    Menurut dia, apa yang diputuskan Mahkamah Konstitusi sudah sesuai dengan tugas pokok dan fungsi sebagai penjaga konstitusi negara.
    Ia mengatakan, bukti bahwa putusan MK masih dalam koridor tugas mereka adalah adanya permintaan rekayasa konstitusional kepada pembentuk undang-undang.
    MK disebut masih menyerahkan kewenangan pemerintah dan DPR untuk membentuk aturan yang sesuai dengan penafsiran konstitusi.
    “Karena lihat saja, mereka (MK) minta tolong pembentuk undang-undang kan. Bikin dong rekayasa konstitusionalnya. Karena mereka memang tidak ada intensi untuk bikin undang-undang, mereka benar-benar hanya menafsirkan pasal yang diminta,” kata Bivitri.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • PKS Dorong Pembentukan Pansus Revisi UU Pemilu, Ini Alasannya
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        7 Juni 2025

    PKS Dorong Pembentukan Pansus Revisi UU Pemilu, Ini Alasannya Nasional 7 Juni 2025

    PKS Dorong Pembentukan Pansus Revisi UU Pemilu, Ini Alasannya
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Presiden Partai Keadilan Sejahtera (
    PKS
    )
    Al Muzzammil Yusuf
    mengusulkan agar DPR membentuk Panitia Khusus (Pansus) untuk membahas
    revisi Undang-Undang
    Pemilu.
    Menurutnya, pembentukan pansus penting agar pembahasan berlangsung menyeluruh dan melibatkan berbagai elemen bangsa.
     “Saya berharap kalau Undang-undang dibahas, memang bisa, kalau kita ingin melibatkan orang terbaik, bagus diangkat di Pansus. Dan ketika diangkat di Pansus itu, semua komponen, semua pakar terlibat di dalamnya,” kata Muzzammil di Kantor DPTP PKS, Jakarta Selatan, Sabtu (7/6/2025).
    Ia menambahkan, pembentukan pansus memungkinkan seluruh fraksi dan para pakar pemilu dilibatkan sejak awal. Hal ini ebagaimana yang dilakukan dalam pembahasan UU Pemilu sebelumnya pada periode 2004, 2009, dan 2014.
    “Undang-undang (Pemilu) yang periode 2004, 2009, 2014 melibatkan semua fraksi dan melibatkan orang-orang terbaik,” imbuh anggota DPR empat periode ini.
    Muzzammil juga menekankan pentingnya tidak hanya terfokus pada isu ambang batas parlemen (
    parliamentary threshold
    ) atau ambang batas pencalonan presiden (
    presidential threshold
    ). Namun, kata dia, lebih luas pada upaya memperbaiki kualitas pemilu secara menyeluruh.
    “Saya tidak ingin bicara parsial, bagaimana parliamentary threshold, bagaimana presidential threshold, tentu putusan MK kita hormati,” ungkapnya.
    Ia juga menyampaikan harapan agar pembahasan RUU Pemilu tidak dilakukan menjelang masa pemilu.
    Hal ini agar tidak menimbulkan perdebatan pragmatis yang dapat mengganggu persiapan teknis penyelenggara pemilu.
    “Kalau Undang-undang Pemilu di ujung, itu perdebatan kita terlalu pragmatis. Kalau dari awal ini kita masih sangat jauh, dan persiapan KPU Bawaslu akan semakin baik,” sebut Muzzammil.
    Selain itu, Muzzammil mendorong agar revisi UU juga membahas bantuan keuangan partai politik. Menurutnya, belajar dari praktik terbaik di negara lain untuk mencegah korupsi dan memperkuat kelembagaan parpol.
    PKS, kata dia, mendukung pembahasan RUU Pemilu dan Parpol selesai tahun ini agar seluruh pihak bisa fokus pada tahapan pemilu berikutnya tanpa gangguan regulasi yang belum matang.
    “Mudah-mudahan segera memang PKS mendorong, agar pembahasan itu di tahun ini selesai. Sehingga tahun berikutnya kita sudah fokus,” pungkas dia.
    Sebelumnya diberitakan, Komisi II DPR rencananya akan memulai pembahasan revisi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) pada 2026.
    Anggota Komisi II DPR Muhammad Khozin menjelaskan, pengembangan terkait poin-poin yang akan direvisi dalam UU Pemilu sudah dilakukan dengan menggelar rapat dengar pendapat umum (RDPU) dan diskusi.
    “Kalau rancangan timeline yang ada di Komisi II, kalau tidak ada aral melintang, InsyaAllah di tahun 2026 itu sudah mulai dilakukan (
    revisi UU Pemilu
    ),” ujar Khozin di Media Center Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Jakarta, Kamis (8/5/2025).
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Sebelum Bahas Jokowi, PPP Diminta Sepakati Dulu Isu Figur Eksternal Jadi Ketum
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        29 Mei 2025

    Sebelum Bahas Jokowi, PPP Diminta Sepakati Dulu Isu Figur Eksternal Jadi Ketum Nasional 29 Mei 2025

    Sebelum Bahas Jokowi, PPP Diminta Sepakati Dulu Isu Figur Eksternal Jadi Ketum
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Pengamat Politik dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Adi Prayitno, menilai Partai Persatuan Pembangunan (
    PPP
    ) harus bersepakat dulu sebelum memutuskan terkait pencalonan ketua umum dari tokoh eksternal. 
     
