Produk: CPO

  • Pelabuhan Pulau Baai Mati Suri, Ribuan Petani Sawit di Bengkulu Terimbas
                
                    
                        
                            Regional
                        
                        28 Juni 2025

    Pelabuhan Pulau Baai Mati Suri, Ribuan Petani Sawit di Bengkulu Terimbas Regional 28 Juni 2025

    Pelabuhan Pulau Baai Mati Suri, Ribuan Petani Sawit di Bengkulu Terimbas
    Tim Redaksi
    BENGKULU, KOMPAS.com – 
    Enam kapal bermuatan 10.000 ton Crude Palm Oil (CPO) terjebak di kolam Pelabuhan
    Pulau Baai
    ,
    Bengkulu
    , sejak tiga bulan lalu akibat pendangkalan alur pelayaran.
    Aktivitas pelabuhan pun mati suri, menimbulkan efek domino terhadap pabrik
    sawit
    dan ribuan petani.
    Ribuan petani kelapa sawit di Provinsi Bengkulu akan terimbas apabila pengerukan Pelabuhan Pulau Baai tidak segera tuntas.
    Saat ini sudah empat bulan, Pelabuhan Pulau Baai alami pendangkalan alur akibat aktivitas pelabuhan mati suri. Kapal-kapal tak dapat merapat di dermaga.
    Marwan S Ramis, pengusaha jasa angkutan laut Bengkulu mebeberkan saat ini ada enam kapal bermuatan penuh 10.000 ton Crude Palm Oil (CPO) telah tiga bulan terjebak di dalam kolam Pelabuhan Pulau Baai.
    “Kapal muatan CPO terjebak tak bisa berlayar. CPO mulai membeku tentu pengusaha merugi,” jelas Marwan saat dikonfirmasi melalui telepon, Jumat (27/6/2025).
    Marwan menambahkan, akibat pendangkalan alur pelabuhan Pulau Baai, produksi CPO seluruh pabrik kelapa sawit di Bengkulu kini produksinya overload karena tangki penimbunan milik oabrik sawit sudah penuh.
    Ia mengatakan, bila CPO diangkut menggunakan jalur darat berdampak pada tingginya ongkos operasional.
    Ditambah terbatasnya armada mobil pengangkut CPO di Bengkulu yang berkapasitas besar.
    “Sekarang tangki penimbunan CPO dari 33 pabrik kelapa sawait di Bengkulu, sudah penuh dan tidak ada tempat lagi untuk menampungnya. Jika pengerukan pelabuhan Pulau Baai, tidak bisa diselesaikan dalam waktu dekat ini, dipastikan pabrik CPO di Bengkulu akan menghentikan pembelian sawit petani,” ujarnya.
    Kata dia, saat ini terdapat beberapa pabrik sawit menghentikan pembelian buah sawit dari petani karena tangki-tangki penampungan telah penuh. Meski demikian, ia tak bersedia menyebut nama perusahaan pabrik sawit yang menghentikan pembelian buah kelapa sawit dari petani.
    “Sudah ada pabrik kelapa sawit di Bengkulu, pada bulan Juni ini menghentikan pembelian Tandan Buah Segar (TBS) sawit petani. Alasanya, karena tangki penimbunan CPO mereka sudah penuh dan tidak ada lagi tempat penampungan lain,” ungkap dia.
    Meski ada pabrik kelapa sawit masih membeli TBS petani kemungkinan harga akan lebih murah. Sebab, mereka terus berproduksi tapi CPO tidak tidak bisa jual akibat pelabuhan Pulau Baai mengalami pendangkalan.
    “Jadi, pendangkalan alur pelabuhan Pulau Baai, Bengkulu, tidak hanya berimbas kepada pengusaha pengguna pelabuhan Pulau Baai, tapi dampaknya berimbas kepada petani sawit di Bengkulu,” ujarnya.
    Diberitakan, Sekitar 10.000 ton crude palm oil (CPO) milik beberapa perusahaan kelapa sawit yang sudah dimuat di kapal terancam beku karena kapal terjebak di dalam kolam pelabuhan tak bisa keluar selama tiga bulan.
    10.000 ton CPO rencananya akan diangkut menggunakan enam kapal laut. Setelah memuat CPO kapal tak bisa keluar pelabuhan. Kalau memaksa dipastikan kapal kandas.
    Marwan S Ramis pengusaha jasa angkutan laut Bengkulu membenarkan hal tersebut saat dikonfirmasi kompas.com melalui telepon, Jumat (27/6/2025).
    “Ada enam kapal bermuatan 10.000 ton CPO tidak bisa keluar dari pelabuhan Pulau Baai, karena alur mengalami pendangkalan dan ini masih dalam pengerukan oleh PT Pelindo setempat,” kata dia saat dikonfirmasi telepon.
    Sebelumnya diberitakan, sejak empat bulan terakhir Pelabuhan Pulau Baai Bengkulul berhenti beroperasi akibat pendangkalan.
    Berhentinya pelabuhan beroperasi akibatkan ekonomi Bengkulu lumpuh. Di Pulau Enggano, sebanyak 4.000 warga menghalami kesulitan ekonomi akibat kapal angkut hasil bumi tak bisa merapat ke pelabuhan.
    Presiden mengeluarkan instruksi beberapa hari yang lalu tentang percepatan pembangunan Pelabuhan Pulau Baai dan Pulau Enggano. Publik menunggu langkah kongkrit implementasi Inpres.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Tekan Impor BBM di Tengah Lonjakan Harga Minyak, Indonesia Harus Lakukan Ini – Page 3

