Produk: komunisme

  • Pembantaian Nanjing di Perang Dunia II Hantui Hubungan China-Jepang

    Pembantaian Nanjing di Perang Dunia II Hantui Hubungan China-Jepang

    Jakarta

    Vlogger asal Jepang, Hayato Kato, sudah terbiasa menyuguhkan video-video lucu kepada 1,9 juta pengikutnya tentang perjalanan di China, tempat ia tinggal selama beberapa tahun.

    Namun pada 26 Juli, ia mengejutkan mereka dengan video yang muram.

    “Saya baru saja menonton film tentang Pembantaian Nanjing,” ujarnya, merujuk pada aksi tentara Jepang selama enam pekan di Nanjing pada akhir 1937. Menurut beberapa perkiraan, militer Jepang saat itu menewaskan lebih dari 300.000 warga sipil dan tentara China. Sekitar 20.000 perempuan dilaporkan diperkosa.

    Dead To Rights, atau Nanjing Photo Studio, adalah film tentang sekelompok warga sipil yang bersembunyi dari pasukan Jepang di sebuah studio foto.

    Film yang telah menjadi hit box office ini merupakan film pertama dari serangkaian film China tentang kengerian pendudukan Jepang.

    Film tersebut dirilis untuk memperingati 80 tahun berakhirnya Perang Dunia II. Namun, kenangan pahityang seringkali ditebalkan oleh pemerintah Chinamasih tertanam di benak masyarakat China sehingga memicu kemarahan.

    Berbicara dalam bahasa Mandarin di DouyinTikTok versi TiongkokKato menceritakan kembali adegan-adegan dari film tersebut: “Orang-orang berbaris di sepanjang sungai dan kemudian penembakan dimulai Seorang bayi, seusia putri saya, menangis di pelukan ibunya. Seorang tentara Jepang bergegas maju, menangkapnya, dan membantingnya ke tanah.”

    “Jika kita menyangkalnya, ini akan terjadi lagi,” lanjutnya, sembari mendesak orang Jepang untuk menonton film tersebut dan “belajar tentang sisi gelap sejarah mereka”.

    Video tersebut dengan cepat menjadi sangat populer, yang ditandai dengan lebih dari 670.000 suka hanya dalam dua minggu.

    Namun, komentar-komentar dalam cuplikan film tersebut kurang positif. Kalimat yang paling sering dikutip dari film tersebut adalah kalimat yang diucapkan seorang warga sipil Tiongkok kepada seorang tentara Jepang: “Kita bukan teman. Kita tidak pernah berteman.”

    CFOTO/Future Publishing via Getty ImagesNanjing Photo Studio adalah satu dari sekian film yang mengisahkan kengerian Perang Dunia II.

    Bagi Tiongkok, aksi militer dan pendudukan brutal Jepang merupakan salah satu babak tergelap dalam sejarah. Pembantaian di Nanjing, yang saat itu menjadi ibu kota China, merupakan luka yang sangat dalam.

    Luka itu diperburuk oleh keyakinan bahwa Jepang tidak pernah sepenuhnya mengakui kekejamannya di tempat-tempat yang dijajahnyatidak hanya di China, tetapi juga di Korea, di Malaya, Filipina, dan Indonesia.

    Salah satu poin perdebatan paling menyakitkan adalah tentang keberadaan ianfu atau “perempuan penghibur”. Sekitar 200.000 perempuantermasuk di Indonesia, yang saat itu masih Hindia Belandadiperkosa dan dipaksa bekerja di rumah bordil militer Jepang. Hingga hari ini, para penyintas masih berjuang mendapatkan permintaan maaf dan kompensasi.

    Baca juga:

    Dalam videonya, Kato tampaknya mengakui bahwa hal itu bukanlah topik pembicaraan di Jepang: “Sayangnya, film-film perang anti-Jepang ini tidak ditayangkan di Jepang secara publik, dan orang-orang Jepang tidak tertarik untuk menontonnya.”

    Ketika Kaisar Jepang mengumumkan penyerahan diri pada 15 Agustus, negaranya telah membayar harga yang sangat mahal. Lebih dari 100.000 orang tewas dalam serangan bom di Tokyo, serta dua bom atom menghancurkan Hiroshima dan Nagasaki.

    Kekalahan Jepang disambut baik di sebagian besar Asia, tempat Tentara Kekaisaran Jepang telah merenggut jutaan nyawa. Bagi mereka, 15 Agustus membawa kebebasan sekaligus trauma yang membekas. Di Korea, hari itu disebut ‘gwangbokjeol’, yang berarti kembalinya cahaya.

    “Meskipun perang militer telah berakhir, perang sejarah masih berlanjut,” kata Profesor Gi-Wook Shin dari Universitas Stanford.

    Menurutnya, Jepang dan China (serta negara-negara lain yang dijajah) mengingat tahun-tahun itu secara berbeda, dan perbedaan-perbedaan tersebut menambah ketegangan.

    Ketika publik China memandang agresi Jepang pada Perang Dunia II sebagai momen yang menentukan dan menghancurkan, publik Jepang berfokus pada statusnya sebagai korban kehancuran yang disebabkan oleh bom atom dan pemulihan pascaperang.

    “Orang-orang yang saya kenal di Jepang tidak terlalu membicarakannya,” kata seorang pria Tiongkok yang telah tinggal di Jepang selama 15 tahun, dan ingin tetap anonim.

    “Mereka menganggapnya sebagai sesuatu yang terjadi di masa lalu, dan negara tidak benar-benar memperingatinya karena mereka juga memandang diri mereka sebagai korban.”

    Pria tersebut menyebut dirinya seorang patriot, tetapi ia mengatakan hal itu tidak menyulitkannya secara pribadi karena keengganan publik Jepang untuk membicarakannya berarti mereka “menghindari topik-topik sensitif seperti itu”.

    “Beberapa orang percaya bahwa tentara Jepang pergi untuk membantu China membangun tatanan baru disertai konflik dalam prosesnya. Tentu saja, ada juga yang mengakui bahwa itu sebenarnya adalah sebuah invasi,” paparnya.

    Pembantaian Nanjing pada 1937 diperingati setiap tahun di China. (CFOTO/Future Publishing via Getty Images)

    China berperang melawan Jepang selama delapan tahun, dari Manchuria di timur laut hingga Chongqing di barat daya. Perkiraan korban tewas berkisar antara 10 juta hingga 20 juta jiwa. Pemerintah Jepang menyatakan sekitar 480.000 tentaranya gugur selama periode tersebut.

    Periode tersebut telah didokumentasikan dengan baik dalam berbagai karya sastra dan film pemenang penghargaan. Tahun-tahun tersebut juga menjadi subjek karya peraih Nobel, Mo Yan.

    Di China, periode tersebut kini dikaji ulang di bawah rezim yang menempatkan patriotisme sebagai inti ambisinya. “Peremajaan nasional” adalah bagaimana Xi Jinping menggambarkan visinya.

    Meskipun Partai Komunis sangat menyensor sejarahnya sendiri, dari pembantaian Lapangan Tiananmen hingga tindakan represif baru-baru ini, Partai Komunis mendorong masyarakat China untuk mengingat kembali masa lalu yang lebih jauh sembari menekankan musuh China adalah pihak asing.

    Xi bahkan merevisi tanggal dimulainya perang dengan Jepang. Pemerintah Tiongkok kini menghitung serangan pertama ke Manchuria pada tahun 1931. Artinya perang berlangsung selama 14 tahun, alih-alih delapan tahun.

    Di bawah kepemimpinannya, Beijing juga memperingati berakhirnya Perang Dunia II dalam skala yang lebih besar. Pada 3 September, hari Jepang secara resmi menyerah, akan diadakan parade militer besar-besaran di Lapangan Tiananmen.

    Baca juga:

    Masih pada bulan September, film yang sangat dinantikan akan dirilis. Film itu berfokus pada Unit 731, sebuah cabang Angkatan Darat Jepang yang melakukan eksperimen mematikan terhadap manusia di Manchuria yang diduduki. Tanggal rilisnya 18 September adalah hari ketika Jepang melakukan invasi pertamanya ke Manchuria.

    Ada pula Dongji Rescue, sebuah film yang terinspirasi sejumlah nelayan Tiongkok yang berupaya menyelamatkan ratusan tawanan perang Inggris selama serangan Jepang.

    Kemudian film Mountains and Rivers Bearing Witness, sebuah film dokumenter dari studio milik pemerintah China tentang perlawanan Tiongkok.

    Universal History Archive/Universal Images Group via Getty ImagesTentara Jepang merayakan kemenangan setelah menduduki Nanjing pada 1937.

    Film-film itu tampaknya menyentuh hati.

    “Satu generasi itu berperang demi tiga generasi, dan menanggung penderitaan demi tiga generasi. Salut untuk para martir,” demikian bunyi unggahan populer di RedNote soal film Nanjing Photo Studio.

    “Kita bukan teman…”, kalimat yang kini terkenal dari film tersebut, “bukan sekadar dialog” antara dua karakter utama, demikian menurut sebuah ulasan populer yang telah disukai oleh lebih dari 10.000 pengguna di Weibo.

    “Kalimat itu juga berasal dari jutaan rakyat Tiongkok biasa ke Jepang. Mereka [Jepang] tidak pernah menyampaikan permintaan maaf yang tulus, mereka masih memuja [para penjahat perang], mereka menulis ulang sejarah tidak ada yang akan memperlakukan mereka sebagai teman,” tulis komentar tersebut, merujuk pada pernyataan meremehkan dari beberapa tokoh sayap kanan Jepang.

    Baca juga:

    Pemerintah Jepang sejatinya telah mengeluarkan permintaan maaf, tetapi banyak warga China merasa permintaan maaf tersebut tidak cukup.

    “Jepang terus mengirimkan pesan yang saling bertentangan,” ujar Profesor Shin, merujuk pada contoh-contoh ketika para pemimpin Jepang saling bertentangan dalam pernyataan tentang sejarah perang Jepang.

    Selama bertahun-tahun, murid-murid di China diperlihatkan foto mantan Kanselir Jerman Barat, Willy Brandt yang sedang berlutut di depan monumen peringatan Pemberontakan Ghetto Warsawa pada tahun 1970. Warga Tiongkok mengharapkan sikap serupa dari Jepang.

    GREG BAKER/AFP via Getty ImagesPada 2015, Presiden Xi Jinping memulai tradisi parade militer untuk memperingati penyerahan diri Jepang.

