Produk: jaminan sosial

  • Apakah BPJS Kesehatan Bisa Dicairkan Jika Tak Pernah Dipakai?

    Apakah BPJS Kesehatan Bisa Dicairkan Jika Tak Pernah Dipakai?

    TRIBUNJATENG.COM- BPJS Kesehatan adalah program jaminan sosial yang dikelola oleh pemerintah Indonesia untuk memberikan perlindungan kesehatan bagi seluruh masyarakat. 

    Setiap peserta BPJS Kesehatan diwajibkan membayar iuran bulanan sesuai dengan kelas layanan yang dipilih. 

    Namun, muncul pertanyaan di kalangan peserta: Apakah dana iuran BPJS Kesehatan bisa dicairkan?

    Dana Iuran BPJS Kesehatan Tidak Bisa Dicairkan

    Pada dasarnya, dana iuran BPJS Kesehatan tidak bisa dicairkan karena sifatnya bukan sebagai tabungan atau investasi, melainkan sebagai iuran untuk menjamin biaya layanan kesehatan peserta. 

    Iuran yang dibayarkan digunakan oleh BPJS Kesehatan untuk mendanai berbagai layanan kesehatan, seperti pemeriksaan medis, rawat inap, operasi, dan pengobatan penyakit kronis bagi seluruh peserta yang membutuhkan.

    Hal ini berbeda dengan BPJS Ketenagakerjaan, di mana beberapa program seperti Jaminan Hari Tua (JHT) memungkinkan peserta untuk mencairkan dana setelah memenuhi syarat tertentu. BPJS Kesehatan hanya berfungsi sebagai program perlindungan kesehatan dan tidak memberikan opsi pencairan dana bagi peserta.

    Pengecualian: Pengembalian Kelebihan Iuran

    Meskipun dana iuran BPJS Kesehatan tidak bisa dicairkan secara bebas, ada beberapa kondisi di mana peserta dapat mengajukan pengembalian kelebihan iuran, seperti:

    Pembayaran Ganda – Jika peserta membayar iuran lebih dari satu kali dalam periode yang sama, maka kelebihan pembayaran bisa dikembalikan.

    Peserta Meninggal Dunia – Jika peserta meninggal dunia dan masih ada iuran yang telah dibayarkan untuk bulan berikutnya, ahli waris dapat mengajukan pengembalian dana.

    Perubahan Status Kepesertaan – Misalnya, seseorang yang awalnya peserta mandiri kemudian menjadi peserta PBI (Penerima Bantuan Iuran) dari pemerintah. Jika ada iuran yang sudah dibayarkan sebelum status berubah, maka kelebihan pembayaran bisa diklaim.

    Cara Mengajukan Pengembalian Kelebihan Iuran

    Untuk mengajukan pengembalian kelebihan iuran BPJS Kesehatan, peserta dapat mengikuti langkah-langkah berikut:

    Siapkan Dokumen – Sertakan dokumen pendukung seperti KTP, kartu BPJS Kesehatan, bukti pembayaran, dan surat keterangan jika diperlukan (misalnya surat kematian jika peserta sudah meninggal).

    Ajukan Permohonan – Pengajuan bisa dilakukan melalui kantor BPJS Kesehatan terdekat atau secara online melalui aplikasi

     Mobile JKN.

    Proses Verifikasi – BPJS Kesehatan akan melakukan pengecekan data untuk memastikan kelebihan pembayaran.

    Dana Dikembalikan – Jika pengajuan disetujui, dana akan dikembalikan ke rekening peserta atau ahli waris dalam waktu tertentu.

    (*)

  • Konvensi ILO 188 untuk Perlindungan Awak Kapal Perikanan, Jumhur: Saatnya Indonesia Meratifikasi

    Konvensi ILO 188 untuk Perlindungan Awak Kapal Perikanan, Jumhur: Saatnya Indonesia Meratifikasi

    loading…

    Ketua Umum KSPSI Pembaruan Jumhur Hidayat saat menerima kunjungan Tim 9 dan Jejaring Serikat Pekerja Sektor Maritim di Jakarta pada Rabu (16/4/2025). FOTO/IST

    JAKARTA – Ketua Umum Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) Pembaruan Jumhur Hidayat menilai sudah saatnya Indonesia meratifikasi Konvensi ILO Nomor 188 Tahun 2007 tentang Pekerjaan dalam Penangkapan Ikan (ILO C188). Indonesia merupakan negara maritim dengan garis pantai terpanjang kedua di dunia dan memiliki ribuan kapal perikanan yang mengarungi laut dalam dan perairan internasional.

    Namun ironisnya, hingga hari ini, para awak kapal perikanan Indonesia masih bekerja dalam kondisi yang belum sepenuhnya terlindungi secara hukum, berbeda dengan rekan-rekan mereka di sektor niaga yang sudah memiliki pijakan kuat melalui Konvensi Ketenagakerjaan Maritim (MLC 2006) yang telah diratifikasi pada 2016 menjadi UU Nomor 15 tentang Tenaga Kerja Maritim Kapal Niaga.

    Jumhur menilai saat ini sudah waktunya pemerintah Indonesia mengambil langkah serius dengan meratifikasi Konvensi ILO Nomor 188 Tahun 2007 tentang Pekerjaan dalam Penangkapan Ikan (ILO C188). Konvensi ini dirancang sebagai jawaban atas maraknya praktik kerja paksa, eksploitasi, dan perdagangan manusia di sektor perikanan global.

