Foto Bisnis
ANTARA FOTO/ Fakhri Hermansyah – detikFinance
Rabu, 20 Nov 2024 10:00 WIB
Bekasi – Tiang Listrik Aliran Atas (LAA) miring dan menutupi jalur KRL Commuter Line di Harapan Mulya, Bekasi. Akibatnya perjalanan KRL terganggung.

Bisnis.com, JAKARTA — Kekhawatiran masyarakat soal potensi kenaikan pengeluaran pada tahun bukan isapan jempol belaka. Pasalnya terdapat peluang kenaikan sejumlah komponen dan tambahan pungutan pada 2025, yang akan memengaruhi belanja masyarakat.
Wacana pajak pertambahan nilai alias PPN naik jadi 12% menjadi isu panas belakangan, karena dianggap berlaku saat daya beli masyarakat tidak prima. Kenaikan harga barang-barang menjadi dampak kenaikan PPN 12% yang paling dikhawatirkan masyarakat.
Rencana kenaikan pajak itu pun menyeruak tidak lama setelah ramainya isu pembatasan subsidi tarif kereta rel listrik (KRL). Pemerintah ingin memberlakukan subsidi KRL berbasis NIK atau nomor induk kependudukan (NIK), karena menganggap banyak masyarakat mampu yang menggunakan KRL—meskipun merupakan transportasi umum atau bisa digunakan siapapun.
Rentetan tambahan pungutan dan iuran itu juga berseliweran di tengah penurunan jumlah kelas menengah Indonesia, yang menurut sejumlah pakar perlu menjadi perhatian. Pasalnya, kelas menengah (middle class) menjadi kelompok penting bagi perekonomian Indonesia, yang separuh produk domestik brutonya (PDB) berasal dari konsumsi.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa dalam lima tahun terakhir, jumlah kelas menengah berkurang 9,48 juta orang. Mereka ‘turun kasta’ menjadi kelompok menuju kelas menengah (aspiring middle class).
Berkurangnya jumlah kelas menengah dikhawatirkan akan berpengaruh terhadap kondisi perekonomian Tanah Air, terutama dari sisi konsumsi. Adanya risiko tambahan beban belanja juga menimbulkan di kalangan kelas menengah, karena kenaikan upah belum terlihat besarannya.
Bisnis menghimpun setidaknya 10 pungutan yang berpotensi naik atau bertambah pada 2025. Artinya, kurang dari dua bulan lagi, masyarakat perlu bersiap untuk membayar berbagai kewajiban tersebut apabila jadi berlaku.
Lantas, apa saja pungutan yang berpotensi naik tahun depan?
1. PPN Naik jadi 12%
Pemerintah telah merencanakan kenaikan tarif PPN dari 11% menjadi 12% per 1 Januari 2025. Dari besarannya, tarif pajak itu mengalami kenaikan 9,09%.
Sebelumnya terdapat sinyal penundaan kenaikan tarif tersebut karena pemerintah belum memperhitungkan PPN 12% dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Berkali-kali, otoritas terkait menyebutkan bahwa nasib tarif PPN berada di tangan Prabowo.
Usai Prabowo menduduki kursi RI 1, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memberikan sinyal di hadapan Komisi XI DPR, bahwa tidak akan melakukan penundaan implementasi tarif PPN 12% pada 2025.
“Jadi kami di sini sudah dibahas dengan bapak ibu sekalian sudah ada UU-nya, kita perlu siapkan agar itu bisa dijalankan, tapi dengan penjelasan yang baik sehingga kita tetap bisa [jalankan],” ujarnya dalam Raker bersama Komisi XI DPR, Rabu (13/11/2024).
2. Tapera
Program Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) membuat masyarakat harus membayar simpanan sebesar 3% dari gaji atau upah peserta. Kini Tapera masih berlaku untuk kalangan aparatur sipil negara (ASN) sebagai pengalihan dari program Tabungan Perumahan (Taperum).
