Produk: CPO

  • Jangan Seakan-akan Dunia Mau Kiamat

    Jangan Seakan-akan Dunia Mau Kiamat

    Jakarta

    Wakil Presiden ke-10 dan ke-12 RI, Jusuf Kalla, berbicara tentang tarif impor yang ditetapkan Presiden AS Donald Trump terhadap Indonesia sebesar 32%. Pria yang akrab disapa JK ini mengatakan masyarakat tak perlu terlalu khawatir seakan dunia mau kiamat.

    JK menjelaskan bahwa tarif yang diterapkan AS kepada sejumlah negara adalah tarif impor masuk ke AS. Ini berarti, barang-barang yang masuk ke AS dari Indonesia akan dikenakan tarif sebesar 32%.

    “Jangan terlalu khawatir, seakan-akan mau kiamat dunia ini. Ini agak lain. Biasanya, tarif impor itu berdasarkan komoditas. Baja berapa tarifnya? 10%. Atau mobil, berapa persen. Ini yang dilakukan negara, jadi ini lebih banyak politisnya sebenarnya. Karena negara yang dikenakan, bukan komoditasnya,” ucap JK di kediamannya, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Sabtu (5/4/2025).

    JK menilai, dalam menetapkan tarif impor ini, Trump cenderung emosional atau ada unsur politik yang tinggi kepada negara. JK menilai, pemerintah Indonesia perlu untuk mengklarifikasi perihal barang dari AS yang dijual di RI dikenakan pajak sebesar 64%.

    “Inilah yang perlu pemerintah atau siapapun untuk mengklarifikasi. Kita kena 32%, apa benar barang Amerika kita kenakan pajak atau beban 64%? Dari mana itu 64%? Jadi, tugas kita untuk mengklarifikasi itu. Saya kira ini politis, lebih banyak efek pressure-nya,” tegasnya.

    Ia mengelaborasi seputar tarif impor 32% ini. Tarif senilai 32% ini ditetapkan dari harga impor. Ia mencontohkan, harga sepatu dari Indonesia ke AS itu berkisar di angka US$ 15-US$ 20.

    “Yang kena pajak 32% itu yang ini (harga impor US$ 15-US$ 20). Berapa harga jual di Amerika? Harga jual kalau anda beli, itu antara US$ 50-US$ 70 (di AS). Jadi, kalau US$ 20 dikenakan tarif 32%, itu berarti US$ 6,4. Cuma 10% efeknya (dari harga jual di AS). Yang bayar itu konsumen dan pengusaha Amerika (masing-masing dikenakan 5%). Efeknya tidak segegap gempita apa yang dikenakan,” katanya merinci.

    Sama halnya dengan sawit, JK bilang, estimasi harga crude palm oil (CPO) yang diekspor Indonesia sekitar US$ 1.000 per ton. Kemudian ada produk turunan dari CPO itu yang bisa dijadikan sabun, minyak goreng, dan sebagainya yang harganya bisa 3-4 kali lipat lebih besar.

    “Maka mereka (AS) tentu tidak mau dagangannya habis. Pasti mereka akan efisienkan, mungkin mengurangi biaya iklan, atau pegawainya, sehingga mereka bisa hemat 5%. Pasti itu, karena Amerika itu mahal di logistik. Mereka pasti efisienkan itu supaya jangan kehilangan konsumen. Akhirnya efeknya tidak besar untuk Indonesia, karena tidak mungkin Amerika berhenti beli sabun, beli sawit. Beli sepatu, atau beli spare part,” katanya.

    (fdl/fdl)

  • Dampak Tarif Trump Bikin Ngeri, Pengusaha Waswas Ada Badai PHK

    Dampak Tarif Trump Bikin Ngeri, Pengusaha Waswas Ada Badai PHK

    Jakarta

    Pengenaan kebijakan tarif impor baru yang diterapkan oleh Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump ke sejumlah negara, termasuk Indonesia dinilai dapat memicu gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK). Indonesia sendiri dikenakan tarif impor sebesar 32%.

    Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) Shinta Kamdani mengatakan kebijakan tersebut dapat memberikan tekanan terhadap daya saing, iklim usaha maupun investasi secara nasional. Adapun efek lainnya, Shinta menyebut industri dengan pangsa pasar lebih besar ke AS akan lebih sulit bertahan dalam situasi ini.

    Menurut dia, setidaknya ada sejumlah sektor yang berdampak kebijakan tarif impor karena pasar ekspornya yang lebih besar ke AS, seperti garmen, alas kaki, furnitur, dan perikanan.

    “Dalam perkiraan sementara kami, sektor garmen, sepatu, karet, perikanan, & furniture akan sangat terdampak karena share ekspornya yang besar ke AS & kondisi industrinya masing-masing yang memiliki korelasi supply chain dengan UMKM. Atau karena kurangnya fleksibilitas untuk menciptakan diversifikasi ekspor secara segera/immediate,” kata Shinta kepada detikcom, Jumat (4/4/2025).

    Sementara, untuk sektor lain seperti minyak kelapa sawit (CPO), biofuel, komponen produk elektronik, hingga mesin kendaraan dapat terkena dampak kebijakan tarif impor Trump. Meski begitu, Shinta menyebut sektor-sektor tersebut dapat bertahan karena lebih fleksibel dan permintaan dalam negeri masih ada.

    Selain itu, pihaknya juga cemas kebijakan tersebut akan memicu gelombang PHK di sektor padat karya, seperti tekstil. Menurut dia, kinerja industri tekstil telah sedari lama menghadapi berbagai tantangan.