    Ketika Jepang menyerah pada tahun 1945, gejolak di Tiongkok tidak berakhir. Selama tiga tahun berikutnya, Kuomintang Nasionalisyang saat itu merupakan pemerintah yang berkuasa dan sumber utama perlawanan Tiongkok terhadap Jepangterlibat dalam perang saudara melawan pasukan Partai Komunis Mao Zedong.

    Perang itu berakhir dengan kemenangan Mao dan mundurnya Kuomintang ke Taiwan. Mao, yang prioritasnya adalah membangun negara komunis, tidak fokus pada kejahatan perang Jepang.

    Peringatan-peringatan yang digelar justru merayakan kemenangan Partai Komunis dan mengkritik Kuomintang. Mao juga membutuhkan dukungan Jepang di panggung internasional. Tokyo, pada kenyataannya, adalah salah satu kekuatan besar pertama yang mengakui rezimnya.

    Baru pada 1980-ansetelah kematian Maopendudukan Jepang kembali menghantui hubungan antara Beijing dan Tokyo.

    Saat itu, Jepang adalah sekutu Barat yang kaya dengan ekonomi yang sedang berkembang pesat.

    Revisi buku teks bahasa Jepang mulai memicu kontroversi. China dan Korea Selatan menuduh Jepang menutupi kekejaman masa perangnya. Saat itu China baru saja mulai membuka diri, dan Korea Selatan sedang dalam masa transisi dari pemerintahan militer menuju demokrasi.

    Ketika para pemimpin Tiongkok menjauh dari Maodan warisan destruktifnyatrauma atas apa yang terjadi saat masa pendudukan Jepang menjadi narasi pemersatu bagi Partai Komunis, kata Yinan He, profesor madya hubungan internasional di Universitas Lehigh, AS.

    “Setelah Revolusi Kebudayaan, sebagian besar rakyat Tiongkok merasa kecewa dengan komunisme,” ujarnya kepada BBC.

    “Karena komunisme kehilangan daya tariknya, nasionalisme dibutuhkan. Dan Jepang adalah sasaran empuk karena merupakan [agresor] eksternal terbaru.”

    Pada masa itu, menurut Yinan He, pemerintah China membuat “representasi masa lalu yang dikoreografikan”. Caranya adalah dengan meremehkan kontribusi AS dan Kuomintang pada peringatan berakhirnya penjajahan Jepang pada 1945, diiringi dengan meningkatnya pengawasan terhadap sikap resmi Jepang terhadap tindakan-tindakannya di masa perang.

    Getty ImagesWaktu terbaik untuk mencari penyelesaianyaitu tahun 1970-an, ketika China dan Jepang lebih dekattelah berlalu, kata Prof. He.

    Situasi ini malah diperparah oleh sikap Jepang yang menyangkal kejahatan perang. Sejumlah tokoh sayap kanan terkemuka Jepang membantah pembantaian Nanjing pernah terjadi, atau bahwa tentara Jepang memaksa begitu banyak perempuan di Asia menjadi budak seks.

    Bahkan, sejumlah pejabat Jepang kerap mendatangi Kuil Yasukuni, yang menghormati para korban perang Jepang, termasuk beberapa tokoh militer yang dicap sebagai penjahat perang.

    Permusuhan antara China dan Jepang ini telah merembet ke kehidupan sehari-hari seiring memuncaknya nasionalisme kedua negara. Orang Tiongkok dan Jepang telah diserang di negara masing-masing. Bahkan, seorang anak sekolah Jepang tewas di Shenzhen tahun lalu.

    Kebangkitan ekonomi dan ketegasan Tiongkok di kawasan Asia Timur dan sekitarnya kembali mengubah dinamika antara kedua negara. China telah melampaui Jepang sebagai kekuatan global.

    Waktu terbaik untuk mencari penyelesaiannya itu tahun 1970-an, ketika kedua negara lebih dekat, telah berlalu, kata Prof. He.

    “Mereka hanya berkata, ‘mari kita lupakan itu, mari kita kesampingkan itu’. Mereka tidak pernah mengurusi sejarah dan sekarang masalah itu kembali menghantui mereka.”

    Lihat juga Video ‘China Marah AS Masih ‘Main Api’ dengan Taiwan’:

    (ita/ita)

  • Biografi HOS Tjokroaminoto: Guru Para Pendiri Bangsa dan Tokoh Sarekat Islam

    Biografi HOS Tjokroaminoto: Guru Para Pendiri Bangsa dan Tokoh Sarekat Islam

    Bisnis.com, JAKARTA – Dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia, nama HOS Tjokroaminoto mencuat sebagai sosok yang tak hanya orator ulung dan organisator piawai, tetapi juga pemikir besar yang melampaui zamannya.

    Dia bukan hanya memimpin Sarekat Islam, tapi juga mendidik generasi muda yang kelak menjadi arsitek bangsa, diantaranya: Soekarno, Semaun, Musso, hingga Kartosuwiryo.

    Rumahnya di Surabaya menjadi “universitas kerakyatan” tempat ideologi-ideologi masa depan dibentuk dan diuji. Tjokroaminoto bukan sekadar pemimpin organisasi, tetapi ia adalah ide dan idealisme yang menjelma dalam sosok manusia.

    Biografi HOS Tjokroaminoto

    Biografi Singkat dan Profil HOS Tjokroaminoto

    Nama lengkapnya adalah Raden Hadji Oemar Said Tjokroaminoto. Dia lahir pada 16 Agustus 1882 di Tegalsari, Ponorogo, Jawa Timur. Ia berasal dari keluarga priyayi atau bangsawan Jawa, cucu dari Bupati Demak. Meski lahir dari keluarga ningrat, Tjokroaminoto justru memilih jalan perjuangan rakyat kecil.

    Sebagai pemuda Jawa yang mendapat pendidikan Barat dan Islam, ia menjadi simbol persilangan budaya yang produktif. Ia dikenal memiliki gaya berpakaian yang necis, bertutur halus, namun tegas dalam prinsip. Bung Karno menyebutnya sebagai “Raja Jawa tanpa mahkota” karena karismanya yang luar biasa.

    Asal Usul Keluarga Bangsawan Jawa dan Latar Pendidikan

    Tjokroaminoto dibesarkan dalam suasana feodal yang penuh tata krama. Namun, ia juga menyaksikan ketimpangan sosial yang membuatnya gelisah sejak muda. Pendidikan awal ia tempuh di OSVIA (Opleidingsschool Voor Inlandsche Ambtenaren), sekolah calon pegawai bumiputra yang dikelola Belanda.

    Selain itu, ia juga mendalami ilmu agama di pesantren. Inilah yang membentuk karakter unik, berpikiran modern, namun berakar kuat pada nilai-nilai Islam. Perpaduan ini menjadi benih ideologinya yang kelak dikenal sebagai “nasionalisme Islam progresif.”

    Awal Keterlibatan dalam Pergerakan Nasional

    Pengaruh pendidikan Barat membentuk pola pikir kritis dalam diri Tjokroaminoto. Sementara nilai-nilai Islam membentuk kerangka moral dan sosialnya. Perpaduan keduanya mendorongnya bergabung dengan Sarekat Dagang Islam (SDI), yang awalnya merupakan organisasi ekonomi untuk melindungi pedagang pribumi dari dominasi Tionghoa dan kolonial.

    Pada tahun 1912, organisasi ini berevolusi menjadi Sarekat Islam (SI), yang mengusung visi lebih luas yaitu perlawanan terhadap ketidakadilan sosial dan kolonialisme. Di sinilah Tjokroaminoto mulai tampil sebagai tokoh sentral, dengan gagasan dan orasi yang membakar semangat rakyat.

    Sarekat Islam dan Kepemimpinan HOS Tjokroaminoto

    Sarekat Islam tumbuh menjadi organisasi rakyat terbesar di masa Hindia Belanda. Struktur organisasinya mencakup cabang di berbagai kota, dan pengaruhnya menjalar dari pasar ke masjid, dari kampung ke parlemen kolonial. Tjokroaminoto memimpin SI dengan visi nasionalisme religius.

    Ia dikenal sebagai pemimpin moderat yang menghindari kekerasan. Dalam kongres SI, ia menegaskan “Perjuangan kita bukan untuk ganti kulit penjajahan, tetapi untuk keadilan bagi seluruh anak negeri”.

    Ia membentuk SI sebagai wadah politik dan sosial, tempat rakyat belajar berorganisasi dan menyuarakan aspirasi. Di tangan Tjokro, SI bukan hanya organisasi massa, tetapi juga sekolah politik kebangsaan.

    Pemikiran dan Gagasan Politik Tjokroaminoto

    Nasionalisme Islam dan Keadilan Sosial

    Tjokroaminoto memperkenalkan gagasan bahwa Islam bukan hanya agama, tetapi sistem kehidupan yang mencakup keadilan sosial. Ia menentang kapitalisme asing yang menindas rakyat dan menyerukan tatanan masyarakat yang egaliter.

    Anti-Kolonialisme dan Kritik terhadap Kapitalisme

    Dalam pidato-pidatonya, ia kerap mengecam pemerintah kolonial yang mengeruk kekayaan Indonesia tanpa memperhatikan kesejahteraan pribumi. Ia menulis dalam “Islam dan Sosialisme” bahwa “Islam tidak mengenal penghisapan atas manusia oleh manusia”.

    Sosialisme Islam vs Komunisme

    Tjokroaminoto menentang komunisme ateis yang menurutnya bertentangan dengan nilai moral masyarakat Timur. Ia mengusung konsep “Sosialisme Islam” yang berbasis pada keadilan, kepemilikan bersama, dan solidaritas sosial tanpa mengorbankan akidah.

    Pidato dan Tulisan yang Berpengaruh

    Beberapa pidatonya yang terkenal antara lain disampaikan dalam Kongres SI tahun 1916 dan 1921. Tulisannya tersebar di media seperti Oetoesan Hindia dan Soeara Islam, dan menjadi bacaan wajib bagi aktivis pergerakan kala itu.

    Hubungan dengan Tokoh Lain

    Tjokroaminoto tidak hanya sebagai pemimpin, tetapi juga guru kehidupan. Soekarno, yang kemudian menjadi Presiden RI, pernah tinggal di rumah kos Tjokroaminoto di Peneleh, Surabaya. Di sana pula ia berkenalan dengan ide nasionalisme dan Islam.

    Tokoh lain seperti Semaun (komunis), Musso (radikal kiri), dan Kartosuwiryo (Islamis) juga pernah belajar dari Tjokro. Meskipun mereka kelak memilih jalan berbeda, benih pemikiran mereka tumbuh dari akar yang sama, pemikiran Tjokroaminoto.