    Jumhur Hidayat saat menerima kunjungan Tim 9 dan Jejaring Serikat Pekerja Sektor Maritim di Jakarta pada Rabu (16/4/2025) menyatakan sepakat untuk menyegerakan Ratifikasi ILO C188 ini. Dalam pertemuan itu dijelaskan oleh Sofyan dari SAKTI (Serikat Awak Kapal Transport Indonesia) beberapa fakta di lapangan bahwa awak kapal perikanan bekerja tanpa kontrak kerja yang adil dan transparan, sehingga tidak memiliki sistem pengupahan dan jaminan sosial yang layak.

    “Mereka direkrut hanya bermodal KTP tanpa pelatihan dasar keselamatan kerja di laut dan bahkan banyak yang menjadi korban kerja paksa atau perbudakan modern,” ujar Sofyan, Senin (21/4/2025).

    Di samping itu, kata Sofyan, ratifikasi itu bisa melindungi nelayan lokal dengan memberikan kejelasan aturan bagi joint inspection untuk kapal asing yang masuk ke Indonesia yang nantinya melindungi ekosistem laut Indonesia.

    Sementara itu, Sulistri dari SBMI menuturkan, jika Indonesia meratifikasi ILO C188, maka kegetiran yang dialami para pekerja perikanan drastis akan berkurang dan akan setara dengan perlindungan awak kapal niaga, misalnya ada jaminan upah minimum, akses terhadap jaminan sosial, dan hak cuti.

    “Termasuk tentunya dengan membentuk mekanisme tripartit maritim untuk menyelesaikan perselisihan industrial sektor perikanan”, tegas Sulistri

    Berdasarkan pengalamannya saat menjabat Kepala BNP2TKI, Jumhur Hidayat mengamini masukan dari Tim 9 itu bahwa dengan ratifikasi itu memang akan meningkatkan citra internasional Indonesia sebagai negara yang serius memerangi kerja paksa di sektor kelautan. Dampak positifnya adalah membuka lebih luas pasar ekspor perikanan ke negara-negara yang telah mensyaratkan standar kerja yang layak.

    “Iya waktu jadi Kepala BNP2TKI, saya membuat Peraturan Kepala Badan terkait dengan Perlindungan Pekerja Kapal Niaga dan juga Pekerja Penagkap Ikan di Perairan Internasional dan itu mendapat sambutan Internasional yang sangat positif,” ujar Jumhur

    Tim 9 merupakan kumpulan organisasi penggiat untuk meratifikasi Konvensi ILO 188 yang terdiri dari Sulistri (SBMI), Sofyan (SAKTI), Supardi (KAMIPARHO), Nur Iswanto (FSP Maritim Indonesia-KSPSI), Ari Purboyo (JANGKAR KARAT), Gemilang (GREENPEACE), Adrian dan Juwarih (SBMI), dan Dika (KSPN).

    Menurut Tim 9 ini, dukungan dari Jumhur dalam pertemuan tersebut menjadi sinyal kuat bahwa gerakan buruh Indonesia menyadari pentingnya instrumen hukum ini. “Bahkan Jumhur Hidayat menyatakan akan menyuarakan ratifikas Konbensii ILO 188 ini pada peringatan Hari Buruh Internasional (May Day) sebagai bagian dari agenda perjuangan buruh Indonesia,” kata Sulistri.

    (abd)

  • Disetrum, Dijejali Kotoran, Tak Digaji Layak

    Disetrum, Dijejali Kotoran, Tak Digaji Layak

    PIKIRAN RAKYAT – Sejumlah mantan pemain Oriental Circus Indonesia (OCI), yang pernah menjadi bagian dari atraksi di Taman Safari Indonesia (TSI), memberanikan diri mengungkap dugaan kekerasan dan eksploitasi sistematis yang mereka alami selama bertahun-tahun.

    Dalam sebuah audiensi yang berlangsung pada Selasa, 15 April 2025, di kantor Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamen HAM) Mugiyanto, para mantan pemain sirkus ini dengan suara bergetar membeberkan pengalaman traumatis yang mereka alami sejak era 1970-an.

    Butet, salah seorang mantan pemain sirkus yang hadir dalam audiensi tersebut, dengan gamblang menceritakan rentetan perlakuan kasar yang ia terima selama menjadi bagian dari pertunjukan.

    Namun, pengakuannya yang paling mengejutkan adalah ketika ia mengungkapkan pernah dipaksa dan dijejali kotoran.

    Lebih lanjut, Butet juga mengaku pernah dirantai menggunakan rantai yang lazim digunakan untuk mengikat gajah, sebuah perlakuan yang menggambarkan dehumanisasi dan pengekangan kebebasan yang ekstrem.

    Ironisnya, kekerasan tersebut tidak berhenti bahkan ketika Butet dalam kondisi hamil. Ia dipaksa untuk tetap tampil di bawah tekanan, mengabaikan risiko bagi dirinya dan janin yang dikandungnya.

    Setelah melahirkan, penderitaannya berlanjut dengan pemisahan paksa dari anaknya, menghilangkan haknya sebagai seorang ibu untuk memberikan air susu dan kasih sayang di masa-masa awal kehidupan sang buah hati.

