Produk: lemak

  • Kelurahan Cawang jadi lokasi percontohan kuliner hijau

    Kelurahan Cawang jadi lokasi percontohan kuliner hijau

    Jakarta (ANTARA) – Kelurahan Cawang, Kecamatan Kramat Jati, Jakarta Timur ditetapkan sebagai lokasi percontohan program Kuliner Hijau untuk usaha berskala Surat Pernyataan Kesanggupan Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan (SPPL) yang menerapkan praktik ramah lingkungan.

    “Melalui pilot project ini, kami ingin para pelaku usaha memahami pengelolaan dampak lingkungan dari kegiatan usaha mereka, sekaligus mendukung upaya pemulihan lingkungan di wilayah Jakarta,” ujar Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) DKI Jakarta, Asep Kuswanto dalam keterangan di Jakarta, Jumat.

    Asep mengatakan, Kelurahan Cawang dipilih karena memiliki nilai historis dan posisi strategis sebagai penghubung antara Jakarta, Bogor, dan Bekasi. Namun, wilayah itu belum memiliki program lingkungan hidup yang secara khusus menyasar sektor UMKM kuliner di sana.

    Program Kuliner Hijau bertujuan meningkatkan kapasitas pelaku usaha dalam mengelola dampak lingkungan, mencakup pengolahan air limbah, pengendalian emisi udara, pengurangan sampah, serta pencegahan gangguan seperti bau dan kebisingan.

    Asep menjelaskan, tahapan program meliputi bimbingan teknis pengelolaan lingkungan, penyusunan rencana aksi, serta pembuatan proposal kemitraan.

    Saat bimbingan teknis, pelaku usaha akan mendapatkan pelatihan langsung dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dan tim teknis DLH DKI Jakarta mengenai penggunaan grease trap (alat penyaring lemak dan minyak dari air limbah), sistem pengolahan air limbah, teknologi pengendali emisi, serta penyusunan dokumen Matriks Pengelolaan Pemantauan Lingkungan.

    Lalu, sebagai bagian dari upaya memperkuat kesadaran lingkungan di sektor kuliner, DLH DKI Jakarta membentuk Komunitas Kuliner Hijau sebagai wadah berbagi pengalaman, inovasi, dan kolaborasi antarpelaku UMKM dalam menerapkan praktik usaha berkelanjutan.

    Komunitas tersebut juga akan membuka peluang kerja sama penyediaan sarana pengendalian pencemaran, seperti grease trap, instalasi pengolahan air limbah (IPAL) tepat guna, serta pengelolaan sampah organik dan minyak jelantah.

    Pewarta: Lia Wanadriani Santosa
    Editor: Syaiful Hakim
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Diabetes Tak Selalu Bergejala, Ini Saran Dokter Buat yang Doyan Manis

    Diabetes Tak Selalu Bergejala, Ini Saran Dokter Buat yang Doyan Manis

    Jakarta

    Konsumsi gula berlebihan dikaitkan dengan penyakit diabetes. Sayangnya, banyak orang yang tak sadar jika sudah mengonsumsi gula melebihi batas yang dianjurkan.

    Spesialis Penyakit dalam Brawijaya Hospital, dr Erpryta Nurdia Tetrasiwi, SpPD, mengatakan, skrining kesehatan penting dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya dampak konsumsi gula berlebih. Dengan mengetahui kadar gula darah, maka pola hidup yang sebelumnya mungkin tidak sehat bisa langsung diubah.

    “Kalau masalah gula harus cek lab, tentu saja. Tidak hanya gula sewaktu, jadi harus diagnosis untuk diabetes mellitus itu, paling tidak ada gula darah puasa, atau namanya HbA1c, ya itu adalah rata kadar gula darah 2-3 bulan terakhir, dimana kita jadi tahu, ‘oh saya ini aman gak sih?’ Atau saya masuk ke prediabetes, atau saya sudah diabetes, seperti itu,” kata dr Erpryta dalam acara detikcom Leaders Forum, Jumat (31/10/2025).

    Setelah melakukan pengecekan kadar gula darah, kesadaran diri akan muncul. Dari sanalah seseorang bisa memulai untuk membedakan makanan yang sehat dan tidak sehat. Menurut dr Erpryta, salah satu hal yang paling utama dari pencegahan penyakit tidak menular adalah lifestyle modification.

    “Dari pertama adalah diet. Diet itu bukan berarti tidak makan, tapi tahu apa yang dimakan,” tutur dr Erpryta.

