Produk: minyak bumi

  • Sri Mulyani Targetkan Pertumbuhan 5,8% di 2026, DPR Ingatkan Risiko Eksternal

    Sri Mulyani Targetkan Pertumbuhan 5,8% di 2026, DPR Ingatkan Risiko Eksternal

    Jakarta (beritajatim.com) – Pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi nasional di kisaran 5,2–5,8 persen pada 2026 sebagaimana disampaikan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam sidang paripurna DPR RI pada Senin, 20 Mei 2025. Penyampaian asumsi makro dan kebijakan fiskal RAPBN 2026 ini bertepatan dengan peringatan Hari Kebangkitan Nasional.

    Dalam pemaparan tersebut, selain pertumbuhan ekonomi, pemerintah juga mengajukan asumsi inflasi sebesar 1,5–3,5 persen, nilai tukar rupiah Rp16.500–Rp16.900 per dolar AS, serta suku bunga SBN 6,6–7,2 persen. Sementara harga minyak mentah Indonesia (ICP) dipatok pada kisaran USD 60–80 per barel, dengan target lifting minyak bumi 600–605 ribu barel per hari, dan lifting gas bumi 953–1017 ribu barel setara minyak per hari.

    Namun, Ketua Badan Anggaran DPR RI Said Abdullah mengingatkan bahwa target tersebut perlu dicermati dengan lebih realistis mengingat berbagai tantangan yang sedang dan akan dihadapi. Salah satunya adalah dampak perang tarif yang mengguncang perdagangan global dan mendorong praktik proteksionisme.

    “Kebijakan perang tarif telah mengguncang tata perdagangan global. Dan memperhadapkan perdagangan global dalam situasi yang proteksionis, yang sesungguhnya berlawanan dengan prinsip dan komitmen dari kerjasama perdagangan regional dan global yang mutualistik,” ujarnya.

    Ia juga menggarisbawahi bahwa pada tahun 2025 pemerintah menghadapi risiko shortfall pajak akibat menurunnya harga komoditas ekspor, tekanan terhadap sektor manufaktur, dan lesunya konsumsi rumah tangga. Kondisi ini diperkirakan akan berlanjut pada tahun depan dan dapat mengganggu pencapaian target pendapatan negara.

    “Pendapatan negara menjadi pilar penting untuk memastikan penganggaran berbagai program strategis, termasuk untuk pemenuhan kewajiban pembayaran pokok dan bunga utang yang jatuh tempo di tahun depan yang sangat besar,” tegas Said.

    Untuk itu, pemerintah diminta menetapkan target pendapatan yang realistis-optimistis, disertai dengan kebijakan ekstensifikasi perpajakan, antara lain melalui optimalisasi cukai, tarif minerba, dan sektor digital. Pemberlakuan sistem administrasi pajak berbasis core tax system juga dinilai perlu mempertimbangkan kesiapan literasi wajib pajak serta jaminan keamanan sistem.

    Selain aspek fiskal, DPR juga menyoroti lambatnya realisasi program ketahanan pangan dan energi. Program redistribusi lahan dinilai belum berjalan optimal, sementara sektor pertanian justru mengalami disrupsi dari sisi lahan, tenaga kerja, dan teknologi.

    Pemerintah didesak untuk menuntaskan redistribusi 4,5 juta hektare lahan bagi petani dan perkebunan rakyat, serta meningkatkan adopsi teknologi modern di sektor pertanian. Hal serupa juga berlaku untuk sektor energi, di mana pembangunan lima kilang minyak nasional termasuk proyek petrokimia di Tuban masih belum tuntas.

    Di sektor industri, DPR mencatat adanya pelemahan signifikan yang berdampak pada menyusutnya kelas menengah. Data BPS menunjukkan penurunan jumlah penduduk kelas menengah dari 57,33 juta orang pada 2019 menjadi 47,85 juta pada 2024, atau turun sebanyak 9,48 juta orang.

    “Pemerintah perlu merevitalisasi sektor industri dengan menyiapkan ekosistem industri yang menopangnya seperti tenaga kerja, dukungan pendanaan, riset dan pengembangan teknologi, serta dukungan fiskal,” tambah Said.

    Meski pemerintah mengklaim telah menyusun delapan program strategis nasional untuk 2026, DPR menilai target penurunan tingkat pengangguran dan gini rasio dalam RAPBN masih belum menunjukkan progres yang signifikan. Target tingkat pengangguran 4,44–4,96 persen dan gini rasio 0,377–0,380 dinilai tidak cukup untuk menunjukkan keberpihakan pada penciptaan lapangan kerja dan pengurangan kesenjangan sosial. [beq]

  • Terkuak! Ini Biang Kerok Pengembangan Industri Semikonduktor RI Tersendat

    Terkuak! Ini Biang Kerok Pengembangan Industri Semikonduktor RI Tersendat

    Bisnis.com, JAKARTA — Ekosistem industri chip atau semikonduktor di dalam negeri menghadapi sejumlah kendala yang menghambat pengembangannya. Lantas, apa saja kendalanya?

