Produk: liberalisme

  • Mendagri Ungkap Peluang Indonesia Menjadi Negara Maju

    Mendagri Ungkap Peluang Indonesia Menjadi Negara Maju

    Liputan6.com, Jakarta – Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Muhammad Tito Karnavian mengungkap peluang Indonesia untuk dapat melompat menjadi negara maju. Pendapat tersebut didasarkan pada bergesernya paradigma global dari realisme ke liberalisme dan konstruktivisme. Selain itu, keyakinan ini juga dipengaruhi oleh pengalaman Mendagri saat menyaksikan lembaga-lembaga kredibel dunia seperti International Monetary Fund (IMF) yang menunjukkan optimisme terhadap potensi besar Indonesia.

    “Inilah yang kita sebut Indonesia Emas di mana Indonesia bisa menjadi negara maju, seperti Jerman saat ini, Jepang, Amerika Serikat, Korea Selatan, bahkan Singapura,” ujar Mendagri saat menghadiri Alliance of Alumni Associations (AAA) Conference 1.0: Connecting Global Expertise with Indonesian Opportunities di Hall Wisma Danantara Indonesia, Jumat (5/12/2025).

    Menurut Mendagri, perubahan paradigma yang mengarah pada konstruktivisme mendorong negara-negara menggunakan instrumen non-militer untuk mendominasi negara lain. Instrumen tersebut meliputi teknologi, ekonomi, dan sosial budaya. Aspek ini, jelas Mendagri, justru menjadi peluang besar bagi Indonesia untuk berkembang lebih cepat dibanding negara lainnya di dunia.

    Lebih lanjut, Indonesia dinilai memiliki empat modal utama untuk bisa melompat menjadi negara maju. Modal tersebut meliputi besarnya angkatan kerja, luasnya wilayah, melimpahnya sumber daya alam, serta letak geografis yang strategis.

    “Kita semua sadar bahwa Indonesia adalah negara yang kaya dengan mineral dan juga dalam hal tanah yang subur, tanah yang terletak di iklim tropis di mana kita dapat berproduksi dan kita dapat menanam 12 bulan dalam setahun,” imbuh Mendagri.

    Ia menambahkan, potensi lainnya adalah pertumbuhan penduduk Indonesia yang kini didominasi oleh angkatan kerja produktif. Kondisi ini berbeda dengan sejumlah negara lain yang justru didominasi kelompok usia non-produktif. Dalam konteks tersebut, Mendagri mendorong agar potensi angkatan kerja produktif Indonesia dioptimalkan melalui kesempatan belajar di luar negeri, terutama di negara-negara dengan sistem pendidikan yang unggul.

    “Sumber daya manusia adalah kuncinya pendidikan. Kuncinya mengirim beasiswa dari angkatan ke angkatan,” imbuhnya.

    Mendagri mencontohkan langkah serupa yang ditempuh Cina, yang mengirim generasi mudanya untuk menempuh pendidikan tinggi di luar negeri. Ketika mereka kembali, negara tersebut mengalami kemajuan pesat.

    Turut hadir dalam acara tersebut Wakil Menteri Pertanian Sudaryono, Ketua AAA Parlindungan Yonathan, Managing Director of Human Resources & General Affairs BPI Danantara Sanjay N. Bharwani, serta akademisi Indonesia dari kampus-kampus top global.

  • Sampaikan Orasi Ilmiah di Unsri, Mendagri Uraikan Peran Pendidikan Tinggi Songsong Indonesia Emas 2045

    Sampaikan Orasi Ilmiah di Unsri, Mendagri Uraikan Peran Pendidikan Tinggi Songsong Indonesia Emas 2045

    Sampaikan Orasi Ilmiah di Unsri, Mendagri Uraikan Peran Pendidikan Tinggi Songsong Indonesia Emas 2045
    Tim Redaksi
    KOMPAS.com
    – Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Muhammad Tito Karnavian menyampaikan orasi ilmiah pada acara Dies Natalis ke-65 Universitas Sriwijaya (Unsri) di Auditorium Unsri Kampus Indralaya, Kabupaten Ogan Ilir, Sumatera Selatan (Sumsel), Senin (3/11/2025).
    Dalam kesempatan tersebut, Tito selaku Ketua Majelis Wali Amanat (MWA) Unsri memaparkan peran penting pendidikan tinggi dalam menyongsong Indonesia Emas 2045.
    Menurutnya, Indonesia Emas 2045 bukan sekadar momentum seratus tahun kemerdekaan RI, melainkan sebuah harapan, target, sekaligus proyeksi bahwa Indonesia akan sejajar dengan negara-negara maju pada 2045.
    Keyakinan tersebut juga sejalan dengan berbagai prediksi lembaga internasional, seperti International Monetary Fund (IMF), McKinsey, dan World Bank.
    “Dengan
    trajectory
    pertumbuhan ekonomi dan stabilitas politik yang baik, Indonesia akan melompat. Tahun 2040 sampai 2045 menjadi kekuatan ekonomi dominan nomor empat atau nomor lima terbesar di dunia,” ujar Tito dalam keterangan resminya, Senin.
    Ia optimistis, proyeksi tersebut dapat diwujudkan. Keyakinan ini dilandasi oleh banyaknya potensi Indonesia, salah satunya pertumbuhan ekonomi yang kuat.
    Selain itu, Indonesia juga memiliki potensi dari sisi struktur sosial-ekonomi, khususnya tumbuhnya kelas menengah.
    Tito menilai, dominasi kelas menengah yang terdidik dan terlatih akan menjadi pendorong utama Indonesia menuju negara maju.
    Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) 2024, tercatat 17,13 persen penduduk Indonesia merupakan kelas menengah, sedangkan 49,22 persen merupakan masyarakat menuju kelas menengah.
    “Artinya, ada harapan untuk kita menjadi negara maju yang didominasi kelas menengah,” ungkap Tito.
    Ia menambahkan, keyakinan lain terhadap terwujudnya Indonesia sebagai negara maju didasarkan pada dua hal, yakni perubahan paradigma pertarungan dunia dari realisme ke liberalisme dan konstruktivisme, serta studi empiris personal.
    Pada aspek
    pertama
    , Tito menjelaskan bahwa paradigma realisme melihat negara sebagai aktor utama dalam politik global.
    Pandangan tersebut kemudian bergeser ke paradigma liberalisme yang menekankan peran aktor non-negara sebagai tokoh sentral.
    Saat ini, dinamika itu berkembang ke paradigma konstruktivisme yang memuat norma-norma yang mengatur negara maupun aktor non-negara.
    Pada aspek
    kedua
    , Tito menceritakan pengalamannya menyaksikan sejumlah negara yang mengalami kemajuan pesat.
    Ia mencontohkan transformasi China, yang semula negara berkembang, namun kini menjadi kekuatan ekonomi dunia berkat optimalisasi sumber daya manusia (SDM).
    “Kalau sumber daya manusianya hebat, sumber daya alamnya juga hebat, dikelola baik (kita akan) melompat ke negara (maju). Kunci (kita) adalah pendidikan, untuk menjadi tenaga kerja yang unggul, maka angkatan kerja kita harus terdidik dan terlatih, serta sehat,” tegas Tito.
    Sebagai informasi, kegiatan tersebut juga dihadiri Gubernur Sumsel Herman Deru, Rektor Unsri Taufiq Marwa, Direktur Jenderal (Dirjen) Bina Keuangan Daerah (Keuda) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Agus Fatoni, Wali Kota Palembang Ratu Dewa, Bupati Ogan Ilir Panca Wijaya Akbar, dan Bupati Musi Banyuasin M Toha Tohet.
    Hadir pula para sivitas akademika Unsri, forum koordinasi pimpinan daerah (forkopimda) Provinsi Sumsel, serta pejabat terkait lainnya.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Dari Civic Virtue ke Viral Culture: Krisis Moral Demokrasi Indonesia
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        23 Oktober 2025

