Produk: CPO

  • Kejagung Geledah 5 Tempat Terkait Kasus Korupsi Ekspor Limbah CPO

    Kejagung Geledah 5 Tempat Terkait Kasus Korupsi Ekspor Limbah CPO

    Bisnis.com, JAKARTA — Kejaksaan Agung (Kejagung) menyatakan telah menggeledah lima tempat terkait dengan dugaan korupsi ekspor Palm Oil Mill Effluent (POME) Bea Cukai pada 2022.

    Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Anang Supriatna mengatakan dari lima tempat itu ada rumah pejabat Bea Cukai.

    “Yang lima titik itu di antaranya kantor Dirjen Bea Cukai, juga ada rumah, tapi saya tidak hafal detailnya, tapi yang jelas lebih dari lima titik,” ujarnya di Kejagung, Selasa (28/10/2025).

    Dia menambahkan, lokasi penggeledahan itu juga dilakukan di luar Jakarta. Hanya saja, Anang tidak menjelaskan secara jelas pihak-pihak yang digeledah itu, termasuk duduk perkara kasusnya.

    Namun demikian, Anang menyampaikan bahwa pihaknya akan terus melakukan upaya hukum seperti pemanggilan saksi dalam perkara ekspor limbah CPO ini.

    “Saksi sudah diperiksa, penggeledahan sudah, pokoknya ketika melakukan upaya paksa dan salah satunya penggeledahan langkah hukum ini pastinya saksi-saksi sudah ada yang diperiksa, sudah pasti itu,” imbuhnya.

    Di samping itu, Anang juga menyatakan bahwa pihaknya telah menggandeng pihak terkait seperti BPKP atau BPK untuk menghitung kerugian negara kasus POME 2022.

    “Sedang berproses dengan apa, yang mempunyai kompetensi yaitu tentunya BPKP atau BPK,” pungkasnya.

  • B50 Bakal Ganggu Pasokan Minyak Goreng? Bahlil: Tinggal Ekspor Kita Kurangi

    B50 Bakal Ganggu Pasokan Minyak Goreng? Bahlil: Tinggal Ekspor Kita Kurangi

    Jakarta

    Rencana pemerintah menerapkan biodiesel 50% (B50) atau campuran BBM jenis solar dengan 50% minyak sawit disebut bakal mengganggu pasokan minyak goreng Indonesia.

    Menanggapi hal tersebut, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia menegaskan bahwa anggapan tersebut tidak benar. Menurutnya B50 ini hanya akan mengurangi jumlah ekspor crude palm oil (CPO) saja.

    “Nggak ada, nggak ada isu itu. Ini kan persoalannya adalah kalau kita memakai B50, tinggal ekspor kita yang kita kurangi untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri,” kata Bahlil usai menghadiri acara Sarasehan 100 Ekonom Indonesia di Menara Bank Mega, Jakarta Selatan, Selasa (28/10/2025).

    Bahlil mengatakan, jika ekspor CPO yang bakal dikurangi untuk memfasilitasi B50, maka pemerintah akan menyiapkan kebijakan pengaturan antara kebutuhan dalam negeri dan luar negeri, termasuk kemungkinan penerapan Domestic Market Obligation (DMO) untuk sawit. Namun ia menegaskan bahwa penerapan DMO masih dalam opsi.

    “Kita akan lihat itu salah satu alternatif,” katanya.

    Kemudian, Bahlil mengatakan langkah yang bakal dilakukan lainnya yakni memaksimalkan produksi CPO yang ada, dan memungkinkan adanya pembukaan lahan baru.

    “Kedua, kita meningkatkan produksi dengan intensifikasi. Yang ketiga kita nambah lahan. Udah itu aja,” katanya.

    Lihat juga Video: Inovasi Minyak Goreng Bekas Jadi Biodiesel-Bahan Bakar Pesawat

    (ara/ara)

  • Bahlil Ungkap RI Impor Solar Cuma 4,9 Juta KL Gara-gara Biodiesel

    Bahlil Ungkap RI Impor Solar Cuma 4,9 Juta KL Gara-gara Biodiesel

    Jakarta

    Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia mengungkapkan konsumsi solar saat ini berada di kisaran 34-35 juta ton kiloliter (KL) per tahun. Dari jumlah tersebut, impornya tinggal 4,9 juta KL.

    Kecilnya angka impor solar dikarenakan penerapan campuran biodiesel pada Bahan Bakar Minyak (BBM) solar.

    “Solar kita impor itu tinggal 4,9 juta ton kiloliter per tahun. Kenapa itu terjadi? Karena kita itu mampu melakukan transformasi ke biodiesel. Konsumsi solar per tahun 34-35 juta ton. Jadi, sekarang tinggal 4,9 juta ton kiloliter per tahun,” katanya dalam acara Sarasehan 100 Ekonom Indonesia di Menara Bank Mega, Jakarta Selatan, Selasa (28/10/2025).

    Bahlil mengatakan saat ini program campuran biodiesel pada solar sudah mencapai 40% atau B40 dan sedang menuju B50. Langkah ini dilakukan agar Indonesia terbebas dari impor solar.

