Produk: CPO

  • Top 5 News: Harga iPhone hingga Ketua PN Jaksel Tersangka

    Top 5 News: Harga iPhone hingga Ketua PN Jaksel Tersangka

    Jakarta, Beritasatu.com – Harga iPhone yang diprediksi melonjak tiga kali lipat imbas perang dagang AS vs China hingga ketua PN Jakarta Selatan (PN Jaksel) menjadi tersangka suap dalam vonis kasus korupsi ekspor CPO menjadi dua di antara top 5 news Beritasatu.com sepanjang Minggu (13/4/2025). 

    Selain itu juga kelanjutan kasus Ridwan Kamil dengan Lisa Mariana masih mendapat perhatian dari pembaca.

    Berikut top 5 news Beritasatu.com: 

    1. Perang Dagang AS dan China, Harga iPhone Diprediksi Naik 3 Kali Lipat!

    Perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China kian memanas setelah kedua negara memutuskan untuk saling memberikan tarif balasan. Di tengah memanasnya isu perang dagang AS dan China, harga iPhone diprediksi naik hingga tiga kali lipat, yakni menjadi lebih dari US$ 3.000 dari semula US$ 1.000.

    Melansir dari AP News, pemerintahan Presiden Donald Trump memprediksi Apple akan memindahkan produksi iPhone ke dalam negeri di tengah eskalasi konflik kedua negara. Diketahui, Apple telah memproduksi sebagian besar iPhone di China sejak model pertamanya masuk pasaran 18 tahun lalu.

    2. Pengacara Ridwan Kamil Sindir Lisa Mariana: Ente Siapa Mau Dinafkahi?

    Kuasa hukum Ridwan Kamil, Muslim Jaya Butarbutar, menanggapi pernyataan selebgram Lisa Mariana yang mengeklaim memiliki anak dari kliennya. Ia meminta Lisa untuk tidak hanya berbicara di media sosial atau membentuk opini publik, tetapi menempuh jalur hukum yang semestinya.

    “Jangan hanya sebatas omong-omong, jangan sekadar mempublikasikan ke media untuk menggiring opini publik,” ujar Muslim Jaya dikutip dari channel YouTube, Minggu (13/4/2025).

    Menurutnya, ada mekanisme hukum yang dapat digunakan apabila Lisa Mariana memang menginginkan pengakuan status anak dari Ridwan Kamil.

    3. Gubernur Bengkulu Siap Tampung 1.000 Warga Gaza

    Top 5 news lainnya adalah kesiapan Gubernur Bengkulu Helmi Hasan untuk menampung warga Gaza di Bumi Merah Putih. Helmi menyambut positif inisiatif Presiden Prabowo Subianto yang menyatakan Indonesia siap menampung 1.000 warga Gaza Palestina.

    “Kita Bumi Merah Putih menyambut rencana Presiden Prabowo yang siap menampung 1.000 warga Gaza. Presiden belum menyebut daerah mana, maka kita menyatakan siap dan mendukung penuh,” kata Helmi, Sabtu (12/4/2025).

    Gubernur Helmi menjelaskan, apabila diizinkan akan segera menyiapkan tempat atau lahan sebagai rumah tinggal warga Gaza. “Intinya kita siap menampung 1.000 warga Gaza di Provinsi Bengkulu,” tutup Helmi.

  • Kronologi Suap 3 Hakim yang Vonis Lepas Terdakwa Korupsi Ekspor CPO

    Kronologi Suap 3 Hakim yang Vonis Lepas Terdakwa Korupsi Ekspor CPO

    Jakarta, Beritasatu.com – Kejaksaan Agung (Kejagung) mengungkapkan kronologi suap kepada majelis hakim yang menjatuhkan vonis lepas tiga korporasi terdakwa kasus korupsi ekspor minyak kelapa sawit mentah atau crude palm oil (CPO) di Pengadilan Tipikor Jakarta.

    Tiga orang majelis hakim yang memutuskan perkara yang menjerat PT Wilmar Group, PT Permata Hijau Group, dan PT Musim Mas Group itu sudah ditetapkan sebagai tersangka. Ketiganya adalah, Agam Syarif Baharudin (ASB), Ali Muhtaro (AL), dan Djuyamto (DJU). 

    Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejaksaan Agung Abdul Qohar mengatakan awalnya ASB menerima uang senilai Rp 4,5 miliar dari Muhammad Arif Nuryanta (MAN) yang saat itu menjabat sebagai ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

     “Setelah menerima uang Rp 4,5 miliar tadi, oleh ASB dimasukan ke dalam goody bag, dan setelah keluar ruangan dibagi kepada tiga orang, yaitu ASB sendiri, AL, dan DJU,” ujar Abdul Qohar dalam konferensi pers di lobi Kartika, Gedung Kejaksaan Agung, Jakarta, Senin (14/4/2025) dini hari.