    “Kekhawatiran kami yang terbesar adalah tekanan layoff (PHK) yang lebih besar di sektor padat karya (garment terutama) pasca kebijakan ini. Karena industrinya sendiri sudah lama struggling untuk mempertahankan kinerja usaha, kinerja ekspor dan lapangan kerja,” imbuh dia.

    Untuk itu, Shinta menekankan perlunya dukungan yang segera terhadap sektor padat karya berorientasi ekspor seperti stimulus-stimulus yang diagendakan untuk segera direalisasikan di lapangan, penegakan disiplin atas impor-impor barang konsumsi yang bersifat predatory di lapangan, seperti impor ilegal hingga dumping.

    Di sisi lain, Shinta berharap pemerintah mendukung pembenahan efisiensi, kepastian dan prediktabilitas iklim usaha serta investasi nasional. Dengan begitu, reaksi pelaku pasar domestik dan internasional terhadap ekonomi Indonesia lebih terkendali dan tidak spekulatif.

    “Tentu kami berharap pemerintah segera melakukan diplomasi bilateral dengan AS untuk menciptakan ‘carve out’ bagi produk ekspor Indonesia. Bila memungkinkan kami ingin agar Indonesia dan AS menciptakan kesepakatan dagang bilateral agar tarif bisa dieliminasi sepenuhnya untuk produk-produk asal Indonesia dan Indonesia bisa menciptakan supply chain perdagangan yang efisien dengan industri-industri di AS,” jelas dia.

    Senada, Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Anindya Novyan Bakrie mengatakan kebijakan tersebut akan berdampak signifikan pada neraca pembayaran, khususnya neraca perdagangan dan arus investasi. Apalagi, menurut dia, AS merupakan pemasok valuta asing terbesar, yang menyumbang surplus perdagangan sebesar US$ 16,8 miliar pada 2024.

    “Hampir semua ekspor komoditas utama Indonesia ke AS meningkat pada tahun 2024. Sebagian besar barang Indonesia yang diekspor ke AS adalah produk manufaktur, yaitu peralatan listrik, alas kaki, pakaian, bukan komoditas mentah,” kata Anindya dalam keterangannya.

    Dia menilai dampak negatif kebijakan tersebut perlu dihitung dengan cermat. Menurut dia, penurunan ekspor alas kaki, pakaian hingga produk elektronik Indonesia ke AS akan berdampak pada ketenagakerjaan.

    “Kadin mengimbau agar pemerintah dan pelaku usaha bersama-sama mencegah PHK,” jelas Anindya.

    (acd/acd)

  • BI upayakan stabilisasi nilai tukar rupiah respons tarif AS

    BI upayakan stabilisasi nilai tukar rupiah respons tarif AS

    Sumber foto: Antara/elshinta.com.

    Komisi XI: BI upayakan stabilisasi nilai tukar rupiah respons tarif AS
    Dalam Negeri   
    Editor: Sigit Kurniawan   
    Jumat, 04 April 2025 – 22:10 WIB

    Elshinta.com – Ketua Komisi XI DPR RI Mukhamad Misbakhun meminta Bank Indonesia (BI) melakukan upaya serius dalam melakukan stabilisasi nilai tukar rupiah atas dolar Amerika Serikat (AS), merespons kebijakan tarif resiprokal yang ditetapkan Presiden AS Donald Trump.

    “Pada saat pasar sedang libur lebaran, saat ini adalah waktu yg tepat bagi Bank Indonesia untuk melakukan exercises kebijakan stabilisasi nilai tukar yang paling tepat saat pasar kembali buka,” kata Misbakhun dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Jumat.

    Pimpinan komisi keuangan DPR itu mendorong BI mengantisipasi kinerja kurs Rupiah terhadap dolar AS. Dia mengingatkan agar jangan sampai tekanan koreksi negatif atas Rupiah melewati angka psikologis.

    Dia pun memprediksi harga barang di AS akan semakin mahal, sementara pendapatan pekerja mereka masih tetap sehingga memicu kenaikan inflasi yang saat ini masih relatif tinggi sejak pandemi COVID-19.

    Terkait hal tersebut, dia memperkirakan Bank Sentral AS (The Fed) akan menurunkan tingkat suku bunga sebagai alat kontrol supaya inflasi bisa dikendalikan.

    “Penurunan tingkat suku bunga The Fed akan menjadi pemicu ketidakpastian lagi sehingga prediksi pertumbuhan ekonomi akan mengalami koreksi, dan itu membuat kekhawatiran pada ketidakpastian baru di pasar uang. Kondisi ini akan memberikan tekanan koreksi negatif pada nilai tukar Rupiah atas dolar AS,” ujarnya.

    Dia juga menilai kebijakan tarif resiprokal yang ditetapkan oleh Presiden AS Donald Trump akan memberikan tekanan pada kinerja ekspor Indonesia ke AS.

    Dia lantas menyinggung data transaksi perdagangan Indonesia-AS pada tahun 2024, dengan nilai ekspor Indonesia ke AS mencapai 26,4 miliar dolar AS. Menurut dia, angka itu setara dengan 9,9 persen dari total kinerja ekspor nasional Indonesia.

    “Posisi surplus di pihak Indonesia,” ucapnya.

    Misbakhun memandang kebijakan tarif ala Presiden Trump itu akan memukul industri produk ekspor di Indonesia. Di mana, ekspor Indonesia ke AS didominasi industri padat tenaga kerja, seperti tekstil, garmen, alas kaki, minyak sawit (CPO), hingga peralatan elektronik.