    Perjuangan Melawan Penjajahan

    Sebagai aktivis, Tjokroaminoto menggunakan pidato dan tulisan sebagai senjata. Ia menghindari kekerasan, namun tidak pernah kompromi dalam prinsip. Ia pernah ditahan Belanda karena orasinya yang menggerakkan massa.

    Tjokro percaya bahwa kesadaran adalah kunci revolusi. Dia sering berkata “Kita tidak akan memiliki kemerdekaan, jika kita tidak memiliki kesadaran dan keberanian.”

    Selain itu, dia juga aktif dalam Volksraad (Dewan Rakyat) dan menjadi suara penting dalam menyuarakan aspirasi pribumi di tengah sistem kolonial.

    Akhir Hidup dan Warisan HOS Tjokroaminoto

    Tjokroaminoto wafat pada 17 Desember 1934 di Yogyakarta dan dimakamkan di Taman Makam Pekuncen. Kepergiannya ditangisi ribuan orang yang pernah mendengar pidatonya atau membaca tulisannya.

    Ia ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia pada tahun 1961. Warisannya tak hanya pada lembaga atau organisasi, tetapi pada semangat yang ia tanamkan:, bahwa perjuangan adalah tugas intelektual dan moral.

    Kutipan Terkenal HOS Tjokroaminoto

    “Setinggi-tinggi ilmu, semurni-murni tauhid, sepintar-pintar siasat.”
    “Kalau kalian ingin menjadi pemimpin besar, menulislah seperti wartawan dan bicaralah seperti orator.”

    Fakta Menarik tentang HOS Tjokroaminoto

    Rumahnya di Peneleh menjadi tempat kos bagi calon-calon pemimpin bangsa.
    Ia selalu tampil rapi dan berwibawa—dijuluki “Raja Jawa tanpa mahkota”.
    Ia adalah pionir nasionalisme Islam jauh sebelum kemerdekaan Indonesia diproklamasikan.

    HOS Tjokroaminoto adalah mozaik hidup dari semangat zaman. Ia guru, pemimpin, orator, dan ideolog yang mencetak banyak tokoh besar Indonesia. Ia mengajarkan bahwa kebebasan bukan hanya melawan penjajah, tetapi juga membebaskan diri dari kebodohan dan ketidakadilan.

    Pemikirannya tentang keadilan sosial, nasionalisme Islam, dan strategi politik moderat tetap menjadi referensi dalam sejarah pergerakan Indonesia. Tjokroaminoto tidak pernah mati, namanya terus hidup dalam jiwa bangsa.

    Disclaimer: Artikel ini dihasilkan dengan bantuan kecerdasan buatan (AI) dan telah melalui proses penyuntingan oleh tim redaksi Bisnis.com untuk memastikan akurasi dan keterbacaan informasi.

  • Kala Kamus Sejarah Indonesia Tanpa Jejak Hasyim Asyari

    Kala Kamus Sejarah Indonesia Tanpa Jejak Hasyim Asyari

    JAKARTA – Kemunculan Kamus Sejarah Indonesia buatan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) bawa kehebohan. Kamus itu dianggap tak membuat nama tokoh besar Kiai Haji Hasyim Asyari. Ketiadaan nama pendiri Nahdlatul Ulama (NU) membuat Kemendikbud dikecam banyak pihak.

    Kecaman paling keras muncul dari politisi Partai Gerindra, Fadli Zon. Ia berang bukan main dengan Kemendikbud. Ia menganggap Kamus Sejarah Indonesia aneh. Nama tokoh besar NU tak ada, sedang tokoh komunis bejibun.

    Hasyim Asy’ari adalah tokoh besar dalam sejarah bangsa Indonesia. Jejaknya mencerdaskan anak bangsa tak bisa dianggap remeh. Ia jadi sosok yang membawa pendidikan Islam modern ke Nusantara. Ia menegaskan bawa kombinasi agama dan pendidikan barat jadi alat melawan kebodohan dan penjajahan.

    Ia pun mendirikan NU. Ormas itu jadi gerbong utamanya mengakomodasi kepentingan-kepentingan lembaga pendidikan seperti pesantren di Jawa di era pemerintahan Hindia Belanda. Ia ikut pula menjadi pendidik.

    Ia juga memberikan restu NU melawan penjajah. Ingatan akan perjuangannya begitu melekat. Apalagi, NU terus menjelma jadi organisasi Islam besar di Indonesia. Jejak itu juga hadir pula dengan munculnya tokoh-tokoh NU dalam peta politik nasional.

    Masalah muncul. Kemendikbud di bawah kuasa Nadiem Makarim bak melupakan jejak perjuangan Hasyim Asyari. Narasi itu dibuktikan dengan ketiadaan nama Hasyim Asyari dalam Kamus Sejarah Indonesia keluaran tahun 2021.

    Ketiadaan nama Hasyim memancing protes. Semuanya karena nama tokoh lain dari tokoh Belanda hingga Komunisme muncul. Mereka yang protes meminta Nadiem minta maaf. Ada juga yang meminta untuk menarik Kamus Sejarah Indonesia jilid I dan II dari peredaran.

    Penarikan itu dilakukan supaya Kemendikbud bisa berbenah dan merevisinya. Langkah itu dianggap opsi paling tepat karena gelombang protes lebih besar bisa muncul belakangan.

    Pendiri NU, Hasyim Asyari. (Wikimedia Commons)

    “Setelah membaca dan mendengar pandangan dari banyak kalangan kami meminta Kemendikbud untuk menarik sementara Kamus Sejarah Indonesia baik Jilid I dan Jilid II dari peredaran. Kami berharap ada perbaikan konten atau revisi sebelum kembali diterbitkan dan digunakan sebagai salah satu bahan ajar mata pelajaran sejarah.”

    “Anehnya di sampul Kamus Sejarah Jilid I ini ada gambar KH Hasyim Asyari, tapi dalam kontennya tidak dimasukkan sejarah dan kiprah perjuangan beliau. Lebih aneh lagi ada nama-nama tokoh lain yang masuk kamus ini, termasuk nama Gubernur Belanda HJ Van Mook dan tokoh militer Jepang Harada Kumaichi, yang dipandang berkontribusi dalam proses pembentukan negara Indonesia,” ungkap elite Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Syaiful Huda sebagaimana dikutip laman detik.com, 20 April 2021.

    Protes Fadli Zon

    Kecaman terhadap Nadiem Makarim terus berdatangan. Kemendikbud dianggap sengaja menghilangkan jejak perjuangan Hasyim Asyari. Kecaman paling keras muncul dari anggota DPR RI dari fraksi Partai Gerindra, Fadli Zon.

    Fadli menganggap Kemendikbud seraya ingin membelokkan sejarah. Ia sendiri tak habis pikir tokoh besar sekaliber Hasyim Asyari tak masuk Kamus Sejarah Indonesia. Ia juga heran bukan main kala tokoh komunisme dan radikal masuk daftar.

    Ia pun punya keinginan sama supaya buku karya Kemendikbud segera direvisi. Ia juga meminta supaya Kemendikbud melakukan investigasi kenapa nama Hasyim Asyari bisa hilang.

    Wakil Ketua Umum Partai Gerindra, Fadli Zon dikonfirmasi wartawan usai kunjungan kerja memimpin Komisi I DPR RI ke Kantor LPP RRI Mataram, Nusa Tenggara Barat, Kamis (24/8/2023). (ANTARA/Nur Imansyah).

    “Harus segera dibuat investigasi kenapa tokoh penting KH Hasyim Asyari pencetus Resolusi Jihad bisa hilang, sementara yang komunis bisa ada. Ini masalah serius. Ada yang hendak membelokkan sejarah,” ungkap Fadli Zon dalam akun Twitter/X @Fadlizon, 20 April 2021.

    Protes dari Fadli dan lainnya mendapatkan hasil. Nadiem mencoba meminta maaf kepada NU dan seluruh rakyat Indonesia. Ia menganggap penyusunan Kamus Sejarah Indonesia bukan pada eranya menjabat Kemendikud karena dilakukan pada 2017.

    Nadiem lalu meminta jajarannya untuk merevisi dan menyempurnakan Kamus Sejarah Indonesia. Ia juga memastikan nama dari Hasyim Asyari hadir. Ia menegaskan respons yang dilakukannya sebagai bentuk dari menjawab kritik yang diarahkan kepada Kemendikbud.

  • Xinjiang-China dan Indonesia menurut kacamata seorang jurnalis

    Xinjiang-China dan Indonesia menurut kacamata seorang jurnalis

    Surabaya (ANTARA) – Melihat fakta secara langsung (faktual) adalah keunggulan media massa. Akurasi tetap menjadi keunggulan jurnalis yang terjun ke lapangan, termasuk keunggulan dalam etika dan rekam jejak yang tidak bisa sirna secara digital.

    Buku bertajuk “Di Balik Kontroversi Xinjiang (Catatan Perjalanan Wartawan Indonesia Mengungkap Fakta di Lorong Gelap Kamp Vokasi Uighur)” di antara sajian fakta yang ditulis dan dibukukan jurnalis M Irfan Ilmie (2025) yang pernah menjadi Kepala LKBN ANTARA Biro Beijing (2016-2023).

    M Irfan Ilmie yang berlatar belakang santri itu mendapatkan beberapa kali kesempatan untuk melihat secara langsung geliat pembangunan dan dinamika kehidupan sosial masyarakat etnis minoritas muslim Uighur yang membentuk populasi mayoritas di Wilayah Otonomi Xinjiang.

    Seiring menguatnya pengaruh China di berbagai belahan dunia, maka kamp-kamp vokasi di Xinjiang pun menyita perhatian masyarakat internasional yang mengaitkan dengan dugaan pelanggaran HAM, terutama oleh AS dan sekutunya. Apalagi Xinjiang memiliki nilai jual tinggi dalam pariwisata, industri, sumber daya alam dan sumber daya manusia (hal. ix).

    Bagi Indonesia, isu Xinjiang sudah selesai di tataran diplomasi dan hubungan bilateral Indonesia-China. Namun, di tataran publik Indonesia masih menjadi batu sandungan karena mayoritas penduduk Indonesia yang beragama Islam belum terinformasikan secara gamblang mengenai perlakuan Beijing terhadap etnis minoritas muslim Uighur sebagai penduduk asli Xinjiang.