    Penting untuk mengetahui asupan gula yang dianjurkan. Kementerian Kesehatan menyarankan batas konsumsi gula garam dan lemak yakni 50 gram per hari atau setara dengan 4 sendok makan.

    Pencegahan selanjutnya yang bisa dilakukan adalah melakukan aktivitas fisik. Olahraga yang disarankan yaitu 3 sampai 5 kali seminggu, dengan durasi 30 menit- sampai 45 menit.

    “Kalau bisa paling tidak 150 menit sehari. Dan ini ada catatannya, kalau memungkinkan jangan ada jeda 2 hari berturut-turut, misalnya hari ini olahraga, hari ini olahraga, besok istirahat bentar, boleh deh, tapi kalau bisa usahakan besok olahraga lagi. Seperti itu, dan jangan lupa untuk re-evaluasi berkala, karena kalau sekali doang ya percuma,” dr Erpryta mengingatkan.

    dr Erpryta bercerita, banyak pasien yang datang untuk memeriksakan kadar gula darah berkala, tapi tidak memerhatikan hasilnya. Mereka menganggap prosedur tersebut hanya formalitas semata. Ketika sadar, dirinya sudah prediabetes.

    “Jadi ini akumulasi, jadi semakin dini kita mengetahui, semakin kita bisa lifestyle modification, semakin kita bisa insya Allah hidup sehat,” pungkasnya.

    Halaman 2 dari 2

    (elk/up)

  • Teh Hitam Vs Kopi Hitam, Mana yang Lebih Sehat? Ini Kata Ahli Gizi dari Oxford

    Teh Hitam Vs Kopi Hitam, Mana yang Lebih Sehat? Ini Kata Ahli Gizi dari Oxford

    Jakarta

    Perdebatan soal mana yang lebih sehat antara teh hitam dan kopi hitam terus menjadi topik yang kerap dibicarakan. Keduanya sama-sama menjadi ritual pagi bagi jutaan orang di seluruh dunia.

    Namun, di antara keduanya, mana yang sebenarnya lebih baik untuk kesehatan? Ahli gizi bersertifikat Oxford sekaligus pakar kebugaran, Suman Agarwal, memberikan penjelasannya.

    1. Kandungan Kafein

    Kopi hitam merupakan salah satu minuman paling populer di dunia. Terbuat dari biji kopi yang disangrai, minuman ini sering dikonsumsi di pagi hari karena efek stimulasinya yang kuat. Menurut National Library of Medicine, satu cangkir kopi seduh berukuran 8 ons mengandung sekitar 80-100 miligram kafein.

    Sebagai perbandingan, satu cangkir teh hitam mengandung sekitar 30-50 miligram kafein, sedangkan teh hijau dan teh putih memiliki kadar yang lebih rendah.

    Agarwal menjelaskan, kandungan kafein yang tinggi dalam kopi menyebabkan peningkatan dopamin secara cepat, sehingga membuat seseorang lebih waspada.

    “Teh juga memberikan efek kewaspadaan, tetapi teh mengandung L-theanine, asam amino yang memiliki efek menenangkan pada sistem saraf. Jadi, efek rangsangnya menjadi lebih seimbang,” ujarnya, dikutip dari Times of India.

    2. Metabolisme dan Pembakaran Lemak

    Selain membantu tubuh lebih terjaga, baik kopi maupun teh dikaitkan dengan peningkatan metabolisme dan pembakaran lemak.

    “Kopi mengandung asam klorogenat yang membantu metabolisme lemak,” jelas Agarwal.

    Sebuah studi tahun 2021 dari Universitas Southampton dan Edinburgh menemukan konsumsi tiga cangkir kopi per hari dapat menurunkan risiko penyakit hati berlemak hingga 20 persen dan risiko kematian akibat penyakit hati kronis hingga 49 persen. Studi tersebut melibatkan hampir 500.000 peserta, dan hasil terbaik terlihat pada mereka yang mengonsumsi kopi bubuk.

    Sementara itu, teh hitam juga memiliki manfaat serupa. “Teh hitam, teh Darjeeling, silver tip, dan teh putih mengandung polifenol dan katekin yang membantu meningkatkan metabolisme dan mendorong pembakaran lemak,” tambahnya.

    3. Faktor Stres

    Banyak orang memulai hari dengan secangkir kopi. Meski mampu meningkatkan energi, kadar kafein yang tinggi juga dapat memicu peningkatan kortisol, hormon utama penyebab stres. Agarwal mengingatkan kopi tidak cocok untuk semua orang karena bisa memperburuk kecemasan pada sebagian individu. Di sisi lain, teh cenderung lebih lembut terhadap sistem saraf.