    Tekan Impor BBM di Tengah Lonjakan Harga Minyak, Indonesia Harus Lakukan Ini – Page 3

    Kebijakan mandatory ini, kata dia, membutuhkan pasokan minyak sawit mentah (CPO) sebagai bahan baku biodiesel untuk program B40 yang diperkirakan 15,6 juta kiloliter per tahun.

    Oleh karena itu, diperlukan upaya dalam mendorong peningkatan produktivitas sawit, sehingga dapat menjaga stabilitas ketersediaan pasokan untuk kebutuhan program mandatory dan kebutuhan pangan minyak goreng untuk konsumsi masyarakat.

    “Kita harus mendorong peningkatan produktivitas sawit sehingga kebutuhan yang besar untuk program mandatory B40, tidak mengganggu kebutuhan masyarakat atas konsumsi minyak goreng dari sawit dan kebutuhan bahan baku industri lainnya, sehingga harga tetap stabil dan tidak terganggu karena kebutuhan biodiesel,” ucapnya. 

     

  • Pemerintah Diminta Lakukan Ini buat Ketahanan Energi & Kurangi Impor BBM

    Pemerintah Diminta Lakukan Ini buat Ketahanan Energi & Kurangi Impor BBM

    Jakarta

    Pemerintah didorong untuk menempuh langkah strategis dalam membangun ketahanan energi dan mengurangi ketergantungan impor BBM.

    Wakil Ketua Komisi IV DPR RI Panggah Susanto mengungkapkan dibutuhkan peningkatan produktivitas Sawit untuk mendukung kebijakan Mandatory B40 yang dicanangkan oleh Menteri ESDM Bahlil Lahadahlia.

    “Kebijakan Mandatory B40, menjadi langkah strategis mengurangi ketergantungan Impor minyak jenis solar selama ini, kita memiliki sumberdaya Sawit yang melimpah, maka harus dimaksimalkan pengelolaan dan pemanfaatannya untuk meningkatkan ketahanan dan kemandirian energi bangsa yang menjadi cita cita bapak Presiden,” kata dia dalam keterangannya, Rabu (25/6/2025).

