Anggota DPR Nilai Peraturan Kapolri Perjelas Batas Polisi Aktif Menjabat di 17 Lembaga
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Anggota Komisi III DPR Fraksi Nasdem Rudianto Lallo mengatakan, dengan adanya Peraturan Polri Nomor 10 Tahun 2025, batasan kementerian/lembaga yang bisa dijabat oleh polisi aktif menjadi jelas.
Sebab, dalam aturan baru tersebut, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo membolehkan polisi aktif menduduki jabatan di 17 kementerian/lembaga.
“Jika sebelum lahirnya Perkap (Peraturan Kapolri) ini, ketidakjelasan batasan dan cakupan kementerian dan/atau lembaga apa saja yang dapat diemban melahirkan
confusing of norm
atau
vague norm
, dengan Perkap baru ini menjadi jelas dan terang batasan kementerian atau lembaga mana yang relevan dengan tugas dan fungsi kepolisian sebagaimana amanah Pasal 30 Ayat (4) UUD 1945,” ujar Rudianto kepada Kompas.com, Minggu (14/12/2025).
“Sekaligus melahirkan
kepastian hukum
dan konstitusi bagi peran anggota kepolisian di luar institusi kepolisian,” sambungnya.
Rudianto menyampaikan, secara konstitusionalisme,
policy rules
terbaru yang dikeluarkan oleh Kapolri memperhatikan prinsip dan kaidah konstitusi.
Menurutnya, hal ini dapat dilihat dari spirit dan filosofi hukum dari Perkap tersebut, yang melahirkan sekaligus memberikan kepastian hukum terkait batasan dan cakupan kelembagaan apa saja yang dapat diemban oleh polisi di luar Polri.
“Sebab, salah satu Ratio Decidendi atau argumentasi hukum MK membatalkan ketentuan frasa Pasal 28 Ayat (3) UU Polri, karena tidak adanya kepastian hukum dan kejelasan rumusan yang dimaksud. Dengan hadirnya Perkap ini sebagai bentuk penerjemahan spirit dan mandat substansi putusan MK tersebut agar hadir jaminan dan kepastian hukum,” imbuhnya.
Sebelumnya, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo meneken
Peraturan Polri
Nomor 10 Tahun 2025 tentang Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang Melaksanakan Tugas di Luar Struktur Organisasi Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Beleid ini mengatur bahwa polisi aktif dapat menduduki jabatan di 17 kementerian/lembaga sipil di luar institusi Polri.
“Pelaksanaan Tugas Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia di Luar Struktur Organisasi Kepolisian Negara Republik Indonesia yang selanjutnya disebut Pelaksanaan Tugas Anggota Polri adalah penugasan anggota Polri pada jabatan di luar struktur organisasi Polri yang dengan melepaskan jabatan di lingkungan Polri,” demikian bunyi Pasal 1 Ayat (1) peraturan tersebut.
Kemudian, Pasal 2 mengatur bahwa anggota Polri dapat melaksanakan tugas di dalam maupun luar negeri.
Selanjutnya, pada Pasal 3 Ayat (1) disebutkan, pelaksanaan tugas anggota Polri pada jabatan di dalam negeri dapat dilaksanakan pada kementerian/lembaga/badan/komisi dan organisasi internasional atau kantor perwakilan negara asing yang berkedudukan di Indonesia.
Daftar kementerian/lembaga yang dapat diduduki oleh anggota Polri itu diatur dalam Pasal 3 Ayat (2), yakni Kementerian Koordinator Politik dan Keamanan, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Kementerian Hukum, Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan, Kementerian Kehutanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Perhubungan, Kementerian Pelindungan Pekerja Migran Indonesia, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional, Lembaga Ketahanan Nasional, Otoritas Jasa Keuangan, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, Badan Narkotika Nasional, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, Badan Intelijen Negara, Badan Siber Sandi Negara, dan Komisi Pemberantasan Korupsi.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Produk: Narkotika
-

Mahfud MD Sebut Perpol soal Polisi Bisa Isi Jabatan Sipil Bertentangan Undang-Undang
Bisnis.com, JAKARTA — Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud MD mengkritisi Peraturan Polisi (Perpol) No.10/2025 tentang Anggota Polri yang Melaksanakan Tugas di Luar Struktur Organisasi Polri. Menurutnya peraturan ini bertentangan dengan dua Undang-Undang.