    Dalam buku setebal 360 halaman dengan genre “Social Science” itu, diungkapkan bahwa isu Uighur di Xinjiang menjadi perbincangan hangat masyarakat internasional dalam satu dekade terakhir karena kerap kali diekspose dalam tinta dan lensa pemberitaan media secara spektakuler, menggemparkan, dan kontroversial.

    Di satu sisi, ekspose itu dinilai menyuguhkan narasi-narasi diskriminatif, eksploitatif, dan genosida yang digambarkan sebagai pelanggaran atas hak asasi manusia yang dilakukan otoritas China terhadap etnis minoritas muslim Uighur.

    Di sisi lain, wilayah Xinjiang justru dimodernisasi dan terus dibangun oleh otoritas China agar setara dengan provinsi-provinsi lainnya di negara ekonomi terbesar kedua di dunia itu.

    Di sinilah Xinjiang menjadi topik perdebatan antara fakta dan propaganda, khususnya dalam konteks rivalitas pengaruh geopolitik Amerika Serikat dan China.

    Oleh karena itu, informasi yang gamblang dan faktual mengenai perlakuan Beijing terhadap etnis minoritas muslim Uighur sebagai penduduk asli Xinjiang, menjadi “kata kunci” dalam literasi di era digital yang hanya “maju” secara teknologi digital, tapi “tidak maju” secara manusia.

    “Catatan perjalanan ke Xinjiang, saya tulis secara faktual dan informatif, sesuai kode etik jurnalistik, bukan provokatif,” kata Irfan tentang bukunya yang memiliki empat bagian yakni historis, isu kontroversial, tradisi/peradaban Islam, dan politisasi (hal. xv).

    Dalam bagian pertama (historis), Irfan mengulas tentang sensasi Gurun Gobi, jalur sutra nan rupawan, asal-usul Uighur, bukan Agama Leluhur, jejak Uighur di Bukit Yarghul, serupa tapi tak sama, dan gudang atlet dan artis.

    Secara historis, Xinjiang sejak dulu kala telah menjadi rumah bagi berbagai jenis kelompok etnis dengan budaya dan agama yang berbeda (hal.14). Di akhir abad ke-19 terdapat 13 kelompok etnis yakni Uighur, Han, Kazakh, Mongol, Hui, Kirgiz, Manchu, Xibe, Tajik, Daur, Uzbek, Tatar dan Rusia (hal.17).

    Buku Di Balik Kontroversi Xinjiang (HO-M Irfan Ilmie)

    Rivalitas dan masalah internal

    Terkait agama, pada zaman primitif hingga sebelum abad ke-4, warga Xinjiang menganut agama kuno dari ajaran Shamanisme. Mulai abad ke-4 hingga ke-10, Buddha mengalami masa puncak. Pada abad ke-5, Taoisme juga mulai diperkenalkan. Pada akhir abad ke-9 hingga awal abad ke-10, Islam pun mulai diperkenalkan hingga awal abad ke-16, Islam mulai dominan, namun hidup rukun dengan agama lain, meski sempat ada perang antara Kerajaan Karahan/Islam dengan Kerajaan Yutian/Hindu (hal.19).

    Dari beragam etnis dan agama itu, sumber daya manusia di Xinjiang sangat unggul. Jika tahun 1955, Xinjiang hanya memiliki 425 lapangan dan satu perpustakaan, maka pada 2017 sudah ada 112 perpustakaan, 173 museum/monumen, 57 galeri seni, 119 gedung pertunjukan seni, 12.158 sanggar seni, 302 stasiun radio/TV, 29.600 lapangan/gedung olahraga, 126 koran, dan 223 penerbitan.

    Tahun 2016-2017, klub bola basket Xinjiang berlabel Xinjiang Flying Tigers menjadi juara musim kompetisi Asosiasi Bola Basket China (CBA) dan menjuarai FIBA Asia Champions Cup Tahun 2016, lalu menduduki peringkat kedua CBA pada musim kompetisi saat COVID-19 pada tahun 2019-2020. Di dunia hiburan, Xinjiang juga punya artis papan atas, seperti Gulnezer Bextiyar, Madina Memet, dan Dilraba Dilmurat.

    Dalam bagian kedua (isu kontroversial), diuraikan secara tuntas tentang benih separatisme, perangi terorisme, antara kamp dan BLK, mengeja Hanzi, menyusuri Lorong Gelap, anak yang terpisah, peristiwa horor, tak butuh jawaban, mencurigakan, kerja paksa dan genosida, boikot, saya tidak idiot, dan sang nenek 40 cucu.

    Terkait benih separatisme dan terorisme, sudah bersemi di Xinjiang sejak awal abad ke-20 hingga akhir tahun 1940-an. Mereka hendak mendirikan Republik Islam Turkistan Timur pada 12 November 1933. Tapi hanya bertahan 3 bulan, karena ditolak mayoritas etnik di Xinjiang. Lalu muncul lagi pada 1944, tapi hanya bertahan 1 tahun.

    Gerakan Turkistan Timur ini tumbuh lagi pada 2001 seiring 11 September 2001 di AS, lalu ada pengeboman di bus pada 1992 yang menewaskan tiga penumpang bus dan melukai 23 orang penumpang bus di Kota Urumqi. Tahun 1997 juga muncul pengeboman di bus yang menewaskan sembilan orang dan melukai 68 orang di Kota Urumqi. Terulang lagi di Kota Kashgar (2011 dan 2012), Kota Urumqi (2014), dan Aksu (2015). (Hal.50-530

    Menyikapi separatisme dan terorisme itu, Pemerintah Daerah Otonom Xinjiang sejak 2014 telah menumpas 1.588 geng teroris, menangkap 12.995 pelaku teroris, menyita 2.052 jenis bahan peledak, namun perlakuan tegas terhadap bukan berarti Islam menjadi sumber teroris, meski kebijakan kontraterorisme berupa kamp vokasi dan pusat pelatihan itu dinilai berpotensi melanggar HAM, karena peserta hanya dari satu etnis (Uighur). (hal.57)

    Untuk menjawab tuduhan itu, Pemerintah Daerah Otonom Xinjiang membangun gedung pameran Urumqi pada 2014 yang menampilkan foto korban kekerasan selama 1992-2015, rekaman CCTV, senjata api, senjata tajam, senjata rakitan, serta bom rakitan. (hal.93). Foto dan video kekerasan itu bukan hanya radikalisme/terorisme yang terjadi di Xinjiang saja, namun juga di Kunning-Yunan dan Kota Terlarang Beijing. (hal.95).

    “Anda lihat sendiri ada imam masjid beserta keluarganya dan juga beberapa petugas kepolisian yang menjadi korban serangkaian serangan terorisme di Xinjiang. Semua bentuk terorisme adalah kejahatan yang tidak memilih sasaran dari etnis dan agama tertentu,” kata Deputi Dirjen Publikasi Partai Komunis China, Komite Regional Xinjiang, Shi Lei (hal.95).

    Dalam bagian ketiga (tradisi/peradaban Islam), buku itu mengupas tentang iktikaf, kamera dimana-mana, masjid dibongkar, pengaruh Timur Tengah, sapaan Hubbul Wathan, Al-Qur’an dan Hadits, geliat Islami, tak lagi tabu, carter pesawat ke Mekkah, puasa di tengah pandemi, Maghrib masih lama, bebas makan dan minum, larangan atau pilihan?, mendadak fitri, dan kafilah para imam.

    Artikel pada bagian ini merupakan klarifikasi atas berbagai isu, seperti Direktur Komisi Urusan Etnis Daerah Otonomi Xinjiang, Mehmut Usman, yang membantah rumor pembongkaran masjid (hal 154-155), karena hanya bersifat renovasi dan CCTV juga ada dimana-mana, termasuk di masjid, yang bisa mengklarifikasi rumor yang tidak benar. Apalagi, geliat Islam dan tradisi keagamaan juga marak. (hal 178).

    Dalam bagian keempat (politisasi), tulisan dalam buku ini menyoroti tentang merembet hingga gelanggang olimpiade, rivalitas semu, sinifikasi, islamofobia, lembaran baru Beijing-Taliban, janji yang terserak, ganti Gubernur, Ozil mencuit-Dilraba ngambek, dan batu sandungan.

    Pada bagian terakhir buku ini, sampai pada klarifikasi bahwa isu minoritas muslim Uighur akan terus ada selama ada rivalitas China dengan negara-negara sekutu AS (hal.248).

    Di mata Indonesia, isu Xinjiang sudah selesai di tataran diplomasi dan hubungan bilateral Indonesia-China bahwa Xinjiang adalah urusan dalam negeri China, sehingga pihak eksternal tidak boleh mencampuri, seperti halnya masalah Papua bagi Indonesia (hal.316).

    Namun, di tataran publik Indonesia masih menjadi batu sandungan karena muslim Indonesia itu belum semuanya menerima literasi tentang perlakuan Beijing terhadap etnis minoritas Muslim Uighur sebagai penduduk asli Xinjiang. Literasi yang beredar justru framing digital. “Ya, isu Xinjiang itu mirip isu komunisme bagi Indonesia,” kata putri mantan Presiden KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Yenny Wahid.

    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Fakta di Balik Data Bank Dunia, Penduduk Miskin Indonesia Lebih Tinggi dari Vietnam

    Fakta di Balik Data Bank Dunia, Penduduk Miskin Indonesia Lebih Tinggi dari Vietnam

    Bisnis.com, JAKARTA — Dewan Ekonomi Nasional (DEN) mengungkapkan bahwa ketimpangan pendapatan yang besar membuat persentase penduduk miskin di Indonesia jauh lebih tinggi dibandingkan dengan Vietnam, seperti yang diungkapkan Bank Dunia.

    Menurut Anggota DEN Arief Anshory Yusuf, ada yang beranggapan metode penentuan garis kemiskinan Bank Dunia bermasalah.

    Pasalnya, pendapatan per kapita Indonesia jauh lebih tinggi dari Vietnam, tetapi persentase penduduk miskin Indonesia malah jauh lebih besar dari Vietnam.

    Kendati demikian, Arief menyebut keganjilan tersebut bisa dijelaskan dengan mudah lewat analisis ketimpangan pendapatan.

    “Karena ini kalau misalkan income per kapita-nya tinggi, tapi kemiskinannya banyak, berarti pendapatan per kapita-nya itu terkerek oleh orang-orang yang income-nya sangat tinggi,” kata Arief kepada Bisnis, Senin (9/6/2025).

