Otoritarianisme Finansial dan Logika Serampangan Pemblokiran Rekening oleh PPATK
Doktor Sosiologi dari Universitas Padjadjaran. Pengamat sosial dan kebijakan publik. Pernah berprofesi sebagai Wartawan dan bekerja di industri pertambangan.
PEMBLOKIRAN
rekening masyarakat sipil yang tidak aktif (dormant) mulai dilonggarkan. Namun, jangan buru-buru spontan memuji.
Pelonggaran ini bukanlah tanda bahwa kebijakan membaik, melainkan merupakan pengakuan diam-diam atas logika serampangan yang pernah, dan mungkin masih, dijalankan negara atas nama intelijen keuangan (
financial intelligence
).
Kita pernah, dan tampaknya masih, hidup dalam rezim pengawasan keuangan yang menyamakan rekening pasif dengan potensi kriminal, menukar prinsip kehati-hatian dengan paranoia institusional.
Tak pernah terbesitkah di benak
PPATK
bahwa sebagian rekening yang mereka blokir itu mungkin milik seseorang yang sedang sakit dan tengah menyimpan dana untuk membayar tagihan medis?
Sebab, sekalipun menggunakan BPJS, tetap ada biaya tambahan (
out of pocket
) yang harus ditanggung sendiri.
Bagaimana jika rekening itu adalah tempat orang menabung untuk kuliah anaknya lima tahun ke depan? Atau dana darurat yang memang sesuai namanya tidak akan digunakan dalam waktu dekat?
Negara, melalui PPATK, tampak menjalankan kebijakan seolah semua orang wajib menjadi makhluk transaksional harian agar tidak dianggap menyimpan uang jahat.
Logika sekelas lembaga negara ini bukan hanya tidak manusiawi, tapi juga tidak mengenal atau pura-pura tidak paham kompleksitas perilaku ekonomi warga.
Pemerintah menolak realitas bahwa dalam realitasnya, orang tidak hidup untuk bertransaksi setiap minggu. Ada kehati-hatian, ada perencanaan, ada jeda. Dan jeda semacam itu bukanlah sebuah kejahatan.
PPATK berdalih bahwa pemblokiran ini merupakan respons atas lonjakan transaksi judi online. Namun, hingga kini, tidak ada data resmi yang dirilis ke publik.
Sementara di lapangan, rekening milik pelajar, ibu rumah tangga, petani, dan pensiunan turut dibekukan.
Apakah mereka semua penjudi, atau justru korban dari logika administratif yang malas membedakan mana kehati-hatian dan mana pelanggaran hukum?
Jika pemerintah sungguh-sungguh ingin memerangi judi online, maka yang dibutuhkan adalah penelusuran berbasis bukti, audit menyeluruh terhadap sistem pembayaran ilegal, pemantauan digital yang cermat, serta koordinasi lintas aparat penegak hukum.
Bukannya justru menyebar jaring besar ke seluruh nasabah pasif dan berharap pelaku kejahatan tertangkap di antara jutaan warga yang bersih.
Hingga Mei 2025, PPATK melaporkan telah memblokir 31 juta rekening nasabah yang berstatus dormant dengan nilai total Rp 6 triliun, sebagai tindak lanjut atas data yang dilaporkan oleh 107 bank.
Dari jumlah itu, sebanyak 10 juta rekening penerima bantuan sosial tidak pernah digunakan, dengan dana mengendap sebesar Rp 2,1 triliun.
Sementara lebih dari 2.000 rekening milik instansi pemerintah dan bendahara pengeluaran juga dinyatakan dormant, dengan total dana hampir Rp 500 miliar (
Kompas.id
, 30/7/2025).
Namun angka-angka ini seolah tak punya bobot, karena dalam logika PPATK, yang dinilai bukan siapa yang menyalahgunakan, tetapi siapa yang tidak bergerak.
Rekening-rekening ini dibekukan hanya karena terlalu “diam”, terlalu lama tidak menyentuh ATM, terlalu jarang bertransaksi, terlalu sunyi bagi algoritma yang mencurigai apa pun yang tak bergerak.
Kini, PPATK menyatakan rekening pasif bisa diaktifkan kembali jika tidak terindikasi tindak pidana, seolah melupakan bahwa negara pernah merasa berhak membekukan dana yang secara hukum bukan miliknya, hanya atas dasar kecurigaan massal.