“Perkap Nomor 10 tahun 2025 itu bertentangan dengan dua Undang-Undang, yaitu Undang-Undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia, di mana di dalam pasal 28 ayat 3 disebutkan Anggota Polri yang mau masuk ke jabatan sipil hanya boleh apabila minta berhenti atau pensiun dari Dinas Polri,” katanya sebagaimana dilansir akun YouTube @MahfudMD, dikutip Minggu (14/12/2025).
Mahfud menjelaskan ketentuan itu telah dikuatkan melalui putusan Mahkamah Konstitusi nomor 114 tahun 2025. Lebih lanjut, dia menyampaikan peraturan itu juga bertentangan dengan Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 tentang ASN bahwa jabatan sipil di tingkat pusat boleh diduduki oleh anggota TNI dan Polri.
Menurutnya, Undang-Undang TNI sudah mengatur adanya 14 jabatan yang dapat diduduki TNI. Namun, katanya, dalam Undang-Undang Polri tiidak menyebutkan jabatan-jabatan yang boleh diduduki Polri
“Dengan demikian, perkap itu kalau memang diperlukan itu harus dimasukkan di dalam Undang-Undang. Tidak bisa hanya dengan sebuah Perkap jabatan sipil itu diatur,” ucapnya.
Dia menegaskan pernyataan soal polisi adalah jabatan sipil sehingga dapat menjabat ke jabatan sipil lainnya merupakan pernyataan yang salah.
Dia menjelaskan sipil tidak boleh masuk ke sipil jika di ruang lingkup tugas dan profesinya beririsan.
“Misalnya, seorang dokter bertindak sebagai jaksa kan tidak bisa. Jaksa bertindak sebagai dokter kan tidak bisa. Dosen bertindak sebagai jotaris kan tidak boleh,” tandasnya.
Sebelumnya, Pada Pasal (3) beleid itu memuat aturan Polri bisa bertugas pada jabatan manajerial dan non-manajerial. anggota boleh menjabat di luar struktur apabila jabatan itu berkaitan dengan fungsi kepolisian yang dilakukan berdasarkan permintaan dari K/L atau organisasi internasional.
Adapun 17 jabatan kementerian atau lembaga yang bisa diduduki Anggota Polri, yaitu:
1. Kementerian Koordinator Politik dan Keamanan
2. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM)
3. Kementerian Hukum
4. Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan
5. Kementerian Kehutanan
6. Kementerian Kelautan dan Perikanan
7. Kementerian Perhubungan
8. Kementerian Pelindungan Pekerja Migran Indonesia
9. Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional
10. Lembaga Ketahanan Nasional
11. Otoritas Jasa Keuangan (OJK)
12. Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK)
13. Badan Narkotika Nasional (BNN)
14. Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT)
15. Badan Intelijen Negara (BIN)
16. Badan Siber Sandi Negara (BSSN)
17. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
-

Pria Warga Grogol Ditangkap Polisi karena Edarkan Narkoba, 5 Paket Sabu Disita
JAKARTA – Seorang pengedar sabu berinisial ADR diringkus tim Satuan Reserse Narkoba Polres Pelabuhan Tanjung Priok di indekosnya di kawasan Grogol, Jakarta Barat.
“Tim langsung melakukan penangkapan terhadap tersangka ADR, laki-laki kelahiran Jakarta, yang diduga berperan sebagai pengedar sabu,” ujar Kasat Reserse Narkoba Polres Pelabuhan Tanjung Priok, AKP Trendy Habibi Aryanto saat dikonfirmasi, Sabtu, 13 Desember.