    “Ada yang berpendapat siapa pun boleh jadi ketum asalkan bisa bawa PPP lolos ke Parlemen, dan ada pihak-pihak lain di PPP yang mengatakan bahwa siapa yang mau jadi ketum PPP harus sesuai AD/ART di mana
    calon ketum PPP
    minimal 1 tahun jadi pengurus di PPP,” kata Adi Prayitno saat dihubungi wartawan, Kamis (29/5/2025).
    “Itulah yang sampai hari ini tidak
    clear
    apakah PPP boleh mencalonkan non-kader sebagai ketua umum,” sambungnya.
    Jika perdebatan di internal selesai, PPP baru bisa mendiskusikan nama-nama eksternal yang selama ini digadang-gadang menjadi ketum. Salah satunya adalah mantan Presiden
    Jokowi

    Adi mengatakan, langkah PPP yang melirik Jokowi sebagai calon ketum cukup masuk akal. Nama besar Jokowi diyakini dapat memenuhi kebutuhan partai untuk kembali lolos ke parlemen pada Pemilu 2029.
    “Saya kira wajar kalau PPP juga merilik Jokowi untuk dinominasikan sebagai calon ketua umum PPP karena PPP itu berharap betul di 2029 lolos lagi ke Parlemen,” kata dia. 
    Adi mengatakan, PPP pasti tengah mencari figur yang bisa menjadi daya dorong elektoral partai, salah satunya melalui Jokowi yang bukan kader PPP.
    Namun, Adi mengingatkan keputusan tetap ada di tangan Presiden ke-7 tersebut. 
    “Kalau misalnya Jokowi masuk nominasi dan PPP mempersilakan Jokowi, mau atau tidak itu saja, karena kuncinya ada di Jokowi,” ucap dia.
    Sebelumnya, Ketua Mahkamah Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Ade Irfan Pulungan menilai Joko Widodo (Jokowi) dapat mengantarkan partai berlambang Ka’bah itu kembali ke DPR pada 2029.
    Menurutnya, Presiden ke-7 Republik Indonesia itu merupakan sosok yang layak memimpin PPP untuk periode berikutnya.
    “Kalau ada yang menawarkan beliau menjadi Ketua Umum PPP, itu sangat luar biasa. Dan kalau dia merespons itu, menurut saya sebuah anugerah bagi PPP,” ujar Irfan saat berbincang dengan Kompas.com, Selasa (27/5/2025).
    “Insya Allah kalau PPP dipimpin oleh Pak Jokowi, insya Allah bertiga dan kembali ke Senayan. Mudah-mudahan bisa menjadi lima besar sehingga mendapat pimpinan di DPR,” sambungnya.
    Sebagai informasi, PPP untuk pertama kalinya gagal mendapatkan kursi di DPR sejak mengikuti pemilihan umum (pemilu) sejak 1977.
    Dalam Pemilu 2024, partai berlambang Ka’bah itu mendapatkan 5.878.777 suara atau 3,87 persen suara.
    Angka tersebut tidak mencapai ambang batas parlemen atau parliamentary threshold (PT) sebesar 4 persen.
    Menurut Irfan, Jokowi merupakan sosok yang tepat untuk memimpin PPP.
    Pengalamannya di bidang politik dan pemerintahan tentu menjadi sangat tepat untuk memimpin partai berlambang Ka’bah itu.
    Apalagi, Irfan melihat Jokowi sebagai sosok yang mengerti sejarah dan perkembangan PPP selama ini.
    “Tentu sosok-sosok yang seperti itu saya pikir cukup capable jika PPP itu dipimpin oleh orang yang sudah memiliki pengalaman politik yang cukup panjang, ya, dan cukup lama pengalaman dari pemerintahannya untuk bisa memimpin sebuah partai,” ujar Irfan.
    Irfan mengatakan, PPP saat ini membutuhkan pembenahan dan orang yang tepat melakukan hal tersebut adalah Jokowi.
    “Saya pikir figur Pak Jokowi yang cocok untuk memimpin PPP supaya ada pembenahan, ya, ada semacam pembaruan, ya, transformasi yang dilakukan oleh Pak Jokowi,” ujar eks Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP) itu.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Fenomena Parpol "Obral" Kursi Ketum ke Tokoh Luar, Dianggap Cerminan Gagalnya Kaderisasi
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        28 Mei 2025

    Fenomena Parpol "Obral" Kursi Ketum ke Tokoh Luar, Dianggap Cerminan Gagalnya Kaderisasi Nasional 28 Mei 2025