    Guru Besar FEB UI Telisa Aulia Falianty mengatakan pengembangan industri chip tidak hanya terkendala kebutuhan investasi besar. Kendala utamanya justru keandalan sumber daya manusia (SDM) atau tenaga ahli terampil yang masih minim untuk sektor tersebut.  

    Telisa menuturkan pengembangan industri chip harus segera dilakukan untuk jangka panjang. Apalagi, saat ini Indonesia masih cukup tertinggal dari negara tetangga seperti Malaysia dan Vietnam yang sudah mampu memproduksi sendiri. 

    “Tapi memang kita harus punya SDM-nya ya, kita masih cukup lemah dari sisi SDM, bagaimana penyiapan SDM-nya terus juga belajar teknologinya, patennya karena semikonduktor ini ada patennya,” kata Telisa kepada Bisnis, Selasa (6/5/2025). 

    Dalam hal ini, Telisa menilai Indonesia sudah tertinggal cukup jauh dibandingkan Malaysia dan Vietnam yang sudah lebih maju dalam pengembangan semikonduktornya. Padahal, industri chip juga menjadi bahan krusial untuk kemandirian industri nasional.

    Pasalnya, industri chip banyak digunakan oleh berbagai sektor seperti elektronik, telekomunikasi termasuk komputer, smartphone, otomotif, hingga penggunaan untuk robotic dan AI. 

    “Jadi sangat penting dan krusial semikonduktor ini sbg bagian dari global value chain (gvc),” tuturnya. 

    Oleh karena itu, Telisa menyebut, Indonesia harus segera berpartner dengan negara pengembang semikonduktor, tak hanya sebagai mitra investor atau pendanaan industri, melainkan mitra transfer teknologi dan pengembangan riset. 

    “Iya, tax insentif sangat penting dan iklim regulasi yang kondusif. Jadi dukungan awal APBN untuk menyiapkan SDM dan tax allowance,” ujarnya. 

    Untuk diketahui, dari RPJMN 2025-2029 dan Asta Cita terdapat rumusan dari Kementerian Investasi terkait sembilan sektor investasi prioritas, termasuk semikonduktor. 

    Pemerintah menilai semikonduktor di Indonesia berpeluang besar, karena bahan bakunya tersedia di tanah air, seperti silika, lembaga, bauksit, dan emas.

    Indonesia memiliki pasir kuarsa SiO2 dengan potensi 27 miliar ton dan cadangan 330 juta ton yang tersebar di 23 provinsi. Dari pasir kuarsa diolah menjadi silikon sebagai bahan utama chip semikonduktor. 

    Bahkan, semikonduktor sempat disebut sebagai merupakan minyak bumi baru dengan nilai pasar US$592 miliar. Kendati demikian SDM yang terbatas, teknologi, dan infrastruktur yang kurang memadai masih menjadi tantangan. 

    Senada, Direktur Komersial PT Hartono Istana Teknologi atau Polytron, Tekno Wibowo mengatakan pabrik chip di Indonesia belum dapat dibangun lantaran investor masih menunggu tenaga ahli yang mumpuni. 

    “Bukan hanya bahan baku, kalau cuma bahan baku berarti cuka pabrik, kenapa yang lainnya gak bikin pabrik di Indonesia? Kalau Indonesia bisa. Alasan utama kenapa pabrik chip itu nggak memilih Indonesia, nomor satu karena gak ada sumber dayanya, gak ada chip desainernya,” jelasnya. 

    Ketiadaan SDM terampil juga akan menjadi hambatan ketika terjadi masalah dalam penggunaan. Dia juga menegaskan bahwa tenaga kerja atau SDM asing akan sangat mahal jika dibawa untuk pengembangan dalam negeri. 

    Saat ini tengah berupaya untuk menciptakan sumber daya manusia (SDM) yang mampu mengembangkan industri semikonduktor nasional lewat kerja sama dengan Indonesia Chip Design Collaborative Center (ICDEC). 

    “Kalau kita disuruh membangun pabrik cip di Indonesia enggak sanggup, enggak ada yang sanggup, pemerintah aja enggak sanggup untuk bikin itu, duitnya itu bisa untuk bikin satu pabrik itu bisa US$20-US$30 miliar,” kata Tekno.

    Untuk itu, Polytron saat ini belum mengarah pada pembangunan industri semikonduktor, melainkan melakukan riset dan pengembangan SDM dengan tujuan pembangunan pabrik cip di Indonesia.

  • Defisit Anggaran Melebar, Pengamat Beri Catatan soal Keamanan APBN

    Defisit Anggaran Melebar, Pengamat Beri Catatan soal Keamanan APBN

    Bisnis.com, JAKARTA — Kondisi fiskal negara menjadi sorotan sejumlah pengamat menyusul defisit anggaran yang terus melebar per Maret 2025.

    Dalam laporan perkembangan APBN 2025 per Maret 2025, Menteri Keuangan Sri Mulyani melaporkan bahwa pendapatan negara mencapai Rp516,1 triliun. Realisasi tersebut turun 16,8% secara tahunan atau year on year (YoY) dibandingkan dengan Rp620,01 triliun per Maret 2024.