    “Industri-industri tersebut akan mengalami tekanan pada harga mereka di pasar AS yang menjadi lebih mahal karena terkena dampak tarif tambahan baru. Untuk bisa bersaing dari sisi harga, produk buatan Indonesia harus makin efisien dalam struktur biaya produksi, sekaligus untuk menjaga kelangsungan usaha mereka,” katanya.

    Dia menambahkan dampak tarif tambahan baru di AS pasti akan memengaruhi kinerja ekspor Indonesia yang membawa dampak tekanan bagi perusahaan-perusahaan di Indonesia yang berorientasi ekspor, bahkan bisa berefek ke anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN).

    “Bisa jadi tekanan itu akan memengaruhi struktur laba mereka dan akan memberikan dampak pada pembayaran pajak mereka ke negara. Selama ini kinerja penerimaan negara dari pajak, bea masuk, dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) sangat dipengaruhi oleh kinerja ekspor dan faktor harga komoditas dunia. Jadi, target penerimaan negara dalam APBN 2025 harus dihitung ulang,” kata dia.

    Sebelumnya, Rabu (2/4), Presiden AS Donald Trump mengumumkan kebijakan tarif resiprokal kepada sejumlah negara termasuk Indonesia, yang efektif 3 hari setelah diumumkan.

    Kebijakan Trump itu bakal diterapkan secara bertahap, yaitu mulai dari pengenaan tarif umum 10 persen untuk seluruh negara terhitung sejak tanggal 5 April 2025, kemudian tarif khusus untuk sejumlah negara termasuk Indonesia mulai berlaku pada 9 April 2025 pukul 00.01 EDT (11.01 WIB).

    Akibat kebijakan baru tersebut, semua impor yang berasal dari Indonesia akan dikenai tarif sebesar 32 persen oleh pemerintah AS.

    Sumber : Antara

  • Misbakhun Optimistis Tim Ekonomi Prabowo Bisa Hadapi Kebijakan Trump

    Misbakhun Optimistis Tim Ekonomi Prabowo Bisa Hadapi Kebijakan Trump

    Jakarta: Ketua Komisi XI DPRRI Mukhamad Misbakhun memperkirakan kebijakan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump tentang tarif bea masuk tambahan baru atas produk luar negeri akan memberikan tekanan pada kinerja ekspor Indonesia ke AS.
     
    Legislator Golkar itu mendorong tim ekonomi pemerintahan Presiden Prabowo Subianto segera melakukan konsolidasi menyeluruh demi menghadapi guncangan akibat kebijakan yang kondang dengan sebutan Trump 2.0 tersebut.
     
    “Konsolidasi itu perlu melibatkan para pemangku kepentingan lainnya. Bagaimanapun pemerintah harus tetap berhati-hati dalam menghitung untung rugi kebijakan tarif baru di AS pada kinerja perekonomian Indonesia secara keseluruhan,” kata Misbakhun.

    Menurut Misbakhun, Pemerintah Indonesia telah melakukan langkah awal yang tepat dengan mengirim Tim Khusus Tingkat Tinggi untuk melobi AS. Dia mengharapkan tim khusus itu segera membawa hasil positif bagi Indonesia.
     
    “Tentu kita semua berharap pada hasil Tim Khusus ini. Upaya renegosiasi dengan pemerintah Amerika Serikat adalah langkah terbaik,” ujarnya.
     
    Misbakhun juga membeber data transaksi perdagangan Indonesia-AS pada 2024. Pada tahun lalu,  nilai ekspor Indonesia ke AS mencapai USD 26,4 milliar.
     
    Menurut Misbakhun, angka itu setara dengan 9,9 perseb dari total kinerja ekspor nasional Indonesia. “Posisi surplus di pihak Indonesia,” ujarnya.
     
    Mantan pegawai Direktorat Jenderal Pajak (DJP) itu juga memerinci soal ekspor Indonesia ke AS yang didominasi industri padat tenaga kerja, seperti tekstil, garmen, alas kaki, minyak sawit (CPO), hingga peralatan elektronik.
     
    Misbakhun menduga kebijakan tarif ala Presiden Trump akan memukul industri produk ekspor di Indonesia. Industri-industri tersebut akan mengalami tekanan pada harga mereka di pasar US yang menjadi lebih mahal karena terkena dampak tarif tambahan baru. 
     
    “Untuk bisa bersaing dari sisi harga, produk buatan Indonesia harus makin efisien dalam struktur biaya produksi, sekaligus untuk menjaga kelangsungan usaha mereka,” ujar Misbakhun.
     
    Menurut Misbakhun, dampak tarif tambahan baru di AS pasti akan memengaruhi kinerja ekspor Indonesia. Akibatnya, perusahaan-perusahaan di Indonesia yang berorientasi ekspor pasti mengalami tekanan, bahkan bisa berefek ke APBN.
     
    Bisa jadi tekanan itu akan memengaruhi struktur laba mereka dan akan memberikan dampak pada pembayaran pajak mereka ke negara.
     
    “Selama ini kinerja penerimaan negara dari pajak, bea masuk, dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) sangat dipengaruhi oleh kinerja ekspor dan faktor harga komoditas dunia. Jadi, target penerimaan negara dalam APBN 2025 harus dihitung ulang,” ujar Misbakhun.
     
    Terkait arahan Prabowo tentang perbaikan struktural pada berbagai hambatan perekonomian melalui deregulasi ataupun penyederhanaan aturan yang menghambat. Misbakhun meyakini arahan tersebut jika dilaksanakan akan membantu upaya membangun efisiensi perusahaan di Indonesia.
     