    “Sekarang tinggal 4,9 juta ton per tahun karena kita menuju kepada B40 dan B50,” katanya.

    B50 Diuji

    Sebelumnya, Bahlil mengatakan B50 sudah diuji coba tiga kali dan sudah memasuki tahap final. Uji coba terakhir ini membutuhkan waktu hingga 8 bulan.

    “Sekarang uji terakhir itu kan butuh waktu sekitar 6 bulan sampai 8 bulan kita uji di mesin kapal, kereta, alat-alat berat. Kalau semua sudah clear dan sudah keputusan untuk kita pakai B50, kalau sudah keputusan B50 maka insyaallah tidak lagi kita melakukan impor solar. 2026 insyaallah semester II, dalam agenda kita memang pemaparan saya dengan tim itu semester II,” katanya saat ditemui di Jakarta International Convention Center (JICC) Senayan, Jakarta Pusat, Kamis (9/10/2025).

    Pemerintah menjamin tidak akan kekurangan bahan baku B50, yaitu crude palm oil (CPO). Pasalnya, Indonesia merupakan negara pengekspor CPO terbesar di dunia.

    Selain itu, Bahlil mengatakan pemerintah bakal mengoptimalkan produksi CPO dan bakal ada pembukaan lahan baru. Namun ia mengakui bahwa pelaksanaan B50 akan mengurangi ekspor CPO Indonesia.

    “Kalau intensifikasi dan pembukaan lahan itu bagus ya tidak perlu mengurangi ekspor,” katanya.

    Lihat juga Video: Bahlil Tegaskan Tahun Depan RI Tak Lagi Impor Solar

    (ara/ara)

