Produk: minyak bumi

  • Bahlil Lantik 3 Pejabat SKK Migas, Minta Kejar Lifting 800.000 Barel di 2028

    Bahlil Lantik 3 Pejabat SKK Migas, Minta Kejar Lifting 800.000 Barel di 2028

    Bisnis.com, JAKARTA — Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia melantik sejumlah pejabat di lingkungan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) pada Rabu (26/2/2025).

    Terdapat tiga deputi baru SKK Migas yang dilantik, yakni Rikky Rahmat Firdaus sebagai deputi eksplorasi, pengembangan, dan manajemen wilayah kerja, Taufan Marhaendrajana sebagai deputi eksploitasi, dan Eka Bhayu Setta sebagai deputi dukungan bisnis.

    Dalam agenda tersebut, Bahlil menekankan pentingnya peningkatan produksi lifting minyak bumi serta meminta evaluasi terhadap perusahaan yang telah mendapatkan konsesi, tetapi belum melaksanakan operasi produksi.

    “Pelantikan ini tidak hanya bertujuan untuk menyegarkan organisasi, tetapi juga memperkuat konsolidasi di SKK Migas guna mempercepat pencapaian target ketahanan energi nasional. Hal ini sejalan dengan visi pemerintah dalam mewujudkan kemandirian energi sebagai salah satu prioritas pembangunan dalam Asta Cita,” ujar Bahlil, dikutip dari siaran pers, Rabu (26/2/2025).

    Bahlil secara khusus meminta deputi produksi SKK Migas yang baru dilantik untuk aktif mendorong peningkatan produksi migas nasional. Ia menegaskan bahwa penyederhanaan perizinan dan optimalisasi teknologi harus menjadi prioritas utama.

    “Pak Prof adalah ahli di bidang ini, jadi saya mohon benar-benar bekerja sama dengan kepala SKK Migas. Kita sudah sepakati penerapan teknologi enhanced oil recovery [EOR] maupun teknologi lainnya, maka segera tindak lanjuti dan eksekusi sesuai roadmap yang telah disusun,” tegasnya.

    Bahlil menekankan pentingnya peningkatan lifting minyak nasional dalam beberapa tahun ke depan. Ia meminta SKK Migas mencapai target lifting minyak nasional pada tahun 2025 minimal 630.000 barrel oil per day (bopd) dan naik menjadi di atas 800.000 bopd pada 2028. Hal ini sesuai target yang ditetapkan Presiden Prabowo Subianto.

    “Target Bapak Presiden Prabowo pada 2028-2029, kita itu sudah punya lifting 800.000 – 900.000 bopd. Kalau memang itu bisa 1 juta bopd, jauh lebih baik. Dengan berbagai macam intervensi teknologi. Karena itu, saya meminta agar apa yang sudah dibuat dalam roadmap itu dieksekusi,” tegasnya.

    Selain itu, Bahlil juga menyoroti perusahaan-perusahaan yang telah memperoleh konsesi dan melakukan eksplorasi tetapi belum memulai produksi. Ia meminta agar perusahaan-perusahaan tersebut segera dievaluasi.

    “Jangan ragu untuk menindak perusahaan yang telah diberikan konsesi, sudah menyelesaikan eksplorasi, tetapi belum melakukan produksi. Jika konsesi terus ditahan tanpa ada langkah produksi, kapan kita bisa meningkatkan lifting minyak? Jangan segan, jangan ragu. Semua harus berjalan sesuai aturan, undang-undang, dan arahan Presiden,” pungkasnya.

  • Heboh Pertalite Dioplos Jadi Pertamax, Prabowo: Kami Akan Bersihkan dan Tegakkan – Page 3

    Heboh Pertalite Dioplos Jadi Pertamax, Prabowo: Kami Akan Bersihkan dan Tegakkan – Page 3

    Kapuspenkum Kejagung Harli Siregar mengulas peran para tersangka dan posisi kasus tersebut. Bahwa pada periode 2018-2023, pemenuhan minyak mentah dalam negeri seharusnya wajib mengutamakan pasokan minyak bumi dari dalam negeri dan Pertamina wajib mencari pasokan minyak bumi yang berasal dari kontraktor dalam negeri, sebelum merencanakan impor minyak bumi.

    Hal itu sebagaimana tegas diatur dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 42 Tahun 2018 tentang prioritas pemanfaatan minyak bumi untuk kebutuhan dalam negeri.

    “Namun berdasarkan fakta penyidikan, Tersangka RS, Tersangka SDS, dan Tersangka AP melakukan pengkondisian dalam Rapat Optimasi Hilir (OH) yang dijadikan dasar untuk menurunkan readiness/produksi kilang sehingga produksi minyak bumi dalam negeri tidak terserap sepenuhnya dan akhirnya pemenuhan minyak mentah maupun produk kilang diperoleh dari impor,” tutur Harli dalam keterangannya, Rabu (26/2/2025).

    Harli menyebut, pada saat produksi kilang sengaja diturunkan, maka produksi minyak mentah dalam negeri oleh KKKS sengaja ditolak. Fakta tersebut berdasarkan temuan, bahwa produksi minyak mentah KKKS tidak memenuhi nilai ekonomis, padahal harga yang ditawarkan masih masuk range harga HPS.

    Produk minyak mentah KKKS juga dilakukan penolakan dengan alasan spesifikasi tidak sesuai kualitas kilang, namun faktanya minyak mentah bagian negara masih sesuai kualitas kilang dan dapat diolah dan dihilangkan kadar merkuri atau sulfurnya.

    “Saat produksi minyak mentah dalam negeri oleh KKKS ditolak dengan berbagai alasan, maka menjadi dasar minyak mentah Indonesia dilakukan penjualan keluar negeri atau ekspor,” jelas dia.

    Untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, kata dia, maka PT Kilang Pertamina Internasional melakukan impor minyak mentah dan PT Pertamina Patra Niaga melakukan impor produk kilang. Harga pembelian impor tersebut apabila dibandingkan dengan harga produksi minyak bumi dalam negeri terdapat perbandingan komponen harga yang tinggi.

    Dalam kegiatan pengadaan impor minyak mentah oleh PT Kilang Pertamina Internasional dan produk kilang oleh PT Pertamina Patra Niaga, penyidik memperoleh fakta adanya pemufakatan jahat atau mens rea.

    “Antara penyelenggara negara tersangka SDS, tersangka AP, tersangka RS, dan tersangka YF, bersama DMUT atau Broker tersangka MK, tersangka DW, dan tersangka GRJ, sebelum tender dilaksanakan dengan kesepakatan harga yang sudah diatur yang bertujuan mendapatkan keuntungan secara melawan hukum dan merugikan keuangan negara,” ungkap Harli.

     

  • Kasus Minyak Mentah, Akankah Riza Chalid Kembali Lolos dari Jerat Hukum?