    “Saat hamil pun saya dipaksa tetap tampil. Setelah melahirkan, saya dipisahkan dari anak saya, saya tidak bisa menyusui,” lirih Butet.

    Puncak dari perlakuan sadis yang ia alami adalah ketika ia dijejali kotoran gajah hanya karena ketahuan mengambil lauk makanan.

    Kisah pilu serupa juga diungkapkan oleh Fifi, yang ternyata adalah anak dari Butet dan juga mantan pemain sirkus Taman Safari Indonesia. Fifi mengaku mengalami perlakuan yang tidak kalah mengerikan, termasuk disetrum hingga tubuhnya lemas dan kemudian dipasung selama dua minggu.

    “Sampai saya jatuh lemas akhirnya dipasung selama dua minggu,” kata Fifi kepada Wamen HAM, seperti yang dikutip dari unggahan di akun Instagram resmi @mugiyanto.official.

    Pengakuan ini mengindikasikan adanya pola kekerasan yang mungkin telah berlangsung secara turun-temurun dalam lingkungan kerja sirkus tersebut.

    Ida Yani, mantan pemain sirkus TSI lainnya, menambahkan luka mendalam dalam daftar panjang dugaan pelanggaran hak asasi manusia ini.

    Ia mengungkapkan bahwa dirinya mengalami kelumpuhan setelah terjatuh dari ketinggian sekitar 15 meter saat melakukan atraksi trapeze di Lampung.

    Kecelakaan kerja yang seharusnya mendapatkan perhatian dan kompensasi yang layak, justru berujung pada patah tulang belakang dan kelumpuhan permanen yang membuatnya harus menggunakan kursi roda hingga saat ini.

    “Saat itu saya main Trapeze, akrobatik di udara itu. Saya jatuh, pada saat saya sium, ternyata saya patah tulang belakang,” terang Ida.

    Menyikapi pengakuan-pengakuan yang mengejutkan ini, kuasa hukum para mantan pekerja OCI, Muhammad Sholeh, mendesak Kementerian HAM dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) untuk segera membentuk tim pencari fakta independen.

    Langkah ini dianggap krusial untuk menguak kebenaran di balik dugaan kekerasan dan eksploitasi yang telah berlangsung selama puluhan tahun.

    Lebih lanjut, Sholeh mengungkapkan bahwa selama para mantan pemain sirkus ini “bekerja” di bawah tekanan dan kekerasan, mereka tidak pernah menerima gaji yang layak.

    “Selama mereka menjadi budak, tidak pernah menerima gaji, menerima kekejaman, kekerasan, maka harus ada ganti rugi kepada para korban,” tegas Sholeh.

    Pengakuan para mantan pemain sirkus ini tentu menjadi pukulan telak bagi citra Taman Safari Indonesia, salah satu destinasi wisata alam dan konservasi terbesar di Indonesia yang selama ini dikenal dengan koleksi satwa dan pertunjukan edukatifnya.

    Jika dugaan kekerasan dan eksploitasi ini terbukti benar, hal ini akan mencoreng reputasi TSI dan menimbulkan pertanyaan serius tentang standar etika dan perlakuan terhadap pekerja di industri pariwisata dan hiburan.

    Pemerintah, melalui Kementerian HAM dan PPPA, diharapkan dapat merespons dengan cepat dan serius pengaduan ini.

    Pembentukan tim pencari fakta independen yang melibatkan berbagai pihak, termasuk perwakilan dari organisasi hak asasi manusia dan perlindungan pekerja, menjadi langkah penting untuk memastikan investigasi yang objektif dan transparan.

    Investigasi ini harus mencakup penelusuran lebih lanjut terhadap dugaan kekerasan fisik, verbal, dan psikologis yang dialami para mantan pemain sirkus, kondisi kerja mereka selama ini, serta dugaan pelanggaran hak-hak pekerja terkait upah dan jaminan sosial.

    Keterangan dari pihak-pihak terkait, termasuk manajemen Taman Safari Indonesia dan Oriental Circus Indonesia, juga perlu didengar untuk mendapatkan gambaran yang utuh mengenai permasalahan ini.***

    Simak update artikel pilihan lainnya dari kami di Google News

  • 3 Alasan Kuat Ojol Diklaim Layak Jadi Karyawan Tetap

    3 Alasan Kuat Ojol Diklaim Layak Jadi Karyawan Tetap

    Jakarta

    Serikat Pekerja Angkutan Indonesia atau SPAI menolak rencana pemerintah menetapkan ojek online (ojol) sebagai usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM). Sebab, menurut mereka, ‘pasukan hijau’ tersebut sudah memenuhi tiga syarat utama menjadi karyawan tetap.

    Pernyataan itu disampaikan Lily Pujiati selaku Ketua Umum (Ketum) SPAI. Lily merujuk pada Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

    “SPAI tidak setuju ojol sebagai UMKM karena pengemudi ojol, taksol, dan kurir masuk dalam kategori sebagai pekerja tetap seperti yang diatur dalam hukum ketenagakerjaan di Indonesia di dalam UU 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan,” kata Lily, dikutip dari CNNIndonesia.com, Sabtu (19/4).

    Ojek onlien alias ojol. Foto: Andhika Prasetia

    Lily menjelaskan, ada tiga unsur yang sudah terpenuhi oleh ojol untuk bisa diangkat menjadi karyawan tetap berdasarkan undang-undang terkait. Pertama, kata dia, ojol mengerjakan pekerjaan yang diberikan perusahaan transportasi online.