Penangkapan pelaku berawal dari adanya informasi mengenai peredaran sabu yang dikendalikan oleh seseorang berinisial R dan B.
Setelah dilakukan surveillance dan undercover, petugas memastikan target berada di sebuah kamar kos di kawasan Kalianyar, Grogol, Jakarta Barat.
Saat dilakukan penggeledahan, petugas menemukan barang bukti berupa 5 (lima) paket plastik klip berisi narkotika jenis sabu dengan berat total 38,58 gram brutto dan 1 unit telepon genggam yang digunakan sebagai sarana komunikasi.
“Hasil interogasi mengungkap tersangka memperoleh sabu tersebut dari seseorang bernama RH (DPO) dengan total 100 gram untuk diedarkan,” ujarnya.
AKP Trendy Habibi menjelaskan, tersangka juga mengaku telah mengedarkan sabu sesuai arahan DPO tersebut dengan tujuan memperoleh keuntungan serta dapat mengonsumsi sabu secara gratis.
“Tersangka dan barang bukti saat ini berada di Polres Pelabuhan Tanjung Priok untuk pemeriksaan lebih lanjut dan melakukan proses penyidikan,” katanya.
Polres Pelabuhan Tanjung Priok akan terus memburu jaringan pengedar lain yang terlibat dalam kasus ini.
-

Dipindahkan ke Lapas Narkotika Jakarta, Ini Penampakan Ammar Zoni
Jakarta, Beritasatu.com – Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjenpas), Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan memindahkan sementara terpidana kasus narkotika sekaligus pesohor Ammar Zoni dari Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Keamanan Super Maksimum Karanganyar, Nusakambangan, Jawa Tengah, ke Lapas Narkotika Jakarta.
Pemindahan dilakukan untuk kepentingan persidangan perkara dugaan peredaran narkotika di dalam rumah tahanan (rutan) yang tengah disidangkan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Ammar Zoni dipindahkan bersama sejumlah terdakwa lain yang juga berstatus terpidana.
“Telah dilakukan pemindahan lima warga binaan atas nama Ammar Zoni dan kawan-kawan dari Lapas Super Maksimum Karanganyar Nusakambangan ke Lapas Narkotika Jakarta pada Sabtu, 13 Desember 2025,” kata Kepala Subdirektorat Kerja Sama Pemasyarakatan Ditjenpas, Rika Aprianti, dalam keterangan tertulis di Jakarta, Sabtu (13/12/2025).
Rika menjelaskan, pemindahan dilaksanakan oleh Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat dengan pengawalan kepolisian serta didampingi petugas Lapas Karanganyar Nusakambangan. Rombongan tiba di Lapas Narkotika Jakarta sekitar pukul 18.00 WIB.
“Setibanya di Lapas Narkotika Jakarta, dilakukan administrasi penerimaan, pemeriksaan kesehatan, dan selanjutnya para warga binaan ditempatkan di kamar penempatan khusus (patsus),” ujarnya.
Ditjenpas menegaskan pemindahan tersebut bersifat sementara. Setelah seluruh rangkaian persidangan selesai, Ammar Zoni dan para terdakwa lainnya akan dikembalikan ke Lapas Karanganyar Nusakambangan.
“Setelah persidangan, Ammar Zoni dan kawan-kawan akan dikembalikan ke Lapas Karanganyar Nusakambangan sesuai surat direktur jenderal pemasyarakatan kepada Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat,” jelas Rika.
Sebelumnya, Ammar Zoni bersama lima narapidana berisiko tinggi (high risk) asal Jakarta dipindahkan ke Nusakambangan pada Kamis (16/10/2025). Pemindahan itu dilakukan menyusul mencuatnya kasus dugaan peredaran narkotika di dalam Rutan Salemba, Jakarta Pusat.
