Kisah Rayyan, Bocah Penari di Ujung Sampan yang Bikin Pacu Jalur Kuansing Mendunia
Tim Redaksi
PEKANBARU, KOMPAS.com
– Tradisi
Pacu Jalur
di Kuantan Singingi (Kuansing),
Riau
, mendadak menjadi sorotan dunia.
Hal ini dipicu oleh video viral seorang bocah yang menari di ujung sampan panjang saat lomba berlangsung, dalam posisi berdiri sambil menjaga keseimbangan.
Fenomena ini memunculkan istilah “aura farming” di berbagai media sosial, dan banyak diparodikan oleh warga dari berbagai negara.
Bocah penari tersebut dikenal dengan sebutan Togak Luan, simbol bahwa jalur tim mereka sedang memimpin lomba.
Salah satu Togak Luan yang aksinya viral adalah
Rayyan Arkan Dikha
, bocah berusia 11 tahun asal Desa Pintu Lobang Kari, Kecamatan Kuantan Tengah, Kuansing.
Rayyan tak pernah mengira bahwa tariannya di atas sampan akan menarik perhatian internasional.
“Saya tidak menyangka bisa se viral itu. Tahunya setelah melihat media sosial banyak orang luar yang menirukan tarian itu,” ujar Rayyan saat ditemui di rumahnya, Jumat (4/7/2025).
Saat tampil, Rayyan mengenakan stelan teluk belanga warna hitam, tanjak khas Melayu Riau, dan kacamata hitam.
Ia menari secara spontan, mengikuti irama dan semangat timnya yang tengah unggul.
“Itu spontan saja. Tidak ada belajar atau latihan,” katanya.
Rayyan merasa sangat bangga karena tradisi yang ia cintai kini dikenal luas oleh masyarakat dunia.
“Alhamdulillah, sangat bangga dan bersyukur
Pacu Jalur Kuansing
semakin dikenal luas,” ujarnya, didampingi ibunya, Rani.
Menjadi Togak Luan adalah keinginan Rayyan sejak kecil. Ia terbiasa berenang dan naik sampan di Sungai Kuantan, dua syarat utama menjadi penari di ujung jalur. Keseimbangan dan kemampuan berenang adalah bekal penting.
“Ayah sering ngajak ke Pacu Jalur, jadi saya tertarik,” ungkapnya.
Ayah Rayyan adalah mantan peserta Pacu Jalur dari tim Jalur Tuah Koghi Dubalang Ghajo, sementara sang kakak pernah menjadi Togak Luan.
Rayyan sendiri sudah dua tahun bergabung sebagai Togak Luan di tim ayahnya. Kini, ia duduk di kelas 5 SD, dan memiliki cita-cita menjadi seorang Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Fenomena tarian Rayyan yang viral membuat sang ibu, Rani, menerima banyak telepon dari dalam dan luar negeri.
“Banyak yang menelepon saya. Ada yang dari Inggris, Dubai juga ada, minta live gitu. Saya iyakan,” katanya.
Meski bangga, Rani mengaku selalu merasa cemas setiap Rayyan naik jalur. Ia selalu mengingatkan putranya untuk menjaga keseimbangan agar tidak terjatuh ke sungai.
“Ya, khawatirnya itu dia jatuh. Di situ ada tim penyelamat juga. Makanya setiap tanding saya ingatkan selalu jaga keseimbangan,” ujar Rani.
Rani mengaku sangat mendukung Rayyan, dan berharap momen ini turut memperkenalkan budaya Pacu Jalur Kuansing ke mata dunia.
“Bangga sekali. Semoga Pacu Jalur Kuansing semakin dikenal lebih luas,” tambahnya.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Produk: kacamata
-

Apple Kembangkan iPad Layar Gulung untuk Atasi Masalah Engsel
JAKARTA – Apple dikabarkan terus berupaya mengembangkan perangkat iPad atau iPhone dengan layar yang dapat digulung. Inovasi ini bertujuan untuk mengatasi masalah umum pada engsel yang kerap ditemui pada ponsel lipat yang ada di pasaran.
Menurut paten terbaru yang terungkap, Apple sedang meneliti bagaimana layar fleksibel dapat digulung ke dalam atau keluar dari perangkat menggunakan satu atau lebih roller. Paten ini berjudul “Electronic Device With Flexible Display Structures” dan menjelaskan bahwa “layar fleksibel dapat digulung di sekitar satu atau lebih roller. Roller penyebaran opsional dapat digunakan untuk membantu menyebarkan layar saat [itu] ditarik keluar dari wadah.”
