Produk: gamelan

  • Legenda Urban: Nini Pelet Penunggu Gunung Ciremai

    Legenda Urban: Nini Pelet Penunggu Gunung Ciremai

    Liputan6.com, Cirebon – Gunung Ciremai di Jawa Barat secara administratif berada di tiga wilayah, yakni Kabupaten Cirebon, Kuningan, dan Majalengka. Dikenal dengan keindahannya, gunung ini ternyata juga menyimpan mitos dan legenda mistis Nini Pelet.

    Gunung Ciremai sebenarnya menyimpan banyak cerita mistis yang beredar di masyarakat, mulai dari Nyi Linggi, suara gamelan, Tanjakan Bapa Tere, hingga legenda Nini Pelet yang dikaitkan dengan perebutan Kitab Mantra Asmara dengan Ki Buyut Mangun Tapa.

    Salah satu legenda urban populer di Gunung Ciremai adalah Nini Pelet. Kisah legenda ini telah menjadi cerita tutur masyarakat sekitar gunung yang diwariskan secara turun temurun.

    Menurut cerita legenda masyarakat setempat, Gunung Ciremai merupakan singgasana kerajaan Nini Pelet, khususnya di Gua Walet. Ia dikenal sebagai sosok sakti, khususnya di bidang percintaan.

    Konon, Nini Pelet adalah orang yang merebut Kitab Mantra Asmara ciptaan Ki Buyut Mangun Tapa. Kitab tersebut berisi beberapa ajian tentang percintaan, salah satunya jaran goyang.

    Ilmu jaran goyang dipercaya sangat ampuh untuk mengikat hati lawan jenis. Hingga kini, ilmu tersebut masih dipelajari oleh banyak orang.

     

  • 5 Ragam Tradisi Menyambut Iduladha di Indonesia

    5 Ragam Tradisi Menyambut Iduladha di Indonesia

    Liputan6.com, Yogyakarta – Umat muslim akan menyambut Iduladha 1446 Hijriah pada 6 Juni 2025. Sebagai negara yang kaya akan tradisi dan budaya, di Indonesia terdapat ragam tradisi dalam menyambut Iduladha.

    Selain identik dengan ibadah kurban, Iduladha juga menjadi momen yang tepat untuk menghidupkan tradisi dan budaya lokal. Ragam tradisi menyambut Iduladha di Indonesia menggabungkan nuansa religius dengan perayaan budaya yang unik dan menarik.

    Mengutip dari laman Kemenpar RI, berikut ragam tradisi Iduladha di Indonesia:

    1. Apitan di Semarang

    Masyarakat di Kota Semarang menggelar tradisi apitan untuk menyambut Iduladha. Tradisi ini berasal dari adanya bulan yang diapit di antara Syawal dan Zulhijah, yakni Zulkaidah.

    Tradisi ini biasanya diawali dengan pertunjukan kesenian kuda lumping. Melalui tradisi ini, masyarakat ingin mengungkapkan syukur atas hasil bumi yang melimpah.

    Salah satu momen menarik dari tradisi ini adalah arak-arakan hasil panen yang akan diperebutkan warga. Konon, barang siapa yang berhasil mendapatkannya akan diberi keberkahan dan keberuntungan.

    2. Gamelan Sekaten di Surakarta

    Gamelan sekaten memiliki akar sejarah yang kuat dari masa Kerajaan Mataram, khususnya di masa pemerintahan Sultan Agung pada 1644 M. Selain dalam perayaan Iduladha, dua perangkat gamelan ini juga ditabuh saat momen-momen besar Islam lainnya, seperti Idulfitri dan Maulid Nabi Muhammad SAW.

    Dua perangkat gamelan utama ini dijuluki sebagai Kiai Guntur Madu dan Kiai Guntur Sari. Tradisi gamelan sekaten biasanya dilaksanakan usai salat Iduladha. Selain menyaksikan alunan musik gamelan, warga dan wisatawan juga dapat mengikuti tradisi mengunyah kinang yang diyakini membawa umur panjang.