    Turunnya pendapatan negara tersebut tak lepas dari kinerja dua sumber penerimaan yang masih belum pulih.

    Pertama, penerimaan perpajakan yang mencakup pajak serta kepabeanan dan cukai tercatat hanya mencapai Rp400,1 triliun atau turun 13,6% YoY daripada Rp462,91 triliun pada periode yang sama tahun sebelumnya.

    Kemudian penerimaan negara bukan pajak (PNBP) turun 26,03% YoY dari Rp156,7 triliun menjadi Rp115,9 triliun per Maret 2025.

    Kontras dengan penurunan penerimaan, besaran belanja negara justru tumbuh dan mencapai Rp620,3 triliun per Maret 2025, 1,34% YoY dari Rp611,94 per Maret 2024. Akibatnya, terjadi defisit anggaran sebesar 0,43% atau setara Rp104,2 triliun per Maret 2025.

    Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Mohammad Faisal mengaku cukup khawatir dengan perkembangan fiskal tersebut. Dia mencatat bahwa kondisi defisit anggaran di awal tahun hanya terjadi ketika sedang terjadi krisis, misalnya seperti pada masa pandemi Covid-19.

    “Untuk itu makanya perlu pemerintah memperbaiki manajemen kebijakannya,” ujar Faisal kepada Bisnis, Kamis (1/5/2025).

    Apalagi, sambungnya, belakangan muncul berbagai tantangan yang tak hanya datang dari dalam negeri, tetapi juga eksternal. Faisal meyakini perlunya upaya ekstra dalam menambah pendapatan negara sekaligus manajemen pengeluaran yang lebih selektif.

    Terkait pendapatan, dia menilai perlunya pemerintah meningkatkan penerimaan pajak terutama dari kelompok masyarakat menengah-atas.

    “Jadi artinya progresivitas dalam pengumpulan pajak, itu satu yang menjadi penting. Yang kedua juga adalah sistem pengumpulan pajak yang lebih efisien dan dimudahkan para pembayar pajak, tidak malah menyusahkan,” jelasnya.

    Sedangkan dari sisi pengeluaran, Faisal menekankan belanja pemerintah harus lebih efektif terutama difokuskan ke program yang bisa mendorong pertumbuhan ekonomi dan menciptakan lapangan kerja.

    Dia mendukung upaya efisiensi anggaran yang diinstruksikan Presiden Prabowo Subianto. Namun, realita di lapangan dinilai Faisal justru memperlihatkan adanya pengalihan, alih-alih pencegahan kebocoran dan mark ap anggaran. Alhasil, langkah yang diambil pemerintah justru menurunkan pertumbuhan di satu sektor ke sektor lain.

    “Nah, hal yang perlu diperhatikan menurut saya adalah memperkuat dari sisi pengelolaan, governance, pembelanjaan dari anggaran negara, jangan sampai malah banyak terjadi kebocoran yang tidak diinginkan, meminimalisir terjadinya korupsi,” tutupnya.

    Sementara itu, Pengajar Ilmu Administrasi Fiskal Universitas Indonesia (UI) Prianto Budi Saptono menilai perkembangan realisasi APBN masih aman, meskipun harus tetap diwaspadai.

    Dia menekankan otoritas harus bisa menjaga pertumbuhan ekonomi dan konsumsi dalam negeri sehingga penerimaan pajak bisa meningkat sehingga memperlebar ruang fiskal pemerintah.

    Bagaimanapun, sambungnya, pertumbuhan ekonomi akan membuka lebih banyak lapangan kerja sehingga memberi dampak positif kepada daya beli dan setoran PPh 21 atau pajak karyawan.

    Selain itu, Prianto menilai pemerintah harus mencermati volatilitas usaha sektor pertambangan seperti tembaga dan bijih logam.

    “Sumbangan positif dari sektor tersebut di Januari–Maret 2025 harus tetap dijaga,” katanya.

    Terpisah, Manajer Riset Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar menilai pemerintah masih mempunyai tugas berat ke depan, terutama menghadapi ancaman penerapan tarif resiprokal oleh Presiden AS Donald Trump. Kebijakan tersebut diyakini akan memperlambat perekonomian global.

    Hal ini tecermin dari laporan terbaru IMF dan Bank Dunia yang menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia dari 5,1% menjadi 4,7% pada 2025.

    “Jika realisasi pertumbuhan ekonomi jauh dari yang diasumsikan dalam APBN maka ada peningkatan risiko pelebaran shortfall penerimaan dan membuat target penerimaan pajak makin sulit untuk dikejar,” kata Fajri, Kamis (1/5/2025).

    Belum lagi beberapa harga komoditas energi seperti batu bara dan minyak bumi diperkirakan akan turun lebih dari 20% dibandingkan tahun lalu, hal ini berisiko mengerek turun pemasukan negara dari bea keluar hingga PNBP.