Implementasi Tapera secara luas berlaku paling lambat 2027, mencakup seluruh pekerja, yaitu pekerja swasta dan pekerja lepas. Masih terdapat kemungkinan tabungan tersebut tidak akan diterapkan tahun depan, tetapi pemerintah memiliki rencana untuk melakukan perluasan secara bertahap.
Berdasarkan Pasal 68 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25/2020 tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat, pemberi kerja mendaftarkan pekerjanya kepada BP Tapera paling lambat 7 tahun sejak tanggal berlakunya PP tersebut.
3. Iuran BPJS Kesehatan
Terdapat wacana iuran BPJS Kesehatan direncanakan naik pada tahun depan. Direktur Utama BPJS Kesehatan Ali Ghufron Mukti pun telah memberikan gambaran bahwa perubahan tarif mungkin baru akan ditetapkan pada pertengahan 2025.
Hal tersebut berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 59/2024 tentang Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Tarif baru untuk iuran, paket manfaat, dan harga layanan diperkirakan akan mulai berlaku pada 1 Juli 2025.
Saat ini, iuran BPJS Kesehatan Kelas 1 adalah Rp150.000, Kelas 2 sejumlah Rp100.000 dan Kelas 3 senilai Rp35.000 setelah mendapat subsidi dari pemerintah sebesar Rp7.000.
4. Uang Kuliah Tunggal (UKT)
Muncul pula wacana kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT) mahasiswa. Sebelumnya, Nadiem Makarim—kala itu menjabat sebagai Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi—berencana mengerek naik UKT pada tahun ini.
Pada akhirnya, Nadiem mengaku akan melakukan evaluasi dan mengkaji ulang kenaikan UKT yang menjadi keresahan masyarakat. Batalnya kenaikan UKT tersebut juga mempertimbangkan semua aspirasi dari berbagai pemangku kepentingan, termasuk mahasiswa, keluarga, dan masyarakat.
Meski demikian, Badan Pusat Statistik (BPS) telah mencatat adanya kenaikan biaya pendidikan, termasuk UKT pada Tahun Ajaran Baru 2024/2025.
“Secara umum biaya kenaikan biaya perguruan tinggi pada bulan Agustus 2024 mengalami inflasi sebesar 0,46%. Salah satu contohnya adalah kenaikan UKT-nya. Dalam hal ini BPS tidak mencatat lebih rinci lagi untuk biaya perguruan tinggi,” jelas Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa BPS Pudji Ismartini dalam konferensi pers, Senin (2/9/2024).
5. Tarif Cukai
Direktur Jenderal Bea dan Cukai Kemenkeu Askolani menyampaikan meski tidak ada kenaikan tarif cukai, sejauh ini pemerintah baru merencanakan penyesuain harga jual rokok di level industri.
“Tentunya nanti akan kami review dalam beberapa bulan ke depan untuk bisa dipastikan mengenai kebijakan yang akan ditetapkan pemerintah,” ungkapnya kepada Wartawan, Senin (23/9/2024).
Artinya, meski tidak ada kenaikan cukai hasil tembakau (CHT), tetapi pemerintah akan mendorong industri melakukan penyesuain harga jual eceran.
Pemerintah juga berencana menerapkan cukai minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) atau cukai minuman manis pada 2025.

Bisnis.com, JAKARTA — Institute For Development of Economics and Finance alias Indef menyatakan pemerintahan Prabowo Subianto harus bisa memperbaiki daya beli masyarakat dalam 100 hari pertama masa kerjanya.
Direktur Pengembangan Big Data Indef Eko Listiyanto menjelaskan bahwa belakangan berbagai indikasi menunjukkan bahwa terjadi penurunan daya beli masyarakat. Dia mencontohkan, sejak Kuartal IV/2023, pertumbuhan konsumsi rumah tangga selalu lebih rendah daripada pertumbuhan ekonomi.
Eko menekankan, 100 hari pertama pemerintahan Prabowo merupakan saat-saat penentu ekspektasi pasar. Jika awalnya sudah bagus maka setelahnya pasar akan mempunyai kepercayaan tinggi—begitu juga sebaliknya.
