Produk: gamelan

  • IMDE–Tirtamarta BPK Penabur Berkolaborasi Cetak Generasi Cerdas dan Kreatif – Page 3

    IMDE–Tirtamarta BPK Penabur Berkolaborasi Cetak Generasi Cerdas dan Kreatif – Page 3

    Kolaborasi ini ditandai secara simbolis dengan penyerahan cendera mata dari IMDE kepada Tirtamarta BPK Penabur dalam acara Pembukaan Penerimaan Siswa Baru yang berlangsung di dua lokasi, Pondok Indah dan Cinere.

    Acara ini dihadiri lebih dari 200 orang tua dan siswa, serta diisi beragam penampilan seni dari peserta didik dan dosen-dosen Produksi Entertainment IMDE.

    IMDE Bisa Jadi Pilihan

    Program Studi S1 Produksi Entertainment di IMDE dapat menjadi pilihan bagi anak yang melanjutkan kuliah nanti jika ingin masuk dalam dunia artis. Selain itu, IMDE juga memiliki Prodi S1 Bisnis Digital, S1 Konten Kreatif, dan D4 Produksi Media.

    Tim IMDE juga melakukan eksplorasi kegiatan siswa di sekolah yang kerap dijuluki sebagai “sekolah artis” ini, seperti kegiatan gamelan, seni tari, memasak, dan pertunjukan musik.

    Semua menjadi bukti bahwa sekolah ini tidak hanya fokus pada akademik, tetapi juga pada potensi kreatif setiap anak. Bahkan kreativitas tersebut ditunjukan dalam panggung besar di awal tahun lalu dengan drama musikal “Genggam Tanganku” di mana murid-murid serta guru berhasil memukau para penonton di Teater Besar Taman Ismail Marzuki.

    Tak heran banyak seniman indonesia berbakat lahir dari Tirtamarta BPK Penabur, seperti Laura Basuki, Reza Rahadian, Once Mekel dan lainnya.

    “Melalui acara ini, informasi yang diberikan sangat bermanfaat, terutama mengenai program-program sekolah. Selain memotivasi, performancenya juga sangat menghibur,” kata salah satu orang tua yang hadir.

    Melalui sinergi antara dunia pendidikan dan industri kreatif seperti ini, diharapkan lahir generasi muda yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga kaya akan kreativitas, siap menghadapi tantangan masa depan, dan membawa nilai-nilai positif dalam berkarya.

  • Jelang HUT Ke-80 RI, Freeport Gelar Parade Budaya di Ketinggian 2.400 Mdpl

    Jelang HUT Ke-80 RI, Freeport Gelar Parade Budaya di Ketinggian 2.400 Mdpl

    Jakarta

    Ribuan karyawan dan komunitas PT Freeport Indonesia menggelar ‘Parade Budaya Indonesia’. Kegiatan itu bertujuan untuk menyambut Hari Ulang Tahun ke-80 Republik Indonesia.

    Uniknya, perayaan tersebut berlangsung dari ketinggian 2.400 mdpl di Ridge Camp, Distrik Tembagapura, Kabupaten Mimika, Provinsi Papua Tengah, Sabtu (2/8/2025).

    “Keberagaman yang dimiliki Indonesia adalah kekuatan yang harus dirangkul. Melalui Parade Budaya Indonesia, keberagaman menjadi alasan kuat yang mempersatukan karyawan dan komunitas PTFI untuk saling menghormati dan bekerja sama,” kata Executive Vice President Site Operations/Kepala Teknik Tambang PTFI, Carl Tauran dalam keterangan tertulis, Jumat (8/8/2025).

    Dia menjelaskan Parade Budaya di Ridge Camp mengusung tema miniatur Indonesia. Tiap komunitas karyawan merepresentasikan seni dan budaya tradisi dari berbagai daerah di Indonesia seperti Jawa Timur, Papua, Kalimantan Selatan, Maluku, hingga Bali, Nusa Tenggara Timur, dan lain-lain.

    “Mereka mengelilingi kawasan Ridge Camp dengan mengenakan busana adat lengkap beratribut tradisional sambil memanggul seni kriya khas daerah. Musik Gamelan Bali, Reog Ponorogo, alunan Sape khas Kalimantan, dan musik tradisional lainnya mengalun mengiringi penampilan tiap komunitas,” jelasnya.

    Sementara itu, Ketua Panitia HUT Ke-80 RI di PTFI Rode Ajomi menjelaskan Ridge Camp merupakan area penunjang operasional PTFI. Kawasan seluas 56 hektare ini juga menjadi tempat tinggal bagi 12.000 karyawan dari berbagai divisi di antaranya Underground Mine, Concentrating, Operations Maintenance, Central Services, Grasberg Earthworks.