    Kebijakan Pemerintah terkait dengan pencampuran Bahan Bakar Nabati jenis Biodiesel dari 35% ke 40% di dalam bahan bakar minyak jenis solar dinyatakan berlaku sejak tanggal 1 Januari Tahun 2025 Melalui Keputusan Menteri ESDM No 341.K/EK.01/MEM.E/2024 tentang Pemanfaatan Bahan Bakar Nabati Jenis Biodiesel Sebagai Campuran Bahan Bakar Minyak Jenis Minyak Solar Dalam Rangka Pembiayaan oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit Sebesar 40%.

    Panggah juga menjelaskan bahwa Program Mandatory B40 tahun 2025, akan terus berlanjut ke B50 di tahun 2026, dan pemanfaatan energi terbarukan lainnya sangat relevan sebagai antisipasi terhadap eskalasi perang global yang dapat memicu krisis energi.

    “Kebijakan mandatory B35 ke B40 dan pemanfaatan energi terbarukan lainnya sangat relevan dikaitkan dg kondisi geopolitik global yg semakin tidak menentu dengan eskalasi perang di berbagai wilayah dunia yang dapat memicu krisis energi,” ujar dia.

    Kebijakan Mandatory ini tentunya membutuhkan pasokan minyak sawit mentah (CPO) sebagai bahan baku biodiesel untuk program B40 diperkirakan 15,6 juta kiloliter per tahun, maka diperlukan upaya dalam mendorong peningkatan produktivitas Sawit, sehingga dapat menjaga stabilitas ketersediaan pasokan untuk kebutuhan program Mandatory dan kebutuhan pangan minyak goreng untuk konsumsi masyarakat.

    “kita harus mendorong peningkatan produktivitas Sawit sehingga kebutuhan yang besar untuk program Mandatory B40, tidak mengganggu kebutuhan masyarakat atas konsumsi minyak goreng dari Sawit dan kebutuhan bahan baku industri lainnya, sehingga harga pun tetap stabil dan tidak terganggu karena kebutuhan biodiesel,” katanya.

    Program ini membutuhkan sinergitas dan keterpaduan antar sektor yang secara kelembagaan yaitu kementerian Pertanian yang bertanggung jawab atas hulunya, dan kementerian ESDM atas hilirnya, dan keduanya harus tetap bersinergi dalam mewujudkan ketahanan energi melalui program Mandatory B40.

    (kil/kil)

  • Petani Sawit Menjerit: Harga Buah Fluktuatif, Penertiban Lahan Tidak Transparan

    Petani Sawit Menjerit: Harga Buah Fluktuatif, Penertiban Lahan Tidak Transparan

    Bisnis.com, JAKARTA – Petani kelapa sawit kian nelangsa menghadapi tekanan ganda dari fluktuasi harga tandan buah segar (TBS) serta ketidakpastian akibat penertiban kawasan hutan yang berlangsung masif.

    Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) menyoroti kondisi ini sebagai tantangan serius, yang bukan hanya berdampak pada ekonomi petani, tetapi juga memengaruhi posisi strategis Indonesia sebagai produsen minyak sawit terbesar di dunia.

    “Petani saat ini menjadi bagian dari rantai pasok domestik dan global, sehingga apapun yang terjadi pada harga CPO [crude palm oil] akan sangat berpengaruh terhadap harga TBS di tingkat petani,” kata Mutiara Panjaitan dari Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Apkasindo dalam Bisnis Indonesia Forum: Sembelit Industri Sawit, Masihkan Prospektif jadi Penopang? pada Selasa (24/6/2025). 

    Menurutnya, setidaknya ada dua isu utama yang menjadi sorotan petani. Pertama adalah ketidakpastian sosial-ekonomi akibat harga CPO yang sangat fluktuatif, membuat petani ragu apakah sektor sawit masih dapat menopang kesejahteraan mereka ke depan. 

    Kondisi ini juga diamini oleh Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI). Mereka memperkirakan 2025 menjadi tahun penuh tantangan bagi industri kelapa sawit, baik dari sisi produksi, ketersediaan ekspor, maupun harga.  Gapki secara khusus menyoroti tarif impor Amerika Serikat (AS) terhadap Indonesia yang mencapai 32%. 