    Pekerjaan berupa antar penumpang, barang dan makanan diberikan melalui aplikasi. Pekerjaan itu, menurutnya, bukan diberikan pelanggan, melainkan perusahaan penyedia aplikasi.

    Kemudian, unsur kedua, terkait upah. Lily menganggap, aplikator ojol telah menetapkan besaran pemasukan dari setiap orderan yang diambil mitra driver. Penghasilan itu termasuk potongan aplikasi sebesar 30-50 persen.

    Terakhir, atau yang ketiga, berkenaan dengan perintah. Perusahaan ojol akan memberikan sanksi suspend dan putus mitra bila pengemudi tidak patuh pada perintah untuk melakukan pekerjaan antar penumpang, barang, dan makanan.

    “Maka sudah jelas bahwa pengemudi ojol, taksol, dan kurir adalah pekerja dan SPAI menuntut pemerintah, dalam hal ini Kementerian Ketenagakerjaan, untuk segera mengakui kami sebagai pekerja tetap,” kata dia.

    Menurut dia, status karyawan tetap akan membuat ojol mendapat sejumlah hak, seperti upah minimum setiap bulan, upah lembur, THR, cuti haid dan melahirkan yang dibayar, jam kerja 8 jam, hari istirahat di hari Sabtu dan Minggu, jaminan sosial, hak membentuk serikat pekerja, hingga hak untuk berunding agar tak ada suspend dan putus kerja sepihak.

    (sfn/lth)

  • Komnas HAM Minta Kasus Dugaan Eksploitasi Mantan Pemain Sirkus OCI Diselesaikan Secara Hukum – Page 3

    Komnas HAM Minta Kasus Dugaan Eksploitasi Mantan Pemain Sirkus OCI Diselesaikan Secara Hukum – Page 3

    Kemudian, pada Desember 2024, Komnas HAM menerima pengaduan dari Ari Seran Law Office, bahwa permasalahan kasus OCI belum terselesaikan. Sebab, belum ada upaya untuk memenuhi tuntutan ganti rugi sebesar Rp3.1 miliar yang ditujukan kepada OCI.

    Lebih lanjut Komnas HAM menegaskan bahwa pelatihan keras, utamanya kepada anak-anak, tidak boleh menjurus pada penyiksaan. Apabila hal itu dilakukan maka telah terjadi pelanggaran hak anak.

    “Anak-anak tersebut juga mengalami pelanggaran atas hak untuk memperoleh pendidikan yang layak serta hak untuk memperoleh perlindungan keamanan dan jaminan sosial sesuai peraturan perundangan yang ada,” ujar Uli.

    Sebelumnya, para mantan pemain OCI juga mengadu ke Kementerian HAM di Jakarta, Selasa (15/4). Audiensi mereka diterima oleh Wakil Menteri HAM Mugiyanto.

    Mugiyanto menjelaskan bahwa berdasarkan cerita yang disampaikan para mantan pemain sirkus tersebut, terdapat banyak kemungkinan terjadinya tindak pidana.

    Menurut Mugiyanto, mereka mengalami kekerasan, termasuk soal kehilangan identitas.

    “Banyak kekerasannya, ada aspek-aspek yang penting juga, yang orang tidak pikirkan, itu soal identitas mereka. Padahal, identitas seseorang adalah hal dasar. Mereka tidak tahu asal usul, tidak tahu orang tuanya—beberapa dari mereka. Ini harus kita buka jalan supaya mereka bisa mengidentifikasi keluarga mereka, diri mereka sebetulnya siapa,” ujarnya.

     

  • Komnas HAM Temukan 4 Pelanggaran HAM Pemain Sirkus OCI Sejak 1997, Anak-Anak Tak Tahu Identitas

    Komnas HAM Temukan 4 Pelanggaran HAM Pemain Sirkus OCI Sejak 1997, Anak-Anak Tak Tahu Identitas

    PIKIRAN RAKYAT – Komisi Nasional Hak Asasi Manusia menemukan 4 jenis pelanggaran HAM kasus anak-anak pemain sirkus Oriental Circus Indonesia (OCI) sejak 1997 di Bogor, Jawa Barat.

    Komnas HAM meminta kasus dugaan pelanggaran HAM yang dialami mantan pemain OCI diselesaikan secara hukum.

    Hal ini disampaikan Koordinator Subkomisi Penegakan HAM Komnas HAM Uli Parulian Sihombing di Jakarta pada Jumat, 18 April 2025.

    “Komnas HAM meminta agar kasus ini diselesaikan secara hukum atas tuntutan kompensasi untuk para mantan pemain OCI,” kata Uli seperti dikutip dari Antara.

    4 Pelanggaran HAM di Lingkungan OCI

    1. Pelanggaran pada hak anak mengetahui asal-usul, identitas, hubungan kekeluargaan, dan orang tuanya.
    2. Pelanggaran terhadap hak-hak anak guna bebas dari eksploitasi yang bersifat ekonomis.
    3. Pelanggaran hak anak memperoleh pendidikan umum yang layak, yang bisa menjamin masa depannya.
    4. Pelanggaran hak-hak anak mendapatkan perlindungan keamanan dan jaminan sosial yang layak.