    Ridge Camp dilengkapi dengan akomodasi, fasilitas olahraga, dan tempat berbelanja. Para karyawan berasal dari berbagai daerah di Indonesia mulai dari Sabang hingga Merauke dengan budaya dan tradisi yang berbeda- beda, namun tetap saling menghormati perbedaan.

    “Lewat kegiatan ini kami ingin menampilkan keberagaman sebagai simbol persatuan Indonesia di PTFI, Distrik Tembagapura, Kabupaten Mimika, Provinsi Papua Tengah. Semoga hal ini dapat menginspirasi semua pihak untuk terus memperkuat persatuan dalam keberagaman. Karena inilah kekuatan Indonesia,” kata Rode.

    Dalam parade budaya ini tampil Divisi Mining Safety berkolaborasi dengan Perkumpulan Keluarga Batak Tembagapura (PKBT) yang memaknai kemerdekaan dengan esensi bekerja produktif dan selamat.

    “Mereka mengusung ‘Owlie Ulos’ menjadi maskot keselamatan berbudaya. Owlie Ulos adalah Burung Hantu yang gagah dan bijak yang berkain Ulos kain tenun khas Masyarakat Suku Batak,” jelasnya.

    Sementara itu, Divisi Grasberg Earthworks berkolaborasi dengan Paguyuban Papua menghadirkan budaya kearifan lokal masyarakat Papua dengan atribut pakaian adat Papua.

    Hadirnya Noken dalam pameran kriya menjadi simbol bahwa rajutan noken bukan sekadar merangkai untaian benang rotan menjadi tas. Melainkan cerminan dari kebersamaan, kerja sama dan kesabaran. Dalam kegiatan operasi pertambangan dari hulu ke hilir yang berkelanjutan, Noken merupakan perwujudan wadah kehidupan kolektif dan simbol pemersatu bangsa.

    “Saya melihat setiap karyawan menunjukkan rasa hormat dan kekagumannya atas perbedaan suku, budaya, dan bahasa yang ada di area operasi PTFI. Ini menjadi gambaran nyata kedaulatan Indonesia dari tanah Papua,” kata karyawan Divisi Grasberg Earthworks Ida Nekwek.

    Sebagai informasi tambahan, PTFI sebagai perusahaan tambang tembaga terintegrasi dari hulu hingga hilir terbesar di dunia, turut merayakan HUT ke-80 RI. Sepanjang Agustus, PTFI menyelenggarakan berbagai kegiatan yang mengalirkan semangat nasionalisme dan gotong royong di lima titik lokasi kerja PTFI, dari hulu di Papua- meliputi Tembagapura, Kuala Kencana, dan Nabire hingga ke hilir di Gresik, Jawa Timur dan Jakarta.

    Di Tembagapura berlangsung berbagai lomba dan pentas budaya bersama warga Kampung Banti. Di Dataran Rendah Bakti Sosial dan Bersih Kampung yakni di Ayuka dan Tipuka, serta lomba-lomba untuk anak dan dewasa.

    Di Nabire, digelar Operasi Katarak Gratis yang dirangkai dengan Edukasi dan Pemeriksaan Mata Gratis untuk 1.000 anak sekolah. Di Gresik berlangsung donor darah, pelatihan digital UMKM Gresik, serta Konser Melodi Tembaga Nusantara. Puncaknya adalah Upacara Peringatan Kemerdekaan RI ke-80 serentak diikuti seluruh karyawan dan kontraktor di lima titik lokasi kerja PTFI.

    Seluruh rangkaian kegiatan dilaksanakan dengan penuh semangat gotong royong dan kebersamaan bersama warga sekitar wilayah operasi. Bersama putra-putri terbaik bangsa, PTFI terus berkontribusi untuk negeri, menjalankan operasi yang aman dan berkelanjutan sebagai wujud syukur atas 80 tahun kemerdekaan Indonesia.

    (ega/ega)

  • JWFF 2025 Contoh Nyata Diplomasi Budaya

    JWFF 2025 Contoh Nyata Diplomasi Budaya

    Jakarta

    Utusan Khusus Presiden bidang Pariwisata, Zita Anjani, hadir dalam penutupan Jakarta World Folker Festival (JWFF) 2025. Zita memuji pelaksanaan JWFF yang dinilainya sebagai contoh nyata diplomasi budaya.

    “Jakarta World Folklore Festival 2025 adalah contoh nyata diplomasi budaya yang hidup. Dari irama gamelan yang memukau, energi dinamis tarian Bulgaria, gerakan anggun pertunjukan klasik India, hingga silat Betawi yang dahsyat, panggung ini bukan sekadar tempat pertunjukan, melainkan ruang perayaan yang tulus,” kata Zita saat memberi sambutan dalam acara penutupan JWFF 2025 di Senayan Park, Jakarta Pusat, Selasa (6/8/2025).

