Produk: Narkotika

  • Istana soal TNI Bisa Isi 16 Jabatan Sipil: Keahlian Mereka Diperlukan – Page 3

    Istana soal TNI Bisa Isi 16 Jabatan Sipil: Keahlian Mereka Diperlukan – Page 3

    Menurutnya, dengan Revisi UU TNI dijelaskannya, pembatasan penempatan prajurit aktif TNI semakin jelas dan tegas.

    “Saat ini terdapat pembahasan, wacana pengaturan penugasan TNI dari 10 kementerian dan lembaga menjadi 16. Yaitu di Polkam, Kementerian Pertahanan, Dewan Pertahanan Negara, Sekretariat Negara, Intelijen, Sandi Negara, Lemhanas, SAR, kemudian Badan Narkotika Nasional, Badan Nasional Pengelola Perbatasan KKP, BNPB, BNPT, Bakamla, Kejagung, dan Mahkamah Agung,” jelasnya.

    Ia menegaskan, Revisi UU TNI tidak bermaksud untuk mengembalikan dwifungsi ABRI atau militer seperti yang terjadi di era Orde Baru. Karena itu, pria akrab disapa BG ini meminta semua pihak tidak lagi khawatir.

    Menurutnya, tujuan Revisi UU TNI adalah untuk menyesuaikan kebutuhan atas perkembangan zaman. Sehingga, TNI akan semakin profesional.

    “Utamanya dalam menjalankan tugas pokoknya di bidang pertahanan negara sekaligus menyesuaikan peran TNI ke depan sesuai dengan kebutuhan perkembangan zaman, khususnya seperti dalam situasi darurat bencana. Tidak ada (dwifungsi TNI),” pungkas dia. 

  • Usulan Prajurit Jabat di KKP-Tangani Narkoba Dihapus

    Usulan Prajurit Jabat di KKP-Tangani Narkoba Dihapus

    Jakarta

    Anggota Komisi I DPR RI, TB Hasanuddin, mengungkap hasil rapat lanjutan Panja Revisi Undang-Undang (RUU) TNI Nomor 34 Tahun 2004 antara DPR RI dan pemerintah pada Senin malam. Hasanuddin menyebut pemerintah menghapus dua usulan, salah satunya terkait prajurit membantu menangani narkoba.

    Hasanuddin mengatakan pemerintah melakukan dua perubahan pada Pasal 7 ayat 2 dan Pasal 47 di RUU TNI. Dia mengatakan pada Pasal 7 ayat 2 terkait operasi non-militer yang sebelumnya dalam naskah hasil pembahasan, pemerintah mengusulkan penambahan tiga tugas militer TNI di luar perang.

    Namun kini berubah, tidak ada lagi poin soal TNI memiliki wewenang untuk membantu menangani masalah penyalahgunaan narkotika.

    “Awalnya dalam RUU terbaru, pemerintah mengusulkan tiga tugas baru. Namun, saat ini hanya ada dua usulan. Pertama, TNI memiliki tugas untuk membantu dan menanggulangi ancaman siber. Kedua, TNI bisa membantu dan menyelamatkan WNI dan kepentingan nasional di luar negeri. Untuk TNI memiliki wewenang untuk membantu menangani masalah penyalahgunaan narkotika itu sudah dihilangkan,” kata TB Hasanuddin dalam keterangannya di Jakarta, Senin (17/3/2025) malam.

    Hasanuddin menyebut perubahan juga ada di Pasal 47, di mana dalam UU TNI 2004, prajurit dapat menduduki jabatan pada 10 kementerian atau lembaga. Dalam RUU terbaru, perwira TNI aktif hanya dapat menjabat di 15 kementerian/lembaga, yang sebelumnya diusulkan menjadi 16 kementerian/lembaga.

    “Yang sebelumnya diusulkan 16 K/L, saat ini hanya menjadi 15 K/L, di mana Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) itu dihapus,” ucapnya.

    Rinciannya sebagai berikut:

    1. Peran TNI dalam penanggulangan bencana
    – UU 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana. Berlaku sejak tahun 2007.
    – Dilanjutkan dengan terbitnya Perpres 1/2019 tentang BNPB di mana TNI dilibatkan sebagai unsur pengarah dalam penanggulangan bencana.

    3. Peran TNI dalam pengelolaan perbatasan
    – Perpres 44/2017 tentang Perubahan atas Perpres 12/2010 tentang Badan Nasional Penegelola Perbatasan yang mengatur Panglima TNI sebagai anggota BNPP pada Pasal 6. Berlaku sejak 2017.