    Dari Civic Virtue ke Viral Culture: Krisis Moral Demokrasi Indonesia Nasional 23 Oktober 2025

    Dari Civic Virtue ke Viral Culture: Krisis Moral Demokrasi Indonesia
    Dosen Fakultas Hukum Universitas Pasundan & Sekretaris APHTN HAN Jawa Barat
    DEMOKRASI
    sejatinya lahir dari kesadaran moral, bukan sekadar dari sistem hukum dan prosedur politik. Ia bukan mesin suara, melainkan cermin jiwa publik. Dalam kerangka itulah Michael J. Sandel—filsuf politik dari Harvard—menegaskan bahwa demokrasi akan kehilangan jiwanya ketika warga berhenti menjadi warga.
    Dalam bukunya
    Democracy’s Discontent: America in Search of a Public Philosophy
    (1996), Sandel menulis bahwa demokrasi tidak akan hidup tanpa warga yang peduli pada kebaikan bersama (
    common good
    ), tanpa keberanian untuk berpartisipasi dalam kehidupan publik. Bagi Sandel, demokrasi bukan hanya soal siapa yang menang dalam pemilihan, melainkan bagaimana warga menimbang dan memperdebatkan nilai-nilai moral yang mengikat mereka.
    Namun di Indonesia hari ini, demokrasi seolah bergerak menjauh dari akar moral itu. Ia lebih menyerupai arena citra ketimbang ruang kebajikan publik. Demokrasi kita kini berdenyut di layar ponsel, diukur bukan oleh argumentasi, melainkan oleh jumlah
    likes
    dan
    shares
    . Dari
    civic virtue
    , kita jatuh ke dalam
    viral culture
    .
    Budaya politik kini beralih wajah. Bukan lagi gagasan yang bernalar atau kebijakan yang berbasis publik yang menjadi mata uang demokrasi, melainkan sensasi dan daya sebarnya. Dalam ruang digital yang dangkal, politik dikemas seperti hiburan. Michael J. Sandel dalam
    What Money Can’t Buy: The Moral Limits of Markets
    (2012) memperingatkan, ketika segala hal diukur dengan logika pasar—termasuk politik—maka moralitas publik akan terkikis.
    Kita bukan lagi hidup dalam ekonomi pasar (
    market economy
    ), melainkan dalam masyarakat pasar (
    market society
    ) yang menilai segalanya dengan harga dan popularitas. Kini, logika pasar itu berlipat dalam dunia digital. Apa yang viral dianggap benar; apa yang populer dianggap mewakili suara rakyat. Demokrasi yang dulu diharapkan memperluas partisipasi kini justru melahirkan bentuk baru oligarki—oligarki algoritmik.
    Dalam tatanan seperti ini, warga kehilangan kemampuan untuk membedakan antara yang penting dan yang ramai, antara opini dan kebenaran. Demokrasi bergeser dari perdebatan gagasan menjadi perlombaan atensi.
    Sandel menolak gagasan bahwa politik harus netral terhadap moralitas. Dalam
    Liberalism and the Limits of Justice
    (1982), ia mengkritik liberalisme yang memisahkan politik dari perdebatan tentang nilai. Demokrasi, katanya, justru menuntut kita berbicara tentang kebaikan bersama, bukan menghindarinya. Kritik ini menemukan gema yang kuat di Indonesia.
    Politik kita hari ini kehilangan keberanian moral untuk membicarakan nilai-nilai publik. Partai politik lebih sibuk menimbang peluang elektoral daripada memperdebatkan keadilan. Kampanye lebih banyak mengobral janji ketimbang gagasan. Dalam konteks itu, kita menyaksikan apa yang oleh Sandel disebut sebagai “kemiskinan kehidupan publik”—sebuah kondisi ketika warga berhenti memandang diri sebagai bagian dari keseluruhan yang lebih besar.
    Warga hanya melihat politik sebagai jalan untuk keuntungan pribadi, sementara negara memperlakukan rakyat sebagai pasar suara. Akibatnya, demokrasi kehilangan kedalaman etik. Ia berubah menjadi ritual lima tahunan yang dirayakan tanpa kesadaran moral.
    Demokrasi, bagi Sandel, adalah “a way of life.” Dalam kuliah
    The Lost Art of Democratic Debate
    (Harvard, 2018), ia—mengutip John Dewey—menyebut demokrasi bukan hanya sistem pemerintahan, melainkan cara hidup yang menuntut kebajikan publik. Namun, di Indonesia, ruang hidup demokrasi itu semakin sempit. Ruang publik yang dulu dibangun melalui media, kampus, dan forum warga kini tergantikan oleh linimasa yang gaduh.
    Kita tidak lagi berdialog, melainkan berteriak. Tidak lagi mendengarkan, melainkan menunggu giliran membantah. Dalam suasana seperti itu, akal sehat kalah oleh kecepatan, kesabaran kalah oleh algoritma, dan moralitas tenggelam dalam arus komentar. Demokrasi kehilangan ruang untuk mendewasa.
    Sandel mengingatkan, demokrasi hanya akan bertahan jika warga mampu berbicara tentang perbedaan dengan hormat dan akal budi. Tapi di negeri ini, perbedaan sering diterjemahkan sebagai permusuhan. Politik kita kehilangan seni berbicara dengan yang tak sependapat.
    Dalam
    What Money Can’t Buy
    (2012), Sandel menulis: “Kita telah bergeser dari ekonomi pasar menjadi masyarakat pasar.” Dalam masyarakat pasar, kata Sandel, hampir segala hal diperjualbelikan—termasuk nilai, suara, dan kepercayaan. Fenomena itu kini begitu nyata di Indonesia. Politik diatur dengan logika dagang. Popularitas menjadi komoditas yang dipasarkan lewat biro iklan digital. Suara rakyat dihitung seperti saham. Bahkan kebaikan pun ditentukan oleh algoritma yang mempromosikannya.
    Ketika warga diperlakukan sebagai konsumen, maka politik kehilangan dimensi pengabdian. Kita memilih bukan karena keyakinan moral, tetapi karena iming-iming manfaat jangka pendek. Kita terpesona pada pencitraan, bukan integritas. Dalam tatanan seperti ini, demokrasi menjadi pameran komoditas, bukan forum kebaikan bersama.
    Sandel percaya, demokrasi yang sehat memerlukan warga yang berjiwa publik—yang peduli pada nasib bersama. Ia menyebutnya
    civic virtue
    : kebajikan kewargaan yang membuat individu bersedia melampaui kepentingannya sendiri. Sayangnya, di Indonesia, identitas kewargaan itu makin pudar. Kita lebih mengenal diri sebagai “netizen” ketimbang “citizen”.
    Rasa tanggung jawab moral terhadap republik digantikan oleh reaksi instan di media sosial. Padahal, dalam
    Democracy’s Discontent
    (1996), Sandel menulis: “Kebebasan sejati hanya mungkin tumbuh bila warga ikut serta menentukan arah komunitasnya.” Demokrasi tanpa
    civic virtue
    hanya melahirkan warga yang apatis atau emosional. Kita menonton negara seperti menonton drama: kadang marah, kadang tersentuh, tetapi jarang bergerak.
    Sandel menyebut demokrasi membutuhkan
    public philosophy
    —filsafat publik—yang menuntun arah moral suatu bangsa. Filsafat publik bukan doktrin agama, melainkan kesadaran bersama tentang apa yang baik bagi kita semua. Sayangnya, narasi itu nyaris hilang dari kehidupan politik Indonesia. Politik kini lebih sering bicara tentang logistik ketimbang logika moral. Pertumbuhan ekonomi dan elektabilitas menggantikan perdebatan tentang keadilan.
    Reformasi politik memang melahirkan kebebasan, tapi belum membangun kesadaran etis tentang kebebasan itu sendiri. Kita masih berdebat tentang mekanisme kekuasaan, tetapi jarang merenungkan tujuan moral dari kekuasaan itu. Tanpa filsafat publik, demokrasi kehilangan arah. Ia berjalan, tapi tidak tahu ke mana.
    Media sosial awalnya menjanjikan demokratisasi informasi. Namun dalam praktiknya, ia juga mempersempit ruang akal budi. Ketika algoritma menentukan apa yang kita lihat, maka ruang publik dikendalikan bukan oleh kesadaran, melainkan oleh kode. Dalam wawancara di BBC (2021), Sandel memperingatkan bahaya “teknokratisasi moralitas”: “Ketika keputusan politik diserahkan pada algoritma, kita kehilangan agensi moral.” Hal ini tampak nyata di Indonesia.
    Politik dijalankan seperti manajemen konten. Pemimpin tidak lagi berbicara tentang nilai, melainkan tentang
    branding
    . Politik kehilangan arah moralnya karena diatur oleh logika
    engagement
    . Kita hidup dalam masyarakat yang sibuk menampilkan diri, tapi malas merefleksikan makna. Demokrasi digital tanpa refleksi moral hanya menghasilkan kebisingan kolektif.
    Sandel tidak menolak pasar atau teknologi. Ia hanya memperingatkan bahwa tanpa kebajikan publik, keduanya akan menelan demokrasi. Warga negara, katanya, harus memiliki tanggung jawab moral, bukan sekadar menuntut hak.
    Indonesia sebenarnya memiliki warisan nilai yang dekat dengan
    civic virtue
    : gotong royong, musyawarah, dan rasa kebersamaan. Nilai-nilai itu adalah fondasi moral demokrasi. Namun, dalam arus
    viral culture
    , nilai-nilai tersebut memudar—tergantikan oleh egoisme politik dan budaya kompetisi personal. Demokrasi seharusnya menjawab bukan hanya pertanyaan “siapa yang berkuasa?”, tapi juga “untuk apa kekuasaan digunakan?”. Tanpa kesadaran moral itu, demokrasi hanya menjadi pesta prosedural yang kehilangan makna.
    Kita hidup di zaman ketika kebenaran harus berjuang untuk menjadi viral, sementara kebohongan dengan mudah menjadi tren. Di tengah kebisingan itu, Sandel mengingatkan bahwa tugas warga negara bukanlah menjadi penonton, melainkan penjaga moral ruang publik.
    Demokrasi Indonesia belum mati, tapi ia kehilangan arah moralnya. Untuk menemukannya kembali, kita harus menyalakan kembali obor
    civic virtue
    —keberanian untuk berpikir, berbicara, dan bertindak demi kebaikan bersama. Sandel menulis dalam Democracy’s Discontent (1996): “Kita membutuhkan ruang di mana warga dapat berbicara tentang hal-hal yang penting, bukan hanya tentang apa yang menguntungkan.”
    Demokrasi bukan sekadar siapa yang memerintah, tetapi bagaimana kita hidup bersama dalam keadaban. Dari
    civic virtue
    ke
    viral culture
    , perjalanan ini adalah cermin: apakah kita masih warga yang berpikir, atau sekadar konsumen politik yang menunggu tontonan berikutnya. Demokrasi tanpa kebajikan hanyalah pasar tanpa nurani. Dan ketika pasar menggantikan nurani, bangsa kehilangan jiwa.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Serakahnomics Ibarat Penjajahan Gaya Baru yang Harus Dilawan