    Namun, ia menegaskan baik teh maupun kopi dapat memicu asam lambung atau ketidaknyamanan pencernaan pada orang yang memiliki sensitivitas lambung. Agarwal juga menekankan anak-anak sebaiknya tidak mengonsumsi teh maupun kopi, karena kedua minuman ini dapat menghambat penyerapan kalsium dan zat besi dalam tubuh.

    Halaman 2 dari 2

    (suc/suc)

  • Aritmia Picu Stroke Ringan, Dokter Wanti-wanti Generasi Muda Juga Bisa Kena

    Aritmia Picu Stroke Ringan, Dokter Wanti-wanti Generasi Muda Juga Bisa Kena

    Jakarta

    Psikolog anak Seto Mulyadi atau yang akrab disapa Kak Seto tengah menjalani perawatan karena stroke ringan. Belakangan, Kak Seto juga diketahui mengalami aritmia, atau gangguan irama jantung.

    Ia sempat mengeluhkan gejala seperti pusing dan linglung beberapa hari sebelum memeriksakan diri. Apa kaitan keduanya?

    Dokter spesialis jantung dan pembuluh darah, dr. Vito A. Damay, SpJP, MKes, FIHA, FAsCC, menjelaskan aritmia, terutama atrial fibrilasi (AF), merupakan salah satu kondisi yang dapat memicu stroke karena aliran darah di jantung tidak stabil.

    “Pada aritmia seperti AF, jantung berdenyut tidak teratur sehingga aliran darah melambat dan dapat terbentuk trombus atau bekuan darah di dalam jantung. Bekuan ini dapat lepas dan menyumbat pembuluh darah otak, sehingga memicu stroke,” beber dr Vito kepada detikcom Kamis (30/10/2025).

    Ia menambahkan, kelemahan otot jantung (heart failure) juga bisa memicu terbentuknya bekuan darah serupa, sehingga meningkatkan risiko stroke.

    “Jadi bukan cuma orang tua yang bisa mengalami ini. Memang makin bertambah usia risikonya meningkat, tapi pada usia muda pun bisa terjadi, terutama bila ada faktor risiko lain seperti hipertensi, diabetes, obesitas, kolesterol tinggi, merokok, sumbatan jantung atau kelemahan pompa jantung,” lanjut dia.

    Kenapa Anak Muda Juga Berisiko?

    dr Vito mengingatkan aritmia bisa muncul tanpa gejala. Banyak orang baru mengetahuinya setelah pemeriksaan kesehatan rutin atau setelah mengalami keluhan lebih lanjut.

    “Karena itu, deteksi check up jantung sesuai usia dan kondisi klinis dan penanganan aritmia atau obat pengencer darah penting, agar kita bisa mencegah komplikasi seperti stroke,” bebernya.

    Perubahan pola hidup modern, kurang tidur, stres, konsumsi kafein berlebihan, hingga makanan tinggi gula dan lemak, juga semakin memperbesar risiko ini.

    Gejala Aritmia

    Dikutip dari Mayo Clinic, aritmia mungkin tidak menimbulkan gejala apapun. Detak jantung yang tidak teratur mungkin baru diketahui saat pemeriksaan kesehatan karena alasan lain.

    Gejala aritmia dapat meliputi:

    Rasa berdebar, berdebar-debar, atau berdebar kencang di dada.

    Detak jantung cepat.

    Detak jantung lambat.Nyeri dada.Sesak napas.Gejala lain dapat meliputi:Kecemasan.Merasa sangat lelah.Pusing atau sakit kepala ringan.Berkeringat.Pingsan atau hampir pingsan.

    Kapan harus ke dokter?

    Jika merasa jantung berdetak terlalu cepat atau terlalu lambat, atau melewatkan satu detak pun, segera melakukan pemeriksaan kesehatan. Dapatkan perawatan medis darurat jika Anda mengalami gejala-gejala nyeri dada, sesak napas, pingsan.

    Halaman 2 dari 3

    (naf/kna)

  • Ancaman Gula Berlebih: Manis Sesaat, Diabetes Sepanjang Hayat

    Ancaman Gula Berlebih: Manis Sesaat, Diabetes Sepanjang Hayat

    Jakarta

    Diabetes, ‘ibu dari segala penyakit’ yang bisa memicu komplikasi sejumlah penyakit seperti stroke, jantung, gagal ginjal, mulai mengintai usia muda. Pola makan tinggi gula, garam, dan lemak (GGL) menjadi salah satu faktor pemicu utamanya.