“Growth-nya, katakanlah konsumsi rumah tangga bisa di atas pertumbuhan ekonomi, lah. Kalau ada indikasi itu, ada ekspektasi baru. Kalau tetap melemah, sulit kita dikasih angka-angka yang terlalu ambisius,” jelas Eko dalam diskusi publik Indef secara daring, Senin (18/11/2024).
Oleh sebab itu, dia mendorong kebijakan yang dikeluarkan pemerintah Prabowo harus diarahkan untuk perbaikan daya beli. Apalagi, sambungnya, target pertumbuhan ekonomi Prabowo mencapai 8%.
Eko menjelaskan, konsumsi rumah tangga butuh stimulus bukan malah diberi aneka kenaikan pungutan. Dia mencontohkan, pemerintah ingin menaikkan PPN sebesar 1% dari 11% menjadi 12%, menerapkan tarif Tapera, subsidi KRL berbasis KTP, dan sebagainya.
Menurutnya, berbagai kebijakan tersebut seakan hanya ingin menargetkan penerimaan negara tanpa melihat kondisi riil masyarakat.
“Harga-harga yang sebenarnya bisa dikendalikan pemerintah tapi tetap dipaksakan untuk naik ini tentu akan makin menggerus level konsumsi kita,” ujarnya.
Sebagai informasi, belakangan memang pertumbuhan konsumsi rumah tangga memang stagnan dan selalu berada di bawah angka pertumbuhan ekonomi.
Perinciannya pada Kuartal IV/2023: pertumbuhan ekonomi mencapai 5,04% (year on year/YoY), sementara pertumbuhan konsumsi rumah tangga hanya 4,46% (YoY).
Pada Kuartal I/2024: pertumbuhan ekonomi mencapai 5,11% (YoY), sementara pertumbuhan konsumsi rumah tangga hanya 4,91% (YoY).
Pada Kuartal II/2024: pertumbuhan ekonomi mencapai 5,05% (YoY), sementara pertumbuhan konsumsi rumah tangga hanya 4,93% (YoY).
Terakhir pada Kuartal III/2024: pertumbuhan ekonomi mencapai 4,95% (YoY), sementara pertumbuhan konsumsi rumah tangga hanya 4,91% (YoY).
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5009475/original/009542800_1731840348-WhatsApp_Image_2024-11-17_at_17.37.10_df88da31.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Bagi pengendara yang harus beraktivitas di kawasan ganjil genap, berikut beberapa tips yang dapat membantu:
1. Periksa Pelat Nomor Kendaraan:
Pastikan Anda mengetahui apakah plat nomor kendaraan Anda termasuk ganjil atau genap. Ini akan menentukan kapan Anda bisa menggunakan kendaraan di jalan-jalan tertentu.
2. Gunakan Transportasi Umum:
Manfaatkan transportasi umum seperti bus TransJakarta, MRT, atau KRL yang bebas dari aturan ganjil genap. Ini tidak hanya menghemat waktu, tetapi juga lebih ramah lingkungan.
3. Rencanakan Rute Alternatif:
Jika perlu menggunakan kendaraan pribadi, rencanakan rute alternatif yang tidak terkena aturan ganjil genap. Aplikasi peta digital dapat membantu Anda menemukan rute terbaik.
4. Berkendara di Luar Jam Puncak:
Jika memungkinkan, atur jadwal perjalanan di luar jam-jam penerapan ganjil genap untuk menghindari kemacetan dan potensi pelanggaran.
5. Coba Layanan Ride-Sharing:
Layanan ride-sharing seperti Gojek atau Grab bisa menjadi alternatif praktis, terutama jika Anda harus bepergian ke daerah yang menerapkan ganjil genap.
6. Carpooling:
Berbagi kendaraan dengan teman atau rekan kerja yang memiliki tujuan searah dapat mengurangi jumlah kendaraan di jalan dan tentunya lebih ekonomis.
Dengan menerapkan tips-tips di atas, diharapkan para pengendara dapat beradaptasi dengan aturan ganjil genap yang kembali berlaku, sekaligus berkontribusi dalam mengurangi kemacetan dan polusi di Jakarta. Selalu patuhi peraturan lalu lintas dan berkendara dengan aman.