    Serakahnomics Ibarat Penjajahan Gaya Baru yang Harus Dilawan

    GELORA.CO -Ketua Umum Partai Rakyat Adil dan Makmur (PRIMA), Agus Jabo Priyono, menyerukan perlawanan terhadap sistem ekonomi rakus yang ia sebut sebagai Serakahnomics.

    Hal itu disampaikan Agus Jabo dalam pidatonya saat peluncuran Kepengurusan Eksekutif Nasional Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND) di Clay Caffee, Jakarta, Sabtu, 11 Oktober 2025.

    “Saya tidak menduga anak-anak muda LMND seideologis ini. Melihat kalian, api semangat perjuangan saya menyala kembali,” ujar Agus Jabo disambut tepuk tangan meriah peserta acara.

    Menurutnya, LMND memiliki energi dan ketajaman berpikir untuk melanjutkan cita-cita para pendiri bangsa. Ia menegaskan, organisasi mahasiswa itu harus menjadi pilar utama PRIMA dalam memperjuangkan keadilan sosial dan kemandirian nasional.

    Agus Jabo juga mengingatkan pentingnya menjaga hubungan spiritual dan ideologis dengan leluhur bangsa. Sebab, kata dia, salah satu taktik penjajahan Barat adalah memutus generasi muda dari akar sejarah dan nilai perjuangan pendahulunya.

    “Kita tidak boleh lepas dari leluhur-leluhur kita. Dari merekalah kita mewarisi keberanian, kemandirian, dan martabat bangsa,” tegasnya.

    Ia menilai penjajahan ekonomi saat ini hanyalah bentuk baru dari kolonialisme lama. Dulu penjajah datang membawa senjata, sekarang mereka datang membawa modal dan utang. 

    “Tapi hakikatnya sama, merampas kekayaan bangsa,” ujarnya.

    Agus Jabo menjelaskan, istilah Serakahnomics menggambarkan sistem ekonomi rakus yang menindas rakyat dan berakar sejak masa VOC. 

    “Pelopor Serakahnomics itu adalah VOC. Setelah kemerdekaan, sistem itu berganti rupa, tapi semangat kerakusannya tetap sama,” katanya.

    Kini, lanjutnya, Serakahnomics menjelma dalam tiga kekuatan besar yaitu imperialisme asing, oligarki keluarga kaya, dan birokrasi korup. 

    “Bayangkan, 56 juta hektar tanah bersertifikat hanya dikuasai oleh 60 keluarga. Itu bukan sekadar ketimpangan, itu kejahatan ekonomi terhadap rakyat!” tegasnya.