    Zita menyebut JWFF 2025 bukan sekedar festival budaya, melainkan daya tarik dari kebudayaan Indonesia yang diyakini dapat membuka mata dunia untuk melihat jika kemajuan Indonesia di masa depan bersumber dari kekayaan budaya yang dimiliki.

    “Jakarta adalah mega kota yang terus berkembang dan tak pernah kehilangan jiwanya. Tradisi Lenong, Gambang Kromong, Silat, dan tentu saja, keramahan warga Jakarta. Inilah fondasi sejati potensi pariwisata Jakarta dan Indonesia, budaya lokal kita yang hidup dan bernyawa,” tutur Zita.

    “Kepada seluruh rakyat Indonesia, marilah kita terus melestarikan dan merayakan budaya kita. Karena dalam budaya, kita menemukan jati diri. Dalam budaya, kita menemukan kekuatan untuk bangkit dan berkembang,” pungkasnya.

    Penutupan JWFF 2025 dilakukan dengan penabuhan Rampak Gendang secara bersama-sama. Kemeriahan penutupan juga berlanjut dengan penampilan seni budaya dari para delegasi yang terdiri dari Bulgaria, Rusia, India, Korea Selatan, Jepang dan tentunya Indonesia.

    (bel/maa)

  • Republik Srimulat

    Republik Srimulat

    Republik Srimulat
    Dosen Fakultas Hukum Universitas Pasundan & Sekretaris APHTN HAN Jawa Barat
    LANGIT
    boleh kelabu, jalan boleh berlubang, tetapi tawa masih memantul dari dinding—seolah menolak retak.
    Di sudut-sudut kota, radio tua kadang memutar lakon
    Srimulat
    : ledakan guyon, jeda, tepuk tangan palsu yang terasa sungguh.
    Ironisnya, riuh gelak itu kini seperti gema republik—yang di panggungnya pemerintah bergincu, oposisi berkumis palsu, dan khalayak menanti lucu.
    Kita menatapnya, kadang malu, kadang maklum, sebab lelucon kerap lebih jujur daripada pidato kenegaraan.
    Negara selalu membutuhkan teater. Ia membangun set: gedung parlemen bergaya futuristik dengan cat yang terkelupas; baliho berisi janji yang diulang sampai pudar; konferensi pers yang mengkilap, namun kata-katanya serupa suara gamelan patah.
    Di panggung ini para aktor—menteri, juru bicara, influencer bersertifikat—menambahkan “selo” dan “cis” sebagai efek tertawa.
     
    Seperti di Srimulat, kejanggalan sengaja dipelihara: logika dibalik, kesalahan dilupakan, dan penonton digiring percaya bahwa kekonyolan adalah takdir yang mempersatukan.
    Tahun-tahun belakangan, parodi tak lagi sekadar cermin; ia menjadi alat
    kekuasaan
    . Satire diproduksi resmi—varietas “lucu tapi patuh”—agar kritik kehilangan gigi.
    Ketika parlemen tergopoh mengejar tenggat undang-undang, publik disodori drama komedi: akrobat kursi rapat yang kosong, adu pantun di rapat pansus, selebgram diundang untuk “sosialisasi”.
    Srimulat pernah membuat kita tertawa karena jarak antara panggung dan realitas; kini republik membuat kita khawatir karena jarak itu menghilang.
    Di belakang lakon selalu ada sutradara. Ia tak tertawa; ia menghitung durasi, mengatur lampu, memutus siapa boleh bicara.
    Kuasa di republik ini cenderung memilih mode lawak: menutup blunder dengan musik organ tunggal, mengganti skandal dengan gimik kuliner, atau mencuri fokus menggunakan topik “guyon” tentang penasihat spiritual presiden.
    Kini, kekuasaan itu juga menghibur dengan hukum. Di tengah vonis yang baru saja dijatuhkan kepada seorang terdakwa korupsi, Istana menggelar pertunjukan lain: pemberian amnesti dan abolisi.
    Bukan untuk para penyair pengkritik, bukan bagi aktivis pembela lingkungan, tetapi kepada mereka yang jejak pidananya terekam dalam gegap gempita persidangan.
    Hukum dijahit ulang di ruang belakang, diserahkan dengan senyum. Bukan keadilan yang mengantar pulang, melainkan kuasa yang membebaskan.
    Satu tanda tangan mengalahkan ribuan lembar berkas dakwaan. Seperti guyon Srimulat: salah bukan soal bukti, tapi siapa yang pegang mikrofon.
    Dalam hening, korupsi berganti kostum menjadi amal, nepotisme menyerupai “legacy”, dan sensor dikemas sebagai “moderasi konten”.
    Namun, panggung hidup karena penonton. Kita, para pembayar tiket yang dipungut lewat pajak, kerap tergoda ikut tertawa.
    Ada rasa lega ketika komedi menanggalkan kemarahan. Tapi di antara derai tawa itu, ada sepasang mata anak muda yang baru di-PHK—dari 9,9 juta pengangguran terbuka menurut data BPS (Mei 2025); ada petani yang benihnya tergadai—di tengah utang sektor pertanian yang menembus Rp 82 triliun; ada perawat kontrak yang gagal jadi ASN—dari 160.000 tenaga kesehatan non-ASN yang masih menunggu kepastian.
    Mereka ikut menepuk tangan, meski dalam hati penuh denting cemas.
    Republik Srimulat membuat rakyat terhibur sesaat, lalu pulang membawa keresahan yang dilipat rapi di saku.
    Srimulat lahir di era yang serba sumbing—masa ketika tertawa menjadi bentuk perlawanan halus.
    Dalam desingan kontrol politik, mereka menyelipkan sindiran pada hegemoni feodal dan represi militer.
    Kini, kita mewarisi memori itu, tapi lupa menggigit. Lelucon dibiarkan tanpa dendam: ia menguap sebagai hiburan
    streaming
    , bukan pengingat luka.
    Padahal humor sejatinya tajam, seperti pisau dapur yang sanggup mengupas kesewenang-wenangan. Tanpa ingatan, tawa meluruh jadi tepuk tangan otomatis, kehilangan subversi.
    Kebijakan hari ini kerap dibungkus kosa kata lucu: “pemutihan lahan”, “penataan ulang tarif”, “relaksasi pajak dosa”, “digitalisasi santai”. Bahasa meninabobokkan akal.
    Seperti pernah disindir Goenawan Mohamad, kata-kata dapat membentuk pagar tak kasatmata yang membatasi cara kita melihat kenyataan.
     