Konsep ini memungkinkan perangkat seperti iPad untuk memiliki layar yang dapat ditarik keluar dari sasisnya. Roller tersebut tidak harus terlihat seperti gulungan perkamen kuno, melainkan bagian kecil dari mekanisme yang memungkinkan layar disimpan di dalam perangkat dan digulung keluar.
Apple ingin mengatasi bagaimana “struktur kaku… dapat menyulitkan pembentukan perangkat elektronik kompak dengan fitur yang diinginkan.” Paten tersebut menggambarkan aplikasi di mana terdapat bagian kaku untuk housing papan sirkuit tercetak, komponen elektronik, dan sebagainya, tetapi kemudian juga layar yang dapat digulung.
“Dalam posisi tersimpan, layar fleksibel dapat digulung di sekitar roller penyimpanan,” jelas paten tersebut. “Roller penyebaran opsional dapat digunakan untuk membantu menyebarkan layar saat layar ditarik keluar dari wadah.” Roller penyebaran ini akan menjaga layar tetap lurus dan stabil saat ditarik keluar, mencegahnya kusut seperti gulungan perkamen tua.
Apple juga berambisi agar layar tetap fungsional bahkan saat digulung. “Layar fleksibel dapat dilihat melalui jendela housing transparan sebelum dan sesudah layar fleksibel ditarik keluar dari housing,” demikian disebutkan dalam paten.
Aplikasi paten ini juga merinci kemungkinan layar digulung di sekitar satu atau dua roller, memungkinkan tampilan yang lebih kecil atau lebih luas sesuai kebutuhan. Apple bahkan menyebutkan bahwa layar gulung ini dapat diterapkan pada berbagai perangkat, mulai dari laptop, liontin, hingga kacamata.
Yang menarik, ini adalah aplikasi paten keenam kalinya untuk ide yang sama, dan Apple telah berhasil mendapatkan paten untuk lima aplikasi sebelumnya. Aplikasi paten aslinya diajukan pada tahun 2017, dengan pengajuan ulang pada tahun 2020, 2021, 2023, dan 2024. Meskipun ada perbedaan kecil, ide dasarnya tetap sama. Pada tahun 2020, Apple menambahkan detail mengenai struktur dukungan tampilan modular dan merevisi detail tentang pembengkokan tampilan.
Pada tahun 2024, pengembangan berfokus pada daya tahan dan penggunaan material baru untuk mengurangi keausan. Ada juga upaya untuk mengurangi ukuran perangkat agar dapat bekerja dengan perangkat yang lebih tipis.
Dua elemen baru ini, bersama dengan proposal untuk peningkatan keseluruhan mekanisme roller, menunjukkan bahwa Apple kini sedang menyempurnakan, bukan lagi mengembangkan ulang ide tersebut.
Paten ini dikreditkan kepada penemu Scott A. Myers, yang juga memiliki lebih dari 150 paten terkait lainnya, seperti “Electronic devices with sidewall displays.”
-

Komisi I DPR dan Menteri Luar Negeri bahas konflik geopolitik
Jakarta (ANTARA) – Komisi I DPR RI mengadakan rapat kerja dengan Menteri Luar Negeri Sugiono guna membahas kondisi konflik geopolitik yang akhir-akhir ini memanas serta upaya perlindungan dan pemulangan Warga Negara Indonesia (WNI) di daerah rawan konflik.
Wakil Ketua Komisi I DPR RI Budisatrio Djiwandono mengatakan bahwa pembahasan itu sangat krusial dan bisa berdampak langsung kepada kepentingan nasional dan keselamatan jutaan rakyat Indonesia.
“Kondisi geopolitik yang sangat dinamis dan penuh tantangan menuntut adaptasi dan strategi yang tangkas dari jajaran diplomat Indonesia,” kata Budisatrio di kompleks parlemen, Jakarta, Senin.
Dia mengatakan rapat tersebut perlu menjadi momentum untuk memahami dan menyelaraskan pandangan, juga memperkuat sinergi. Setelah itu, langkah-langkah konkret perlu dirumuskan untuk menghadapi kompleksitas global.