  • Di Balik Air Mata Hakim

    Di Balik Air Mata Hakim

    Di Balik Air Mata Hakim
    Praktisi Hukum
    BEBERAPA
    hari terakhir, publik dihebohkan pemberitaan tentang tangisan Hakim Effendi saat memimpin persidangan kasus dugaan suap yang melibatkan lima rekan sejawatnya sesama hakim.
    Mereka terjerat kasus pengurusan perkara korporasi ekspor minyak sawit mentah (Crude Palm Oil/CPO).
    Berbagai komentar bermunculan di media sosial, mulai dari simpati hingga mencibir. Ada yang mempertanyakan profesionalitas, ada pula yang menganggap sebagai sandiwara.
    Namun, izinkan saya untuk memberikan perspektif yang lebih utuh tentang peristiwa ini.
    Air mata Hakim Effendi bukanlah tanda kelemahan atau ketidakprofesionalan. Sebaliknya, tangisan tersebut justru menunjukkan integritas seorang hakim yang sangat memahami beratnya tanggung jawab yang diembannya.
    Hakim Effendi secara terbuka menyampaikan pernyataan: “Selama saya jadi hakim, inilah persidangan yang berat buat saya,” dan “Seluruh angkatan kita menengok ke kita sekarang. Mungkin saya akan dihujat, tapi tugas negara ini harus saya emban.
    Dari pernyataan tersebut kita menyaksikan seorang hakim yang sedang berdiri di persimpangan antara hubungan personal dan kewajiban konstitusional.
    Hakim Effendi mengenal baik beberapa terdakwa. Bahkan dengan Muhammad Arif Nuryanta, ia pernah sama-sama bertugas di Provinsi Riau—Effendi sebagai Ketua PN Dumai dan Arif sebagai Ketua PN Pekanbaru.
    Mereka merintis karier bersama, mengikuti pendidikan dan pelatihan hakim bersama-sama. Dalam konteks profesi hakim di Indonesia, hal seperti ini bukan sesuatu yang langka.
    Pertanyaan pentingnya kemudian: Mengapa Hakim Effendi tidak mengundurkan diri dari perkara ini?
    Dalam Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH), terdapat prinsip-prinsip fundamental yang harus dijaga oleh setiap hakim, terutama prinsip independensi dan ketidakberpihakan (
    impartiality
    ).
    Hakim harus mengundurkan diri (
    recuse
    ) dari suatu perkara jika:
    Hubungan pertemanan atau habituasi (kebiasaan bertemu) sesama hakim, sepanjang tidak ada kepentingan pribadi atau keterlibatan langsung, tidak secara otomatis mewajibkan seorang hakim untuk
    recuse.
    Ini adalah perbedaan penting yang perlu dipahami publik.
    Yang harus ditekankan adalah: apakah hakim tersebut mampu bersikap adil dan tidak berpihak meskipun ada hubungan personal? Inilah esensi sejati dari independensi peradilan.
    Perlu diketahui publik bahwa Hakim Effendi adalah Wakil Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Dalam posisinya, ia sebenarnya bisa menugaskan hakim lain untuk memimpin persidangan ini.
    Namun, ia memilih untuk terjun langsung memimpin majelis hakim yang mengadili kasus ini. Keputusan ini bukan sembarangan. Ini adalah pilihan yang sangat sadar dan penuh perhitungan moral.
    Sebagai pimpinan pengadilan, ia memilih untuk “lead from the front” memimpin dari garis depan, bukan dari balik meja. Ini menunjukkan beberapa hal penting.
    Pertama, sebagai Wakil Ketua PN, Hakim Effendi memahami bahwa kasus ini bukan hanya soal lima hakim yang didakwa, tetapi juga tentang kredibilitas institusi peradilan secara keseluruhan.
    Dengan terjun langsung, ia menunjukkan bahwa pimpinan tidak lepas tangan dalam menghadapi kasus internal yang sensitif.
    Kedua, keputusan ini menunjukkan prinsip
    accountability
    di level tertinggi. Mudah bagi seorang pimpinan untuk mendelegasikan perkara yang berat dan sensitif kepada bawahan.
    Jauh lebih berani untuk mengambil tanggung jawab langsung, terutama ketika ada risiko dikritik dan dihujat.
    Ketiga, ini adalah bentuk kepemimpinan transformatif dalam reformasi peradilan. Ketika pimpinan sendiri yang memimpin proses “pembersihan internal”, ini mengirimkan pesan kuat: tidak ada toleransi untuk korupsi, tidak peduli setinggi apa posisi atau sedekat apa hubungan personal.
    Keputusan Hakim Effendi untuk tidak mengundurkan diri dan bahkan memilih terjun langsung justru menunjukkan komitmen pada prinsip “tidak ada yang kebal hukum” (
    equality before the law
    ).
    Ia memilih jalan yang paling berat: membuktikan bahwa sistem peradilan Indonesia mampu mengadili siapa pun, termasuk hakim-hakim yang menyalahgunakan kewenangannya, tanpa pandang bulu—dan pemimpin institusi yang memimpin langsung proses ini.
    Bayangkan jika setiap hakim yang kebetulan mengenal terdakwa sesama hakim harus mengundurkan diri—maka hampir tidak akan ada hakim yang bisa mengadili kasus-kasus internal peradilan ini.
    Lebih jauh lagi, bayangkan jika pimpinan pengadilan hanya mendelegasikan tanpa terjun langsung—publik akan mempertanyakan keseriusan institusi dalam berbenah.
    Air mata yang mengalir di ruang sidang Hatta Ali itu adalah bukti bahwa Hakim Effendi sangat menyadari beratnya amanah yang dipikulnya.
    Sebagai Wakil Ketua PN, ia tahu bahwa keputusan ini akan diawasi lebih ketat lagi. Ia tahu bahwa ia akan dikritik dari berbagai pihak.
    Namun, ia memilih untuk tetap memimpin langsung karena itulah tugasnya, itulah sumpah jabatannya, dan itulah yang dituntut dari seorang pemimpin sejati.
    Perlu dipahami bahwa hakim adalah manusia. Kode Etik Hakim tidak melarang hakim untuk memiliki perasaan—yang dilarang adalah membiarkan perasaan tersebut memengaruhi putusan secara tidak adil.
    Reaksi emosional Hakim Effendi di awal persidangan justru menunjukkan transparansi dan kejujuran. Ia tidak menyembunyikan perasaannya. Namun di saat yang sama, ia menegaskan komitmennya untuk tetap profesional.
    Persidangan tetap berjalan sesuai prosedur hukum acara. Pemeriksaan tetap dilakukan dengan seksama. Hak-hak terdakwa tetap dilindungi.
    Bahkan, dalam perkembangan persidangan selanjutnya, para terdakwa mengakui perbuatan mereka. Ini menunjukkan bahwa proses peradilan berjalan sebagaimana mestinya—bukan karena “teman mengadili teman”, tetapi karena bukti dan fakta hukum yang terungkap di persidangan.
    Kasus ini sebenarnya adalah momen bersejarah bagi peradilan Indonesia. Ini adalah bukti nyata bahwa lembaga peradilan tidak melindungi oknum-oknumnya yang melakukan pelanggaran berat.
    Tidak ada “korps-koropsan” dalam penegakan hukum. Tidak ada perlindungan bagi siapa pun yang mengkhianati sumpah jabatannya, betapa pun tinggi posisinya atau dekatnya hubungan personal.
    Yang lebih penting lagi: reformasi ini dipimpin langsung oleh pimpinan pengadilan. Ini bukan sekadar delegasi tugas kepada hakim bawahan. Ini adalah bentuk kepemimpinan yang bertanggung jawab, yang berani mengambil risiko reputasional demi integritas institusi.
    Hakim-hakim yang terbukti menerima suap ini sedang diadili di pengadilan yang selama ini mereka pimpin. Mereka duduk di kursi terdakwa yang dulu mereka gunakan untuk mengadili orang lain.
    Dan yang memimpin persidangan adalah wakil ketua pengadilan mereka sendiri—bukan orang luar, bukan hakim dari pengadilan lain, tetapi dari institusi yang sama. Ini adalah implementasi nyata dari prinsip ”
    justice must not only be done, but must also be seen to be done.