    4. Peran TNI pada BNPT
    – Dalam Pasal 43 I ayat (1) UU No. 5 Tahun 2018, disebutkan bahwa tugas TNI dalam mengatasi terorisme merupakan bagian dari operasi militer selain perang (OMSP). Berlakuk sejak tahun 2018. Berlaku sejak 2018

    5. Peran TNI pada Kejaksaan Agung
    – UU 11/2021 tentang Perubahan atas UU 16/2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Mengatur tentang jabatan Jaksa Agung Muda Pidana Militer. Berlaku sejak tahun 2021.

    “Sementara di luar posisi tersebut, prajurit aktif bisa menduduki jabatan sipil lain setelah mundur dari dinas keprajuritan,” ucap Hasanuddin.

    Selain itu, Hasanuddin juga menjelaskan Pasal 53 terkait batas usia pensiun, RUU TNI mengubah batas usia pensiun berdasarkan pangkat. Dalam UU saat ini, batas usia pensiun dibagi menjadi dua klaster, yakni 58 bagi perwira dan 53 bagi tamtama dan bintara.

    Sementara, dalam RUU TNI berdasarkan naskah DIM, batas usia pensiun dirinci kembali berdasarkan pangkat. Rinciannya yakni sebagai berikut:

    Batas usia pensiun prajurit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan ketentuan sebagai berikut:

    – Bintara dan Tamtama paling tinggi 55 tahun;
    – Perwira sampai dengan pangkat Kolonel paling tinggi 58 tahun;
    – Perwira tinggi bintang 1 paling tinggi 60 tahun;
    – Perwira tinggi bintang 2 paling tinggi 61 tahun; dan
    – Perwira tinggi bintang 3 paling tinggi 62 tahun.

    Di luar itu, ada beberapa pengecualian lain terkait usia dinas. Pertama, khusus bagi prajurit yang menduduki jabatan fungsional dapat melaksanakan masa dinas keprajuritan yang ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan.

    Kemudian, untuk perwira tinggi bintang 4 atau jenderal, batas usia pensiun paling tinggi, yakni umur 63 tahun dan dapat diperpanjang maksimal dua kali (dalam setahun) sesuai kebutuhan dan ditetapkan dengan keputusan Presiden.

    Selain itu, TB mengatakan yang perlu mendapat perhatian dalam RUU TNI ini adalah Pasal 39. Pasal itu menyatakan prajurit dilarang terlibat dalam kegiatan menjadi anggota partai politik, kegiatan politik praktis, kegiatan bisnis, dan kegiatan untuk dipilih menjadi anggota legislatif dalam pemilu dan jabatan politis lainnya.

    “Pasal ini tetap sama, prajurit TNI tidak boleh menjadi anggota partai politik, terlibat dalam bisnis, atau mencalonkan diri sebagai anggota legislatif dan jabatan politik lainnya,” katanya.

    Dengan revisi ini, Hasanuddin berharap UU TNI yang baru dapat menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman tanpa mengesampingkan prinsip demokrasi dan supremasi sipil dalam pemerintah.

    (fas/zap)

    Hoegeng Awards 2025

    Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu

  • Istana sebut 16 K/L yang bisa diduduki TNI memang diperlukan keahlian

    Istana sebut 16 K/L yang bisa diduduki TNI memang diperlukan keahlian

    Jakarta (ANTARA) – Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan (PCO) Hasan Nasbi menyatakan bahwa penambahan pos menjadi 16 kementerian/lembaga yang bisa diduduki prajurit TNI aktif dalam RUU TNI memang diperlukan keahlian dan beririsan dengan lingkup kerja TNI.

    Pernyataan Hasan kepada media di Jakarta, Senin (17/3) malam itu menanggapi soal revisi dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) TNI yang di dalamnya mengatur soal peluasan penempatan prajurit aktif dari sebelumnya 10 menjadi 16 kementerian/lembaga.

    “Karena posisi-posisi untuk TNI, nggak di-open, tapi dikunci. Dikunci ke-16 posisi yang memang memerlukan ekspertis-nya mereka. Memerlukan keahliannya mereka dan beririsan ruang kerja dengan ekspertis mereka,” kata Hasan.

    Meski terdapat penambahan lembaga yang bisa diisi oleh TNI, Hasan menegaskan bahwa jabatan tersebut memang sudah diisi oleh prajurit TNI aktif namun belum diatur melalui undang-undang.

    Dalam UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI saat ini, hanya ada 10 kementerian/lembaga yang bisa diisi oleh prajurit aktif, yakni Kementerian Koordinator Bidang Politik dan Keamanan, Kementerian Pertahanan, Sekretariat Militer Presiden, Badan Intelijen Negara, dan Badan Siber dan Sandi Negara.