    “Dengan demikian industri kita tidak hanya mampu bertahan di tengah tekanan, tetapi juga menjadi  lebih mampu bersaing di pasar global,” imbuhnya.
     
    Misbakhun juga mendorong Bank Indonesia (BI) mengantisipasi kinerja kurs Rupiah terhadap dolar AS (USD). Pimpinan Komisi Keuangan dan Perbankan DPR itu memprediksi harga barang di US akan makin mahal, sementara pendapatan pekerja mereka masih tetap sehingga memicu kenaikan inflasi yang saat ini masih relatif tinggi sejak pandemi Covid-19.
     
    Misbakhun memperkirakan Bank Sentral AS (The Fed) pasti akan menurunkan tingkat suku bunga  sebagai alat kontrol supaya inflasi bisa dikendalikan.
     
    “Penurunan tingkat suku bunga The Fed akan menjadi pemicu ketidakpastian lagi sehingga prediksi pertumbuhan ekonomi akan mengalami koreksi dan itu membuat kekhawatiran pada ketidakpastian baru di pasar uang. Kondisi ini akan memberikan tekanan koreksi negatif pada nilai tukar Rupiah atas USD,” ujarnya.
     
    Oleh karena itu, Misbakhun mengingatkan BI melakukan upaya serius dalam melakukan stabilisasi nilai tukar rupiah atas USD. Menurut dia, jangan sampai tekanan koreksi negatif atas  Rupiah melewati angka psikologis.
     
    “Pada saat pasar sedang libur Lebaran saat ini adalah waktu yg tepat bagi Bank Indonesia untuk melakukan exercises kebijakan stabilisasi nilai tukar yang paling tepat saat pasar kembali buka,” tambahnya.
     
    Misbakhun menyebut beberapa poin penting dalam kebijakan baru dari Presiden Trump itu harus diantisipasi sehingga dampak langsung dari kebijakan tarif tambahan  sebesar 32 persen atas produk RI bisa diminimalisasi.
     
    “Saya yakin Tim Ekonomi di Kabinet Merah Putih di bawah arahan Bapak Presiden Prabowo akan mampu menemukan formula kebijakan yang tepat dan bisa meredam guncangan akibat kebijakan tarif baru Trump,” kata Misbakhun.
     
    Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
    dan follow Channel WhatsApp Medcom.id

    (FZN)

  • Renegosiasi Tarif Trump Langkah Terbaik, tapi Hati-hati

    Renegosiasi Tarif Trump Langkah Terbaik, tapi Hati-hati

    Jakarta

    Ketua Komisi XI DPR RI Mukhamad Misbakhun mendukung langkah Presiden Prabowo Subianto untuk mendorong langkah negosiasi ulang terkait tarif baru yang dikenakan Presiden AS Donald Trump terkait barang impor yang masuk ke AS terhadap Indonesia. Namun, Misbakhun meminta pemerintah untuk berhati-hati.

    “Konsolidasi itu perlu melibatkan para pemangku kepentingan lainnya. Bagaimanapun pemerintah harus tetap berhati-hati dalam menghitung untung rugi kebijakan tarif baru di AS pada kinerja perekonomian Indonesia secara keseluruhan,” kata Misbakhun dalam keterangannya, Jumat (4/4/2025).

    Menurut Misbakhun, Pemerintah Indonesia telah melakukan langkah awal yang tepat dengan mengirim Tim Khusus Tingkat Tinggi untuk melobi AS. Dia mengharapkan tim khusus itu segera membawa hasil positif bagi Indonesia.

    “Tentu kita semua berharap pada hasil Tim Khusus ini. Upaya renegosiasi dengan pemerintah Amerika Serikat adalah langkah terbaik,” ucap dia.

    Lebih lanjut, Misbakhun membeberkan data transaksi perdagangan Indonesia-AS pada 2024. Pada tahun lalu, nilai ekspor Indonesia ke AS mencapai USD 26,4 milliar. Menurutnya, angka itu setara dengan 9,9 persen dari total kinerja ekspor nasional Indonesia. “Posisi surplus di pihak Indonesia,” imbuh dia.

    Mantan pegawai Direktorat Jenderal Pajak (DJP) itu juga memerinci soal ekspor Indonesia ke AS yang didominasi industri padat tenaga kerja, seperti tekstil, garmen, alas kaki, minyak sawit (CPO), hingga peralatan elektronik. Misbakhun menduga kebijakan tarif ala Presiden Trump akan memukul industri produk ekspor di Indonesia.

    Dia menambahkan dampak tarif tambahan baru di AS pasti akan memengaruhi kinerja ekspor Indonesia. Akibatnya, perusahaan-perusahaan di Indonesia yang berorientasi ekspor pasti mengalami tekanan, bahkan bisa berefek ke APBN.

    “Bisa jadi tekanan itu akan memengaruhi struktur laba mereka dan akan memberikan dampak pada pembayaran pajak mereka ke negara. Selama ini kinerja penerimaan negara dari pajak, bea masuk, dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) sangat dipengaruhi oleh kinerja ekspor dan faktor harga komoditas dunia. Jadi, target penerimaan negara dalam APBN 2025 harus dihitung ulang,” ujar Misbakhun.

    Misbakhun menyebut beberapa poin penting dalam kebijakan baru dari Presiden Trump itu harus diantisipasi sehingga dampak langsung dari kebijakan tarif tambahan sebesar 32 persen atas produk RI bisa diminimalisasi.

