Produk: Narkotika

  • Anggota DPR Nilai Peraturan Kapolri Perjelas Batas Polisi Aktif Menjabat di 17 Lembaga

    Anggota DPR Nilai Peraturan Kapolri Perjelas Batas Polisi Aktif Menjabat di 17 Lembaga

    Anggota DPR Nilai Peraturan Kapolri Perjelas Batas Polisi Aktif Menjabat di 17 Lembaga
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Anggota Komisi III DPR Fraksi Nasdem Rudianto Lallo mengatakan, dengan adanya Peraturan Polri Nomor 10 Tahun 2025, batasan kementerian/lembaga yang bisa dijabat oleh polisi aktif menjadi jelas.
    Sebab, dalam aturan baru tersebut, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo membolehkan polisi aktif menduduki jabatan di 17 kementerian/lembaga.
    “Jika sebelum lahirnya Perkap (Peraturan Kapolri) ini, ketidakjelasan batasan dan cakupan kementerian dan/atau lembaga apa saja yang dapat diemban melahirkan
    confusing of norm
    atau
    vague norm
    , dengan Perkap baru ini menjadi jelas dan terang batasan kementerian atau lembaga mana yang relevan dengan tugas dan fungsi kepolisian sebagaimana amanah Pasal 30 Ayat (4) UUD 1945,” ujar Rudianto kepada Kompas.com, Minggu (14/12/2025).
    “Sekaligus melahirkan
    kepastian hukum
    dan konstitusi bagi peran anggota kepolisian di luar institusi kepolisian,” sambungnya.
    Rudianto menyampaikan, secara konstitusionalisme,
    policy rules
    terbaru yang dikeluarkan oleh Kapolri memperhatikan prinsip dan kaidah konstitusi.
    Menurutnya, hal ini dapat dilihat dari spirit dan filosofi hukum dari Perkap tersebut, yang melahirkan sekaligus memberikan kepastian hukum terkait batasan dan cakupan kelembagaan apa saja yang dapat diemban oleh polisi di luar Polri.
    “Sebab, salah satu Ratio Decidendi atau argumentasi hukum MK membatalkan ketentuan frasa Pasal 28 Ayat (3) UU Polri, karena tidak adanya kepastian hukum dan kejelasan rumusan yang dimaksud. Dengan hadirnya Perkap ini sebagai bentuk penerjemahan spirit dan mandat substansi putusan MK tersebut agar hadir jaminan dan kepastian hukum,” imbuhnya.
    Sebelumnya, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo meneken
    Peraturan Polri
    Nomor 10 Tahun 2025 tentang Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang Melaksanakan Tugas di Luar Struktur Organisasi Kepolisian Negara Republik Indonesia.
    Beleid ini mengatur bahwa polisi aktif dapat menduduki jabatan di 17 kementerian/lembaga sipil di luar institusi Polri.
    “Pelaksanaan Tugas Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia di Luar Struktur Organisasi Kepolisian Negara Republik Indonesia yang selanjutnya disebut Pelaksanaan Tugas Anggota Polri adalah penugasan anggota Polri pada jabatan di luar struktur organisasi Polri yang dengan melepaskan jabatan di lingkungan Polri,” demikian bunyi Pasal 1 Ayat (1) peraturan tersebut.
    Kemudian, Pasal 2 mengatur bahwa anggota Polri dapat melaksanakan tugas di dalam maupun luar negeri.
    Selanjutnya, pada Pasal 3 Ayat (1) disebutkan, pelaksanaan tugas anggota Polri pada jabatan di dalam negeri dapat dilaksanakan pada kementerian/lembaga/badan/komisi dan organisasi internasional atau kantor perwakilan negara asing yang berkedudukan di Indonesia.
    Daftar kementerian/lembaga yang dapat diduduki oleh anggota Polri itu diatur dalam Pasal 3 Ayat (2), yakni Kementerian Koordinator Politik dan Keamanan, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Kementerian Hukum, Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan, Kementerian Kehutanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Perhubungan, Kementerian Pelindungan Pekerja Migran Indonesia, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional, Lembaga Ketahanan Nasional, Otoritas Jasa Keuangan, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, Badan Narkotika Nasional, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, Badan Intelijen Negara, Badan Siber Sandi Negara, dan Komisi Pemberantasan Korupsi.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Mahfud MD Sebut Perpol soal Polisi Bisa Isi Jabatan Sipil Bertentangan Undang-Undang

    Mahfud MD Sebut Perpol soal Polisi Bisa Isi Jabatan Sipil Bertentangan Undang-Undang

    Bisnis.com, JAKARTA — Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud MD mengkritisi Peraturan Polisi (Perpol) No.10/2025 tentang Anggota Polri yang Melaksanakan Tugas di Luar Struktur Organisasi Polri. Menurutnya peraturan ini bertentangan dengan dua Undang-Undang.

    “Perkap Nomor 10 tahun 2025 itu bertentangan dengan dua Undang-Undang, yaitu Undang-Undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia, di mana di dalam pasal 28 ayat 3 disebutkan Anggota Polri yang mau masuk ke jabatan sipil hanya boleh apabila minta berhenti atau pensiun dari Dinas Polri,” katanya sebagaimana dilansir akun YouTube @MahfudMD, dikutip Minggu (14/12/2025).

    Mahfud menjelaskan ketentuan itu telah dikuatkan melalui putusan Mahkamah Konstitusi nomor 114 tahun 2025. Lebih lanjut, dia menyampaikan peraturan itu juga bertentangan dengan Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 tentang ASN bahwa jabatan sipil di tingkat pusat boleh diduduki oleh anggota TNI dan Polri.

    Menurutnya, Undang-Undang TNI sudah mengatur adanya 14 jabatan yang dapat diduduki TNI. Namun, katanya, dalam Undang-Undang Polri tiidak menyebutkan jabatan-jabatan yang boleh diduduki Polri

    “Dengan demikian, perkap itu kalau memang diperlukan itu harus dimasukkan di dalam Undang-Undang. Tidak bisa hanya dengan sebuah Perkap jabatan sipil itu diatur,” ucapnya.

    Dia menegaskan pernyataan soal polisi adalah jabatan sipil sehingga dapat menjabat ke jabatan sipil lainnya merupakan pernyataan yang salah.

    Dia menjelaskan sipil tidak boleh masuk ke sipil jika di ruang lingkup tugas dan profesinya beririsan.

