Ahmad Ali: Tidak Ada Loyalitas Ganda, Kader PSI Tunduk pada Kepemimpinan Kaesang
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Ketua Harian Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Ahmad Ali menegaskan pentingnya loyalitas tunggal seluruh kader PSI kepada Ketua Umum Kaesang Pangarep.
Penegasan tersebut disampaikan
Ahmad Ali
dalam Rapat Koordinasi Wilayah (Rakorwil) Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) PSI
DKI Jakarta
di Grand Sahid Jakarta, Minggu (14/12/2024).
“Seluruh kader
PSI
DKI Jakarta harus patuh dan tunduk terhadap kepemimpinan Ketua Umum. Tidak ada loyalitas ganda dalam organisasi kita,” tegas Ahmad Ali.
Hal yang menyatukan kader PSI dalam satu organisasi, menurutnya, adalah cita-cita bersama untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat Indonesia. Untuk mencapai tujuan tersebut, diperlukan satu komando kepemimpinan yang jelas dan tegas.
Ahmad Ali menggunakan analogi gajah, lambang PSI, untuk menggambarkan pentingnya disiplin organisasi. Gajah dikenal sebagai hewan yang tertib dan kompak ketika berjalan berbaris.
“Seperti itulah (kader PSI), semua harus tunduk kepada kepemimpinan Ketua Umum,” ujarnya.
Loyalitas kepada Ketua Umum, lanjut Ahmad Ali, bukan soal kepentingan pribadi atau kelompok. Ini adalah komitmen untuk memperkuat organisasi demi tujuan yang lebih besar.
Ia menjelaskan bahwa loyalitas tunggal sangatlah penting untuk menghindari perpecahan internal. Di PSI yang dipimpin anak muda tapi juga dihuni banyak senior, potensi terbentuknya kelompok atau faksi harus diantisipasi sejak dini.
“Ini harus selalu kita ingatkan supaya bekerja tertib pada barisan, supaya tidak terjadi faksi di kemudian haru. Sebab, kalau sudah terjadi faksi, itu akan sulit untuk menyatukan,” katanya.
Ahmad Ali menegaskan bahwa tugas seluruh jajaran adalah mendukung Ketua Umum untuk mewujudkan cita-cita pendiri partai, yaitu menyejahterakan rakyat Indonesia melalui PSI.
Ia juga mengingatkan bahwa kader yang terpilih menjadi pemimpin tidak berutang kepada partai, melainkan kepada rakyat yang memilihnya. PSI lahir untuk melahirkan pemimpin yang bekerja untuk kepentingan masyarakat, bukan segelintir orang.
Ahmad Ali menyampaikan target ambisius PSI untuk merebut kursi
DPR RI
dari Daerah Pemilihan (Dapil) DKI Jakarta pada Pemilihan Umum (Pemilu) 2029.
“DKI ini menjadi salah satu daerah yang sangat istimewa karena memang daerah istimewa (secara strategis). Di sinilah barometer dari PSI,” ujar Ahmad Ali.
Karena posisi strategis tersebut, PSI memastikan kesiapan struktur di DKI Jakarta untuk menghadapi verifikasi faktual yang akan dilakukan Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada 2027, sekaligus kesiapan memasuki fase pertarungan elektoral 2029.
PSI sebenarnya sudah memiliki modal kuat pada Pemilu 2024. Partai berlambang gajah ini berhasil mencapai tingkat verifikasi 100 persen di DKI Jakarta, yang artinya seluruh struktur telah terverifikasi dengan baik. Namun, PSI belum lolos
parliamentary threshold
karena pencapaian di daerah lain belum optimal.
Untuk meraih kemenangan di 2029, Ahmad Ali menekankan pentingnya membangun fondasi organisasi yang solid hingga tingkat paling bawah. Rakorwil DKI Jakarta bertujuan memastikan struktur partai terbentuk sampai tingkat Dewan Pimpinan Ranting Tingkat (DPRT) bahkan hingga tingkat RT.