    Kasus Minyak Mentah, Akankah Riza Chalid Kembali Lolos dari Jerat Hukum?

    Jakarta, Beritasatu.com – Mohammad Riza Chalid terseret kasus korupsi tata kelola minyak mentah serta produk kilang Pertamina dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) 2018-2023 yang merugikan negara Rp 193,7 triliun. 

    Kejaksaan Agung (Kejagung) sudah menggeledah rumah Riza Chalid dan akan mendalami dugaan keterlibatannya dalam kasus minyak impor mentah tersebut.

    Siapa Riza Chalid?

    Mohammad Riza Chalid atau Reza Chalid dikenal sebagai konglomerat yang memiliki berbagai bisnis usaha, mulai dari ritel mode, kelapa sawit, hingga minyak bumi. 

    Riza disebut sosok yang mendominasi bisnis impor minyak di Indonesia. Ia dijuluki sebagai The Gasoline Godfather atau Saudagar Minyak. Disebut juga sebagai penguasa abadi bisnis minyak di Indonesia.

    Riza Chalid pernah terserat kasus impor minyak mentah Zatapi pada 2008. Tetapi, Bareskrim Polri  menutup pengusutan kasus tersebut dan Riza tak tersentuh hukum.

    Mohammad Riza Chalid – (Istimewa/Twitter)

    Riza Chalid juga terseret kasus papa minta saham dalam proses perpanjangan izin operasi PT Freeport Indonesia yang diduga melibatkan Ketua DPR Setya Novanto. Namun, kasus yang heboh pada 2015 tersebut tidak jelas ujungnya. Kejagung menghentikan penyelidikan kasus ini pada 2016.

    Belakangan Riza Chalid terseret lagi dalam kasus minyak mentah setelah anaknya Muhammad Kerry Andrianto Riza menjadi tersangka karena diduga turut menerima keuntungan dari skandar korupsi tersebut.

    Kerry Andrianto merupakan pemilik manfaat atau beneficial owner PT Navigator Khatulistiwa PT Navigator Khatulistiwa yang bertindak sebagai broker atau perantara dalam impor minyak mentah dan produk kilang Pertamina.

    Selain anak Riza Chalid, enam tersangka lain dalam kasus itu, adalah Direktur Optimasi Feedstock and Product PT Kilang Pertamina International Sani Dinar Saifuddin, Direktur Utama PT Pertamina Shipping Yoki Firnandi, Vice President Feedstock Management PT Kilang Pertamina International Agus Purwono, Komisaris PT Navigator Khatulistiwa juga Komisaris PT Jenggala Maritim Dimas Werhaspati, dan Komisaris PT Jenggala Maritim sekaligus Direktur Utama PT Orbit Terminal Merak Gading Ramadhan Joedo.

    Menurut Kejagung para tersagka melakukan pengondisian agar bisa mengimpor minyak mentah dan produk kilang Pertamina untuk kebutuhan di Tanah Air. Kemudian mengoplos bahan bakar minyak (BBM) jenis RON 90 menjadi RON 92.

    Dugaan Keterlibatan Riza Chalid

    Sebagai tindak lanjut penyidikan, Kejagung menggeledah rumah Riza Chalid pada Selasa (25/2/2025). Ada dua titik lokasi penggeledahan disasar penyidik, yakni Plaza Asia lantai 20, dan Jalan Jenggala 2, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. 

    Selain rumah Riza Chalid, Kejagung juga sudah menggeledah tujuh lokasi lain. Dari semua penggeledahan tersebut, disita 34 kontainer dokumen, 49 bundel dokumen, dan sejumlah barang bukti elektronik lain termasuk uang senilai Rp 400 juta dalam berbagai pecahan mata uang.

    Kejagung memperlihatkan barang bukti uang yang disita terkait kasus korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang Pertamina-KKKS 2018-2023. – (Beritasatu.com/Basudiwa Supraja)

    Direktur Penyidikan Jampidsus Kejagung Abdul Qohar belum bisa menjelaskan apakah ada keterlibatan Riza Chalid dalam kasus korupsi minyak mentah Pertamina yang menjerat anaknya sebagai tersangka. Alasannya masih dalam pendalaman.

    “Apakah ada keterlibatan terhadap Mohammad Riza Chalid yang anaknya tadi malam sudah ditetapkan sebagai tersangka, sabar ya, ini kan sedang berproses,” ujar Qohar dalam jumpa pers di Gedung Kejagung, Jakarta Selatan.

    Kejagung sedang mengumpulkan bukti-bukti termasuk membuka peluang untuk memeriksa Riza Chalid. Tetapi, belum dijadwalkan kapan sang raja minyak itu dipanggil untuk diperiksa.

    Riza Chalid Harus Diperiksa

    Koordinator Gerakan Antikorupsi (Gerak) Indonesia Akhiruddin Mahyuddin mengatakan Riza Chalid harus diperiksa oleh Kejagung, karena dugaan keterlibatannya makin kuat setelah rumahnya  digeledah penyidik.

    “Dugaan keterlibatan Riza Chalid indikasinya kuat dengan penggeledahan yang dilakukan oleh Kejaksaan Agung. Yang kedua juga penetapan tersangka terhadap anaknya,” kata pria yang akrab disapa Udin ini kepada Beritasatu.com, Rabu (26/2/2025).

    Menurut Udin kasus minyak mentah yang sedang disidik Kejagung merupakan skandal megakorupsi terbesar pada 2025, sehingga wajib diusut tuntas dan siapa pun yang terlibat harus ditindak tegas secara hukum.

  • Melacak Skandal Rasuah Minyak Mentah di Perusahan Pelat Merah

    Melacak Skandal Rasuah Minyak Mentah di Perusahan Pelat Merah

    Bisnis.com, JAKARTA — Penyidik Kejaksaan Agung atau Kejagung menggeledah rumah tiga lantai di Jalan Jenggala No.2, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.

    Bangunan rumah yang digeledah tampak mencolok dengan pagar hitam dan dinding tebal warga putih. Informasi yang dihimpun di lapangan menyebut bahwa rumah itu milik taipan minyak, Muhammad Riza Chalid.

    Saat Bisnis tiba di lokasi sekitar pukul 18.15 WIB, sejumlah penyidik kejaksaan berpakaian serba hitam hilir mudik keluar masuk rumah. Mereka memeriksa sejumlah ruangan. Penyidik kemudian menyegel pintu rumah Riza Chalid dengan segel berwarna merah putih bertuliskan Kejaksaan RI.

    Segel kejaksaan di rumah Riza Chalid./JIBI-Anshary Madya SukmaPerbesar

    Sayangnya, tidak banyak informasi yang diperoleh dari lapangan. Penggeledahan juga masih berlangsung pada Selasa kemarin pukul 21.00 WIB. Sejumlah pejabat kejaksaan belum mau memberikan keterangan terkait barang bukti yang diperoleh dari penggeledahan tersebut.