    Selanjutnya, pada September 2024, Arif kembali memberikan uang dalam bentuk dolar Amerika Serikat kepada ketiga hakim tersebut. Uang setara Rp 18 miliar itu diberikan langsung kepada hakim DJU.

    Dari jumlah tersebut, ASB menerima setara Rp 4,5 miliar, DJU memperoleh sekitar Rp 6 miliar, dan AL mendapatkan sekitar Rp 5 miliar. 

    Qohar menegaskan para hakim mengetahui tujuan pemberian uang tersebut, yakni agar mereka menjatuhkan vonis lepas atau ontslag terhadap ketiga korporasi terdakwa korupsi ekspor CPO.

    Hingga kini, tujuh orang telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus ini, yaitu Muhammad Arif Nuryanta (MAN), Marcella Santoso (MS) dan Ariyanto (AR) selaku pengacara, Wahyu Gunawan (WG) sebagai panitera muda di PN Jakarta Utara, serta ketiga hakim ASB, AL, dan DJU.

    Marcella dan Ariyanto merupakan kuasa hukum dari tiga korporasi yang menjadi terdakwa dalam kasus korupsi ekspor CPO, yakni Permata Hijau Group, Wilmar Group, dan Musim Mas Group. 

    Majelis hakim menjatuhkan vonis lepas kepada ketiga korporasi yang terjerat kasus korupsi CPO itu dalam sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 19 Maret 2025.

    Putusan tersebut sangat berbeda dengan tuntutan jaksa penuntut umum yang meminta Permata Hijau Group dihukum membayar uang pengganti sebesar Rp 937 miliar, Wilmar Group sebesar Rp 11,8 triliun, dan Musim Mas Group sebesar Rp 4,8 triliun.

    Hasil penyidikan Kejagung mengungkap adanya praktik suap yang diduga mempengaruhi vonis tersebut. Marcella dan Ariyanto disebut memberikan suap sebesar Rp 60 miliar kepada Arif melalui Wahyu Gunawan.

    Qohar menyebut Arif menggunakan posisinya sebagai wakil ketua PN Jakarta Pusat saat itu untuk mengatur putusan lepas bagi para terdakwa korupsi ekspor CPO. 

    Saat Penggeledahan terkait kasus vonis lepas terdakwa korupsi ekspor CPO, penyidik menemukan dua amplop dalam tas milik Arif, satu amplop cokelat berisi 65 lembar uang pecahan SGD 1.000 dan satu amplop putih berisi 72 lembar uang pecahan US$ 100. Selain itu, dompet milik Arif juga disita dan di dalamnya ditemukan ratusan lembar uang dalam berbagai mata uang, seperti dolar AS, dolar Singapura, ringgit Malaysia, serta rupiah.

  • Ditetapkan Tersangka Suap Perkara Migor, 3 Hakim Langsung Ditahan

    Ditetapkan Tersangka Suap Perkara Migor, 3 Hakim Langsung Ditahan

    loading…

    Kejagung langsung menahan tiga hakim usai ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan suap atau gratifikasi vonis lepas atau onslag perkara Pemberian Fasilitas Ekspor Crude Palm Oil atau minyak kelapa sawit mentah (CPO). FOTO/REFI SANDI

    JAKARTA – Kejaksaan Agung (Kejagung) menetapkan tiga hakim sebagai tersangka kasus dugaan suap atau gratifikasi vonis lepas atau onslag perkara Pemberian Fasilitas Ekspor Crude Palm Oil atau minyak kelapa sawit mentah ( CPO ). Ketiganya adalah hakim yang menangani perkara yakni Djuyamto (Ketua Majelis Hakim), Agam Syarif Baharuddin, dan Ali Muhtarom (hakim anggota)

    Hal itu disampaikan Kapuspenkum Kejagung Harli Sireger didampingi Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Dirdik Jampidsus) Kejagung, Abdul Qohar di Kejagung, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Senin (14/4/2025) dini hari.

    Abdul Qohar mengatakan ketiga tersangka langsung dilakukan penahanan selama 20 hari ke depan di Rumah Tahanan (Rutan) Salemba Cabang Kejagung. Ketiga tersangka digelandang masuk ke mobil tahanan berwarna hijau mengenakan rompi merah muda tanpa komentar sedikit pun.

    “Terhadap para tersangka dilakukan penahanan 20 hari ke depan berdasarkan surat perintah penahanan nomor 25 tanggal 13 April 2025 untuk tersangka ASB, tersangka atas nama AM berdasarkan surat perintah penahanan nomor 26 tanggal 13 April 2025, dan yang terakhir atas nama tersangka DJU berdasarkan surat perintah penahanan nomor 27 tanggal 13 April 2025 dimana ketiga tersangka dilakukan penahanan di Rutan Salemba Cabang Kejaksaan Agung (Kejagung) RI,” ujar Abdul Qohar dalam konferensi pers.

    Qohar menambahkan bahwa ASB menerima uang USD setara Rp4,5 miliar; DJU menerima uang USD setara Rp6 miliar; dan AM menerima uang USD setara Rp5 miliar.