    Air mata Hakim Effendi adalah simbol dari reformasi peradilan yang tidak mudah, penuh dilema moral, tetapi harus tetap dijalankan oleh mereka yang memiliki tanggung jawab kepemimpinan.
    Ini adalah bukti bahwa institusi peradilan mampu berbenah dari dalam, dipimpin oleh pemimpinnya sendiri, dan mampu membuktikan komitmennya pada keadilan.
    Ada beberapa pembelajaran penting yang dapat kita petik dari peristiwa ini.
    Pertama, independensi peradilan bukan berarti hakim harus seperti robot tanpa perasaan. Independensi bermakna kemampuan untuk bersikap adil meskipun ada tekanan emosional atau tekanan eksternal.
    Kedua, integritas diuji justru pada saat-saat tersulit. Mudah untuk menjatuhkan vonis pada orang yang tidak kita kenal. Jauh lebih berat untuk tetap adil pada orang yang kita kenal, tapi di situlah integritas sejati diuji.
    Ketiga, kepemimpinan sejati ditunjukkan bukan pada saat mudah, tetapi pada saat sulit. Hakim Effendi sebagai Wakil Ketua PN bisa saja mendelegasikan perkara ini, tetapi ia memilih memimpin langsung. Inilah kepemimpinan yang bertanggung jawab.
    Keempat, transparansi emosi tidak sama dengan ketidakprofesionalan. Justru dengan mengungkapkan perasaannya secara terbuka, Hakim Effendi menunjukkan kejujuran dan tidak ada yang disembunyikan dari publik.
    Kelima, sistem peradilan Indonesia menunjukkan bahwa reformasi internal adalah mungkin, dan lebih bermakna ketika dipimpin dari dalam oleh para pemimpinnya sendiri. Tidak perlu menunggu intervensi eksternal—peradilan mampu membersihkan dirinya sendiri.
    Kepada publik yang telah mengikuti perkara ini, saya mengajak kita semua untuk melihat gambaran yang lebih besar.
    Ya, hakim adalah manusia yang bisa menangis. Namun, tangisan itu bukan tanda kelemahan—itu adalah tanda kesadaran akan tanggung jawab yang luar biasa berat, terlebih ketika ia adalah seorang pemimpin yang memilih untuk tidak bersembunyi di balik delegasi.
    Kepada mereka yang mencibir, saya ingin bertanya: Pernahkah Anda berada dalam posisi harus membuat keputusan yang akan menyakiti orang-orang yang Anda sayangi, demi prinsip yang lebih besar?
    Pernahkah Anda, sebagai pemimpin, harus memilih antara mendelegasikan tanggung jawab berat kepada bawahan atau mengambilnya sendiri, meski akan dikritik habis-habisan?
    Jika ya, mungkin Anda akan memahami beban yang dipikul oleh Hakim Effendi.
    Kepada media massa, saya menghimbau agar pemberitaan tentang proses peradilan dilakukan secara utuh dan berimbang.
    Fokus bukan hanya pada momen emosional, tetapi juga pada konteks kepemimpinan dan makna pentingnya bagi reformasi peradilan Indonesia.
    Fakta bahwa seorang Wakil Ketua PN terjun langsung memimpin persidangan ini adalah berita yang sama pentingnya dengan air mata yang mengalir.
    Kasus ini bukan hanya tentang lima hakim yang tersandung korupsi. Ini tentang sistem peradilan yang berani mengadili dirinya sendiri.
    Ini tentang seorang pemimpin yang memilih jalan terberat dan tidak mendelegasikan tanggung jawab moral.
    Ini tentang hakim yang memilih keadilan di atas kenyamanan personal. Dan ini tentang kita semua sebagai bangsa yang harus memahami bahwa keadilan sejati membutuhkan pengorbanan, termasuk pengorbanan emosional dari mereka yang memimpin.
    Sidang tuntutan dijadwalkan pada 29 Oktober 2025. Majelis hakim yang dipimpin oleh Wakil Ketua PN Jakarta Pusat harus memutus berdasarkan fakta hukum yang terungkap di persidangan, bukan berdasarkan hubungan personal.
    Mari kita dukung proses peradilan yang sedang berjalan. Mari kita berikan kepercayaan kepada sistem untuk membuktikan dirinya mampu berbenah, dipimpin oleh pemimpinnya sendiri yang tidak lari dari tanggung jawab.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Sosok Rudi Mas'ud, Ingin Provinsi Terlibat Susun APBN usai Jabat Ketua APPSI
                
                    
                        
                            Regional
                        
                        24 Oktober 2025

    Sosok Rudi Mas'ud, Ingin Provinsi Terlibat Susun APBN usai Jabat Ketua APPSI Regional 24 Oktober 2025