    Republik Srimulat mengganti debat serius dengan lelucon berbumbu slogan. Percakapan publik menari di atas jargon, sementara detail pasal diselipkan sunyi di lembar penjelasan. Ketika kata kehilangan beban, hukum pun kehilangan gravitasinya.
    Ada ironi besar: semakin banyak panggung humor, semakin tipis ruang tertawa bebas. Komika dipanggil polisi—seperti Mamat Alkatiri yang dilaporkan karena materi lawaknya soal “polisi dan candaan narkoba” (Mei 2023); karikaturis ditangkap—seperti kasus “Putik” di Pamekasan (Januari 2024) yang sketsanya dianggap menghina tokoh publik; warga dituntut UU ITE karena unggahan meme.
    Negara memproduksi candaan, tapi takut pada tawa yang tak ia kendalikan. Di sini, gelak tawa resmi adalah tanda kesetiaan; tawa liar dianggap makar.
    Maka republik ini bagai badut yang melarang lelucon. Kita dipaksa tertawa pada waktu yang tepat, dengan volume yang diukur, demi menjaga kesepakatan sandiwara.
    Meski begitu, harap berderak seperti kayu panggung tua. Di sela skenario, muncul generasi yang menyusun satire baru: kanal YouTube investigatif, puisi di media sosial, film indie yang menggulung fakta dalam absurditas.
    Mereka mengembalikan fungsi humor sebagai lampu sorot, bukan sekadar kembang api. Dalam naskah baru itu, rakyat bukan hanya penonton; mereka penulis, sutradara, sekaligus auditor kebenaran.
    Jika panggung resmi terus mengulang kelakar usang, publik akan menciptakan teater alternatif—tanpa gincu palsu dan tawa kalengan.
    Republik Srimulat mungkin tak bisa menghapus derita, tetapi ia mengingatkan: ketawa adalah hak politik, dan guyon bisa lebih dalam dari pidato.
    Ketika lakon kekuasaan semakin menyerupai dagelan, cara paling waras adalah menertawakan sekaligus menelanjangi.
    Namun hari-hari ini, panggung itu menawarkan pertunjukan baru yang getir: seseorang divonis, dan tak lama kemudian dihapuskan oleh surat sakti dari Istana.
    Abolisi tak pernah dibahas publik, amnesti tak sempat ditimbang publik. Dalihnya hukum, tapi lakonnya guyon. Seolah negara ini bersandiwara sampai akhir babak.
    Lelucon yang baik tak berhenti pada
    punchline
    ; ia mendorong kita bangkit, menata ulang panggung, menulis dialog yang lebih jujur.
    Suatu hari, barangkali, kita menyaksikan pertunjukan baru—di mana tawa bukan kamuflase, melainkan tanda bahwa pemerintah dan rakyat sama-sama manusia. Dan ketika tirai tertutup, kita pulang tanpa rasa diperdaya.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Ipemi dorong pengurus di Jepang jembatani ekspor kreasi Muslimah RI

    Ipemi dorong pengurus di Jepang jembatani ekspor kreasi Muslimah RI

    Kami berharap Ipemi Jepang terus menjembatani kreasi pengusaha Muslimah Indonesia di Negeri Sakura

    Jakarta (ANTARA) – Ketua Umum Pengurus Pusat (PP) Ikatan Pengusaha Muslimah Indonesia (Ipemi) Ingrid Kansil mendorong pengurus luar negeri di Jepang untuk menjadi jembatan promosi dan ekspor berbagai produk kreatif Muslimah Indonesia agar mampu menembus pasar global.