    Adapun pasal yang disangkakan terhadap ketiga orang tersebut adalah pasal 12 huruf C juncto pasal 12 huruf B, juncto pasal 6 ayat 2, juncto pasal 18 Undang-Undang nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang nomor 20 tahun 2021 juncto pasal 55 ayat 1 ke 1 kitab undang-undang hukum pidana (KUHP).

    Sebelumnya, Kejagung secara resmi menetapkan empat orang tersangka dalam kasus suap perkara tersebut.

    Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Dirdik Jampidsus) Kejaksaan Agung, Abdul Qohar menyampaikan bahwa penyidik mengantongi alat bukti permulaan yang cukup, sehingga status keempat orang ini dinaikkan menjadi tersangka.

  • 10
                    
                        Ketua PN Jaksel Terima Suap Rp 60 Miliar, Tiga Hakim Lain Kebagian Rp 22,5 Miliar
                        Nasional

    10 Ketua PN Jaksel Terima Suap Rp 60 Miliar, Tiga Hakim Lain Kebagian Rp 22,5 Miliar Nasional

    Ketua PN Jaksel Terima Suap Rp 60 Miliar, Tiga Hakim Lain Kebagian Rp 22,5 Miliar
    Editor
    JAKARTA, KOMPAS.com 
    – Ketua Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan,
    Muhammad Arif Nuryanta
    (MAN) diduga menerima suap vonis lepas kasus ekspor crude palm oil (CPO) sebesar Rp 60 miliar. 
    Suap diberikan agar hakim memberikan vonis ontslag atau putusan lepas terhadap tiga perusahaan yang terlibat yakni Wilmar Group, Permata Hijau Group, dan Musim Mas Group.
    Dari Rp 60 miliar tersebut, Muhammad Arif Nuryanta membagikan Rp 22,5 miliar kepada tiga hakim yang menangani
    kasus ekspor CPO
    tersebut.
    Mereka adalah Agam Syarif Baharuddin (ASB) dan Ali Muhtarom (AM) selaku hakim Pengadilan Negeri Jakarta (PN) Pusat, serta hakim PN Jakarta Selatan, Djuyamto (DJU).
    Muhammad Arif Nuryanta awalnya menyerahkan uang Rp 4,5 kepada ketiga hakim. Lalu pada September-Oktober 2024, Muhammad Arif Nuryanta menyerahkan uang senilai Rp 18 miliar kepada Djuyamto (DJU).
    Djuyamto membagi uang tersebut dengan Agam Syarif Baharuddin (ASB) dan Ali Muhtarom (AL) yang diserahkan di depan Bank BRI Pasar Baru Jakarta Pusat.
    “Untuk ASB menerima uang dollar AS dan bila disetarakan rupiah sebesar Rp 4,5 miliar, DJU menerima uang dollar AS jika dirupiahkan sebesar atau setara Rp 6 miliar, dan AM menerima uang berupa dollar AS jika disetarakan rupiah sebesar Rp 5 miliar,” ujar Direktur Penyidikan (Dirdik) Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejaksaan Agung Abdul Qohar saat konferensi pers di Lobi Kartika, Kejaksaan Agung, Sabtu (12/4/2025) malam.
    Terkait sisa uang suap, Qohar mengatakan pihaknya masih melakukan penyelidikan. 
    “Ini lah yang masih kami kembangkan. Apakah sisanya masih ada yang dibagi kepada orang lain? Atau seluruhnya dikuasi yang bersangkutan yaitu tersangka MAN,” katanya. 
    Vonis lepas merupakan putusan hakim yang menyatakan bahwa terdakwa terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan, tetapi perbuatan tersebut tidak termasuk dalam kategori tindak pidana.
    Atas tindakannya, Muhammad Arif Nuryanta alias MAN disangkakan Pasal 12 huruf c jo. Pasal 12 huruf b jo. Pasal 6 ayat (2) jo. Pasal 12 huruf a jo. Pasal 12 huruf b jo. Pasal 5 ayat (2) jo. Pasal 11 jo. Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dan ditambah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
    Sementara, tiga hakim yakni Agam Syarif Baharuddin (ASB), Ali Muhtarom (AM) dan Djuyamto (DJU) disangkakan melanggar Pasal 12C juncto 12B juncto 6 ayat 2 juncto Pasal 18 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • 4
                    