Ahmad Ali mengapresiasi pelantikan pengurus DPW PSI DKI Jakarta yang telah dilakukan. Dengan struktur lengkap, ia optimistis PSI bisa mencapai target elektoral di pemilu mendatang.
“Kemenangan hanya bisa diraih melalui soliditas bersama. Kita boleh berbeda di dalam, tapi ketika keluar harus satu suara,” katanya.
Ahmad Ali juga menegaskan bahwa PSI didesain sebagai wadah terbuka bagi kaum pergerakan dan aktivis muda Indonesia. Partai akan membuka rekrutmen terbuka untuk tokoh-tokoh dan anak muda terbaik yang berminat terjun ke politik.
“Insyaallah kami akan membuka diri untuk melakukan
open recruitment
terhadap tokoh-tokoh, anak-anak muda terbaik yang berminat untuk masuk politik,” ujar Ahmad Ali.
Rekrutmen tersebut, lanjutnya, tidak ada pungutan biaya. PSI ingin memastikan bahwa anak muda yang memiliki pemikiran cerdas dan bermimpi menjadi politisi tidak perlu takut karena latar belakang ekonomi atau keluarga.
“Difasilitasi oleh PSI tanpa ada pungutan biaya. Kami ingin memastikan bahwa anak-anak muda yang punya pemikiran cerdas dan bermimpi menjadi politisi tidak perlu takut. Mereka tidak perlu khawatir karena berasal dari keluarga petani, dari desa, atau bukan dari latar belakang politisi dan orang kaya,” katanya.
PSI, menurut Ahmad Ali, disiapkan sebagai wadah untuk menghimpun dan menampung anak muda Indonesia yang punya mimpi berkontribusi membangun Indonesia melalui jalur politik.
Ahmad Ali juga mengingatkan pentingnya sikap vokal kader PSI, termasuk yang menjadi anggota DPRD DKI Jakarta, terhadap permasalahan masyarakat. Ia merindukan sosok wakil rakyat yang berani menyuarakan aspirasi konstituen.
“Saya merindukan anggota DPRD DKI yang seperti dulu, yang kritis terhadap permasalahan-permasalahan masyarakat. Selama beberapa bulan terakhir ini, sikap itu hilang,” ujar Ahmad Ali.
Dukungan kepada pemerintah, menurutnya, bukan berarti menutup mulut untuk tidak menyuarakan kepentingan rakyat. Sikap konstruktif justru penting untuk menjaga kepercayaan masyarakat yang dititipkan kepada PSI.
Ahmad Ali juga meminta pengurus DPW PSI DKI Jakarta untuk menggunakan kantor partai sebagai ruang publik yang melayani kepentingan warga, bukan hanya untuk urusan internal organisasi. Seluruh pengurus pun diminta untuk kembali berinteraksi dengan masyarakat, mendengarkan keluhan mereka, dan menyuarakan aspirasi yang sebenarnya.
“Jangan lelah mendengarkan kritik. Dengan mendengarkan masukan, kita bisa memperbaiki diri dan berkembang lebih baik,” katanya.
Ahmad Ali menutup sambutan dengan mengajak seluruh kader PSI untuk bersatu di bawah kepemimpinan Ketua Umum
Kaesang Pangarep
demi mewujudkan cita-cita bersama menyejahterakan rakyat Indonesia.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Produk: parliamentary threshold
-
/data/photo/2025/12/15/693f904708792.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Ahmad Ali: Tidak Ada Loyalitas Ganda, Kader PSI Tunduk pada Kepemimpinan Kaesang
-

Waketum NasDem: Revisi UU Pemilu dalam kajian internal partai
Jakarta (ANTARA) – Wakil Ketua Umum Partai NasDem Saan Mustopa mengatakan partainya akan menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait revisi Undang-Undang Pemilihan Umum (UU Pemilu) lewat kajian internal.