    “Kami berharap Ipemi Jepang terus menjembatani kreasi pengusaha Muslimah Indonesia di Negeri Sakura,” kata Ingrid seusai melantik Pengurus Pusat Luar Negeri (PPLN) Ipemi Jepang sebagaimana keterangan di Jakarta, Senin.

    Ingrid mengapresiasi PPLN Ipemi Jepang yang selama ini sudah berkontribusi besar. Tidak hanya bagi anggota Ipemi, tetapi juga perekonomian Indonesia.

    “Saya menyampaikan terima kasih kepada para pengurus Ipemi Jepang yang selama ini telah berkiprah dan menjalankan program-program. Khususnya dalam mempromosikan Indonesia di Jepang,” ujar Ingrid.

    Dia menilai peran PPLN Ipemi sangat penting bagi kinerja ekspor dan penerimaan devisa. Mengingat, salah satu tujuan keberadaan PPLN Ipemi Jepang adalah sebagai fasilitator kreasi para Muslimah Indonesia.

    Selain itu, kegiatan yang telah dilakukan PPLN Ipemi Jepang adalah bersinergi dengan Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI), dan Pemerintah Negeri Sakura di beberapa wilayah.

    Konkretnya, PPLN Ipemi Jepang telah menyelenggarakan ajang tahunan, seperti Friendship Festival di Kota Tsukuba. Ajang itu bukan hanya menjadi ajang promosi budaya dan kuliner Indonesia.

    “Budaya Indonesia, seperti tarian tradisional, musik gamelan, dan cita rasa kuliner Nusantara dihadirkan dengan penuh cinta dan kebanggaan oleh diaspora Indonesia di Jepang,” tutur Ingrid.

    Baginya kegiatan itu sangat positif karena dapat mempromosikan produk-produk Indonesia di pasar global.

    Menurutnya, inisiatif menyelenggarakan Friendship Festival akan memperkuat fondasi kolaborasi dan menjadi tulang punggung hubungan bilateral Indonesia dengan Jepang.

    “Insya Allah keberadaan Ipemi di Jepang dan juga di beberapa negara lain dapat memiliki peran penting sebagai jembatan budaya dan ekonomi,” ucap Ingrid.

    Pelantikan PPLN Ipemi Jepang periode 2025-2028 digelar secara hybrid, Minggu (3/8). Meski digelar secara luring dan daring, pelantikan berjalan lancar. Adapun pembacaan SK pelantikan dilakukan Sekretaris Jenderal Ipemi Nurwahidah Saleh.

    Adapun pengurus PPLN Ipemi Jepang periode 2025-2028 yaitu, Ketua Nursari Okano; Wakil Ketua Nugraningsih Sri Wuryandari Tsurumaki; Sekretaris Titi Suhardini Wahidiati, dan Nalti Novianti; Bendahara Fitri Hariyani Goto, dan Yulis Nurhasanah Matsune

    Divisi IT Humpar (Informasi Teknologi & Humas Pariwisata) Leader yaitu Rahmayanti Emi Tetra, dan Wiwie Tanuwinata Okuyama. Vice Leader yaitu Yukiko Akamatsu, Meiwaty Tanjung Koike, dan Sri Hastinjngrum.

    Divisi Daklat (Dakwah, Pendidikan, & Pelatihan) Leader yaitu Purwati Kasmaja, dan Rieska Oktavia. Vice Leader yaitu Usnuk Hotimah Miyazawa dan Neng Yumi

    Divisi Sesbudsanpang (Seni Budaya & Sandang Pangan) Leader yaitu Yusnani Murakami, dan Melisa Dwi Jayanti. Vice Leader yaitu Anisa Suyatini Endo, dan Nurhanifah Omiya.