    Sosok Rudi Masud, Ingin Provinsi Terlibat Susun APBN usai Jabat Ketua APPSI
    Tim Redaksi
    SAMARINDA, KOMPAS.com
    – Gubernur Kalimantan Timur Rudi Mas’ud resmi terpilih sebagai Ketua Asosiasi Pemerintah Provinsi Seluruh Indonesia (APPSI) periode 2025–2029 melalui keputusan aklamasi.
    Rudi menegaskan komitmennya untuk memperkuat peran pemerintah daerah dalam proses penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), sehingga kebijakan fiskal nasional bisa lebih adil dan sesuai kebutuhan tiap provinsi.
    “Provinsi tidak hanya menjadi penikmat kebijakan. Kita juga harus berkontribusi dalam penyusunan APBN, dana transfer pusat, dan kebijakan yang menyangkut fiskal,” ujar Rudi di Samarinda, Jumat (24/10/2025).
    Rudi menegaskan bahwa APPSI akan berperan penting dalam memperkuat posisi kepala daerah di forum musyawarah perencanaan dan penganggaran nasional.
    Ia ingin agar seluruh provinsi dilibatkan sejak tahap awal penyusunan anggaran untuk memastikan keadilan pembangunan di seluruh Indonesia.
    “Daerah harus dilibatkan sejak penyusunan anggaran agar keadilan pembangunan terwujud,” ucapnya.
    Rudi mengatakan, di bawah kepemimpinannya, APPSI akan lebih aktif memastikan sinergi kebijakan antara pemerintah pusat dan daerah berjalan lebih adil dan merata.
    Ia menyebut, komunikasi yang baik antara kedua tingkat pemerintahan menjadi kunci agar aspirasi daerah benar-benar terwakili dalam perencanaan nasional.
    Menurutnya, melalui forum resmi seperti APPSI, kepala daerah dapat menyampaikan masukan langsung ke pemerintah pusat berdasarkan kondisi faktual di lapangan.
    “Kita bersama-sama ingin berikan kontribusi atas situasi negara hari ini,” ujarnya..
    Rudi menilai setiap provinsi memiliki karakteristik dan tantangan yang berbeda, baik dari segi geografis, kepadatan penduduk, maupun sumber daya alam.
    Ia mencontohkan, ada provinsi dengan wilayah kepulauan, daerah dengan penduduk padat, hingga wilayah luas yang kaya sumber daya seperti batu bara, minyak, dan CPO.
    Perbedaan ini, kata Rudi, harus tercermin dalam kebijakan pembangunan nasional agar hasilnya benar-benar dirasakan secara merata di seluruh wilayah.
    “Setiap provinsi menyimpan karakteristik tantangan yang tidak sama. Perbedaan kondisi ini harus tercermin dalam kebijakan pembangunan nasional,” tuturnya.
    Rudy Mas’ud lahir di Balikpapan dan dikenal sebagai putra daerah yang berangkat dari dunia usaha.
    Sebelum terjun ke politik, ia sukses membangun perusahaan di sektor energi dan konstruksi bersama keluarganya.
    Pendidikan formalnya ditempuh di Kalimantan Timur dan kemudian melanjutkan pengembangan diri melalui berbagai pelatihan kepemimpinan dan manajemen bisnis.
    Karier politiknya mulai menanjak saat terpilih menjadi anggota DPR RI. Di Senayan, ia dikenal vokal memperjuangkan pemerataan pembangunan dan kesejahteraan daerah.
    Pada 2024, Rudy Mas’ud dipercaya memimpin Kalimantan Timur sebagai gubernur.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Bea Cukai Terima SPDP Kasus Ekspor Limbah CPO dari Kejagung

    Bea Cukai Terima SPDP Kasus Ekspor Limbah CPO dari Kejagung

    Bisnis.com, JAKARTA — Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan (Kemenkeu) membenarkan telah menerima surat pemberitahuan dimulainya penyidikan (SPDP) dari Kejaksaan Agung (Kejagung) terkait dugaan korupsi ekspor limbah pengolahan crude palm oil (CPO) 2022. 

    Kejagung sebelumnya telah memberikan konfirmasi terkait dengan penggeledahan pada perkara tersebut. Salah satu lokasi yang digeledah adalah kantor Bea Cukai. 

    Namun demikian, Direktur Jenderal Bea Cukai Kemenkeu Djaka Budhi Utama mengatakan bahwa kegiatan penyidik Kejagung bukanlah penggeledahan. Dia menyebut kegiatan Kejagung itu hanya pengumpulan data, saat perkara masih di tahap penyelidikan. 

    “Yang pasti kan kasus dugaan masalah POME [palm oil mill effluent] itu ya. Intinya nyari data aja, ngumpulin data saja dalam rangka penyelidikan,” terangnya kepada wartawan di kantor Kemenkeu, Jakarta, Jumat (24/10/2025). 

    Pihak Bea Cukai menjelaskan bahwa sebelumnya telah menjalin kerja sama dengan Kejagung. Penyidik Korps Adhyaksa disebut telah mengirimkan SPDP kepada Bea Cukai. 

    “Iya [sudah terima SPDP], kan namanya ekspor impor nanya ke bea cukai datanya. Pengumpulan data dan informasi,” tambah penjelasan dari Direktur Komunikasi dan Bimbingan Pengguna Jasa Bea Cukai Kemenkeu, Nirwala Dwi Heryanto. 