    “Saya yakin Tim Ekonomi di Kabinet Merah Putih di bawah arahan Bapak Presiden Prabowo akan mampu menemukan formula kebijakan yang tepat dan bisa meredam guncangan akibat kebijakan tarif baru Trump,” pungkas Misbakhun.

    (maa/maa)

    Hoegeng Awards 2025

    Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

  • Indonesia Kena Tarif Impor 32% dari Trump, Bagaimana Nasib Sawit RI?

    Indonesia Kena Tarif Impor 32% dari Trump, Bagaimana Nasib Sawit RI?

    Jakarta, CNBC Indonesia Kebijakan tarif tinggi dari Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump akan jadi pukulan keras bagi Indonesia yang dikenakan bea masuk sebesar 32% untuk produk ekspor, termasuk minyak sawit mentah (CPO). Para petani dan pelaku industri sawit dalam negeri pun mulai was-was dengan dampaknya, terutama terhadap keberlangsungan harga dan penyerapan tandan buah segar (TBS) dari petani.

    Dewan Nasional Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS), Mansuetus Darto menilai langkah Trump bukan sekadar proteksi ekonomi, tetapi bagian dari strategi yang lebih kompleks. Ia melihat kebijakan tarif ini berkaitan dengan kepatuhan negara-negara terhadap regulasi dan jejak produksi (traceability).

    “Saya dengar di media, banyak negara-negara pengekspor barang ke AS melanggar beberapa aturan dan kemudian mereka dikenakan tarif tinggi. Jika begini polanya, bisa dipertanyakan soal kualitas kepatuhan hukum pada barang-barang kita yang masuk ke Amerika sehingga dikenakan 32%,” kata Darto kepada CNBC Indonesia, Jumat (4/4/2025).

    Berdasarkan data SPKS, ekspor CPO Indonesia ke AS pada tahun 2024 mencapai 1,4 juta ton. Namun, pada Januari 2025 saja, ekspor sudah turun 20% dibanding Januari tahun sebelumnya, padahal saat itu kebijakan tarif baru masih sebatas rumor.

    Sejalan dengan kebijakan tarif Trump, Darto menyebut persoalan ekonomi AS akan berdampak kepada Indonesia. “Dulu waktu krisis Lehman Brothers tahun 2008, harga sawit anjlok sampai Rp100 per kilogram (kg). Saya masih ingat, anak-anak petani putus kuliah, makan pakai raskin, ada yang sampai masuk rumah sakit jiwa. Jadi kalau AS terguncang, kita kena juga,” kenangnya.

    Yang membuat kondisi makin rumit, pemerintah Indonesia justru memberlakukan tarif ekspor, seperti Pungutan Ekspor (PE) dan tarif Bea Keluar (BK) sawit sebesar US$ 170 per metrik ton. Ini dianggap semakin membebani petani dan pelaku usaha sawit, terutama di tengah pasar global yang mulai menyempit.

    “Boleh saja kita dorong Biodiesel 40%. Tapi ingat, harga jual CPO di luar negeri masih bagus. Kalau pasar ekspor dipersempit, tapi domestik juga belum siap, ya dampaknya balik lagi ke petani,” terang dia.

    Efisiensi Bukan Solusi, Harga TBS Bisa Terjun Bebas

    Menurut Darto, kebijakan efisiensi seperti mengurangi pupuk, jam kerja, hingga herbisida bukanlah solusi jangka panjang. Sebab, produksi akan turun dan merugikan pelaku usaha sendiri. Justru yang paling dikhawatirkan adalah jika perusahaan sawit mulai menolak atau membatasi pembelian TBS dari petani swadaya.

    “Kalau mereka cuma tampung minyak sawit dari pabrik tanpa kebun dan beli TBS dengan harga minimal, ya gawat. Petani bisa bangkrut,” tegasnya.

    Darto menilai Indonesia tidak bisa pasrah begitu saja. Pemerintah harus aktif melobi pasar baru dan menyesuaikan diri dengan standar keberlanjutan global seperti EUDR (European Union Deforestation Regulation) yang akan berlaku mulai 2026. Ia juga mendesak agar pemerintah menurunkan tarif PE dan BK, serta memperkuat kepastian hukum untuk iklim usaha yang sehat.

    “Solusinya? Tantangi Uni Eropa, wajibkan compliance, tapi juga bangun petani kita. Jangan lupa, kita perlu badan sawit nasional yang independen, bukan seperti Danantara yang dikangkangi,” ujar Darto.

    Ia menambahkan, pembenahan regulasi dan tata kelola sektor sawit di dalam negeri juga sangat mendesak. Terutama untuk menghindari korupsi dan mempercepat pengambilan keputusan strategis.

    “Kementerian-kementerian yang ngurus sawit kebanyakan tumpang tindih. Harus dirampingkan supaya lebih efektif. Ini penting untuk masa depan sawit Indonesia,” pungkasnya.

    (hsy/hsy)

  • Waka MPR Sebut Pentingnya Diplomasi Perdagangan untuk Respons Tarif Impor AS

    Waka MPR Sebut Pentingnya Diplomasi Perdagangan untuk Respons Tarif Impor AS

    Jakarta

    Indonesia masuk daftar negara yang dikenakan tarif impor baru oleh Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump. Kebijakan ini dipercaya akan mempengaruhi neraca ekspor Indonesia, mengingat AS merupakan pasar produk elektronik, tekstil, alas kaki, dan CPO.

    Merespons hal ini, Wakil Ketua MPR dari Fraksi PAN Eddy Soeparno menekankan pentingnya penguatan diplomasi perdagangan atau trade diplomacy untuk mencegah dampak negatif bagi ekonomi Indonesia.