                        Dari Majelis Hakim ke Majelis Tersangka
                        Nasional

    4 Dari Majelis Hakim ke Majelis Tersangka Nasional

    Dari Majelis Hakim ke Majelis Tersangka
    Dosen Fakultas Hukum Universitas Pasundan & Sekretaris APHTN HAN Jawa Barat
    PENGADILAN
    adalah panggung terakhir keadilan. Di sanalah nasib rakyat dan negara diputuskan dalam nama hukum.
    Namun, bagaimana jika panggung itu sendiri telah ternoda? Ketika hakim tak lagi menjunjung keadilan, tetapi menjadi bagian dari skenario kejahatan, maka pengadilan kehilangan rohnya.
    Itulah yang terjadi dalam skandal suap yang melibatkan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Muhammad Arif Nuryanta.
    Penetapan tersangka terhadap Muhammad Arif oleh Kejaksaan Agung dalam kasus dugaan suap Rp 60 miliar adalah ironi hukum yang mengoyak nurani publik.
    Seorang yang seharusnya menjaga keadilan justru terjerembab dalam jebakan kekuasaan dan uang.
    Bersama tiga tersangka lain—panitera muda Wahyu Gunawan serta dua advokat, Marcella Santoso dan Ariyanto—mereka diduga merekayasa vonis untuk membebaskan tiga korporasi raksasa dalam perkara ekspor crude palm oil (CPO).
    Vonis “lepas” untuk Permata Hijau Group, Wilmar Group, dan Musim Mas Group bukanlah peristiwa biasa. Ini adalah putusan hukum yang berdampak pada integritas sistem peradilan, penegakan hukum antikorupsi, dan tentu saja kepercayaan publik.
    Uang suap yang mengalir diyakini menjadi pelumas atas keputusan tersebut. Maka, ruang sidang yang seharusnya suci berubah menjadi meja transaksi. Dan majelis hakim bukan lagi pembawa keadilan, melainkan bagian dari jaringan kejahatan.
    Hakim adalah simbol tertinggi moralitas dalam sistem hukum. Namun, skandal ini menyuguhkan kenyataan pahit bahwa palu keadilan bisa diarahkan oleh kekuasaan uang.
    Uang tak hanya merusak integritas individu, tetapi juga meruntuhkan institusi. Ketika hakim menjadi broker putusan, maka habis sudah daya magis hukum.
    Fakta yang diungkap Kejaksaan Agung mencengangkan: uang miliaran ditemukan dalam berbagai mata uang, dan barang-barang mewah seperti Ferrari, Nissan GT-R, Mercedes-Benz dan Lexus ditemukan dalam penggeledahan.
    Semua ini menunjukkan betapa dalamnya korupsi mengakar, bahkan di lembaga yang konon adalah benteng terakhir pencari keadilan.
    Skandal ini adalah puncak gunung es. Ia mencerminkan masalah struktural dalam sistem peradilan kita: mulai dari lemahnya pengawasan internal, budaya impunitas, hingga tidak adanya mekanisme pencegahan yang efektif.
    Yang lebih menyesakkan, lembaga setingkat Mahkamah Agung tampak selalu terlambat, baik dalam merespons, mengawasi, maupun menegakkan disiplin.
    Ketika kekuasaan kehakiman sudah bisa dibeli, maka konsep negara hukum hanya tinggal slogan.
    Korupsi di lingkungan peradilan adalah bentuk tertinggi pengkhianatan terhadap konstitusi dan mandat rakyat. Ini bukan hanya pelanggaran etika, tetapi juga pembangkangan terhadap keadaban.
    Vonis yang bisa dinegosiasikan artinya keadilan hanya tersedia bagi yang mampu membayar. Maka, rakyat kecil akan selalu kalah.
    Sementara korporasi besar, dengan dana dan koneksi, bisa keluar dari ruang sidang tanpa luka. Tak heran jika publik makin sinis terhadap hukum. Di negeri ini, hukum seperti barang lelang: siapa yang menawar lebih tinggi, dia menang.
    Perkara korupsi ekspor CPO adalah tragedi ganda. Negara tidak hanya dirugikan secara ekonomi, tetapi juga secara moral dan politik.
    Ketika negara berusaha mengejar kerugian melalui jalur hukum, jalur itu justru dibajak oleh hakim sendiri. Inilah bentuk sabotase internal terhadap upaya pemberantasan korupsi.
    Kita tidak bisa hanya menyalahkan individu. Harus ada pertanggungjawaban kelembagaan. Di mana Mahkamah Agung ketika moralitas hakimnya jatuh? Apa yang dilakukan Komisi Yudisial untuk memastikan calon hakim adalah orang-orang berintegritas? Kasus ini harus menjadi titik balik.
    Sudah saatnya pengawasan yudisial diperkuat. Mahkamah Agung tidak bisa lagi hanya mengandalkan sistem rotasi dan mutasi.
    Harus ada sistem deteksi dini, pengawasan berbasis kinerja, audit gaya hidup, dan pelibatan publik dalam pemantauan peradilan.
    Komisi Yudisial perlu diberikan kewenangan lebih dalam menindak dan menilai hakim, bukan sekadar menerima laporan masyarakat.
    Kasus ini adalah peluang sekaligus peringatan. Jika negara benar-benar ingin memulihkan kepercayaan publik, maka harus dilakukan bersih-bersih total.
    Tidak hanya memecat dan menuntut pelaku, tapi juga membenahi sistem. Kita butuh reformasi peradilan gelombang baru: yang tidak hanya berbicara teknis, tapi juga etis dan filosofis.
    Pendidikan hukum harus memasukkan integritas sebagai kurikulum utama. Rekrutmen hakim harus lebih selektif dan terbuka. Dan di atas semuanya, harus ada keteladanan dari pimpinan lembaga peradilan.
    Kita tidak bisa terus menerus membiarkan hukum dijadikan komoditas. Negara ini tidak boleh tunduk pada jaringan mafia hukum yang tumbuh dari dalam lembaga yudikatif itu sendiri.
    Jika tidak ada langkah serius, maka krisis kepercayaan publik akan menjadi krisis legitimasi hukum.
    Kita sudah terlalu sering mendengar janji reformasi hukum. Namun, kasus demi kasus menunjukkan bahwa janji tinggal janji.
    Padahal hukum bukan sekadar norma, ia adalah harapan. Ketika harapan itu dipermainkan oleh mereka yang seharusnya menjaganya, maka rakyat hanya akan melihat hukum sebagai lelucon mahal.
    Skandal ini bukan hanya tentang Ketua PN Jakarta Selatan yang berubah status dari hakim menjadi tersangka. Ini tentang seluruh ekosistem hukum yang sedang sakit. Tentang kegagalan institusi dalam menciptakan tembok integritas.
    Dan tentang rakyat yang lelah, karena setiap palu dipukul, yang terdengar hanya gema uang, bukan gema keadilan.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • 3 Hakim Tersangka Suap Vonis Lepas Korupsi Ekspor CPO Ditahan