    3. Grebeg Besar di Yogyakarta

    Grebeg besar merupakan tradisi yang digelar Keraton Yogyakarta sebagai bagian dari perayaan Iduladha. Tradisi ini berupa kirab tujuh gunungan hasil bumi yang dibawa dari Keraton ke beberapa tempat, di antaranya Masjid Gede Kauman, Pendopo Pengulon, dan Puro Pakualaman.

    Gunungan-gunungan nantinya akan diperebutkan oleh masyarakat. Mereka percaya bahwa gunungan tersebut membawa keberkahan dan rezeki bagi siapa saja yang mendapatkannya.

     

  • Jebar Juwes, Kesenian Asli Sleman yang Lahir dari Rasa Bosan

    Jebar Juwes, Kesenian Asli Sleman yang Lahir dari Rasa Bosan

    Dalam pertunjukannya, jeber juwes mengangkat cerita tentang Menak dalam bentuk lakon-lakon yang dipentaskan. Serat Menak menceritakan kisah dan pengalaman kepahlawanan Amir Ambyah atau dikenal Wong Agung Jayangrena dari Mekah dengan Prabu Nursiwan dari Medayin. Kisah ini merupakan transformasi dari Sastra Melayu Hikayat Amir Hamzah.

    Jumlah pemain kesenian ini beragam, antara 20 orang bahkan lebih. Jumlah tersebut belum termasuk pengrawit (penabuh gamelan).

    Pada awal kemunculannya hingga sekitar 1980-an, jabar juwes diiringi gamelan dengan laras slendro. Namun, saat ini iringan gamelannya menggunakan laras slendro dan pelog.

    Saat ini, kesenian ini berfungsi sebagai hiburan dan kerap hadir dalam berbagai acara penting, seperti HUT Kemerdekaan RI, HUT Kabupaten Sleman, hingga upacara merti dusun. Fungsi lainnya adalah fungsi adat untuk melepas nazar. Sedangkan fungsi sosial jabar juwes sebagai alat pemersatu masyarakat tanpa membedakan agama, kelas sosial, jabatan, dan lainnya.

    Menariknya lagi, kesenian jeber juwes tidak mengenal istilah tanggapan (bayaran), melainkan sekadar pengganti biaya operasional dan persiapan hingga pertunjukan rampung. Hingga kini, jabar juwes masih dipertahankan di Desa Sendangagung. Kesenian ini juga telah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) oleh Dinas Kebudayaan Kabupaten Sleman dengan Nomor 103617/MPK.E/KB/2019.

    Penulis: Resla

  • 400 perahu ramaikan Sedekah Laut Tambaklorok Semarang

    400 perahu ramaikan Sedekah Laut Tambaklorok Semarang

    Melalui sedekah laut, kita akan mengerti keterkaitan antara manusia dan alam

    Semarang (ANTARA) – Pergelaran tradisi Sedekah Laut dan Bumi Tambaklorok, Semarang, Minggu, berlangsung meriah diikuti oleh lebih dari 400 perahu nelayan yang memadati perairan Tanjung Mas Semarang, Jawa Tengah.

    Rangkaian kegiatan Sedekah Laut Tambak Lorok dimulai sejak Sabtu (24/5) dengan rangkaian acara berupa doa arwah jamak, hataman Al Quran, tirakatan dan istighatsah.

    Puncak acara digelar pada Minggu, berupa arak-arakan sesaji berupa kepala sapi dan hasil bumi yang kemudian dilarung ke tengah laut, serta ditutup dengan pagelaran wayang kulit dan pengajian akbar pada Senin (26/5).

    Suasana penuh khidmat dan semarak terasa di sepanjang pesisir saat nelayan dan warga berpartisipasi aktif dalam arak-arakan, diiringi tabuhan gamelan dan semangat gotong royong.

    Tidak hanya masyarakat lokal, sejumlah wisatawan dari luar Semarang juga turut memadati kawasan Tanjung Mas untuk menyaksikan kekayaan tradisi budaya pesisir tersebut.