    “Penyidik sekarang [kemarin] sedang melakukan upaya penggeledahan,” ujar Kapuspenkum Kejagung Harli Siregar, Selasa kemarin.

    Usut punya usut, penyidik Kejaksaan Agung (Kejagung) sedang mencari bukti kasus skandal korupsi tata kelola minyak mentah Pertamina. Belum dapat dipastikan apakah penggeledahan itu ada kaitannya dengan keterlibatan Riza Chalid atau tidak. Namun yang jelas, penyidik kejaksaan telah menetapkan salah satu putra Riza Chalid, sebagai tersangka.

    “Pertama apakah ada keterlibatan terhadap Muhammad Riza Chalid yang anaknya tadi malam sudah ditetapkan sebagai tersangka, sabar ya ini kan sedang berproses,” ujar Direktur Penyidikan Jampidsus Kejagung, Abdul Qohar.

    Rumah Riza Chalid yang digeledah Kejagung./JIBI-Anshary Madya SukmaPerbesar

    Kendati demikian, Qohar menekankan bahwa pihaknya bakal mengusut secara tuntas perkara korupsi itu. Dia akan memeriksa siapapun yang terlibat, termasuk bila diperlukan memeriksa Riza Chalid.

    “Semuanya akan dimintai keterangan sebagai saksi apabila terkait dengan perkara ini penyidik juga sedang mengumpulkan alat bukti apakah memang ada orang lain yang ikut terlibat tidak terkecuali Muhammad Riza Chalid,” tegasnya.

    Sekadar informasi, Kejagung telah menetapkan sejumlah pejabat perusahaan subholding sebagai tersangka perkara korupsi tata kelola minyak mentah dan kilang Pertamina. Mereka diduga merugikan negara hingga Rp193,7 triliun.

    Namun demikian, jumlah kerugian negara kemungkinan bisa bertambah karena penyidik Kejagung sedang meminta Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk mengaudit secara lebih detail kasus tersebut.

    Adapun pejabat subholding Pertamina yang menjadi tersangka antara lain, Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga Riva Siahaan, Direktur Utama PT Pertamina Internasional Shiping Yoki Firnandi, Direktur Feedstock and Product Optimization PT Kilang Pertamina Internasional Sani Dinar Saifuddin, dan VP Feedstock PT Kilang Pertamina Internasional. 

    Selain tersangka dari pihak subholding Pertamina, penyidik kejaksaan juga menahan tersangka dari swasta sebanyak tiga orang.

    Mereka antara lain, Gading Ramadhan Joedo selaku Direktur Utama PT Orbit Terminal Merak sekaligus Komisaris PT Jenggala Maritim Nusantara, DW selaku Komisaris PT Navigator Khatulistiwa sekaligus Komisaris PT Jenggala Maritim Nusantara dan MKAN selaku Beneficial Owner PT Navigator Khatulistima.

    “Jadi terhadap ketujuh orang tersangka ini langsung kita tahan selama 20 hari ke depan,” tutur Qohar.

    Bisnis masih berupaya untuk mengonfirmasi pihak Riza Chalid terkait penggeledahan yang dilakukan oleh Kejaksaan Agung. Salah satunya dengan mendatangai lokasi rumah Riza Chalid pada hari Selasa kemarin pukul 18.15 WIB 

    Modus Korupsi Minyak Mentah

    Di sisi lain, Kejaksaan Agung (Kejagung) mengungkap bahwa modus Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga Riva Siahaan dalam dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang Pertamina-KKKS 2018-2023.

    Direktur Penyidikan Jaksa Tindak Pidana Khusus alias Jampidsus Kejagung RI, Abdul Qohar mengemukakan bahwa RS selaku Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga seolah-olah melakukan impor produk kilang Ron 92.

    Namun, setelah diusut ternyata RS diduga malah membeli bahan bakar dengan oktan minimum sebesar 90 atau sejenis pertalite. Produk kilang itu kemudian dicampur sedemikian rupa untuk menjadi Ron 92 atau sejenis pertamax.

    “Tersangka RS melakukan pembelian untuk Ron 92, padahal sebenarnya hanya membeli Ron 90 atau lebih rendah kemudian dilakukan blending di Storage/Depo untuk menjadi Ron 92 dan hal tersebut tidak diperbolehkan,” ujar Qohar di Kejagung, dikutip Selasa (25/2/2025).

    Kejaksaan AgungPerbesar

    Qohar menjelaskan, dalam kasus ini pengadaan impor minyak mentah dilakukan PT Kilang Pertamina Internasional dan produk kilang oleh PT Pertamina Patra Niaga.

    Kasus ini melibatkan, sejumlah tersangka penyelenggara negara bersama-sama dengan tersangka DMUT/Broker. Pada intinya, kedua belah pihak bekerja sama dalam pengaturan proses pengadaan impor minyak mentah dan impor produk kilang.

    “Sehingga seolah-olah telah dilaksanakan sesuai ketentuan dengan cara pengkondisian pemenangan DMUT/Broker yang telah ditentukan dan menyetujui pembelian dengan harga tinggi yang tidak memenuhi persyaratan,” tambahnya.

    Adapun, Qohar mengungkap, tersangka Yoki Firnandi selaku Dirut PT Pertamina International Shipping diduga melakukan mark up kontrak pengiriman saat pengadaan impor minyak mentah dan produk kilang

    Setelah itu negara mengeluarkan fee sebesar 13%-15% dan diduga menguntungkan tersangka Muhammad Kerry Andrianto Riza (MKAR) selaku Beneficialy Owner PT Navigator Khatulistiwa.

    “Saat kebutuhan minyak dalam negeri mayoritas diperoleh dari produk impor secara melawan hukum, maka komponen harga dasar yang dijadikan acuan untuk penetapan HIP BBM untuk dijual kepada masyarakat menjadi mahal/tinggi sehingga dijadikan dasar pemberian kompensasi maupun subsidi BBM setiap tahun dari APBN,” jelasnya.

    Jawaban Pertamina dan ESDM 

    PT Pertamina (Persero) menghormati proses hukum yang sedang berlangsung. Kendati demikian, mereka tetap memegang azas praduga tidak bersalah dalam perkara dugaan korupsi tersebut.

    Di sisi lain, Pertamina meluruskan soal isu BBM oplosan. Mereka memastikan bahwa Pertamax (RON 92) yang beredar di masyarakat bukan BBM oplosan. Hal ini merespons kegaduhan masyarakat di media sosial yang menyebut Pertamax yang dibeli sebenarnya berkualitas RON 90 atau setara Pertalite.