Perkara tersebut kini tengah disidangkan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Jaksa penuntut umum mendakwa para terdakwa terlibat dalam peredaran narkotika di Rutan Salemba pada Desember 2024. Dalam sidang perdana pada Kamis (23/10/2025), jaksa menyatakan para terdakwa melakukan tindak pidana pemufakatan jahat tanpa hak atau melawan hukum dengan memperjualbelikan narkotika.
Enam terdakwa dalam perkara tersebut yakni Asep Sarikin, Ardian Prasetyo, Andi Mualim alias Ko Andi, Ade Candra, Muhammad Rifaldi, dan Muhammad Amar Akbar atau Ammar Zoni. Para terdakwa dijerat Pasal 112 ayat (2) juncto Pasal 132 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
-
/data/photo/2024/03/28/6604f1fce6a54.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Ammar Zoni dkk Dipindahkan dari Nusakambangan ke Lapas Cipinang Megapolitan 13 Desember 2025
Ammar Zoni dkk Dipindahkan dari Nusakambangan ke Lapas Cipinang
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com –
Terdakwa kasus narkoba Ammar Zoni beserta empat warga binaan lainnya dipindahkan dari Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Karang Anyar, Nusakambangan, ke Lapas Narkotika Kelas IIA Cipinang, Jakarta Timur, Sabtu (13/12/2025).
Pemindahan ini dilakukan guna mempermudah proses
persidangan
di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Kasubdit Kerjasama Pemasyarakatan Ditjenpas, Rika Aprianti, menyebut proses pemindahan kelima warga binaan tersebut dilaksanakan dengan pengawalan ketat.
“Telah dilakukan pemindahan lima warga binaan atas nama
Ammar Zoni
dkk, dari Lapas Super Maksimum Karang Anyar
Nusakambangan
ke Lapas Narkotika Jakarta pada hari ini,” ujar Rika dalam keterangannya, Sabtu (13/12/2025).
Proses pemindahan ini dikawal langsung oleh Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat dengan pengawalan petugas bersenjata lengkap dari Polres Metro Jakarta Pusat.
Rombongan yang membawa Ammar Zoni dan empat narapidana lainnya tiba di
Lapas Narkotika Cipinang
sekitar pukul 18.00 WIB.
Setibanya di lokasi, kelima warga binaan tersebut langsung menjalani pemeriksaan administrasi berkas penahanan, hingga pemeriksaan kesehatan menyeluruh untuk memastikan kondisi fisik mereka pasca-perjalanan jauh.
“Selanjutnya, yang bersangkutan ditempatkan di Kamar Patsus (Penempatan Khusus) untuk pengamanan dan pengawasan ketat secara lebih lanjut,” jelas Rika.
Lebih lanjut, Rika menegaskan bahwa keberadaan Ammar Zoni di Lapas Narkotika Jakarta tidak bersifat permanen, melainkan hanya untuk kepentingan persidangan.
Mengacu pada Surat Direktur Jenderal Pemasyarakatan yang ditujukan kepada Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat, Ammar Zoni dan rekan-rekannya wajib dikembalikan ke sel super maksimum di Nusakambangan, segera setelah urusan peradilan selesai.
“Pemindahan dilaksanakan sementara. Setelah persidangan, Ammar Zoni dan lainnya akan dikembalikan lagi ke Lapas Karang Anyar Nusakambangan,” pungkas Rika.
Diketahui, Majelis Hakim meminta kepada Jaksa Penuntut Umum (JPU) untuk menghadirkan terdakwa kasus narkoba, Ammar Zoni dalam sidang secara langsung di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat.
Ketua Majelis Hakim Dwi Elyarahma Sulistiyowati menyoroti frasa “belum dapat dipenuhi” dalam surat dari Dirjen Pemasyarakatan.
Surat itu merupakan tanggapan atas permintaan untuk memindahkan Ammar Zoni dan lima terdakwa lain dari Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Nusakambangan ke Lapas Narkotika Kelas 2A Jakarta.