    Agus Jabo pun mendukung langkah Presiden Prabowo Subianto untuk mengaudit dan mengambil kembali tanah-tanah yang dikuasai segelintir pihak demi kepentingan negara.

    Menurutnya, cara paling efektif melawan Serakahnomics adalah dengan kembali pada ajaran Trisakti Bung Karno yakni berdaulat dalam politik, berdikari dalam ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan.

    “Pasal 33 UUD 1945 adalah hantu bagi kaum Serakahnomics. Ia menolak kapitalisme, liberalisme, dan imperialisme,” ujarnya.

    Agus Jabo juga menyerukan agar mahasiswa dan kaum muda berani terlibat dalam perjuangan politik. Baginya, perjuangan tertinggi adalah perjuangan politik. 

    “Jika kita ingin mengubah sistem, maka harus menggunakan partai politik sebagai wadah perjuangan rakyat,” katanya.

    Menutup pidatonya, Agus Jabo menyerukan semangat juang kepada generasi muda. Anak muda harus berani, karena kita dilahirkan untuk berbakti kepada ibu pertiwi.

    “Mari kita bersatu, mari kita berjuang, usir Serakahnomics dari bumi pertiwi ini. Menangkan Pancasila, bangun Indonesia yang berdikari, adil, dan makmur!” pungkasnya. 

  • Anggota DPR: Pancasila merupakan warisan para pendiri bangsa

    Anggota DPR: Pancasila merupakan warisan para pendiri bangsa

    Bantul (ANTARA) – Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) Sukamta menyebut bahwa Pancasila, yang menjadi dasar dan ideologi negara Indonesia, merupakan warisan para pendiri bangsa yang menjadi dasar pemersatu Tanah Air pascakemerdekaan.

    “Pancasila ini warisan the ‘founding fathers’ dan ‘mothers’ bangsa kita. Dulu, ini merupakan ‘game changer’ yang mengubah permainan saat Indonesia baru merdeka, di tengah percaturan ideologi dunia dan upaya penjajah menjajah kembali Indonesia,” kata Sukamta pada Seminar dan Kongres Pemuda Indonesia untuk Jogja Istimewa di Yogyakarta, Kamis.

    Menurut dia, saat ini bangsa Indonesia menghadapi tantangan eksistensial, terutama di kalangan generasi muda yang hidup dalam budaya digital, yang mana batas geografis sudah tidak lagi relevan dalam interaksi antarbangsa.

    “Nilai-nilai dari luar seperti liberalisme sangat kuat masuk dan berinteraksi. Kalau anak-anak muda kita tidak mendapatkan bekal internalisasi nilai-nilai Pancasila secara kuat, mereka bisa kalah dan bahkan kehilangan arah,” katanya.

    Oleh karena itu, lanjut dia, sosialisasi dan internalisasi Pancasila harus menjadi bagian penting dari pembangunan nasional melalui pendidikan. Pendidikan baik formal maupun informal, harus mengajarkan nilai-nilai kebangsaan secara kontekstual dan relevan dengan dunia anak muda.

    “Jangan memakai kacamata orang tua saja. Kita butuh pendekatan kebudayaan yang tepat agar nilai-nilai dalam Pancasila benar-benar terinternalisasi dalam perilaku kita sebagai manusia,” katanya.

    Dia juga menegaskan, tantangan bagi penyelenggara negara adalah menjadi teladan bagi generasi muda dalam mengamalkan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari.

    Sementara itu, Presiden Mahasiswa UIN Yogyakarta Umar Ma’ruf mengatakan, seminar ini menjadi ruang refleksi bersama atas lahirnya Pancasila dan semangat sumpah pemuda.

    “Kita mengangkat Kongres Pemuda Indonesia untuk Jogjakarta Istimewa sebagai momen refleksi bahwa Juni adalah bulan lahirnya Pancasila. Kita ingin semangat sumpah pemuda dihidupkan kembali, terutama oleh pemuda-pemuda di DIY,” katanya.

    Menurut dia, keistimewaan Yogyakarta bukan sekadar slogan, tetapi tanggung jawab bersama, terutama bagi pemuda.

    “Kita sebagai pemuda harus bisa berbicara tentang keistimewaan Yogyakarta, bahwa keistimewaan itu berarti turut bertanggung jawab terhadap berbagai persoalan di Yogyakarta,” katanya.

    Pewarta: Hery Sidik
    Editor: Edy M Yakub
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Tarif Trump: Kontradiksi Kapitalisme Amerika

    Tarif Trump: Kontradiksi Kapitalisme Amerika

    Jakarta

    Dalam The End of History and the Last Man (1992), Francis Fukuyama, filsuf modern Amerika menyatakan bahwa evolusi manusia berakhir semenjak hadir demokrasi liberal Barat, secara khusus demokrasi Amerika. Salah satu “anaknya” adalah sistem politik Indonesia pasca reformasi.

    Namun, demokrasi liberal tidak berdiri sendiri, ada dua saudara kandung, kapitalisme dan globalisasi, di mana bertiga mereka menjadi penanda selesainya evolusi sosial, budaya, politik, dan ekonomi umat manusia.

    Pemerintah Amerika menjadi Ketua dari dunia, “kepala suku” dari seluruh pemerintahan sejagat. Disebut sebagai “suku” karena masalah-masalah akhirnya diselesaikan dengan cara “adat” daripada hukum, dan dengan “cara adat”, artinya sesuka Kepala Sukunya.

    Disebut sebagai “ketua”, karena di Indonesia masa lalu, KUD bukanlah kepanjangan Koperasi Unit Desa, melainkan Ketua Untung Dulu. Bahkan, untung kemudian, dan untung di akhir, serta untung selamanya. Tidak ada manusia dengan kepentingan daging yang dapat lepas dari hasrat yang tempted tersebut.

    Amerika adalah penghela The True Capitalism. Tidak salah dengan kapitalisme, hanya mereka yang tidak menguasainya saja yang menyalah-salahkannya. Makanya, China juga tidak menjelekkan kapitalisme, meski mereka adalah anak dari Sosialisme Marx. Kapitalisme dan liberalisme adalah pasangan sejoli. Kapitalisme berjalan dengan menyenangkan jika ada liberalisme. Liberalisme tidak ada gunanya jika tidak ada kapitalisme di sampingnya.

    Itulah kredo Amerika, yang dipasarkan ke seluruh dunia. Namun, kapitalisme dan liberalisme adalah mahluk yang “serakah”, dan serakah tidak haram dalam kapitalisme, greed is good. Panggung dari Kapitalisme (+ Liberalisme) adalah Globaliasasi. Lembaga buatan Bretton Wood pada Juli1944, Bank Dunia (International Bank for Reconstruction and Development (IBRD) dan IMF (International Monetary Fund), sudah lengkap dengan kehadiran dilengkapi dengan WTO (Badan (Liberalisasi) Perdagangan Dunia) pada 1 Januari 1995, yang embrionya diawali dari General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) yang dibuat 1947.