Menurut dia, Komisi I DPR RI perlu mendalami kondisi geopolitik dunia saat ini dan implikasinya terhadap perlindungan WNI di luar negeri. Dia pun ingin memahami eskalasi konflik di timur tengah juga sengketa atau isu perbatasan regional dari kacamata Kementerian Luar Negeri.
Dia pun mengapresiasi kepada jajaran Kementerian Luar Negeri yang sudah cepat dan tanggap dalam menyikapi situasi global yang sangat sulit.
“Kami bersyukur bahwa telah banyak warga negara kita yang sudah selamat pulang aman ke tanah air,” kata dia.
Untuk itu, dia memastikan bakal terus mendorong Kementerian Luar Negeri untuk mendukung kepulangan WNI dengan selamat dari daerah konflik.
Pewarta: Bagus Ahmad Rizaldi
Editor: Edy M Yakub
Copyright © ANTARA 2025Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.
-
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5268099/original/078083500_1751203308-Kacamata_Xiaomi_1.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Xiaomi Pamer Kacamata Pintar AI, Siap Jadi Pesaing Ray-Ban Meta? – Page 3
Liputan6.com, Jakarta – Xiaomi memperkenalkan kacamata pintar AI terbaru dalam acara bertajuk “Human x Car x Home” yang digelar di Beijing, belum lama ini.
Event tersebut menjadi bagian dari perkenalan berbagai produk pintar Xiaomi lainnya, termasuk ponsel lipat, jam tangan pintar, dan perangkat rumah tangga cerdas.
Kacamata pintar AI terbaru dari Xiaomi ini hadir dengan sejumlah fitur canggih yang dirancang untuk memudahkan aktivitas pengguna sehari-hari.
Salah satu fitur unggulannya adalah kamera ultra-wide 12 MP yang memungkinkan pengguna mengambil foto dan video dari sudut pandang orang pertama hanya dengan perintah suara.
Tidak cukup sampai di situ, kacamata ini juga dibekali kemampuan AI yang mumpuni untuk mengenali objek, menerjemahkan teks secara real-time, hingga memindai kode QR untuk pembayaran instan.
Asisten virtual Xiaomi, XiaoAI, menjadi otak di balik interaksi suara pada kacamata ini. Pengguna dapat mengajukan pertanyaan, memberikan perintah, dan mendapatkan bantuan instan langsung melalui kacamata.
Fitur ini memungkinkan pengoperasian hands-free, sangat ideal untuk digunakan saat bepergian, bekerja, maupun dalam aktivitas sehari-hari.
-

Pekerja platform harus adaptif, realistis, dan dukung UMKM & Ekonomi Digital Nasional
Sumber foto: Radio Elshinta/ Awaluddin Marifatullah
APINDO: Pekerja platform harus adaptif, realistis, dan dukung UMKM & Ekonomi Digital Nasional
Dalam Negeri
Editor: Valiant Izdiharudy Adas
Minggu, 29 Juni 2025 – 19:30 WIBElshinta.com – Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) menegaskan pentingnya kebijakan global yang adaptif, realistis, dan mendukung ekosistem ekonomi digital dalam Konferensi Ketenagakerjaan Internasional (ILC) ke-113 di Palais des Nations, Jenewa, Swiss.
APINDO sebagai bagian dari delegasi tripartit Indonesia bersama pemerintah dan serikat pekerja. Tahun ini, Komite Penetapan Standar ILO memulai pembahasan perdana mengenai “Pekerjaan Layak di Ekonomi Berbasis Platform”.
Seluruh pihak tripartit sepakat akan pentingnya perlindungan menyeluruh—baik bagi pekerja maupun keberlanjutan ekosistem platform, termasuk UMKM. Karena itu, disepakati pendekatan berbasis prinsip agar instrumen yang dihasilkan fleksibel dan dapat disesuaikan dengan konteks nasional masing-masing negara.
Dalam pembahasan tersebut, Komite memerlukan dua hari penuh untuk menentukan jenis instrumen yang akan digunakan. Mayoritas negara Eropa, Amerika Latin, dan Afrika mendukung Konvensi yang mengikat karena menyesuaikan dengan sistem ketenagakerjaan di negaranya;
sementara negara dengan populasi pekerja platform terbesar seperti Tiongkok, AS, India, Swiss, dan Jepang mendorong Rekomendasi yang fleksibel dan dapat disesuaikan dengan konteks nasional dimana mayoritas pekerja platform di dunia adalah berusaha sendiri serta pentingnya menjaga kestabilan agar tidak mematikan UMKM yang sangat bergantung pada ekonomi digital.