    “Ini adalah bulan-bulan di mana seluruh warga Kota Semarang sedang mengucapkan syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa dan kepada alam semesta atas anugerah yang diberikan,” kata Wali Kota Semarang Agustina Wilujeng Pramestuti.

    Menurut dia, tradisi sedekah laut itu sebagai bentuk rasa syukur atas limpahan hasil laut serta ikhtiar menjaga harmoni antara manusia dengan alam dan setiap warga memiliki cara masing-masing dalam mengekspresikan rasa syukur.

    “Yang memiliki laut, melakukan sedekah laut. Yang memiliki sawah atau usaha lainnya mengadakan wayangan, pengajian, atau bentuk doa bersama sesuai tradisinya,” katanya.

    Bahkan, dalam dua hari terakhir, setidaknya tujuh titik di berbagai kecamatan, seperti Gajahmungkur, Banyumanik, Semarang Barat, Gayamsari, Genuk dan Semarang Utara turut menggelar kegiatan serupa sedekah bumi.

    Ia mengatakan kegiatan tersebut membuktikan bahwa Kota Semarang tetap lekat dengan akar budayanya, meskipun terus berkembang sebagai kota metropolitan.

    “Melalui sedekah laut, kita akan mengerti keterkaitan antara manusia dan alam. Kita jaga ya, Bapak/Ibu, budaya ini,” katanya.

    Ia juga menyampaikan harapan agar pelaksanaan tahun depan dapat lebih baik dengan dukungan yang lebih luas dari perusahaan-perusahaan sekitar dan pelibatan generasi muda.

    Pemerintah Kota Semarang, lanjut dia, juga terus menunjukkan komitmen dalam memperhatikan kesejahteraan masyarakat pesisir.

    “Kami memiliki keinginan untuk memperbaiki segala macam fasilitas di TPI (Tempat Pelelangan Ikan) Tambak Lorok sehingga aktivitas ekonominya akan menjadi meningkat,” kata Agustina.

    Pewarta: Zuhdiar Laeis
    Editor: Agus Salim
    Copyright © ANTARA 2025

  • Langkah Baru Jombang Rangkul Generasi Muda Lewat ‘Room Tour’ Bersejarah

    Langkah Baru Jombang Rangkul Generasi Muda Lewat ‘Room Tour’ Bersejarah

    Jombang (beritajatim.com) – Suasana hangat penuh tawa dan semangat kebersamaan membalut Pendopo Kabupaten Jombang pada Sabtu (17/5/2025). Di sinilah momen bersejarah dimulai: peluncuran program inovatif bertajuk “Pendopo Milik Rakyat, Abah untuk Semua”, sebagai bagian dari gebrakan 100 hari kerja Bupati dan Wakil Bupati Jombang.

    Program ini tak sekadar seremoni. Ia menandai pergeseran paradigma dalam cara pemerintah memaknai ruang kekuasaan. Pendopo, yang selama ini kerap dipandang sebagai simbol birokrasi yang eksklusif, kini disulap menjadi ruang publik yang hidup dan ramah bagi semua warga, terutama generasi muda.

    Sekretaris Daerah Kabupaten Jombang, Agus Purnomo, yang hadir mewakili Bupati Warsubi, menyampaikan pesan kuat: “Pendopo ini bukan lagi sekadar simbol kekuasaan, melainkan akan menjadi ruang yang dikenal, diakses, dan dicintai oleh rakyat.”

    Di hadapan para kepala sekolah dan siswa-siswi dari RA hingga SMP, program ini diluncurkan dalam kemasan room tour interaktif. Anak-anak diajak berkeliling mengenal sejarah pendopo, menonton film budaya Jombang, dan menyaksikan kekayaan warisan budaya tak benda, diiringi alunan gamelan yang menambah suasana sakral dan menyenangkan.

    Bupati Warsubi dan Ketua TP PKK Kabupaten Jombang, Ibu Yuliati Nugrahani Warsubi, turut menyambut para siswa dengan senyum hangat. Momen kebersamaan ini menjadi bukti nyata bahwa pemerintah ingin dekat, menyatu, dan tumbuh bersama rakyat.