    3 Hakim Tersangka Suap Vonis Lepas Korupsi Ekspor CPO Ditahan

    Jakarta, Beritasatu.com – Kejaksaan Agung (Kejagung) menetapkan tiga hakim sebagai tersangka dalam kasus suap terkait vonis lepas korupsi ekspor minyak mentah kelapa sawit atau crude palm oil (CPO) oleh tiga perusahaan besar, yakni PT Wilmar Group, PT Permata Hijau Group, dan PT Musim Mas Group. 

    Ketiga tersangka, adalah Agam Syarif Baharuddin dan Ali Muhtarom merupakan hakim di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, serta Djuyamto, hakim dari Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Mereka langsung ditahan.

    “Berdasarkan alat bukti yang cukup, dimana penyidik memeriksa tujuh orang saksi, maka pada pukul 11.30 WIB kami telah menetapkan tiga orang sebagai tersangka dalam kasus ini,” kata Direktur Penyidikan (Dirdik) Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Abdul Qohar dalam konferensi pers di lobi Kartika Gedung Kejagung, Jakarta, Minggu (13/4/2025) malam.

    Qohar menjelaskan ketiga tersangka merupakan majelis hakim yang memvonis lepas tiga perusahaan dari dakwaan korupsi ekspor CPO.

    Dari hasil penyelidikan ditemukan mereka menerima uang suap dalam jumlah miliaran rupiah melalui Muhammad Arif Nuryanta yang saat itu menjabat sebagai wakil ketua PN Jakarta Pusat.

    Uang tersebut, lanjut Qohar, berasal dari tersangka Ariyanto, pengacara yang mewakili korporasi yang menjadi terdakwa dalam kasus korupsi ekspor CPO.

    “Ketiga hakim itu mengetahui tujuan penerimaan uang tersebut, yaitu agar perkara tersebut diputus ontslag (vonis lepas),” jelasnya.

    Kejagung langsung menahan ketiga hakim tersangka suap vonis lepas korupsi CPO tersebut di Rutan Salemba cabang Kejaksaan Agung selama 20 hari ke depan.

    Dengan tambahan tiga tersangka ini, jumlah tersangka dalam kasus dugaan suap vonis lepas korupsi ekspor CPO menjadi tujuh orang.

    Sebelumnya, Kejagung telah menetapkan empat tersangka lainnya, yaitu panitera muda perdata PN Jakarta Utara Wahyu Gunawan, advokat Marcella Santoso dan Ariyanto, serta mantan Ketua PN Jakarta Selatan Muhammad Arif Nuryanta.

    Putusan ontslag (vonis lepas) tersebut dijatuhkan oleh majelis hakim di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) PN Jakarta Pusat pada 19 Maret 2025. 

    Ketua majelis hakim Djuyamto bersama hakim anggota Ali Muhtarom dan Agam Syarif Baharuddin menyatakan para terdakwa dari PT Wilmar Group, PT Permata Hijau Group, dan PT Musim Mas Group terbukti melakukan perbuatan sebagaimana didakwakan oleh jaksa.

    Namun demikian, majelis hakim memutus bahwa perbuatan tersebut tidak tergolong sebagai tindak pidana (ontslag van alle rechtsvervolging), sehingga para terdakwa dibebaskan dari segala tuntutan hukum. 

    Majelis hakim juga memerintahkan memulihkan hak, kedudukan,  harkat, dan martabat para terdakwa korupsi ekspor CPO.