    Pewarta: Muhammad Harianto
    Editor: Agus Salim
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Pulau Raas, Rumah dan Mitos Sang Kucing Busok yang Terancam Punah
                
                    
                        
                            Surabaya
                        
                        12 Juli 2025

    Pulau Raas, Rumah dan Mitos Sang Kucing Busok yang Terancam Punah Surabaya 12 Juli 2025

    Pulau Raas, Rumah dan Mitos Sang Kucing Busok yang Terancam Punah
    Tim Redaksi
    SUMENEP, KOMPAS.com

    Kucing busok
    adalah
    kucing endemik
    yang berasal dari Kecamatan
    Pulau Raas
    , Kabupaten
    Sumenep
    , Jawa Timur.
    Warga percaya, kucing ini bukan sekadar hewan biasa, tetapi bagian dari identitas dan sejarah panjang Pulau Raas.
    Zainul Mujib, tokoh masyarakat dan aktivis pelestari
    kucing busok
    mengatakan, kucing busok mempunyai ciri fisik yang berbeda dari kucing pada umumnya.
    Di antaranya, kaki depan kucing busok yang sedikit lebih pendek dari kaki belakang, sehingga posturnya tampak menanjak saat berjalan.
    “Bentuk wajahnya segitiga, bukan bulat atau oval seperti kucing biasa, sorot matanya tajam,” kata Zainul Mujib di Sumenep kepada
    Kompas.com
    , Sabtu (12/7/2025).
    Zainul Mujib menambahkan, tubuh kucing busok ramping dan berotot, dengan gerakan yang lincah dan bentuk tubuh yang mirip leopard.
    “Tapi tak semua kucing berbulu abu-abu disebut kucing busok, kucing busok mempunyai karakteristik fisik yang khas,” tambah dia.
    Hampir semua desa di Pulau Raas memiliki kucing busok, namun populasinya paling banyak ditemukan di Desa Ketupat.
    Ada banyak mitos tentang kucing busok, salah satunya tentang kucing bertanduk di Desa Ketupat.
    Warga percaya kucing itu pernah terlihat di dekat sumur tua yang masih ada sampai sekarang.
    “Katanya, di situ terdengar suara gamelan setiap malam Jumat, meski tak ada satu pun orang yang memainkannya,” ungkap dia.
    Mitos lain menyebutkan, perjaka atau orang yang belum menikah dilarang membawa kucing busok keluar pulau karena kapal bisa tenggelam.
    “Meski belum terbukti secara ilmiah, cerita ini terus hidup dari mulut ke mulut di Pulau Raas,” jelas dia.
    Pada masa lalu, terang Zainul Mujib, kucing busok kerap dijadikan hadiah untuk para pejabat yang berkunjung ke Pulau Raas.
    Hadiah itu sebagai simbol penghormatan dari warga.
    Sementara itu, Camat Raas, Subiyakto menyebut, hingga kini belum ada penangkaran khusus untuk kucing busok, sehingga mereka hidup secara liar.
    Karena belum ada perlindungan resmi, populasi kucing busok terus menurun dan saat ini hanya tersisa sekitar 200-500 ekor ras murni, dan terancam punah.
    “Kalau penangkaran belum ada, ancaman kepunahan tentu saja ada jika tidak dilindungi dengan baik dan berkesinambungan,” tutur dia.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Wayang Timplong, Kesenian Wayang Asli Nganjuk yang Terancam Punah

    Wayang Timplong, Kesenian Wayang Asli Nganjuk yang Terancam Punah

    Selain disebut wayang timplong, orang Nganjuk juga menyebutnya dengan nama wayang kricik karena saat dimainkan menimbulkan bunyi kricik-kricik. Banyak pula yang menyebutnya dengan nama wayang gung karena kesan bunyi kempul pada gamelan.

    Berakar dari wayang klithik, beberapa orang memasukkan wayang timplong sebagai salah satu varian wayang klithik. Namun, ada pula yang beranggapan berbeda karena menganggap keduanya memiliki beberapa perbedaan mendasar.

    Wayang timplong dibuat dari kayu sengon laut atau mentaos. Tak seperti wayang kulit, bentuk wayang timplong yang pipih tampil tanpa ukiran. Adapun bagian tangannya terbuat dari kulit binatang.

    Sebagai penekanan wajah dan karakter, wajah wayang timplong ditandai dengan pemberian warna hitam dan putih. Dalam satu pagelaran terdapat sekitar 70 tokoh wayang. Jumlah tersebut meliputi beberapa tokoh, binatang, dan senjata. Namun yang pakem tokohnya ada sembilan, yakni tokoh Ksatria (prajurit), Satria Muda, Putri Sekartaji, Ratu (Putri), Panji, Satrio Sepuh, Patih, Tumenggung, dan Ratu (Kediri, Majapahit, Jenggala).

    Tokoh-tokoh wayang timplong tak memiliki penokohan khusus, kecuali Panji, Sekartaji, dan Kilisuci. Sedangkan tokoh lainnya hanya sebagai pemeran biasa. Selain itu, terdapat dua Panakawan, yakni Kedrah dan Gethik Miri.