    “Kita harus proaktif dalam trade diplomacy untuk bernegosiasi dengan pemerintah AS sebagai bagian dari upaya menurunkan tarif. Jangan sampai industri dalam negeri kita terdampak lebih dalam lagi. Gugurnya sejumlah pabrik textile seperti Srtitex, produsen sepatu olah raga serta elektronik merupakan pil pahit yang harus kita cegah ke depannya. Oleh karena itu menjalin dialog perdagangan secara dini merupakan upaya untuk mendapatkan pengecualian tarif atas sejumlah produk ekspor andalan Indonesia,” kata Eddy dalam keterangan, Jumat (4/4/2025).

    Dia menegaskan pentingnya memperluas pasar ekspor sebagai salah satu pilar pertumbuhan ekonomi Indonesia di masa depan.

    “Di awal pemerintahan, Presiden Prabowo sudah bergerak cepat dengan bergabung dan menjadi anggota tetap BRICS. Sekarang saatnya memanfaatkan status sebagai Anggota Tetap BRICS untuk memperluas pasar ekspor ke negara-negara emerging economy,” tuturnya.

    Eddy menegaskan bahwa Indonesia tidak boleh kehilangan momentum untuk terus menumbuhkan kegiatan ekspornya agar neraca perdagangan tetap stabil dan tidak terdampak oleh kebijakan proteksionisme dari negara tertentu.

    “Ke depan tentu kita tidak boleh bergantung pada satu negara tujuan ekspor dan harus memperluas pasarnya. Indonesia tidak boleh kehilangan momentum untuk menumbuhkan kegiatan ekspornya ke negara BRICS maupun negara Timur Tengah lainnya agar neraca ekspor kita tidak terpengaruh ke depannya,” jelas Eddy.

    Selain itu, Wakil Ketua Umum DPP PAN ini menegaskan bahwa kebijakan proteksionisme AS ini harus menjadi momentum bagi Indonesia untuk meningkatkan daya saing produk nasional.

    “Industri dalam negeri harus lebih inovatif dan efisien. Pemerintah perlu memberikan insentif bagi industri strategis agar kita bisa bersaing secara global, terlepas dari kebijakan negara lain,” jelasnya.

    Eddy yang pernah menjabat sebagai Direktur Investment Banking Merrill Lynch Asia Pacific ini menjelaskan investasi dan ekspor menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi kedepannya sehingga harus diperkuat.

    “Perlu akselerasi industrialisasi produk unggulan ekspor. Hambatan-hambatan struktural perlu segera dibenahi agar semakin banyak investasi masuk dan berorientasi ekspor. Indonesia harus bergegas menjadi basis produksi untuk ekspor,” tutupnya.

    (akn/ega)

  • DPR: Pemerintah Harus Hati-hati Hitung Untung Rugi Kebijakan Tarif Impor Donald Trump

    DPR: Pemerintah Harus Hati-hati Hitung Untung Rugi Kebijakan Tarif Impor Donald Trump

    DPR: Pemerintah Harus Hati-hati Hitung Untung Rugi Kebijakan Tarif Impor Donald Trump
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Ketua Komisi XI DPR
    Misbakhun
    mengatakan, pemerintah harus berhati-hati dalam menghitung kerugian dan keuntungan dari kebijakan
    tarif impor
    baru yang diumumkan Presiden
    Amerika
    Serikat (AS)
    Donald Trump
    .
    Pasalnya, kebijakan Trump ini akan berdampak signifikan terhadap kinerja ekspor
    Indonesia
    .
    “Kebijakan tarif bea masuk tambahan ke US (
    United States
    /Amerika Serikat) di era Trump 2.0 ini akan signifikan dampak tekanannya pada kinerja ekspor Indonesia ke US, sehingga pemerintah harus melakukan konsolidasi menyeluruh para stakeholder untuk menghadapinya,” ujar Misbakhun kepada
    Kompas.com
    , Jumat (4/4/2025).
    “Karena pemerintah harus tetap berhati-hati menghitung untung rugi kebijakan tarif baru US tersebut pada kinerja perekonomian Indonesia secara keseluruhan,” katanya lagi.
    Menurut Misbakhun, upaya pemerintah dengan mengirim Tim Khusus Tingkat Tinggi untuk melakukan
    lobby
    kepada pemerintah AS adalah sebuah langkah awal yang tepat.
    Dia menyebut bahwa publik berharap pada hasil tim
    lobby
    khusus tersebut.
    “Upaya renegosiasi dengan pemerintah Amerika Serikat adalah langkah terbaik. Apalagi, produk ekspor Indonesia didominasi oleh produk tekstil, garmen, alas kaki, minyak CPO dan peralatan elektronik, di mana hampir semuanya merupakan industri padat tenaga kerja terutama untuk tekstil, garmen dan alas kaki,” ujar Misbakhun.
    Misbakhun mengatakan, industri-industri tersebut akan mengalami tekanan pada harga mereka di pasar AS menjadi lebih mahal karena terkena dampak penambahan tarif baru tersebut.
    Supaya bisa bersaing dari sisi harga, menurut Misbakhun, maka mereka juga harus makin efisien dalam struktur biaya produksinya untuk menjaga kelangsungan usaha.
    “Dampak lainnya yang sangat serius adalah pada kinerja nilai tukar rupiah atas dollar AS karena harga barang di AS akan makin mahal, sementara pendapatan pekerja mereka masih tetap, sehingga memicu kenaikan inflasi di AS yang saat ini masih relatif tinggi sejak pandemi Covid-19 lalu,” katanya.
    Misbakhun meyakini bahwa kondisi ini akan mengakibatkan The Fed menurunkan tingkat suku bunga mereka sebagai alat kontrol mereka supaya inflasi bisa dikendalikan.
    Sementara itu, akibat penurunan tingkat suku bunga The Fed, maka akan memicu ketidakpastian lagi sehingga prediksi pertumbuhan ekonomi akan mengalami koreksi.
    “Dan itu membuat kekhawatiran pada ketidakpastian baru di pasar uang sehingga akan memberikan tekanan koreksi negatif pada nilai tukar rupiah atas dollar AS,” ujar Misbakhun.
    Sementara itu, Misbakhun mengatakan, dampak tarif tambahan baru ini pasti akan memengaruhi kinerja ekspor Indonesia, sehingga perusahaan-perusahaan di Indonesia yang berorientasi ekspor pasti mengalami tekanan.
    Dengan begitu, bisa jadi tekanan itu akan mempengaruhi struktur laba mereka, dan akan memberikan dampak pada pembayaran pajak ke negara.
    “Berapa poin di atas harus disiapkan kebijakan antisipasinya oleh pemerintah sehingga dampak langsung dari kebijakan tarif tambahan baru sebesar 32 persen oleh Amerika Serikat tersebut bisa diminimalisir,” katanya.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Hadapi Perang Dagang Trump, Misbakhun: Renegosiasi Langkah Terbaik