Inilah kekacauan logika yang kini kita hadapi, kehati-hatian finansial dianggap sebagai penyamaran kriminal; tabungan disamakan dengan pencucian uang; dan warga dipaksa membuktikan bahwa keheningan rekening bukanlah konspirasi jahat.
Negara tidak lagi bekerja berdasarkan asas praduga tak bersalah (
presumption of innocence
), melainkan dengan logika curiga dahulu, mengumpulkan bukti kemudian (
presumption of suspicion
).
Dan seperti biasa, yang paling mudah dicurigai adalah yang paling lemah, rakyat biasa yang hanya menabung, bukan terikat pencucian uang.
Dari semua yang terjadi, satu pertanyaan paling mengganggu dan tak bisa dihindari, mengapa PPATK begitu cepat dan berani memblokir rekening milik rakyat biasa, tapi begitu lamban dan hati-hati, bahkan tidak bernyali saat berhadapan dengan rekening milik pejabat, politisi, atau tokoh berpengaruh?
Bukankah pada tahun 2024 PPATK telah melaporkan adanya transaksi mencurigakan senilai Rp 80,1 triliun yang melibatkan partai politik, calon anggota legislatif, petahana, dan pejabat aktif? (
Kompas.id
, 27 Juni 2024).
Laporan itu bahkan telah diserahkan ke aparat penegak hukum, tapi tidak ada pemblokiran. Tidak ada pembekuan rekening. Tidak ada tindakan langsung. Hanya menjadi laporan yang dibiarkan menguap di antara kepentingan.
Sementara itu, jutaan rekening milik masyarakat sipil dibekukan secara cepat dalam hitungan minggu, tanpa perlindungan hukum, tanpa pembuktian, dan tanpa ruang klarifikasi.
Dalam wajah kebijakan yang seperti ini, kita tak sedang melihat lembaga intelijen keuangan yang profesional, melainkan lembaga yang menjalankan logika ketakutan vertikal dan keberanian horizontal.
Takut ke atas, berani ke bawah, tajam ke bawah tumpul ke atas.
Terhadap pejabat yang memutar uang dalam gelap, PPATK cukup mengirim dokumen. Terhadap rakyat kecil yang diam menabung, PPATK langsung bertindak.
Jika standar keberanian ditentukan oleh posisi sosial, maka yang sedang dijalankan bukan lagi analisis risiko, melainkan politik kepatuhan yang pincang.
PPATK, yang seharusnya menjadi benteng akuntabilitas dalam lalu lintas keuangan nasional, justru berpotensi menjadi alat seleksi siapa yang layak ditekan dan siapa yang aman dibiarkan.
Lebih parah dari sekadar salah logika, tindakan PPATK juga menabrak batas kewenangan yang secara eksplisit telah diatur oleh hukum.
Dalam konstruksi hukum positif Indonesia, PPATK bukanlah aparat penegak hukum. Ia bukan polisi, bukan jaksa, bukan hakim.
Ia adalah lembaga intelijen keuangan yang tugas utamanya adalah menganalisis, melaporkan, dan memberikan rekomendasi. Bukan mengambil tindakan pemblokiran sepihak atas rekening warga negara tanpa prosedur hukum yang sah.
Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, PPATK hanya dapat meminta pemblokiran kepada lembaga keuangan apabila terdapat dugaan kuat keterkaitan dengan tindak pidana pencucian uang atau pendanaan terorisme.
Itu pun bersifat sementara, dibatasi waktu maksimal 30 hari, dan harus ditindaklanjuti oleh penyidik melalui mekanisme hukum yang benar.
Artinya, PPATK sebenarnya tidak memiliki kewenangan langsung untuk mengeksekusi pemblokiran rekening secara mandiri, apalagi terhadap jutaan rekening milik warga sipil yang bahkan tidak sedang diperiksa dalam perkara pidana.
Jika pemblokiran dilakukan tanpa keterlibatan aparat penegak hukum dan tanpa perintah pengadilan, maka itu bukan sekadar pelanggaran administratif, itu adalah bentuk penyalahgunaan wewenang.