    Adapun, Bank Dunia mencatat pendapatan per kapita Indonesia mencapai US$4.810 pada 2023, sementara Vietnam baru mencapai US$4.110 pada 2023. Di sisi lain, dengan standar negara berpendapatan menengah, Bank Dunia mencatat penduduk miskin Indonesia mencapai 68,2% dari total populasi pada 2024, sementara Vietnam hanya 21,5% dari total populasi pada 2022.

    Menurut Arief, data Bank Dunia itu malah bisa menunjukkan ketimpangan pendapatan di Indonesia jauh lebih tinggi daripada di Vietnam. Dia pun tidak heran apabila masyarakat Vietnam lebih setara daripada Indonesia.

    Guru Besar FEB Universitas Padjajaran itu mengingatkan bahwa sejak awal Vietnam merupakan negara dengan pemerintahan komunisme.

    “Mereka [Vietnam] dari dulunya itu melakukan land reform, segala macam. Jadi wajar ketimpangan mereka rendah, dan data yang saya punya, yang dari Standardized Income Inequality Database, itu menunjukkan Indonesia sebenarnya GINI-nya itu lebih tinggi daripada yang diumumkan BPS, itu 0,46. Sementara Vietnam itu hanya 0,3,” ungkap Arief.

    Oleh sebab itu, Arief mendorong agar pemerintah atau para pemegang kepentingan tidak boleh menafikan data yang dikeluarkan oleh lembaga-lembaga internasional seperti Bank Dunia.

    Dia mengungkapkan bahwa keberhasilan suatu pembangunan itu tidak hanya terlihat dari masa ke masa, tetapi juga melalui perbandingan antarnegara. Data perbandingan itu, sambungnya, didapatkan dari lembaga-lembaga internasional.

    “Jadi garis-garis kemiskinan yang dikeluarkan oleh Bank Dunia dan lembaga-lembaga lainnya, itu harus dijadikan introspeksi dalam merumuskan arah kebijakan nasional supaya lebih komplit,” tuturnya.

    Adapun, persentase penduduk miskin di Indonesia versi Bank Dunia yang mencapai 68,2% atau setara 194,4 juta orang pada 2024 itu jauh lebih tinggi dibandingkan dengan perhitungan Badan Pusat Statistik (BPS).

    Pada September 2024, BPS mencatat penduduk miskin hanya sekitar 8,57% atau setara 24,06 juta orang.

  • Kisah Ilmuwan Bantu China Jadi Negara Adidaya Usai Dideportasi AS

    Kisah Ilmuwan Bantu China Jadi Negara Adidaya Usai Dideportasi AS

    Jakarta

    Di Shanghai, China, berdiri sebuah museum dengan 70.000 artefak yang didedikasikan untuk satu orang: “ilmuwan rakyat” Qian Xuesen.

    Qian adalah bapak program luar angkasa dan rudal China.

    Penelitiannya membuat Beijing mampu mengembangkan roket yang meluncurkan satelit pertamanya ke luar angkasa, serta rudal-rudal lain yang menjadi bagian dari persenjataan nuklir China.

    Atas jasanya, ia dihormati sebagai pahlawan nasional.

    Namun di Amerika Serikat, tempat ia belajar dan bekerja selama lebih dari satu dekade, kontribusi penting Qian jarang diakui.

    Kisah Qian kembali disorot oleh media seperti New York Times dalam beberapa hari terakhir ini, di tengah kebijakan pengusiran imigran oleh Presiden AS Donald Trump.

    Pada 28 Mei, Menteri Luar Negeri AS, Marco Rubio, mengumumkan bahwa pemerintah akan “secara agresif mencabut” visa bagi pelajar China, termasuk mereka yang terkait dengan Partai Komunis atau yang belajar di “bidang-bidang yang sensitif.”

    Lalu, apakah AS akan kembali jatuh di lubang yang sama dengan menyingkirkan sosok-sosok jenius seperti ilmuwan China ini dan melakukan salah satu kesalahan terbesar dalam sejarah negara itu?

    Seorang bintang lahir

    Qian lahir pada 1911, saat China beralih dari dinasti kekaisaran ke sistem pemerintahan republik. Ayahnya mendirikan sistem pendidikan nasional China setelah bekerja di Jepang.

    Sejak kecil, Qian sudah menunjukkan bakat luar biasa. Ia lulus dengan peringkat tertinggi dari Universitas Jiao Tong di Shanghai dan meraih beasiswa untuk belajar di Massachusetts Institute of Technology (MIT), AS.

    Pada 1935, dia tiba di Boston. Qian mungkin menghadapi xenofobia dan rasisme, kata Chris Jespersen, profesor sejarah di University of North Georgia di AS.

    Namun, ada juga “harapan dan keyakinan bahwa China [sedang] mengalami perubahan yang signifikan.”

    Getty ImagesQian Xuesen bersama pengacaranya Grant Cooper di sidang deportasi pada November 1950.

    Dari MIT, Qian melanjutkan pendidikannya ke California Institute of Technology (Caltech) untuk belajar di bawah bimbingan salah seorang insinyur aeronautika paling berpengaruh saat itu, Theodore von Karman, kelahiran Hungaria.

    Di sana, Qian berbagi kantor dengan ilmuwan terkemuka lainnya, Frank Malina, anggota kunci dari kelompok kecil inovator yang dikenal sebagai “Suicide Squad.”

    Julukan itu diberikan karena percobaan mereka untuk membangun roket di kampus, dan juga beberapa eksperimen dengan bahan kimia mudah menguap yang berakhir sangat buruk, jelas Fraser Macdonald, penulis Escape from Earth: A Secret History of the Space Rocket.

    Namun, tidak ada yang benar-benar jadi korban, kata penulis itu.

    Baca juga:

    Suatu hari, Qian terlibat dalam sebuah diskusi tentang matematika yang rumit dengan Malina dan anggota kelompok lainnya. Tak lama kemudian ia menjadi bagian dari tim itu dan menghasilkan penelitian penting tentang propulsi roket.

    Saat itu, ilmu roket dianggap sebagia “pekerjaan orang aneh dan pemimpi,” kata Macdonald.

    “Tidak seorang pun menganggapnya [roket] dengan serius, dan tidak ada insinyur yang ahli matematika akan mempertaruhkan reputasinya dengan mengatakan ini adalah masa depan.”

    Namun semuanya berubah cepat ketika Perang Dunia II pecah (193945).

    Kelompok Suicide Squad menarik perhatian militer AS, yang kemudian mendanai penelitian pesawat jet, dengan memasang pendorong di sayap pesawat agar bisa lepas landas dari landasan yang pendek.

    Getty ImagesKarena kecerdasannya yang nyata, Qian memenangkan beasiswa untuk belajar di MIT.

    Pendanaan dari militer juga membantu pendirian Laboratorium Propulsi Jet (JPL) pada 1943, di bawah arahan Theodore von Karman.

    Qian, bersama dengan Frank Malina, berada di pusat proyek tersebut.

    Meskipun Qian adalah warga China, saat itu China adalah sekutu AS sehingga “tidak ada kecurigaan nyata terhadap ilmuwan China di pusat proyek luar angkasa Amerika,” kata Macdonald.

    Qian mendapat izin keamanan untuk bekerja pada proyek penelitian senjata rahasia dan bahkan menjabat di Dewan Penasihat Sains pemerintah AS.

    Menjelang perang berakhir, Qian menjadi ahli propulsi jet terkemuka di dunia dan dikirim bersama von Karman dalam misi ke Jerman dengan pangkat sementara letnan kolonel.

    Misinya adalah mewawancarai para insinyur Nazi, termasuk Werner von Braun, ilmuwan roket terkemuka Jerman. AS ingin mengetahui sejauh mana pengetahuan teknologi roket Jerman.

    Karier yang hancur

    Namun pada akhir dekade itu, karier cemerlang Qian di AS tiba-tiba hancur dan kehidupannya berantakan.

    Pada 1949, Mao Zedong mendeklarasikan berdirinya Republik Rakyat China. Dan dengan cepat, orang China dianggap sebagai “orang jahat,” kata Jespersen dari Universitas Georgia Utara.

    Seorang direktur baru di JPL mencurigai adanya jaringan mata-mata di laboratorium itu dan melaporkan beberapa staf itu ke FBI.

    “Semuanya orang China dan Yahudi,” jelas Macdonald.

    Era Perang Dingin antara AS dan Uni Soviet pun dimulai. Perburuan atas orang-orang yang dianggap komunis di era McCarthy semakin gencar.

    Dalam suasana ini, FBI menuduh Qian, Frank Malina, dan yang lainnya sebagai antek komunis dan menimbulkan ancaman terhadap keamanan nasional.

    Tuduhan ke Qian ini didasarkan pada dokumen Partai Komunis AS pada 1938 yang menunjukkan bahwa ia menghadiri sebuah pertemuan sosial, yang dicurigai FBI sebagai pertemuan Partai Komunis Pasadena.

    Getty ImagesTiga anggota “Suicide Squad”, William Pickering (kiri), Theodore von Krmn (tengah) dan Frank J. Malina (kanan), dalam foto pada1960.

    Meskipun Qian menyangkal menjadi anggota partai, sebuah studi baru menunjukkan bahwa ia bergabung sekitar waktu yang sama dengan Frank Malina, pada 1938. Namun, hal itu tidak serta merta menjadikannnya seorang Marxis.

    Saat itu, menjadi komunis adalah bentuk perlawanan terhadap rasisme, kata Macdonald. Mereka menentang fasisme dan segregasi, seperti memprotes pemisahan kolam renang umum di Pasadena.

    Deportasi

    Zuoyue Wang, profesor sejarah di California Polytechnic State University di AS, mengatakan tidak ada bukti bahwa Qian melakukan spionase untuk China atau menjadi agen intelijen saat berada di AS.

    Namun, Qian kehilangan izin keamanannya dan ditetapkan sebagai tahanan rumah. Rekan-rekannya di Caltech, termasuk Theodore von Karman, menulis surat kepada pemerintah untuk membela Qian, tetapi tidak berhasil.

    Pada 1955, setelah lima tahun menjalani tahanan rumah, Presiden Eisenhower memutuskan untuk mendeportasi Qian ke China.

    Ilmuwan itu pergi dengan kapal bersama istri dan dua anaknya yang lahir di AS, sambil mengatakan kepada wartawan bahwa ia bersumpah tidak akan pernah menginjakkan kaki di AS lagi.

    Dan ia menepati janjinya.