“Itu kan nanti dibicarakan, akan kita tindaklanjuti apa yang menjadi putusan Mahkamah Konstitusi itu pada saat pembahasan Undang-Undang Pemilu,” kata Saan usai acara HUT Ke-14 Partai NasDem di Jakarta, Selasa.
Selama ini, menurut dia, Partai NasDem selalu mengusulkan ambang batas parlemen atau parliamentary threshold (PT) tujuh persen terkait revisi UU Pemilu.
Ia mengatakan pembahasan UU Pemilu itu juga akan didiskusikan lebih lanjut dengan fraksi-fraksi dan partai-partai di DPR.
“Dan nanti kita diskusikan, kita bicarakan dengan partai-partai dan fraksi-fraksi yang lain terkait dengan ambang batas parlemen karena memang juga terkait dengan revisi Undang-Undang Pemilu belum dimulai,” ujarnya.
Revisi UU Pemilu, kata Saan, masuk dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Tahun 2026. Untuk itu, Partai NasDem saat ini sedang dalam tahap pengkajian revisi UU tersebut.
“Misalnya kayak NasDem, tentu NasDem melakukan kajian terkait dengan nanti revisi Undang-Undang Pemilu. Poin-poin apa saja yang nanti NasDem sampaikan, akan tawarkan kepada fraksi-fraksi yang lain dan tentu juga dengan pemerintah,” ucapnya.
Sebelumnya, Wakil Ketua Komisi II DPR RI Zulfikar Arse mengungkapkan pembahasan revisi atau Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pemilu akan mulai bergulir pada tahun 2026 setelah Badan Legislasi DPR RI memutuskan RUU tersebut masuk ke Prolegnas Tahun 2026.
Menurut dia, Komisi II DPR pun akan menjadi pihak yang menginisiasi pembahasan itu. Dengan dibahas pada 2026, menurut dia, DPR memiliki waktu yang panjang untuk mempersiapkan penyusunan RUU tersebut.
“Kita akan bisa lebih fokus, kita akan bisa lebih memperbincangkan secara lebih mendalam soal perubahan undang-undang pemilu tersebut,” kata Zulfikar di kompleks parlemen, Jakarta, Selasa (7/10).
Pewarta: Benardy Ferdiansyah/Muhammad Rizki
Editor: Laode Masrafi
Copyright © ANTARA 2025Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.
-
/data/photo/2025/02/06/67a45a2ba11d0.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Revisi UU Pemilu: Menurunkan Ambang Batas Parlemen
Revisi UU Pemilu: Menurunkan Ambang Batas Parlemen
Pegiat Demokrasi dan Pemilu
REVISI
Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu telah masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2025, usulan Baleg DPR serta prioritas Prolegnas 2026, usulan Komisi II DPR.
Revisi ini diharapkan mencari solusi atas pelaksanaan pemilu yang rumit, bukan sekadar tambal sulam aturan.
Selain itu, mempertegas aturan pelaksanaan pemilu serta operasionalnya untuk memulihkan kredibilitas dan integritas proses pemilu. Serta memastikan pemilu lebih efisien, transparan, adil dan modern.
Selama ini kompleksitas aturan yang ada acapkali tumpang tindih sehingga membingungkan dalam pelaksanaan proses demokrasi elektoral.
Setiap kali pembaharuan UU Pemilu, satu isu klasik selalu menjadi trigger dan mencuri perhatian masyarakat adalah ambang batas parlemen (
parliamentary threshold
).
Angkanya mungkin terlihat sepele dari 4 persen, 5 persen atau sampai 7 persen. Namun di balik itu semua, tersimpan pertarungan besar tentang makna demokrasi.
Ambang batas yang konon dirancang demi “efisiensi politik”, selama ini justru menjadi ketidakadilan elektoral.
Di Indonesia, penerapan ambang batas jadi gula-gula politik yang menggoda kekuasaan. Penerapan ambang batas yang tinggi memungkinkan partai besar mempertahankan dominasi dan menyingkirkan pesaing sebelum kompetisi dimulai.