Pembahasan Belum Final: Masih 15% dan Penuh Tantangan Meskipun akhirnya diputuskan bahwa instrumen yang akan disusun berbentuk Konvensi, pembahasan substansi baru mencakup sekitar 15% dan belum menghasilkan kesepakatan akhir.
Ini menunjukkan kompleksitas isu dan perlunya kehati-hatian agar instrumen tidak menghambat pertumbuhan ekonomi digital serta tetap menghormati sistem hukum dan ketenagakerjaan di tiap negara.
Selama dua minggu pembahasan, disepakati bahwa definisi pekerja platform mencakup penyedia layanan dalam platform baik sebagai pekerja dalam hubungan kerja, mereka yang berusaha sendiri, maupun kategori khusus lainnya, tergantung konteks nasional negara masing- masing. Tidak ada asumsi otomatis bahwa semua pekerja platform harus dianggap sebagai pekerja dalam hubungan kerja.
Instrumen yang dirumuskan juga wajib menghormati sistem hukum ketenagakerjaan dan hukum bisnis di masing-masing negara. Ruang lingkup platform yang dibahas juga luas—tidak hanya yang berbasis lokasi seperti transportasi dan pengantaran, tetapi juga platform digital berbasis online seperti telehealth, pariwisata digital, edutech, freelancer, hingga pekerjaan kreatif.
Juru Bicara Kelompok Pengusaha Internasional asal Amerika Serikat, Ms. Ewa Staworzynska, menekankan poin utama dalam draf instrumen untuk pembahasan yang akan datang. Pertama, regulasi harus menghormati perbedaan status tenaga kerja dalam berbagai bentuk hukum dan tidak menyamaratakan hak serta kewajiban pekerja dalam hubungan kerja dengan mereka yang berusaha sendiri.
Kedua, ketentuan keselamatan dan kesehatan kerja (K3) perlu disesuaikan dengan kebutuhan fleksibilitas tenaga kerja yang bekerja dalam berbagai platform secara bersamaan.
Ketiga, seluruh pekerja harus dijamin akses terhadap jaminan sosial melalui skema yang sesuai dengan status tenaga kerja dalam berbagai bentuk hukum dan konteks nasional. Terakhir, regulasi harus dapat mendorong pertumbuhan ekosistem platform, termasuk UMKM dan wirausaha, tanpa membatasi inovasi secara berlebihan, misalnya lewat pengawasan terhadap penerapan algoritma platform yang terlalu ketat.
“Diskusi tahun pertama ini membuktikan pentingnya dialog sosial. ILO harus tetap menjadi lembaga rujukan, bukan ruang legislasi yang memaksakan agenda nasional atau regional,” tegas Ms. Ewa dalam sidang pleno.
APINDO mendukung penuh prinsip-prinsip tersebut, dan berkomitmen memperjuangkan instrumen global yang adaptif, inklusif, serta mendorong pertumbuhan ekonomi, termasuk ekonomi digital, tanpa membebani pelaku usaha.
Melihat dari Kacamata Indonesia
Dalam sidang plenary ILC ke-113, Bob Azam—delegasi Kelompok Pengusaha Indonesia dan Ketua Bidang Ketenagakerjaan APINDO—menyampaikan bahwa kondisi global saat ini masih menantang, mulai dari ketidakpastian perdagangan hingga tekanan nilai tukar dan naiknya biaya produksi dalam negeri.
Hal ini berdampak pada sektor padat karya yang terpaksa mengurangi tenaga kerja. Meski demikian, ekonomi Indonesia tetap tangguh dengan pertumbuhan 4,87% di kuartal
pertama 2024.
Namun tantangan ketenagakerjaan masih besar: 7,47 juta pengangguran, 11,56juta setengah menganggur, dan tingginya proporsi pekerja informal. Menurut BPS, tingkat pengangguran terbuka mencapai 4,91%.
Pemerintahan Presiden Prabowo menjadikan perluasan lapangan kerja sebagai prioritas, menargetkan pertumbuhan 8% dan penciptaan 19 juta pekerjaan. Dunia usaha dan pekerja perlu dilibatkan sebagai mitra strategis untuk memastikan akses kerja, termasuk melalui potensi pertumbuhan ekonomi digital yang diproyeksikan tumbuh dari US$82 miliar (2023) menjadi US$360 miliar (2030)1 dengan Indonesia menyumbang sepertiga dari total ekonomi digital ASEAN.