    Survei Kementerian Kesehatan menunjukkan sebanyak 29,7 persen penduduk Indonesia mengonsumsi pangan dengan kandungan GGL melampaui batas rekomendasi. Kondisi ini berpotensi memperburuk tren peningkatan kasus diabetes yang mulai banyak menyerang usia produktif.

    Salah satu upaya yang tengah disiapkan pemerintah adalah penerapan label informasi gizi atau rencananya ‘Nutri-level’ pada produk pangan olahan dan pangan siap saji.

    Melalui sistem Nutri Level, konsumen dapat dengan cepat mengetahui seberapa tinggi kandungan GGL pada suatu produk, dengan melihat warna serupa ‘traffic light’. Pendekatan kebijakan yang juga dipilih di beberapa negara lain, termasuk Singapura. Warna hijau menandakan kandungan rendah GGL, sementara merah sebaliknya.

    Langkah ini diharapkan bisa mendorong masyarakat untuk merubah pola makan menjadi lebih sehat.

    “Penerapan kewajiban pencantuman Nutri Level dilakukan secara bertahap. Untuk tahap pertama, ditargetkan pada minuman siap konsumsi dengan kandungan GGL level C dan D,” beber Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan, Taruna Ikrar, dalam satu kesempatan.

    Kebijakan ini akan diselaraskan antara BPOM dan Kementerian Kesehatan, agar regulasi pangan olahan dan pangan siap saji berjalan seiring dan saling memperkuat.

    Direktur Penyakit Tidak Menular Kemenkes RI dr Siti Nadia Tarmizi juga menekankan perubahan perilaku konsumsi perlu dilakukan sedini mungkin.

    “Anak muda sekarang rentan karena gaya hidupnya serba instan dan banyak konsumsi minuman tinggi gula. Tanpa intervensi kebijakan seperti Nutri Level, risiko diabetes akan terus meningkat di usia muda,” jelas dia.

    Upaya ini juga diharapkan dapat mendorong transparansi industri pangan dan menciptakan ekosistem yang lebih sehat, baik bagi konsumen maupun pelaku usaha.

    Lebih detail tentang rencana penerapan Nutri Level di Indonesia, detikcom Leaders Forum kembali hadir dengan tema ‘Ancaman Gula Berlebih: Manis Sesaat, Diabetes Sepanjang Hayat‘. Akan hadir sebagai pembicara, Kepala BPOM Taruna Ikrar, Direktur Penyakit Tidak Menular Kementerian Kesehatan dr Siti Nadia Tarmizi, CEO Nutrifood Mardi Wu mewakili pelaku usaha pangan, dan praktisi klinis – dokter spesialis penyakit dalam Brawijaya Hospital dr Erpryta Nurdia Tetrasiwi, SpPD.

    Nantikan penayangannya, Jumat (31/10/2025) di detikcom.

    Halaman 2 dari 2

    (naf/up)

  • Biang Kerok Banyak Penyakit, Berapa Batas Maksimum Konsumsi Gula Garam Lemak Harian?

    Biang Kerok Banyak Penyakit, Berapa Batas Maksimum Konsumsi Gula Garam Lemak Harian?

    Jakarta

    Penyakit degeneratif kini semakin banyak ditemui pada usia yang masih tergolong muda. Mengenali anjuran batas maksimum konsumsi gula, garam, dan lemak harian dapat mengurangi risiko tersebut.

    Kondisi seperti hipertensi, diabetes, stroke, dan penyakit jantung dulu lebih sering dialami orang lanjut usia, tetapi sekarang makin banyak terjadi di usia produktif. Salah satu pemicu utamanya adalah pola makan tinggi Gula, Garam, dan Lemak (GGL).

    Di tengah gaya hidup yang serba cepat, pilihan makanan sering ditentukan oleh faktor praktis dan rasa. Makanan-makanan yang tinggi gula memang terasa lebih memuaskan dan makanan asin lebih menggugah selera. Namun konsumsi berlebihan dalam jangka panjang dapat memberi dampak besar pada kesehatan tubuh.

    Apa itu Penyakit Degeneratif?

    Penyakit degeneratif adalah penyakit yang muncul akibat penurunan fungsi atau kerusakan organ tubuh secara bertahap. Proses ini tidak terjadi dalam semalam, melainkan berlangsung perlahan dan sering tanpa disadari.

    Ada dua faktor risiko yang tidak bisa diubah, yaitu:

    1. Usia

    Semakin bertambah usia, metabolisme mulai melambat, pembuluh darah mengalami penurunan elastisitas, dan respons sel tubuh terhadap hormon seperti insulin ikut menurun.