    Fajri turut mengkhawatirkan risiko eskalasi perang dagang antara AS dan China. Salah satunya adalah meningkatnya impor produk asal China ke dalam negeri, sehingga menambah tekanan pada sektor manufaktur.

    “Pada akhirnya berdampak pada kontribusi penerimaan pajak dari sektor pengolahan. Terlihat, dalam tiga tahun terakhir kontribusi penerimaan pajak dari sektor pengolahan terus menurun,” ujarnya.

    Meski demikian, dia melihat jika kondisi APBN pada tahun ini akan tetap aman selama dikelola secara teknokratis oleh orang yang tepat.

  • Gibran Sebut Ada 28 Komoditas untuk Hilirisasi, Potensi Rp 13 Ribu Triliun
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        25 April 2025

    Gibran Sebut Ada 28 Komoditas untuk Hilirisasi, Potensi Rp 13 Ribu Triliun Nasional 25 April 2025

    Gibran Sebut Ada 28 Komoditas untuk Hilirisasi, Potensi Rp 13 Ribu Triliun
    Penulis
    JAKARTA, KOMPAS.com 
    – Wakil Presiden
    Gibran Rakabuming
    Raka menyampaikan pemerintah sudah memetakan komoditas unggulan untuk
    hilirisasi
    yang berpotensi menghasilkan belasan ribu triliun rupiah untuk masa depan Indonesia.
    “Pemerintah sudah memetakan 28 komoditas unggulan yang potensinya bisa mencapai lebih dari Rp 13.000 triliun di tahun 2040,” kata Gibran di video berjudul ”
    Hilirisasi
    dan Masa Depan Indonesia” dalam kanal
    YouTube
    -nya dengan thumbnail “Hilirisasi Part 1”, Jumat (25/4/2025).
    Dia menekankan pentingnya hilirisasi untuk kemakmuran rakyat karena kekayaan alam mentah saja tidak cukup untuk memajukan ekonomi bila tidak diolah menjadi produk akhir.
    Inventarisasi komoditas untuk hilirisasi merupakan perintah Presiden
    Prabowo
    Subianto.
    “Satgas percepatan hilirisasi juga dibentuk tahun ini. Investasi juga terus digencarkan,” kata Gibran.
    Hilirisasi, kata dia, sudah sesuai dengan UUD 1945 yang mengatakan bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
    Kata putra sulung Presiden ke-7 RI Joko Widodo (Jokowi) ini, hilirisasi bukan cuma untuk pengusaha elite tapi juga untuk keadilan ekonomi rakyat.
    Dilansir ANTARA dari pemberitaan 11 Desember 2024, Menteri Investasi dan Hilirisasi/Kepala BKPM Rosan Roeslani menjelaskan saat itu bahwa 28 komoditas unggulan berasal dari delapan sektor utama meliputi mineral, batu bara, minyak bumi dan gas bumi, perkebunan, kelautan, perikanan dan kehutanan.
    28 Komoditas itu secara rinci terdiri dari komoditas mineral dan batu bara meliputi batu bara, nikel, timah, tembaga, bauksit, besi baja, emas perak, aspal buton, pasir silika, mangan, kobalt dan logam tanah jarang. Disusul sektor minyak dan gas bumi.
    Komoditas perkebunan berupa kelapa sawit, kelapa, karet, biofuel, cokelat dan pala. Sektor kehutanan meliputi kayu balok, getah pinus. Sektor perikanan meliputi udang, ikan tuna;cakalang dan tongkol (TCT), tilapia serta rajungan, sementara sektor kelautan yakni rumput laut dan garam.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Produksi Minyak RI Bisa Bangkit Lagi, Ini Datanya

    Produksi Minyak RI Bisa Bangkit Lagi, Ini Datanya

    Jakarta, CNBC Indonesia – Indonesia masih memiliki harapan untuk bisa meningkatkan produksi minyak bumi di dalam negeri. Buktinya, Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) mengungkapkan masih ada cekungan-cekungan minyak dan gas bumi (migas) yang belum tereksplorasi.

    Kepala Divisi Prospektivitas Migas dan Manajemen Data Wilayah Kerja SKK Migas Asnidar mengatakan, sejatinya Indonesia memiliki hingga 128 cekungan migas. Di mana, baru 20 cekungan diantaranya yang sudah berproduksi.

    Detilnya, ada 27 cekungan discovery, 5 cekungan terbukti dengan sistem petroleum, 3 cekungan indikasi hidrokarbon, 8 cekungan dengan data geologi dan geofisika, dan 65 cekungan belum tereksplorasi.

    “Nah, dari 128 (cekungan) ini hanya 20 basin yang sudah produksi. Kita akan tambah 21 basin produksi dengan onstreamnya nanti lapangan abadi dari WK Masela. Sehingga milestone masalah ini memang sangat ditunggu-tunggu oleh seluruh pelaku industri hulu migas,” terang Asnidar dalam Media Briefing IPA Convex, di Jakarta, Kamis (24/4/2025).

    Atas adanya cekungan itu, SKK Migas optimis terhadap peluang investasi sekaligus tambahan produksi sektor migas di dalam negeri.