    Melalui program ini, Pemkab Jombang berharap munculnya rasa memiliki yang lebih kuat terhadap ruang publik dan nilai-nilai lokal. “Kami ingin anak-anak Jombang tumbuh dengan rasa bangga terhadap identitas budayanya, mengenal pemerintahnya, dan mencintai tanah kelahirannya,” ujar Agus Purnomo.

    “Pendopo Milik Rakyat, Abah untuk Semua” tak hanya sebuah slogan. Ia adalah komitmen baru, sebuah undangan terbuka kepada seluruh warga untuk menjadikan ruang pemerintahan sebagai milik bersama, tempat menyemai ide, merawat sejarah, dan merancang masa depan Jombang yang maju dan sejahtera untuk semua. [suf]

  • Jember Alami Krisis Seni Budaya Tradisional, Peleburan Dispora-Disparda Ditolak

    Jember Alami Krisis Seni Budaya Tradisional, Peleburan Dispora-Disparda Ditolak

    Jember (beritajatim.com) – Kabupaten Jember, Jawa Timur, saat ini sedang mengalami krisis seni budaya tradisional. Ini membuat penolakan dari kalangan pelaku seni tradisi dan budayawan lokal terhadap penggabungan Dinas Kepemudaan dan Olahraga dengan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan semakin menguat.

    Pemerintah Kabupaten Jember memangkas jumlah dinas dari 22 menjadi 17 organisasi perangkat daerah (OPD) melalui proses penggabungan untuk menghemat anggaran.

    Dinas Kepemudaan dan Olahraga dan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan akan digabung menjadi satu dinas, yakni Dinas Kepemudaan dan Olahraga, Kebudayaan dan Pariwisata.

    Sebenarnya urusan kebudayaan hendak dimasukkan ke Dinas Pendidikan. Namun hal itu diurungkan, karena visi dan misi Bupati Fawait mensinkronkan urusan kebudayaan dengan pariwisata.

    “Kami menolak rencana penggabungan Dinas Pemuda dan Olahraga Dispora dengan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan karena bertentangan dengan semangat pemajuan kebudayaan.,” kata Novi Agus, juru bicara pelaku seni budaya dan pengurus Balai RW Institute, sebuah kelompok kolektif pendidikan dan kebudayaan Jember.

    Para pelaku seni budaya justru menuntut Pemerintah Kabupaten Jember membentuk Dinas Kebudayaan tersendiri, sesuai dengan amanat Undang-Undang nomor 5 tahun 2017.

    Pemkab Jember juga diminta menyediakan alokasi anggaran yang proporsional untuk program perlindungan, pengembangan, pemanfaatan, dan pembinaan kebudayaan.

    “Fasilitasi kebutuhan komunitas seni, budaya, dan sastra serta literasi secara berkelanjutan, termasuk ruang ekspresi, pendidikan, pelatihan, pendampingan, dokumentasi karya, distribusi, serta penguatan kapasitas kelembagaan komunitas,” kata Novi, Minggu (11/5/2025).

    Jember memiliki alun-alun yang sangat representatif sebagai ruang publik. Namun, menurut Istono, salah satu pelaku seni budaya, alun-alun Jember tidak pernah digunakan sebagai ruang publik untuk pemajuan kebudayaan.

    Padahal, Novi Agus mengingatkan, pemerintah daerah wajib membangun gedung kesenian sebagaimana Undang-Undang Pemajuan Kebudayaan.

    Pokok PIkiran Kebudayaan Daerah
    Novi menuntut kebijakan kebudayaan daerah disusun secara partisipatif dengan melibatkan komunitas-komunitas seni, budaya, dan sastra, serta literasi di Jember.

    Hal ini bisa dimulai dari penyusunan ulang Pokok Pikiran Kebudayaan Daerah (PPKD) secara inklusif dan menyeluruh. “Kami mendesak percepatan penyelesaian penyusulan PPKD menuju Peraturan Daerah Kebudayaan Jember yang hebat,” kata Novi.