    Kemudian, Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas), Dewan Pertahanan Nasional, Badan SAR Nasional (Basarnas), Badan Narkotika Nasional (BNN), dan Mahkamah Agung.

    Lewat RUU TNI, ada tambahan enam pos baru yang bisa dijabat TNI aktif, yakni Kementerian Kelautan dan Perikanan, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Badan Keamanan Laut (Bakamla), Kejaksaan Agung dan terbaru, yakni Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP).

    “Sebelumnya di UU enggak ada, sekarang ada. Ada untuk mengisi kamar peradilan pidana Mahkamah Agung, Bakamla. Jadi yang kayak gitu, yang memang ekspertis-nya membutuhkan ekspertis teman-teman dari TNI,” kata Hasan.

    Oleh karenanya, Hasan kembali menekankan bahwa RUU TNI yang dikhawatirkan mengembalikan dwifungsi ABRI oleh masyarakat hingga lembaga independen tidak terbukti.

    Di sisi lain, pemerintah meminta masyarakat tetap mengkritisi dan memantau pelaksanaan undang-undang sebagai bagian dari pengawasan publik.

    Pewarta: Mentari Dwi Gayati
    Editor: Iskandar Zulkarnaen
    Copyright © ANTARA 2025

  • RUU TNI Tak Terbukti Bangkitkan Dwifungsi ABRI

    RUU TNI Tak Terbukti Bangkitkan Dwifungsi ABRI

    loading…

    Kepala Komunikasi Kepresidenan (PCO) Hasan Nasbi Hasan memastikan tidak terbukti ada pasal maupun ayat dalam RUU TNI yang dicurigai membangkitkan dwifungsi ABRI. Foto/Binti Mufarida

    JAKARTA – Pemerintah memastikan tidak terbukti ada pasal maupun ayat dalam Revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI) yang dicurigai membangkitkan dwifungsi ABRI.

    “(Kecurigaan) teman-teman dari NGO, teman-teman aktivis, itu tidak ada. Jadi pasal yang dicurigai akan ada, ayat yang dicurigai akan ada (dwifungsi ABRI), itu terbukti tidak ada,” tegas Kepala Komunikasi Kepresidenan (PCO) Hasan Nasbi Hasan kepada awak media di Jakarta, Senin (17/3/2025).

    Lebih lanjut, Hasan memastikan jabatan sipil di kementerian dan lembaga yang dapat diisi oleh TNI lewat revisi UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI itu harus memiliki keahlian atau yang beririsan dengan ruang kerja prajurit TNI.

    “Kecurigaan temen teman NGO itu tidak beralasan karna itu tidak ada, karena posisi-posisi, nggak di-open posisi-posisi untuk TNI, nggak di-open, tapi dikunci. Dikunci ke-15 posisi yang memang memerlukan expertise-nya mereka. Memerlukan keahliannya mereka dan beririsan ruang kerja dengan expertise mereka,” tegas Hasan.

    Meski jumlah jabatan yang diisi akan lebih banyak, Hasan memastikan, jabatan tersebut sudah berjalan lebih dulu. Salah satu contohnya, jabatan untuk Jaksa Agung Muda Pidana Militer (Jampidmil) yang sebelumnya belum diatur oleh Undang-Undang.

    Diketahui dalam UU TNI saat ini, hanya terdapat 10 jabatan yang bisa diisi oleh prajurit aktif, yakni Kementerian Koordinator Bidang Politik dan Keamanan, Kementerian Pertahanan, Sekretariat Militer Presiden, Badan Intelijen Negara, dan Badan Siber dan Sandi Negara.

    Lalu, Lembaga Ketahanan Nasional, Dewan Pertahanan Nasional, Badan Nasional Penanggulangan Bencana atau Basarnas, Badan Narkotika Nasional, dan Mahkamah Agung.