    Kontradiksi

    Amerika bercita-cita luhur, menjadi kota yang berdiri di atas bukit, menyinari seluruh dunia. Amerika adalah penolong dunia. Amerika membentuk penyelesaian Perang Dunia I pada tahun 1918, setelah menjadi bagian dari Sekutu untuk mengalahkan Blok Sentral. Juga pada Perang Dunia. Tanpa bantuan Amerika, Jerman tidak pernah dapat dikalahkan.

    Demikian juga Jepang, di Asia dan Pasifik. Setelah PD II Amerika menjadi Dewa Penolong Eropa dengan bantuan massif Marshall Plan-nya, dengan mentransfer $13,3 miliar (setara dengan $173,8 miliar pada tahun 2024) dalam program pemulihan ekonomi ke ekonomi Eropa Barat.

    Tapi, bagi Amerika, there is no such of free lunch. Investasi America membanjiri Eropa dan kemudian ke seluruh dunia. Perusahaan minyaknya mengusasai ladang-ladang minyak raksasa di penjuru bumi. Produknya menjadi pilihan sebagai produk terbaik.

    Sejak tahun 1950an ekonominya menguasai dunia, meski berjuang untuk melawan Blok Timur hingga kejatuhan Uni Soviet pada 1991. Premis Fukuyama benar: the end of history. Blok Timur, termasuk Rusia, sisa terbesar Soviet, memilih menjadi kapitalis. China, dengan ideologi komunisnya, juga memilih jalan kapitalis.

    Seharusnya Amerika berbahagia selamanya, seperti dongeng HC Andersen. Namun ternyata, KUD tidak berlaku seluruhnya. Ketua Untung Dulu, berlaku hanya untung di depan, di Tengah dan belakang. Kapitalisme punya hukum sendiri yang mungkin tidak pernah dibayangkan Amerika. Pertama, persaingan. Malangya, pada globalisasi, seperti kata Gary Hamel dalam Reinventing the Basis of Competition (1996), bahwa globalisasi bukanlah persaingan antar negara, melainkan perusahaan-perusahaan dari negara-negara tersebut.

    Liberalisme memungkinkan teknologi, pengetahuan, dan ketrampilan berpindah dari satu koloni ke koloni lain dengan sangat cepat. Pada tahun 1980an perusahaan-perusahaan di Jepang mulai mengambil alih dominasi Amerika bahkan di Amerika. Pada tahun 2000an perusahaan-perusahaan Korea menjadi pesaing kuat baru.

    Pada periode yang sama, China menjadi pemain dominan, bahkan di semua lini, termasuk berkenaan dengan pendapatan. Untuk memperoleh laba yang tinggi, sebagaimana kredo kapitalisme, maka perusahaan-perusahaan besar Amerika melakukan outsourcing produksinya ke China. Mulai dari Nike hingga Iphone.

    Tapi, China lebih cerdas dari kita, bahkan lebih cerdas dibanding Amerika. Mereka bukan saja “menggerojok” Amerika dengan produk elektronik, mesin, mobil, tekstil dan produk tekstil, bahkan hingga buah, sayur, bawang putih, hingga ikan dan udang. Masyarakat Amerika menikmati produk berukualitas dan murah.

    Di balik itu, kedayasaingan industri modern dan pertanian Amerika semakin terdesak oleh China. Amerika mungkin masih digdaya di pesawat tebang, peralatan militer, kedelai, jagung, dan gandum.

    Namun, sebagian besar lain mudah terdesak. Aturan main yang sebelumnya menguntungkan Amerika, kini, secara fair, menguntungkan semua pelaku dari setiap negara. Sebelumnya Amerika menjadi juara karena teknologi, pengetahuan, dan ketrampilannya jauh lebih maju, kini jarak tersebut makin dekat, bahkan ada yang sudah melewati.

    Strategi melakukan standarisasi lokasi eksport tidak menjadi solusi. Pelabuhan-pelabuhan di China sudah memenuhi persyaratan Amerika. Mulai dari Shanghai, Ningbo-Zhoushan, Shenzhen, Qingdao, Guangzhou, hingga Hongkong. Apalagi standarisasi manajemen seperti ISO hingga Malcolm Baldrige. Semuanya dipenuhi. Termasuk standar etika dan anti-korupsi. Belum lagi negara-negara Eropa Barat yang dengan cepat mengejar ketertinggalannya, seperti Jerman, Inggris, dan Belanda. Balapan kapitalisme yang diperkenalkan Amerika sebagai standar balapan dunia sudah tidak lagi menguntungkan Amerika.

    Memang, mereka nasih punya Meta (grup facebook) dan Alphabet (grup google) serta Microsoft, hingga Amazon, ditambah kluster industri digital di California dan sekitarnya, termasuk Dell, Intel, AMD, NVIDIA, dan sejenisnya. Juga industri keuangan, konsultan, dan jasa lainny. Namun, bagi Amerika, tidak cukup kemenangan ditentukan oleh beberapa kluster saja. Amerika harus menang di semua kluster kapitalisme. Itulah kredo Amerika yang diyakini Trump.

    Tapi, menggunakan “cara kapitalisme” ternyata tidak cukup, karena sudah terjadi kontradiksi kapitalisme Amerika. Sistem yang mereka buat dan diekspor ke seluruh dunia, menjadi backfire bagi dirinya sendiri. Donald Trump berfikir keras untuk menguasai dunia selain dengan cara kapitalisme. Inilah yang dilakukan hari ini.

    Strategi Trump, Strategi Baru Amerika

    Hari ini Amerika, di bawah Trump, hendak membuat Amerika sehebat dulu. Kebijakan besarnya sangat jelas MAGA: Making America Great Again. Strategi pertama adalah strategi tarif. Trump menerapkan tarif berlapis.

    Pertama, tarif dasar 10%yang berlaku untuk semua impor dari semua negara. Kedua, tarif tambahan (timbal balik) untuk negara tertentu, yang dihitung berdasarkan setengah dari tarif yang negara tersebut kenakan pada AS.

    Ketiga, tarif eksisting (jika ada), misalnya China sudah memiliki tarif sebelumnya, yang tetap berlaku dan ditambahkan ke tarif baru. China akan dikenakan tarif berlapis sebesar tarif eksisting 20% dan 34%, sehingga total tarifnya mencapai 54%. Indonesia dikenakan tarif sebesar 32% yang akan berlaku mulai tanggal 9 April 2025. Vietnam dikenakan tarif sebesar 46%

    Kebijakan publik yang diajarkan hari ini adalah bagaimana mengatur domestik dan hubungan internasional. Satu hal yang jarang, atau bahkan tidak pernah diajarkan, adalah memahami pikiran negara lain. Nampaknya policy makers Indonesia tidak memikirkan itu. Model dan modal berfikir kita adalah hubungan baik dengan Amerika, dan kita menikmati berbagai fasilitas yang mereka berikan.

    Ketika “badai” datang, baru kita sepertinya “plonga-plongo”. Indonesia jelas bukan musuh Amerika, dan Amerika pun tidak pernah memusuhi Indonesia. Hanya, Amerika tidak bisa secara membuat kebijakan untuk dunia secara asmiterik, apalagi itu untuk memenuhi kepentingannya sendiri.