    Pelaku seni budaya juga meminta Pemkab Jember menjamin adanya sumber daya manusia bidang kebudayaan yang profesional di lingkup birokrasi daerah, termasuk dengan membuka ruang rekrutmen dan pelatihan.

    “Bentuk forum dialog reguler antara pemangku kebijakan dan pelaku budaya untuk monitoring dan evaluasi kebijakan kebudayaan,” kata Novi.

    Seluruh tuntutan itu, menurut Novi, akan terus disuarakan sebagai bagian dari agenda kebudayaan Jember. “Minimal ada pemisahan Dinas Kebudayaan dengan Pariwisata dan Olahraga,” katanya.

    Para pelaku seni budaya dan literasi sempat bertemu dengan tiga anggota Komisi B DPRD Jember, yakni sang ketua Candra Ary Fianto dari PDI Perjuangan, Nilam Noor Fadilah dari Golkar, dan Hurul Fatoni dari Nasdem, 7 Mei 2025 lalu.

    Dalam kesempatan itu, Ketua Badan Kebudayaan Nasional (BKN) Jember Catur Budi Prasetyo menegaskan, peleburan dua dinas itu mengerdilkan urusan kebudayaan. “Mulai dari zaman Bupati Samsul Hadi Siswoto sampai sekarang, kebudayaan belum ada yang serius untuk mengurusi. Kok tiba-tiba ada penggabungan,” katanya.

    Catur mencontohkan kegiatan festival musik patrol yang diselenggarakan Unit Kegiatan Mahasiswa Kesenian Universitas Jember setiap Ramadan. “Tidak ada support dari pemerintah daerah. Untung masih ada Universitas Jember yang bisa melestarikan,” katanya.

    Djoko Supriatno, pegiat Rumah Budaya Pendalungan, mengatakan, esensi kebudayaan bukan hanya melekat pada kedinasan. “Kalau kita mau bicara, hampir semua itu ada nilai kultur, ada nilai budaya di dalamnya. Budaya apapun,” katanya.

    Krisis Regenerasi dan Keberpihakan Politik
    Saat ini, dunia seni budaya tradisional Jember menghadapi krisis regenerasi. “Bapaknya dalang, belum tentu anaknya mau jadi dalang. Padahal turunan dari orang tuanya meninggalkan gamelan,” kata Djoko.

    Djoko mencontohkan seorang seniman di Kelurahan Mangli, Kecamatan Kaliwates. Setelah meninggal dunia, perangkat berkeseniannya dijual oleh sang anak.

    Para seniman tradisi di Jember kekurangan tempat sebagai ruang ekspresi. “Ada beberapa tempat yang dibangun sebenarnya ini mewakili, tapi secara regulasi juga tidak bisa mewakili, bahwa mereka bisa memakai tempat-tempat ini,” kata Djoko.

    Hal ini dibenarkan ulung Lukman, seorang pelaku seni budaya dan guru. “Anak-anak tukang ludruk malu mempelajari ludruk. Itu kan miris. Padahal mereka itu makan paginya, bisa jadi dari ibu bapaknya yang ngeludruk tadi malam. Tapi ketika mereka untuk diminta, “Ayo latihan ludruk,” malu,” katanya.

    Dari sini Sulung melihat ada sesuatu yang salah dalam mentransformasi gagasan dan paradigma kebudayaan dari generasi ke genrasi. “Sehingga mereka malu berkebudayaan, bertradisi seperti yang dilakukan nenek-nenek kita,” katanya.

    Semua penanganan persoalan dan agenda kebudayaan dan kesenian tradisional di Jember, menurut Sulung, membutuhkan keberpihakan politik.

    “Secara politis seharusnya ada yang berpihak di sini. Siapa yang membela ini? Secara politik kami tidak kuat, kecuali kalau anggota Dewan yang memang sudah fungsinya sebagai legislator. Anggota Dewan yang punya power lebih kuat, bisa menyuarakan lebih lantang,” katanya. [wir]

  • Perjalanan Musik Remix di Indonesia

    Perjalanan Musik Remix di Indonesia

    Remix adalah proses mengolah ulang sebuah lagu dengan mengubah struktur, menambahkan efek, atau mengganti instrumen. Berbeda dengan cover yang mempertahankan aransemen asli, remix bisa mengubah genre, tempo, atau bahkan menciptakan versi yang sama sekali baru.