    “Ia adalah salah satu ilmuwan paling terkemuka di AS. Ia telah banyak berkontribusi dan bisa saja berkontribusi lebih banyak lagi bagi AS. Jadi, itu bukan hanya penghinaan, tetapi pengkhianatan,” kata jurnalis dan penulis Tianyu Fang.

    Getty ImagesQian Xuesen dianggap sebagai bapak program rudal nuklir dan antariksa China.

    Qian tiba di China sebagai pahlawan, tetapi tidak langsung diterima oleh Partai Komunis.

    Rekam jejaknya tidak sepenuhnya bersih. Istrinya adalah putri pemimpin Nasionalis, dan sebelum kejatuhannya, Qian hidup nyaman di AS. Bahkan, dia telah mengajukan permohonan kewarganegaraan Amerika.

    Ia baru resmi bergabung dengan Partai Komunis China pada 1958. Sejak itu berusaha tetap berada di sisi aman. Ia selamat dari pembersihan politik dan Revolusi Kebudayaan, kemudian memiliki karier yang luar biasa.

    Ketika ia tiba di China, pengetahuan tentang ilmu roket nyaris tak dikenal. Namun, 15 tahun kemudian, ia memimpin peluncuran satelit pertama China ke luar angkasa.

    Selama beberapa dekade, ia melatih generasi baru ilmuwan dan meletakkan dasar bagi Program Eksplorasi Bulan China.

    Ironisnya, program rudal yang dikembangkan Qian di China kemudian digunakan untuk menyerang ASseperti rudal Silkworm yang ditembakkan ke AS dalam Perang Teluk 1991 dan serangan terhadap kapal USS Mason pada 2016 oleh pemberontak Houthi di Yaman.

    Dengan mengambil langkah keras terhadap komunisme domestik, Macdonald berpendapat, AS telah mendeportasi “seseorang yang justru digunakan oleh salah satu musuh ideologisnya untuk mengembangkan program rudal dan antariksanya sendiri. Itu adalah kesalahan geopolitik yang luar biasa.”

    “Ada siklus yang aneh. AS mengusir orang yang ahli dan kemudian menjadi bumerang bagi mereka,” katanya.

    Mantan Sekretaris Angkatan Laut AS Dan Kimball, yang kemudian menjadi kepala perusahaan propulsi roket Aerojet, pernah menyebut deportasi Qian sebagai “hal terbodoh yang pernah dilakukan negara ini.”

    Getty ImagesMao memproklamasikan berdirinya Republik Rakyat China pada 1 Oktober 1949.

    Saat ini, sekali lagi terjadi ketegangan besar antara China dan AS. Kini bukan tentang ideologi, tetapi tentang perdagangan, keamanan teknologi dan, menurut Trump, dugaan kegagalan China dalam menangani Covid-19.

    Sebagian besar warga AS mungkin tak mengenal Qian atau perannya di program luar angkasa Amerika, tapi banyak warga dan mahasiswa China di AS yang mendengar kisahnya dan melihat kemiripannya dengan situasi saat ini.

    “Hubungan antara AS dan China telah memburuk sedemikian rupa sehingga mereka tahu bahwa mereka mungkin dicurigai seperti generasi Qian,” sang jurnalis membandingkan.

    Qian Xuesen tidak pernah menginjakkan kaki di Amerika Serikat lagi dan meninggal pada 2009. (Getty Images)

    Menurut Macdonald, kisah Qian merupakan peringatan ketika suatu rezim menyingkirkan pengetahuan.

    “Sejarah ilmu pengetahuan Amerika menunjukkan bahwa sains di AS dibangun oleh para pendatang… Namun di era konservatif seperti sekarang, sejarah itu semakin sulit untuk dirayakan.”

    Kontribusi JPL terhadap program luar angkasa AS, menurut Macdonald, sebagian besar diabaikan, jauh jika dibandingkan dengan kontribusi Wernher von Braun dan ilmuwan asal Jerman lainnya, yang secara diam-diam dibawa ke AS tak lama setelah von Karman dan Qian mengunjungi mereka.

    Braun adalah seorang Nazi dan prestasinya diakui oleh negara, sementara Qian dan ilmuwan lainnya dalam Suicide Squad tersingkirkan, kata Macdonald.

    “Fakta bahwa program luar angkasa AS pertama kali dirintis oleh kaum sosialis lokal entah Yahudi atau China adalah kisah yang sulit diterima oleh Amerika sendiri,” tutupnya.

    Kehidupan Qian berlangsung hampir satu abad. Selama periode ini, China bertransformasi dari negara lemah menjadi adikuasa di Bumi dan di luar angkasa.

    Qian adalah bagian dari transformasi itu. Namun kisahnya juga bisa menjadi kisah besar bagi Amerika jika saja tidak dikhianati.

    Pada tahun 2019, China berhasil mendaratkan wahananya di sisi terjauh Bulan. Lokasi pendaratannya di Kawah Von Karmandinamai dari insinyur aeronautika yang merupakan salah satu mentor Qian.

    Sebuah pengakuan, disengaja atau tidak, menunjukkan bahwa antikomunisme Amerika lah yang mendorong China menaklukkan luar angkasa.

    (ita/ita)

    Hoegeng Awards 2025

    Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

  • Indonesia putuskan hubungan diplomatik dengan Tiongkok

    Indonesia putuskan hubungan diplomatik dengan Tiongkok

    Ilustrasi – Bendera Indonesia dan Tiongkok. (https://tinyurl.com/4dxppbbn)

    24 April 1967: Indonesia putuskan hubungan diplomatik dengan Tiongkok
    Dalam Negeri   
    Editor: Calista Aziza   
    Kamis, 24 April 2025 – 06:00 WIB

    Elshinta.com – Pada 24 April 1967, Indonesia mencatatkan salah satu langkah diplomatik paling drastis dalam sejarah hubungan luar negerinya. Pemerintah Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto secara resmi mengusir dua diplomat tinggi dari Republik Rakyat Tiongkok (RRT), di tengah ketegangan politik dan ideologis yang memuncak pasca peristiwa Gerakan 30 September 1965. Tindakan ini bukan hanya berdampak pada hubungan kedua negara, tetapi juga menjadi simbol kuat dari arah kebijakan luar negeri Indonesia yang tegas terhadap pengaruh komunisme pada masa awal Orde Baru.

    Pengusiran tersebut dilakukan setelah munculnya berbagai tuduhan bahwa Kedutaan Besar Tiongkok di Jakarta terlibat dalam penyebaran propaganda komunis serta mendukung kegiatan subversif di dalam negeri. Tiongkok, yang sejak awal dikenal dekat dengan Partai Komunis Indonesia (PKI), menjadi sasaran utama kecurigaan pemerintah. Di tengah suasana politik yang sarat tekanan dan sentimen anti-komunis, pemerintah memutuskan untuk mengambil langkah tegas dengan mengeluarkan perintah pengusiran secara resmi kepada dua perwakilan diplomatik dari Beijing.

    Langkah ini menandai titik balik tajam dalam hubungan Indonesia–Tiongkok. Tidak hanya sebatas pengusiran, Indonesia juga secara efektif membekukan seluruh hubungan diplomatik dengan Tiongkok selama lebih dari dua dekade. Kedutaan Besar kedua negara ditutup, dan komunikasi resmi antar pemerintah berhenti total. Indonesia pun menjauh dari negara-negara blok komunis dan mempererat hubungan dengan kekuatan Barat serta negara-negara anti-komunis di kawasan Asia Tenggara.

    Meskipun hubungan kedua negara baru dipulihkan kembali pada tahun 1990, dampak dari kebekuan diplomatik selama puluhan tahun tersebut cukup signifikan, terutama dalam konteks kerja sama ekonomi, perdagangan, dan politik luar negeri yang sempat terhambat. Pemulihan hubungan baru terjadi setelah adanya perubahan pendekatan politik luar negeri yang lebih pragmatis dari pemerintah Indonesia, serta berkembangnya kesadaran akan pentingnya kemitraan strategis dengan Tiongkok di tengah perubahan geopolitik global.

    Peristiwa pengusiran diplomat Tiongkok pada 24 April 1967 menjadi cermin dari dinamika politik nasional dan global yang tengah berlangsung saat itu. Selain menegaskan posisi Indonesia sebagai negara yang menolak komunisme secara terbuka, peristiwa ini juga menunjukkan bagaimana kebijakan luar negeri bisa sangat dipengaruhi oleh situasi domestik. Hingga kini, sejarah tersebut tetap menjadi salah satu referensi penting dalam memahami arah diplomasi Indonesia di masa transisi menuju Orde Baru.

    Sumber : Sumber Lain

  • Tata Kelola Intelijen Pasca-Revisi UU TNI
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        1 April 2025