Semakin tinggi ambang batas, makin sempit pula ruang demokrasi. Ibaratnya seperti menggelar pesta rakyat, tapi hanya segelintir tamu yang boleh masuk.
Fakta menunjukkan bahwa ambang batas acapkali menjadi jebakan yang menggoda para pembuat aturan untuk melanggengkan kekuasaan dan kelompoknya.
Ironisnya, setiap kali revisi UU Pemilu dibahas, godaan untuk menaikkan ambang batas mesti muncul. Bila tren ini diteruskan, maka pemilu mendatang bukan lagi tentang siapa yang mendapat kepercayaan rakyat, melainkan siapa yang mampu mempertahankan dominasi kekuasaan lewat angka.
Dalam Teori Hegemoni Antonio Gramsci, ambang batas dijadikan alat hegemoni politik. Partai besar menggunakan wacana “penyederhanaan sistem” atau “efektivitas pemerintahan” untuk mendominasi ruang komunikasi politik.
Bentuk persetujuan yang dipaksakan untuk mengatur siapa yang boleh berbicara dan siapa yang disenyapkan di arena demokrasi.
Adanya ambang batas akan membatasi partai-partai baru atau kecil untuk turut serta dalam pengambilan kebijakan publik.
Suara minoritas yang seharusnya menjadi bagian dari mozaik demokrasi, malah terbuang sia-sia. Sementara demokrasi harus memberi ruang bagi keragaman suara, menjaga keberlangsungan demokrasi sekaligus menegakkan keadilan representasi.
Pemilu di Indonesia menggunakan sistem proporsional. Berkaca dari pengalaman pemilu selama ini, ada paradoks yang mencolok: banyak sekali suara yang tidak terkonversi menjadi kursi, jutaan suara rakyat terbuang karena partai politiknya tidak punya cukup suara memenuhi ambang batas parlemen.
Akhirnya distribusi kursi di DPR tidak sepenuhnya mencerminkan kemauan pemilih, melainkan sekadar hasil kalkulasi dari aturan yang menyingkirkan sebagian besar suara rakyat.
Penggunaan ambang batas parlemen yang terus naik dari pemilu ke pemilu membawa konsekuensi signifikan terhadap peta representasi politik di Senayan.
Data menunjukkan, dalam pemilu 2004 dengan ambang batas 3 persen, sebanyak 19.047.481 suara tidak dapat dikonversi menjadi kursi atau sekitar 18 persen.
Pemilu 2009 dengan ambang batas 2,5 persen, sebanyak 19.044.715 suara tidak dapat dikonversi menjadi kursi atau sekitar 18,2 persen.
Begitu pula di pemilu 2014 dengan ambang batas 3,5 persen, ada 2.964.975 suara atau sekitar 2,4 persen yang tidak dapat dikonversi menjadi kursi.
Lalu di pemilu 2019 dengan ambang batas 4 persen, ada 13.595.842 suara atau sekitar 9,7 persen yang tidak dapat dikonversi menjadi kursi.
Sementara pemilu terakhir 2024, dengan ambang batas masih 4 persen, sebanyak 16.977.503 suara atau 11,19 persen yang tidak terkonversi jadi kursi di DPR.
Fenomena ini menimbulkan hilangnya nilai suara rakyat (
wasted votes
) dalam jumlah besar. Ini bertentangan dengan prinsip kedaulatan rakyat dan keadilan pemilu sebagaimana dijamin Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 bahwa “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”.
Bayangkan, jutaan orang datang ke Tempat Pemungutan Suara (TPS), mencoblos dengan penuh harapan, tapi suaranya menguap atau hangus. Ini bukan sekadar inefisiensi, melainkan pengingkaran terhadap asas kedaulatan rakyat.
Fakta tersebut membuktikan, hak konstitusional pemilih yang telah digunakan dalam pemilu menjadi hangus atau tidak dihitung dengan dalih penyederhanaan partai politik.