    Tujuannya beragam, mulai dari penyesuaian kebutuhan DJ hingga eksperimen musikal. Keberadaan musik remix memperkaya khazanah musik Indonesia.

    Era digital, remix semakin mudah diproduksi berkat perangkat lunak musik. Platform seperti YouTube dan SoundCloud menjadi sarana distribusi bagi produser independen.

    Tren kolaborasi lintas genre juga semakin kuat, seperti remix yang menggabungkan pop, dangdut, dan elemen tradisional. Remix masa kini semakin menonjolkan percampuran unsur budaya.

    Terdapat kecenderungan menggabungkan sample musik tradisional seperti gamelan atau suling dengan beat elektronik. Komunitas seperti Indra7 dan Sunmantra secara aktif mengeksplorasi fusion antara elemen lokal dan global.

    Penulis: Ade Yofi Faidzun

  • Pesta Dadung, Tradisi Usir Hama ala Masyarakat Kuningan

    Pesta Dadung, Tradisi Usir Hama ala Masyarakat Kuningan

    Usai pembacaan mantra, dadung dan hama dari tanaman diarak menuju Bukit Situ Hyang, Kuningan. Dalam arak-arakan ini, gamelan pelog atau salendro juga terus dimainkan.

    Sesampainya di tempat tujuan, hama akan ditarikan bersama ronggeng dan dibuang di kawasan perbukitan tersebut. Namun sebelum mulai ditarikan oleh sesepuh dan perangkat desa lainnya, dadung akan dibacakan kidung rajah pamunah dan dilanjutkan dengan pembacaan tulak Allah.

    Selanjutnya, dadung ditarik oleh kepala desa disertai para aparat desa dan ronggeng dalam iringan lagu renggong buyut. Setelahnya, dadung disimpan kembali dan acara dilanjutkan dengan tayuban.

    Para penari dalam tradisi ini merupakan para penggembala dan masyarakat setempat. Konon, mereka akan menari hingga pukul 04.00 waktu setempat.

    Hingga kini, pesta dadung masih menjadi salah satu tradisi masyarakat Kuningan yang terus dilestarikan. Tahun ini, Pemerintah Provinsi Jawa Barat menetapkan pesta dadung sebagai salah satu Warisan Budaya Tak Benda (WBTB).

    Penulis: Resla

  • Terungkap Mimpi ‘Aneh’ Soeharto Sebelum Wafat, Cerita ke Tutut tapi Malah Diketawain

    Terungkap Mimpi ‘Aneh’ Soeharto Sebelum Wafat, Cerita ke Tutut tapi Malah Diketawain

    GELORA.CO – Presiden kedua Republik Indonesia yang dijuluki The Smiling General, dikenal sebagai sosok yang kontroversial.

    Di balik perannya dalam sejarah bangsa—baik sebagai pahlawan dalam menumpas G30S/PKI maupun sebagai pemimpin Orde Baru yang penuh kritik—kehidupan pribadi Soeharto masih menyimpan banyak kisah tak terungkap.

    Salah satu cerita yang menarik datang dari adik kandung Soeharto, Hajah Noek Bresinah Soehardjo.

    Dalam buku “Pak Harto, The Untold Stories”, Noek membagikan momen pribadi yang cukup unik dan menyentuh menjelang wafatnya sang kakak.

    Peristiwa itu terjadi pada tahun 2006, dua tahun sebelum Soeharto wafat.

    Saat itu, Soeharto sedang menjalani perawatan di Rumah Sakit Pertamina. 

    Suatu sore, ia tiba-tiba terbangun dari tidurnya dan langsung menceritakan sebuah mimpi aneh kepada Noek dan anak sulungnya, Siti Hardijanti Rukmana alias Tutut, yang saat itu sedang menemaninya.