    Tudingan masyarakat itu tak lepas dari kasus dugaan tindak pidana korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang yang melibatkan subholding Pertamina dan kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) tahun 2018—2023.

    VP Corporate Communication Pertamina Fadjar Djoko Santoso menegaskan kualitas BBM yang dijual ke masyarakat sesuai dengan ketentuan dari Direktorat Jenderal (Ditjen) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).

    Dengan kata lain, Pertamax yang dibeli masyarakat tetap dengan kualitas RON 92. “Bisa kami pastikan bahwa produk yang sampai ke masyarakat itu sesuai dengan speknya masing-masing. RON 92 [adalah] Pertamax, RON 90 adalah Pertalite,” kata Fadjar di Gedung DPD, Jakarta, Selasa (25/2/2025).

    Dia juga memastikan tidak ada praktik pengoplosan BBM untuk menjadi Pertamax yang dijual ke masyarakat. Fadjar menyebut yang menjadi pokok pemeriksaan dari Kejaksaan Agung adalah praktik impor RON 90 yang seharusnya RON 92.

    “Jadi bukan adanya oplosan sehingga mungkin narasi yang keluar yang tersebar sehingga ada misinformasi di situ,” ucap Fadjar.

    Sementara itu, Sekretaris Jenderal Kementerian ESDM Dadan Kusdiana mengatakan, pihaknya akan menghormati proses yang tengah dijalankan oleh aparat hukum dan bersedia untuk bekerja sama. Pihaknya juga terus berupaya untuk memperbaiki tata kelola pemanfaatan minyak mentah dalam negeri. 

    “Kita menghormati proses hukum,” kata Dadan saat ditemui di Kantor ESDM, Selasa (25/2/2025). 

    Dadan juga menerangkan bahwa Kementerian ESDM telah memperbarui aturan tersebut melalui Peraturan Menteri (Permen) No. 18/2021. Adapun, dalam beleid tersebut, badan usaha tetap diwajibkan untuk memanfaatkan minyak bumi untuk pemenuhan kebutuhan dalam negeri. 

    “Kita tidak ngomong tidak wajib di situ, sudah ada [pembaruan] di Permen 2021, memang kata wajibnya tidak ada, tapi kan itu diartikannya bukan tidak wajib, kan ada proses harus ditawarkan, dan itu juga sudah ditawarkan, semua diikutin di situ,” terang Dadan.

    Lebih lanjut, Dadan juga menerangkan bahwa berdasarkan arahan Menteri ESDM Bahlil Lahadalia, pemerintah akan terus memaksimalkan minyak mentah domestik untuk diolah di kilang dalam negeri.

    “Kasusnya kan baru kemarin, tetapi saya waktu jadi Plt dirjen migas kan yang kemarin itu ada yang pengurusan itu, kita coba maksimumkan untuk semua produksi dalam negeri, dan arahan dari Pak Menteri semaksimal mungkin diolah dalam negeri, untuk diolah di kilang dalam negeri,” ujarnya. 

  • Ini Cara Kerja Orang Pertamina Beli Pertalite di Luar Negeri Jual ke Masyarakat Jadi Pertamax – Halaman all

    Ini Cara Kerja Orang Pertamina Beli Pertalite di Luar Negeri Jual ke Masyarakat Jadi Pertamax – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Kejaksaan Agung (Kejagung) menetapkan tujuh tersangka dalam perkara dugaan korupsi tata kelola minyak dan produk pada PT Pertamina, Sub Holding, Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) periode 2018-2023. 

    Tujuh tersangka itu terdiri dari empat pegawai Pertamina dan tiga pihak swasta.

    Mereka adalah Riva Siahaan (RS) selaku Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga. 

    Kemudian, SDS selaku Direktur Feed stock and Product Optimization PT Kilang Pertamina Internasional, YF selaku Direktur Utama PT Pertamina International Shipping, AP selaku VP Feed stock Management PT Kilang Pertamina International.

    Selanjutnya, pihak swasta mencakup MKAN selaku Beneficial Owner PT Navigator Khatulistiwa, ⁠DW selaku Komisaris PT Navigator Khatulistiwa sekaligus Komisaris PT Jenggala Maritim, dan ⁠YRJ selaku Komisaris PT Jenggala Maritim sekaligus Dirut PT Orbit Terminal Mera.

    Kapuspen Kejagung Harli Siregar mengatakan, penetapan tersangka itu usai penyidik memeriksa 96 saksi dan dua orang saksi ahli. Usai ditetapkan sebagai tersangka, kata Harli, seluruh tersangka langsung ditahan. 

    “Penyidik juga pada jajaran Jampidsus berketetapan melakukan penahanan terhadap tujuh orang tersebut,” ujar Harli dalam jumpa pers di Gedung Kejagung, Senin (24/2) malam.

    Sementara Direktur Penyidikan Jampidsus Kejagung Abdul Qohar menjelaskan, kasus dugaan korupsi ini bermula ketika pemerintah menetapkan pemenuhan minyak mentah wajib dari dalam negeri pada periode 2018-2023. 

    Atas dasar itu, Pertamina wajib mencari pasokan minyak bumi dari kontraktor dalam negeri, sebelum merencanakan impor. 

    “Hal itu sebagaimana tegas diatur dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 42 Tahun 2018 tentang prioritas pemanfaatan minyak bumi untuk kebutuhan dalam negeri,” kata Qohar.

    Namun kata Qohar, aturan itu diduga tidak dilakukan oleh RS (Dirut Pertamina Patra Niaga) dan SDS (Direktur Feed Stock and Product Optimization PT Kilang Pertamina Internasional) dan AP (VP Feed Stock Management PT Kilang Pertamina International). 

    Sebaliknya, mereka diduga bersengkongkol untuk membuat produksi minyak bumi dari dalam negeri tidak terserap, sehingga pemenuhan minyak mentah dan produk kilang harus dilakukan dengan cara impor.

    Qohar menyebut produksi minyak mentah oleh Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) dalam negeri juga ditolak setelah produksi kilang diturunkan. 

    Penolakan dilakukan dengan membuat berbagai alasan. Pertama, produksi minyak mentah KKKS dinilai tidak memenuhi nilai ekonomis, padahal harga yang ditawarkan masih masuk rentang harga perkiraan sendiri (HPS). 

    Alasan kedua, spesifikasi dianggap tidak sesuai kualitas kilang. Padahal, minyak dalam negeri tersebut seharusnya masih memenuhi kualitas jika diolah kembali dan kadar merkuri atau sulfurnya dikurangi.

    Qohar menjelaskan saat produksi minyak mentah dalam negeri oleh KKKS ditolak dengan berbagai alasan, Pertamina kemudian mengimpor minyak mentah. 

    “Harga pembelian impor tersebut apabila dibandingkan dengan harga produksi minyak bumi dalam negeri terdapat perbandingan komponen harga yang tinggi,” kata Qohar.