Apa yang dilakukan PPATK tidak hanya keliru secara hukum nasional, tetapi juga menyimpang dari prinsip-prinsip internasional yang mengatur kerja lembaga intelijen keuangan.
Dalam bukunya,
Anti-Money Laundering: A Comparative and Critical Analysis
, Alhosani (2016) mengingatkan bahwa Financial Intelligence Unit (FIU), termasuk seperti PPATK, bukanlah lembaga penegak hukum, melainkan unit analitik yang tugas utamanya adalah mengolah data, menyusun laporan intelijen keuangan, dan menyerahkannya kepada penegak hukum yang berwenang.
Memberi kewenangan langsung kepada FIU untuk membekukan rekening tanpa perintah pengadilan atau proses yuridis adalah penyimpangan struktural yang membuka ruang bagi otoritarianisme finansial.
Lebih lanjut, Alhosani menyebutkan bahwa banyak negara yang kini justru terjebak dalam kecenderungan menyerahkan kewenangan eksekutif kepada FIU dengan dalih efisiensi, padahal yang sebenarnya terjadi adalah perampasan prosedur hukum atas nama pencegahan kejahatan.
Inilah yang disebutnya sebagai “function creep”, saat sebuah lembaga yang semestinya berperan sebagai penganalisis, justru perlahan-lahan berubah menjadi eksekutor, mengaburkan garis batas antara intelijen dan penegakan hukum.
Dalam konteks Indonesia, tindakan PPATK memblokir 31 juta rekening, tanpa prosedur hukum, tanpa pembuktian, tanpa mekanisme klarifikasi adalah bentuk paling ‘konyol’ dari penyalahgunaan wewenang administratif yang melampaui batas fungsi kelembagaan.
Ini bukan lagi kerja intelijen keuangan, ini adalah penghakiman sepihak yang diselubungi jargon keamanan.
Negara seolah sedang membangun logika, “Kami curiga, maka Anda bersalah, dan kami tak perlu pengadilan untuk membenarkannya”.
Padahal, dalam logika negara hukum, bahkan terhadap seorang tersangka korupsi pun negara tetap wajib memberikan proses yang sah, ruang pembelaan, dan kesempatan untuk menjelaskan.
Mengapa prinsip yang sama tidak berlaku bagi, perintis usaha kecil, pengemudi ojek online, ibu rumah tangga, pensiunan, atau pelajar yang hanya sebatas menabung? Mengapa asas praduga tak bersalah hanya berlaku bagi pejabat, tapi justru tidak bagi rakyat biasa?
Inilah yang menjadikan kebijakan pemblokiran massal terhadap
rekening dormant
bukan hanya ngawur secara ekonomi, tapi juga cacat secara hukum.
Negara tidak boleh bertindak atas dasar asumsi sambil mengabaikan prosedur hukum yang menjadi fondasi perlindungan hak sipil.
Jika PPATK bisa membekukan dana seseorang hanya karena tidak aktif bertransaksi, tanpa indikasi tindak pidana dan tanpa proses hukum, maka kita sedang berhadapan dengan lembaga yang menjelma menjadi hakim, jaksa, dan algojo sekaligus, tanpa pengawasan yudisial.
Negara hukum tidak memberi tempat bagi logika bahwa dugaan bisa menggantikan bukti, dan kekuasaan administratif bisa menggantikan proses peradilan.
Bahkan dalam konteks kejahatan keuangan yang kompleks sekalipun,
legal authority
tidak pernah lahir dari otoritas fungsional semata.
Tidak cukup bahwa PPATK tahu, atau menduga, atau mengamati, mereka harus tunduk pada proses, harus tunduk pada pembuktian, harus tunduk pada hukum.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Produk: ojol
-
/data/photo/2023/10/12/65276d0ca3bb9.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Otoritarianisme Finansial dan Logika Serampangan Pemblokiran Rekening oleh PPATK Nasional 2 Agustus 2025
-

Solusi Jika Merasa Bayar Pajak Kendaraan Tahunan Terlalu Berat
Jakarta –
Pajak kendaraan yang dibayar setiap tahun mungkin bakal memberatkan sebagian masyarakat. Tapi, ada solusi jika pemilik kendaraan merasa pajak tahunan terlalu berat.