    “Misalnya, seorang dokter bertindak sebagai jaksa kan tidak bisa. Jaksa bertindak sebagai dokter kan tidak bisa. Dosen bertindak sebagai jotaris kan tidak boleh,” tandasnya.

    Sebelumnya, Pada Pasal (3) beleid itu memuat aturan Polri bisa bertugas pada jabatan manajerial dan non-manajerial. anggota boleh menjabat di luar struktur apabila jabatan itu berkaitan dengan fungsi kepolisian yang dilakukan berdasarkan permintaan dari K/L atau organisasi internasional.

    Adapun 17 jabatan kementerian atau lembaga yang bisa diduduki Anggota Polri, yaitu:

    1. Kementerian Koordinator Politik dan Keamanan

    2. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM)

    3. Kementerian Hukum

    4. Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan 

    5. Kementerian Kehutanan

    6. Kementerian Kelautan dan Perikanan

    7. Kementerian Perhubungan

    8. Kementerian Pelindungan Pekerja Migran Indonesia

    9. Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional

    10. Lembaga Ketahanan Nasional

    11. Otoritas Jasa Keuangan (OJK)

    12. Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK)

    13. Badan Narkotika Nasional (BNN)

    14. Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT)

    15. Badan Intelijen Negara (BIN)

    16. Badan Siber Sandi Negara (BSSN)

    17. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

  • Pengamat Nilai Perkap 10/2025 Tak Langgar Keputusan MK

    Pengamat Nilai Perkap 10/2025 Tak Langgar Keputusan MK

    Jakarta

    Pengamat intelijen dan geopolitik Amir Hamzah menilai Peraturan Kepolisian (Perkap) Nomor 10 Tahun 2025 tidak melanggar keputusan Mahkamah Konstitusi (MK). Ia menilai Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo telah berkonsultasi dengan DPR serta melaporkan secara resmi kepada Presiden Prabowo sebelum regulasi itu diberlakukan.

    “Informasi yang saya dapatkan, Perkap Nomor 10 Tahun 2025 itu sudah melalui konsultasi dengan DPR dan dilaporkan ke Presiden. Jadi sangat keliru jika disebut sebagai bentuk perlawanan Kapolri terhadap Presiden Prabowo,” ujar Amir dalam keterangannya, Sabtu (13/12/2025).

    Amir menilai Perkap tersebut tidak melanggar konstitusi atau menabrak putusan MK. Ia menganggap tuduhan-tuduhan tersebut lebih banyak didorong oleh narasi politis ketimbang analisis hukum yang utuh.

    “Putusan MK mengatur prinsip-prinsip dasar profesionalisme dan netralitas Polri. Perkap ini justru hadir sebagai instrumen teknis internal untuk memastikan penugasan anggota Polri tetap berada dalam koridor hukum dan pengawasan negara,” imbuhnya.

    Ia menambahkan, dalam praktik ketatanegaraan modern, regulasi internal lembaga penegak hukum merupakan hal yang lazim, selama tidak mengubah norma undang-undang dan tidak menabrak prinsip konstitusional. Amir menyebut framing yang menyebut Perkap ini sebagai ‘pembangkangan Kapolri’ terhadap Presiden Prabowo merupakan narasi yang dipaksakan dan berpotensi menyesatkan publik.

    Ia menilai isu ini sengaja digulirkan untuk menciptakan kesan adanya retak hubungan antara Presiden dan Kapolri, sesuatu yang menurutnya tidak sesuai dengan fakta di lapangan. Polemik Perkap Nomor 10 Tahun 2025 sejatinya mencerminkan kontestasi tafsir hukum dan politik yang lebih luas.

    Di satu sisi, ada kekhawatiran publik terhadap potensi kembalinya dwifungsi aparat keamanan. Di sisi lain, negara membutuhkan fleksibilitas administratif untuk mengelola sumber daya aparat secara efektif.

    Dalam konteks ini, Perkap menjadi titik temu sekaligus titik benturan. Kritik yang muncul sebagian berangkat dari trauma sejarah dan kehati-hatian terhadap kekuasaan aparat.

    Namun, tanpa membaca secara utuh substansi dan mekanisme pengawasannya, kritik tersebut berisiko berubah menjadi opini normatif yang tidak berbasis fakta hukum. Amir mengingatkan publik agar tidak terjebak pada narasi emosional dan politis semata.

    Ia mendorong diskursus publik tetap berpijak pada data, mekanisme konstitusional, dan prinsip checks and balances. “Kritik itu penting dalam demokrasi, tapi kritik harus adil dan berbasis fakta. Jangan sampai kita merusak kepercayaan publik terhadap institusi negara hanya karena salah membaca konteks,” pungkasnya.

    Sebelumnya, Kapolri meneken Peraturan Kepolisian Nomor 10 Tahun 2025 tentang Anggota Polri yang Melaksanakan Tugas di Luar Struktur Organisasi. Karo Penmas Divisi Humas Polri Brigjen Trunoyudo Wisnu Andiko menjelaskan peraturan tersebut mengatur mekanisme pengalihan jabatan anggota Polri aktif dari organisasi dan tata kerja Polri ke jabatan organisasi dan tata kerja kementerian/lembaga.

    Dia menyebut pengalihan jabatan anggota Polri tersebut telah dilandasi berdasarkan beberapa regulasi. Salah satunya, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri.

    “Terdapat regulasi pada UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri pada Pasal 28 ayat (3) beserta penjelasannya yang masih memiliki kekuatan hukum mengikat setelah amar putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 114/PUU-XXIII/2025,” kata Trunoyudo kepada wartawan, Sabtu (13/12/2025).

    Berdasarkan regulasi tersebut, jelas Trunoyudo, Polri mengatur mekanisme pengalihan jabatan melalui penerbitan Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2025.

    Terdapat 17 kementerian/lembaga yang dapat diisi anggota Polri. Diantaranya Kemenko Polkam, Kementerian ESDM, Kementerian Hukum, Kementerian Imipas, Kementerian Kehutanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Perhubungan, Kementerian P2MI, dan Kementerian ATR/BPN.

    Selanjutnya, Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Badan Narkotika Nasional (BNN), Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Badan Intelijen Negara (BIN), Badan Siber Sandi Negara (BSSN), dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

    Terkait itu, untuk menghindari adanya rangkap jabatan, Trunoyudo memastikan bahwa Kapolri memutasikan anggota Polri yang terpilih, menjadi perwira tinggi (pati)/perwira menengah (pamen) dalam rangka penugasan pada kementerian/lembaga.