    Produksi minyak RI

    Kepala SKK Migas, Djoko Siswanto mengatakan pihaknya mencatat realisasi produksi rata-rata minyak dan gas pada 2024 mencapai 1,79 juta barel setara minyak per hari (BOEPD).

    Dia mengungkapkan angka tersebut terdiri dari produksi rata-rata harian minyak sebesar 580.224 barel per hari (BOPD), dan gas bumi sebesar 5.481 juta standar kaki kubik per hari (MMSCFD).

    “Bapak-Ibu yang saya hormati, dapat kami laporkan di 20 KKKS terbesar dan KKKS selainnya kita kelompokkan di nomor 21 itu, realisasi tahun lalu adalah sebesar 580.224 barrels oil per day,” kata Djoko dalam Rapat Dengar Pendapat bersama Komisi XII DPR RI, Kamis (27/2/2025).

    Sementara itu, produksi rata-rata harian periode Januari-Februari 2025 tercatat sebesar 1,79 juta BOEPD. Terdiri dari minyak sebesar 577.649 dan produksi gas sebesar 6.839 MMSCFD.

    “Jadi, alhamdulillah karena kita memang saat ini banyak proyek-proyek gas, kita menemukannya adalah gas,” kata dia.

    Di sisi lain, Djoko membeberkan bahwa target lifting produksi migas Indonesia pada tahun 2025 yakni sebesar 1,61 juta BOEPD. Target ini terdiri dari 605 ribu barel minyak bumi dan gas sebesar 5.628 MMSCFD.

    “Nah, untuk 2025 APBN-nya adalah 605.000 barrels oil per day, sedangkan angka work program and budget itu 599.821. Ini yang sudah kami tanda tangani, kami setuju di KKKS masing-masing. Sehingga ada perbedaan sekitar 6.000 barrels oil per day, ini yang kita sering sebut filling the gap,” katanya.

    Sebagai informasi, produksi minyak adalah volume minyak yang dihasilkan dari perut bumi. Sedangkan lifting minyak sendiri merupakan volume minyak terangkut yang siap untuk dijual.

    (pgr/pgr)

  • Masih Ada Harapan Produksi Minyak RI Bisa Bangkit Lagi, Ini Datanya

    Masih Ada Harapan Produksi Minyak RI Bisa Bangkit Lagi, Ini Datanya

    Jakarta, CNBC Indonesia – Indonesia masih memiliki harapan untuk bisa meningkatkan produksi minyak bumi di dalam negeri. Buktinya, Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) mengungkapkan masih ada cekungan-cekungan minyak dan gas bumi (migas) yang belum tereksplorasi.

    Kepala Divisi Prospektivitas Migas dan Manajemen Data Wilayah Kerja SKK Migas Asnidar mengatakan, sejatinya Indonesia memiliki hingga 128 cekungan migas. Di mana, baru 20 cekungan diantaranya yang sudah berproduksi.

    Detilnya, ada 27 cekungan discovery, 5 cekungan terbukti dengan sistem petroleum, 3 cekungan indikasi hidrokarbon, 8 cekungan dengan data geologi dan geofisika, dan 65 cekungan belum tereksplorasi.

    “Nah, dari 128 (cekungan) ini hanya 20 basin yang sudah produksi. Kita akan tambah 21 basin produksi dengan onstreamnya nanti lapangan abadi dari WK Masela. Sehingga milestone masalah ini memang sangat ditunggu-tunggu oleh seluruh pelaku industri hulu migas,” terang Asnidar dalam Media Briefing IPA Convex, di Jakarta, Kamis (24/4/2025).

    Atas adanya cekungan itu, SKK Migas optimis terhadap peluang investasi sekaligus tambahan produksi sektor migas di dalam negeri.

    Produksi minyak RI

    Kepala SKK Migas, Djoko Siswanto mengatakan pihaknya mencatat realisasi produksi rata-rata minyak dan gas pada 2024 mencapai 1,79 juta barel setara minyak per hari (BOEPD).

    Dia mengungkapkan angka tersebut terdiri dari produksi rata-rata harian minyak sebesar 580.224 barel per hari (BOPD), dan gas bumi sebesar 5.481 juta standar kaki kubik per hari (MMSCFD).

    “Bapak-Ibu yang saya hormati, dapat kami laporkan di 20 KKKS terbesar dan KKKS selainnya kita kelompokkan di nomor 21 itu, realisasi tahun lalu adalah sebesar 580.224 barrels oil per day,” kata Djoko dalam Rapat Dengar Pendapat bersama Komisi XII DPR RI, Kamis (27/2/2025).

    Sementara itu, produksi rata-rata harian periode Januari-Februari 2025 tercatat sebesar 1,79 juta BOEPD. Terdiri dari minyak sebesar 577.649 dan produksi gas sebesar 6.839 MMSCFD.

    “Jadi, alhamdulillah karena kita memang saat ini banyak proyek-proyek gas, kita menemukannya adalah gas,” kata dia.