    Vietnam langsung menge-nol-kan bea masuk produk AS, dan meningkatkan impor dari AS, untuk menyeimbangkan defisit transaksi keduanya. Amerika akan melakukan hal yang sama, mengenolkan tarif buat Vietnam. Apalagi Vietnam adalah proksi industri Amerika terhadap China. Mereka telah menggantikan China sebagai produsen produk yang diperlukan AS dan melakukan eskport langsung ke AS.

    Bagaimana Indonesia? Indonesia punya ekspor tekstil dan produk tekstil, alas kaki, minyak sawit, karet, furnitur, udang dan produk-produk perikanan laut. Pada Februari 2025, ekspor nonmigas Indonesia ke Amerika Serikat (AS) mencapai11,35%dari total ekspor nonmigas. Persentase yang signifikan. Jika total ekspor 20204 mencapai US$264,7 miliar, maka setidaknya total ekspor ke AS pada tahun 2025, dengan asumsi sama, US $ 30 miliar, bahkan lebih. Atau, setidaknya 19,42% dari Cadangan devisa RI yang US $154,5 miliar.

    Pertanyannya adalah bagaimana respons kebijakan kita. Dari ilmu kebijakan publik, disarankan tiga respon kebijakan. Pertama, dan yang paling penting, adalah memanfaatkan kebijakan Amerika. Meskipun Trump dapat mengklaim mereka juga comply kepada aturan WTO, sebenarnya mereka juga tidak comply.

    Namun, karena kekuatan dan kekuasaannya, maka kebijakan impos tarif tersebut tidak dapat dihalangi. Indonesia dapat menggunakan kebijakan Amerika untuk membuat kebijakan yang sama. Istilahnya, riding the wave. Terutama kepada negara-negara selain Amerika yang merugikan neraca perdagangan dan industri dalam negeri. Mungkin juga kita perlu merevisi UU 6/2023 tentang Cipta Kerja, dan sejumlah kebijakan ekstra liberalisasi kita.

    Kedua, buka keran impor dari Amerika, khususnya untuk produk yang selama ini diembargo, termasuk alutsista atau persenjataan militer. Dengan demikian, meskipun mereka tetap mengembargo, kita telah memberikan kebijakan resiprokal, dan mereka tidak dapat menolak resirokalitas tersebut, karena tidak bersifat eksepsionalitas.

    Buka juga keran untuk impor produk yang diperlukan Indonesia ke depan, mulai dari super konduktor hingga pusat-pusat data, dengan tarif nol persen. Kementerian investasi perlu bekerjasama dengan BIN dan Lemhannas untuk memastikan produk masa depan tersebut segera bisa diakuisisi.

    Ketiga, mengembangkan kebijakan keseimbangan geopolitik, dari keterdekatan berlebihan dengan kekuatan-kekuatan anti AS, termasuk BRICS, menjadi keseimbangan. Amerika, dalam jangka waktu panjang akan tetap menjadi kekuatan inovasi dunia, pasar yang kuat, dan sumber pertahanan militer yang selalu adidaya. Kebijakan Trump pun, dalam waktu setahun ke depan, akan nampak manfaatnya bagi Amerika, yaitu kebangkitan produktivitas domestik mereka.

    Saat ini mungkin tidak mudah bagi Trump, namun jika ia mampu bertahan dan membuktikan MAGA-nya, ia akan diterima. Tidak berbeda dengan Roosevelt di tahun 1933, dengan kebijakan New Deal-nya, dengan motto “3 Rs”: Relief, Recovery, dan Reform, yang kontroversal. Keberhasilan menyelamatkan Amerika, membuatnya dipilih menjadi Presiden melampaui masa jabatan yang dibolehkan konstitusi (1933 – 1945).

    Pembelajaran

    Kebijakan Trump membuat setiap negara “jantungan”. Saya tidak begitu sepakat dengan para senior yang mengatakan “Ini sudah biasa, tidak usah terkejut, toh mereka yang rugi”. Mengirimkan delegasi ke AS, dipimpin oleh Prof. Bambang Brojonegoro, Mantan Menristek, Menkeu, dan Kepala Bappenas, adalah baik.

    Harapan kita adalah, mereka tidak melakukan pertemuan dengan gagasan yang standar, yang biasa. Karena, dalam kondisi luar biasa, cara-cara lama tidak banyak nilainya. Parajuru runding perlu dibekali dengan gagasan yang out of the box, yang membuat Indonesia mempunyai possi riding the wave. Tentu saja, gagasan tersebut harus merupakan gagasan dari Presiden sebagai CEO Republik Indonesia, atau setidaknya gagasan yang disetujui Presiden. Artinya, Tim Krisis yang dipimpin langsung oleh Presiden perlu mindset tersebut.

    Pembelajaran selanjutnya, bahwa kebijakan publik yang diajarkan di kelas-kelas, termasuk di negara maju, sudah tidak cukup lagi dalam merespon perubahan terkini. Kebijakan publik sebagai praktek dalam dunia dengan terra incognita-nya, adalah kebijakan publik yang beyond public policy.

    Kini waktunya bagi para akademisi dan praktisi untuk belajar kembali untuk membangun kekuatan baru. Kejadian impos kebijakan tarif yang ekstrem dari Pemerintahan Trump adalah pelajaran besar bagi kita para policy makers, seperti nasihat Marshall Goldsmith, bahwa What Got You Here Won’t Get You There (2014). Kemampuan-kemampuan yang membuat Indonesia sampai menjadi hari ini, tidak cukup untuk membawa Indonesia ke masa depan. Kita perlu learning government, kita perlu menjadi the learning nation.

    Riant Nugroho, Ketua Umum Masyarakat Kebijakan Publik Indonesia (MAKPI)

    (hns/hns)

  • Belajar dari Bung Hatta, Begini Strategi Menghadapi Tantangan Ekonomi Nasional

    Belajar dari Bung Hatta, Begini Strategi Menghadapi Tantangan Ekonomi Nasional

    Jakarta: Pemikiran Bung Hatta tentang kedaulatan rakyat, semangat gotong-royong, dan keadilan sosial dinilai tetap relevan dalam menghadapi berbagai tantangan ekonomi Indonesia saat ini. 
     
    Gagasan-gagasan tersebut bisa menjadi pedoman bagi para pemangku kebijakan dalam menentukan arah pembangunan ekonomi yang lebih berkeadilan.
     
    Wakil Ketua MPR RI, Lestari Moerdijat, menegaskan bahwa warisan pemikiran para pendiri bangsa, termasuk Bung Hatta, dapat menjadi landasan dalam mencari solusi atas permasalahan ekonomi nasional.

    “Pemikiran para pendiri bangsa terkait pembangunan perekonomian nasional sejatinya bisa kita cermati bersama sebagai bagian dari upaya untuk menjawab berbagai tantangan yang dihadapi bangsa ini,” ujar Lestari dalam sambutan tertulisnya pada diskusi daring bertajuk Relevansi Pemikiran Sosial Ekonomi Bung Hatta dalam Pembangunan Ekonomi Indonesia yang diselenggarakan oleh Forum Diskusi Denpasar 12 bersama Yayasan Hatta dan LP3ES, Rabu, 19 Maret 2025.
     
    Menurut Lestari, konsep kedaulatan rakyat, gotong-royong, dan keadilan sosial yang diperjuangkan Bung Hatta seharusnya menjadi dasar dalam pengambilan kebijakan ekonomi saat ini. 
     