    (isa/dhn)

  • Pria Warga Grogol Ditangkap Polisi karena Edarkan Narkoba, 5 Paket Sabu Disita

    Pria Warga Grogol Ditangkap Polisi karena Edarkan Narkoba, 5 Paket Sabu Disita

    JAKARTA – Seorang pengedar sabu berinisial ADR diringkus tim Satuan Reserse Narkoba Polres Pelabuhan Tanjung Priok di indekosnya di kawasan Grogol, Jakarta Barat.

    “Tim langsung melakukan penangkapan terhadap tersangka ADR, laki-laki kelahiran Jakarta, yang diduga berperan sebagai pengedar sabu,” ujar Kasat Reserse Narkoba Polres Pelabuhan Tanjung Priok, AKP Trendy Habibi Aryanto saat dikonfirmasi, Sabtu, 13 Desember.

    Penangkapan pelaku berawal dari adanya informasi mengenai peredaran sabu yang dikendalikan oleh seseorang berinisial R dan B.

    Setelah dilakukan surveillance dan undercover, petugas memastikan target berada di sebuah kamar kos di kawasan Kalianyar, Grogol, Jakarta Barat.

    Saat dilakukan penggeledahan, petugas menemukan barang bukti berupa 5 (lima) paket plastik klip berisi narkotika jenis sabu dengan berat total 38,58 gram brutto dan 1 unit telepon genggam yang digunakan sebagai sarana komunikasi.

    “Hasil interogasi mengungkap tersangka memperoleh sabu tersebut dari seseorang bernama RH (DPO) dengan total 100 gram untuk diedarkan,” ujarnya.

    AKP Trendy Habibi menjelaskan, tersangka juga mengaku telah mengedarkan sabu sesuai arahan DPO tersebut dengan tujuan memperoleh keuntungan serta dapat mengonsumsi sabu secara gratis.

    “Tersangka dan barang bukti saat ini berada di Polres Pelabuhan Tanjung Priok untuk pemeriksaan lebih lanjut dan melakukan proses penyidikan,” katanya.

    Polres Pelabuhan Tanjung Priok akan terus memburu jaringan pengedar lain yang terlibat dalam kasus ini.

  • Dipindahkan ke Lapas Narkotika Jakarta, Ini Penampakan Ammar Zoni

    Dipindahkan ke Lapas Narkotika Jakarta, Ini Penampakan Ammar Zoni

    Jakarta, Beritasatu.com – Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjenpas), Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan memindahkan sementara terpidana kasus narkotika sekaligus pesohor Ammar Zoni dari Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Keamanan Super Maksimum Karanganyar, Nusakambangan, Jawa Tengah, ke Lapas Narkotika Jakarta.

    Pemindahan dilakukan untuk kepentingan persidangan perkara dugaan peredaran narkotika di dalam rumah tahanan (rutan) yang tengah disidangkan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Ammar Zoni dipindahkan bersama sejumlah terdakwa lain yang juga berstatus terpidana.

    “Telah dilakukan pemindahan lima warga binaan atas nama Ammar Zoni dan kawan-kawan dari Lapas Super Maksimum Karanganyar Nusakambangan ke Lapas Narkotika Jakarta pada Sabtu, 13 Desember 2025,” kata Kepala Subdirektorat Kerja Sama Pemasyarakatan Ditjenpas, Rika Aprianti, dalam keterangan tertulis di Jakarta, Sabtu (13/12/2025).

    Rika menjelaskan, pemindahan dilaksanakan oleh Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat dengan pengawalan kepolisian serta didampingi petugas Lapas Karanganyar Nusakambangan. Rombongan tiba di Lapas Narkotika Jakarta sekitar pukul 18.00 WIB.

    “Setibanya di Lapas Narkotika Jakarta, dilakukan administrasi penerimaan, pemeriksaan kesehatan, dan selanjutnya para warga binaan ditempatkan di kamar penempatan khusus (patsus),” ujarnya.

    Ditjenpas menegaskan pemindahan tersebut bersifat sementara. Setelah seluruh rangkaian persidangan selesai, Ammar Zoni dan para terdakwa lainnya akan dikembalikan ke Lapas Karanganyar Nusakambangan.

    “Setelah persidangan, Ammar Zoni dan kawan-kawan akan dikembalikan ke Lapas Karanganyar Nusakambangan sesuai surat direktur jenderal pemasyarakatan kepada Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat,” jelas Rika.

    Sebelumnya, Ammar Zoni bersama lima narapidana berisiko tinggi (high risk) asal Jakarta dipindahkan ke Nusakambangan pada Kamis (16/10/2025). Pemindahan itu dilakukan menyusul mencuatnya kasus dugaan peredaran narkotika di dalam Rutan Salemba, Jakarta Pusat.

    Perkara tersebut kini tengah disidangkan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Jaksa penuntut umum mendakwa para terdakwa terlibat dalam peredaran narkotika di Rutan Salemba pada Desember 2024.  Dalam sidang perdana pada Kamis (23/10/2025), jaksa menyatakan para terdakwa melakukan tindak pidana pemufakatan jahat tanpa hak atau melawan hukum dengan memperjualbelikan narkotika.

    Enam terdakwa dalam perkara tersebut yakni Asep Sarikin, Ardian Prasetyo, Andi Mualim alias Ko Andi, Ade Candra, Muhammad Rifaldi, dan Muhammad Amar Akbar atau Ammar Zoni. Para terdakwa dijerat Pasal 112 ayat (2) juncto Pasal 132 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

  • Ammar Zoni dkk Dipindahkan dari Nusakambangan ke Lapas Cipinang
                
                    
                        
                            Megapolitan
                        
                        13 Desember 2025

    Ammar Zoni dkk Dipindahkan dari Nusakambangan ke Lapas Cipinang Megapolitan 13 Desember 2025