    Di sisi lain, Djoko membeberkan bahwa target lifting produksi migas Indonesia pada tahun 2025 yakni sebesar 1,61 juta BOEPD. Target ini terdiri dari 605 ribu barel minyak bumi dan gas sebesar 5.628 MMSCFD.

    “Nah, untuk 2025 APBN-nya adalah 605.000 barrels oil per day, sedangkan angka work program and budget itu 599.821. Ini yang sudah kami tanda tangani, kami setuju di KKKS masing-masing. Sehingga ada perbedaan sekitar 6.000 barrels oil per day, ini yang kita sering sebut filling the gap,” katanya.

    Sebagai informasi, produksi minyak adalah volume minyak yang dihasilkan dari perut bumi. Sedangkan lifting minyak sendiri merupakan volume minyak terangkut yang siap untuk dijual.

    (pgr/pgr)

  • BPOM AS Bakal Larang Bahan Makanan Ini karena Potensi Picu Tumor-Kanker

    BPOM AS Bakal Larang Bahan Makanan Ini karena Potensi Picu Tumor-Kanker

    Jakarta

    Badan Pengawas Obat dan Makanan AS (FDA) berencana untuk menghentikan penggunaan pewarna sintetis berbasis minyak bumi dalam pasokan makanan di negaranya buntut temuan masalah kesehatan. Komisaris FDA Dr. Marty Makary mengumumkan hal ini pada Selasa, (22/4/2025).

    “Selama 50 tahun terakhir, anak-anak Amerika semakin hidup dalam sup bahan kimia sintetis yang beracun,” kata Makary.

    “Sekarang, tidak ada satu pun bahan yang menyebabkan epidemi penyakit kronis pada anak-anak, dan jujur saja, menghilangkan pewarna makanan berbasis minyak bumi dari pasokan makanan bukanlah peluru ajaib yang akan langsung membuat anak-anak Amerika sehat, tetapi itu adalah satu langkah penting.”

    Pewarna tersebut biasa ditemukan dalam banyak makanan, seperti permen, sereal, minuman, dan bahkan dalam beberapa obat. Perusahaan menggunakannya untuk memberi warna yang lebih cerah pada makanan dan minuman agar terlihat lebih menarik.

    Makary menekankan bahwa upaya untuk menghilangkan pewarna ini akan dilakukan dengan bekerja sama bersama industri, untuk mulai melakukan perbaikan.

    Consumer Brands Association, asosiasi dagang untuk produsen barang kemasan konsumen, mengatakan bahwa bahan-bahan dalam pasokan makanan AS telah dipelajari secara ketat mengikuti proses evaluasi berbasis risiko dan sains yang objektif dan telah terbukti aman.

    “Seiring dengan peningkatan penggunaan bahan-bahan alternatif, perusahaan makanan dan minuman tidak akan mengorbankan sains atau keamanan produk kami,” kata Melissa Hockstad, presiden dan CEO grup tersebut, dalam sebuah pernyataan.

    Pewarna mana yang membawa risiko bagi kesehatan manusia dan pada tingkat apa masih belum jelas. Secara historis, penelitian tentang pewarna makanan kurang mendapat dana, dan FDA belum meninjau pewarna makanan secara menyeluruh selama beberapa dekade, kata para ahli.

    Beberapa penelitian menunjukkan pewarna dapat melewati tubuh manusia dengan cepat, tetapi yang lain menunjukkan pewarna dapat terakumulasi seiring waktu dan berbahaya bagi tubuh.

    Selama beberapa dekade, penelitian pada hewan telah menunjukkan adanya hubungan potensial antara pewarna makanan buatan seperti merah No. 3, merah No. 40, biru No. 2, dan hijau No. 3 dengan peningkatan risiko kanker atau tumor. Penelitian lain menunjukkan bahwa merah No. 40, kuning No. 5, dan No. 6 mengandung atau mungkin terkontaminasi dengan karsinogen yang diketahui.

    Biru No. 1 dan kuning No. 6 mungkin beracun bagi beberapa sel manusia, dan sedikitnya 1 miligram kuning No. 5 dapat menyebabkan gejala, seperti mudah tersinggung, gelisah, dan gangguan tidur pada anak-anak yang sensitif. Beberapa penelitian juga menunjukkan hubungan antara pewarna makanan buatan dan kegelisahan, kesulitan belajar, dan masalah perhatian pada beberapa anak yang sensitif terhadap beberapa pewarna.

    (naf/kna)

  • Perkuat Industri Hilir, Pertamina Kembangkan Produk Petrokimia

    Perkuat Industri Hilir, Pertamina Kembangkan Produk Petrokimia

    Jakarta, CNBC Indonesia – PT Pertamina Petrochemical Trading (Pertachem), anak perusahaan Subholding Commercial & Trading PT Pertamina Patra Niaga, mengambil peran strategis dalam pengembangan produk petrokimia yang bernilai tambah tinggi. Proyek ini diharapkan tidak hanya memperkuat ketahanan energi nasional, tetapi juga menjadi penggerak utama dalam membangun ekosistem industri berbasis bahan baku dalam negeri.