    2. Keturunan/Genetik

    Seseorang bisa memiliki risiko/kecenderungan alami lebih tinggi mengalami hipertensi, diabetes, stroke, atau penyakit jantung karena faktor riwayat penyakit keluarga.

    Meski demikian, ada satu faktor risiko yang sangat berpengaruh dan sepenuhnya dapat dikendalikan, yaitu pola makan. Jadi penyakit degeneratif dapat kita cegah dengan mengurangi konsumsi GGL.

    Asupan gula yang berlebihan dapat memicu lonjakan glukosa darah yang membuat pankreas bekerja berat untuk memproduksi insulin. Garam berlebih bisa memicu peningkatan tekanan darah, sementara asupan lemak yang tinggi, terutama lemak jenuh dan lemak trans, mempercepat pembentukan plak pada pembuluh darah. Ketiganya saling berhubungan dan penyebab kesehatan menjadi buruk.

    Anjuran Batas Konsumsi GGL

    Kementerian Kesehatan RI menganjurkan batas konsumsi GGL harian berikut:

    Gula: maksimal 50 gram per hari.

    World Health Organization tahun 2015 menjelaskan konsumsi gula tambahan di atas 10% total energi harian meningkatkan risiko inflamasi sistemik, obesitas, dan diabetes.

    Garam: maksimal 5 gram per hari atau setara satu sendok teh.

    Studi dari jurnal Frontiers in Physiology tahun 2015 menunjukkan bahwa penurunan asupan garam

    Lemak: maksimal sekitar 67 gram per hari

    Laporan American Heart Association tahun 2019 menyebutkan bahwa mengurangi lemak jenuh dan trans menurunkan kadar kolesterol LDL serta risiko penyakit jantung koroner.

    Anjuran pembatasan GGL oleh Kementerian Kesehatan RI, bukan hanya angka yang dibuat tanpa dasar, melainkan hasil tinjauan ilmiah jangka panjang terhadap data kesehatan masyarakat dunia. Konsumsi yang melebihi batas yang dianjurkan dalam waktu lama akan meningkatkan beban kerja organ, mempercepat peradangan, dan memicu kerusakan jaringan.

    Penyakit Degeneratif yang Berkaitan dengan Konsumsi GGL Berlebih

    Beberapa penyakit yang berkaitan dengan konsumsi GGL berlebih adalah sebagai berikut.

    1. Stroke

    Stroke terjadi ketika suplai darah ke otak terhenti atau berkurang. Kondisi ini sangat berkaitan dengan hipertensi, diabetes, dan kolesterol tinggi. Penelitian dari Jurnal Lancet Neural tahun 2021 menjelaskan bahwa ketiga faktor tersebut merupakan penyumbang utama risiko stroke secara global.

    Gula berlebih dapat merusak pembuluh darah halus (kapiler) di otak. Garam berlebih meningkatkan tekanan darah sehingga pembuluh darah dapat pecah. Kolesterol berlebih mempersempit aliran darah. Ketiganya saling berinteraksi dan mempercepat kerusakan.

    2. Hipertensi

    Garam menyebabkan retensi cairan di dalam tubuh. Semakin banyak garam yang dikonsumsi, tubuh akan menahan air lebih banyak untuk menyeimbangkannya. Hal ini menyebabkan volume darah meningkat dan tekanan pada dinding pembuluh darah naik.

    Studi ilmiah yang diterbitkan di Jurnal Nutrients tahun 2019 menunjukkan bahwa pengurangan garam secara konsisten menurunkan tekanan darah, termasuk pada individu yang sebelumnya tidak memiliki hipertensi.

    Hipertensi disebut sebagai silent killer karena sering berlangsung tanpa gejala, tetapi menjadi penyebab penyakit yang lebih berat seperti serangan jantung dan stroke.

    3. Diabetes

    Konsumsi gula berlebih dalam jangka panjang memicu resistensi insulin. Tubuh menjadi kurang sensitif terhadap insulin sehingga gula tidak dapat masuk ke sel dan tetap tinggi dalam darah. Diabetes tipe 2 kemudian dapat memicu komplikasi lain seperti kebutaan, gagal ginjal, dan kerusakan saraf.

    4. Penyakit Jantung Koroner

    Asupan lemak jenuh dan lemak trans berlebih meningkatkan kadar Low-Density Lipoprotein (LDL) atau kolesterol jahat. LDL yang tinggi dapat memicu pembentukan plak di dinding pembuluh darah (aterosklerosis).