    Tata Kelola Intelijen Pasca-Revisi UU TNI Nasional 1 April 2025

    Tata Kelola Intelijen Pasca-Revisi UU TNI
    Abahroji, Adalah Seorang Konten Kreator Bekerja pada Perusahaan Konsultan Strategis
    WALI KOTA
    Yogyakarta Hasto Wardoyo menggegerkan jagat pemberitaan. Bekas Bupati Bantul yang seorang dokter tersebut mengatakan akan menurunkan intelijen untuk mendeteksi warung-warung nakal yang menjual di luar harga normal atau ‘Nuthuk’.
    Hal tersebut ia lakukan untuk menghindari citra negatif Yogyakarta sebagai Kota Pariwisata.
    Langkah Hasto, menurut saya, inovatif dan patut diapresiasi. Pada konteks daerah, Hasto memanfaatkan intelijen sebagai dasar kebijakan untuk kesejahteraan ekonomi dan melindungi masyarakat.
    Sebagai pengambil kebijakan pada level daerah, Hasto memahami fungsi intelijen sehingga bisa memanfaatkan produk intelijen tersebut untuk menunjang tugas-tugasnya sebagai kepala daerah.
    Di daerah, di tingkat kabupaten atau provinsi kita mengenal Komite Intelijen Daerah (Kominda), forum koordinasi para pimpinan penyelenggara intelijen negara di tingkat daerah.
    Sementara di pusat ada Komite Intelijen Pusat (Kominpus). Merujuk pada Peraturan Presiden No 67 Tahun 2013 tentang
    Badan Intelijen Negara
    , disebutkan Komite Intelijen memiliki tugas melakukan rapat koordinasi membahas dan menetapkan permasalahan strategis yang memengaruhi keamanan wilayah, membahas permasalahan aktual yang memengaruhi keamanan nasional.
    Dalam rapat tersebut dilakukan sinkronisasi, harmonisasi produk intelijen untuk kemudian dirumuskan kegiatan operasional dan tindakan bersama yang harus dilakukan.
    Informasi keamanan nasional tersebut akan tergambar dari hasil koordinasi lintas lembaga intelijen negara, sehingga bisa dijadikan pemetaan oleh pengambil kebijakan.
    Namun tidak semua pimpinan, baik nasional dan daerah menggunakan produk intilijen secara baik. Hal tersebut bisa dilatarbelakangi validitas dan kualitas produksi intelijen yang tidak teruji dan minimnya profesionalisme lembaga.
    Sehingga menimbulkan
    distrust
    pengguna akhir atau
    end user
    produksi intelijen tersebut. Cara pandang pimpinan terhadap ancaman juga menjadi variabel produk intelijen tersebut digunakan atau tidak atau bisa karena perbedaan pandangan politik si pembuat kebijakan.
    Presiden Soekarno pernah tidak percaya dengan hasil produk intelijen, Badan Rahasia Negara Indonesia (BERANI), lembaga yang didirikan Zulkifli Lubis yang diresmikan pada 7 Mei 1946.
    Zulkifli adalah seorang militer yang memiliki kemampuan teknis intelijen didikan Pembela Tanah Air (PETA) Jepang.
    Stabilitas politik yang tidak terkendali dan kepentingan golongan yang tidak terkontrol pada Era Parlementer mendorong Soekarno membentuk lembaga intelijen baru yang dipimpin Menteri Pertahanan oleh Amir Syarifuddin yang disebut Badan Pertahanan B dipimpin oleh sipil.
    Soekarno kemudian menggabungkan personel BERANI dan Badan Pertahanan B menjadi Bidang V di bawah kementerian pertahanan dengan pimpinannya seorang jenderal polisi pada1947.
    Intelijen di era awal kemerdekaan memang terjadi militerisasi mengingat ancaman saat itu adalah ancaman perang dari luar selain ancaman disintegrasi dari dalam.
    Tokoh militer seperti Zulkifli Lubis dan Dr. Sucipto kemudian bersaing untuk mendapatkan legalitas Presiden Soekarno.
    Era Soekarno ini, para pengamat menyebutnya dengan Militerisasi Intelijen (Relasi Intellijen dan Dan Negara 1945-2004, Andi Wijayanto & Artanti Wardani, Pacivis UI 2008).
    Situasi berubah pasca-Dekrit 1950, di mana kebijakan Soekarno berorientasi pada sipil dan konsolidasi politik dalam negeri.
    Meskipun Ancaman perang masih ada, tapi tak sehebat sebelum 1950. Karena itulah relasi intelijen dan negara terbangun nuansa konsolidasi politik.
    Para pemerhati intelijen mengasosiasikan intelijen saat itu dengan intelijen politik. Soekarno membuat Badan Pusat Intilijen (BPI) dengan menunjuk Menteri Luar Negeri Subandrio sebagai kepalanya.
    Subandrio yang berhaluan kiri, menggunakan BPI untuk mengawasi tokoh-tokoh politik yang dianggap musuh oleh dirinya dan Soekarno. BPI menyebar agen-agen intelijen ke berbagai dinas-dinas intelijen untuk memperkuat posisi Partai Komunis Indonesia (PKI).
    Perbedaan orientasi politik juga telah mendorong Presiden Soeharto untuk mengubah struktur intelijen negara.
    Cara pandang Soeharto terhadap ancaman yang muncul saat itu menjadikan intelijen tidak hanya sebagai instrumen politik, tapi juga menjadikan intelijen sebagai konsolidasi militer.
    Para pengamat mengklasifikasi periode ini sebagai Negara Intelijen. Jenderal Soeharto yang berlatarbelakang militer menjadikan intelijen sebagai instrumen untuk mengendalikan lawan-lawan politik yang mencoba menentang kebijakannya.
    Sejak Peristiwa Gestapu atau Gerakan 30 September 1965 sampai Reformasi 1998, Soeharto mampu mendalilkan bahwa keamananan dan ketertiban masyarakat hanya bisa dikendalikan oleh kekuatan militer.
    Militer masuk pada ruang sosial politik dan mengatur tata kehidupan masyarakat sipil. Dengan dalih keamanan nasional, Soeharto juga membentuk Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) dan Komando Operasi Tinggi (KOTI).
    Kopkamtib melakukan Operasi Intelijen, Operasi Tempur dan Operasi teritorial dan semuanya berada di bawah komando Angkat Darat dengan dibantu Angkatan Laut dan Udara. Kopkamtib adalah era baru diawalinya doktrin keamanan nasional berada di tangan militer (ABRI).
    Dengan justifikasi melawan paham komunisme yang mengancam kedaulatan ideologi negara, keamanan dan ketahanan nasional, Presiden Soeharto melucuti agen-agen Badan Pusat Intilijen di bawah kendali militer dengan membentuk Badan Kooordinasi Intelijen (BAKIN) pada 22 Mei 1967 yang langsung berada di bawah kendalinya dan berfungsi mengendalikan simpul-simpul intelijen pada divisi militer dan institusi sipil.
    Soeharto melakukan militerisasi BAKIN dengan menempatkan jenderal-jenderal kepercayaannya. Kopkamtib bukan hanya berperan menghadapi musuh dari external (perang), tapi juga menjadi alat mengontrol aktivitas intelijen.
    Selama 32 tahun, Soeharto menggunakan alasan keamanan nasional, intelijen di bawah kendali militer bisa memasukan seseorang ke dalam penjara. Dengan dalih keamanan nasional, pers harus berhenti terbit dan patuh keinginan presiden atau kroninya.
    Intelijen digunakan untuk mengontrol aktivitas lawan politik dan tokoh masyarakat yang vokal tanpa aturan hukum yang jelas. Intelijen menjadi aktivitas hitam mengerikan yang meninggalkan sejarah kelam dan traumatik pada bangsa ini.
    Pascapenetapan
    revisi UU TNI
    , kekhawatiran munculnya intelijen hitam kembali menguak. Ini tidak terlepas dari lembaga Badan Intelijen Negara (BIN) sebagai koordinator intelijen negara masuk pada 15 lembaga yang boleh diduduki oleh tentara aktif.
    Setelah 26 tahun Reformasi, ada 9 kepala BIN yang telah menjabat (7 Purnawirawan TNI dan 2 Purnawirawan polisi). Namun, tidak ada satupun sipil yang pernah menjadi kepalanya.
    Untuk menjaga kredibilitas intelijen diperlukan wadah organisasi intelijen modern, intelijen yang menjaga profesialisme, menghormati hak asasi manusia dan tetap meyakini kerahasiannya serta tata kelola yang demokratis, patuh pada institusi politik dan negara.
    Komunitas masyarakat sipil sejak reformasi terus mendorong pentingnya penataan intelijen negara yang transparan dan lepas dari intervensi politik.
    Pasca-Reformasi, kita memiliki Undang-undang No. 17 Tahun 2011 yang mengatur peran intelijen negara dalam tata ketatanegaraan Indonesia.
    Undang-undang ini mengatur lembaga-lembaga yang boleh melakukan aktivitas intelijen, yakni fungsi intelijen militer dilakukan oleh (BAIS), Intelijen Kepolisian (Intelkam), Intelijen Kejaksaan (Jamintel) dan Intelijen Kementerian/Non Kementerian yang diatur oleh peraturan pemerintah.
    Sementara yang melakukan koordinasi dan komunikasi intelijen di Pusat adalah Badan Intelijen Negara (BIN).
    Undang-undang tersebut tidak mengatur bagaimana koordinasi antarkomunitas intelijen tersebut dalam memberikan produksi intelijen kepada presiden.
    Dan bagaimana Kominpus memberikan rekomendasi kepada presiden dan kebijakan apa yang harus dilakukan oleh presiden dalam merespons hasil aktivitas intelijen tersebut.
    Hasil riset penulis, pada 2023 misalnya, koordinasi komunitas intelijen dalam mengantisipasi dan memetakan potensi ancaman radikalisme pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) cukup lemah sekali.
    Komunitas intelijen, BIN, BAIS TNI dan Baintelkam POLRI serta BNPT belum memiliki skema bersama dalam memetakan potensi radikalisme yang berujung pada terorisme selama 2018-2022 (Peran Intelijen Dalam Deteksi Dini Ancamanan Radikalisme di BUMN).
    Begitupun lemahnya koordinasi komunitas intelijen dalam mengantisipias potensi ancaman ekonomi utamanya saat ini berupa penyelundupan,
    transnational organized crime, trade-based money laundering.
    Ketidaktegasan dan deferensiasi tugas dan wewenang di antara komunitas intelijen tersebut menimbulkan konflik kepentingan yang mengarah pada tindakan kekerasan antara sesama lembaga. (Aldila Kun, Penguatan Tata Kelola Komunitas Intelen Dalam Sistem Keamanan Nasional di Indonesia, Jurnal Syntax Literate, Vol 8 No.3 2023)
    Undang-Undang tersebut juga dianggap belum mengatur soal sumber daya manusia, penganggaran dan pengawasan terhadap kerja-kerja intelijen negara.
    Komunitas Masyarakat Sipil Untuk Reformasi Pertahanan yang merupakan gabungan LSM, pakar dan aktivis yang peduli pertahanan dan keamanan sampai saat ini masih menyoroti tata kelola penganggaran dan pengawasan external intelijen.
    Belum ada mekanisme yang jelas bagaimana mengevaluasi lembaga telik sandi tersebut agar tidak dijadikan kepentingan politik dan kelompok tertentu.
    Atas desakan tersebut, DPR baru saja memiliki Tim Pengawas (Dilantik pada Desember 2024) yang terdiri dari perwakilan partai politik. Namun, Tim Pengawas yang berjumlah 13 orang tersebut tidak melibatkan unsur masyarakat ataupun akademisi sebagai anggotanya.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Belajar dari Bung Hatta, Begini Strategi Menghadapi Tantangan Ekonomi Nasional

    Belajar dari Bung Hatta, Begini Strategi Menghadapi Tantangan Ekonomi Nasional

    Jakarta: Pemikiran Bung Hatta tentang kedaulatan rakyat, semangat gotong-royong, dan keadilan sosial dinilai tetap relevan dalam menghadapi berbagai tantangan ekonomi Indonesia saat ini. 
     
    Gagasan-gagasan tersebut bisa menjadi pedoman bagi para pemangku kebijakan dalam menentukan arah pembangunan ekonomi yang lebih berkeadilan.
     