    Green Coke sebagai salah satu portofolio yang dipasarkan Pertachem menjadi bagian penting dalam mendukung agenda hilirisasi nasional, membuka peluang investasi, serta memperkuat daya saing Indonesia di pasar regional dan global.

    Green Coke, atau yang dikenal juga sebagai Petroleum Coke, merupakan produk akhir dari proses pengolahan minyak bumi yang dihasilkan melalui pemanasan unit Delayed Coking Unit (DCU). Produk ini berbentuk padatan karbon berwarna hitam dan memiliki nilai energi yang tinggi. Di Indonesia, Green Coke diproduksi oleh Pertamina Group melalui fasilitas produksi di Refinery Unit II Dumai, PT Kilang Pertamina Internasional.

    Seiring dengan meningkatnya permintaan terhadap Green Coke di pasar nasional dan regional, pada bulan April 2025 ini, Direktur Utama PT Pertachem, Oos Kosasih menandatangani kerjasama perjanjian penjualan Green Coke dengan PT Indonesia BTR New Energy Material.

    Kolaborasi strategis bersama PT Indonesia BTR New Energy Material merupakan komitmen Pertachem pada hilirisasi produk baterai khususnya pada komponen anoda.

    Dijalankannya pasokan Green Coke dari Pertachem turut mendorong kemandirian bahan baku industri nasional. Inisiatif ini menjadi bagian dari perjalanan berkelanjutan kami dalam memperkokoh fondasi industri nasional yang tangguh dan mandiri.

    “Salah satu portfolio produk Pertachem, Green Coke menjadi bagian penting dalam rantai pasok energi. Pertachem hadir untuk memenuhi kebutuhan Green Coke yang tentunya hal ini diharapkan dapat mewujudkan swasembada energi nasional,” kata Oos Kosasih, dikutip Jumat (18/4/2025).

    Melihat potensi market terhadap produk Green Coke, Pertachem sangat optimis didukung dengan kestabilan pasokan dari Pertamina Grup, dalam memasarkan produk Green Coke ke pasar domestik dan regional. “Pemasaran Green Coke diproyeksikan akan mengalami tren positif yang signifikan khususnya untuk pemenuhan kebutuhan anoda baterai di pasar global,” tambah Oos Kosasih.

    Green Coke memiliki peran penting untuk berbagai sektor industri skala besar diantaranya yaitu sebagai bahan baku dalam pembuatan Anoda Grafit Aritifisial (Komponen pembuatan Baterai seperti di Electric Vehicle, Electronic, dll); Bahan baku Calcined Coke (digunakan sebagai bahan pengurai pada pabrik alumunium; Reduktor dalam proses peleburan timah; Bahan penambah kadar karbon pada industri logam atau pelebur baja); Alternatif bahan bakar (digunakan sebagai alternatif efisien bahan bakar dalam proses industri, dikarenakan memiliki nilai kalori (Net Calorific Value) yang lebih tinggi.

    Green Coke yang dipasarkan oleh Pertachem hadir dengan spesifikasi unggul, yaitu dengan kadar sulfur rendah sebesar 0,5% (Low Sulphur) dan Ash Content hanya 0,1%. Selain itu, Green Coke juga memiliki nilai kalori (Net Calorific Value) yang lebih tinggi yaitu sekitar 7500 – 8500 Cal/kg. Dengan kandungan sulfur yang lebih rendah berkontribusi pada kualitas udara yang lebih baik dan dampak lingkungan yang lebih rendah.

    Selain memperkuat pemasaran dan penjualan produk Green Coke, Pertachem sebagai marketing arm produk petrokimia Pertamina, juga akan terus memperluas pengembangan jaringan pemasaran produk lainnya seperti Produk Chemical (Solvent, Paraffin Wax, Sulphur, Caustic Soda, Methanol, SMO, Calcium Carbonate, Purified Terephtalic Acid, dan lainnya); Produk Polymer (Polypropylene, Polyethylene, Polystyrene, Masterbatch, Polyvinyl Chloride, Polytehylene Terephtalate, dan Ethyl Vinyl Acetate); dan Produk Aromatic Olefin (Paraxylene, Benzene, Propylene, Orthoxylene).

    (pgr/pgr)

  • Bahan Baku Baterai Ini Jadi Andalan Indonesia Menuju Swasembada Energi!

    Bahan Baku Baterai Ini Jadi Andalan Indonesia Menuju Swasembada Energi!

    Jakarta: Perjalanan Indonesia menuju swasembada energi makin nyata. Salah satu pemain pentingnya? PT Pertamina Petrochemical Trading atau Pertachem, anak usaha dari PT Pertamina Patra Niaga. 
     
    Lewat produk petrokimia bernilai tambah tinggi seperti Green Coke, Pertachem ikut mendorong agenda hilirisasi industri nasional dan memperkuat ketahanan energi dalam negeri.