    Ammar Zoni dkk Dipindahkan dari Nusakambangan ke Lapas Cipinang
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Terdakwa kasus narkoba Ammar Zoni beserta empat warga binaan lainnya dipindahkan dari Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Karang Anyar, Nusakambangan, ke Lapas Narkotika Kelas IIA Cipinang, Jakarta Timur, Sabtu (13/12/2025).
    Pemindahan ini dilakukan guna mempermudah proses
    persidangan
    di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
    Kasubdit Kerjasama Pemasyarakatan Ditjenpas, Rika Aprianti, menyebut proses pemindahan kelima warga binaan tersebut dilaksanakan dengan pengawalan ketat.
    “Telah dilakukan pemindahan lima warga binaan atas nama
    Ammar Zoni
    dkk, dari Lapas Super Maksimum Karang Anyar
    Nusakambangan
    ke Lapas Narkotika Jakarta pada hari ini,” ujar Rika dalam keterangannya, Sabtu (13/12/2025).
    Proses pemindahan ini dikawal langsung oleh Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat dengan pengawalan petugas bersenjata lengkap dari Polres Metro Jakarta Pusat.
    Rombongan yang membawa Ammar Zoni dan empat narapidana lainnya tiba di
    Lapas Narkotika Cipinang
    sekitar pukul 18.00 WIB.
    Setibanya di lokasi, kelima warga binaan tersebut langsung menjalani pemeriksaan administrasi berkas penahanan, hingga pemeriksaan kesehatan menyeluruh untuk memastikan kondisi fisik mereka pasca-perjalanan jauh.
    “Selanjutnya, yang bersangkutan ditempatkan di Kamar Patsus (Penempatan Khusus) untuk pengamanan dan pengawasan ketat secara lebih lanjut,” jelas Rika.
    Lebih lanjut, Rika menegaskan bahwa keberadaan Ammar Zoni di Lapas Narkotika Jakarta tidak bersifat permanen, melainkan hanya untuk kepentingan persidangan.
    Mengacu pada Surat Direktur Jenderal Pemasyarakatan yang ditujukan kepada Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat, Ammar Zoni dan rekan-rekannya wajib dikembalikan ke sel super maksimum di Nusakambangan, segera setelah urusan peradilan selesai.
    “Pemindahan dilaksanakan sementara. Setelah persidangan, Ammar Zoni dan lainnya akan dikembalikan lagi ke Lapas Karang Anyar Nusakambangan,” pungkas Rika.
    Diketahui, Majelis Hakim meminta kepada Jaksa Penuntut Umum (JPU) untuk menghadirkan terdakwa kasus narkoba, Ammar Zoni dalam sidang secara langsung di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat.
    Ketua Majelis Hakim Dwi Elyarahma Sulistiyowati menyoroti frasa “belum dapat dipenuhi” dalam surat dari Dirjen Pemasyarakatan.
    Surat itu merupakan tanggapan atas permintaan untuk memindahkan Ammar Zoni dan lima terdakwa lain dari Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Nusakambangan ke Lapas Narkotika Kelas 2A Jakarta.
    “Di poin pertamanya: ‘Permohonan pemindahan sementara belum dapat dipenuhi. Jadi majelis hakim setelah bermusyawarah, kami memberikan waktu kepada (jaksa) penuntut umum untuk mengkoordinasikan kembali ya,’ ujar Elyarahma dalam sidang di PN Jakarta Pusat, Kamis (4/12/2025).
    JPU diminta melakukan persiapan dengan berkoordinasi bersama Kementerian Imipas.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • 3
                    
                        Kritis Integritas: Pembangkangan Polri atas Putusan MK
                        Nasional