    Kemudian, Qohar menjelaskan ada dugaan pemufakatan jahat (mens rea) dalam proses impor minyak mentah tersebut oleh tersangka SDS, AP, RS, YF, bersama tersangka pihak swasta MK, DW, dan GRJ. 

    “Sebelum tender dilaksanakan, dengan kesepakatan harga yang sudah diatur yang bertujuan mendapatkan keuntungan secara melawan hukum dan merugikan keuangan negara,” tutur dia.

    Ia menjelaskan rencana pemufakatan jahat itu dilakukan dengan mengatur proses pengadaan impor minyak mentah dan produk kilang. Melalui pengaturan tersebut pengondisian pemenangan broker seolah-olah sesuai dengan ketentuan. 

    Pengondisian itu dilakukan oleh tersangka RS, SDS, dan AP yang memenangkan broker minyak mentah dan produk kilang secara melawan hukum. 

    Lalu, tersangka DM dan GRJ berkomunikasi dengan AP agar memperoleh harga tinggi saat syarat belum terpenuhi.

    Tersangka RS kemudian diduga menyelewengkan pembelian spek minyak. RS disebut melakukan pembelian untuk jenis Roin 92 (Pertamax) padahal yang dibeli adalah Ron 90 (Pertalite). 

    “Dalam pengadaan produk kilang oleh PT Pertamina Patra Niaga, tersangka RS melakukan pembelian untuk Ron 92 (Pertamax), padahal sebenarnya hanya membeli Ron 90 (Pertalite) atau lebih rendah kemudian dilakukan blending di storage/depo untuk menjadi Ron 92 dan hal tersebut tidak diperbolehkan,” jelas Qohar.

    Qohar menjelaskan Kejagung juga menemukan dugaan markup kontrak pengiriman oleh tersangka YF dalam melakukan impor minyak mentah dan produk kilang. 

    Ia menuturkan negara mengeluarkan fee sebesar 13-15 persen secara melawan hukum sehingga tersangka MKAR mendapatkan keuntungan dari transaksi tersebut. Lebih lanjut, Qohar menyebut korupsi ini berdampak luas pada harga BBM di Indonesia. 

    Karena sebagian besar kebutuhan minyak nasional dipenuhi dari impor ilegal, harga dasar BBM menjadi lebih mahal. Hal ini berdampak pada penetapan Harga Indeks Pasar (HIP) BBM, yang menjadi acuan subsidi dan kompensasi BBM dari APBN setiap tahunnya.

    Sederet perbuatan melawan hukum tersebut telah mengakibatkan negara merugi sekitar Rp193,7 triliun. 

    Total kerugian itu bersumber dari beberapa komponen yakni Kerugian Ekspor Minyak Mentah Dalam Negeri sekitar Rp35 triliun; Kerugian Impor Minyak Mentah melalui DMUT/Broker sekitar Rp2,7 triliun; Kerugian Impor BBM melalui DMUT/Broker sekitar Rp9 triliun; Kerugian Pemberian Kompensasi (2023) sekitar Rp126 triliun; Kerugian Pemberian Subsidi (2023) sekitar Rp21 triliun. 

    Para tersangka dijerat dengan Pasal 2 Ayat 1 Juncto Pasal 3 Juncto Pasal 18 UU Tipikor Juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP. Kerugian negara akibat dugaan korupsi ini sekitar Rp193,7 triliun.

    Terpisah, PT Pertamina (Persero) mengaku menghormati Kejaksaan Agung menjalankan tugas serta kewenangannya dalam proses hukum yang tengah berjalan pada kasus tindak pidana korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang perusahaan periode 2018-2023. 

    “Pertamina siap bekerja sama dengan aparat berwenang dan berharap proses hukum dapat berjalan lancar dengan tetap mengedepankan asas hukum praduga tak bersalah,” ujar VP Corporate Communication Pertamina Fadjar Djoko Santoso dalam keterangan resmi, Selasa (25/2).

    Fadjar menegaskan Pertamina Grup menjalankan bisnis dengan berpegang pada komitmen sebagai perusahaan yang menjalankan prinsip transparansi dan akuntabilitas sesuai dengan Good Corporate Governance (GCG) serta peraturan berlaku.(tribun network/fhm/dod)

  • Modus Korupsi Tata Kelola Minyak Mentah yang Rugikan Negara Rp 193,7 Triliun

    Modus Korupsi Tata Kelola Minyak Mentah yang Rugikan Negara Rp 193,7 Triliun

    Jakarta, Beritasatu.com – Kejaksaan Agung (Kejagung) mengungkapkan modus operandi kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang pada PT Pertamina Subholding dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) periode 2018-2023. Kasus tersebut menyebabkan negara rugi mencapai Rp193,7 triliun.

    Direktur Penyidikan pada Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung Abdul Qohar dalam keterangan persnya pada Senin (24/2/2025) malam menyebutkan, telah menetapkan tujuh tersangka. Mereka yaitu, yakni berinisial RS selaku direktur utama PT Pertamina Patra Niaga, SDS selaku direktur Feedstock dan Product Optimization PT Kilang Pertamina Internasional, dan YF dari PT Pertamina International Shipping.

    Kemudian, AP selaku VP Feedstock Management PT Kilang Pertamina Internasional, MKAN selaku beneficial owner PT Navigator Khatulistiwa, DW selaku komisaris PT Navigator Khatulistiwa sekaligus komisaris PT Jenggala Maritim, dan GRJ selaku komisaris PT Jenggala Maritim, dan direktur utama PT Orbit Terminal Merak.

    Qohar menjelaskan, kerugian negara yang diakibatkan dari dugaan kasus tersebut berasal dari berbagai komponen, yaitu kerugian ekspor minyak mentah dalam negeri, kerugian impor minyak mentah melalui broker, kerugian impor bahan bakar minyak (BBM) melalui broker, dan kerugian dari pemberian kompensasi serta subsidi.

    Menurut dia, pada periode 2018-2023, pemenuhan minyak mentah dalam negeri wajib mengutamakan pasokan minyak bumi dari dalam negeri. PT Pertamina (Persero) pun wajib mencari pasokan minyak bumi yang berasal dari kontraktor dalam negeri sebelum merencanakan impor minyak bumi.

    Perintah tersebut tertuang Pasal 2 dan Pasal 3 Peraturan Menteri ESDM Nomor 42 Tahun 2018 yang mengatur prioritas pemanfaatan minyak bumi untuk pemenuhan kebutuhan di dalam negeri. Namun,

    Namun, ujar Qohar, tersangka RS, SDS, dan AP melakukan pengondisian dalam rapat optimalisasi hilir yang dijadikan dasar untuk menurunkan produksi kilang sehingga produksi minyak bumi dalam negeri tidak terserap seluruhnya.