“Prinsip decent work di platform harus dirancang hati-hati agar tidak menghambat fleksibilitas dan inovasi—dua elemen kunci penciptaan lapangan kerja di era digital. Dunia usaha berharap ILO menghasilkan instrumen yang melindungi tenaga kerja tanpa memaksakan model kerja konvensional,” tutup Bob.
Diketahui, Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) merupakan representasi dunia usaha Indonesia, yang dibentuk pada 31 Januari 1952, dibawah kepemimpinan Dewan Pimpinan Nasional (DPN) yang berada di Jakarta, dan Dewan Pimpinan Provinsi (DPP) di 34 provinsi dan 341 Dewan Pimpinan Kota/Kabupaten.
Berfokus pada Hubungan Industrial dan Ketenagakerjaan di awal pembentukannya, peran APINDO semakin strategis dalam mendorong kepentingan nasional, melalui perluasan fokus pada beragam sektor dan pengembangan sumberdaya manusia serta kemitraan, melalui unit bisnis APINDO: International Strategic Partnership Center (ISPC) dan APINDO Training Center (ATC).
APINDO 2023 – 2028 memiliki 4 Program Aksi Unggulan yaitu Roadmap Ekonomi sebagai bentuk keunggulan dan advokasi APINDO, Ekonomi Inklusif UMKM Merdeka, Kolaborasi Inklusif Pengusaha Atasi Stunting (KIPAS) yang melibatkan 1000 pengusaha atasi stunting dan sertifikasi HR-IR APINDO untuk mewujudkan SDM yang kompeten dalam pengelolaan SDM dan hubungan industrial. (Awaluddin Marifatullah)
Sumber : Radio Elshinta
-

Xinjiang-China dan Indonesia menurut kacamata seorang jurnalis
Surabaya (ANTARA) – Melihat fakta secara langsung (faktual) adalah keunggulan media massa. Akurasi tetap menjadi keunggulan jurnalis yang terjun ke lapangan, termasuk keunggulan dalam etika dan rekam jejak yang tidak bisa sirna secara digital.
Buku bertajuk “Di Balik Kontroversi Xinjiang (Catatan Perjalanan Wartawan Indonesia Mengungkap Fakta di Lorong Gelap Kamp Vokasi Uighur)” di antara sajian fakta yang ditulis dan dibukukan jurnalis M Irfan Ilmie (2025) yang pernah menjadi Kepala LKBN ANTARA Biro Beijing (2016-2023).
M Irfan Ilmie yang berlatar belakang santri itu mendapatkan beberapa kali kesempatan untuk melihat secara langsung geliat pembangunan dan dinamika kehidupan sosial masyarakat etnis minoritas muslim Uighur yang membentuk populasi mayoritas di Wilayah Otonomi Xinjiang.
Seiring menguatnya pengaruh China di berbagai belahan dunia, maka kamp-kamp vokasi di Xinjiang pun menyita perhatian masyarakat internasional yang mengaitkan dengan dugaan pelanggaran HAM, terutama oleh AS dan sekutunya. Apalagi Xinjiang memiliki nilai jual tinggi dalam pariwisata, industri, sumber daya alam dan sumber daya manusia (hal. ix).
Bagi Indonesia, isu Xinjiang sudah selesai di tataran diplomasi dan hubungan bilateral Indonesia-China. Namun, di tataran publik Indonesia masih menjadi batu sandungan karena mayoritas penduduk Indonesia yang beragama Islam belum terinformasikan secara gamblang mengenai perlakuan Beijing terhadap etnis minoritas muslim Uighur sebagai penduduk asli Xinjiang.
Dalam buku setebal 360 halaman dengan genre “Social Science” itu, diungkapkan bahwa isu Uighur di Xinjiang menjadi perbincangan hangat masyarakat internasional dalam satu dekade terakhir karena kerap kali diekspose dalam tinta dan lensa pemberitaan media secara spektakuler, menggemparkan, dan kontroversial.
Di satu sisi, ekspose itu dinilai menyuguhkan narasi-narasi diskriminatif, eksploitatif, dan genosida yang digambarkan sebagai pelanggaran atas hak asasi manusia yang dilakukan otoritas China terhadap etnis minoritas muslim Uighur.