    3 Kritis Integritas: Pembangkangan Polri atas Putusan MK Nasional

    Kritis Integritas: Pembangkangan Polri atas Putusan MK
    Penyuluh Antikorupsi Sertifikasi | edukasi dan advokasi antikorupsi. Berkomitmen untuk meningkatkan kesadaran publik tentang pentingnya integritas dan transparansi di berbagai sektor
    Artikel ini adalah kolom, seluruh isi dan opini merupakan pandangan pribadi penulis dan bukan cerminan sikap redaksi.
    DI TENGAH
    upaya memperkuat supremasi hukum di Indonesia, keputusan Kapolri Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo menerbitkan Peraturan Polri Nomor 10 Tahun 2025 menjadi sorotan tajam.
    Langkah ini muncul setelah Mahkamah Konstitusi (MK) secara tegas melarang anggota Polri aktif menjabat di kementerian dan lembaga sipil.
    Tindakan yang seolah tak mengindahkan keputusan MK ini menggugah pertanyaan mendalam tentang komitmen institusi penegak hukum dalam menjaga integritas dan netralitasnya.
    Pembangkangan terhadap putusan MK bukan sekadar pelanggaran administratif, tetapi juga ancaman terhadap prinsip dasar negara hukum.
    Dengan tetap mengizinkan anggota Polri menjabat di instansi sipil, Kapolri tidak hanya merendahkan kewibawaan hukum, tetapi juga berpotensi memicu konflik kepentingan.
    Situasi ini mengaburkan batas antara kekuasaan sipil dan aparat, di mana polisi seharusnya menjadi penegak hukum yang independen, justru terjerat dalam kebijakan politik sipil.
    Tindakan pemerintah dalam menanggapi situasi ini sangat krusial. Di saat masyarakat mendesak agar integritas hukum ditegakkan, langkah berani untuk menarik anggota Polri dari jabatan sipil dan menghentikan implementasi Perpol 10/2025 menjadi penting dan mendesak.
    Hanya dengan mematuhi putusan MK dan menjalankan prinsip-prinsip profesionalitas, kepercayaan publik terhadap institusi kepolisian dapat dipulihkan, serta memastikan bahwa Indonesia tetap berkomitmen pada supremasi hukum, bukan pada kekuasaan semata.
    Peraturan Polri (Perpol) Nomor 10 Tahun 2025 yang mengizinkan anggota Polri aktif menjabat di 17 kementerian dan lembaga sipil terasa seperti tamparan bagi integritas institusi negara.
    Aturan ini muncul hanya sebulan setelah Mahkamah Konstitusi (MK) secara tegas melarang praktik semacam itu melalui Putusan Nomor 114/PUU-XXIII/2025, yang menyatakan bahwa anggota Polri hanya boleh menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun.
    Putusan MK tersebut bukanlah hal sepele. MK membatalkan frasa “atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri” dalam Penjelasan Pasal 28 ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
    Alasan utamanya adalah untuk menjaga netralitas Polri sebagai penegak hukum, mencegah konflik kepentingan, dan menghindari politisasi institusi kepolisian.
    Sebelum putusan ini, polisi aktif sering ditempatkan di posisi strategis sipil, seperti di kementerian atau lembaga negara, yang menurut para pemohon uji materi termasuk aktivis hak asasi manusia, merusak prinsip pemisahan kekuasaan.
    Pakar hukum tata negara pun menilai putusan ini berlaku serta merta, mengharuskan polisi aktif yang sedang menjabat segera mundur.
    Namun, respons Kapolri justru sebaliknya. Perpol baru tersebut secara eksplisit mengatur bahwa anggota Polri dapat bertugas di 17 instansi sipil, termasuk Kementerian Kehutanan, Kementerian Hukum dan HAM, hingga lembaga seperti Badan Narkotika Nasional (BNN), Badan Intelijen Negara (BIN), KPK.
    Ini bukan hanya kontradiktif dengan putusan MK, tapi juga mengabaikan seruan dari DPR RI yang mendesak Presiden Prabowo Subianto untuk menarik polisi dari jabatan sipil demi menghormati keputusan konstitusi.
    Tidak salah jika banyak masyarakat beranggapan bahwa tindakan ini merupakan bentuk pembangkangan hukum yang jelas, yang dapat merusak kepercayaan publik terhadap Polri dan Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai penjaga konstitusi.
    Jika keputusan MK, yang seharusnya final dan mengikat, tidak dianggap serius, maka persepsi publik terhadap institusi tersebut bisa runtuh.
    Pertanyaan yang muncul adalah, untuk apa adanya Mahkamah Konstitusi jika putusannya tidak dihormati?
    Di sisi lain, pemerintah melalui Menteri Hukum dan HAM berargumen bahwa putusan MK tidak berlaku surut. Artinya, larangan hanya untuk pengangkatan baru, sementara yang sudah menjabat boleh tetap.
    Pendapat ini didukung oleh sebagian kalangan, termasuk dari Nahdlatul Ulama (NU), yang melihatnya sebagai cara untuk menghindari kekacauan administratif mendadak.
    Namun, argumen ini lemah secara hukum. Putusan MK bersifat final dan mengikat, dan prinsip non-retroaktif biasanya tidak berlaku untuk isu konstitusional yang menyangkut prinsip dasar negara.
    Jika dibiarkan, ini bisa menjadi preseden berbahaya: lembaga eksekutif bisa mengabaikan MK dengan dalih interpretasi sendiri.
    Menurut saya, tindakan Kapolri mencerminkan masalah lebih rumit dan ruwet dalam
    reformasi Polri
    . Reformasi polri juga tampaknya tak berdaya. Benarlah adanya bahwa reformasi Polri itu sekadar
    omon-omon
    di warung kopi.
    Indonesia bukan negara polisi, tapi negara hukum di mana supremasi konstitusi harus diutamakan.
    Dengan membiarkan anggota Polri tetap menjabat di instansi sipil, Kapolri tidak hanya melemahkan netralitas Polri, tapi juga menggerus kepercayaan masyarakat terhadap institusi penegak hukum.
    Tentu saja hal Ini bisa memicu konflik kepentingan, di mana polisi yang seharusnya independen justru terlibat dalam kebijakan sipil, potensial menimbulkan korupsi atau penyalahgunaan wewenang. Inilah yang menjadi kekhawatiran saya.
    Sebagai pemegang kekuasaan eksekutif tertinggi, Presiden Prabowo memiliki peran sentral dalam memastikan kepatuhan terhadap putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
    Tanggung jawab ini tidak hanya bersifat otoritatif, tetapi juga mencerminkan kewajiban moral untuk menjaga agar seluruh lembaga negara, termasuk Polri, tunduk pada konstitusi.
    Dalam konteks ini, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah mendesak pemerintah untuk menarik personel Polri dari jabatan sipil. Tindakan ini diharapkan dapat menghormati dan menegakkan keputusan MK yang telah ada.
    Langkah yang seharusnya diambil oleh pemerintah bukanlah mempertahankan Peraturan Polri Nomor 10 Tahun 2025 (Perpol 10/2025), melainkan melakukan penataan transisi yang sesuai dengan hukum. Beberapa langkah penting yang dapat dilakukan antara lain:
    Pertama, menghentikan sementara implementasi Perpol 10/2025 sampai proses harmonisasi dengan putusan MK selesai. Langkah ini akan memberikan waktu yang cukup bagi pemerintah untuk mengevaluasi dan menyesuaikan regulasi yang ada guna mematuhi keputusan MK.
    Kedua, segera menarik anggota Polri aktif dari jabatan sipil yang jelas bertentangan dengan putusan MK. Hal ini esensial untuk menghindari konflik kepentingan dan memastikan bahwa penegakan hukum tetap profesional dan bebas dari intervensi.
    Ketiga, melakukan audit transparan terhadap seluruh bentuk penugasan personel aktif di luar struktur kepolisian. Dengan adanya audit ini, publik akan mendapatkan gambaran jelas tentang penggunaan sumber daya Polri dan menjamin keadilan dalam penugasan.
    Keempat, membangun mekanisme transisi yang memungkinkan jabatan-jabatan yang ditinggalkan diisi oleh unsur Aparatur Sipil Negara (ASN) atau pejabat sipil lain. Ketersediaan layanan publik tidak boleh terganggu selama masa transisi ini.
    Mekanisme yang baik akan memastikan kelangsungan pelayanan masyarakat tanpa menyalahi ketentuan hukum.
    Langkah-langkah ini tidak hanya menunjukkan komitmen pemerintah dalam menjaga integritas konstitusi, tetapi juga merupakan bentuk upaya untuk mencegah erosi terhadap prinsip profesionalitas dan netralitas Polri.
    Dengan mengedepankan kepatuhan terhadap hukum, pemerintah dapat memperkuat legitimasi institusinya di hadapan publik, serta menciptakan kepercayaan yang lebih besar terhadap lembaga-lembaga negara
    Pelanggaran terhadap konstitusi tidak selalu terjadi secara frontal. Sering kali ia berlangsung lewat regulasi teknis, keputusan administratif, atau penafsiran yang memelintir makna putusan peradilan.
    Dalam kasus ini, Perpol 10/2025 menjadi contoh bagaimana aturan internal dapat menggeser batas-batas konstitusional secara perlahan, tapi signifikan.
    Ketika MK telah mengeluarkan putusan final, yang dibutuhkan bukanlah perdebatan panjang, melainkan kepatuhan. Mengabaikannya berarti membiarkan marwah negara hukum terkikis sedikit demi sedikit.
    Polri membutuhkan kepercayaan publik untuk menjalankan tugasnya. Kepercayaan itu hanya dapat bertahan jika institusi kepolisian menunjukkan komitmen terhadap prinsip dasar negara hukum.
    Indonesia bukan negara polisi. Indonesia adalah negara hukum. Karena itu, langkah apa pun yang berpotensi mengaburkan batas antara kekuasaan sipil dan aparat harus dihentikan.
    Tugas negara hari ini bukan hanya memperkuat supremasi hukum, tetapi juga memastikan bahwa tidak ada lembaga yang berdiri di atas konstitusi.
    Dalam setiap langkah kita menuju keadilan, sangat jelas bahwa hukum harus menjadi penuntun, bukan sekadar aturan yang bisa diabaikan.
    Ketika lembaga-lembaga negara mulai mengabaikan putusan hukum, kita bukan hanya menghadapi ancaman terhadap integritas institusi, tetapi juga mengorbankan kepercayaan masyarakat yang telah dibangun dengan susah payah.
    Masyarakat berhak mendapatkan penegakan hukum yang adil dan bijaksana, serta aparat yang mampu menjaga netralitasnya dalam setiap keputusan.
    Pada akhirnya, saatnya bagi kita semua untuk bersuara, menantang setiap bentuk pembangkangan hukum yang merusak fondasi konstitusi.
    Marilah kita bergerak bersama, mendorong pemerintah dan lembaga terkait untuk kembali pada prinsip-prinsip yang mendasar, demi masa depan yang lebih baik dan berkeadilan. Polisi kembalilah mengayomi bukan menguasai.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • 3
                    