    Wakil Ketua MPR RI, Lestari Moerdijat, menegaskan bahwa warisan pemikiran para pendiri bangsa, termasuk Bung Hatta, dapat menjadi landasan dalam mencari solusi atas permasalahan ekonomi nasional.

    “Pemikiran para pendiri bangsa terkait pembangunan perekonomian nasional sejatinya bisa kita cermati bersama sebagai bagian dari upaya untuk menjawab berbagai tantangan yang dihadapi bangsa ini,” ujar Lestari dalam sambutan tertulisnya pada diskusi daring bertajuk Relevansi Pemikiran Sosial Ekonomi Bung Hatta dalam Pembangunan Ekonomi Indonesia yang diselenggarakan oleh Forum Diskusi Denpasar 12 bersama Yayasan Hatta dan LP3ES, Rabu, 19 Maret 2025.
     
    Menurut Lestari, konsep kedaulatan rakyat, gotong-royong, dan keadilan sosial yang diperjuangkan Bung Hatta seharusnya menjadi dasar dalam pengambilan kebijakan ekonomi saat ini. 
     
    Ia pun mendorong generasi penerus untuk belajar dari strategi para pendiri bangsa dalam menghadapi berbagai tantangan ekonomi di masa lalu.
     

    Prinsip ekonomi Pancasila
    Senada dengan itu, Anggota Pembina Yayasan Hatta, Sri Edi Swasono, menjelaskan bahwa konsep ekonomi Pancasila merujuk pada Pasal 33 UUD 1945 yang menegaskan prinsip demokrasi ekonomi. Selain itu, dasar-dasar keadilan sosial dalam sistem ekonomi Indonesia juga termaktub dalam Pasal 27 ayat 2 UUD 1945 serta sila kelima Pancasila.
     
    Sri Edi juga mengungkapkan bahwa pada 1965, ekonom Emil Salim pernah menyusun naskah Sistem Ekonomi dan Ekonomi Indonesia atas penugasan dari Departemen Urusan Research Nasional. Dalam naskah tersebut, Emil Salim menekankan bahwa sistem ekonomi Indonesia merupakan sistem ekonomi sosialisme Pancasila yang mengedepankan nilai kekeluargaan dan solidaritas.
     
    “Kekeluargaan dalam ekonomi Indonesia bermakna brotherhood, di mana setiap elemen masyarakat memiliki tanggung jawab bersama dalam pengembangan perekonomian,” tutur Sri Edi.
     
    Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa Bung Hatta melihat sistem ekonomi Indonesia sebagai ekonomi sosialis yang lahir dari semangat perjuangan rakyat dalam menghadapi ketidakadilan di masa kolonial.
     
    Pemikiran Bung Hatta tentang koperasi sebagai pilar utama ekonomi kerakyatan juga masih sangat relevan hingga saat ini. Hal ini disampaikan oleh Dosen FEB Universitas Muslim Indonesia, Ratna Sari. Menurutnya, Bung Hatta menekankan tiga prinsip utama dalam membangun perekonomian, yaitu kemandirian ekonomi, keadilan sosial, dan demokrasi ekonomi.
     
    “Bung Hatta percaya bahwa sebuah negara merdeka harus memiliki ekonomi yang mandiri, dan koperasi adalah bentuk ekonomi yang paling sesuai dengan budaya Indonesia,” kata Ratna.
     
    Dalam konsep demokrasi ekonomi yang diusung Bung Hatta, masyarakat memiliki kendali atas sumber daya ekonomi. Ratna menegaskan bahwa rakyat tidak hanya berhak memilih pemimpin, tetapi juga harus memiliki peran dalam menentukan arah pembangunan ekonomi.
     

    Sementara itu, Staf Khusus Wakil Ketua MPR RI, Usman Kansong, menambahkan bahwa pemikiran Bung Hatta dalam bidang ekonomi, politik, dan sosial selalu berorientasi pada kedaulatan rakyat. Ia menilai bahwa konsep demokrasi ekonomi yang digagas Bung Hatta bertujuan untuk memastikan kesejahteraan masyarakat secara merata.
     
    “Dalam politik, Bung Hatta mengedepankan demokrasi kerakyatan, di mana kedaulatan berada di tangan rakyat,” ujar Usman.
     
    Pada sektor sosial, lanjutnya, pemikiran Bung Hatta tentang pendidikan menitikberatkan pada pemberdayaan rakyat, dengan tujuan akhir terciptanya keadilan sosial. Sementara di bidang ekonomi, ia berpegang teguh pada prinsip-prinsip yang tertuang dalam Pasal 33 UUD 1945 dan konsep koperasi yang ia pelajari hingga ke negara-negara Skandinavia.
     
    Menurut Usman, pemikiran Bung Hatta juga memiliki corak ke-Indonesia-an yang kental, dengan nilai-nilai religiusitas yang berakar kuat, terutama dalam konteks keislaman. Ia pun melihat bahwa gagasan Bung Hatta menawarkan jalan tengah di antara dua kutub ekstrem, yakni komunisme dan liberalisme.
     
    “Pertanyaannya, apakah kita sudah benar-benar mengimplementasikan pemikiran Bung Hatta dalam kebijakan ekonomi kita saat ini?” pungkas Usman.
     
    Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
    dan follow Channel WhatsApp Medcom.id

    (ANN)

  • Tuduh VOA ‘Radikal’, Trump Perintahkan 1.300 Pegawai Ambil Cuti

    Tuduh VOA ‘Radikal’, Trump Perintahkan 1.300 Pegawai Ambil Cuti

    Jakarta

    Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, telah menandatangani perintah untuk melemahkan Voice of America (VOA). Trump menuduh organisasi berita yang didanai pemerintah federal AS itu sebagai lembaga “anti-Trump” dan “radikal”.

    Sebuah pernyataan dari Gedung Putih mengatakan perintah tersebut akan “memastikan para pembayar pajak tidak lagi terikat pada propaganda radikal”.

    Disertai pula kutipan dari politisi dan media sayap kanan yang mengecam VOA “berhaluan kiri” dan “partisan”.

    VOA didirikan selama Perang Dunia Kedua untuk melawan propaganda Nazi.

    Siaran radio dan pemberitaan digital VOA diakses oleh ratusan juta orang di seluruh dunia.

    Direktur VOA, Mike Abramowitz, mengatakan bahwa dirinya dan hampir seluruh stafnya yang berjumlah 1.300 orang diperintahkan untuk mengambil cuti namun tetap digaji.

    Perintah tersebut memerintahkan para manajer untuk “mengurangi kinerja… hingga ke tingkat kehadiran dan fungsi minimum yang disyaratkan oleh hukum”.

    Perintah presiden tersebut menargetkan perusahaan induk VOA, US Agency for Global Media (USAGM), yang juga mendanai media nirlaba seperti Radio Free Europe dan Radio Free Asia. Media-media ini awalnya didirikan untuk melawan komunisme.

    Getty Images Siaran radio dan pemberitaan digital VOA diakses oleh ratusan juta orang di seluruh dunia. BBC

    BBC News Indonesia .

    Jadilah yang pertama mendapatkan berita, investigasi dan liputan mendalam dari BBC News Indonesia, langsung di WhatsApp Anda.

    BBC

    CBS, mitra BBC di AS, mengatakan bahwa para pegawai VOA menerima pemberitahuan melalui email oleh Crystal Thomas, direktur sumber daya manusia USAGM.

    Sebuah sumber memberi tahu CBS bahwa semua pekerja lepas dan vendor internasional diberi tahu bahwa sekarang tidak ada uang untuk membayar mereka.

    Email yang diperoleh CBS memberi tahu para bos Radio Free Asia dan Radio Free Europe/Radio Liberty bahwa dana federal untuk mereka telah dihentikan.

    National Press Club, kelompok perwakilan terkemuka bagi jurnalis AS, mengatakan perintah tersebut “merusak komitmen lama Amerika terhadap pers yang bebas dan independen”.

    Ditambahkannya: “Jika seluruh ruang redaksi dapat dikesampingkan dalam semalam, apa yang ingin dikatakan soal kebebasan pers?

    “Seluruh lembaga dipreteli sepotong demi sepotong. Ini bukan sekadar keputusan kepegawaian – ini adalah perubahan mendasar yang membahayakan masa depan jurnalisme independen di VOA.”

    Direktur VOA, Mike Abramowitz, mengatakan bahwa dirinya dan hampir seluruh stafnya yang berjumlah 1.300 orang diperintahkan untuk mengambil cuti namun tetap digaji. (Getty Images)

    VOA dan media lain di bawah USAGM melayani lebih dari 400.000.000 pendengar dan secara umum setara dengan BBC World Service, yang sebagian didanai pemerintah Britania.

    Menteri Luar Negeri Republik Ceko, Jan Lipavsk, berharap Uni Eropa dapat membantu agar Radio Free Europe/Radio Liberty tetap beroperasi di Praha.

    Ia akan meminta para menteri luar negeri Eropa dalam pertemuan pada Senin (17/03) untuk menemukan cara agar dapat mempertahankan setidaknya sebagian operasi penyiaran tersebut.

    Elon Musk, miliarder dan penasihat utama Trump yang telah mengawasi pemotongan besar-besaran pada pemerintah AS, telah menggunakan platform media sosial X miliknya untuk menyerukan agar VOA ditutup.

    Presiden AS juga memangkas dana untuk beberapa lembaga federal lainnya termasuk yang bertugas mencegah tunawisma serta yang mendanai museum dan perpustakaan.

    Trump sangat kritis terhadap VOA dalam masa jabatan pertamanya. Ia baru-baru ini menunjuk loyalisnya, Kari Lake, untuk menjadi penasihat khusus bagi USAGM.

    Trump secara berkala menyatakan bahwa media arus utama bias terhadapnya. Ia menyebut CNN dan MSNBC “korup” dalam pidatonya di Departemen Kehakiman.

    Voice of America diluncurkan pada tahun 1942 dengan mandat untuk memerangi propaganda Nazi dan Jepang. Siaran pertamanya disiarkan melalui pemancar yang dipinjamkan oleh BBC ke AS.

    Gerald Ford, saat menjabat presiden, menandatangani piagam publik VOA pada 1976 untuk menjaga independensi editorialnya.

    Pada 1994, Dewan Gubernur Penyiaran didirikan guna mengawasi penyiaran nonmiliter.

    Pada 2013, perubahan undang-undang memungkinkan VOA dan afiliasinya untuk mulai menyiarkan di AS.

    (ita/ita)

    Hoegeng Awards 2025

    Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu