Produk: CPO

  • Indonesia Dapat Kembangkan Produk Turunan Sawit Jadi Biodiesel hingga Suplemen MBG

    Indonesia Dapat Kembangkan Produk Turunan Sawit Jadi Biodiesel hingga Suplemen MBG

    PIKIRAN RAKYAT – Ekspor sawit Indonesia ke Eropa, terutama ke Uni Eropa, menghadapi tantangan yang signifikan, termasuk kebijakan anti-deforestasi yang baru diberlakukan. Uni Eropa menjadi salah satu pasar utama minyak sawit mentah (Crude Palm Oil/CPO) dari Indonesia. Namun, kebijakan seperti European Union Deforestation Regulation (EUDR) dan Renewable Energy Directive (RED) II, yang membatasi penggunaan biofuel sawit, telah memengaruhi ekspor CPO Indonesia ke Uni Eropa.

    Menanggapi hal ini, Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Lamhot Sinaga menjelaskan, berdasarkan informasi yang diterimanya, ekspor CPO saat ini hanya tinggal 7 persen dari sebelumnya hampir menyentuh 80 persen. Adapun selebihnya, sudah diolah menjadi menjadi turunan sawit itu sendiri.

    Ia menambahkan, publik mengenal produk turunan sawit selama ini hanya untuk minyak goreng, deterjen, dan sebagainya. Padahal, sawit dapat menjadi turunan dalam bentuk biodiesel untuk memenuhi kebutuhan BBM.

    “Sehingga, (hal itu dapat memenuhi kebutuhan energi) di tengah-tengah defisitnya kebutuhan BBM kita atau energi kita yang selama ini kita impor ya,” jelas Lamhot kepada Parlementaria usai Komisi VII melakukan pertemuan dengan mitra kerja dan stakeholder terkait sawit, di Medan, Sumatera Utara, Kamis (11/4/2025).

    Ia menjelaskan kebutuhan energi, khususnya BBM, per hari ini adalah kurang lebih sekitar 2 juta barel per hari (barel per day/bpd). Sementara, lifting migas nasional hanya mampu penuhi di angka sekitar 600 ribu bpd, sehingga Indonesia harus impor antara 1,4-1,6 juta bpd.

    “Nah, karena itu kita ingin mendorong industri sawit untuk memproduksi industri turunan untuk biodiesel untuk menutupi defisitnya BBM kita atau mengurangi angka importasi BBM kita. Kalau kemudian nanti semua industri sawit kita ini bisa memproduksi biodiesel sebagai hasil turunan daripada industri sawit, maka kemudian otomatis importasi kita terhadap BBM yang saat ini membebani APBN kita, itu tentu akan menurun jauh drastis,” ujar Politisi Fraksi Partai Golkar ini.

    Diketahui, saat ini Indonesia harus mengeluarkan anggaran untuk subsidi BBM per tahun sekitar 300-400 triliun. Karena itu, jika sawit dapat menjadi produk turunan berupa biodiesel, maka subsidi yang besar tersebut dapat dialihkan untuk kebutuhan lain yang lebih urgen.

    Selain untuk kebutuhan biodiesel, produk turunan sawit yang juga tidak kalah penting adalah untuk memenuhi kebutuhan nutrisi. Menurutnya, di beberapa negara Eropa, produk turunan sawit dapat digunakan sebagai suplemen nutrisi, khususnya untuk memenuhi kebutuhan gizi anak. Sehingga, hal ini dapat pula untuk menjadi suplemen makanan tambahan yang selaras dengan Program Pemerintah, yaitu Makan Bergizi Gratis (MBG.

    “MBG tujuannya adalah untuk anak-anak kita sekarang ini supaya mendapat asupan gizi yang cukup, sehingga mereka nanti menjadi sumber daya manusia yang unggul di tahun-tahun yang akan datang, ternyata sawit ini juga kan adalah sumber nutrisi sebagai pengganti suplemen dan ini sudah umum digunakan di negara-negara lain,” tambahnya. 

    Bahkan, Lamhot menilai, negara di Eropa seperti Belanda telah menggunakan suplemen turunan produk sawit tersebut sebagai pemenuhan nutrisi sehari-hari. “Hanya itu saja yang dia pakai dan memang sudah terbukti bahwa ketika itu dikonsumsi itu long life-nya lebih tinggi karena udah tercukupi dengan gizinya,” pungkasnya.

     Hadir dalam pertemuan itu, perwakilan Kemenperin RI, PTPN IV, TVRI, RRI Pusat, RRI Medan, BPDPK, Palm Co (PTPN IV), PT. KINRA (KI Nusantara), PPKS/PT RPN Sumut, Pimpinan dan jajaran PKS Adolina, Pimpinan PalmCo dan Koperasi Gerak Nusantara, GAPKI, GAPKI Cabang Sumut, RSI (Rumah Sawit Indonesia) Cab Sumut, GIMNI, APOLIN, APROBI, AIMMI, AEMJI, APMJI, GAPULIMGI, dan GAPPKES MIKEMINDO.***

    Simak update artikel pilihan lainnya dari kami di Google News

  • Awal Mula Kasus Suap Vonis Lepas Korupsi CPO, Ada Ancaman Hukuman Diperberat jika Tak Beri Uang – Halaman all

    Awal Mula Kasus Suap Vonis Lepas Korupsi CPO, Ada Ancaman Hukuman Diperberat jika Tak Beri Uang – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Kejaksaan Agung (Kejagung) mengungkap awal mula kasus suap vonis onslag atau lepas dalam perkara korupsi CPO yang menyeret hakim pengadilan terjadi.

    Direktur Penyidikan Jampidsus Kejagung, Abdul Qohar mengatakan awalnya tersangka Wahyu Gunawan yang saat itu sebagai Panitera Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat bertemu dengan pengacara terdakwa yang kini juga tersangka kasus suap, yakni Ariyanto.

    Dalam pertemuan itu, Wahyu mengancam putusan perkara ini bisa dihukum maksimal, bahkan lebih jika tidak memberikan uang.

    “Di mana pada saat itu Wahyu Gunawan menyampaikan agar perkara minyak goreng harus diurus jika tidak putusannya bisa maksimal bahkan melebihi tuntutan jaksa penuntut umum,” kata Qohar dalam konferensi pers di Gedung Kejagung, Jakarta, Selasa (15/4/2025).

    “Dalam pertemuan tersebut Wahyu Gunawan juga menyampaikan agar Ariyanto yang dalam hal ini selaku penasihat korporasi untuk menyiapkan biaya pengurusannya,” sambungnya.

    Atas permintaan itu, Ariyanto pun menghubungi rekannya, Marcella Santoso. Selanjurnya, Marcella bertemu Muhammad Syafei atau MSY yang merupakan tim Legal PT Wilmar Group sebagai terdakwa korporasi.

    Pertemuan itu dilakukan di sebuah rumah makan, yakni Daun Muda Soulfood by Peresthu – Wolter Monginsidi, Jakarta Selatan untuk membahas permintaan tersebut. Namun, Syafei berdalih sudah ada yang mengurus.

    “Sekitar 2 minggu kemudian, AR dihubungi oleh WG. Pada saat itu WG menyampaikan kembali agar perkara ini segera diurus. Setelah mendapat info tersebut kemudian AR menyampaikan kembali kepada MS. Kemudian MS kembali bertemu lagi dengan MSY di tempat makan Daun Muda, di tempat yang sama dengan pertemuan tadi,” tuturnya.

    Awalnya, Syafei menyebut perusahaan hanya menyanggupi membayar Rp20 miliar.

    Setelahnya, Ariyanto bertemu dengan Wahyu dan Muhamad Arif Nuryanta yang saat itu menjabat Wakil Ketua PN Jakarta Pusat di rumah makan Layar Seafood Sedayu, Kelapa Gading, Jakarta Timur.

    “Dalam pertemuan tersebut Muhammad Arif Nuryanta mengatakan bahwa perkara minyak goreng tidak bisa diputus bebas. Ini sebagai permintaan yang pertama tadi kepada WG dan ini jawabannya,” tuturnya.

    “Tetapi bisa diputus onslag dan ybs dalam hal ini MAN atau Muhammad Arif Nuryantah meminta agar uang Rp20 miliar itu dikali 3 sehingga jumlahnya total Rp60 miliar,” imbuhnya.

    Singkat cerita, Syafei menyanggupi permintaan Rp60 miliar tersebut dan uangnya akan diserahkan ke Wahyu di rumahnya di Cluster Eboni Jalan Eboni 6 Blok AE, Sukapura, Cilincing, Jakarta Utara.

    Setelahnya, uang itu diserahkan kepada Arif dan Wahyu mendapat komisi perantara sebesar 50.000 USD.

    Dalam kasus ini, Syafei pun ditetapkan sebagai tersangka. Dia pun menjadi tersangka ke-8 dalam perkara ini.

    Sebelumnya, Kejaksaan Agung menetapkan tujuh orang tersangka dalam kasus suap pemberian vonis lepas dalam perkara korupsi CPO.

    Ketujuh orang itu, yakni MAN alias Muhammad Arif Nuryanta, yang kini menjabat sebagai Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, WG yang kini merupakan panitera muda di Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Sementara itu MS dan AR berprofesi sebagai advokat.

    Lalu, tiga hakim yang ditunjuk untuk menyidangkan perkara itu yakni Djuyamto, Ali Muhtarom dan Agam Syarif Baharudin.

    Direktur Penyidikan Jampidsus Kejagung, Abdul Qohar mengatakan awalnya tersangka Ariyanto Bakri selaku pengacara tersangka korporasi kasus tersebut berkomunikasi dengan tersangka Wahyu Gunawan yang saat itu merupakan Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

    “Untuk mengurus perkara korupsi korporasi minyak goreng dengan permintaan agar perkara tersebut diputus onslag dengan menyiapkan uang sebesar Rp20 miliar,” kata Qohar dalam konferensi pers di Gedung Kejaksaan Agung, Jakarta, Senin (14/4/2025) dini hari.

    Lalu, Wahyu Gunawan berkoordinasi dengan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Muhamad Arif Nuryanta yang saat itu menjabat sebagai Wakil Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan permintaan vonis onslag tersebut.

    Arif pun menyetujui permintaan tersebut. Namun, ada syarat yang harus dipenuhi pihak pengacara yakni dengan melipat gandakan uang suap tersebut.

    “Muhamad Arif Nuryanta menyetujui permintaan tersebut untuk diputus onslag namun dengan meminta uang Rp20 miliar tersebut dikalikan 3 sehingga totalnya Rp60 miliar,” tuturnya.

    Permintaan itu pun disetujui, oleh pihak pengacara tersangka korporasi dan diserahkan kepada Arif melalui Wahyu Gunawan.

    “Pada saat itu wahyu Gunawan diberi oleh Muhamad Arif Nuryanta sebesar 50.000 USD sebagai jasa penghubung dari Muhamad Arif Nuryanta. Jadi Wahyu Gunawan pun dapat bagian setelah adanya penyerahan uang tersebut,” ungkapnya.

    Kemudian, Arif menunjuk tiga orang majelis hakim untuk menangani perkara tersebut yakni Djuyamto cs.

    Ketiga Majelis Hakim ini pun bersepakat untuk membuat perkara tersebut divonis onslag atau lepas setelah menerima uang sebesar Rp22,5 miliar. (*)

     

  • Bertambah 1 Lagi, Tersangka Suap Vonis Lepas Korupsi CPO Jadi 8 Orang

    Bertambah 1 Lagi, Tersangka Suap Vonis Lepas Korupsi CPO Jadi 8 Orang

    Jakarta, Beritasatu.com – Kejaksaan Agung (Kejagung) kembali menetapkan satu tersangka baru dalam kasus suap terkait vonis lepas korporasi terdakwa korupsi ekspor minyak kelapa sawit mentah atau CPO. Total tersangka saat ini sudah delapan orang.

    Sosok tersangka baru yang diumumkan Kejagung malam ini, adalah Muhammad Syafei (MSY) yang merupakan social security legal Wilmar Group.

    “Berdasarkan keterangan saksi dan dokumen, penyidik menyimpulkan telah ditemukan dua alat bukti yang cukup sehingga menetapkan satu orang tersangka atas nama MSY,” kata Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kejagung Abdul Qohar dalam jumpa pers di Gedung Kejagung, Jakarta, Selasa (15/4/2025).

    Qohar mengatakan MSY langsung ditahan di Rumah Tahanan Cabang Kejaksaan Agung selama 20 hari ke depan terhitung hari ini untuk kebutuhan penyidikan.

    Dalam perkara ini, MSY berperan sebagai pihak yang menyiapkan dana sebesar Rp 60 miliar untuk menyuap hakim agar memvonis bebas terdakwa kasus korupsi ekspor CPO.

    Ada tiga perusahaan yang terlibat dalam kasus korupsi ekspor CPO, yakni PT Wilmar Group, PT Permata Hijau Group, dan PT Musim Mas Group. Ketiga perusahaan itu divonis lepas oleh majelis hakim pada sidang di Pengadilan Tipikor Jakarta.

    Belakangan terungkap hakim yang memvonis lepas ketiga terdakwa korporasi yang terlibat korupsi CPO itu diduga menerima suap Rp 60 miliar.

    Kejagung sejauh ini sudah menetapkan tujuh tersangka dalam kasus suap penanganan perkara ekspor CPO. Selain Muhammad Syafei, tujuh 

    tersangka lain, adalah Ketua Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan  Muhammad Arif Nuryanta, Panitera Muda Perdata Jakarta Utara Wahyu Gunawan, kuasa hukum korporasi Marcella Santoso, dan Ariyanto Bakri. 

    Kemudian tiga tersangka lagi merupakan majelis hakim yang memvonis lepas tiga terdakwa korporasi yang melakukan korupsi dalam ekspor CPO, yakni Djuyamto (ketua majelis hakim), Agam Syarif Baharuddin dan Ali Muhtarom.

  • Awal Mula Kasus Suap Vonis Lepas Korupsi CPO, Ada Ancaman Hukuman Diperberat jika Tak Beri Uang – Halaman all

    BREAKING NEWS: Kejagung Tambah 1 Tersangka Suap Vonis Lepas Kasus Korupsi CPO – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Kejaksaan Agung (Kejagung) kembali menetapkan satu orang tersangka baru dalam kasus suap pemberian vonis lepas dalam perkara korupsi CPO.

    Penetapan tersangka ini dilakukan setelah penyidik Jampidsus Kejagung menemukan alat bukti yang cukup

    Adapun tersangka baru ini, yakni Head and Social Security Legal Wilmar Group, Muhammad Syafei (MSY).

    “Sehingga malam ini, menetapkan 1 orang tersangka atas nama MSY di mana yang bersangkutan sebagai Social Security Legal Wilmar Group,” kata Direktur Penyidikan Jampidsus Kejagung, Abdul Qohar dalam konferensi pers di Gedung Kejagung, Jakarta, Selasa (15/4/2025).

    Adapun pasal yang disangkakan kepada yang bersangkutan yaitu melanggar Pasal 6 Ayat 1 huruf a, juncto Pasal 5 Ayat 1, juncto Pasal 13, juncto Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana yang diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2021 juncto Pasal 55 Ayat 1 di Tap UU Hukum Pidana.

    “Terhadap tersangka dilakukan penahanan 20 hari ke depan, terhitung mulai hari ini di rutan Salemba Cabang Kejagung RI,” ucapnya.

    Untuk informasi, Kejaksaan Agung menetapkan tujuh orang tersangka dalam kasus suap pemberian vonis lepas dalam perkara korupsi CPO. 

    Ketujuh orang itu yakni MAN alias Muhammad Arif Nuryanta, yang kini menjabat sebagai Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, WG yang kini merupakan panitera muda di Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Sementara itu MS dan AR berprofesi sebagai advokat. 

    Lalu, tiga hakim yang ditunjuk untuk menyidangkan perkara itu yakni Djuyamto, Ali Muhtarom dan Agam Syarif Baharudin. 

    Direktur Penyidikan Jampidsus Kejagung, Abdul Qohar mengatakan awalnya tersangka Ariyanto Bakri selaku pengacara tersangka korporasi kasus tersebut berkomunikasi dengan tersangka Wahyu Gunawan yang saat itu merupakan Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. 

    “Untuk mengurus perkara korupsi korporasi minyak goreng dengan permintaan agar perkara tersebut diputus onslag dengan menyiapkan uang sebesar Rp20 miliar,” kata Qohar dalam konferensi pers di Gedung Kejaksaan Agung, Jakarta, Senin (14/4/2025) dini hari. 

    Lalu, Wahyu Gunawan berkoordinasi dengan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Muhamad Arif Nuryanta yang saat itu menjabat sebagai Wakil Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan permintaan vonis onslag tersebut. 

    Arif pun menyetujui permintaan tersebut. Namun, ada syarat yang harus dipenuhi pihak pengacara yakni dengan melipat gandakan uang suap tersebut. 

    “Muhamad Arif Nuryanta menyetujui permintaan tersebut untuk diputus onslag namun dengan meminta uang Rp20 miliar tersebut dikalikan 3 sehingga totalnya Rp60 miliar,” tuturnya. 

    Permintaan itu pun disetujui, oleh pihak pengacara tersangka korporasi dan diserahkan kepada Arif melalui Wahyu Gunawan. 

    “Pada saat itu wahyu Gunawan diberi oleh Muhamad Arif Nuryanta sebesar 50.000 USD sebagai jasa penghubung dari Muhamad Arif Nuryanta. Jadi Wahyu Gunawan pun dapat bagian setelah adanya penyerahan uang tersebut,” ungkapnya. 

    Kemudian, Arif menunjuk tiga orang majelis hakim untuk menangani perkara tersebut yakni Djuyamto cs. 

    Ketiga Majelis Hakim ini pun bersepakat untuk membuat perkara tersebut divonis onslag atau lepas setelah menerima uang sebesar Rp22,5 miliar. (*)

  • Ketua PN Jaksel Disebut Janjikan Putusan Ontslag dan Minta Uang Suap Dikali 3
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        15 April 2025

    Ketua PN Jaksel Disebut Janjikan Putusan Ontslag dan Minta Uang Suap Dikali 3 Nasional 15 April 2025

    Ketua PN Jaksel Disebut Janjikan Putusan Ontslag dan Minta Uang Suap Dikali 3
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Kejaksaan Agung (Kejagung) menyebut, tersangka kasus dugaan suap, Muhammad Arif Nuryanta (MAN) menjanjikan perkara ekspor crude palm oil (CPO) untuk tiga perusahaan besar bisa diputus lepas atau
    ontslag
    .
    Pasalnya, Arif yang saat itu menjabat sebagai Wakil Ketua Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat (Jakpus) menyatakan bahwa tiga perkara tersebut tidak bisa diputus bebas.
    Hal itu terungkap dalam pernyataan terbaru Direktur Penyidikan (Dirdik) Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung, Abdul Qohar.
    Qohar mengungkapkan, keputusan onslag itu dijanjikan Arif saat bertemu dengan tersangka Ariyato (AR) yang merupakan advokat korporasi, dan tersangka Wahyu Gunawan (WG) selaku panitera muda perdata PN Jakpus.
    “Kemudian, AR, WG, dan MAN bertemu di Kelapa Gading dan dalam pertemuan tersebut MAN menyatakan bahwa perkara minyak goreng tidak bisa diputus bebas. Tetapi, bisa diputus onslag,” kata Qohar dalam konferensi pers di Kejaksaan Agung (Kejagung), Jakarta, Selasa (15/4/2025).
    Kemudian, Qohar menyebut, Arif meminta uang yang disiapkan untuk pengurusan perkara tersebut dikalikan tiga.
    Sebelumnya, pihak korporasi disebut menyiapkan uang sebesar Rp 20 miliar untuk mengurus perkara ekspor CPO tersebut di PN Jakpus.
    “Yang bersangkutan atau MAN meminta agar uang Rp 20 miliar tersebut dikalikan tiga sehingga jumlahnya total Rp 60 miliar,” ujar Qohar.
    Lebih lanjut, Qohar menjelaskan bahwa pihak korporasi menyetujui permintaan tersebut. Lalu, melalui AR, uang tersebut diantar ke rumah tersangka WG.
    Selanjutnya, oleh WG uang tersebut diserahkan kepada Arif.
    “Saat penyerahan tersebut, MAN memberikan uang kepada WG sebanyak 50.000 dollar Amerika Serikat (AS),” kata Qohar.
    Sebelumnya, Kejagung menduga bahwa uang suap senilai Rp 60 miliar itu diberikan kepada Arif untuk menentukan susunan majelis hakim sekaligus memastikan putusan menyebutkan para korporasi dinyatakan bukan suatu tindak pidana.
    Kemudian, Qohar mengatakan bahwa Arif memberikan sebesar Rp 22,5 miliar kepada tiga hakim agar putusan perkara tiga korporasi besar itu
    ontslag
    atau putusan lepas.
    Ketiga hakim itu adalah Agam Syarif Baharuddin, Ali Muhtarom, dan Djuyamto.
    Diketahui, Agam Syarif Baharuddin, Ali Muhtarom, dan Djuyamto adalah hakim tersebut yang menangani tiga perkara terkait ekspor CPO dengan terdakwa korporasi yang tergabung dalam PT Wilmar Group, PT Permata Hijau Group, dan PT Musim Mas Group.
    Dalam putusan tiga perkara, majelis hakim yang diketuai oleh Djuyamto menyatakan bahwa para terdakwa terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya sebagaimana didakwakan dalam dakwaan primer maupun subsider penuntut umum.
    Akan tetapi, perbuatan itu dinilai bukan merupakan suatu tindak pidana. Sehingga, para terdakwa dilepas dari segala tuntutan hukum atau
    ontslag
    .
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Ketua PN Jaksel Disebut Janjikan Putusan Ontslag dan Minta Uang Suap Dikali 3
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        15 April 2025

    Mercy hingga Brompton Disita dari Penggeledahan Kasus Suap Vonis Lepas Nasional 15 April 2025

    Mercy hingga Brompton Disita dari Penggeledahan Kasus Suap Vonis Lepas
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Kejaksaan Agung (
    Kejagung
    ) menggeledah sejumlah tempat terkait
    kasus suap hakim
    Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) dalam
    kasus ekspor CPO
    minyak goreng. Dari penggeledahan, Kejagung menyita mobil mewah hingga sepeda Brompton.
    Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus), Abdul Qohar, menjelaskan hasil penggeledahan ini dalam jumpa pers di Kantor Kejagung, Jakarta Selatan, Selasa (15/4/2025) malam.
    “Tim penyidik jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus RI telah melakukan penggeledahan pada 3 tempat di 2 provinsi,” kata Abdul Qohar.
    Dia menjelaskan, timnya telah menemukan sejumlah barang bukti dari penggeledahan di 3 tempat-2 provinsi itu. Barang itu berupa dokumen hingga kendaraan.
    “Tim menemukan barang bukti berupa dokumen, kemudian telah melakukan penyitaan untuk 2 unit mobil Mercedes Benz, 1 mobil merek Honda CRV, dan 4 sepeda Bromptom,” kata Abdul Qohar.
    Sebagaimana diberitakan sebelumnya, ada empat hakim yang menjadi tersangka kasus suap penanganan perkara ekspor CPO untuk tiga perusahaan. Mereka adalah:
    1. Muhammad Arif Nuryanta (MAN)

    2. Agam Syarif Baharuddin (ASB)

    3. Ali Muhtarom (AM)

    4. Djuyamto (DJU)
    Kejagung menduga ketiga tersangka itu menerima suap dari Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Muhammad Arif Nuryanta (MAN) sebesar Rp 22,5 miliar agar putusan perkara tiga korporasi besar itu
    ontslag
    atau putusan lepas.
    Abdul Qohar menjelaskan, Agam Syarif Baharuddin, Ali Muhtarom, dan Djuyamto pertama kali menerima suap dari Arif sebesar Rp 4,5 miliar yang dibagi rata untuk ketiganya.
    Selanjutnya uang suap tahap kedua diberikan Arif kepada hakim Djuyamto. Uang suap diberikan dalam mata uang dolar Amerika Serikat senilai Rp 18 miliar.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Perusahaan Surya Darmadi Raup Rp 2,2 Triliun Hasil Korupsi, Uangnya Dipakai Beli Helikopter hingga Kapal
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        15 April 2025

    Perusahaan Surya Darmadi Raup Rp 2,2 Triliun Hasil Korupsi, Uangnya Dipakai Beli Helikopter hingga Kapal Nasional 15 April 2025

    Perusahaan Surya Darmadi Raup Rp 2,2 Triliun Hasil Korupsi, Uangnya Dipakai Beli Helikopter hingga Kapal
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Tujuh perusahaan di bawah payung PT Duta Palma Group milik taipan
    Surya Darmadi
    didakwa melakukan tindak pidana pencucian uang (TPPU) dari hasil korupsi penyerobotan lahan kawasan hutan di Riau.
    Jaksa penuntut umum dari
    Kejaksaan Agung
    dalam surat dakwaannya menyebut, lima dari tujuh perusahaan, yakni PT Palma Satu, PT Seberida Subur, PT Banyu Bening Utama, PT Panca Agro Lestari, dan PT Kencana Amal Tani, diduga melakukan korupsi penyerobotan lahan di Riau.
    “Dari kegiatan usaha ilegal tersebut telah memperoleh keuntungan antara lain sebesar Rp 2.238.274.248.234 yang merupakan hasil tindak pidana korupsi,” kata jaksa di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Selasa (15/4/2025).
    Menurut jaksa, sejak 2016 hingga 2022, kelima perusahaan tersebut mentransfer uang yang diduga diperoleh dari korupsi ke perusahaan holding perkebunan milik Surya Darmadi, PT Darmex Plantation.
    Perusahaan holding itu kemudian menempatkan dana dalam bentuk pembagian dividen, pembayaran utang pemegang saham, dan penyetoran modal.
    PT Darmex Plantation juga mentransfer dana ke perusahaan Surya Darmadi lainnya, PT Asset Pacific, PT Monterado Mas, PT Alfa Ledo, dan ke perusahaan-perusahaan lainnya.
    Dalam uraian jaksa, aliran dana ke PT Asset Pacific bahkan mencapai Rp 1,945 triliun.
    Uang itu kemudian digunakan untuk membeli berbagai hal, termasuk dividen untuk Surya Darmadi.
    “Pada bulan Juli 2024 terdapat dividen terdakwa I PT Darmex Plantations kepada Surya Darmadi sebesar Rp 499.999.666.667 (Rp 499,9 miliar),” ujar jaksa.
    Uang hasil korupsi itu juga diduga digunakan untuk beralih menjadi perusahaan
    trading crude palm oil
    (CPO) atau minyak mentah di Singapura, yakni Waxbill Pte Ltd dan Palm Bridge Pte Ltd.
    Selain itu, uang juga digunakan untuk membeli perusahaan properti di Australia bernama Asset Pacific Pty Ltd dan Palma Pacific Pte Ltd.
    Selain itu, uang juga digunakan untuk membeli apartemen, rumah susun, lahan, dan lainnya.
    Kemudian, uang juga digunakan untuk membeli kapal tongkang, sejumlah kapal Royal Palma (untuk menarik tongkang), tug boat, dan helikopter.
    “PT Dabi Air Nusantara merupakan perusahaan penerbangan yang 25 persen sahamnya dalam bentuk helikopter milik Surya Darmadi,” tutur jaksa.
    Karena perbuatan tersebut, ketujuh perusahaan Surya Darmadi didakwa melanggar Pasal 3 atau Pasal 4 juncto Pasal 7 Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Kejagung Telusuri Aliran Dana Rp 60 Miliar dalam Kasus Suap Ekspor CPO

    Kejagung Telusuri Aliran Dana Rp 60 Miliar dalam Kasus Suap Ekspor CPO

    Jakarta, Beritasatu.com — Kejaksaan Agung (Kejagung) tengah menelusuri dugaan aliran dana sebesar Rp 60 miliar dari pengacara Ariyanto Bakri (AR) dalam kasus suap terkait putusan perkara ekspor crude palm oil (CPO). Kasus suap ekspor CPO ini melibatkan sejumlah pihak, termasuk aparat peradilan.

    Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Harli Siregar, menyatakan bahwa pihaknya masih menyelidiki secara mendalam untuk memastikan asal dana tersebut.

    “Apakah dana itu murni berasal dari AR atau ada pihak lain yang terlibat, itu yang sedang didalami oleh penyidik,” ujar Harli kepada wartawan, Selasa (15/4/2025).

    Menurut keterangan sementara, uang tersebut diduga berasal dari Ariyanto Bakri dan diserahkan oleh Wahyu Gunawan (WG) kepada pihak-pihak lain, termasuk Djumyanto, Agam Syarif Baharudin, dan Ali Muhtarom.

    “WG menyatakan telah menyerahkan Rp 60 miliar kepada MAN karena menerima dana dari AR. Bahkan informasinya awalnya hanya Rp 20 miliar, tetapi MAN menyebutkannya menjadi tiga kali lipat,” kata Harli terkait kasus suap ekspor CPO ini.

    Harli menambahkan, para tersangka akan terus diperiksa guna mendalami lebih lanjut aliran dana yang mencurigakan tersebut. Kejagung juga membuka kemungkinan untuk memanggil saksi-saksi baru.

    “Keterangan dari para tersangka sangat penting untuk memastikan ke mana saja uang tersebut mengalir,” lanjutnya.

    Dalam kasus ekspor CPO ini, Kejagung telah menetapkan tujuh tersangka, yaitu Muhammad Arif Nuryanta (MAN), Marcella Santoso (MS), Ariyanto Bakri (AR) pengacara, Wahyu Gunawan (WG), panitera muda PN Jakarta Utara, Djumyanto (hakim), Agam Syarif Baharudin (hakim), dan Ali Muhtarom (hakim).

    Kasus suap ekspor CPO ini menjadi sorotan publik karena menyoroti dugaan korupsi di sektor peradilan dan tata niaga ekspor sawit yang menjadi salah satu komoditas utama Indonesia.

  • Hakim Disuap dalam Kasus CPO, Peran Pengawasan KY Dipertanyakan
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        15 April 2025

    Hakim Disuap dalam Kasus CPO, Peran Pengawasan KY Dipertanyakan Nasional 15 April 2025

    Hakim Disuap dalam Kasus CPO, Peran Pengawasan KY Dipertanyakan
    Penulis
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Anggota
    Komisi III
    DPR Hinca Panjaitan mengatakan, empat hakim yang ditetapkan sebagai tersangka kasus suap penanganan perkara ekspor crude palm oil (
    CPO
    ) menandakan banyaknya hakim yang mempunyai naluri berdagang.
    Ia melihat, banyak hakim saat ini yang melihat keadilan dapat menjadi komoditas yang bisa diperjualbelikan.
    “Pada realitasnya banyak hakim yang berkompromi dengan naluri dagang. Akhirnya, keadilan jadi komoditas, seolah bisa dijual dan dibeli. Menurut saya, suap terjadi karena pelaku melihat manfaat ekonomi yang melebihi risiko,” ujar Hinca lewat keterangan tertulisnya, Selasa (15/4/2025).
    Hinca mengatakan, suap terhadap hakim dapat disebabkan dua hal, yakni kekosongan moralitas atau longgarnya pengawasan
    Secara khusus, Hinca menyoroti pengawasan yang dilakukan Komisi Yudisial (KY) di lingkungan peradilan yang ia beri nilai nol besar.
    “Sudah saatnya kita mengevaluasi kelembagaan Komisi Yudisial, atau pahitnya kita bubarkan saja. Kalau Komisi Yudisial tak mampu memantau hakim, buat apa dipertahankan? Lebih jujur rasanya kita mengakui bahwa mereka gagal,” ujar Hinca.
    Di samping itu, ia juga menanggapi wacana dinaikkannya gaji hakim untuk mencegah terjadinya praktik suap.
    Menurutnya, praktik suap tetap dapat terjadi di lingkungan peradilan dengan caranya tersendiri.
    “Maka godaan suap akan tetap menemukan jalannya. Kita bisa menambah angka pendapatan setinggi langit, tetapi bila peluang lolos dari hukuman lebih menggoda, akhirnya transaksi hitam menjadi pilihan rasional,” ujar politikus Partai Demokrat itu.
    Sebelumnya, Kejaksaan Agung (Kejagung) telah menetapkan tiga hakim sebagai tersangka kasus suap penanganan perkara ekspor CPO untuk tiga perusahaan besar pada Minggu (13/4/2025) malam.
    Mereka adalah Agam Syarif Baharuddin (ASB) dan Ali Muhtarom (AM) yang merupakan hakim Pengadilan Negeri Jakarta (PN) Pusat. Lalu hakim PN Jakarta Selatan,
    Djuyamto
    (DJU).
    Kejagung menduga ketiga tersangka menerima suap dari Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan,
    Muhammad Arif Nuryanta
    (MAN) sebesar Rp 22,5 miliar agar putusan perkara tiga korporasi besar itu onslag atau putusan lepas.
    Direktur Penyidikan (Dirdik) Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Abdul Qohar menjelaskan, Agam Syarif Baharuddin, Ali Muhtarom, dan Djuyamto pertama kali menerima suap dari Arif sebesar Rp 4,5 miliar yang dibagi rata untuk ketiganya.
    Suap senilai Rp 4,5 miliar diberikan Arif dengan pesan agar perkara ekspor CPO diatasi.
    “Uang bila dirupiahkan Rp 4,5 miliar tadi, oleh ASB dimasukkan ke dalam goodie bag. Kemudian setelah keluar dari ruangan uang tadi dibagi kepada tiga orang, yaitu masing-masing ASB sendiri, kepada AM, dan juga kepada DJU,” ujar Qohar dalam konferensi persnya, Senin (14/4/2025) dini hari.
    Selanjutnya uang suap tahap kedua diberikan Arif kepada hakim Djuyamto. Uang suap diberikan dalam mata uang dolar Amerika Serikat senilai Rp 18 miliar.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • 4 Hakim Ditetapkan Jadi Tersangka Kasus Korupsi CPO, Ini Sosoknya!

    4 Hakim Ditetapkan Jadi Tersangka Kasus Korupsi CPO, Ini Sosoknya!

    Jakarta, Beritasatu.com – Kejaksaan Agung (Kejagung) menetapkan empat orang hakim sebagai tersangka dalam kasus dugaan suap terkait vonis lepas dalam perkara korupsi pemberian izin ekspor crude palm oil (CPO) atau minyak goreng yang disidangkan di pengadilan negeri Jakarta Pusat.

    Selain para hakim, kasus ini juga menyeret tiga perusahaan besar yang diduga terlibat dalam praktik korupsi tersebut, yakni PT Wilmar Group, PT Permata Hijau Group, dan PT Musim Mas Group. Berikut profil keempat hakim yang menjadi tersangka:

    Hakim Tersangka Kasus Korupsi CPO

    1. Muhammad Arif Nuryanta

    Muhammad Arif Nuryanta merupakan aparatur sipil negara di lingkungan Mahkamah Agung dengan pangkat pembina utama muda golongan IV/C. Berdasarkan informasi dari situs resmi pengadilan negeri Jakarta Selatan, Arif saat ini menjabat sebagai ketua pengadilan negeri Jakarta Selatan sejak dilantik pada 6 November 2024.

    Arif dikenal memiliki perjalanan karier yang panjang di dunia peradilan. Ia pernah dipercaya sebagai ketua PN Bangkinang pada 2016, lalu melanjutkan kiprahnya sebagai hakim di PN Banjarbaru, ketua PN Tebing Tinggi.

    Selain itu, ia juga pernah menjabat ketua PN Purwokerto, hakim PN Jakarta Selatan, ketua PN Pekanbaru, hingga menjabat sebagai wakil ketua PN Jakarta Pusat sebelum akhirnya menjadi ketua PN Jakarta Selatan.

    2. Djuyamto

    Djuyamto saat ini bertugas sebagai hakim tingkat pertama di pengadilan negeri Jakarta Selatan. Ia lahir di Sukoharjo pada 18 Desember 1967 dan merupakan lulusan ilmu hukum dari Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo tahun 1992.

    Gelar magister diperolehnya pada 2020, dan pada tahun-tahun berikutnya ia meraih gelar doktor dari fakultas hukum di kampus yang sama.

    Djuyamto mengawali kariernya sebagai hakim di PN Tanjungpandan tahun 2002. Ia juga pernah bertugas di PN Temanggung dan pengadilan negeri Karawang.

    Tahun 2013, ia menjabat sebagai hakim yustisial dan panitera pengganti di Mahkamah Agung. Kariernya berlanjut sebagai ketua PN Dompu di NTB, lalu pindah ke Pengadilan Tinggi Bandung, dan sejak 2019 menjadi hakim di PN Jakarta.

    3. Agam Syarief Baharuddin

    Agam merupakan salah satu hakim dalam perkara korupsi minyak goreng di PN Jakarta Pusat. Lulusan sarjana hukum dari Universitas Syiah Kuala ini meraih gelar magister hukum dari Universitas Sebelas Maret pada 2009.

    Ia memulai karier sebagai hakim di PN Sukoharjo pada 2009. Pada 2017, Agam diangkat menjadi ketua PN Demak dan menjabat selama lima tahun. Pada 2021, ia dimutasi ke PN Jakarta Timur sebagai hakim.

    4. Ali Muhtarom

    Ali Muhtarom adalah hakim ad hoc tindak pidana korupsi di PN Jakarta Pusat. Ia lahir pada 35 Agustus 1972 dan memulai kariernya sebagai hakim adhoc di PN Kupang pada 2017. Pada 2020, ia dipindahkan ke PN Jakarta Pusat dan bertugas hingga saat ini.

    Namanya menjadi sorotan setelah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus suap vonis lepas terkait perkara korupsi minyak goreng yang tengah bergulir.

    Jerat Hukum

    Ali Muhtarom, Agam Syarief Baharuddin, dan Djuyamto dijerat dengan Pasal 12 huruf c juncto Pasal 12 huruf b, juncto Pasal 6 ayat (2), juncto Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2021, serta Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

    Sementara itu, kasus korupsi Arif Nuryanta dijerat dengan pasal yang lebih kompleks, yakni Pasal 12 huruf c, juncto Pasal 12 huruf b, juncto Pasal 6 ayat 2, juncto Pasal 12 huruf a, juncto Pasal 5 ayat 2, juncto Pasal 11, juncto Pasal 18 UU Tipikor, dan Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.