    Kasus Belum Selesai, Penyidikan Dihentikan

    Komnas HAM meminta asal-usul para pemain sirkus OCI segera dijernihkan karena hal ini penting bagi para korban mengetahui asal-usul, identitas, dan hubungan keluarganya.

    Direktorat Reserse Umum Polri menghentikan penyidikan tindak pidana menghilangkan asal-usul dan perbuatan tak menyenangkan atas nama FM dan VS menurut Surat Ketetapan Nomor Pol. G.Tap/140-J/VI/1999/Serse Um tanggal 22 Juni 1999.

    Komnas HAM menerima pengaduan Ari Seran Law Office bahwa permasalahan kasus OCI belum terselesaikan pada Desember 2024.

    Hal ini karena belum ada upaya memenuhi tuntutan ganti rugi Rp3.1 miliar yang ditujukan pada OCI.

    Anak-anak Kehilangan Identitas

    Komnas HAM menegaskan, pelatihan keras utamanya pada anak-anak tak boleh menjurus pada penyiksaan, jika dilakukan maka sudah terjadi pelanggaran hak anak.

    “Anak-anak tersebut juga mengalami pelanggaran atas hak untuk memperoleh pendidikan yang layak serta hak untuk memperoleh perlindungan keamanan dan jaminan sosial sesuai peraturan perundangan yang ada,” lanjutnya.

    Para mantan pemain OCI mengadu dan melakukan audiensi yang diterima Wakil Menteri HAM Mugiyanto di Kementerian HAM, Jakarta pada Selasa, 15 April 2025.

    Mugiyanto mengatakan menurut cerita mereka, ada banyak kemungkinan terjadinya tindak pidana dengan mengalami kekerasan, termasuk soal kehilangan identitas.

    “Banyak kekerasannya, ada aspek-aspek yang penting juga, yang orang tidak pikirkan, itu soal identitas mereka. Padahal, identitas seseorang adalah hal dasar. Mereka tidak tahu asal usul, tidak tahu orang tuanya—beberapa dari mereka. Ini harus kita buka jalan supaya mereka bisa mengidentifikasi keluarga mereka, diri mereka sebetulnya siapa,” katanya.***

    Simak update artikel pilihan lainnya dari kami di Google News

  • Komnas HAM Temukan 4 Pelanggaran HAM Pemain Sirkus OCI Sejak 1997, Anak-Anak Tak Tahu Identitas

    Korban Tuntut Keadilan, TSI Enggan Dikaitkan

    PIKIRAN RAKYAT – Kasus dugaan pelanggaran hak asasi manusia yang dialami mantan pemain Oriental Circus Indonesia (OCI) kembali mencuat ke publik setelah sejumlah korban menyampaikan aduan ke Kementerian Hukum dan HAM, pada Selasa, 15 April 2025.

    Mereka mengaku pernah menjadi korban kekerasan, kehilangan identitas, hingga tidak mendapatkan hak pendidikan saat bekerja sebagai bagian dari sirkus tersebut.

    Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) merespons laporan ini dengan serius. Dalam keterangan resminya, Komnas HAM meminta agar penyelesaian kasus dilakukan melalui jalur hukum dan pemberian kompensasi kepada para korban.

    “Komnas HAM meminta agar kasus ini diselesaikan secara hukum atas tuntutan kompensasi untuk para mantan pemain OCI,” ujar Koordinator Subkomisi Penegakan HAM Komnas HAM, Uli Parulian Sihombing, di Jakarta, Jumat 18 April 2025.

    Sejarah Panjang Pelanggaran di Lingkungan OCI

    Komnas HAM sebenarnya telah menyoroti praktik-praktik di lingkungan OCI sejak tahun 1997. Saat itu, mereka menemukan setidaknya empat jenis pelanggaran hak anak:

    Anak-anak tidak mengetahui asal-usul, identitas, dan hubungan keluarganya. Terjadi eksploitasi ekonomi terhadap anak-anak. Anak-anak tidak mendapatkan pendidikan umum yang layak. Tidak ada jaminan perlindungan keamanan dan sosial bagi anak-anak.

    Namun, penyelidikan terhadap dua tokoh yang disebut bertanggung jawab, yakni FM dan VS, dihentikan oleh Direktorat Reserse Umum Polri berdasarkan Surat Ketetapan Nomor Pol. G.Tap/140-J/VI/1999/Serse Um pada 22 Juni 1999.

    Kasus ini kembali mencuat setelah Komnas HAM menerima aduan dari Ari Seran Law Office pada Desember 2024, yang menyebutkan belum adanya penyelesaian atas tuntutan kompensasi sebesar Rp3,1 miliar kepada pihak OCI.

    Uli menegaskan bahwa pelatihan keras kepada anak-anak dalam sirkus tidak boleh menjurus pada penyiksaan.

    “Anak-anak tersebut juga mengalami pelanggaran atas hak untuk memperoleh pendidikan yang layak serta hak untuk memperoleh perlindungan keamanan dan jaminan sosial sesuai peraturan perundangan yang ada,” tuturnya.

    Wamenkumham: Ada Kemungkinan Banyak Tindak Pidana

    Wakil Menteri Hukum dan HAM, Mugiyanto, menerima langsung audiensi para korban. Ia mengatakan bahwa pengakuan yang disampaikan mengarah pada potensi pelanggaran pidana berat, termasuk kekerasan dan penghilangan identitas.