“Di poin pertamanya: ‘Permohonan pemindahan sementara belum dapat dipenuhi. Jadi majelis hakim setelah bermusyawarah, kami memberikan waktu kepada (jaksa) penuntut umum untuk mengkoordinasikan kembali ya,’ ujar Elyarahma dalam sidang di PN Jakarta Pusat, Kamis (4/12/2025).
JPU diminta melakukan persiapan dengan berkoordinasi bersama Kementerian Imipas.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -
/data/photo/2025/11/10/691151730e301.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
3 Kritis Integritas: Pembangkangan Polri atas Putusan MK Nasional
Kritis Integritas: Pembangkangan Polri atas Putusan MK
Penyuluh Antikorupsi Sertifikasi | edukasi dan advokasi antikorupsi. Berkomitmen untuk meningkatkan kesadaran publik tentang pentingnya integritas dan transparansi di berbagai sektor
Artikel ini adalah kolom, seluruh isi dan opini merupakan pandangan pribadi penulis dan bukan cerminan sikap redaksi.
DI TENGAH
upaya memperkuat supremasi hukum di Indonesia, keputusan Kapolri Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo menerbitkan Peraturan Polri Nomor 10 Tahun 2025 menjadi sorotan tajam.
Langkah ini muncul setelah Mahkamah Konstitusi (MK) secara tegas melarang anggota Polri aktif menjabat di kementerian dan lembaga sipil.
Tindakan yang seolah tak mengindahkan keputusan MK ini menggugah pertanyaan mendalam tentang komitmen institusi penegak hukum dalam menjaga integritas dan netralitasnya.
Pembangkangan terhadap putusan MK bukan sekadar pelanggaran administratif, tetapi juga ancaman terhadap prinsip dasar negara hukum.
Dengan tetap mengizinkan anggota Polri menjabat di instansi sipil, Kapolri tidak hanya merendahkan kewibawaan hukum, tetapi juga berpotensi memicu konflik kepentingan.
Situasi ini mengaburkan batas antara kekuasaan sipil dan aparat, di mana polisi seharusnya menjadi penegak hukum yang independen, justru terjerat dalam kebijakan politik sipil.
Tindakan pemerintah dalam menanggapi situasi ini sangat krusial. Di saat masyarakat mendesak agar integritas hukum ditegakkan, langkah berani untuk menarik anggota Polri dari jabatan sipil dan menghentikan implementasi Perpol 10/2025 menjadi penting dan mendesak.
Hanya dengan mematuhi putusan MK dan menjalankan prinsip-prinsip profesionalitas, kepercayaan publik terhadap institusi kepolisian dapat dipulihkan, serta memastikan bahwa Indonesia tetap berkomitmen pada supremasi hukum, bukan pada kekuasaan semata.
Peraturan Polri (Perpol) Nomor 10 Tahun 2025 yang mengizinkan anggota Polri aktif menjabat di 17 kementerian dan lembaga sipil terasa seperti tamparan bagi integritas institusi negara.
Aturan ini muncul hanya sebulan setelah Mahkamah Konstitusi (MK) secara tegas melarang praktik semacam itu melalui Putusan Nomor 114/PUU-XXIII/2025, yang menyatakan bahwa anggota Polri hanya boleh menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun.
Putusan MK tersebut bukanlah hal sepele. MK membatalkan frasa “atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri” dalam Penjelasan Pasal 28 ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Alasan utamanya adalah untuk menjaga netralitas Polri sebagai penegak hukum, mencegah konflik kepentingan, dan menghindari politisasi institusi kepolisian.
Sebelum putusan ini, polisi aktif sering ditempatkan di posisi strategis sipil, seperti di kementerian atau lembaga negara, yang menurut para pemohon uji materi termasuk aktivis hak asasi manusia, merusak prinsip pemisahan kekuasaan.
Pakar hukum tata negara pun menilai putusan ini berlaku serta merta, mengharuskan polisi aktif yang sedang menjabat segera mundur.