    Ketika plak menebal, pembuluh darah menyempit sehingga aliran darah ke jantung berkurang. Kondisi ini dapat memicu nyeri dada (angina) hingga serangan jantung.

    Penelitian yang berjudul Reduction in Saturated Fat Intake for Cardiovascular Disease tahun 2020 menyatakan bahwa pengurangan lemak trans dan jenuh secara konsisten menurunkan risiko penyakit jantung koroner dalam jangka panjang.

    5. Penyakit Ginjal Kronis

    Tekanan darah tinggi dan gula darah tinggi merupakan dua penyebab utama kerusakan ginjal. Pembuluh darah pada ginjal menjadi kaku dan rusak, menyebabkan fungsi filtrasi menurun. Data dari National Kidney Foundation tahun 2025 mencatat bahwa 66% kasus penyakit ginjal kronis berhubungan dengan diabetes dan hipertensi yang tidak terkontrol.

    Kesimpulan

    Penyakit degeneratif bukan terjadi tiba-tiba. Ia terbentuk dari kebiasaan sehari-hari yang tampak sederhana tetapi berlangsung bertahun-tahun. Usia dan faktor keturunan memang tidak dapat diubah, namun pola makan dan gaya hidup dapat dikendalikan sepenuhnya.

    Membatasi konsumsi GGL bukan berarti harus menghindari penggunaan GGL dalam makanan, tetapi memahami bahwa tubuh harus membatasi konsumsi GGL. Apabila konsumsi GGL dilewati terus-menerus dari batas anjuran, akan berujung pada peningkatan risiko penyakit degeneratif.

    Terkait asupan GGL, detikcom Leaders Forum akan hadir dengan tema ‘Ancaman Gula Berlebih: Manis Sesaat, Diabetes Sepanjang Hayat’. Hadir sebagai pembicara, Kepala BPOM RI Taruna Ikrar, Direktur Penyakit Tidak Menular Kementerian Kesehatan dr Siti Nadia Tarmizi, CEO Nutrifood Mardi Wu mewakili pelaku usaha pangan, dan dokter spesialis penyakit dalam dari Brawijaya Hospital dr Erpryta Nurdia Tetrasiwi, SpPD.

    Nantikan penayangannya, Jumat (31/10/2025) di detikcom.

    Halaman 2 dari 5

    Simak Video “BPOM Akan Edukasi Masyarakat soal Labeling Gula, Garam, Lemak”
    [Gambas:Video 20detik]
    (mal/up)

  • Disukai Warga +62, Makanan Ini Berisiko Picu Kanker Lambung dan Usus

    Disukai Warga +62, Makanan Ini Berisiko Picu Kanker Lambung dan Usus

    Jakarta

    Di Indonesia, cabai sudah menjadi bagian penting dalam banyak hidangan. Rasanya, seperti ada yang kurang jika makanan yang disajikan tidak pedas.

    Namun, terlalu banyak mengonsumsi cabai atau makanan pedas, memiliki risiko kesehatan. Seperti kanker lambung dan kanker perut.

    Dikutip dari Times of India, dalam beberapa tahun terakhir, para peneliti telah melakukan riset apakah konsumsi cabai secara teratur dapat dikaitkan dengan risiko kesehatan, termasuk beberapa jenis kanker saluran cerna.

    Sebuah studi yang diterbitkan dalam jurnal Frontiers in Nutrition menemukan adanya hubungan yang kompleks antara cabai dan kanker saluran cerna.

    Meskipun asupan cabai dalam porsi sedang dapat memberikan beberapa efek perlindungan pada tubuh karena sifat antioksidannya, tapi jika makan dalam jumlah berlebih dapat meningkatkan risiko kanker yang memengaruhi esofagus, lambung, dan usus besar.

    Bagaimana Hubungannya?

    Senyawa bioaktif utama dalam cabai adalah capsaicin yang memberikan rasa pedas khas. Senyawa ini telah lama dipelajari manfaatnya bagi kesehatan, termasuk meredakan nyeri, efek anti-inflamasi, dan potensi pembakaran lemak.

    Namun, risiko terkait kanker juga masih beragam. Seperti yang ditemukan para peneliti, konsumsi cabai yang tinggi atau sering, terutama dalam bentuk mentah dan sangat pedas dapat menyebabkan iritasi kronis dan peradangan di saluran pencernaan.

    Seiring waktu, peradangan ini dapat menyebabkan kerusakan sel, suatu proses yang dapat meningkatkan risiko perkembangan kanker.