Padahal ambang batas seyogianya menyaring, bukan menyingkirkan. Ia mengatur tata kelola representasi, tetapi tidak boleh menghapus representasi itu sendiri.
Karena keadilan elektoral hanya dapat berdiri jika setiap suara, besar mapun kecil, punya nilai politik yang sama.
Namun, ketika suara minoritas dihapus atas nama efisiensi, demokrasi akan kehilangan maknanya. Rakyat mungkin tetap punya pemilu, tapi kehilangan rasa keadilan politik.
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 116/PUU-XXI/2023 terkait ambang batas parlemen jadi angin segar bagi demokrasi agar dapat tumbuh lebih baik dan bermartabat.
Dalam putusan itu, Mahkamah meminta pembentuk undang-undang untuk
mengubah ambang batas parlemen pada Pemilu 2029
dan pemilu-pemilu yang akan datang dengan memperhatikan sejumlah hal.
Pertama, didesain untuk digunakan secara berkelanjutan. Kedua, perubahan norma ambang batas parlemen termasuk besaran angka atau persentase ambang batas parlemen dimaksud tetap dalam bingkai menjaga proporsionalitas sistem pemilu proporsional, terutama untuk mencegah besarnya jumlah suara yang tidak dapat dikonversi menjadi kursi DPR.
Ketiga, perubahan harus ditempatkan dalam rangka mewujudkan penyerderhanaan partai politik.
Keempat, perubahan telah selesai sebelum dimulainya tahapan penyelenggaraan Pemilu 2029. Kelima, perubahan melibatkan semua kalangan yang memiliki perhatian terhadap penyelenggaraan pemilihan umum dengan menerapkan prinsip partisipasi publik yang bermakna, termasuk melibatkan partai politik peserta pemilu yang tidak memiliki perwakilan di DPR.
Pertimbangan MK ini tentu tidak muncul tanpa dasar, melainkan merupakan hasil penilaian objektif terhadap sistem kepartaian Indonesia yang cenderung multipartai, serta untuk menjaga agar prinsip keterwakilan politik dan keadilan pemilu tetap terjamin.
Pada akhirnya, pertarungan ini bukan sekadar soal angka ambang batas, tetapi tentang keberanian DPR untuk setia pada semangat konstitusi.
Apakah para legislator berani menurunkannya demi keadilan representatif, atau justru meneguhkan ketidakadilan atas nama stabilitas politik?
Sebagai alternatif dari penulis, agar suara tidak terbuang percuma, bisa diterapkan mekanisme fraksi
threshold,
sama halnya seperti mekanisme di tingkat DPRD provinsi maupun kabupaten/kota.
Opsi ini terbukti berjalan efektif di mana partai-partai dengan kursi terbatas tetap dapat berpartisipasi dalam kerja-kerja legislatif melalui fraksi gabungan.
Dengan pendekatan seperti ini, penyederhanaan sistem kepartaian tetap terjaga, tapi keterwakilan rakyat tidak jadi korban.
Di sinilah seharusnya arah revisi UU Pemilu diletakkan, bukan pada pengetatan ambang batas, melainkan pada penguatan mekanisme representasi yang inklusif.
Satu hal yang selalu menjadi catatan serius dalam perjalanan demokrasi di Indonesia, yakni etika. Bila revisi UU Pemilu kali ini masih kembali menempatkan ambang batas sebagai alat eksklusi, maka demokrasi Indonesia akan kehilangan ruhnya.
Demokrasi bukan hanya soal mekanisme pemilihan dan kekuasaan, melainkan juga sistem nilai, moral dan etika yang menjadi pijakannya.
Bukan rahasia lagi bahwa sistem politik bisa dipakai untuk mengendalikan aturan main demi kepentingan kekuasaan.