  • Profil Djuyamto: Dulu Hakim Kasus Novel dan Hasto, Kini Tersangka Suap
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        14 April 2025

    Profil Djuyamto: Dulu Hakim Kasus Novel dan Hasto, Kini Tersangka Suap Nasional 14 April 2025

    Profil Djuyamto: Dulu Hakim Kasus Novel dan Hasto, Kini Tersangka Suap
    Editor
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Hakim
    Djuyamto
    ditetapkan sebagai tersangka kasus suap vonis lepas kasus ekspor crude palm oil (CPO) di tiga perusahaan yaitu Wilmar Group, Permata Hijau Group, dan Musim Mas Group.
    Djuyamto bersama Agam Syarif Baharuddin (ASB) dan Ali Muhtarom (AL) selaku hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, diduga menerima suap sebesar Rp 22,5 miliar. 
    Pada saat itu, ketiganya merupakan majelis hakim yang menangani kasus ekspor CPO. 
    Uang tersebut diserahkan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Muhammad Arif Nuryanta (MAN), sebanyak dua kali. Tujuannya, agar ketiga hakim memutuskan perkara CPO onslag atau putusan lepas.
    Muhammad Arif Nuryanta awalnya menyerahkan uang Rp 4,5 kepada ketiga hakim. Lalu pada September-Oktober 2024, Muhammad Arif Nuryanta menyerahkan uang senilai Rp 18 miliar kepada Djuyamto (DJU).
    Djuyamto membagi uang tersebut dengan Agam Syarif Baharuddin (ASB) dan Ali Muhtarom (AL) yang diserahkan di depan Bank BRI Pasar Baru Jakarta Pusat.
    “Untuk ASB menerima uang dollar AS dan bila disetarakan rupiah sebesar Rp 4,5 miliar, DJU menerima uang dollar AS jika dirupiahkan sebesar atau setara Rp 6 miliar, dan AM menerima uang berupa dollar AS jika disetarakan rupiah sebesar Rp 5 miliar,” ujar Direktur Penyidikan (Dirdik) Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejaksaan Agung Abdul Qohar saat konferensi pers di Lobi Kartika, Kejaksaan Agung, Sabtu (12/4/2025) malam.
    Lalu siapakah Djuyamto? Berikut profilnya:
    Djuyamto lahir di Sukoharjo pada 18 Desember 1967. Dia menuntaskan studi S1 dan S2 di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Solo (UNS). Gelar doktornya juga diperoleh di Fakultas Humum UNS.
    Berdasarkan situs resmi PN Jakarata Selatan, Djuyamto merupakan hakim dengan jabatan Pembina Utama Muda (IV/c).
    Sebelumnya, ia pernah bertugas di sejumlah tempat seperti PN Tanjungpandan, PN Temanggung, PN Karawang, PN Dompu, PN Bekasi, PN Jakarta Utara. 
    Dia juga masuk dalam kepengurusan Ikatan Hakim Indonesia sebagai Sekretaris Bidang Advokasi. 
    Harta kekayaan Djuyamto berdasarkan LHKPN di KPK sebesar Rp 2,9 miliar. 
    Djuyamto tercatat menjadi hakim ketua dalam kasus penyiraman air keras terhadap penyidik senior KPK Novel Baswedan pada tahun 2019.
    Dalam sidang yang dipimpin Djuyamto itu menyatakan terdakwa penyiraman air keras Novel Baswedan, Rahmat Kadir Mahulette, divonis dua tahun penjara.
    Sementara terdakwa lainnya yakni Ronny Bugis dijatuhkan vonis 1,5 tahun penjara.
    Selain itu, Djuyamto juga tercatat pernah menjadi Hakim anggota dalam kasus obstruction of justice perkara pembunuhan berencana terhadap Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat, yang saat itu turut menyita perhatian publik.
    Djuyamto menjadi hakim anggota untuk menyidangkan 3 terdakwa, yakni Brigjen Hendra Kurniawan, Kombes Pol Agus Nurpatria, dan AKBP Arif Rahman Arifin.
    Beberapa waktu lalu, Djuyamto menjadi hakim tunggal dalam sidang praperadilan yang diajukan Sekretaris Jenderal (Sekjen) Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P)
    Hasto Kristiyanto
    .
    Diketahui, Hasto menggugat KPK lantaran ditetapkan sebagai tersangka dugaan suap dan perintangan penyidikan dalam perkara eks calon anggota legislatif dari PDI-P, Harun Masiku.
    Dalam putusannya, Djuyamto tidak menerima gugatan praperadilan yang diajukan Hasto.
    “Mengadili, mengabulkan eksepsi dari termohon, menyatakan permohonan pemohon kabur atau tidak jelas,” kata Hakim Djuyamto dalam sidang di PN Jakarta Selatan, Kamis (13/2/2025).
    “Menyatakan permohonan praperadilan pemohon tidak diterima,” kata Djuyamto.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Djuyamto Terima Suap Paling Banyak dari 2 Hakim Lain Kasus Vonis Lepas Perkara CPO, Capai Rp 7,5 M – Halaman all

    Djuyamto Terima Suap Paling Banyak dari 2 Hakim Lain Kasus Vonis Lepas Perkara CPO, Capai Rp 7,5 M – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Djuyamto, Hakim Pengadilan Jakarta Selatan ditetapkan bersama dua hakim lainnya menjadi tersangka dalam kasus suap pemberi vonis onslag atau lepas dalam perkara korupsi ekspor crude palm oil (CPO).