    Ia pun mendorong generasi penerus untuk belajar dari strategi para pendiri bangsa dalam menghadapi berbagai tantangan ekonomi di masa lalu.
     

    Prinsip ekonomi Pancasila
    Senada dengan itu, Anggota Pembina Yayasan Hatta, Sri Edi Swasono, menjelaskan bahwa konsep ekonomi Pancasila merujuk pada Pasal 33 UUD 1945 yang menegaskan prinsip demokrasi ekonomi. Selain itu, dasar-dasar keadilan sosial dalam sistem ekonomi Indonesia juga termaktub dalam Pasal 27 ayat 2 UUD 1945 serta sila kelima Pancasila.
     
    Sri Edi juga mengungkapkan bahwa pada 1965, ekonom Emil Salim pernah menyusun naskah Sistem Ekonomi dan Ekonomi Indonesia atas penugasan dari Departemen Urusan Research Nasional. Dalam naskah tersebut, Emil Salim menekankan bahwa sistem ekonomi Indonesia merupakan sistem ekonomi sosialisme Pancasila yang mengedepankan nilai kekeluargaan dan solidaritas.
     
    “Kekeluargaan dalam ekonomi Indonesia bermakna brotherhood, di mana setiap elemen masyarakat memiliki tanggung jawab bersama dalam pengembangan perekonomian,” tutur Sri Edi.
     
    Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa Bung Hatta melihat sistem ekonomi Indonesia sebagai ekonomi sosialis yang lahir dari semangat perjuangan rakyat dalam menghadapi ketidakadilan di masa kolonial.
     
    Pemikiran Bung Hatta tentang koperasi sebagai pilar utama ekonomi kerakyatan juga masih sangat relevan hingga saat ini. Hal ini disampaikan oleh Dosen FEB Universitas Muslim Indonesia, Ratna Sari. Menurutnya, Bung Hatta menekankan tiga prinsip utama dalam membangun perekonomian, yaitu kemandirian ekonomi, keadilan sosial, dan demokrasi ekonomi.
     
    “Bung Hatta percaya bahwa sebuah negara merdeka harus memiliki ekonomi yang mandiri, dan koperasi adalah bentuk ekonomi yang paling sesuai dengan budaya Indonesia,” kata Ratna.
     
    Dalam konsep demokrasi ekonomi yang diusung Bung Hatta, masyarakat memiliki kendali atas sumber daya ekonomi. Ratna menegaskan bahwa rakyat tidak hanya berhak memilih pemimpin, tetapi juga harus memiliki peran dalam menentukan arah pembangunan ekonomi.
     

    Sementara itu, Staf Khusus Wakil Ketua MPR RI, Usman Kansong, menambahkan bahwa pemikiran Bung Hatta dalam bidang ekonomi, politik, dan sosial selalu berorientasi pada kedaulatan rakyat. Ia menilai bahwa konsep demokrasi ekonomi yang digagas Bung Hatta bertujuan untuk memastikan kesejahteraan masyarakat secara merata.
     
    “Dalam politik, Bung Hatta mengedepankan demokrasi kerakyatan, di mana kedaulatan berada di tangan rakyat,” ujar Usman.
     
    Pada sektor sosial, lanjutnya, pemikiran Bung Hatta tentang pendidikan menitikberatkan pada pemberdayaan rakyat, dengan tujuan akhir terciptanya keadilan sosial. Sementara di bidang ekonomi, ia berpegang teguh pada prinsip-prinsip yang tertuang dalam Pasal 33 UUD 1945 dan konsep koperasi yang ia pelajari hingga ke negara-negara Skandinavia.
     
    Menurut Usman, pemikiran Bung Hatta juga memiliki corak ke-Indonesia-an yang kental, dengan nilai-nilai religiusitas yang berakar kuat, terutama dalam konteks keislaman. Ia pun melihat bahwa gagasan Bung Hatta menawarkan jalan tengah di antara dua kutub ekstrem, yakni komunisme dan liberalisme.
     
    “Pertanyaannya, apakah kita sudah benar-benar mengimplementasikan pemikiran Bung Hatta dalam kebijakan ekonomi kita saat ini?” pungkas Usman.
     
    Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
    dan follow Channel WhatsApp Medcom.id

    (ANN)

  • Surya Paloh Sebut Pemilu 2029 Akan Paling Menantang, Begini Katanya

    Surya Paloh Sebut Pemilu 2029 Akan Paling Menantang, Begini Katanya

    PIKIRAN RAKYAT – Ketua Umum Partai NasDem Surya Paloh melihat bahwa pemilu mendatang pada tahun 2029 mungkin yang paling menantang akan dihadapi ketimbang pemilu sebelumnya. Mulanya Surya menyinggung soal eskalasi perolehan suara partainya setiap kali ikut pemilu.

    “Peningkatan terus kita capai tetapi tantangan kita yang paling berat saya pikir sama bahkan lebih berat dari pada yang berat-berat kita hadapi adalah pemilu yang akan datang pada tahun 2029,” kata Surya dalam sambutannya pada Rakornas Dewan Pertimbangan Partai Nasdem di NasDem Tower, Jakarta, Jumat, 14 Februari 2025.

    Ditemui seusai sambutannya, Surya mengatakan tantangan yang dihadapi berkaitan kebutuhan logistik. Dalam pandangannya Surya pemilu ini sangat liberal bahkan melebihi Amerika Serikat. 

    Baginya demokrasi di negara ini tidak bisa dilepaskan dengan kapitalisme. Semua yang dibutuhkan memiliki ongkos yang besar.

    “Kebutuhan logistik. Negara ini dengan demokrasi kita, demokrasi kapitalistik, liberalisme. Itu nggak boleh kita tutup-tutupin lagi. Itu paling menyedihkan kalau kita menutupi fakta lapangan. Ini demokrasi yang super liberal, lebih liberal dari Amerika,” sebutnya.

    “Negara kita ini hari ini. Ada konsekuensinya dengan kebebasan yang absolut seperti ini. Kita ini nggak ada. Kalau di Amerika itu masih dua sistem pemilihannya. Ada elektoralnya, ada popular votenya. Kita satu aja pemilih langsung,” ucapnya.

    Dalam kesempatan itu, Surya sempat memberikan kata sambutan sebelum dibukanya Rakornas Dewan Pertimbangan NasDem. Dalam arahannya Surya menyoroti fungsi Wantim yang sangat dibutuhkan Partai.

     “Wantim harus proaktif dalam melakukan kerja-kerja politik, bahkan jika diperlukan turun ke bawah hingga tingkat DPD,” katanya.

    Surya Paloh berpesan agar kader Partai Nasdem mampu bekerja lebih keras dan meningkatkan kewaspadaan naluri politiknya, 

    “Situasi hari ini mewajibkan kita untuk jauh bekerja lebih keras, meningkatkan kewaspadaan, naluri politik harus semakin dipertajam. Ingat, tidak semua apa yang kita lihat akan berjalan seperti saat ini. Gelombang pasang surut kehidupan bisa setiap saat terjadi. Berhasil atau gagalnya pemerintahan saat ini, berdampak langsung terhadap Partai Nasdem. Tapi sekali lagi, kita harus terus berjuang,” ucapnya.***

    Simak update artikel pilihan lainnya dari kami di Google News

  • Golkar Sepakat Usulan Prabowo Kepala Daerah Dipilih DPRD

    Golkar Sepakat Usulan Prabowo Kepala Daerah Dipilih DPRD

    Jakarta, Beritasatu.com – Wakil Ketua Umum Partai Golkar Idrus Marham menyatakan partainya mendukung usulan Presiden Prabowo Subianto untuk mengembalikan mekanisme pemilihan kepala daerah (pilkada) melalui DPRD.