    “Banyak kekerasannya. Ada aspek penting yang orang tidak pikirkan, itu soal identitas mereka. Mereka tidak tahu asal usul, tidak tahu orang tuanya—beberapa dari mereka. Ini harus kita buka jalan supaya mereka bisa mengidentifikasi keluarga mereka,” kata Mugiyanto.

    Dia juga menyatakan bahwa pemerintah akan berkoordinasi dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) serta Komnas HAM untuk menyelidiki lebih lanjut. Rencana pemanggilan kepada pihak-pihak terkait, termasuk pihak Taman Safari Indonesia, telah disiapkan.

    “Kami akan meminta keterangan dari pihak Taman Safari Indonesia. Pemanggilan itu akan dilakukan secepatnya,” ujarnya.

    Taman Safari Indonesia Tolak Dihubungkan

    Menanggapi sorotan publik, Taman Safari Indonesia (TSI) Group menyatakan dengan tegas bahwa pihaknya tidak memiliki keterkaitan atau hubungan bisnis dengan mantan pemain sirkus OCI.

    “Kami menilai bahwa permasalahan tersebut bersifat pribadi dan tidak ada kaitannya dengan Taman Safari Indonesia Group secara kelembagaan,” kata Head of Media and Digital TSI Group, Finky Santika Nh, di Kabupaten Bogor.

    Finky juga meminta publik untuk tidak menyebarkan informasi yang tidak berdasar, karena dapat berdampak hukum terhadap reputasi perusahaan.

    “Kami mengajak masyarakat untuk bersikap bijak dalam menyikapi informasi yang beredar di ruang digital dan tidak mudah terpengaruh oleh konten yang tidak memiliki dasar fakta maupun keterkaitan yang jelas,” tuturnya.

    Penjelasan Tony Sumampau: TSI dan OCI Adalah Entitas Berbeda

    Komisaris TSI Group, Tony Sumampau, yang diketahui pernah menjadi pelatih hewan di OCI, juga memberikan klarifikasi. Dia menyatakan bahwa TSI dan OCI adalah dua badan hukum yang berbeda, meski dirinya aktif di keduanya pada masa lalu.

    Menurut Tony, anak-anak memang tinggal sepenuhnya di lingkungan sirkus pada masa itu, namun semua kegiatan termasuk makan, tidur, dan belajar tetap ada porsinya.

    “Ketika itu memang bekerja semua, anak-anak makan, istirahat, show, sampai belajar ada waktunya. Kalau ada kekerasan mungkin saya juga kena karena saya kan di sana juga,” ujarnya.

    Upaya Negara Menjembatani Korban dan Pihak Terlapor

    Kementerian Hukum dan HAM berkomitmen untuk menjadi penghubung antara para korban dan pihak-pihak yang diduga terlibat. Meskipun peristiwa ini terjadi puluhan tahun lalu, pemerintah menegaskan bahwa tidak ada daluwarsa terhadap pelanggaran HAM.

    “Kami dengarkan dari mereka, ada kemungkinan banyak sekali tindak pidana yang terjadi di sana,” ujar Mugiyanto.

    Dia juga menambahkan bahwa pihaknya akan memberi ruang bagi korban yang ingin menempuh jalur hukum secara formal.

    “Kalau memang mau ditempuh jalur hukum, ya silakan jika korban mau menempuh jalur itu,” ucap Mugiyanto.***

    Simak update artikel pilihan lainnya dari kami di Google News

  • Wagub Jabar Dorong Percepatan Pendataan Penyandang Disabilitas

    Wagub Jabar Dorong Percepatan Pendataan Penyandang Disabilitas

    Seperti dikutip dari laman resmi Pemerintah Jabar pada akhir tahun 2023, penyandang disabilitas dan lansia termasuk kelompok rentan. Menurut Sekretaris Dinas Sosial Provinsi Jawa Barat Andrie Kustria Wardana, kerentanan penyandang disabilitas dan lansia disebabkan oleh kekhususan dan hambatan-hambatan yang dihadapinya. Baik Hambatan struktural maupun budaya yang berakar dari cara pandang yang tidak tepat. “Penyandang disabilitas dan lansia berhak mendapatkan perlakuan dan perlindungan khusus. Pemerintah wajib menjamin pemenuhan hak tersebut melalui instrument hukum,” ucap Andrie.

    Andrie mengatakan, urusan dan kebijakan terkait penyandang disabilitas tidak lagi terbatas pada urusan sosial, melainkan tanggung jawab multisektor dari seluruh kementerian/lembaga, pemerintah daerah, penyandang disabilitas itu sendiri, sektor swasta, dan masyarakat umum. “Upaya pemenuhan hak penyandang disabilitas tidak sekedar memastikan akses kepada layanan jaminan sosial, rehabilitasi sosial, bantuan sosial, maupun upaya peningkatan kesejahteraan sosial, tetapi juga memastikan partisipasi penyandang disabilitas dalam tiap tahapan pembangunan,” kata Andrie.

    Menurutnya jumlah penyandang disabilitas mencapai 0,15 persen dan jumlah lansia 10,84 persen dari total jumlah penduduk Jawa Barat, yang perlu mendapat perhatian dan pemenuhan hak haknya serta penyandang disabilitas dan lansia merupakan kelompok rentan yang memerlukan perlindungan dan perlakuan khusus. “Karenanya pemerintah wajib menjamin pemenuhan hak penyandang disabilitas dan lansia melalui instrumen hukum dan implementasinya dilaksanakan secara kolaboratif dari berbagai multipihak termasuk penyandang disabilitas dan lansia,” jelas Andrie.