    Akan tetapi, pejabat eselon II itu membantah sudah ada pegawai maupun pejabat Bea Cukai yang sudah pernah dimintai keterangan oleh Kejagung. “Belum tentulah. Kalau ekspor impor kan bea cukai yang punya data. Kalau semua ekspor impor lewat bea cukai karena bea cukai yang mengawasi,” terangnya. 

    Pada hari ini, Jumat (24/10/2025), Kejagung mengakui telah menggeledah kantor pusat Direktorat Jenderal (Dirjen) Bea Cukai pada Rabu (21/10/2025). 

    Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Anang Supriatna mengatakan penggeledahan itu dalam rangka penyidikan dugaan korupsi ekspor Palm Oil Mill Effluent (POME). 

    “Terkait dengan penggeledahan di kantor Bea Cukai, memang benar ada beberapa tindakan dan tindakan hukum, langkah-langkah hukum yang dilakukan oleh penyidik Gedung Bundar,” ujar Anang di Kejagung, Jumat (24/10/2025).

  • Indonesia Buka Peluang Peningkatan Ekspor Pertanian ke Brasil

    Indonesia Buka Peluang Peningkatan Ekspor Pertanian ke Brasil

    Bisnis.com, JAKARTA – Indonesia dan Brasil memperkuat hubungan strategis untuk memperluas kolaborasi ekonomi, perdagangan, energi, riset, statistik, dan pengembangan sektor pertanian dari kedua negara bersamaan dengan kunjungan kenegaraan Presiden Brasil Luiz Inácio Lula da Silva ke Indonesia, Kamis (23/10/2025)

    Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman (Mentan Amran) menegaskan bahwa kerja sama antara Indonesia dan Brasil sudah terbangun lama dan kini memasuki fase yang lebih konkret. Menurutnya, kedua negara memiliki potensi besar untuk saling melengkapi. Indonesia unggul dalam komoditas tropis seperti kelapa sawit, kopi, kakao dan kelapa.

    “Kami kan sudah tiga kali ketemu ke Menteri Pertanian Brasil. Kami dua kali kunjungan ke Brasil. Menteri Brasil tiga kali berkunjung ke Indonesia. Yang kita bahas adalah bagaimana saling menguntungkan. Yang pertama, yang surplus di Indonesia CPO. Kopi, kakao, yang kita ekspor ke sana. Ada kelapa.” kata Mentan Amran di Istana Presiden.

    Sementara Brasil yang memiliki kekuatan di komoditi sapi, daging, dan gandum, yang diskemakan untuk dikembangkan melalui pola investasi.

    “Kemudian (dari) mereka, sapi, gandum, daging, dan yang terpenting, kami undang investasi di Indonesia untuk pengembangan sapi.” ujar Mentan Amran.

    Mentan Amran memandang kemitraan dengan Brasil adalah langkah strategis untuk memperkuat ketahanan pangan nasional. Presiden Prabowo Subianto sebelumnya telah menegaskan bahwa kemandirian pangan adalah salah satu pilar utama pembangunan ekonomi Indonesia.

    Kerja sama dengan negara yang berhasil menjadikan pertanian sebagai kekuatan ekonomi seperti Brasil menjadi wujud nyata arah kebijakan tersebut.

    “Presiden selalu menekankan bahwa kedaulatan pangan tidak bisa ditawar. Karena itu, setiap kerja sama harus memberi manfaat langsung bagi peningkatan produksi dan kesejahteraan petani kita,” tutur Amran.

    Sebelum pertemuan tingkat tinggi hari ini, kedua negara telah menandatangani beberapa nota kesepahaman penting di sektor pertanian. Pada 30 Oktober 2023, Mentan Amran telah mengajak Brasil untuk berinvestasi dan melakukan transfer teknologi di sektor gula, dengan tujuan mempercepat target swasembada gula nasional. Upaya tersebut disambut positif oleh pemerintah Brasil yang dikenal memiliki sistem industri gula modern dan efisien.

    Selanjutnya, 12 September 2024 Indonesia-Brasil melakukan kerja sama investasi pengembangan 100.000 ekor ternak sapi perah tropis asal Brasil yang akan dilaksanakan di Indonesia dalam rangka mendukung peningkatan produksi susu dalam negeri. Investasi diperkirakan bernilai Rp4,5 Triliun.

    Kerja sama Indonesia-Brasil kali ini tidak hanya mempererat hubungan ekonomi antar dua negara di belahan dunia berbeda, tetapi juga menjadi simbol solidaritas antara sesama kekuatan agraris global. Melalui kolaborasi yang saling menguntungkan, Indonesia menegaskan komitmennya untuk membangun sektor pertanian yang berdaulat, modern, dan berdaya saing di tingkat internasional.

  • Tak Hanya Suap, Advokat Marcella Santoso Juga Didakwa Cuci Uang Rp 52,5 Miliar Terkait Vonis Lepas Korupsi Ekspor CPO

    Tak Hanya Suap, Advokat Marcella Santoso Juga Didakwa Cuci Uang Rp 52,5 Miliar Terkait Vonis Lepas Korupsi Ekspor CPO

    GELORA.CO  – Advokat Marcella Santoso didakwa melakukan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), terkait kasus korupsi ekspor minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) dan produk turunannya pada periode Januari hingga April 2022.