Dalam konteks revisi UU Pemilu bisa muncul dalam berbagai rupa: ambang batas parlemen, mekanisme konversi suara, hingga desain daerah pemilihan (dapil) yang secara halus dapat menentukan siapa yang diuntungkan atau disingkirkan.
Di sinilah etika demokrasi diuji: Apakah DPR sungguh bekerja untuk memperkuat kualitas demokrasi, atau justru memperkuat posisinya sendiri di parlemen?
Menurunkan ambang batas parlemen sejatinya bukan langkah mundur, melainkan tindakan berani untuk mengakui bahwa demokrasi yang sehat tidak pernah takut pada keberagaman suara.
Ujian etika demokrasi merupakan panggilan moral bagi para legislator untuk menjaga demokrasi tidak hanya sebatas aturan formal, tetapi juga menjadikannya sebagai sistem yang benar-benar bermakna, berkeadilan, dan berintegritas.
Sebab, kekuatan demokrasi terletak bukan hanya pada jumlah suara, melainkan pada kualitas moral dan etika yang mengiringinya.
Revisi UU Pemilu kali ini adalah kesempatan untuk membuktikan, apakah bangsa ini berani menegakkan keadilan, atau bangsa yang rela menukar etika demi efisiensi politik.
Demokrasi sejati bukan tentang siapa yang menang, tetapi bagaimana memperlakukan suara yang kalah. Tanpa etika, demokrasi hanya menjadi mesin kekuasaan yang sah secara hukum, tapi hampa secara moral.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -
/data/photo/2025/01/13/6784ea212e2e7.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
MK Putuskan Tidak Terima Gugatan Partai Buruh soal Ambang Batas Parlemen Nasional 16 Oktober 2025
MK Putuskan Tidak Terima Gugatan Partai Buruh soal Ambang Batas Parlemen
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan permohonan yang diajukan Ketua Umum Partai Buruh Said Iqbal, tidak dapat diterima atau niet ontvankelijke verklaard, atau putusan NO.
“Mengadili: menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima,” kata Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Suhartoyo, dalam sidang perkara nomor 131/PUU-XXIII/2025 yang digelar di ruang sidang pleno MK, Jakarta Pusat, Kamis (16/10/2025).
Dalam pertimbangan hukumnya, Mahkamah menjelaskan, permohonan terkait kerugian hak konstitusional Pemohon atas ambang batas parlemen (
parliamentary threshold
) pada dasarnya telah pernah diuji dan dimaknai secara bersyarat dalam Putusan MK Nomor 116/PUU-XXI/2023.
Salah satu amar putusan tersebut menyerahkan kepada pembentuk undang-undang untuk segera melakukan perubahan sebelum penyelenggaraan Pemilu 2029 dengan melibatkan seluruh kalangan.
“Namun, hingga permohonan a quo diputus, pembentuk undang-undang belum melakukan perubahan atas ketentuan mengenai ambang batas parlemen,” ujar Wakil Ketua MK Saldi Isra.
Saldi menambahkan, dalam permohonan ini, anggapan kerugian konstitusional yang disampaikan Partai Buruh tidak didasarkan pada norma undang-undang yang telah berlaku sebagaimana amanat Putusan MK Nomor 116/PUU-XXI/2023.
“Oleh karena itu, permohonan a quo belum saatnya untuk diajukan ke MK,” ucap Saldi.
Dalam gugatan ini, Partai Buruh menilai, pembatasan representasi berdasarkan ambang batas semata adalah langkah yang tidak proporsional.
Representasi sebagian kelompok masyarakat hilang hanya karena faktor statistik, bukan karena tidak adanya dukungan riil dari pemilih.
Pemohon juga menyoroti inkonsistensi antara penerapan sistem pemilu proporsional dengan keberadaan ambang batas parlemen.
Sistem proporsional sejatinya bertujuan meminimalkan suara terbuang dan memastikan perbandingan proporsional antara persentase perolehan suara dan kursi.
Sebaliknya, sistem mayoritarian membuang suara yang kalah.