Pemerintah Provinsi Banten meluncurkan program Tabungan Pajak. Program itu memungkinkan masyarakat mencicil pembayaran pajak kendaraan bermotor (PKB( melalui Bank Banten.
Menurut pelaksana tugas Kepala Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Banten Rita Prameswari, program tabungan pajak itu bertujuan untuk meringankan beban keuangan masyarakat yang mungkin merasa kesulitan membayar pajak secara sekaligus saat jatuh tempo.
“Jadi mereka bisa membuka tabungan di Bank Banten dan mencicil nilai pajaknya per bulan,” kata Rita seperti dikutip Antara.
Skema cicilan yang ditawarkan tidak menentukan saldo awal. Setoran pertama yang ditunaikan langsung dihitung sebagai cicilan pertama. Sistem akan membagi total pajak sesuai tenor hingga jatuh tempo. Satu bulan sebelum jatuh tempo, sistem akan mendebet otomatis dan menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Daerah (SKPD).
“Kalau pajak jatuh tempo Desember dan mulai menabung bulan Juli, maka dibayar enam kali. Ini memudahkan, dan sistem akan langsung keluarkan SKPD saat debet dilakukan,” sebut Rita.
Namun, tak semua pemilik kendaraan bisa memanfaatkan program ini. Tabungan pajak ini hanya berlaku untuk kendaraan atas nama pribadi dan tidak memiliki tunggakan. Pajak yang dicicil pun hanya pajak tahunan, bukan perpanjang STNK 5 tahunan.
Tabungan yang telah disetorkan tidak bisa ditarik. Dananya akan ditahan sampai waktunya auto-debet.
Gubernur Banten Andra Soni mengatakan, pihaknya memberikan respons langsung dari aspirasi pengemudi ojek online (ojol) yang meminat program tabungan pajak. Namun, program ini tidak hanya berlaku untuk driver ojol, tapi juga untuk semua warga.
“Ini hasil permintaan dari kawan-kawan ojol. Mereka kesulitan bayar pajak sekaligus. Maka kita permudah,” ujar Andra.
(rgr/dry)
-

Khofifah pantau SPBU di Jember pastikan pasokan-distribusi BBM normal
Sumber foto: Antara/elshinta.com.
Khofifah pantau SPBU di Jember pastikan pasokan-distribusi BBM normal
Dalam Negeri
Editor: Sigit Kurniawan
Kamis, 31 Juli 2025 – 23:11 WIBElshinta.com – Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa memantau sejumlah stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) di Jember untuk memastikan pasokan dan distribusi bahan bakar minyak (BBM) normal setelah sempat mengalami kelangkaan akibat keterlambatan distribusi hingga menyebabkan antrean panjang.
Khofifah didampingi Bupati Jember Muhammad Fawait dan Executive General Manager PT Pertamina Patra Niaga Regional Jatimbalinus Aji Anom Purwasakti bersama jajaran meninjau SPBU di Jalan Gajahmada dan SPBU Mangli, Kabupaten Jember, Kamis.
“Alhamdulillah seperti yang kami lihat saat ini bahwa kondisi di SPBU sudah tidak terlihat ada antrean. Kondisi itu tolong saling dijaga dan pertahankan untuk menjaga ketenangan masyarakat agar beraktivitas lebih maksimal dan produktif,” kata Khofifah di Jember.
Menurut dia, terurainya antrean BBM di Jember beberapa hari terakhir bukan kerja satu pihak, melainkan kolaborasi berbagai pihak, salah satu yang utama adalah Pertamina, sehingga pihaknya menyampaikan terima kasih kepada Pertamina yang mencari opsi suplai dari terminal lainnya seperti Surabaya, Malang, Yogyakarta dan Jawa Tengah.
“Masing-masing terminal sudah memiliki kapasitas untuk memenuhi sesuai dengan sistem di Pertamina Patra Niaga. Ekosistem proses suplai dan distribusi terminal-terminal Pertamina menurut saya bagian dari keseriusan Pertamina mengatasi antrean BBM di Jember,” tuturnya.
Ia memastikan bahwa per Rabu (30/7) ketersediaan BBM di Jember telah melebihi kapasitas yang dibutuhkan dari kebutuhan normal 900 kiloliter dan kini telah tersedia 1.300 kl.