    “Aku lagi wae ngimpi (aku barusan mimpi),” kata Soeharto, seperti yang ditirukan oleh Noek.

    Mendengar itu, Tutut penasaran dan langsung bertanya kepada ayahnya, “Mimpi apa to, Pak?”

    Soeharto lalu menjelaskan bahwa ia bermimpi sedang menonton pertunjukan gamelan yang meriah.

    Namun, ada satu hal yang terasa aneh baginya.

    “Nonton gamelan, rame, nanging ana sing aneh (nonton gamelan, ramai, tapi ada yang aneh),” ujar Soeharto.

    Tutut kembali bertanya, “Apa yang aneh, Pak?”

    Soeharto pun menjawab, “Kuwi lho, sindene kok wong Sunda kabeh? (Itu lho, penyanyinya kok orang Sunda semua?).”

    Mendengar jawaban ayahnya, Tutut menanggapinya dengan canda, “Lha, sindene mesti ayu-ayu to, Pak?” (Penyanyinya pasti cantik-cantik ya, Pak?)

    Soeharto pun tersenyum sembari berkata, “Ya embuh, ora weruh wong kahanane peteng.” (Ya saya tidak tahu, karena suasananya gelap.)

    Percakapan ringan dan penuh kehangatan itu pun membuat Noek dan Tutut tertawa.

    Setelahnya, Soeharto kembali melanjutkan tidurnya.

    Bagi Noek, momen itu menjadi salah satu kenangan yang paling membekas sebelum kakaknya wafat.

    Dua tahun setelah mimpi tersebut, tepatnya pada 27 Januari 2008, Soeharto menghembuskan napas terakhir.

    Meski hidupnya dipenuhi kontroversi, cerita-cerita kecil seperti ini menunjukkan sisi lain dari seorang pemimpin besar—sebagai manusia biasa dengan mimpi, keluarga, dan tawa.

  • Tradisi Kebo-keboan, Warisan Budaya Tak Benda Asal Banyuwangi Sarat Makna

    Tradisi Kebo-keboan, Warisan Budaya Tak Benda Asal Banyuwangi Sarat Makna

    Pelaksanaan tradisi Kebo-keboan biasanya dimulai sejak pagi hari. Para peserta yang telah terpilih—biasanya laki-laki dewasa yang dianggap memiliki kesiapan fisik dan spiritual—akan memulai prosesi dengan berdandan seperti kerbau.

    Mereka mengenakan celana pendek berwarna gelap, menutupi seluruh tubuh dengan lumpur atau jelaga, dan memakai tanduk buatan dari kayu atau bambu yang dihias sedemikian rupa di kepala mereka. Wajah mereka dilukis agar terlihat garang dan menyerupai makhluk mistis, sementara beberapa di antaranya membawa alat bajak sawah sebagai atribut utama dalam pertunjukan ini.

    Setelah berdandan lengkap, para kebo tersebut akan diarak keliling desa oleh masyarakat, sembari melakukan adegan-adegan dramatik seperti membajak sawah di jalanan, mengamuk, berlari liar, bahkan kesurupan—sebuah fenomena yang kerap terjadi dan dipercaya sebagai tanda masuknya roh leluhur atau kekuatan gaib ke dalam tubuh peserta.

    Ketika kesurupan terjadi, peserta akan bertingkah di luar kesadaran, menirukan suara kerbau, berguling di tanah, dan terkadang harus ditenangkan oleh pawang atau sesepuh desa menggunakan doa-doa dan sesajen tertentu.

    Momen ini justru menjadi bagian paling sakral dan ditunggu-tunggu oleh masyarakat, karena dipercaya bahwa jika banyak peserta yang mengalami kesurupan, maka pertanda hasil panen akan melimpah dan desa akan terbebas dari bencana selama setahun ke depan.

    Selain itu, dalam tradisi ini juga terdapat iring-iringan gamelan dan kesenian tradisional khas Banyuwangi seperti musik angklung, barongan, serta penampilan tarian-tarian rakyat. Suasana desa berubah menjadi sangat meriah, namun tetap sarat dengan aura spiritual.