    Pengondisian kasus dugaan korupsi tata niaga minyak mentah yang melibatkan anak usaha Pertamina tersebut membuat pemenuhan minyak mentah maupun produk kilang dilakukan dengan cara impor.

    Qohar menambahkan, pada saat produksi kilang minyak sengaja diturunkan, produksi minyak mentah dalam negeri oleh Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) juga sengaja ditolak dengan alasan spesifikasi tidak sesuai dan tidak memenuhi nilai ekonomis. Maka, secara otomatis bagian KKKS untuk dalam negeri harus diekspor ke luar negeri.

    Kemudian, untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, PT Kilang Pertamina Internasional melakukan impor minyak mentah dan PT Pertamina Patra Niaga melakukan impor produk kilang.

    “Harga pembelian impor tersebut apabila dibandingkan dengan harga produksi minyak bumi dalam negeri terdapat perbandingan komponen harga yang sangat tinggi atau berbeda harga yang sangat signifikan,” jelas Qohar.

    Dia menjelaskan, penyidik Kejagung mendapatkan fakta adanya perbuatan jahat antara penyelenggara negara, yakni subholding Pertamina, dengan broker. Hal itu terungkap dari kegiatan pengadaan impor minyak mentah oleh PT Kilang Pertamina Internasional dan produk kilang oleh PT Pertamina Patra Niaga.

    “Tersangka RS, SDS dan AP memenangkan broker minyak mentah dan produk kilang secara melawan hukum,” ucapnya.

    Qohar melanjutkan, tersangka DW dan tersangka GRJ melakukan komunikasi dengan tersangka AP agar bisa memperoleh harga tinggi pada saat syarat belum terpenuhi. Selain itu, DW dan GRJ juga mendapatkan persetujuan dari tersangka SDS untuk impor minyak mentah dan dari tersangka RS untuk produk kilang.

    Akibat kecurangan tersebut, komponen harga dasar yang dijadikan acuan untuk penetapan harga indeks pasar (HIP) BBM untuk dijual kepada masyarakat menjadi lebih tinggi. HIP tersebut yang kemudian dijadikan dasar pemberian kompensasi maupun subsidi BBM setiap tahun melalui APBN.

    Akibatnya, negara mengalami kerugian keuangan sebesar Rp193,7 triliun. Namun, Qohar menegaskan, jumlah tersebut adalah nilai perkiraan sementara dari penyidik.

    Kejagung menyebut nilai kerugian kasus dugaan korupsi tata niaga minyak mentah yang melibatkan anak usaha Pertamina yang pasti sedang dalam proses penghitungan bersama para ahli.

  • Dirut Pertamina Patra Niaga Riva Siahaan Tersangka, BBM Masih Aman?

    Dirut Pertamina Patra Niaga Riva Siahaan Tersangka, BBM Masih Aman?

    Jakarta, Beritasatu.com – PT Pertamina (Persero) menyampaikan kondisi kegiatan operasional layanan di sektor hilir perdagangan bahan bakar minyak (BBM) setelah ditetapkannya Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga Riva Siahaan (RS) sebagai tersangka dugaan korupsi oleh Kejaksaan Agung (Kejagung)

    Sebagai informasi, Pertamina Patra Niaga merupakan anak usaha Pertamina yang bergerak di bidang perdagangan olahan minyak bumi.

    Vice President Corporate Communication Pertamina Fadjar Djoko Santoso menyampaikan, perseroan menghormati Kejaksaan Agung dan aparat penegak hukum yang menjalankan tugas serta kewenangannya dalam proses hukum yang tengah berjalan di sejumlah subholding Pertamina.

    Di tengah proses tersebut, Pertamina memastikan layanan distribusi energi kepada masyarakat di seluruh Indonesia tetap berjalan lancar dan optimal.  Fadjar melanjutkan, Pertamina berkomitmen menyediakan layanan energi untuk menopang kebutuhan harian masyarakat.

    “Pertamina menjamin pelayanan distribusi energi kepada masyarakat tetap menjadi prioritas utama dan berjalan normal seperti biasa,” jelas Fadjar dalam keterangan resminya, Selasa (25/2/2025).

    Fadjar melanjutkan, Pertamina Grup menjalankan bisnis dengan berpegang pada komitmen sebagai perusahaan yang menjalankan prinsip transparansi dan akuntabilitas sesuai dengan good corporate governance (GCG) serta peraturan berlaku.

    Lebih lanjut, Fadjar mengungkapkan, Pertamina siap bekerja sama dengan aparat berwenang dan berharap proses hukum dapat berjalan lancar dengan tetap mengedepankan asas hukum praduga tak bersalah.

    Sebelumnya diberitakan, Kejagung menetapkan tujuh tersangka kasus dugaan korupsi dalam tata kelola minyak mentah dan produk kilang pada PT Pertamina Subholding dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) 2018–2023.

    “Berdasarkan keterangan saksi, keterangan ahli, bukti dokumen yang telah disita secara sah, tim penyidik pada malam hari ini menetapkan tujuh orang sebagai tersangka,” kata Direktur Penyidikan pada Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung Abdul Qohar di gedung Kejaksaan Agung, Jakarta Selatan, Senin (25/2/2025) malam.

    Dikutip dari Antara, ketujuh tersangka, yakni berinisial RS selaku direktur utama PT Pertamina Patra Niaga, SDS selaku direktur Feedstock dan product optimization PT Kilang Pertamina Internasional, dan YF dari PT Pertamina International Shipping.

    Lalu, AP selaku VP Feedstock Management PT Kilang Pertamina Internasional, DW selaku komisaris PT Navigator Khatulistiwa sekaligus komisaris PT Jenggala Maritim, MKAN selaku beneficial owner PT Navigator Khatulistiwa, dan GRJ selaku komisaris PT Jenggala Maritim, dan direktur utama PT Orbit Terminal Merak.

    Ketujuh tersangka korupsi tersebut akan ditahan selama 20 hari ke depan untuk proses pemeriksaan terhitung sejak Senin (24/2/2025), termasuk Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga Riva Siahaan.

  • Pertamina Pastikan Pertamax yang Beredar di Masyarakat Bukan Oplosan

    Pertamina Pastikan Pertamax yang Beredar di Masyarakat Bukan Oplosan

    Bisnis.com, JAKARTA — PT Pertamina (Persero) memastikan bahwa Pertamax (RON 92) yang beredar di masyarakat bukan BBM oplosan.

    Hal ini merespons kegaduhan masyarakat di media sosial yang menyebut Pertamax yang dibeli sebenarnya berkualitas RON 90 atau setara Pertalite.

    Tudingan masyarakat itu tak lepas dari kasus dugaan tindak pidana korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang yang melibatkan subholding Pertamina dan kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) tahun 2018—2023.