    Lebih lanjut dia menyatakan bahwa Pemerintah Provinsi Jawa Barat sedang merevisi Perda tentang Penyelenggaraan Penghormatan, Pelindungan dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas guna menjamin pemenuhan hak penyandang disabilitas Jawa Barat. Termasuk telah menerbitkan Perda Nomor 1 Tahun 2023 tentang Penyelenggaraan Kesejahteraan Lanjut Usia dalam upaya percepatan pemenuhan hak melalui instrumen hukum. “Partisipasi aktif penyandang disabilitas dan lansia dalam perencanaan pembangunan turut menentukan arah kebijakan pembangunan,” ucap Andrie.

  • Wanita Pura-pura Bisu 16 Tahun Biar Dapat Tunjangan, Ditangkap saat Ngobrol

    Wanita Pura-pura Bisu 16 Tahun Biar Dapat Tunjangan, Ditangkap saat Ngobrol

    Jakarta

    Seorang wanita di Spanyol mendapatkan tunjangan disabilitas karena mengalami ketidakmampuan berbicara setelah insiden terkait pekerjaan. Selama 16 tahun lamanya, dia mendapatkan dana dari perusahaan lama tempat dia bekerja.

    Diberitakan Oddity Central, pada tahun 2003, seorang wanita yang bekerja di supermarket di Andalusia, Spanyol, tiba-tiba diserang oleh pelanggan. Atas insiden tersebut, dia didiagnosis gangguan stres pascatrauma dan kehilangan kemampuannya berbicara.

    Setelah meninjau kasus tersebut, pihak jaminan sosial memberikan dana pensiun cacat permanen dan perusahaan asuransi bertanggung jawab atas biaya tersebut. Bertahun-tahun kemudian, perusahaan asuransi meninjau kasusnya dan menemukan beberapa kejanggalan.

    Pihak asuransi kemudian menyewa detektif swasta yang menemukan bahwa wanita tersebut bisa berbicara normal namun tetap mengklaim dana tunjangannya.

    Sekitar 16 tahun kemudian, perusahaan asuransi yang bertanggung jawab untuk membayar tunjangan cacatnya mulai meninjau catatan medisnya dan menyadari bahwa tidak ada satu pun dokter spesialis yang pernah ia kunjungi sejak 2009 yang mencatat ketidakmampuannya untuk berbicara dalam laporan mereka.

    NEXT: Ketahuan bisa berbicara dengan normal

    Kecurigaan seorang ahli medis tidak cukup untuk membuka kasus terhadap wanita itu, jadi perusahaan asuransi menyewa detektif swasta untuk mengikuti wanita itu dan mengumpulkan lebih banyak bukti.

    Setelah beberapa minggu, detektif swasta itu melaporkan bahwa “wanita bisu itu berbicara dengan normal di jalan, mengobrol dengan ibu-ibu lain di luar gerbang sekolah, menggunakan ponselnya tanpa masalah, dan menghadiri kelas Zumba.”

    Untuk membuktikan tanpa keraguan sedikit pun bahwa wanita itu dapat berbicara, detektif swasta itu mendatanginya di jalan suatu hari dan menanyakan petunjuk jalan tentang cara mencapai sebuah toserba setempat. Dia langsung jatuh ke dalam perangkapnya, dengan fasih menjelaskan dalam bahasa Spanyol yang diartikulasikan dengan sempurna cara mencapai toko, tanpa mengetahui bahwa dia sedang direkam.

    Dengan bukti ini, perusahaan asuransi mengambil tindakan hukum untuk membuktikan bahwa mereka tidak lagi bertanggung jawab untuk menyediakan tunjangan disabilitas.

    Pada bulan Januari 2025, Pengadilan Tinggi Andalusia (TSJA) memutuskan mendukung perusahaan asuransi, dengan menyatakan bahwa bukti yang diajukan di pengadilan sah dan tidak perlu lagi membayar tunjangan disabilitas kepada wanita tersebut.

    Pengadilan juga menolak permohonan wanita tersebut agar rekaman detektif ditolak oleh pengadilan karena merupakan “pelanggaran yang jelas terhadap hak konstitusionalnya.”

  • Komnas HAM Minta Kasus Eksploitasi Pemain Sirkus Dituntaskan Secara Hukum
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        18 April 2025

    Komnas HAM Minta Kasus Eksploitasi Pemain Sirkus Dituntaskan Secara Hukum Nasional 18 April 2025