    Golkar berencana melakukan kajian mendalam terkait penataan sistem politik dan demokrasi untuk mengatasi biaya pilkada yang tinggi serta dampaknya terhadap bangsa.

    “Kami mendukung usulan ini dan akan melakukan pengkajian komprehensif dengan melibatkan berbagai pihak. Golkar juga akan turun ke seluruh Indonesia untuk mendengar aspirasi masyarakat, mahasiswa, akademisi, dan elemen masyarakat lainnya, sesuai arahan ketua umum kami, Pak Bahlil Lahadalia,” ujar Idrus di kawasan Senayan, Jakarta, Jumat (13/12/2024).

    Idrus menjelaskan, Partai Golkar sedang mengkaji penyelenggaraan sistem demokrasi di Indonesia, termasuk alternatif kepala daerah dipilih DPRD.

    “Hasil amendemen UUD 1945 selama ini dirasakan tidak menyeluruh. Banyak yang menyadari hasilnya tidak mencerminkan nilai-nilai bangsa seperti asas Pancasila, kegotongroyongan, dan kebersamaan. Bahkan, ada pengaruh kapitalisme, individualisme, serta liberalisme yang bertentangan dengan budaya bangsa,” jelas Idrus.

    Ia menekankan pengaruh ideologi kapitalisme dan individualisme menjadi tantangan yang harus diatasi. Ketua Umum Golkar Bahlil Lahadalia telah meminta agar kajian ini menghasilkan format demokrasi yang ideal sesuai nilai-nilai Pancasila.

    Sebelumnya, Presiden Prabowo Subianto mengusulkan sistem pilkada melalui DPRD. Menurutnya, sistem pilkada langsung seperti saat ini membutuhkan biaya sangat besar, yang seharusnya bisa dimanfaatkan untuk kepentingan rakyat.

    “Sistem ini memakan anggaran hingga puluhan triliun rupiah hanya dalam satu-dua hari, baik dari negara maupun dari tokoh-tokoh politik,” ujar Prabowo dalam pidatonya di acara HUT ke-60 Partai Golkar di Sentul International Convention Center (SICC), Bogor, Kamis (12/12/2024) malam.

    Prabowo mencontohkan negara-negara, seperti Malaysia, Singapura, dan India yang menggunakan mekanisme pemilihan kepala daerah melalui DPRD. Sistem ini, menurutnya, lebih efisien dan hemat biaya.

    “Di negara-negara tetangga kita, anggota DPRD memilih gubernur dan bupati. Efisien, tidak memakan biaya besar seperti kita,” tegasnya.

    Prabowo juga menyebutkan dana yang dihemat dari pilkada langsung dapat dialokasikan untuk kebutuhan rakyat, seperti pendidikan, perbaikan sekolah, dan infrastruktur irigasi.

    “Uang itu bisa digunakan untuk memperbaiki kehidupan rakyat, untuk masa depan anak-anak kita,” kata Prabowo terkait alasannya mengusulkan kepala daerah dipilih DPRD.

  • Cak Imin Jadi Saksi Pernikahan Abid Abdurrahman dan Vassa Mustikahati, Pengantin Pria Bukan Orang Sembarangan

    Cak Imin Jadi Saksi Pernikahan Abid Abdurrahman dan Vassa Mustikahati, Pengantin Pria Bukan Orang Sembarangan

    Jakarta, Beritasatu.com – Menteri Koordinator Pemberdayaan Masyarakat Abdul Muhaimin Iskandar atau Cak Imin menjadi saksi pernikahan Abid Abdurrahman Adonis dengan Vassa Mustikahati di Kota Batam, Kepulauan Riau, Sabtu (7/12/2024). Ternyata Abid, pengantin pria, bukan sembarangan orang. Abid adalah putra tokoh NU dan alumnus The University of Oxford, Inggris.

    “Saya dan kita semua bersyukur bisa hadir menyaksikan dan mendoakan pernikahan ananda Abid Abdurrahman dengan ananda Vassa Mustikahati. Adalah pernikahan yang penuh keberkahan dan insyaallah menjadi keluarga yang sakinah mawaddah wa rahmah,” ujar Cak Imin di lokasi acara.

    Cak Imin mengungkapkan Abid yang juga putra Rois Syuriah PCNU Nganjuk, KH Roni Sya’roni beruntung bisa mempersunting Vassa. Keduanya diketahui merupakan alumnus The University of Oxford, Inggris.

    “Adik saya Abid ini sungguh beruntung mendapatkan pasangan Vassa, sama-sama pejuang di Oxford, ketemu di sana dan berjodoh. Keduanya generasi unggul, kalau sudah kuliah di Oxford itu pasti bisa dijamin unggul, amin,” ujar Gus Imin.

    “Dan ternyata saya adalah anak buah dari Kiai Sya’roni dari dahulu. Pertama kali kenal Abid saya tidak tahu kalau dia ternyata putra dari Kiai Sya’roni, pertama kenal Abid menjadi lulusan terbaik di UI yang wisuda bersama anak pertama saya,” sambung Ketum PKB itu.

    Cak Imin mendoakan keduanya bisa melahirkan putra putri yang unggul, bermanfaat bagi agama, nusa, dan bangsa.

    “Insyaallah dari keduanya ini akan lahir anak turun yang unggul yang dipersembahkan untuk agama, nusa dan bangsa. Selamat kepada kedua mempelai, adik saya Abid dan adik saya Vassa,” pungkasnya.

    Abid Abdurrahman adalah mahasiswa DPhil di Oxford Internet Institute, Pembroke College, yang dibimbing oleh Prof Vili Lehdonvirta. Penelitiannya bertujuan untuk memahami kebijakan industri digital dan kedaulatan digital dalam konteks persaingan geo-ekonomi.

    Proyek penelitian DPhilnya berjudul, “Geoekonomi Kebijakan Industri Digital di AS, UE, dan Inggris: Menelaah Liberalisme di Era Persaingan Teknologi”.

    Abid adalah Bakrie Scholar Fellow dengan beasiswa DPhil dari Bakrie Centre Foundation (BCF), Indonesia. Ia sebelumnya bekerja di Oxford Information Labs (OXIL). Abid juga merupakan mantan Presiden Perhimpunan Pelajar Indonesia Oxford (PPI Oxford).

    Sebelum bergabung dengan OII, Abid menempuh pendidikan magister ganda di bidang Hubungan Internasional di Sciences Po, Paris dan London School of Economics and Political Science (LSE). Ia meraih gelar Sarjana Ilmu Sosial di Departemen Hubungan Internasional, Universitas Indonesia. Pengantin pria, Abid Abdurrahman, bukan sembarangan orang.