    Ilustrasi kelapa sawit / JIBI

    Executive Director Gapki Mukhti Sardjono menyampaikan bahwa pemerintah Amerika Serikat (AS) – salah satu negara tujuan ekspor minyak sawit Indonesia – mengenakan tarif impor yang lebih besar terhadap Indonesia dibandingkan dengan pesaing Indonesia yaitu Malaysia sebesar 24%.

    Menurut perhitungan Gapki, beban ekspor sawit Indonesia saat ini mencapai US$221,12 per ton, lebih tinggi dari beban ekspor minyak sawit Malaysia sebesar US$140 per ton.

    “Jadi kita bisa melihat daya saing kita kalah,” kata Mukthi dalam agenda Bisnis Indonesia Forum di kantor Wisma Bisnis Indonesia, Jakarta Pusat, Selasa (24/6/2025).

    Kemudian, memasuki Maret 2025, Gapki melihat adanya keseimbangan kembali harga minyak nabati, yang ditunjukkan dengan menurunnya harga minyak kelapa sawit (crude palm oil /CPO) di bawah harga minyak rapeseed maupun sunflower oil. 

    Geopolitik Memanas hingga Tumpang Tindih Aturan

    Industri sawit Tanah Air juga ikut terbebani dengan perkembangan geopolitik yang tidak menentu. Mukthi menyebut, perang yang terjadi antara Rusia-Ukraina, India-Pakistan, dan Timur-Tengah yang semakin meningkat eskalasinya mendorong harga energi meningkat. 

    Kendati begitu, ada kekhawatiran terhadap kinerja ekspor minyak sawit jika negara tujuan mengalami krisis ekonomi imbas kondisi geopolitik saat ini.

    “Jadi kalau kita melihatnya 2025 sebagai tahun yang penuh tantangan,” ujarnya.

    Dari dalam negeri, industri ini juga menemui sejumlah tantangan. Mulai dari produksi dan produktivitas yang relatif stagnan dan cenderung turun; kebutuhan dalam negeri, baik untuk pangan, energi, dan industri oleokimia yang terus meningkat; hingga ketidakpastian hukum dan berusaha.

    Terkait ketidakpastian hukum dan berusaha, Mukthi menuturkan bahwa saat ini sekitar 37 instansi mengatur atau terlibat dalam industri sawit. Selain itu, banyak peraturan perundangan yang tumpang tindih, hingga kebijakan yang mudah berubah-ubah.

    Penertiban Lahan

    Selain harga yang fluktuatif, Apkasindo dan Gapki menyoroti soal penertiban kawasan hutan yang dilakukan secara intensif belakangan ini. 

    Mutiara menyebut pendekatan yang dipakai oleh pemerintah dan otoritas terkait belum sepenuhnya diterima dengan utuh oleh petani di lapangan. 

    “Efek psikologisnya besar. Informasi soal siapa subjeknya, apa objeknya, dan berapa luas kawasan yang ditertibkan itu tidak tersampaikan secara utuh ke seluruh anggota,” katanya.

    Dia menambahkan, petani bukan hanya bagian dari rantai pasok, tetapi juga menjadi subjek penting dalam penyelesaian status lahan dan bagian dari program ketahanan nasional, baik pangan maupun energi. 

    “Karena itu, penting sekali agar komunikasi kepada petani dilakukan dengan lebih transparan dan inklusif,” tegasnya.

    Kondisi yang dialami petani juga menjadi perhatian Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Anggota KPPU Eugenia Mardanugraha mengingatkan posisi Indonesia sebagai produsen sawit nomor satu di dunia tak boleh tergeser hanya karena persoalan lahan.

    “Kalau industri sawit kita menurun, maka perekonomian Indonesia secara keseluruhan juga akan terdampak. Dunia butuh sawit Indonesia. Jika pasokan terganggu, harga pangan global bisa melonjak,” kata Eugenia.