                        Dilarang MK, Polri Malah Buka Jalan Polisi Menjabat di 17 Instansi
                        Nasional

    3 Dilarang MK, Polri Malah Buka Jalan Polisi Menjabat di 17 Instansi Nasional

    Dilarang MK, Polri Malah Buka Jalan Polisi Menjabat di 17 Instansi
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com – 
    Langkah Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo meneken Peraturan Polri Nomor 10 Tahun 2025 tentang Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang Melaksanakan Tugas di Luar Struktur Organisasi Kepolisian Negara Republik Indonesia dinilai bermasalah.
    Lewat aturan tersebut, Kapolri mengatur bahwa polisi dapat menduduki jabatan di 17 kementerian/lembaga, meski hal itu sudah dilarang oleh
    Mahkamah Konstitusi
    (MK).
    MK lewat putusan Nomor 114/PUU-XXIII/2025 yang diketok pada 13 November 2025 melarang anggota Polri menduduki jabatan sipil sebelum mengundurkan diri atau pensiun.
    Namun, tak sampai sebulan kemudian, pada 9 Desember 2025, Listyo Sigit justru meneken
    Perpol 10/2025
    yang membuka pintu bagi polisi aktif untuk menjabat di 17 kementerian/lembaga di luar Polri.
    Instansi-instansi dimaksud adalah Kementerian Koordinator Politik dan Keamanan, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Kementerian Hukum, Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan, Kementerian Kehutanan.
    Kemudian, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Perhubungan, Kementerian Pelindungan Pekerja Migran Indonesia, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional, Lembaga Ketahanan Nasional, Otoritas Jasa Keuangan.
    Lalu, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, Badan Narkotika Nasional, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, Badan Intelijen Negara, Badan Siber Sandi Negara, dan Komisi Pemberantasan Korupsi.
    Profesor hukum tata negara Mahfud MD menyatakan Peraturan Polri (Perpol) Nomor 10 Tahun 2025 bertentangan dengan putusan MK di atas.
    “Perpol Nomor 10 Tahun 2025 itu bertentangan dengan konstitusionalitas Pasal 28 ayat (3) UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri yang menurut putusan MK Nomor 114/PUU-XXIII/2025 anggota Polri, jika akan masuk ke institusi sipil harus minta pensiun atau berhenti dari Polri. Tidak ada lagi mekanisme alasan penugasan dari Kapolri,” kata Mahfud kepada
    Kompas.com
    , Jumat (12/12/2025).
    Selain bertentangan dengan putusan MK, Mahfud yang juga mantan Ketua MK ini menilai Perpol Nomor 10 Tahun 2025 itu bertentangan dengan Undang-Undang ASN.
    UU ASN mengatur bahwa pengisian jabatan ASN oleh polisi aktif diatur dalam UU Polri, sedangkan di UU Polri sendiri tidak mengatur mengenai daftar kementerian yang bisa dimasuki polisi aktif, ini berbeda dengan UU TNI yang menyebut 14 jabatan sipil yang bisa ditempati anggota TNI.
    “Jadi Perpol ini tidak ada dasar hukum dan konstitusionalnya,” kata Mahfud.
    Ia juga menekankan, Polri saat ini merupakan institusi sipil, namun itu tidak bisa menjadi landasan bagi polisi aktif untuk masuk ke institusi sipil lainnya.
    “Sebab semua harus sesuai dengan bidang tugas dan profesinya. Misalnya meski sesama dari institusi sipil, dokter tidak bisa jadi jaksa, dosen tidak boleh jadi jaksa, jaksa tak bisa jadi dokter,” kata Mahfud.
    Senada, advokat Syamsul Jahidin, penggugat UU Polri pada perkara Nomor 114/PUU-XXIII/2025, juga menilai Polri telah membangkangi MK dengan mengeluarkan Perpol Nomor 10 Tahun 2025.
    Ia mengingatkan, secara hierarki perundang-undangan, peraturan Polri memiliki posisi di bawah undang-undang atau putusan MK.
    “Itu pembangkangan, pengkhianatan terhadap konstitusi atau pengkhianatan terhadap undang-undang. Murni itu makar,” kata Syamsul.
    Syamsul pun meminta Polri agar patuh terhadap perundang-undangan, termasuk Undang-Undang Dasar 1945.
    Merujuk pada Pasal 30 Ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945, Polri merupakan alat negara yang bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, dan menegakkan hukum.
    Dalam UUD 45, tidak disebutkan Polri punya tugas dan kewenangan untuk membuat aturan seperti Perpol 10/2025 yang isinya menandingi putusan MK.
    “Rakyat itu sebenarnya sederhana, Anda (Polri) bertugas sesuai undang-undang dasar,” ujar Syamsul saat dihubungi, Jumat.
    Menurut Syamsul, jika seseorang sudah memutuskan untuk menjadi polisi, ia seharusnya menjalankan tugas selayaknya seorang polisi, bukannya melaksanakan tugas lain, misalnya, dengan masuk ke ranah sipil.
    Ia menekankan, jabatan di kementerian dan lembaga seharusnya diisi oleh ASN sesuai dengan keahliannya, bukan polisi yang bukan berstatus ASN.
     “Awal mulanya terciptanya parcok (partai cokelat) ini kan gara-gara ini, gara-gara mereka (polisi) menempati jabatan sipil,” kata Syamsul.
    Komisioner Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) Choirul Anam meminta Polri mempertegas fungsi penempatan polisi aktif di 17 kementerian/lembaga.
    Menurut Anam, daftar lembaga yang tercantum dalam aturan tersebut perlu dijabarkan hingga ke level fungsi agar tidak menimbulkan tafsir yang keliru.
    “Persoalannya sederhana, harus dipastikan juga sebenarnya di fungsi apa? Fungsinya masih enggak ada sangkut-pautnya dengan kepolisian, di level fungsi. Jadi tidak hanya soal kementeriannya, tapi di kementerian itu fungsinya apa? Itu yang harus dipertegas,” kata Anam kepada
    Kompas.com
    , Jumat.
    Anam menjelaskan, Polri memaknai 17 kementerian/lembaga itu sebagai institusi yang memiliki sangkut paut dengan tugas kepolisian.
    Secara tata kelola, daftar kementerian dan prosedur penempatan yang diatur dalam Perpol memang memberikan kepastian.
    Namun, itu juga belum cukup apabila tidak disertai kejelasan mengenai fungsi yang benar-benar membutuhkan personel polisi aktif.
    “Karena memang sangkut-pautnya macam-macam ini ada yang memang disebutkan dalam undang-undang, ada yang tidak, jadi penting untuk kepastian itu,” kata dia.
    Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karo Penmas) Divisi Humas Polri Brigjen Trunoyudo Wisnu Andiko menjelaskan, penempatan anggota Polri pada 17 kementerian/lembaga memiliki dasar hukum yang jelas, baik dari undang-undang maupun peraturan pemerintah.
    “Polri pada pengalihan jabatan anggota Polri dari jabatan manajerial maupun non-manajerial pada organisasi dan tata kerja Polri untuk dialihkan pada organisasi dan tata kerja K/L berdasarkan regulasi yang sudah berlaku,” kata Trunoyudo kepada
    Kompas.com
    .
    Trunoyudo merinci sejumlah regulasi yang menjadi payung hukum penugasan anggota Polri di luar struktur Polri, yaitu UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri Pasal 28 ayat (3), beserta penjelasannya, yang tetap berlaku setelah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 114/PUU-XXIII/2025.
    UU Nomor 20 Tahun 2023 tentang ASN, khususnya Pasal 19 ayat (2b), yang menyebut jabatan ASN tertentu dapat diisi anggota Polri, serta PP Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen PNS, Pasal 147 hingga 150, yang mengatur jabatan ASN tertentu dapat diisi oleh anggota Polri sesuai kompetensi.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Penggugat UU Polri: Maunya Rakyat Sederhana, Polisi Kerja Sesuai Undang-Undang Dasar…