    Dia terbukti menerima aliran dana suap untuk pengurusan perkara saat ditunjuk menjadi Ketua Majelis Hakim perkara tersebut oleh Wakil Ketua Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, Muhammad Arif Nuryanta yang kini menjabat Ketua PN Jakarta Selatan.

    Total sekitar Rp 22,5 miliar dari Rp 60 miliar yang diberikan pengacara tersangka korporasi dalam perkara tersebut melalui Arif kepada Djuyamto dan dua hakim lain yakni Ali Muhtarom sebagai Hakim AdHoc dan Agam Syarif Baharudin sebagai Hakim Anggota.

    “Saat itu yang bersangkutan (Arif) menjabat sebagai Wakil Ketua PN Jakpus kemudian menunjuk majelis hakim yang terdiri dari DJU sebagai ketua majelis, kemudian AM adalah hakim adhoc dan ASB sebagai anggota majelis,” ujar Direktur Penyidikan Jampidsus Kejagung, Abdul Qohar di kantornya, Senin (14/4/2025).

    SUAP VONIS LEPAS – Hakim Djuyamto setelah ditetapkan sebagai tersangka kasus suap untuk vonis onslag atau lepas perkara korupsi ekspor crude palm oil (CPO) di Kejaksaan Agung, Jakarta, Senin (14/4/2025) dini hari. Djuyamto diketahui menjadi Ketua Majelis Hakim yang memvonis lepas tersangka korporasi di kasus tersebut. (Tribunnews.com/Abdi Ryanda Shakti)

    Arif yang kini juga sudah ditetapkan sebagai tersangka awalnya memberikan uang sebesar Rp 4,5 miliar ke Djuyamto cs untuk membaca berkas perkara. 

    Uang itu dibagi rata sehingga per orang mendapat Rp 1,5 miliar.

    Tahap selanjutnya, Arif kembali memberikan uang Rp 18 miliar kepada Djuyamto cs pada September hingga Oktober 2024 dengan tujuan agar sidang yang mereka pimpin dikondisikan agar berujung vonis onslag atau lepas.

    “ASB menerima uang dollar dan bila disetarakan rupiah sebesar Rp 4,5 miliar, kemudian DJU menerima uang dollar jika dirupiahkan sebesar atau setara Rp 6 miliar, dan AL menerima uang berupa dollar Amerika jika disetarakan rupiah sebesar Rp 5 miliar,” ujarnya.

    Sehingga, dalam pembagian uang suap ini, Djuyamto mendapat bagian terbanyak yakni sekitar Rp 7,5 miliar untuk pengurusan kasus tersebut.

    Untuk informasi, dalam perkara suap vonis onslag ini, Kejagung sendiri awalnya menetapkan empat orang sebagai tersangka.

    Empat tersangka tersebut adalah:

    MAN alias Muhammad Arif Nuryanta, yang kini menjabat sebagai Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan
    WG yang kini merupakan panitera muda di Pengadilan Negeri Jakarta Utara
    Sementara itu MS dan AR berprofesi sebagai advokat.

    “Penyidik menemukan fakta dan alat bukti bahwa MS dan AR melakukan perbuatan pemberian suap dan atau gratifikasi kepada MAN sebanyak, ya diduga sebanyak Rp60 miliar,” kata Direktur Penyidikan (Dirdik) Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejaksaan Agung, Abdul Qohar, Sabtu (12/4/2025) malam.

    Abdul Qohar menjelaskan jika suap tersebut diberikan untuk memengaruhi putusan perkara korporasi sawit soal pemberian fasilitas ekspor CPO dan turunannya.

    “Terkait dengan aliran uang, penyidik telah menemukan bukti yang cukup bahwa yang bersangkutan (MAN)  diduga menerima uang sebesar 60 miliar rupiah,” ujar Abdul Qohar.

    “Untuk pengaturan putusan agar putusan tersebut dinyatakan onslag, dimana penerimaan itu melalui seorang panitera namanya WG,” imbuhnya.

    Putusan onslag tersebut dijatuhkan pada tiga korporasi raksasa itu. 

    Padahal, sebelumnya jaksa menuntut denda dan uang pengganti kerugian negara hingga sekira Rp 17 triliun.