    Dalam kasus tersebut, salah satu tersangka, RS selaku direktur utama PT Pertamina Patra Niaga diduga seolah-olah melakukan impor produk kilang RON 92. Namun, setelah diusut ternyata RS diduga malah membeli bahan bakar dengan oktan minimum sebesar 90 atau sejenis Pertalite. 

    Produk kilang itu kemudian dicampur sedemikian rupa untuk menjadi RON 92 atau sejenis Pertamax.

    Terkait hal ini, VP Corporate Communication Pertamina Fadjar Djoko Santoso menegaskan kualitas BBM yang dijual ke masyarakat sesuai dengan ketentuan dari Direktorat Jenderal (Ditjen) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).

    Dengan kata lain, Pertamax yang dibeli masyarakat tetap dengan kualitas RON 92.

    “Bisa kami pastikan bahwa produk yang sampai ke masyarakat itu sesuai dengan speknya masing-masing. RON 92 [adalah] Pertamax, RON 90 adalah Pertalite,” kata Fadjar di Gedung DPD, Jakarta, Selasa (25/2/2025).

    Dia juga memastikan tidak ada praktik pengoplosan BBM untuk menjadi Pertamax yang dijual ke masyarakat. Fadjar menyebut yang menjadi pokok pemeriksaan dari Kejaksaan Agung adalah praktik impor RON 90 yang seharusnya RON 92.

    “Jadi bukan adanya oplosan sehingga mungkin narasi yang keluar yang tersebar sehingga ada misinformasi di situ,” ucap Fadjar.

    Sebelumnya, Kejaksaan Agung menetapkan tujuh tersangka dalam kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang. Ketujuh tersangka yang telah ditahan itu adalah Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga Riva Siahaan, Direktur Utama PT Pertamina International Shipping Yoki Firnandi, Direktur Optimalisasi dan Produk Pertamina Kilang Internasional Sani Dinar Saifuddin.

    Selain itu, tersangka lainnya adalah Agus Purwono selaku Vice President Feedstock Manajemen pada PT Kilang Pertamina Internasional, Gading Ramadhan Joedo selaku Direktur Utama PT Orbit Terminal Merak sekaligus Komisaris PT Jenggala Maritim Nusantara, DW selaku Komisaris PT Navigator Khatulistiwa sekaligus Komisaris PT Jenggala Maritim Nusantara dan MKAN selaku Beneficial Owner PT Navigator Khatulistima.

    Adapun, perkara korupsi tersebut bermula ketika pemerintah mengeluarkan Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 42 Tahun 2018 yang mengatur ihwal prioritas pemanfaatan minyak bumi untuk pemenuhan kebutuhan dalam negeri. Para tersangka diduga malah mengakali aturan tersebut.

    “Namun, berdasarkan fakta penyidikan yang didapat, tiga tersangka yaitu RS, SDS, dan AP melakukan pengondisian dalam Rapat Optimalisasi Hilir atau OH yang dijadikan dasar untuk menurunkan produksi kilang sehingga produksi minyak bumi di dalam negeri tidak terserap seluruhnya,” tutur Qohar.

  • Direksi Subholding Jadi Tersangka, Ini Langkah Pertamina

    Direksi Subholding Jadi Tersangka, Ini Langkah Pertamina

    Bisnis.com, JAKARTA — Pertamina mendukung upaya penegakan hukum yang dilakukan oleh penyidik Kejaksaan Agung alias Kejagung yang telah menetapkan sejumlah pejabat subholding-nya sebagai tersangka.

    Pejabat subholding tersebut antara lain, Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga Riva Siahaan, Direktur Utama PT Pertamina International Shipping Yoki Firnandi, serta Direktur Optimalisasi dan Produk Pertamina Kilang Internasional, Sani Dinar Saifuddin.

    Selain itu, ada nama Agus Purwono selaku Vice President Feedstock Manajemen pada PT Kilang Pertamina Internasional.

    VP Corporate Communication Pertamina Fadjar Djoko Santoso mengatakan bahwa pihaknya akan menghormati proses hukum yang tengah berjalan di Kejaksaan Agung.

    Dia juga mengatakan Pertamina sudah siap bekerja sama dengan aparat berwenang dan berharap proses hukum dapat berjalan lancar dengan tetap mengedepankan asas hukum praduga tak bersalah.

    “Pertamina Grup menjalankan bisnis dengan berpegang pada komitmen sebagai perusahaan yang menjalankan prinsip transparansi dan akuntabilitas sesuai dengan Good Corporate Governance [GCG] serta peraturan berlaku,” ujarnya dilansir, Selasa (25/2/2025).

    Adapun, Kejaksaan Agung mengungkap kronologi perkara dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang pada Pertamina Subholding dan Kontraktor Kontrak Kerja sama (KKKS) tahun 2018-2023.

    Direktur Penyidikan Kejaksaan Agung, Abdul Qohar mengemukakan berdasarkan aturan Pasal 2 dan Pasal 3 pada Peraturan Menteri ESDM, Nomor 42 Tahun 2018, PT Pertamina diwajibkan mencari pasokan minyak bumi yang berasal dari kontraktor dalam negeri sebelum impor minyak bumi.

    “Namun berdasarkan fakta penyidikan yang didapat, tiga tersangka yaitu RS, SDS, dan AP melakukan pengondisian dalam Rapat Optimalisasi Hilir atau OH yang dijadikan dasar untuk menurunkan produksi kilang sehingga produksi minyak bumi di dalam negeri tidak terserap seluruhnya,” tutur Qohar di Kejaksaan Agung Jakarta, Senin (24/2/2025).

    Kemudian, dari rapat pengkondisian itu, kata Qohar, akhirnya pemenuhan minyak mentah maupun produk kilang dilakukan dengan cara impor. 

    “Pada saat produksi kilang minyak sengaja diturunkan, maka produksi minyak mentah dalam negeri oleh KKKS sengaja ditolak,” katanya.

    Dia membeberkan alasan penolakan itu di antaranya pertama produksi minyak mentah oleh KKKS tidak memenuhi nilai ekonomis, padahal harga yang ditawarkan oleh KKKS masih masuk range harga HBS. Kedua, produksi minyak mentah KKKS dilakukan penolakan dengan alasan spesifikasi tidak sesuai dengan spek. 

    “Namun faktanya minyak mentah bagian negara masih sesuai dengan spek kilang dan dapat diolah atau dihilangkan kadar merkuri atau sulfurnya,” ujarnya.

    Melalui dua alasan tersebut, PT Pertamina kemudian menjadikan landasan itu untuk melakukan impor minyak mentah dari luar negeri dalam rangka memenuhi kebutuhan di dalam negeri.

    “Jadi saya mau perjelas pada saat KKKS mengekspor bagian minyaknya karena tidak dibeli oleh PT Pertamina, maka pada saat yang sama, PT Pertamina juga mengimpor minyak mentah dan produk kilang,” tutur Qohar.