    Penggugat UU Polri: Maunya Rakyat Sederhana, Polisi Kerja Sesuai Undang-Undang Dasar…

    Penggugat UU Polri: Maunya Rakyat Sederhana, Polisi Kerja Sesuai Undang-Undang Dasar…
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Advokat Syamsul Jahidin yang pernah menggugat UU Polri ke Mahkamah Konstitusi (MK) mengatakan, keinginan masyarakat terhadap Polri sebenarnya sederhana.
    Hal ini disampaikan Syamsul menanggapi langkah Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo yang baru meneken Peraturan
    Polri
    Nomor 10 Tahun 2025 tentang Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang Melaksanakan Tugas di Luar Struktur Organisasi Kepolisian Negara Republik Indonesia.
    “Rakyat itu sebenarnya sederhana, Anda (Polri) bertugas sesuai undang-undang dasar,” ujar Syamsul saat dihubungi, Jumat (12/12/2025).
    Merujuk pada Pasal 30 Ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945, Polri merupakan alat negara yang bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, dan menegakkan hukum.
    Dalam UUD 45, tidak disebutkan Polri punya tugas dan kewenangan untuk membuat aturan seperti
    Perpol 10/2025
    yang isinya menandingi putusan MK.
    Syamsul mengatakan, masyarakat berharap Polri dapat menjalankan tugas dan fungsinya sesuai UUD 1945 agar tidak ada lagi elemen sipil yang dikriminalisasi.
    “Tidak ada wartawan yang dikriminalisasi. Tidak ada aktivis yang dikriminalisasi. Tidak ada orang yang dimarginalkan,” katanya.
    “Tidak ada pelanggaran-pelanggaran hukum yang dilakukan oleh penegak hukum itu sendiri. Tidak ada jenderal-jenderal lagi yang diadili karena membacking-membackingi. Itu sebenarnya yang kami inginkan,” lanjut Syamsul.
    Menurut Syamsul, jika seseorang sudah memutuskan untuk menjadi polisi, ia seharusnya menjalankan tugas selayaknya seorang polisi, bukannya melaksanakan tugas lain, misalnya, dengan masuk ke ranah sipil.
    “Awal mulanya terciptanya parcok (partai cokelat) ini kan gara-gara ini, gara-gara mereka (polisi) menempati jabatan sipil,” imbuhnya.
    Syamsul menegaskan, polisi bukan seorang aparatur sipil negara (ASN) sehingga UU ASN tidak berlaku untuk mereka.
    Jabatan di kementerian dan lembaga seharusnya diisi oleh ASN sesuai dengan keahliannya.
    Diberitakan, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo meneken Peraturan Polri Nomor 10 Tahun 2025 tentang Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang Melaksanakan Tugas di Luar Struktur Organisasi Kepolisian Negara Republik Indonesia.
    Beleid ini mengatur bahwa polisi aktif dapat menduduki jabatan di 17 kementerian/lembaga sipil di luar institusi Polri.
    “Pelaksanaan Tugas Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia di Luar Struktur Organisasi Kepolisian Negara Republik Indonesia yang selanjutnya disebut Pelaksanaan Tugas Anggota Polri adalah penugasan anggota Polri pada jabatan di luar struktur organisasi Polri yang dengan melepaskan jabatan di lingkungan Polri,” demikian bunyi Pasal 1 Ayat (1) peraturan tersebut.
    Kemudian, Pasal 2 mengatur bahwa anggota Polri dapat melaksanakan tugas di dalam maupun luar negeri.
    Selanjutnya, pada Pasal 3 Ayat (1) disebutkan, pelaksanaan tugas anggota Polri pada jabatan di dalam negeri dapat dilaksanakan pada kementerian/lembaga/badan/komisi dan organisasi internasional atau kantor perwakilan negara asing yang berkedudukan di Indonesia.
    Daftar kementerian/lembaga yang dapat diduduki oleh anggota Polri itu diatur dalam Pasal 3 Ayat (2), yakni Kementerian Koordinator Politik dan Keamanan, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Kementerian Hukum, Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan, Kementerian Kehutanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Perhubungan, Kementerian Pelindungan Pekerja Migran Indonesia, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional, Lembaga Ketahanan Nasional, Otoritas Jasa Keuangan, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, Badan Narkotika Nasional, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, Badan Intelijen Negara, Badan Siber Sandi Negara, dan Komisi Pemberantasan Korupsi.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Aturan Baru Kapolri Dinilai Langgar Putusan MK, Penggugat UU Polri: Itu Pembangkangan