    Komnas HAM Minta Kasus Eksploitasi Pemain Sirkus Dituntaskan Secara Hukum
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    — Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (
    Komnas HAM
    ) merekomendasikan agar kasus dugaan eksploitasi eks pemain sirkus pada
    Oriental Circus Indonesia
    (OCI) diselesaikan secara hukum.
    Koordinator Subkomisi Penegakan HAM Komnas HAM Uli Parulian Sihombing menyatakan, langkah itu perlu ditempuh karena kasus dugaan eksploitasi ini telah berlangsung sejak lama dan belum diselesaikan sebagaimana mestinya.
    “Komnas HAM meminta agar kasus ini diselesaikan secara hukum atas tuntutan kompensasi untuk para mantan pemain OCI,” kata Uli dalam siaran pers, Kamis (17/4/2025).
    Komnas HAM  juga meminta agar asal-usul para pemain sirkus OCI segera dijernihkan.
    “Hal ini sangat penting untuk mengetahui asal-usul, identitas, dan hubungan kekeluargaannya,” imbuh Uli.
    Uli menjelaskan, Komnas HAM telah memantau kasus anak-anak pemain sirkus di lingkungan OCI, Cisarua, Bogor, Jawa Barat, sejak tahun 1997.
    Ketika itu, Komnas HAM menemukan dugaan pelanggaran HAM berupa pelanggaran terhadap hak anak untuk mengetahui asal-usul, identitas, hubungan kekeluargaan dan orang tuanya; elanggaran terhadap hak-hak anak untuk bebas dari eksploitasi yang bersifat ekonomis.
    Kemudian, pelanggaran terhadap hak-hak anak untuk memperoleh pendidikan umum yang layak yang dapat menjamin masa depannya; serta pelanggaran terhadap hak-hak anak untuk mendapatkan perlindungan keamanan dan jaminan sosial yang layak, sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.
    “Namun, pada 22 Juni 1999, Komnas HAM mendapatkan informasi bahwa Direktorat Reserse Umum Polri menghentikan penyidikan tindak pidana menghilangkan asal-usul dan perbuatan tidak menyenangkan atas nama FM dan VS,” kata Uli.
    Kasus ini pun kembali bergulir pada Desember 2024 ketika Komnas HAM menerima menerima pengaduan dari Ari Seran Law Office yang menyampaikan permasalahan kasus OCI belum terselesaikan.
    “Karena belum adanya upaya untuk memenuhi tuntutan ganti rugi sebesar Rp. 3.1 milyar yang ditujukan kepada OCI,” ujar Uli.
    Di samping itu, Komnas HAM juga menegaskan bahwa pelatihan keras utamanya kepada anak-anak tidak boleh menjurus pada penyiksaan dan bilamana hal ini dilakukan maka telah terjadi pelanggaran hak anak.
    “Anak-anak tersebut juga mengalami pelanggaran atas hak untuk memperoleh pendidikan yang layak, serta hak untuk memperoleh perlindungan keamanan dan jaminan sosial sesuai peraturan perundangan yang ada,” kata Uli.
    Diberitakan sebelumnya, sejumlah perempuan mantan pemain sirkus OCI mengadukan pengalaman pahit mereka selama menjadi pemain sirkus kepada Wakil Menteri HAM Mugiyanto, Selasa (15/4/2025).
    Di hadapan Mugiyanto, mereka mengaku mengalami kekerasan fisik, eksploitasi, hingga perlakuan tidak manusiawi selama bertahun-tahun, misalnya disetrum, dirantai, hingga dipisahkan dengan anaknya.
    Sebagian dari mereka pun mengaku tidak mengetahui identitas dan asal-usulnya karena sudah dilatih menjadi pemain sirkus sejak kecil.
    Respons Oriental Circus Indonesia
    Pendiri OCI sekaligus Komisaris Taman Safari Indonesia Tony Sumampau membantah tudingan bahwa terdapat eksploitasi terhadap para pemain sirkus.
    Tony mengakui bahwa pada medio tahun 1970-1980, didikan yang diberikan OCI kepada para pemain sirkusnya cukup keras, jika dibandingkan dengan upaya pendisiplinan pada saat ini.
    Namun, ia menegaskan, proses latihan di sirkus memang memerlukan kedisiplinan tinggi yang kerap kali melibatkan tindakan tegas.
    Menurut Tony, hal tersebut wajar dalam dunia olahraga dan bukan bentuk kekerasan yang disengaja.
    “Betul, pendisiplinan itu kan dalam pelatihan ya, pasti ada. Saya harus akui. Cuma kalau sampai dipukul pakai besi, itu nggak mungkin,” ujar Tony saat jumpa pers di Jakarta, Kamis (17/4/2025).
    “Kalau mereka luka, justru nggak bisa tampil atraksi,” ujarnya. Tony juga menepis tudingan soal penyiksaan yang dialami mantan pemain sirkus.
    Menurut dia, pernyataan yang disampaikan para eks pemain sirkus hanyalah pernyataan sensasional, yang tidak logis dan bertujuan untuk menarik simpati publik.
    “Kalau dibilang penyiksaan, ya itu membuat sensasi saja. Supaya orang yang dengar jadi kaget, serius gitu ya. Kalau benar-benar seperti itu, ya tidak masuk akal,” ujarnya.
    Tony pun menuding ada upaya pemerasan di balik tuntutan kompensasi senilai Rp 3,1 miliar.
    Menurut dia, ada sosok tertentu yang memprovokasi para mantan pemain sirkus untuk mengangkat narasi negatif.
    Tony juga mengaku telah mengantongi bukti-bukti terkait dugaan adanya upaya pemerasan yang sempat menuntut angka hingga lebih dari Rp 3,1 miliar.
    Namun, Tony menegaskan bahwa dari awal pihaknya memilih untuk diam agar tidak melukai perasaan mantan anak didiknya.
    “Kita memang tidak merespon, karena mau lihat siapa dalangnya. Anak-anak itu hanya ‘alat’. Kita nggak mau cederai mereka. Tapi siapa yang ada di belakang ini, ya itu yang jadi perhatian kami,” ungkap Tony.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.