    Hadapi Perang Dagang Trump, Misbakhun: Renegosiasi Langkah Terbaik

    Jakarta, CNBC Indonesia – Guncangan akibat kebijakan tarif bea masuk tambahan baru ke Amerika Serikat (AS) yang diluncurkan oleh Presiden Donald Trump kemarin, Kamis (3/4/2025), ini diyakini berdampak signifikan kepada kinerja ekspor Indonesia.

    Ketua Komisi XI DPR Misbakhun mengingatkan agar pemerintah harus melakukan konsolidasi menyeluruh para stakeholders, a.l. kementerian lembaga, Bank Indonesia, eksportir, dan pihak terkait lainnya, untuk menghadapi tekanan ini.

    “Karena pemerintah harus tetap berhati-hati dalam menghitung untung rugi kebijakan tarif baru AS tersebut pada kinerja perekonomian Indonesia secara keseluruhan,” tegas Misbakhun, dalam rilisnya, Jumat (4/4/2025).

    “Upaya pemerintah Indonesia dengan mengirim Tim Khusus Tingkat Tinggi untuk melakukan lobby kepada pemerintah Amerika Serikat adalah sebuah langkah awal yg tepat dan kita semua berharap pada hasil Tim Lobby Khusus ini. Upaya renegosiasi dengan pemerintah Amerika Serikat adalah langkah terbaik,” tambahnya.

    Selama tahun 2024, nilai ekspor Indonesia ke Amerika Serikat sebesar US$ 26,4 miliar dan jumlah tersebut 9,9% dari total kinerja ekspor nasional Indonesia. Dengan demikian, posisi surplus di pihak Indonesia.

    Apalagi produk ekspor Indonesia, menurut Misbakhun, didominasi oleh produk tekstil, garmen, alas kaki, minyak CPO dan peralatan elektronik dimana hampir semuanya merupakan industri padat tenaga kerja terutama untuk tekstil, garmen dan alas kaki.

    Dengan demikian, Misbakhun menilai industri tersebut akan mengalami tekanan pada harga mereka di pasar AS, karena terkena dampak tarif tambahan baru tersebut.

    “Supaya mereka bisa bersaing dari sisi harga maka mereka juga harus makin efisien dalam struktur biaya produksi nya untuk menjaga kelangsungan usaha mereka,” ujarnya.

    Dia pun menuturkan arahan Presiden Prabowo adalah melakukan perbaikan struktural yang menghambat, termasuk upaya deregulasi dalam bentuk penyederhanaan aturan. Misbakhun yakin ini akan membantu upaya membangun efisiensi perusahaan di Indonesia sehingga mereka lebih mampu bersaing di pasar global.

    Lebih lanjut, dia pun melihat dampak lainnya yg serius dan harus diberikan respon oleh Bank Indonesia adalah pada kinerja nilai tukar rupiah atas dolar AS. Hal ini akan terjadi karena harga barang di AS akan makin mahal sementara pendapatan pekerja mereka masih tetap sehingga memicu kenaikan inflasi di AS yang saat ini masih relatif tinggi sejak pandemi Covid-19 lalu.

    Alhasil, ini mengakibatkan The Fed pasti akan menurunkan tingkat suku bunga mereka sebagai alat kontrol mereka supaya inflasi bisa dikendalikan. Akibat penurunan tingkat suku bunga The Fed akan menjadi pemicu ketidakpastian lagi sehingga prediksi pertumbuhan ekonomi akan mengalami koreksi dan itu membuat kekhawatiran pada ketidakpastian baru di pasar uang sehingga akan memberikan tekanan koreksi negatif pada nilai tukar rupiah atas dolar AS.

    “Untuk itu, Bank Indonesia harus melakukan upaya yang serius dalam melakukan stabilisasi nilai tukar rupiah atas USD. Jangan sampai tekanan koreksi negative rupiah melewati angka psikologis. Di saat pasar yang sedang libur lebaran saat ini, adalah waktu yang tepat bagi Bank Indonesia untuk melakukan exercises kebijakan stabilisasi nilai tukar yang paling tepat saat pasar kembali buka,” papar Misbakhun.