“Dengan begitu, diharapkan proses normalisasi dari seluruh pemenuhan kebutuhan BBM masyarakat Jember bisa normal seperti semula,” katanya.
Sementara Executive General Manager Pertamina Patra Niaga Regional Jatimbalinus Aji Anom Purwasakti mengatakan suplai BBM ke Jember sudah sangat baik, bahkan mencapai 1.400 kilo liter (kl) pada Rabu (30/7) dari suplai normalnya sekitar 900 KL per hari agar tidak ada lagi antrean warga di SPBU.
“Alhamduliillah hari ini suplai BBM ke Jember sudah baik. Kami akan terus jaga itu untuk menjaga kepercayaan konsumen ke Pertamina,” katanya.
Pantauan di sejumlah SPBU Jember terlihat sudah normal dan tidak ada lagi antrean panjang karena pasokan BBM ke Jember melimpah dan melebihi kebutuhan setiap harinya.
Dalam kesempatan itu, Gubernur Khofifah memberikan bantuan pengisian BBM gratis jenis Pertalite serta sembako kepada driver ojek online di kawasan SPBU Jalan Gajahmada Jember.
Sumber : Antara
-

Penghasilan Ojol Sebulan Kerja Sampai Jam 10 Malam, Ternyata Segini
Jakarta, CNBC Indonesia – Di tengah tekanan ekonomi dan ketatnya pasar kerja, profesi sebagai driver ojek online masih menjadi andalan bagi sebagian masyarakat.
Tidak sedikit yang meninggalkan pekerjaan tetapnya demi penghasilan dan fleksibilitas waktu dari layanan transportasi berbasis aplikasi ini. Khoerudin (39), salah satunya.
Ia mengaku sudah enam tahun menjalani profesi sebagai mitra ojol dan kini sepenuhnya menggantungkan hidup dari jalanan ibu kota.
“Dari tahun 2019 saya full jadi driver. Sebelumnya kerja sebagai pemeliharaan gedung biasa, jadi sebutnya pegawai situ, bulanan digaji,” kata Khoerudin saat dihubungi CNBC Indonesia, Kamis (31/7/2025).
Khoerudin mengungkapkan, penghasilan bulanannya sebagai driver online mencapai Rp 8 juta hingga Rp9 juta per bulan.
“Per hari itu kurang lebih Rp 400 ribu. Ya kurang lebih per bulan antara Rp 8 juta – Rp 9 juta lah, karena Sabtu Minggu agak sepi gitu,” ujarnya.
Setiap hari, Khoerudin mulai menarik penumpang sejak pukul 06.00 pagi hingga pukul 22.00 malam, dengan jeda istirahat siang selama satu hingga dua jam.
Areanya mengangkut penumpang sebagian besar berada di Jakarta Pusat, tak jarang dia harus mengantar hingga ke wilayah Jakarta Selatan dan Jakarta Barat.
Meski harus bekerja hampir setiap hari, Khoerudin merasa lebih nyaman dibandingkan saat menjadi pegawai. Dalam sebulan, ia hanya libur satu hingga dua hari, tergantung situasi dan kebutuhan ekonomi keluarga.
“Ya kadang sebulan full, kadang libur cuma 2 hari (dalam sebulan), tergantung situasi dan kondisi ekonomi, (liburnya) tergantung saya, kalau ada keperluan,” ujarnya.
Dengan fleksibilitas dan penghasilan yang didapat saat ini, Khoerudin merasa lebih nyaman menjadi driver ojol. Sebab profesi sebagai driver online justru menawarkan kebebasan yang tidak didapatkan dari pekerjaan sebelumnya.
“Kalau menurut saya lebih nyaman di Grab karena waktunya fleksibel. Bisa diatur sendiri,” pungkasnya.
(dem/dem)
[Gambas:Video CNBC]
-

Pelajaran dari Mobil Listrik Tabrak Driver Ojol Hingga Tewas
Jakarta –
Kecelakaan maut terjadi di Jalan Pangeran Antasari, Cilandak, Jakarta Selatan. Seorang pengendara (ojek online) ojol tewas pada kecelakaan yang melibatkan mobil listrik.
Dikutip detikNews, insiden ini melibatkan mobil listrik Hyundai Ioniq dengan motor yang dikendarai ojol. Driver ojol meninggal dunia, sementara pemboncengnya mengalami luka-luka.