Namun, respons Kapolri justru sebaliknya. Perpol baru tersebut secara eksplisit mengatur bahwa anggota Polri dapat bertugas di 17 instansi sipil, termasuk Kementerian Kehutanan, Kementerian Hukum dan HAM, hingga lembaga seperti Badan Narkotika Nasional (BNN), Badan Intelijen Negara (BIN), KPK.
Ini bukan hanya kontradiktif dengan putusan MK, tapi juga mengabaikan seruan dari DPR RI yang mendesak Presiden Prabowo Subianto untuk menarik polisi dari jabatan sipil demi menghormati keputusan konstitusi.
Tidak salah jika banyak masyarakat beranggapan bahwa tindakan ini merupakan bentuk pembangkangan hukum yang jelas, yang dapat merusak kepercayaan publik terhadap Polri dan Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai penjaga konstitusi.
Jika keputusan MK, yang seharusnya final dan mengikat, tidak dianggap serius, maka persepsi publik terhadap institusi tersebut bisa runtuh.
Pertanyaan yang muncul adalah, untuk apa adanya Mahkamah Konstitusi jika putusannya tidak dihormati?
Di sisi lain, pemerintah melalui Menteri Hukum dan HAM berargumen bahwa putusan MK tidak berlaku surut. Artinya, larangan hanya untuk pengangkatan baru, sementara yang sudah menjabat boleh tetap.
Pendapat ini didukung oleh sebagian kalangan, termasuk dari Nahdlatul Ulama (NU), yang melihatnya sebagai cara untuk menghindari kekacauan administratif mendadak.
Namun, argumen ini lemah secara hukum. Putusan MK bersifat final dan mengikat, dan prinsip non-retroaktif biasanya tidak berlaku untuk isu konstitusional yang menyangkut prinsip dasar negara.
Jika dibiarkan, ini bisa menjadi preseden berbahaya: lembaga eksekutif bisa mengabaikan MK dengan dalih interpretasi sendiri.
Menurut saya, tindakan Kapolri mencerminkan masalah lebih rumit dan ruwet dalam
reformasi Polri
. Reformasi polri juga tampaknya tak berdaya. Benarlah adanya bahwa reformasi Polri itu sekadar
omon-omon
di warung kopi.
Indonesia bukan negara polisi, tapi negara hukum di mana supremasi konstitusi harus diutamakan.
Dengan membiarkan anggota Polri tetap menjabat di instansi sipil, Kapolri tidak hanya melemahkan netralitas Polri, tapi juga menggerus kepercayaan masyarakat terhadap institusi penegak hukum.
Tentu saja hal Ini bisa memicu konflik kepentingan, di mana polisi yang seharusnya independen justru terlibat dalam kebijakan sipil, potensial menimbulkan korupsi atau penyalahgunaan wewenang. Inilah yang menjadi kekhawatiran saya.
Sebagai pemegang kekuasaan eksekutif tertinggi, Presiden Prabowo memiliki peran sentral dalam memastikan kepatuhan terhadap putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
Tanggung jawab ini tidak hanya bersifat otoritatif, tetapi juga mencerminkan kewajiban moral untuk menjaga agar seluruh lembaga negara, termasuk Polri, tunduk pada konstitusi.
Dalam konteks ini, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah mendesak pemerintah untuk menarik personel Polri dari jabatan sipil. Tindakan ini diharapkan dapat menghormati dan menegakkan keputusan MK yang telah ada.
Langkah yang seharusnya diambil oleh pemerintah bukanlah mempertahankan Peraturan Polri Nomor 10 Tahun 2025 (Perpol 10/2025), melainkan melakukan penataan transisi yang sesuai dengan hukum. Beberapa langkah penting yang dapat dilakukan antara lain:
Pertama, menghentikan sementara implementasi Perpol 10/2025 sampai proses harmonisasi dengan putusan MK selesai. Langkah ini akan memberikan waktu yang cukup bagi pemerintah untuk mengevaluasi dan menyesuaikan regulasi yang ada guna mematuhi keputusan MK.