    Menurutnya, pemerintah bersama pelaku industri perlu segera merumuskan arah kebijakan dan konsep jangka panjang agar industri sawit Indonesia tetap kompetitif dan berkelanjutan.

    “Jangan sampai Malaysia menggantikan posisi kita hanya karena kita tidak menyelesaikan persoalan di dalam negeri,” kata Eugenia.

    Senada, Gapki juga meminta pemerintah segera menyelesaikan penguasaan lahan sawit di kawasan hutan. Pasalnya, hal tersebut dikhawatirkan dapat mengganggu produksi sawit jika tidak segera ditangani dengan cepat.

    Ilustrasi kelapa sawit / JIBI

    Adapun, Executive Director Gapki Mukhti Sardjono menyampaikan, dari target penguasaan lahan seluas 1,17 juta hektare, baru sekitar 1 juta hektare yang telah dilakukan penguasaan kembali, dari total 369 perusahaan. Adapun data tersebut diperoleh Gapki dari Ketua Satgas Penertiban Kawasan Hutan (PKH) per 23 Maret 2025.

    “Yang jadi concern kita adalah bagaimana pengelolaan selanjutnya, karena kalau ini tidak dikelola dengan baik, berpotensi turunnya produksi,” kata Mukthi, Selasa (24/6/2025).

    Untuk diketahui, pemerintah resmi menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) No.5/2025 tentang Satgas Penertiban Kawasan Hutan. Melalui beleid itu, diatur bahwa penertiban kawasan hutan dilakukan dengan penagihan denda administratif, penguasaan kembali kawasan hutan, dan/atau pemulihan aset di kawasan hutan.

    Gapki, merujuk laporan dari Ketua Satgas per 23 Maret 2025 menyebut bahwa dari target penguasaan lahan seluas 1,27 juta hektare, luas lahan yang telah dilakukan penguasaan kembali baru sekitar 1.001.674 hektare atau 1 juta hektare, luas lahan yang telah dilakukan verifikasi mencapai 710.057 hektare, dan luas lahan yang telah dilakukan verifikasi lapangan 467.136 hektare.

    Kemudian, luas lahan yang telah diserahkan ke PT Agrinas 221.868 hektare dan luas lahan yang siap diserahkan ke PT Agrinas 216.997 hektare.

    “Kalau ini tidak dikelola dengan baik, ini akan memengaruhi tingkat produksi, kemudian terjadinya PHK, dan sebagainya,” ujarnya.

    Sementara itu, Anggota Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Eugenia Mardanugraha menilai perlu adanya strategi dari pemerintah dalam meningkatkan produksi kelapa sawit di Tanah Air, usai 1 juta hektare lahan sawit yang ada telah dikuasai oleh pemerintah.

    Menurut dia, pemerintah perlu menggenjot produksi sawit di lahan yang tidak bermasalah untuk mengantisipasi hilangnya produksi dari lahan sebelumnya.

    “Karena begini, kalau 1 juta hektare di kali 4 ton berarti 4 juta ton lahan sawit tidak berproduksi sehingga harus digantikan supaya secara produksi tidak turun,” tutur Eugenia.

    Sebagai produsen nomor satu kelapa sawit di tingkat dunia, Eugenia menyebut bahwa Indonesia harus memiliki prospek sawit yang cerah. Pasalnya, jika produksi kelapa sawit merosot, perekonomian Indonesia secara keseluruhan akan ikut turun hingga memicu melonjaknya harga pangan secara global.

    “Oleh karena itu, pemerintah dan pengusaha harus buat industri ini punya prospek cerah,” ujarnya. 