Peristiwa ini terjadi pada Rabu (30/7) dini hari sekitar pukul 00.36 WIB. Kecelakaan tersebut juga mengakibatkan kerusakan warung yang turut ditabrak mobil Ioniq.
Kecelakaan diawali saat pengemudi Ioniq melaju dari selatan ke utara di Jalan Antasari. Setiba di persimpangan Pasar Inpres, pengendara mobil diduga tidak hati-hati dan tidak konsentrasi sehingga kendaraan menabrak pengemudi sepeda motor dari arah utara ke selatan.
“Berakibat pengendara sepeda motor meninggal dunia dan pemboncengnya berinisial MG luka ringan,” ujarnya.
Dari kecelakaan ini, bisa diambil pelajaran penting agar tak terulang peristiwa serupa. Menurut Road Safety Comission Ikatan Motor Indonesia dan Wakil Ketua Umum Bidang Diklat Perkumpulan Keamanan dan Keselamatan Indonesia (Kamselindo) Erreza Hardian, waktu kecelakaan di tengah malam itu memang berisiko.
“Kebanyakan orang sedang istirahat dan tidur, tapi untuk lalu lintas Jakarta aktivitas hampir 24 jam. Jadi ketika di atas jam 22.00 (sebagai acuan dasar jam biologis manusia istirahat) tapi ini tetap beraktivitas, artinya ada penurunan kondisi fisik dan mental tubuh. Sering dianggap aman, padahal justru bahaya makin banyak di atas jam tersebut,” kata Reza kepada detikOto, Kamis (31/7/2025).
Tak cuma itu, Reza menyoroti ojol dan penumpangnya banyak yang lalai, tidak menggunakan peralatan keamanan dengan benar. Sedangkan pengguna kendaraan listrik dengan torsi yang besar, juga turut menjadi sorotan. Ketika torsi besar kendaraan listrik menabrak pemotor dengan perlindungan yang minim, maka fatal akibatnya.
“Pengguna kendaraan listrik dengan torsi awal sangat besar, mungkin dia sudah mengurangi kecepatan saat perempatan. Tapi karena dianggap aman, tambah akselerasi. Dan ini yang membuat risiko bertambah adalah pemicu ketika korbannya tanpa perlindungan terbaik, apalagi pengguna motor tanpa perlengkapan yang baik dan benar,” sebutnya.
Reza menyarankan, pengemudi mobil bertransmisi otomatis sebaiknya jangan anteng di gear D. Manfaatkan gigi lain agar kecepatan kendaraan dapat dibatasi.
“Saya sering memberikan teknis mengemudi mengendalikan kendaraan matic dengan cara membatasi transmisi. Kecepatan kendaraan kita dipengaruhi oleh transmisi, maka jangan melulu di D ketika potensi bahaya meningkat contoh di atas jam rawan. Pindahkan ke 3 atau 2, jadi kalau kaki kanan mulai out of control, rpm tinggi, tapi kecepatan terkendali pada batas transmisinya. Tidak usah takut rusak ketika sering memainkan transmisi matic, udah banyak insinyur dan ada teknologi mahal di dalamnya. Inilah yang saya sebut pengendalian risiko, bahaya tetap ada tapi risiko crash dengan kecepatan rendah akan berbeda,” beber Reza.
Sementara dengan mobil listrik yang biasanya menggunakan single speed atau direct drive, pengemudi sebaiknya jangan melulu meletakkan kakinya di pedal gas. Pada saat mulai lelah dan jam rawan biologis manusia, biarkan mobil menggelinding, pengendaliannya dengan rem kaki.
“Hindari akselerasi mendadak karena ini akan memunculkan tenaga dorong selain putaran roda. Rajin-rajinlah lihat rpm. Akselerasi secara gradual atau bertahap/benjenjang jangan kaya orang mau lari saat start gas, ini mobil bukan tenaga orang,” pungkas Reza.