    Dalam perjalanannya, Kejagung juga menetapkan tiga orang lainnya sebagai tersangka. Ketiganya merupakan majelis hakim yang memberikan vonis onslag dalam perkara tersebut, yakni:

    Djuyamto sebagai Ketua Majelis Hakim
    Ali Muhtarom sebagai Hakim AdHoc
    Agam Syarif Baharudin sebagai Hakim Anggota

  • 3 Hakim Pemberi Vonis Lepas Korupsi Migor Berompi Tahanan

    3 Hakim Pemberi Vonis Lepas Korupsi Migor Berompi Tahanan

    Tiga hakim PN Jakpus pemberi vonis lepas kepada terdakwa korporasi dalam perkara korupsi ekspor crude palm oil (CPO) atau bahan baku minyak goreng ditetapkan sebagai tersangka dugaan suap oleh Kejaksaan Agung RI. Ketiganya yakni hakim Agam Syarif Baharudin (ASB), hakim Ali Muhtarom (AM) dan hakim Djuyamto (DJU).

  • Kejagung Sita 21 Motor dari Rumah Tersangka Suap Vonis Lepas Ekspor CPO
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        14 April 2025

    Kejagung Sita 21 Motor dari Rumah Tersangka Suap Vonis Lepas Ekspor CPO Nasional 14 April 2025

    Kejagung Sita 21 Motor dari Rumah Tersangka Suap Vonis Lepas Ekspor CPO
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Sebanyak 21 unit sepeda motor dan 7 sepeda dari berbagai merek disita
    Kejaksaan Agung
    (Kejagung) dari rumah tersangka suap vonis lepas kasus
    ekspor crude palm oil
    (CPO), Ariyanto Bahri (AR).
    Selain itu, penyidik juga menyita 1 unit mobil merek Toyota Land Cruiser dan 2 unit mobil merek Land Rover.
    “Kemudian 21 unit sepeda motor, ini di sebelah kanan saya banyak motor besar ya, dan 7 sepeda, juga ini disita dari rumah Ariyanto Bahri (kuasa hukum korporasi),” ujar Direktur Penyidikan (Dirdik) Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejaksaan Agung, Abdul Qohar, dalam konferensi pers di Lobi Kartika, Kejaksaan Agung, Jakarta, Senin (14/4/2025).
    Selain puluhan motor dan sepeda, Kejagung juga menyita 10 lembar pecahan 100 dollar Singapura. Lalu 74 lembar pecahan 50 dollar Singapura. 
    “Uang tersebut telah disita di rumah Ariyanto Bahri yang tersangkutan juga sudah ditetapkan sebagai bersangka satu hari yang lalu,” ungkapnya. 
    Selain AR, Kejagung juga telah menetapkan enam tersangka lainnya terkait kasus suap vonis lepas ekspor CPO terhadap tiga perusahaan yakni PT Wilmar Group, PT Permata Hijau Group, dan PT Musim Mas Group.
    Mereka adalah Ketua Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan (Jaksel), 
    Muhammad Arif Nuryanta
    ; Panitera Muda Perdata Jakarta Utara berinisial WG; dan Kuasa Hukum Korporasi Marcella Santoso. 
    Kemudian, Agam Syarif Baharuddin (ASB) dan Ali Muhtarom (AM) selaku hakim Pengadilan Negeri Jakarta (PN) Pusat, serta hakim PN Jakarta Selatan, Djuyamto (DJU).
    Kejaksaan menduga Muhammad Arif Nuryanta menerima suap Rp 60 miliar. Sementara tiga hakim yakni Agam Syarif Baharuddin (ASB), Ali Muhtarom (AM) dan Djuyamto (DJU) diduga menerima uang suap Rp 22,5 miliar. 
    Suap tersebut diberikan agar majelis hakim yang menangani kasus ekspor CPO divonis lepas. 
    Vonis lepas merupakan putusn hakim yang menyatakan bahwa terdakwa terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan, tetapi perbuatan tersebut tidak termasuk dalam kategori tindak pidana.
    Atas tindakannya, Arif alias MAN disangkakan Pasal 12 huruf c jo. Pasal 12 huruf b jo. Pasal 6 ayat (2) jo. Pasal 12 huruf a jo. Pasal 12 huruf b jo. Pasal 5 ayat (2) jo. Pasal 11 jo. Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
    Tindak Pidana Korupsi
    sebagaimana diubah dan ditambah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
    WG disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a juncto Pasal 12 huruf b jo. Pasal 5 ayat (2) jo. Pasal 11 jo. Pasal 12 huruf b jo. Pasal 18 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dan ditambah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
    MS dan AR disangkakan melanggar Pasal 6 ayat (1) huruf a jo. Pasal 5 ayat (1) jo. Pasal 13 jo. Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dan ditambah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
    Sementara, tiga hakim yakni Agam Syarif Baharuddin (ASB), Ali Muhtarom (AM) dan Djuyamto (DJU) disangkakan melanggar Pasal 12C juncto 12B juncto 6 ayat 2 juncto Pasal 18 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.