Karena itu, Pemohon berpendapat, ambang batas dalam sistem proporsional merupakan kontradiksi yang menimbulkan ketidakadilan dalam proses dan hasil pemilu, serta mengurangi kesetaraan warga negara di hadapan hukum.
Dalam petitum, Pemohon meminta MK menghapus aturan ambang batas parlemen secara nasional.
Namun, apabila menurut MK aturan ambang batas parlemen tetap diperlukan, Pemohon mengajukan petitum alternatif berupa pemberlakuan ambang batas parlemen yang berbasis dapil, dan bukan berbasis pada suara sah nasional.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -

Baleg jelaskan isu krusial dalam pembahasan RUU Pemilu
Padang (ANTARA) – Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Ahmad Doli Kurnia menjelaskan sejumlah isu krusial terkait pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilu yang masuk ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2026.
“Ada beberapa isu klasik yang mesti segera dibahas dalam RUU Pemilu ini,” kata Wakil Ketua Baleg DPR RI Ahmad Doli Kurnia di Padang, Senin.
Hal tersebut disampaikan Wakil Ketua Baleg dalam diskusi bertajuk Desain Penegakan Hukum Pemilu dalam Kodifikasi RUU Pemilu yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas.
Pertama, kata Doli, publik kerap membahas tentang sistem pemilu itu sendiri dimana saat ini Indonesia menerapkan sistem proporsional terbuka. Sistem pemilu dinilai penting dibahas pada RUU Pemilu untuk mendapatkan wakil rakyat serta demokrasi yang berkualitas.
Doli mengatakan saat ini pihak-pihak terkait dalam tahap pembahasan penerapan sistem campuran atau menggabungkan antara proporsional terbuka dan tertutup. Kajian ini ditujukan untuk mendapatkan kualitas demokrasi yang jauh lebih baik dari sebelumnya.
Isu kedua berkaitan dengan presidential threshold maupun ambang batas parlemen (parliamentary threshold). Meskipun Mahkamah Konstitusi sudah menghapuskan ambang batas presidential threshold, pihaknya memandang hal itu tetap perlu dikaji lebih jauh.
Sebab, perintah Mahkamah Konstitusi secara implisit meminta kepada pembuat undang-undang untuk melakukan rekayasa konstitusi supaya calon presiden tidak banyak dan juga tidak sedikit.
Begitu juga dengan ambang batas parlemen dimana Mahkamah Konstitusi juga meminta pembuat undang-undang merumuskan ulang secara implisit di bawah empat persen.
Kemudian, RUU Pemilu juga penting membahas tentang besaran kursi per daerah pemilihan. Hal ini untuk menjawab bagaimana masyarakat mengetahui sosok yang akan dipilih pada hari pencoblosan.
“Jadi dalam proses pencalonan itu dimungkinkan pemilih lebih mudah mengenal calon-calonnya sehingga besaran per daerah pemilihan kita persempit,” jelas dia.
Terakhir, anggota Komisi II DPR RI tersebut mengatakan RUU Pemilu juga penting membahas metodologi penghitungan konversi suara ke kursi. Secara umum, RUU Pemilu sudah digaungkan sejak awal 2025. Namun, seiring berjalannya waktu tidak ada alat kelengkapan dewan (AKD) yang mengusulkan pembahasan RUU tersebut sehingga Baleg berinisiatif mengusulkan ulang dan masuk pada Prolegnas Prioritas 2026.
Pewarta: Muhammad Zulfikar
Editor: Hisar Sitanggang
Copyright © ANTARA 2025Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.
/data/photo/2025/12/14/693eb7a9e1674.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
/data/photo/2025/11/19/691d812e50c7c.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
/data/photo/2025/11/15/6918586b9add4.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
/data/photo/2025/09/26/68d6accfa25e5.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5360793/original/009611800_1758760531-WhatsApp_Image_2025-09-25_at_06.41.52_f12df4e0.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)