    Tindakan pencucian uang itu disebut dilakukan bersama-sama dengan pengacara Ariyanto dan pejabat Social Security License Wilmar Group, Muhammad Syafei.

    Pencucian uang ini terjadi setelah Marcella bersama Ariyanto dan Muhammad Syafei diduga memberikan suap Rp 40 miliar kepada majelis hakim di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat.

    Ketiga hakim itu menangani perkara korupsi terkait tiga perusahaan, yakni Permata Hijau Group, PT Wilmar Group, dan PT Musim Mas Group. suap diberikan agar perusahaan itu divonis lepas atau ontslag.

    Tiga hakim yang menangani perkara ekspor CPO tersebut, yakni Djuyamto (Ketua Majelis Hakim) menerima Rp 9,5 miliar, Agam Syarif Baharudin (Hakim Anggota) dan Ali Muhtarom (Hakim Ad Hoc) masing-masing mendapat Rp 6,5 miliar.

    Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada Kejaksaan Agung (Kejagung), menjelaskan Marcella Santoso dkk terlibat dalam pencucian uang senilai Rp 52,5 miliar.

    Ia diduga memanfaatkan nama perusahaan untuk menguasai aset dan mencampurkan uang yang diduga hasil korupsi dengan dana yang sah.

    “Uang yang diduga berasal dari tindak pidana korupsi tersebut mencakup dolar Amerika senilai Rp 28 miliar yang dikuasai oleh terdakwa Marcella, Ariyanto, dan M. Syafei. Serta biaya legal fee sebesar Rp 24,5 miliar yang terkait dengan pemberian atau janji kepada hakim,” kata Jaksa membacakan surat dakwaan di Pengadilan Tipikor pada PN Jakarta Pusat, Rabu (22/10) malam.

    Jaksa menyebut tujuan dari pencucian uang itu adalah untuk mempengaruhi keputusan kasus korupsi terkait perusahaan minyak goreng, agar dijatuhkan putusan lepas.

    Selain itu, uang yang diduga hasil kejahatan itu dicampurkan dengan uang yang diperoleh secara sah, untuk menyembunyikan asal-usul kekayaan mereka.

    Sementara, Muhammad Syafei selaku Social Security License Wilmar Group, diduga melakukan pencucian uang sebesar Rp 28 miliar, termasuk uang operasional sebesar Rp 411 juta

    Uang ini, termasuk dalam bentuk dolar Amerika senilai Rp 28 miliar, dikuasai bersama dengan Ariyanto dan Marcella Santoso, serta uang operasional Rp 411, yang juga berasal dari tindak pidana pemberian atau janji kepada hakim,” imbuh Jaksa.

    Dalam perkara ini, Marcella dan Ariyanto dijerat dengan Pasal 6 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 13 juncto Pasal 18 UU Tipikor, juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Serta Pasal 3, Pasal 4, atau Pasal 5 UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU.

    Sedangkan, Muhammad Syafei Pasal 6 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 13 juncto Pasal 18 UU Tipikor, juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP juncto Pasal 56 KUHP dan Pasal 3 atau Pasal 4 atau Pasal 5 Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

  • Junaedi Saibih Cs Didakwa Rintangani 3 Perkara Korupsi CPO hingga Gula

    Junaedi Saibih Cs Didakwa Rintangani 3 Perkara Korupsi CPO hingga Gula

    Bisnis.com, JAKARTA — Advokat Junaedi Saibih, eks Direktur Pemberitaan JAKTV Tian Bahtiar, serta Ketua Tim Cyber Army atau buzzer Adhiya Muzakki didakwa rintangi tiga perkara korupsi.

    Sidang dakwaan ketiganya berlangsung di PN Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat pada Rabu (22/10/2025) malam.

    Jaksa penuntut umum (JPU) mendakwa tiga orang melakukan perintangan pengusutan perkara melalui program atau pembuatan yang mendiskreditkan penanganan kasus oleh penyidik.

    “Telah melakukan atau turut serta melakukan perbuatan bersama-sama dengan Marcella Santoso, Tian Bahtiar dan M. Adhiya Muzzaki, sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan sidang pengadilan terhadap tersangka, terdakwa ataupun para saksi dalam perkara tindak pidana korupsi,” ujar jaksa.

    Tiga perkara diduga dirintangi oleh Junaedi dkk ini mulai dari kasus korupsi pemberian fasilitas crude palm oil (CPO); korupsi pengelolaan tata niaga komoditas timah di IUP di PT Timah Tbk (TINS) 2015-2022; dan korupsi importasi gulai di Kemendag periode 2015-2016.

    Adapun, jaksa mengemukakan penyebaran konten maupun hasil diskusi yang menyudutkan kinerja penyidik disebarluaskan di media sosial maupun media massa.