    Selain itu, Misbakhun menegaskan dampak tarif tambahan baru ini pasti akan mempengaruhi kinerja ekspor Indonesia sehingga perusahaan-perusahaan di Indonesia yang berorientasi ekspor pasti mengalami tekanan sehingga bisa jadi tekanan itu akan mempengaruhi struktur laba mereka dan akan memberikan dampak pada pembayaran pajak mereka ke negara.

    Pasalnya, selama ini kinerja penerimaan negara dari pajak, bea masuk dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) sangat dipengaruhi oleh kinerja ekspor dan faktor harga komoditas dunia.

    “Harus dihitung ulang target rencana penerimaan negara secara total apakah memberikan transmisi dampak pada target pembangunan di APBN 2025,” tegasnya.

    Dia menekankan beberapa poin di atas harus disiapkan kebijakan antisipasinya oleh pemerintah sehingga dampak langsung dari kebijakan tarif tambahan baru sebesar 32% oleh AS tersebut bisa diminimalisir.

    “Saya yakin Tim Ekonomi di Kabinet Merah Putih di bawah arahan Bapak Presiden Prabowo akan mampu menemukan formula kebijakan yang tepat dan bisa meredam guncangan akibat kebijakan tarif baru Trump,” tutupnya.

    (haa/haa)

  • Industri Ini Disebut Paling Terpukul Imbas Kebijakan Tarif Trump

    Industri Ini Disebut Paling Terpukul Imbas Kebijakan Tarif Trump

    Jakarta

    Pengusaha menyampaikan sejumlah sektor yang paling terdampak dari kebijakan tarif resiprokal yang diterapkan oleh Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump. Sektor tersebut di antaranya garmen, furniture hingga alas kaki.

    Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) Shinta Kamdani mengatakan kebijakan tersebut memberikan dampak negatif bagi kinerja ekspor serta industri dalam negeri. Trump diketahui mengumumkan kebijakan tarif resiprokal kepada sejumlah negara. Indonesia menjadi salah satu negara yang terkena kebijakan tersebut dengan tarif impor sebesar 32%.

    “Ekspor Indonesia ke AS kemungkinan besar tidak akan berhenti total & daya saing komparatif produk ekspor Indonesia kemungkinan juga tidak berubah terlalu drastis karena begitu banyak negara yang terkena tarif tersebut. Namun, kami memproyeksikan penurunan demand ekspor di pasar AS dalam jangka pendek karena shock pasar terhadap inflasi yang dihasilkan dari penerapan tarif ini di pasar AS,” kata Shinta kepada detikcom, Jumat (4/4/2025).

    Adapun efek lainnya, Shinta menyebut industri dengan pangsa pasar lebih besar ke AS akan lebih sulit bertahan dalam situasi ini. Menurut dia, setidaknya ada sejumlah sektor yang berdampak kebijakan tarif impor karena pasar ekspornya yang lebih besar ke AS, seperti garmen, alas kaki, furniture, dan perikanan.

    “Dalam perkiraan sementara kami, sektor garment, sepatu, karet, perikanan, & furniture akan sangat terdampak karena share ekspornya yang besar ke AS & kondisi industrinya masing-masing yang memiliki korelasi supply chain dengan UMKM. Atau karena kurangnya fleksibilitas untuk menciptakan diversifikasi ekspor secara segera/immediate,” terang Shinta.

    Sementara, untuk sektor lain seperti minyak kelapa sawit (CPO), biofuel, komponen produk elektronik, hingga mesin kendaraan dapat terkena dampak kebijakan tarif impor Trump. Meski begitu, Shinta menyebut sektor-sektor tersebut dapat bertahan karena lebih fleksibel dan permintaan dalam negeri masih ada.

    “Untuk sektor-sektor lain seperti CPO, biofuel atau komponen produk elektronik, permesinan atau kendaraan juga terdampak negatif, tetapi sektor tersebut kami perkirakan bisa lebih resilient dan lebih fleksibel atau bisa mendiversifikasi demand produksinya ke negara tujuan lain atau karena demand pasar dalam negeri,” imbuh Shinta.

    Sementara itu, Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Anindya Novyan Bakrie mengatakan kebijakan tersebut akan berdampak signifikan pada neraca pembayaran, khususnya neraca perdagangan dan arus investasi. Apalagi, menurut dia, AS merupakan pemasok valuta asing terbesar, yang menyumbang surplus perdagangan sebesar US$ 16,8 miliar pada tahun 2024.

    “Hampir semua ekspor komoditas utama Indonesia ke AS meningkat pada tahun 2024. Sebagian besar barang Indonesia yang diekspor ke AS adalah produk manufaktur, yaitu peralatan listrik, alas kaki, pakaian, bukan komoditas mentah,” kata Anindya dalam keterangannya.

    Menurut Anindya, selama ini, produk Indonesia dikenakan tarif impor sekitar 10% di AS. Namun, faktanya, beberapa barang konsumsi sepenuhnya bebas bea masuk karena Indonesia menikmati fasilitas Preferensi Sistem Umum (The Generalized System of Preferences/GSP) yang diberikan oleh pemerintah AS kepada negara-negara berkembang.

    Untuk memperkuat neraca perdagangan pasca-keputusan Trump, Anindya menilai negosiasi perdagangan dapat dilakukan lebih selektif. Fokus bisa dilakukan kepada industri padat karya terdampak secara vertikal, hulu hingga hilir. Selain itu, Indonesia perlu membuka pasar baru selain Asia Pasifik dan ASEAN, yakni pasar Asia Tengah, Turki dan Eropa, sampai Afrika dan Amerika Latin.

    (acd/acd)