  • Produksi Sawit RI Hanya 3,8 Juta Ton, Kementan Putar Otak Genjot Produksi

    Produksi Sawit RI Hanya 3,8 Juta Ton, Kementan Putar Otak Genjot Produksi

    Bisnis.com, JAKARTA — Kementerian Pertanian (Kementan) menyebut, industri sawit Indonesia pada masa depan penuh tantangan. Kendati begitu, pemerintah telah menyiapkan sederet strategi guna menggenjot produksi kelapa sawit Tanah Air. 

    Direktur Hilirisasi Hasil Perkebunan Kementan Haris Darmawan menyampaikan, produktivitas kelapa sawit Indonesia saat ini masih rendah, dengan rata-rata sekitar 3,8 ton per hektare per tahun. 

    “Padahal kita punya potensi bisa mencapai 5-6 ton per hektare per tahun,” kata Haris dalam agenda Bisnis Indonesia Forum di kantor Wisma Bisnis Indonesia, Jakarta Pusat, Selasa (24/6/2025).

    Menjawab tantangan tersebut, Haris menyebut bahwa pemerintah telah memiliki Program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) yang fokus pada kebun petani rakyat yang tidak produktif, dengan target replanting sekitar 120.000 hektare per tahun.

    Selain itu, pemerintah melakukan intensifikasi dan menerapkan good agriculture practices (GAP). Dalam hal ini, kata Haris, pemerintah mendorong para petani untuk menggunakan benih unggul.

    “Jadi penggunaan benih unggul mutlak dilakukan,” ujarnya.

    Pihaknya juga mendorong pemupukan berimbang, serta digitalisasi pertanian dan pemantauan produktivitas melalui teknologi citra satelit.

    Upaya selanjutnya yakni perluasan lahan secara legal dan berkelanjutan, dengan membatasi ekspansi lahan baru dan mendorong peningkatan produktivitas di lahan eksisting untuk mengurangi deforestasi.

    Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit (Gapki) menyebut, produksi dan produktivitas minyak sawit Indonesia relatif stagnan dan cenderung turun selama lima tahun terakhir. 

    Merujuk data Gapki, produksi minyak sawit (CPO dan PKO) sampai dengan Februari 2025 mencapai 8,26 juta ton atau turun dibanding periode yang sama tahun lalu sebanyak 8,89 juta ton.

    Executive Director Gapki Mukhti Sardjono menyampaikan, menurunnya produksi minyak sawit di Indonesia dipengaruhi oleh sejumlah faktor. Diantaranya, tidak ada perluasan areal tanam baru, produktivitas yang stagnan, hingga program peremajaan pemerintah yang tidak berjalan bagus.

    Selain itu, biaya produksi yang terus meningkat turut menjadi salah satu pemicu menurunnya  produksi minyak sawit dalam beberapa tahun terakhir.

    “Produktivitas yang bisa jadi 4 ton, sekarang turun 3,5 ton. Inilah yang kita hadapi sekarang ini,” ujar Mukhti.

    Menurutnya, perlu ada upaya dalam meningkatan produktivitas dan penguatan huluisasi. Diantaranya, dengan memastikan program PSR dapat berjalan sesuai dengan target, peremajaan sawit PB dengan klon-klon unggul dan tahan ganoderma, serta implementasi GAP dan GMP (Good Manufacturing Practices).

  • GAPKI Ungkap Segudang Tantangan Industri Sawit Tahun Ini

    GAPKI Ungkap Segudang Tantangan Industri Sawit Tahun Ini

    Bisnis.com, JAKARTA — Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) memperkirakan 2025 menjadi tahun yang penuh tantangan bagi industri kelapa sawit, baik dari sisi produksi, ketersediaan ekspor, maupun harga.

    Executive Director Gapki Mukhti Sardjono menyampaikan, saat ini, pemerintah Amerika Serikat (AS), salah satu negara tujuan ekspor minyak sawit Indonesia, mengenakan tarif impor sebesar 32% untuk Indonesia. Tarif yang dikenakan AS ini lebih tinggi dibanding pesaing Indonesia yaitu Malaysia sebesar 24%.