  • Kronologi Dugaan Korupsi Minyak Mentah Pertamina Rp193,7 Triliun, Seret Anak Riza Chalid

    Kronologi Dugaan Korupsi Minyak Mentah Pertamina Rp193,7 Triliun, Seret Anak Riza Chalid

    Bisnis.com, JAKARTA – Kejaksaan Agung (Kejagung) mengungkap kasus dugaan korupsi dalam tata kelola minyak mentah dan produk kilang pada PT Pertamina Subholding dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) tahun 2018–2023 menyebabkan kerugian keuangan negara sebesar Rp193,7 triliun.

    “Beberapa perbuatan melawan hukum tersebut telah mengakibatkan adanya kerugian keuangan negara sekitar Rp193,7 triliun,” kata Direktur Penyidikan pada Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung Abdul Qohar Senin (24/2/2025) malam.

    Kerugian tersebut, kata dia, berasal dari berbagai komponen antara lain kerugian ekspor minyak mentah dalam negeri, kerugian impor minyak mentah melalui broker, kerugian impor bahan bakar minyak (BBM) melalui broker dan kerugian dari pemberian kompensasi serta subsidi.

    Qohar menjelaskan posisi kasus ini terjadi pada periode tahun 2018–2023, pemenuhan minyak mentah dalam negeri wajib mengutamakan pasokan minyak bumi dari dalam negeri.

    Awalnya, PT Pertamina (Persero) pun wajib mencari pasokan minyak bumi yang berasal dari kontraktor dalam negeri sebelum merencanakan impor minyak bumi.

    Hal tersebut diatur dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Peraturan Menteri ESDM Nomor 42 Tahun 2018 yang mengatur prioritas pemanfaatan minyak bumi untuk pemenuhan kebutuhan di dalam negeri.

    Akan tetapi, ujar Qohar, tersangka RS, SDS dan AP melakukan pengondisian dalam rapat optimalisasi hilir yang dijadikan dasar untuk menurunkan produksi kilang sehingga produksi minyak bumi dalam negeri tidak terserap seluruhnya.

    Pengondisian tersebut membuat pemenuhan minyak mentah maupun produk kilang dilakukan dengan cara impor. Menurut Kejagung, saat produksi kilang minyak sengaja diturunkan, produksi minyak mentah dalam negeri oleh Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) juga sengaja ditolak dengan alasan spesifikasi tidak sesuai dan tidak memenuhi nilai ekonomis. Maka, secara otomatis bagian KKKS untuk dalam negeri harus diekspor ke luar negeri.

    Kemudian, untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, PT Kilang Pertamina Internasional melakukan impor minyak mentah dan PT Pertamina Patra Niaga melakukan impor produk kilang.

    “Harga pembelian impor tersebut apabila dibandingkan dengan harga produksi minyak bumi dalam negeri terdapat perbandingan komponen harga yang sangat tinggi atau berbeda harga yang sangat signifikan,” ucapnya. 

    Dalam kegiatan pengadaan impor minyak mentah oleh PT Kilang Pertamina Internasional dan produk kilang oleh PT Pertamina Patra Niaga, diperoleh fakta adanya perbuatan jahat antara penyelenggara negara, yakni subholding Pertamina dengan broker.

    “Tersangka RS, SDS dan AP memenangkan broker minyak mentah dan produk kilang secara melawan hukum,” ucapnya.

    Selain itu, lanjut dia, tersangka DW dan tersangka GRJ melakukan komunikasi dengan tersangka AP agar bisa memperoleh harga tinggi pada saat syarat belum terpenuhi dan mendapatkan persetujuan dari tersangka SDS untuk impor minyak mentah serta dari tersangka RS untuk produk kilang.

    Akibat kecurangan tersebut, komponen harga dasar yang dijadikan acuan untuk penetapan harga indeks pasar (HIP) BBM untuk dijual kepada masyarakat menjadi lebih tinggi yang kemudian HIP tersebut dijadikan dasar pemberian kompensasi maupun subsidi BBM setiap tahun melalui APBN.

    Akibatnya, negara mengalami kerugian keuangan sebesar Rp193,7 triliun. Akan tetapi, jumlah tersebut adalah nilai perkiraan sementara dari penyidik. Kejagung menyebut bahwa nilai kerugian yang pasti sedang dalam proses penghitungan bersama para ahli.

    Diketahui, Kejagung pada Senin (24/2) malam menetapkan tujuh tersangka baru dalam kasus ini, yaitu RS selaku Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga, SDS selaku Direktur Feedstock dan Product Optimization PT Kilang Pertamina Internasional, dan YF selaku PT Pertamina International Shipping.

    Lalu, AP selaku VP Feedstock Management PT Kilang Pertamina Internasional, MKAR selaku beneficial owner PT Navigator Khatulistiwa, DW selaku Komisaris PT Navigator Khatulistiwa sekaligus Komisaris PT Jenggala Maritim, dan GRJ selaku Komisaris PT Jenggala Maritim dan Direktur Utama PT Orbit Terminal Merak.

    Para tersangka disangkakan Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 3 jo. Pasal 18 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

    Tata Kelola Minyak Mentah

    Salah satu tersangka kasus korupsi tata kelola minyak mentah diduga merupakan anak dari saudagar minyak Mohammad Riza Chalid atau Reza Chalid.

    Tersangka itu bernama Muhammad Kerry Andrianto Riza (MKAR) selaku Beneficil Owner PT Navigator Khatulistiwa. Muhammad Kerry Andrianto Riza merupakan anak pertama dari Mohammad Riza Chalid.

    “Betul [MKAR anak Riza Chalid],” ujar Jampidsus Febrie Adriansyah ketika dikonfirmasi Bisnis, Selasa (25/2/2025). 

    MKAR menjadi tersangka kasus tata kelola minyak mentah dan produk kilang pada Pertamina Subholding dan Kontraktor Kontrak Kerja sama (KKKS) tahun 2018—2023 bersama enam tersangka lainnya.

    Keenam tersangka lainnya adalah Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga Riva Siahaan, lalu Direktur Utama PT Pertamina International Shipping Yoki Firnandi, Direktur Optimalisasi dan Produk Pertamina Kilang Internasional Sani Dinar Saifuddin.

    Selain itu, tersangka lainnya adalah Agus Purwono selaku Vice President Feedstock Manajemen pada PT Kilang Pertamina Internasional, Gading Ramadhan Joedo selaku Direktur Utama PT Orbit Terminal Merak sekaligus Komisaris PT Jenggala Maritim Nusantara dan Dimas Werhaspati selaku Komisaris PT Navigator Khatulistiwa sekaligus Komisaris PT Jenggala Maritim Nusantara.