  • Istana: Pasal yang Dicurigai Kembalikan Dwifungsi ABRI Tak Ada, Kecurigaan LSM Tak Beralasan

    Istana: Pasal yang Dicurigai Kembalikan Dwifungsi ABRI Tak Ada, Kecurigaan LSM Tak Beralasan

    Istana: Pasal yang Dicurigai Kembalikan Dwifungsi ABRI Tak Ada, Kecurigaan LSM Tak Beralasan
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Kepala Komunikasi Kepresidenan/PCO Hasan Nasbi memastikan, pasal maupun ayat yang dicurigai mengembalikan
    dwifungsi ABRI
    tidak ada dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) TNI.
    Oleh karenanya, Hasan menilai bahwa kecurigaan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) tidak beralasan.
    “Pasal yang dicurigai akan ada, ayat yang dicurigai akan ada, itu terbukti tidak ada. Bahwa kecurigaan teman-teman NGO, LSM itu tidak beralasan karena itu tidak ada (dwifungsi),” kata Hasan saat ditemui di Jakarta Pusat, Senin (17/3/2025).
    Hasan menegaskan bahwa
    RUU TNI
    justru akan membatasi jabatan-jabatan sipil yang bisa dijabat oleh prajurit aktif, bukan sebaliknya.
    Menurut dia, jabatan tersebut diisi karena adanya korelasi dengan kerja-kerja dan tugas fungsi TNI.
    “Karena posisi-posisi, enggak di-
    open
    posisi-posisi untuk TNI, enggak di-
    open
    , tapi dikunci. Dikunci ke-15 posisi yang memang memerlukan ekspertisnya mereka. Memerlukan keahliannya mereka dan beririsan ruang kerja dengan ekspertis mereka,” ujar Hasan.
    Meski jumlah jabatan yang diisi akan lebih banyak, Hasan memastikan bahwa jabatan tersebut sejatinya sudah dipraktikan lebih dulu.
    Salah satu contohnya, jabatan untuk Jaksa Agung Muda Pidana Militer (Jampidmil) yang sebelumnya belum diatur oleh Undang-Undang.
    Diketahui dalam
    UU TNI
    saat ini, hanya terdapat 10 jabatan yang bisa diisi oleh prajurit aktif, yakni di Kementerian Koordinator Bidang Politik dan Keamanan, Kementerian Pertahanan, Sekretariat Militer Presiden, Badan Intelijen Negara, dan Badan Siber dan Sandi Negara.
    Lalu, Lembaga Ketahanan Nasional, Dewan Pertahanan Nasional, Badan Nasional Penanggulangan Bencana atau Basarnas, Badan Narkotika Nasional, dan Mahkamah Agung.
    Lewat RUU TNI, ada tambahan enam pos baru yang bisa ditempati TNI aktif, yakni di Kelautan dan Perikanan, BNPB, BNPT, keamanan laut, dan Kejaksaan Agung (Kejagung), dan BNPP.
    “Sebelumnya di UU enggak ada, sekarang ada. (Jampidmil) Ada untuk mengisi kamar peradilan pidana Mahkamah Agung. Bakamla, Dewan Pertahanan Nasional belum ada juga (sebelumnya di UU TNI). Jadi yang kayak gitu, yang memang ekspertisnya membutuhkan ekspertis teman-teman dari TNI,” kata Hasan.
    Sebelumnya diberitakan,
    revisi UU TNI
    menuai penolakan dari sejumlah LSM lantaran dikhawatirkan mengembalikan dwifungsi militer.
    Namun terbaru, Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan (Menko Polkam) Budi Gunawan mengatakan bahwa revisi UU TNI hanya akan mengubah tiga pasal krusial.
    Pasal pertama adalah Pasal 3 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang kedudukan dan koordinasi TNI di bawah Kementerian Pertahanan. Kedua, Pasal 53 yang mengatur tentang usia pensiun TNI.
    Ketiga, Pasal 47 yang mengatur tentang jabatan di kementerian/lembaga yang dapat diisi oleh prajurit TNI yang aktif.
    Karena pada praktiknya, banyak prajurit TNI yang selama ini memang diperbantukan di beberapa kementerian karena keahlian dan kebutuhannya.
    “Misal saya contohkan di Basarnas, seperti itu. Melalui
    Revisi UU TNI
    ini justru memberi batasan yang lebih jelas akan hal tersebut. Saat ini terdapat pembahasan, wacana pengaturan penugasan TNI dari 10 kementerian/lembaga menjadi 16,” kata Budi Gunawan.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Selain Cabuli Anak di Bawah Umur, Eks Kapolres Ngada Terbukti Lakukan Perzinaan

    Selain Cabuli Anak di Bawah Umur, Eks Kapolres Ngada Terbukti Lakukan Perzinaan

    Selain Cabuli Anak di Bawah Umur, Eks Kapolres Ngada Terbukti Lakukan Perzinaan
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Mantan Kapolres Ngada
    AKBP Fajar Widyadharma
    Lukman Sumaatmaja juga dinyatakan terbukti terlibat perzinaan selain mencabuli sejumlah anak di bawah umur. Demikian bunyi putusan dalam sidang komisi Kode Etik Profesi Polri (KEPP) yang digelar Senin (17/3/2025).
    “(Fajar terbukti melakukan) perzinaan tanpa ikatan pernikahan yang sah, mengkonsumsi narkoba. Serta, merekam, menyimpan, memposting, dan menyebarluaskan video pelecehan seksual terhadap anak di bawah umur,” ujar Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karo Penmas) Divisi Humas Polri, Brigjen Pol Trunoyudo Wisnu Andiko saat konferensi pers di depan Gedung TNCC Polri, Jakarta, Senin.
    Totalnya, ada empat perbuatan tercela yang dilakukan Fajar. Dua lainnya, adalah pelecehan dan persetubuhan terhadap anak di bawah umur.
    “Pelanggar pada saat menjabat sebagai Kapolres Ngada, Polda NTT telah melakukan perbuatan pelecehan seksual terhadap anak di bawah umur, persetubuhan anak di bawah umur,” kata Trunoyudo.
    Atas tindakannya, Fajar divonis hukuman pemberhentian dengan tidak hormat (PTDH) usai dinyatakan melanggar etik dalam kasus pencabulan anak serta penggunaan narkotika.
    “Maka putusan pada sidang komisi Kode Etik Profesi Polri (KEPP), diputuskan (terhadap Fajar) PTDH sebagai anggota Polri,” ujar Trunoyudo.
    Atas putusan etik yang dijatuhkan padanya hari ini, Fajar menyatakan untuk banding.
    Sebelumnya, mantan Kapolres Ngada tersebut telah ditetapkan sebagai tersangka karena diduga mencabuli sejumlah anak di bawah umur.
    Setelah diselidiki lebih lanjut oleh Polri dan Polda NTT, Fajar diduga melakukan pelanggaran dalam kategori berat.
    Sebelumnya, Trunoyudo mengatakan, Fajar Widyadharma telah mencabuli empat orang korban, di mana tiga di antaranya adalah anak di bawah umur.
    “Dari penyelidikan pemeriksaan melalui kode etik dari wabprof, ditemukan fakta bahwa FLS telah melakukan pelecehan seksual dengan anak di bawah umur sebanyak tiga orang dan satu orang usia dewasa,” kata Trunoyudo dalam konferensi pers pada Kamis, 13 Maret 2025.
    Trunoyudo menuturkan, tiga anak yang menjadi korban pencabulan itu masing-masing berusia enam tahun, 13 tahun, dan 16 tahun, sedangkan orang dewasa yang dicabuli berusia 20 tahun.
    Tak berhenti sampai di situ, dari hasil tes urine, AKBP Fajar Widyadharma terbukti positif menggunakan narkoba.
    Sebagaimana diberitakan, AKBP Fajar Widyadharma ditangkap Tim Divpropam Mabes Polri pada Kamis, 20 Februari 2025, setelah diduga mencabuli anak di bawah umur.
    Penangkapan ini menyusul laporan otoritas Australia yang menemukan video tidak senonoh terhadap anak di bawah umur di salah satu situs porno.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Mantan Kapolres Ngada AKBP Fajar Widyadharma Dipecat dari Polri

    Mantan Kapolres Ngada AKBP Fajar Widyadharma Dipecat dari Polri

    loading…

    Sidang Komisi Kode Etik Polri (KKEP) memutuskan mantan Kapolres Ngada AKBP Fajar Widyadharma Lukman Sumaatmaja dikenakan sanksi pemberhentian tidak dengan tidak hormat (PTDH). Foto/iNews

    JAKARTA – Sidang Komisi Kode Etik Polri (KKEP) memutuskan mantan Kapolres Ngada AKBP Fajar Widyadharma Lukman Sumaatmaja dikenakan sanksi pemberhentian tidak dengan tidak hormat (PTDH).

    “Memutuskan sidang KKEP dengan sanksi etika yaitu perilaku melanggar sebagai perbuatan tercela,” kata Karo Penmas Divisi Humas Polri Brigjen Trunoyudo Wisnu Andiko di Gedung TNCC Mabes Polri, Jakarta Selatan, Senin (17/3/2025).

    Atas putusan tersebut, AKBP Fajar dipecat dari anggota Polri. Dia mengajukan banding atas sanksi administratif tersebut.

    “Diputuskan pemberhentian tidak dengan hormat sebagai anggota Polri,” ucap Truno.

    “Dengan putusan tersebut, kami perlu sampaikan informasi bahwasanya atas putusan tersebut pelanggat menyatakan banding,” sambungnya.