    Fenomena Parpol “Obral” Kursi Ketum ke Tokoh Luar, Dianggap Cerminan Gagalnya Kaderisasi
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Sejumlah partai politik terkesan mulai membuka peluang bahkan ‘obral’ kursi kepada pihak eksternal untuk menduduki posisi strategis sebagai ketua umum.
    Fenomena tersebut terlihat dari langkah Partai Solidaritas Indonesia (PSI) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang membuka ruang bagi tokoh non-kader untuk menjadi pemimpin partai.
    Peneliti Senior Bidang Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Lili Romli mengatakan, kemunculan fenomena ‘obral’ kursi ketua umum ini bisa jadi adalah cerminan dari kegagalan partai dalam melakukan kaderisasi secara internal.
    Menurut Lili, ada permasalahan mendasar yang melatarbelakangi keputusan partai menarik
    tokoh eksternal
    ke lingkar kepemimpinan.
    Salah satunya adalah kegagalan dalam menciptakan kader internal yang layak menjadi pemimpin partai.
    “Jadi faktor lainnya adalah kegagalan partai melakukan kaderisasi menciptakan para pimpinan yang layak untuk menjadi ketua partai. Alih-alih, kerap terjadi konflik di antara elite partai yang berujung hengkangnya elite partai berlabuh ke partai lain atau mendirikan partai baru,” ujar Lili kepada Kompas.com, Rabu (28/5/2025).
     
    Selain itu, kemunculan fenomena tersebut juga dampak dari ketatnya kompetisi dalam pemilu.
    Sebab, setiap partai berlomba-lomba agar bisa lolos ambang batas parlemen (
    parliamentary threshold
    ) dan menempatkan sebanyak mungkin kadernya di kursi legislatif.
    “Memang hak parpol untuk mencari figur ketua umum berasal dari luar figur luar, bukan dari orang dalam partai. Tetapi fenomena tersebut adalah dampak dari kompetisi yang ketat dalam pemilu agar lolos
    presidential threshold
    dan menempatkan sebanyak-banyaknya para kadernya di parlemen,” kata Lili.
    “Jika partai lolos, akan membawa keuntungan yang banyak, termasuk bisa masuk kekuasaan,” sambungnya.
    Di samping itu, Lili juga menyoroti munculnya pragmatisme dari kalangan elite partai.
    Saat ini, ada kecenderungan pihak elite partai lebih memilih tokoh dari luar ketimbang kader internal hanya demi tujuan jangka pendek.
    Peneliti BRIN itu mencontohkan, tujuan jangka pendek tersebut di antaranya adalah keinginan meningkatkan elektabilitas secara instan ataupun mendapatkan akses terhadap kekuasaan.
    “Alih-alih mendukung kader internal, mereka justru mengabaikan atau bahkan menjegal kader internal dengan beragam alasan,” sambungnya.
    Sebagaimana diketahui, PSI secara resmi membuka pendaftaran calon ketua umum yang akan dipilih melalui mekanisme pemilu raya dengan sistem “one man one vote”.
    Partai yang kini dipimpin oleh Kaesang Pangarep itu membuka peluang bagi semua pihak, termasuk pihak eksternal, untuk bergabung ke PSI dan langsung mencalonkan diri sebagai ketum.
    “Calon ini yang paling penting dia harus memegang kartu tanda anggota PSI. Jadi yang paling penting itu. Mengenai berapa lama, itu tidak menjadi masalah. Yang paling penting dia punya visi dan misi yang sama dengan PSI,” kata Wakil Ketua Umum PSI Andy Budiman, Selasa (13/5/2025).
    PSI menjadwalkan pemungutan suara pada 12 hingga 19 Juli 2025.
    Hasilnya akan diumumkan dalam kongres partai yang berlangsung pada 19 Juli 2025 di Solo, Jawa Tengah.
    Selain PSI, PPP secara terang-terangan juga mempertimbangkan sejumlah tokoh eksternal untuk maju sebagai calon ketua umum.
    Ketua Majelis Pertimbangan PPP Romahurmuziy atau Rommy mengatakan, sudah ada sejumlah nama dari kalangan eksternal yang kini masuk bursa calon ketum.
    Nama-nama tersebut antara lain Eks Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Dudung Abdurachman, Menteri Sosial Saifullah Yusuf, Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman, hingga mantan Menteri Perdagangan Agus Suparmanto.
    “Saya mendorong sebanyak-banyaknya calon. Saya terus mengikuti suara-suara dari pusat dan daerah. Hingga saat ini, sudah delapan nama yang muncul: tiga internal, lima eksternal,” ujar Rommy kepada Kompas.com pada 14 Mei 2025.
    “Internal: Sandi Uno, Sekjen Arwani, Gus Yasin. Dari eksternal: Gus Ipul, Dudung Abdurachman, Amran Sulaiman, Marzuki Alie, dan Agus Suparmanto,” imbuh dia.
    Menurut rencana, Muktamar PPP dengan agenda pemilihan ketua umum PPP akan digelar pada akhir Agustus 2025 atau September 2025.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.