Kedua, segera menarik anggota Polri aktif dari jabatan sipil yang jelas bertentangan dengan putusan MK. Hal ini esensial untuk menghindari konflik kepentingan dan memastikan bahwa penegakan hukum tetap profesional dan bebas dari intervensi.
Ketiga, melakukan audit transparan terhadap seluruh bentuk penugasan personel aktif di luar struktur kepolisian. Dengan adanya audit ini, publik akan mendapatkan gambaran jelas tentang penggunaan sumber daya Polri dan menjamin keadilan dalam penugasan.
Keempat, membangun mekanisme transisi yang memungkinkan jabatan-jabatan yang ditinggalkan diisi oleh unsur Aparatur Sipil Negara (ASN) atau pejabat sipil lain. Ketersediaan layanan publik tidak boleh terganggu selama masa transisi ini.
Mekanisme yang baik akan memastikan kelangsungan pelayanan masyarakat tanpa menyalahi ketentuan hukum.
Langkah-langkah ini tidak hanya menunjukkan komitmen pemerintah dalam menjaga integritas konstitusi, tetapi juga merupakan bentuk upaya untuk mencegah erosi terhadap prinsip profesionalitas dan netralitas Polri.
Dengan mengedepankan kepatuhan terhadap hukum, pemerintah dapat memperkuat legitimasi institusinya di hadapan publik, serta menciptakan kepercayaan yang lebih besar terhadap lembaga-lembaga negara
Pelanggaran terhadap konstitusi tidak selalu terjadi secara frontal. Sering kali ia berlangsung lewat regulasi teknis, keputusan administratif, atau penafsiran yang memelintir makna putusan peradilan.
Dalam kasus ini, Perpol 10/2025 menjadi contoh bagaimana aturan internal dapat menggeser batas-batas konstitusional secara perlahan, tapi signifikan.
Ketika MK telah mengeluarkan putusan final, yang dibutuhkan bukanlah perdebatan panjang, melainkan kepatuhan. Mengabaikannya berarti membiarkan marwah negara hukum terkikis sedikit demi sedikit.
Polri membutuhkan kepercayaan publik untuk menjalankan tugasnya. Kepercayaan itu hanya dapat bertahan jika institusi kepolisian menunjukkan komitmen terhadap prinsip dasar negara hukum.
Indonesia bukan negara polisi. Indonesia adalah negara hukum. Karena itu, langkah apa pun yang berpotensi mengaburkan batas antara kekuasaan sipil dan aparat harus dihentikan.
Tugas negara hari ini bukan hanya memperkuat supremasi hukum, tetapi juga memastikan bahwa tidak ada lembaga yang berdiri di atas konstitusi.
Dalam setiap langkah kita menuju keadilan, sangat jelas bahwa hukum harus menjadi penuntun, bukan sekadar aturan yang bisa diabaikan.
Ketika lembaga-lembaga negara mulai mengabaikan putusan hukum, kita bukan hanya menghadapi ancaman terhadap integritas institusi, tetapi juga mengorbankan kepercayaan masyarakat yang telah dibangun dengan susah payah.
Masyarakat berhak mendapatkan penegakan hukum yang adil dan bijaksana, serta aparat yang mampu menjaga netralitasnya dalam setiap keputusan.
Pada akhirnya, saatnya bagi kita semua untuk bersuara, menantang setiap bentuk pembangkangan hukum yang merusak fondasi konstitusi.
Marilah kita bergerak bersama, mendorong pemerintah dan lembaga terkait untuk kembali pada prinsip-prinsip yang mendasar, demi masa depan yang lebih baik dan berkeadilan. Polisi kembalilah mengayomi bukan menguasai.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
/data/photo/2025/11/13/69158bdbdc8d6.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)

/data/photo/2015/06/30/1420471011-fot0149780x390.JPG?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
/data/photo/2015/06/30/1420471011-fot0149780x390.JPG?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
/data/photo/2025/11/14/69165e145fb83.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)