Bisnis.com, JAKARTA — Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menilai ekspansi produktivitas industri pengolahan atau manufaktur pada Agustus 2025 tak sepenuhnya menggambarkan kondisi riil lapangan, meski terdapat sinyal positif perbaikan.
Berdasarkan laporan S&P Global, Purchasing Managers Index (PMI) manufaktur Indonesia pada Agustus 2025 di level 51,5 atau ekspansi dari 4 bulan sebelumnya kontraksi di bawah ambang batas 50.
Ketua Umum Apindo Shinta W. Kamdani mengatakan, kondisi ekspansi yang disebutkan dalam laporan tersebut harus disikapi dengan tetap waspada. Pasalnya, laporan PMI manufaktur bukan volume output riil, melainkan indikator arah pergerakan ekonomi.
“Artinya, capaian ini lebih merupakan sinyal pemulihan awal daripada jaminan bahwa seluruh tantangan telah teratasi,” kata Shinta kepada Bisnis, Senin (1/9/2025).
Dalam laporan S&P Global disebutkan bahwa kondisi industri kembali bergairah dikarenakan pesanan baru dan output produksi yang mulai meningkat. Hal ini mendorong ekspansi dari fase kontraksi empat bulan sebelumnya.
Apindo melihat hal ini dengan optimistis. Namun, berhati-hati. Apalagi, Shinta menilai industri padat karya dan subsektor berorientasi ekspor belum sepenuhnya pulih karena masih menghadapi tantangan beban usaha yang tinggi dan ketidakpastian global.
“Jadi, PMI ini valid sebagai early indicator bahwa momentum pemulihan mulai berjalan, tetapi tidak berarti semua masalah struktural hilang,” jelasnya.
Di samping itu, dia juga menyebutkan terdapat tantangan seperti volatilitas rantai pasok, tekanan nilai tukar rupiah dan biaya operasional yang tinggi menjadi faktor yang mesti diatur kembali.
Kendati demikian, dia tak memungkiri laporan yang menyebutkan bahwa output dan pesanan baru kembali mencatat pertumbuhan untuk pertama kalinya dalam 5 bulan terakhir yang didorong oleh peluncuran produk baru, perolehan klien tambahan, serta meningkatnya permintaan, baik dari pasar domestik maupun internasional.
Temuan ini juga sejalan dengan Indeks Kepercayaan Industri (IKI), di mana komponen pesanan baru naik menjadi 57,38 pada Agustus dari 54,40 pada Juli 2025.
“Namun, penting untuk tetap memperhatikan indikator lain yang mencerminkan pembelian dan daya beli, seperti Indeks Harga Konsumen, Indeks Penjualan Ritel, Indeks Kepercayaan Konsumen, pertumbuhan kredit konsumsi, dan lain-lain, agar gambaran mengenai daya beli dan prospek permintaan domestik lebih komprehensif,” jelasnya.
Lebih lanjut, berdasarkan laporan PMI manufaktur Indonesia dari S&P Global, terdapat sejumlah dinamika penting terkait input pada Agustus. Dengan meningkatnya permintaan, terjadi peningkatan aktivitas pembelian sehingga stok bahan baku bertambah.
“Dari sisi harga, inflasi biaya input pada Agustus tercatat solid, tetapi tetap berada di bawah rata-rata jangka panjang dan masih menjadi yang terendah kedua dalam hampir 5 tahun terakhir,” jelasnya.
Dalam hal ini, kurs menjadi indikator penting yang menentukan karena industri nasional masih tergantung bahan baku impor. Pada paruh pertama Agustus 2025, rupiah sempat menguat signifikan terhadap dolar AS, dari Rp16.455 per dolar pada 1 Agustus menjadi Rp16.110 pada 15 Agustus.
Kendati demikian, penguatan ini tidak bertahan lama karena pada akhir bulan rupiah kembali melemah ke kisaran level awal. Fluktuasi tersebut menambah tekanan biaya bagi perusahaan yang bergantung pada bahan baku impor.
“Namun, kenaikan ini dikompensasi dengan peningkatan harga output pada laju yang lebih tinggi, bahkan tercatat sebagai yang tercepat sejak Juli 2024,” pungkasnya.







:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5331694/original/069995900_1756446283-1000014874.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)