    Tergantung dengan Kuantitas, Frekuensi, dan Metode Persiapan

    Meskipun memiliki risiko kanker, konsumsi cabai yang sedang mungkin tidak berbahaya dan bahkan dapat memberikan manfaat karena sifat anti-oksidan dan anti-inflamasi capsaicin yang mendukung metabolisme.

    Jenis cabai dan pola makan secara keseluruhan, seperti tidak didukung dengan asupan buah, sayur, dan serat yang cukup juga dapat memengaruhi risiko kanker, sehingga pentingnya pola makan seimbang.

    Halaman 2 dari 2

    (dpy/kna)

  • Sederet Rahasia Umur Panjang Orang Jepang, Ternyata Sesimpel dan Mudah Ditiru

    Sederet Rahasia Umur Panjang Orang Jepang, Ternyata Sesimpel dan Mudah Ditiru

    Jakarta

    Jepang dikenal dengan negara yang memiliki angka harapan hidup yang tinggi. Pemerintah Negeri Sakura bahkan melaporkan hampir 100.000 ribu warganya yang berusia di atas 100 tahun.

    Dikutip dari Times of India, angka harapan hidup di Jepang sekitar 84,8 tahun. Selain sistem layanan kesehatan yang mumpuni, cara masyarakat di sana menjalani kehidupan sehari-hari juga berpengaruh terhadap umur panjang.

    Lantas, apa saja kebiasaan-kebiasaan masyarakat Jepang yang membantu mereka mendapatkan umur panjang?

    1. Air Sebagai Media Masak

    Mengukus, merebus, dan merebus setengah matang membantu mempertahankan nutrisi seperti vitamin C dan vitamin B yang sering hilang saat menggoreng. Metode berbasis air ini juga mencegah pembentukan senyawa berbahaya yang terkait dengan peradangan dan penyakit jantung.

    Karena sedikit atau tanpa minyak, makanan menjadi lebih ringan, lebih mudah dicerna, dan lebih rendah kalori. Gaya memasak yang lembut ini meningkatkan kesehatan usus, hidrasi, dan kesehatan kardiovaskular jangka panjang.

    2. Diet Kaya Omega 3

    Pola makan orang Jepang tetap berakar pada ikan segar, sayuran, dan makanan fermentasi rendah minyak berat. Pendekatan kaya nutrisi ini secara alami menyediakan antioksidan dan omega-3 yang membantu mengurangi peradangan dan mendukung kesehatan jantung.

    Makanan pokok fermentasi seperti miso dan acar juga menutrisi usus dengan bakteri baik, yang meningkatkan pencernaan dan kesejahteraan secara keseluruhan.

    3. Porsi Sedikit

    Orang-orang Jepang kebanyakan makan dengan memegang prinsip ‘hara hachi bu’. Artinya, mereka akan berhenti makan setelah merasa sekitar 80 persen kenyang, tidak sampai membuat perut begah.

    Berhenti makan sebelum kenyang ini dapat menjaga berat badan agar tetap terkendali. Dikombinasikan dengan asupan gula dan lemak yang rendah secara alami, prinsip ini berkontribusi pada kesehatan masyarakat Jepang secara keseluruhan.

    4. Tetap Aktif

    Saat banyak masyarakat di negara-negara lain memilih untuk hidup kurang aktif, warga Jepang justru hidup sebaliknya.

    Aktivitas fisik menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari di Jepang melalui jalan kaki, bersepeda, dan partisipasi aktif dalam kelompok. Hal ini membantu menjaga kesehatan otot, tulang, dan jantung yang kuat selama masa penuaan.

    5. Tidak Makan Berat Jelang Tidur

    Makan malam di Jepang cenderung lebih ringan dan dimakan lebih awal, sehingga pencernaan lebih lancar sebelum tidur.

    Menghindari makan malam berat sebelum tidur dapat meningkatkan kualitas tidur, mencegah gangguan pencernaan seperti asam lambung naik, membantu menjaga berat badan karena metabolisme yang lebih baik, serta menjaga kadar gula darah tetap stabil.

    Halaman 2 dari 3

    (dpy/suc)

  • Warga +62 Banyak yang Hipertensi, Berujung Stroke di Usia Muda

    Warga +62 Banyak yang Hipertensi, Berujung Stroke di Usia Muda

    Jakarta

    Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menyoroti fenomena stroke di Tanah Air. Kini, kasus stroke tak lagi hanya bisa terjadi pada mereka di usia 50 tahun ke atas, bahkan usia di bawah 40 tahun juga berisiko.