    Sebelumnya, Karo Wabprof Divpropam Polri Brigjen Agus Wijayanto juga sempat mengatakan, bahwa tindakan yang dilakukan Fajar merupakan pelanggaran berat, dengan jeratan pasal berlapis.

    “Sampai kita melaksanakan gelar perkara, Div Propam melaksanakan gelar perkara dan ini adalah kategori berat. Sehingga pasal yang disampaikan Pak Karopenmas tadi adalah pasal yang berlapis dengan kategori berat dan kita juncto-kan PP 1/2003 tentang pemberhentian anggota Polri,” kata Agus kepada wartawan, dikutip Senin (17/3/2025).

    Sebagai informasi, Fajar resmi ditetapkan sebagai tersangka kasus kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur dan penggunaan narkotika. Penetapan tersangka dilakukan usai Divisi Propam Polri memeriksa perwira menengah (pamen) Polri itu.

    (rca)

  • Anggap Revisi UU TNI Relevan, Gubernur Lemhanas Soroti Peran Militer dalam Institusi Negara
                
                    
                        
                            Megapolitan
                        
                        17 Maret 2025

    Anggap Revisi UU TNI Relevan, Gubernur Lemhanas Soroti Peran Militer dalam Institusi Negara Megapolitan 17 Maret 2025

    Anggap Revisi UU TNI Relevan, Gubernur Lemhannas Soroti Peran Militer dalam Institusi Negara
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas)
    Ace Hasan Syadzily
    menilai, revisi Undang-Undang (UU) TNI relevan untuk dilakukan guna mengakomodasi peran militer dalam beberapa institusi negara yang selama ini belum diatur secara tegas.
    Ace berujar, keberadaan TNI dalam lembaga tertentu seperti diperlukan sesuai dengan kapasitas dan kompetensinya.
    “Ada beberapa jabatan yang saya kira juga perlu perluasan. Misalnya, saya ambil contoh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) itu TNI, jenderal bintang 3, di dalam RUU lama belum ada,” ujar Ace saat ditemui di Balai Kota Jakarta, Senin (17/3/2025).
    “Atau misalnya BSSN (Badan Siber dan Sandi Negara) kemudian misalnya BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme) itu kan sebelumnya tidak diatur dalam UU lama, ya sekarang ya harus diatur,” sambungnya.
    Menurut Ace, supremasi sipil dalam demokrasi tetap harus dijunjung tinggi, di mana TNI memiliki fungsi utama sebagai pertahanan negara dan Polri bertanggung jawab dalam bidang keamanan.
    Namun, dalam praktiknya, ada sejumlah lembaga yang dinilai membutuhkan peran TNI, di antaranya BNPB, BNPT, BSSN, Badan SAR Nasional (Basarnas), Badan Keamanan Laut (Bakamla), dan Badan Narkotika Nasional (BNN).
    “Lembaga-lembaga ini sesuai kapasitas dan kompetensinya membutuhkan keberadaan TNI untuk menjaga kedaulatan dan keselamatan negara. Misalnya dalam penanggulangan bencana, TNI sering menjadi yang terdepan dalam memastikan keselamatan warga negara dengan pendekatan yang lebih cepat,” ungkap dia.
    Ace mencontohkan bahwa dalam
    revisi UU TNI
    yang baru, posisi perwira tinggi militer di BNPB, BNPT, dan BSSN harus diakomodasi dengan lebih jelas.
    Hal ini untuk memastikan efektivitas dan peran TNI dalam menghadapi ancaman berupa terorisme, keamanan siber, serta bencana alam.
    Menanggapi kritik yang menyebut revisi ini mengarah pada dwi fungsi militer seperti di era Orde Baru, Ace menegaskan perubahan aturan ini masih berada dalam koridor supremasi sipil.
    “Sejauh ini, menurut saya, masih dalam konteks supremasi sipil. Ada beberapa posisi badan yang selama ini belum terakomodasi misalnya tadi BNPB, BNPT, BSSN itu harus dipertegas,” katanya.
    Selain itu, ia juga mengomentari terkait tantangan geopolitik dan teknologi yang berkembang pesat, termasuk isu keamanan siber.
    Lemhanas
    , sebelum dipimpinnya, pernah mengusulkan pembentukan matra siber sebagai bagian dari pertahanan negara.
    “Negara seperti Singapura itu punya angkatan siber sendiri. Tapi kemarin kami berdiskusi dengan pak Menkopolhukam, bahwa yang harus kita perkuat di masing-masing matra, pasukan sibernya harus diberikan kapasitas,” ungkapnya.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Polda Metro Bongkar Industri Rumahan Tembakau Sintetis di Jakut, 1,1 Kg "Sinte" Disita
                