    Apa itu green coke?
    Green Coke, atau petroleum coke, adalah produk padat karbon hasil proses pemanasan minyak bumi melalui unit Delayed Coking Unit (DCU). Produk ini berwarna hitam, kaya energi, dan punya berbagai fungsi penting di sektor industri.
     
    Green Coke diproduksi oleh Pertamina Group di Refinery Unit II Dumai dan PT Kilang Pertamina Internasional. Produk ini bukan sekadar bahan bakar alternatif, tetapi juga bahan baku utama dalam pembuatan anoda baterai, pengolahan aluminium, logam, hingga sebagai penambah kadar karbon pada industri baja.

    Dengan kadar sulfur rendah (0,5 persen) dan ash content hanya 0,1 persen, Green Coke yang dipasarkan Pertachem juga ramah lingkungan dan punya nilai kalor tinggi (sekitar 7.500-8.500 Cal/kg). Kualitas ini membuatnya kompetitif di pasar global.
     

    Kolaborasi strategis menuju ekosistem energi mandiri
    Pada April 2025, Pertachem menandatangani perjanjian penjualan Green Coke dengan PT Indonesia BTR New Energy Material, salah satu produsen anoda terbesar kedua di dunia setelah Tiongkok. 
     
    Langkah ini jadi titik penting dalam rantai pasok energi, khususnya untuk mendukung pengembangan baterai kendaraan listrik dan perangkat elektronik.
     
    “Salah satu portfolio produk Pertachem, Green Coke menjadi bagian penting dalam rantai pasok energi. Pertachem hadir untuk memenuhi kebutuhan Green Coke yang tentunya hal ini diharapkan dapat mewujudkan swasembada energi nasional,” kata Direktur Utama PT Pertachem, Oos Kosasih dalam keterangan tertulis, Jumat, 18 April 2025.
     
    Pertachem optimistis tren pasar Green Coke akan terus meningkat, seiring naiknya permintaan anoda baterai secara global. 
     
    “Pemasaran Green Coke diproyeksikan akan mengalami tren positif yang signifikan khususnya untuk pemenuhan kebutuhan anoda baterai di pasar global,” tambah Oos Kosasih.
    Indonesia punya potensi jadi pemain kunci
    Sementara itu, Presiden Direktur PT Indonesia BTR New Energy Material, Wu Lei mengapresiasi dukungan Pertamina karena telah memenuhi bahan baku produksi anoda yaitu Green Coke. Kedepannya dengan meningkatnya produksi anoda hingga 160.000 ton per tahun, harapannya kerja sama ini dapat terus berlanjut dan dapat memberikan dampak positif terhadap perekonomian Indonesia. 
     
    “Dengan kapasitas produksi tersebut Indonesia berpotensi menjadi pemain utama sebagai pemasok anoda di industri baterai global,” imbuh Wu Lei.
     
    Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
    dan follow Channel WhatsApp Medcom.id

    (ANN)

  • Ini Langkah Pertachem dalam Hilirisasi Industri untuk Mencapai Swasembada Energi – Halaman all

    Ini Langkah Pertachem dalam Hilirisasi Industri untuk Mencapai Swasembada Energi – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – PT Pertamina Petrochemical Trading (Pertachem) melakukan pengembangan produk petrokimia yang bernilai tambah tinggi.

    Proyek ini diharapkan tidak hanya memperkuat ketahanan energi nasional, tetapi juga menjadi penggerak utama dalam membangun ekosistem industri berbasis bahan baku dalam negeri.

    Direktur Utama PT Pertachem, Oos Kosasih mengatakan, Green Coke sebagai salah satu portofolio yang dipasarkan Pertachem menjadi bagian penting dalam mendukung agenda hilirisasi nasional, membuka peluang investasi, serta memperkuat daya saing Indonesia di pasar regional dan global.

    Green Coke, atau yang dikenal juga sebagai Petroleum Coke, merupakan produk akhir dari proses pengolahan minyak bumi yang dihasilkan melalui pemanasan unit Delayed Coking Unit (DCU).

    Seiring meningkatnya permintaan terhadap Green Coke di pasar nasional dan regional, perseroan menandatangani kerjasama perjanjian penjualan Green Coke dengan PT Indonesia BTR New Energy Material.

    “Green Coke menjadi bagian penting dalam rantai pasok energi. Hal ini diharapkan dapat mewujudkan swasembada energi nasional,” kata Oos Kosasih dalam keterangannya, Jumat (18/4/2025).

    Menurutnya, pemasaran Green Coke diproyeksikan akan mengalami tren positif yang signifikan khususnya untuk pemenuhan kebutuhan anoda baterai di pasar global.

    Presiden Direktur PT Indonesia BTR New Energy Material, Wu Lei menyampaikan, kedepannya dengan meningkatnya produksi anoda hingga 160.000 ton per tahun, harapannya kerja sama ini dapat terus berlanjut dan dapat memberikan dampak positif terhadap perekonomian Indonesia.

    “Dengan kapasitas produksi tersebut Indonesia berpotensi menjadi pemain utama sebagai pemasok anoda di industri baterai global,” imbuh Wu Lei.