    Aturan Baru Kapolri Dinilai Langgar Putusan MK, Penggugat UU Polri: Itu Pembangkangan

    Aturan Baru Kapolri Dinilai Langgar Putusan MK, Penggugat UU Polri: Itu Pembangkangan
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Advokat Syamsul Jahidin mempertanyakan kewenangan Polri untuk membuat aturan penempatan polisi di kementerian dan lembaga eksternal setelah Mahkamah Konstitusi (MK) membatasi keterlibatan mereka di ranah sipil.
    Syamsul menegaskan, putusan MK mengubah tatanan di level undang-undang, secara spesifik, Pasal 28 ayat (3) UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri.
    Sementara itu, peraturan Polri yang baru diteken Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo ini secara hierarkis memiliki tata aturan yang lebih rendah dari undang-undang.
    “Peraturan polisi itu bukan undang-undang. Itu hanya bagi Polri. (Peraturan) Polri turunan daripada undang-undang. Berarti apa? Dia (Polri) sudah bukan alat negara lagi kalau dia mengeluarkan Perpol seperti itu,” ujar Syamsul saat dihubungi, Jumat (12/12/2025).
    Syamsul menilai, Peraturan Polri Nomor 10 Tahun 2025 ini merupakan bentuk pembangkangan Polri terhadap MK.
    “Itu pembangkangan, pengkhianatan terhadap konstitusi atau pengkhianatan terhadap undang-undang. Murni itu makar,” tegas Syamsul.
    Syamsul mengatakan, melalui putusan MK nomor 114/PUU-XXIII/2025, Polri sudah tidak bisa lagi menduduki jabatan sipil atau mengisi kursi di kementerian/lembaga.
    Peraturan Polri Nomor 10 Tahun 2025 tentang Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang Melaksanakan Tugas di Luar Struktur Organisasi Kepolisian Negara Republik Indonesia ini dinilai janggal karena bertentangan dengan putusan MK.
    “Undang-undangnya (setelah diputus MK) ngelarang (penempatan polisi di kementerian). Perpol-nya mengizinkan. Apakah itu enggak… Ah… Gua bingung,” kata Syamsul.
    Ia pun menyinggung tugas dan fungsi pokok Polri yang termaktub dalam Pasal 30 Ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945, yang berbunyi, “Kepolisian Republik Indonesia adalah alat negara yang bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, dan menegakkan hukum.”
    Syamsul menegaskan, dalam UUD 45, Polri tidak berwenang untuk membuat aturan setara undang-undang.
    “Pertanyaannya, apakah itu tidak melanggar hukum kalau enggak ada di undang-undang?” tanyanya.
    Syamsul juga menyinggung asas lex superior derogat legi inferiori yang artinya, peraturan yang lebih tinggi (lex superior) mengesampingkan (derogat) peraturan yang lebih rendah (lex inferior).
    “Jadi, pertanyaannya Perpol itu lebih tinggi dari undang-undang?” tanyanya lagi.
    Diberitakan, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo meneken Peraturan Polri Nomor 10 Tahun 2025 tentang Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang Melaksanakan Tugas di Luar Struktur Organisasi Kepolisian Negara Republik Indonesia.
    Beleid ini mengatur polisi aktif dapat menduduki jabatan di 17 kementerian/lembaga sipil di luar institusi Polri.
    “Pelaksanaan Tugas Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia di Luar Struktur Organisasi Kepolisian Negara Republik Indonesia yang selanjutnya disebut Pelaksanaan Tugas Anggota Polri adalah penugasan anggota Polri pada jabatan di luar struktur organisasi Polri yang dengan melepaskan jabatan di lingkungan Polri,” demikian bunyi Pasal 1 Ayat (1) peraturan tersebut.
    Kemudian, Pasal 2 mengatur bahwa anggota Polri dapat melaksanakan tugas di dalam maupun luar negeri.
    Selanjutnya, pada Pasal 3 Ayat (1) disebutkan, pelaksanaan tugas anggota Polri pada jabatan di dalam negeri dapat dilaksanakan pada kementerian/lembaga/badan/komisi dan organisasi internasional atau kantor perwakilan negara asing yang berkedudukan di Indonesia.
    Daftar kementerian/lembaga yang dapat diduduki oleh anggota Polri itu diatur dalam Pasal 3 Ayat (2), yakni Kementerian Koordinator Politik dan Keamanan, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Kementerian Hukum, Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan, serta Kementerian Kehutanan.
    Kemudian, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Perhubungan, Kementerian Pelindungan Pekerja Migran Indonesia, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional, Lembaga Ketahanan Nasional, Otoritas Jasa Keuangan, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, Badan Narkotika Nasional, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, Badan Intelijen Negara, Badan Siber Sandi Negara, dan Komisi Pemberantasan Korupsi.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.