Di sisi lain, wilayah Xinjiang justru dimodernisasi dan terus dibangun oleh otoritas China agar setara dengan provinsi-provinsi lainnya di negara ekonomi terbesar kedua di dunia itu.
Di sinilah Xinjiang menjadi topik perdebatan antara fakta dan propaganda, khususnya dalam konteks rivalitas pengaruh geopolitik Amerika Serikat dan China.
Oleh karena itu, informasi yang gamblang dan faktual mengenai perlakuan Beijing terhadap etnis minoritas muslim Uighur sebagai penduduk asli Xinjiang, menjadi “kata kunci” dalam literasi di era digital yang hanya “maju” secara teknologi digital, tapi “tidak maju” secara manusia.
“Catatan perjalanan ke Xinjiang, saya tulis secara faktual dan informatif, sesuai kode etik jurnalistik, bukan provokatif,” kata Irfan tentang bukunya yang memiliki empat bagian yakni historis, isu kontroversial, tradisi/peradaban Islam, dan politisasi (hal. xv).
Dalam bagian pertama (historis), Irfan mengulas tentang sensasi Gurun Gobi, jalur sutra nan rupawan, asal-usul Uighur, bukan Agama Leluhur, jejak Uighur di Bukit Yarghul, serupa tapi tak sama, dan gudang atlet dan artis.
Secara historis, Xinjiang sejak dulu kala telah menjadi rumah bagi berbagai jenis kelompok etnis dengan budaya dan agama yang berbeda (hal.14). Di akhir abad ke-19 terdapat 13 kelompok etnis yakni Uighur, Han, Kazakh, Mongol, Hui, Kirgiz, Manchu, Xibe, Tajik, Daur, Uzbek, Tatar dan Rusia (hal.17).
Buku Di Balik Kontroversi Xinjiang (HO-M Irfan Ilmie)
Rivalitas dan masalah internal
Terkait agama, pada zaman primitif hingga sebelum abad ke-4, warga Xinjiang menganut agama kuno dari ajaran Shamanisme. Mulai abad ke-4 hingga ke-10, Buddha mengalami masa puncak. Pada abad ke-5, Taoisme juga mulai diperkenalkan. Pada akhir abad ke-9 hingga awal abad ke-10, Islam pun mulai diperkenalkan hingga awal abad ke-16, Islam mulai dominan, namun hidup rukun dengan agama lain, meski sempat ada perang antara Kerajaan Karahan/Islam dengan Kerajaan Yutian/Hindu (hal.19).
Dari beragam etnis dan agama itu, sumber daya manusia di Xinjiang sangat unggul. Jika tahun 1955, Xinjiang hanya memiliki 425 lapangan dan satu perpustakaan, maka pada 2017 sudah ada 112 perpustakaan, 173 museum/monumen, 57 galeri seni, 119 gedung pertunjukan seni, 12.158 sanggar seni, 302 stasiun radio/TV, 29.600 lapangan/gedung olahraga, 126 koran, dan 223 penerbitan.
Tahun 2016-2017, klub bola basket Xinjiang berlabel Xinjiang Flying Tigers menjadi juara musim kompetisi Asosiasi Bola Basket China (CBA) dan menjuarai FIBA Asia Champions Cup Tahun 2016, lalu menduduki peringkat kedua CBA pada musim kompetisi saat COVID-19 pada tahun 2019-2020. Di dunia hiburan, Xinjiang juga punya artis papan atas, seperti Gulnezer Bextiyar, Madina Memet, dan Dilraba Dilmurat.
Dalam bagian kedua (isu kontroversial), diuraikan secara tuntas tentang benih separatisme, perangi terorisme, antara kamp dan BLK, mengeja Hanzi, menyusuri Lorong Gelap, anak yang terpisah, peristiwa horor, tak butuh jawaban, mencurigakan, kerja paksa dan genosida, boikot, saya tidak idiot, dan sang nenek 40 cucu.
Terkait benih separatisme dan terorisme, sudah bersemi di Xinjiang sejak awal abad ke-20 hingga akhir tahun 1940-an. Mereka hendak mendirikan Republik Islam Turkistan Timur pada 12 November 1933. Tapi hanya bertahan 3 bulan, karena ditolak mayoritas etnik di Xinjiang. Lalu muncul lagi pada 1944, tapi hanya bertahan 1 tahun.