                    
                        
                            Megapolitan
                        
                        17 Maret 2025

    Polda Metro Bongkar Industri Rumahan Tembakau Sintetis di Jakut, 1,1 Kg "Sinte" Disita Megapolitan 17 Maret 2025

    Polda Metro Bongkar Industri Rumahan Tembakau Sintetis di Jakut, 1,1 Kg “Sinte” Disita
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Subdit 1 Direktorat Reserse Narkoba
    Polda Metro
    Jaya membongkar industri rumahan
    tembakau sintetis
    dengan tersangka LN (20) dan RZ (20).
    Terbongkarnya industri rumahan tembakau sintetis ini bermula saat penyidik menangkap LN dan RZ di sekitar Jalan Kartini Raya, Sawah Besar, Jakarta Pusat, Rabu (12/3/2025).
    “(Dua pelaku ditangkap) diduga sebagai pengedar narkotika jenis tembakau sintetis melalui media sosial,” kata Kasubdit 1 Ditresnarkoba Polda Metro Jaya AKBP Indra Tarigan dalam keterangannya, Senin (17/3/2025).
    Dari penangkapan ini, polisi menyita barang bukti berupa ember, gelas ukur, dua lakban, dan dua ponsel.
    “Setelah dilakukan penyelidikan lebih lanjut bahwa barang yang dijual pelaku diolah sendiri di daerah Bandengan, Jakarta Utara,” ujar dia.
    Alhasil, polisi menggeledah sebuah rumah di wilayah Bandengan, Jakarta Utara, tersebut.
    Polisi menyita barang bukti berupa dua unit alat mesin pengaduk magnetik kimia, dua gelas
    Pyrex
    berukuran besar, satu botol besar cairan kloroform, dua botol kecil cairan kloroform, serta dua masker gas lengkap dengan alat penyaring.
    Selain itu, ditemukan lima bungkus lempeng tramadol, satu alat
    press
    , sepuluh bungkus tembakau, dua unit tape, empat timbangan elektrik, beberapa plastik hitam, dan satu tas hitam yang digunakan untuk menyimpan narkotika jenis sinte.
    Polisi juga mengamankan beberapa bungkus plastik klip berbagai ukuran (besar, sedang, dan kecil), serta narkotika jenis sinte dengan rincian: 958 gram, 75 gram, 75 gram, dan 2 gram.
    “Total berat sinte yang disita 1.110 gram,” pungkas dia.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Ada Pasal Bermasalah yang Bisa Kembalikan Dwifungsi TNI

    Ada Pasal Bermasalah yang Bisa Kembalikan Dwifungsi TNI

    PIKIRAN RAKYAT – 192 lembaga yang tergabung di dalam Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan, menolak kembalinya dwifungsi melalui Revisi Undang-Undang (UU) Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI). Pemerintah telah menyampaikan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) Revisi UU TNI kepada DPR, pada 11 Maret 2025, dan koalisi menilai DIM itu bermasalah lantaran terdapat pasal-pasal yang akan mengembalikan militerisme atau Dwifungsi TNI di Indonesia.

    “Kami menilai agenda revisi UU TNI tidak memiliki urgensi transformasi TNI ke arah yang profesional,” kata Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhamad Isnur mewakil tokoh-tokoh yang hadir di kantor YLBHI, Senin, 17 Maret 2025.

    Koalisi masyarakat sipil justru menilai revisi UU TNI akan melemahkan profesionalisme militer. Pasalnya, sebagai alat pertahanan negara, TNI dilatih, dididik, dan disiapkan untuk perang, bukan untuk fungsi nonpertahanan seperti duduk di jabatan-jabatan sipil.

    Lebih Baik Revisi UU Peradilan Militer

    “Dalam konteks reformasi sektor keamanan, semestinya pemerintah dan DPR mendorong agenda reformasi peradilan militer melalui revisi UU No. 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer,” ucap Isnur.

    Menurut koalisi, revisi UU tentang peradilan militer lebih penting daripada RUU TNI. Sebab, agenda itu merupakan kewajiban konstitusional negara untuk menjalankan prinsip persamaan di hadapan hukum bagi semua warga negara, tanpa kecuali.

    “Reformasi peradilan militer merupakan mandat Tap MPR No. VII Tahun 2000 dan UU No. 34 tahun 2004 tentang TNI,” tutur Isnur.