    Para warga, baik tua maupun muda, berkumpul sepanjang jalan, menyaksikan prosesi dengan penuh kekhusyukan sekaligus rasa penasaran. Tak jarang pula, para pengunjung dari luar daerah bahkan wisatawan mancanegara datang untuk menyaksikan langsung keunikan tradisi ini, yang menampilkan perpaduan antara seni pertunjukan, ritual magis, dan kehidupan agraris masyarakat tradisional.

    Setelah prosesi arak-arakan keliling desa selesai, para peserta akan diarahkan menuju tempat yang telah disiapkan sebagai area pembajakan sawah simbolis. Di tempat ini, mereka akan menirukan aktivitas membajak sawah secara bergiliran, sebagai simbolisasi permohonan kepada Sang Pencipta agar tanah tetap subur dan hasil pertanian melimpah.

    Pada bagian akhir, dilakukan ritual sesaji berupa penyajian hasil bumi seperti padi, jagung, buah-buahan, dan aneka makanan khas desa yang diletakkan di altar sesaji, lalu dipanjatkan doa oleh pemuka adat. Setelah itu, acara dilanjutkan dengan makan bersama seluruh warga sebagai simbol kebersamaan, syukur, dan keberkahan.

    Makna dari tradisi Kebo-keboan tidak bisa dilepaskan dari filosofi kehidupan masyarakat Banyuwangi yang sangat menjunjung tinggi harmoni antara manusia, alam, dan roh leluhur. Dalam pandangan masyarakat lokal, kerbau bukan hanya hewan pekerja, tapi juga makhluk suci yang membantu manusia menjaga keseimbangan alam.

    Tradisi ini menjadi ruang simbolik untuk memperkuat hubungan spiritual antara manusia dan kekuatan gaib, sekaligus mempererat solidaritas sosial di tengah masyarakat.

    Lebih jauh lagi, Kebo-keboan juga menjadi media untuk mentransfer nilai-nilai budaya dan kearifan lokal kepada generasi muda, agar mereka tidak melupakan akar tradisi yang telah diwariskan secara turun-temurun. Dalam konteks modernisasi dan globalisasi seperti sekarang, tradisi Kebo-keboan menghadapi tantangan yang tidak sedikit.

    Arus budaya luar, perubahan gaya hidup, serta tekanan ekonomi membuat sebagian generasi muda cenderung melupakan atau bahkan menganggap tradisi ini sebagai sesuatu yang kuno dan tidak relevan.

    Namun demikian, upaya pelestarian terus dilakukan oleh pemerintah daerah, budayawan, serta masyarakat setempat melalui berbagai cara, seperti menjadikan tradisi ini sebagai bagian dari kalender pariwisata tahunan, mengadakan festival kebudayaan, serta memasukkan unsur-unsur edukatif ke dalam pertunjukan agar generasi muda tetap merasa tertarik dan terlibat.

    Keunikan dan kekayaan nilai yang terkandung dalam tradisi Kebo-keboan telah membuatnya diakui sebagai salah satu Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Pengakuan ini tentu menjadi langkah penting dalam upaya pelestarian dan promosi budaya lokal agar tidak punah di tengah perkembangan zaman.

    Lebih dari sekadar pertunjukan budaya, Kebo-keboan adalah cermin dari kebijaksanaan masyarakat Banyuwangi dalam menyikapi kehidupan, menjaga hubungan dengan alam semesta, serta membangun harmoni antara manusia dan kekuatan tak kasat mata.

    Ia bukan hanya sekadar pertunjukan eksotis yang menarik bagi wisatawan, melainkan juga sebuah pengingat tentang pentingnya akar budaya dalam membentuk jati diri bangsa. Maka dari itu, menjaga keberlangsungan tradisi ini bukan hanya tugas masyarakat Banyuwangi semata, melainkan juga tanggung jawab kita bersama sebagai bangsa yang besar karena kebudayaannya.

    Penulis: Belvana Fasya Saad