Gerakan Turkistan Timur ini tumbuh lagi pada 2001 seiring 11 September 2001 di AS, lalu ada pengeboman di bus pada 1992 yang menewaskan tiga penumpang bus dan melukai 23 orang penumpang bus di Kota Urumqi. Tahun 1997 juga muncul pengeboman di bus yang menewaskan sembilan orang dan melukai 68 orang di Kota Urumqi. Terulang lagi di Kota Kashgar (2011 dan 2012), Kota Urumqi (2014), dan Aksu (2015). (Hal.50-530
Menyikapi separatisme dan terorisme itu, Pemerintah Daerah Otonom Xinjiang sejak 2014 telah menumpas 1.588 geng teroris, menangkap 12.995 pelaku teroris, menyita 2.052 jenis bahan peledak, namun perlakuan tegas terhadap bukan berarti Islam menjadi sumber teroris, meski kebijakan kontraterorisme berupa kamp vokasi dan pusat pelatihan itu dinilai berpotensi melanggar HAM, karena peserta hanya dari satu etnis (Uighur). (hal.57)
Untuk menjawab tuduhan itu, Pemerintah Daerah Otonom Xinjiang membangun gedung pameran Urumqi pada 2014 yang menampilkan foto korban kekerasan selama 1992-2015, rekaman CCTV, senjata api, senjata tajam, senjata rakitan, serta bom rakitan. (hal.93). Foto dan video kekerasan itu bukan hanya radikalisme/terorisme yang terjadi di Xinjiang saja, namun juga di Kunning-Yunan dan Kota Terlarang Beijing. (hal.95).
“Anda lihat sendiri ada imam masjid beserta keluarganya dan juga beberapa petugas kepolisian yang menjadi korban serangkaian serangan terorisme di Xinjiang. Semua bentuk terorisme adalah kejahatan yang tidak memilih sasaran dari etnis dan agama tertentu,” kata Deputi Dirjen Publikasi Partai Komunis China, Komite Regional Xinjiang, Shi Lei (hal.95).
Dalam bagian ketiga (tradisi/peradaban Islam), buku itu mengupas tentang iktikaf, kamera dimana-mana, masjid dibongkar, pengaruh Timur Tengah, sapaan Hubbul Wathan, Al-Qur’an dan Hadits, geliat Islami, tak lagi tabu, carter pesawat ke Mekkah, puasa di tengah pandemi, Maghrib masih lama, bebas makan dan minum, larangan atau pilihan?, mendadak fitri, dan kafilah para imam.
Artikel pada bagian ini merupakan klarifikasi atas berbagai isu, seperti Direktur Komisi Urusan Etnis Daerah Otonomi Xinjiang, Mehmut Usman, yang membantah rumor pembongkaran masjid (hal 154-155), karena hanya bersifat renovasi dan CCTV juga ada dimana-mana, termasuk di masjid, yang bisa mengklarifikasi rumor yang tidak benar. Apalagi, geliat Islam dan tradisi keagamaan juga marak. (hal 178).
Dalam bagian keempat (politisasi), tulisan dalam buku ini menyoroti tentang merembet hingga gelanggang olimpiade, rivalitas semu, sinifikasi, islamofobia, lembaran baru Beijing-Taliban, janji yang terserak, ganti Gubernur, Ozil mencuit-Dilraba ngambek, dan batu sandungan.
Pada bagian terakhir buku ini, sampai pada klarifikasi bahwa isu minoritas muslim Uighur akan terus ada selama ada rivalitas China dengan negara-negara sekutu AS (hal.248).
Di mata Indonesia, isu Xinjiang sudah selesai di tataran diplomasi dan hubungan bilateral Indonesia-China bahwa Xinjiang adalah urusan dalam negeri China, sehingga pihak eksternal tidak boleh mencampuri, seperti halnya masalah Papua bagi Indonesia (hal.316).
Namun, di tataran publik Indonesia masih menjadi batu sandungan karena muslim Indonesia itu belum semuanya menerima literasi tentang perlakuan Beijing terhadap etnis minoritas Muslim Uighur sebagai penduduk asli Xinjiang. Literasi yang beredar justru framing digital. “Ya, isu Xinjiang itu mirip isu komunisme bagi Indonesia,” kata putri mantan Presiden KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Yenny Wahid.
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.
/data/photo/2025/07/05/6868d903d4899.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)


/data/photo/2025/07/02/6864ed6b034e0.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