    “Bahkan yang mengalami stroke itu di bawah usia 40 tahun, yang tadinya kita menemukan pada usia-usia lansia atau usia di atas 50 tahun,” kata Direktur P2PTM Kemenkes, dr Siti Nadia Tarmizi saat ditemui di Jakarta Pusat, Senin (27/10/2025).

    Menurut dr Nadia, salah satu penyebab banyaknya stroke di usia dewasa muda, dipengaruhi oleh meningkatnya kasus hipertensi yang mulai meningkat trennya.

    “Kita lihat prevalensinya (hipertensi) agak jauh lebih besar, sekitar 15-18 persen. Lebih tinggi dari yang DM (diabetes melitus),” kata dr Nadia.

    Kemenkes sendiri mencatat tidak sedikit juga kasus hipertensi yang ditemukan di usia 30 tahun. Tentunya, gaya hidup yang buruk menjadi faktor utama dalam kondisi ini.

    “Pola yang sama juga untuk hipertensi. Kita tahu pola konsumsi gula, garam, lemak (GGL),” kata Nadia.

    “Kemudian kita tahu ada sikap masyarakat yang mulai selalu sedentary (malas-malasan), aktivitas berkurang, karena kan semua memudahkan karena ada teknologi informasi,” sambungnya.

    Bagaimana Mencegah Hipertensi?

    Dikutip dari laman UGM, Guru Besar dan Dosen Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan (FK-KMK) UGM, Prof dr Fatwa Sari Tetra Dewi, MPH, PhD mengatakan seringkali hipertensi ini memang tidak disadari oleh dewasa muda.

    “Anak-anak muda tidak menyadari kalau mereka menderita hipertensi karena masih merasa sehat dari sisi kemampuan tubuh,” ujar Prof Fatwa.

    Fatwa menambahkan bahwa pengendalian hipertensi yang paling efektif itu dilakukan seawal mungkin, dimulai saat masih dini dengan menanamkan perilaku hidup sehat.

    Beberapa perilaku yang bisa dihindari menurut Prof Fatwa untuk mencegah hipertensi, di antaranya:

    MerokokPola makan tinggi lemakKurang konsumsi sayur dan buahKurang aktivitas fisik (mager)Stres

    Halaman 2 dari 2

    (dpy/kna)

  • Mulai Banyak Anak Muda Kena Penyakit Gula, Bebani BPJS Kesehatan Triliunan Rupiah

    Mulai Banyak Anak Muda Kena Penyakit Gula, Bebani BPJS Kesehatan Triliunan Rupiah

    Jakarta

    Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular (P2PTM) Kemenkes dr Siti Nadia Tarmizi mengatakan angka diabetes terus mengalami peningkatan. Tak terkecuali bagi generasi muda di bawah usia 40 tahun, sudah mengidap diabetes tipe 2.

    “Angka diabetes terus terjadi peningkatan. Sekarang (prevalensi) sempat 8 persen, sekarang jadi 10 persen,” kata Nadia saat ditemui di Jakarta Pusat, Senin (27/10/2025).

    “Tadi kita lihat pada peluncuran ini, di bawah 40 tahun itu sudah ada yang terkena diabetes. Usia 30 tahun ke atas itu juga sudah terkena diabetes tipe 2, artinya diabetes yang didapat. Walaupun jumlahnya masih sedikit, tetapi ada tren peningkatan,” sambungnya.

    Gaya Hidup Buruk Jadi Faktornya

    Nadia menambahkan, gaya hidup yang buruk masih menjadi faktor utama dari dewasa muda sudah mengidap diabetes tipe 2.

    “Kita tahu pola konsumsi gula, garam, lemak (GGL). Kemudian kita tahu ada sikap masyarakat yang mulai selalu sedentary (malas-malasan), aktivitas berkurang, karena kan semua memudahkan karena ada teknologi informasi,” katanya.

    Senada, Direktur Utama BPJS Kesehatan Ali Ghufron Mukti mengatakan pembiayaan peserta JKN terkait diabetes telah menelan anggaran cukup tinggi.

    “Tahun 2024, ada 20,5 juta peserta JKN terdiagnosis hipertensi dan 7,4 juta peserta JKN terdiagnosis diabetes melitus. Total biaya pelayanan kesehatan kedua penyakit tersebut mencapai Rp 30,5 triliun, termasuk untuk penanganan penyakit penyerta seperti stroke, gagal ginjal, dan jantung,” ujar Ghufron.

    Halaman 2 dari 2

    (dpy/kna)