    Wayang timplong dimainkan oleh seorang dalang dengan dibantu lima orang panjak atau pemain gamelan. Pagelaran wayang timplong tidak ada pesinden untuk mengiringi pementasan.

     

  • Jathilan, Ketika Kuda Menari Hingga Arwah Menyelinap di Panggung Budaya Yogyakarta

    Jathilan, Ketika Kuda Menari Hingga Arwah Menyelinap di Panggung Budaya Yogyakarta

    Liputan6.com, Jakarta – Di balik hiruk-pikuk kota Yogyakarta yang dikenal sebagai pusat seni dan budaya Jawa, tersimpan sebuah kesenian tradisional yang bukan hanya memukau mata tetapi juga mengguncang jiwa penontonnya.

    Jathilan lebih dari sekadar pertunjukan tari biasa, Jathilan adalah perwujudan dari semangat mistik, kekuatan supranatural, serta warisan budaya yang sarat akan makna dan simbolisme.

    Tarian ini menggunakan properti berupa kuda tiruan yang terbuat dari anyaman bambu, yang disebut kuda lumping, dan dimainkan oleh para penari yang menirukan gerakan kuda dengan irama musik gamelan yang menghentak dan penuh dinamika. Meski tampak sederhana di permukaan, Jathilan menyimpan lapisan-lapisan makna yang lebih dalam, mulai dari semangat keprajuritan, pengorbanan, hingga percampuran antara dunia manusia dan dunia gaib.

    Penonton tidak hanya disuguhi gerakan-gerakan lincah dan atraktif, tetapi juga diselimuti atmosfer magis, apalagi ketika penari mengalami kesurupan atau trance, yang menjadi ciri khas tak terpisahkan dari pertunjukan ini.

    Jathilan sangat populer di wilayah Yogyakarta dan sering kali ditampilkan dalam berbagai acara, baik yang bersifat sakral seperti upacara adat, bersih desa, hingga acara hiburan rakyat atau festival budaya.

    Dalam pertunjukan Jathilan, penonton akan melihat barisan penari laki-laki maupun perempuan yang menari dengan membawa kuda lumping di bawah terik matahari atau sorotan lampu malam, mengikuti irama kendang, gong, kenong, dan suling yang berpadu menciptakan suasana yang meriah sekaligus menegangkan.

    Namun momen yang paling dinanti-nanti adalah ketika beberapa penari mulai menunjukkan tanda-tanda kesurupan. Mereka menari dengan mata nanar, tubuh gemetar, dan mulut mengucapkan kata-kata yang tidak dapat dimengerti.

    Dalam kondisi ini, mereka sering kali melakukan hal-hal yang di luar batas kewajaran, seperti makan pecahan kaca, mengunyah bunga, bahkan memakan ayam hidup sebuah fenomena yang bagi masyarakat awam tampak mengerikan, namun justru diyakini sebagai bukti kehadiran kekuatan supranatural yang merasuki tubuh sang penari.

  • Gubernur Jabar minta Pemkot Cirebon benahi infrastruktur kota

    Gubernur Jabar minta Pemkot Cirebon benahi infrastruktur kota

    Gubernur Jabar Dedi Mulyadi (kiri) saat menghadiri rapat paripurna istimewa Hari Jadi ke-598 Cirebon di DPRD Kota Cirebon, Jawa Barat, Sabtu (28/6/2025). ANTARA/Fathnur Rohman.

    Gubernur Jabar minta Pemkot Cirebon benahi infrastruktur kota
    Dalam Negeri   
    Editor: Widodo   
    Sabtu, 28 Juni 2025 – 22:09 WIB

    Elshinta.com – Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi meminta Pemerintah Kota Cirebon, Jabar, untuk membenahi infrastruktur serta mempercantik wajah kota agar mampu menjadi destinasi yang nyaman dan menarik bagi masyarakat.

    “Kota itu jalannya harus mulus, trotoarnya tertata artistik, dan pencahayaannya rapi. Itu yang akan membuat kota hidup dan disukai banyak orang,” kata Dedi di Gedung DPRD Kota Cirebon, Sabtu.

    Menurut dia, pembangunan fisik dan estetika kota harus menjadi skala prioritas selain transparansi anggaran daerah yang menjadi dasar perencanaan program pembangunan.

    Ia mengungkapkan telah berdiskusi terbuka dengan Wali Kota Cirebon dan mengajaknya untuk membuka data anggaran daerah kepada publik demi efektivitas penggunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

    “Dengan APBD dibuka, masyarakat tahu belanja daerah dipakai untuk apa. Kalau terbuka, pembangunan infrastruktur akan lebih optimal,” ujarnya.

    Dedi pun berjanji akan membantu Pemkot Cirebon lewat tim arsitek, untuk merancang desain pencahayaan dan penataan kota agar memiliki identitas visual yang khas.