    Koalisi menilai RUU TNI akan mengembalikan Dwifungsi TNI, yaitu militer aktif menduduki jabatan-jabatan sipil. Koalisi juga menyebut perluasan penempatan TNI aktif tidak sesuai dengan prinsip profesionalisme TNI dan berisiko memunculkan masalah seperti eksklusi warga sipil dari jabatan sipil, menguatkan dominasi militer di ranah sipil, dan memicu terjadinya kebijakan maupun loyalitas ganda. Selain itu, merebut jabatan sipil dan memarginalkan ASN dan perempuan dalam akses posisi-posisi strategis.

    Koalisi menyebut, perluasan jabatan sipil dalam RUU TNI di antaranya adalah menempatkan militer aktif di Kejaksaan Agung hingga Kementerian Kelautan dan Perikanan. Hal yang perlu diingat, TNI adalah alat pertahanan negara untuk perang, sedangkan Kejaksaan Agung, adalah lembaga penegak hukum, maka, salah jika anggota TNI aktif duduk di institusi Kejaksaan Agung.

    “Dan salah, jika ingin menempatkan militer aktif di Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Dua contoh itu cerminan praktik Dwifungsi TNI,” ujar Isnur.

    Tertibkan UU TNI

    Lebih lanjut, koalisi mendesak berbagai pelanggaran terhadap UU TNI selama ini dievaluasi dan ditertibkan. Selain itu, anggota TNI aktif yang menduduki jabatan sipil diluar yang sudah diatur dalam Pasal 47 ayat 2 UU TNI agar segera mengundurkan diri atau pensiun dini.

    Menurut koalisi, selama ini banyak anggota TNI aktif yang duduk di jabatan sipil tanpa mengundurkan diri terlebih dahulu, misalnya Letkol Teddy Indra Wijaya yang menjabat Sekretaris Kabinet dan kepala sekretariat presiden Mayor Jenderal Ariyo Windutomo.

    Tak hanya itu, pelibatan militer dalam operasi selain perang hanya bisa dilakukan atas dasar keputusan politik negara, bukan melalui MoU sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 7 ayat 3 UU TNI. Koalisi menekankan, tidak dibenarkan konstruksi politik hukum RUU TNI untuk menjustifikasi berbagai pelanggaran yang sudah ada.

    “Kami memandang bahwa perluasan tugas militer untuk menangani narkotika adalah keliru dan bisa berbahaya bagi negara hukum. Penanganan masalah narkotika utamanya berada dalam koridor kesehatan, penegakkan hukum yang proporsional, bukan perang,” ujar Isnur.

    Koalisi menilai pelibatan TNI dalam mengatasi narkotika akan melanggengkan penggunaan war model. Selama ini, model penegakkan hukum saja sering kali bermasalah dan tidak proporsional dalam mengatasi narkoba, apalagi jika menggunakan war model dengan melibatkan militer.

    “Dengan demikian, melibatkan TNI dalam menangani narkoba sebagaimana diatur dalam RUU TNI akan menempatkan TNI rentan menjadi pelaku pelanggaran HAM, seperti terjadi dalam kasus penangkapan Duterte di Filipina oleh ICC,” kata Isnur.

    Lebih berbahaya lagi, koalisi menyebut RUU TNI juga ingin merevisi klausul pelibatan militer dalam Operasi Militer Selain Perang (OMSP) tanpa perlu persetujuan DPR, yang cukup diatur dalam Peraturan Pemerintah. Padahal, operasi semacam itu termasuk kebijakan politik negara, yakni Presiden dengan pertimbangan DPR sebagaimana diatur oleh pasal 7 ayat 3 UU TNI 34/2004).

    “RUU TNI mau meniadakan peran Parlemen sebagai wakil rakyat. Ini akan menimbulkan konflik kewenangan atau tumpang tindih dengan lembaga lain dalam mengatasi masalah di dalam negeri,” ucap Isnur.

    Koalisi menduga, revisi ini hanya untuk melegitimasi mobilisasi dan ekspansi keterlibatan Prajurit TNI dalam permasalahan domestik seperti Makan Bergizi Gratis (MBG), distribusi Gas Elpiji, ketahanan pangan, penjagaan kebun sawit, pelaksanaan Proyek Strategis Nasional (PSN) serta penertiban dan penjagaan kawasan hutan bahkan pengelolaan ibadah haji.

    “Kami menolak RUU TNI maupun DIM RUU TNI yang disampaikan Pemerintah ke DPR karena mengandung pasal-pasal bermasalah dan berpotensi mengembalikan Dwifungsi TNI dan militerisme di Indonesia,” ujar koalisi.***

    Simak update artikel pilihan lainnya dari kami di Google News