(rgr/dry)
-
/data/photo/2025/07/30/6889cb4d983c0.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Pengemudi Mobil Listrik yang Tabrak Ojol hingga Tewas Jadi Tersangka Megapolitan 31 Juli 2025
Pengemudi Mobil Listrik yang Tabrak Ojol hingga Tewas Jadi Tersangka
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Pengemudi mobil listrik berinisial GA ditetapkan sebagai tersangka usai menabrak IS, seorangan sopir ojek online (ojol) hinga tewas di Jalan Antasari, Cilandak, Jakarta Selatan, Rabu (30/7/2025) pukul 00.30 WIB.
“Sudah tersangka,” kata Direktur Lalu Lintas Polda Metro Jaya Kombes Pol Komarudin saat dihubungi pada Kamis (31/7/2025).
Eks Direktur Lalu Lintas Polda Jawa Timur itu menyampaikan, hingga saat ini pelaku masih menjalani pemeriksaan.
“Hasil pemeriksaan awal karena sopir (mobil listrik) mengantuk,” ujar dia.
Dalam perkara ini, polisi menjerat pelaku dengan Pasal 310 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, yang mengatur tindak pidana karena kelalaian dalam berkendara hingga menyebabkan kecelakaan.
Diberitakan sebelumnya, kecelakaan yang melibatkan pengemudi sepeda motor dan mobil listrik terjadi di Jalan Pangeran Antasari, Cilandak, Jakarta Selatan, Rabu (30/7/2025) pukul 00.30 WIB.
Akibat insiden ini, IS, pria pengendara sepeda motor yang merupakan driver ojek online (ojol) meninggal dunia.
“Benar, terjadi kecelakaan di Jalan Antasari di bawah flyover, sudah ditangani unit Laka Lantas Polres Jakarta Selatan,” kata Kasatlantas Polres Jakarta Selatan, Kompol Mujiyanto saat dikonfirmasi, Rabu.
Kecelakaan bermula ketika mobil yang dikemudikan GA datang dari arah Fatmawati menuju utara. Pengemudi mobil listrik itu disebut kurang berkonsentrasi saat berkendara.
“GA diduga tidak hati-hati dan tidak konsentrasi, kendaraan melaju ke kanan menabrak sepeda motor,” jelas Mujiyanto.
Di persimpangan Pasar Inpres, mobil GA menabrak IS yang sedang melaju dari arah berlawanan. Akibatnya, IS tewas di tempat, sementara penumpangnya, MG, mengalami luka ringan.
Keduanya langsung dibawa ke Rumah Sakit Fatmawati untuk dievakuasi.
“Korban meninggal sudah dibawa ke Rumah Sakit Fatmawati, penumpangnya aman, tidak kritis,” kata Mujiyanto.
Usai menabrak IS dan MG, mobil GA naik ke trotoar jalan dan menabrak warung nasi.
Akibatnya, warung nasi tersebut mengalami kerusakan.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -

Polisi Ungkap Sopir Ioniq Ngantuk Saat Tabrak Ojol di Antasari Jaksel
Jakarta –
Polisi mengungkap penyebab kecelakaan mobil listrik Hyundai Ioniq menabrak motor pengendara ojol di Cilandak, Jakarta Selatan (Jaksel). Hasil pemeriksaan awal, kecelakaan dipicu pengemudi mobil mengantuk.
“Hasil pemeriksaan awal, karena sopir ngantuk,” kata Dirlantas Polda Metro Jaya Kombes Komaruddin, Kamis (31/7/2025).
Namun polisi masih melakukan penyelidikan terkait kejadian itu. Saat ini pengemudi masih diperiksa oleh penyidik.
“Masih (diperiksa),” jelasnya.
Sebelumnya, kecelakaan melibatkan mobil listrik Hyundai Ioniq dengan motor pengendara ojol terjadi di Cilandak, Jakarta Selatan. Kecelakaan ini menewaskan pengendara ojol berinisial IS.
Insiden kecelakaan berawal saat pengendara mobil Ioniq melaju dari selatan ke utara di Jalan Antasari. Setiba di persimpangan Pasar Inpres, pengendara mobil diduga tidak hati-hati dan tidak konsentrasi sehingga kendaraan menabrak pengemudi sepeda motor dari arah utara ke selatan.
Akibat kecelakaan tersebut, mobil Ioniq dan motor yang tertabrak mengalami kerusakan. Para korban dan barang bukti kecelakaan diamankan kepolisian.
(rdh/zap)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5302101/original/067914300_1754009854-1000132170.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)