    Tidak hanya soal infrastruktur, ia pula menyoroti kondisi sungai yang kotor dan pedagang kaki lima yang belum tertata, padahal keduanya bisa ditata secara terintegrasi.

    “Pedagang bisa ditata dan diberi ciri khas. Misalnya, hari tertentu pakai baju khas Cirebon. Hotel-hotel pun harus menghidupkan budaya lokal seperti gamelan,” ujarnya.

    Ia menilai kota yang bersih dan tertata bisa memberikan rasa nyaman, serta memiliki daya tarik wisatawan, apalagi letak Cirebon strategis karena dekat dengan jalan tol.

    Dedi pun menyampaikan keindahan kota juga harus ditunjang oleh perbaikan rumah tidak layak huni, penataan sanitasi lingkungan, dan pemenuhan listrik untuk masyarakat kurang mampu.

    Tak kalah penting, kata dia, semua anak usia sekolah di Kota Cirebon harus mendapat akses pendidikan minimal jenjang SMA dan SMK, sebagai bagian dari pembangunan kota.

    “Kalau semua tertata kotanya indah, bersih, dan ramah saya yakin setiap akhir pekan orang akan datang ke Cirebon. Tinggal kita serius benahi,” kata dia.

    Terkait masalah sosial seperti kriminalitas dan peredaran obat terlarang, ia menegaskan perlunya penanganan dari akarnya, yakni kemiskinan dan lemahnya pengawasan.

    “Kalau orang mencuri, jangan langsung dihukum. Cari tahu sebabnya. Begitu juga soal eksimer atau ciu, harus dibongkar dan diumumkan ke publik siapa pelakunya,” ucap dia.

    Sumber : Antara

  • Gendang Beleq, Irama Sakral dari Lombok Menyuarakan Semangat dan Tradisi Leluhur

    Gendang Beleq, Irama Sakral dari Lombok Menyuarakan Semangat dan Tradisi Leluhur

    Makna Gendang Beleq tidak hanya sebatas pada pertunjukan musik atau hiburan semata. Ia membawa filosofi hidup masyarakat Lombok yang menjunjung tinggi solidaritas, kerja sama, dan penghormatan terhadap nilai-nilai spiritual.

    Dalam beberapa konteks upacara adat, seperti Nyongkolan prosesi pernikahan adat Sasak. Gendang Beleq menjadi pengiring utama rombongan pengantin pria yang berjalan menuju rumah mempelai wanita.

    Musik yang ditabuh bukan sekadar irama pengiring, melainkan doa dan restu yang dilantunkan melalui dentuman gendang dan irama gamelan. Dalam konteks lain seperti prosesi kematian atau Ngaben Sasak, Gendang Beleq justru menyuarakan penghormatan terakhir kepada arwah leluhur, mengiringi jiwa menuju alam baka dengan lantunan yang sarat makna spiritual.

    Kesakralan inilah yang menjadikan setiap nada dan gerakan dalam Gendang Beleq sebagai bahasa non-verbal yang dimengerti oleh hati, bukan hanya oleh telinga.Di tengah arus modernisasi dan gempuran budaya global, keberadaan Gendang Beleq tetap berdiri kokoh sebagai identitas budaya masyarakat Sasak.

    Pemerintah daerah maupun komunitas adat di berbagai desa di Lombok berupaya menjaga eksistensi kesenian ini melalui pelatihan generasi muda, festival budaya tahunan, hingga pengenalan dalam kurikulum muatan lokal di sekolah-sekolah.

    Beberapa komunitas Gendang Beleq bahkan berhasil tampil dalam ajang budaya internasional, membawa nama Lombok dan Indonesia ke panggung dunia. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun ia berakar dari tradisi masa lampau, Gendang Beleq tetap hidup dan relevan dalam lanskap budaya kontemporer.

    Ia bukan artefak yang diam di museum, melainkan jiwa yang terus berdenyut dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Lombok. Gendang Beleq bukan sekadar alat musik, ia menjadi salah satu warisan, doa, semangat, dan identitas.

    Di balik setiap dentuman gendang dan hentakan kaki para pemainnya, tersimpan kisah tentang keberanian, kebersamaan, dan keabadian nilai-nilai leluhur. Ia adalah bukti bahwa budaya bukan sesuatu yang mati, melainkan terus hidup dalam tubuh-tubuh yang menarikan tradisi, dalam tangan-tangan yang menabuh irama, dan dalam hati-hati yang setia menjaga pusaka warisan bangsa.

    Selama Gendang Beleq masih dimainkan, selama itu pula denyut budaya Sasak akan terus bergema, mengisi ruang-ruang kehidupan dengan harmoni, semangat, dan kebanggaan.

    Penulis: Belvana Fasya Saad