    Di lain sisi, Junaedi, Marcella, Tian dan Adhiya juga disebut telah menghilangkan barang bukti dengan menghapus pesan WA dan membuang ponsel yang berisi informasi terkait kasus CPO, Timah dan Impor Gula.

    “Terdakwa Junaedi Saibih dan Marcella Santoso, Tian Bahtiar dan M. Adhiya Muzzaki menghilangkan barang bukti dengan menghapus chat whatsapp dan membuang handphone yang isinya terkait dengan tindak pidana korupsi,” pungkas jaksa.

    Atas perbuatannya itu, Junaedi Cs didakwa melanggar Pasal 21 Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

  • 10
                    
                        Marcella Santoso Ungkap Bujet Suap Hakim Awalnya Rp 20 M, Akhirnya Keluar Rp 40 M
                        Nasional

    10 Marcella Santoso Ungkap Bujet Suap Hakim Awalnya Rp 20 M, Akhirnya Keluar Rp 40 M Nasional

    Marcella Santoso Ungkap Bujet Suap Hakim Awalnya Rp 20 M, Akhirnya Keluar Rp 40 M
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Pengacara Marcella Santoso sempat menyampaikan bahwa pihak korporasi
    crude palm oil
    (CPO) telah menyiapkan bujet senilai Rp 20 miliar untuk menyuap majelis hakim yang saat itu mengadili perkara korupsi pemberian fasilitas ekspor.
    Hal ini terungkap dalam surat dakwaan yang dibacakan Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam perkara yang melibatkan Marcella Santoso, Ariyanto Bakri, Junaedi Saibih, dan M Syafei.
    “Kemudian Marcella Santoso menyampaikan hal tersebut kepada Ariyanto bahwa ada bujet dari pihak korporasi sebesar Rp 20 miliar, permintaannya putusan bebas,” ujar jaksa Andi Setyawan saat membacakan dakwaan dalam sidang di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu (22/10/2025).
    Bujet Rp 20 miliar ini lebih dahulu disebutkan oleh M Syafei selaku Social Security License Wilmar Group.
    Jaksa mengungkapkan, pada medio Juni hingga Juli 2024, Marcella sempat bertemu dengan Syafei di sebuah restoran dan menyampaikan bahwa kasus korupsi korporasi CPO ini harus ‘diurus’.
    “Dalam pertemuan tersebut, Marcella Santoso mengatakan kepada terdakwa M. Syafei bahwa perkara ini harus diurus. Kemudian, M. Syafei menyampaikan untuk putusan bebas, korporasi sudah menyiapkan uang sebesar Rp 20 miliar,” imbuh jaksa.
    Sebelum uang suap Rp 20 miliar ini masuk dalam pembahasan, pihak korporasi sudah lebih dahulu memberikan uang suap tahap pertama kepada majelis hakim.
    Pemberian pertama ini terjadi sekitar bulan Mei 2024.
    Saat itu, Ariyanto selaku pengacara korporasi menyerahkan uang senilai Rp 8 miliar untuk dibagikan kepada majelis hakim sebagai ‘uang baca berkas’.
    Uang ini pun dibagikan kepada tiga majelis hakim yang mengadili perkara dan dua pegawai di lingkungan pengadilan.
    Kemudian, untuk uang suap tahap kedua, bujet Rp 20 miliar dinilai tidak cukup.
    Saat itu, Muhammad Arif Nuryanta selaku Wakil Ketua PN Jakpus meminta uang suap senilai 3 juta dollar Amerika Serikat atau setara Rp 60 miliar kepada Ariyanto.
    Awalnya, Ariyanto menyanggupi, tetapi pada saat uang suap tahap kedua diserahkan, total yang diberikan adalah 2 juta dollar Amerika Serikat atau setara Rp 32 miliar.
    Penyerahan tahap dua ini dilakukan pada Oktober 2024.
    Dari dua kali penyerahan uang suap ini, majelis hakim yang menangani perkara tersebut serta pejabat pengadilan menerima uang suap senilai Rp 40 miliar yang membuat mereka kini berstatus terdakwa.
    Rinciannya, eks Wakil Ketua PN Jakarta Pusat Muhammad Arif Nuryanta didakwa menerima Rp 15,7 miliar; sedangkan panitera muda nonaktif PN Jakarta Utara, Wahyu Gunawan, menerima Rp 2,4 miliar.
    Sementara itu, Djuyamto selaku ketua majelis hakim menerima Rp 9,5 miliar, sedangkan dua hakim anggota, yaitu Ali Muhtarom dan Agam Syarif Baharudin, masing-masing menerima Rp 6,2 miliar.
    Di sisi lain, Marcella Santoso, Ariyanto, Junaedi Saibih, dan Muhammad Syafei didakwa bersama-sama memberikan suap senilai Rp 40 miliar kepada majelis hakim untuk menjatuhkan vonis lepas atau
    ontslag
    kepada tiga korporasi CPO.
    Dalam kasus ini, Marcella Santoso dkk didakwa telah melanggar Pasal 6 Ayat (1) huruf a dan/atau Pasal 5 Ayat (1) huruf a, dan/atau Pasal 13 jo Pasal 18 UU Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.