    Menurut perhitungan Gapki, beban ekspor sawit Indonesia saat ini mencapai US$221,12 per ton, lebih tinggi dari beban ekspor minyak sawit Malaysia sebesar US$140 per ton.

    “Jadi kita bisa melihat daya saing kita kalah,” kata Mukthi dalam agenda Bisnis Indonesia Forum di kantor Wisma Bisnis Indonesia, Jakarta Pusat, Selasa (24/6/2025).

    Kemudian, memasuki Maret 2025, Gapki melihat adanya keseimbangan kembali harga minyak nabati, yang ditunjukkan dengan menurunnya harga minyak kelapa sawit (crude palm oil /CPO) di bawah harga minyak rapeseed maupun sunflower oil. 

    Industri sawit Tanah Air juga ikut terbebani dengan perkembangan geopolitik yang tidak menentu. Mukthi menyebut, perang yang terjadi antara Rusia-Ukraina, India-Pakistan, dan Timur-Tengah yang semakin meningkat eskalasinya mendorong harga energi meningkat. 

    Kendati begitu, ada kekhawatiran terhadap kinerja ekspor minyak sawit jika negara tujuan mengalami krisis ekonomi imbas kondisi geopolitik saat ini.

    “Jadi kalau kita melihatnya 2025 sebagai tahun yang penuh tantangan,” ujarnya.

    Dari dalam negeri, industri ini juga menemui sejumlah tantangan. Mulai dari produksi dan produktivitas yang relatif stagnan dan cenderung turun; kebutuhan dalam negeri, baik untuk pangan, energi, dan industri oleokimia yang terus meningkat; hingga ketidakpastian hukum dan berusaha.

    Terkait ketidakpastian hukum dan berusaha, Mukthi menuturkan bahwa saat ini sekitar 37 instansi mengatur atau terlibat dalam industri sawit. Selain itu, banyak peraturan perundangan yang tumpang tindih, hingga kebijakan yang mudah berubah-ubah.

    Belum lagi, perkebunan sawit yang teridentifikasi masuk kawasan hutan. Adapun, dia meminta pemerintah segera menyelesaikan permasalahan perkebunan sawit yang teridentifikasi masuk kawasan hutan. Pasalnya, hal ini dapat berdampak terhadap produksi kelapa sawit di Indonesia. 

    “Jika kebun sawit tidak segera dilanjutkan pengelolaannya, akan berpotensi terjadinya PHK dan kehilangan produksi,” pungkasnya.

  • Petani Keluhkan Ketidakpastian Harga Sawit dan Penertiban Lahan

    Petani Keluhkan Ketidakpastian Harga Sawit dan Penertiban Lahan

    Bisnis.com, JAKARTA — Petani kelapa sawit menghadapi tekanan ganda dari fluktuasi harga tandan buah segar (TBS) serta ketidakpastian akibat penertiban kawasan hutan yang berlangsung masif. 

    Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) menyoroti kondisi ini sebagai tantangan serius yang bukan hanya berdampak pada ekonomi petani, tetapi juga memengaruhi posisi strategis Indonesia sebagai produsen minyak sawit terbesar di dunia.

    “Petani saat ini menjadi bagian dari rantai pasok domestik dan global, sehingga apapun yang terjadi pada harga CPO [crude palm oil] akan sangat berpengaruh terhadap harga TBS di tingkat petani,” kata Mutiara Panjaitan dari Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Apkasindo dalam Bisnis Indonesia Forum: Sembelit Industri Sawit, Masihkan Prospektif jadi Penopang? pada Selasa (24/6/2025). 

    Menurut Mutiara, setidaknya ada dua isu utama yang menjadi sorotan petani. Pertama adalah ketidakpastian sosial-ekonomi akibat harga CPO yang sangat fluktuatif, membuat petani ragu apakah sektor sawit masih dapat menopang kesejahteraan mereka ke depan. 

    Isu kedua yang tak kalah penting adalah penertiban kawasan hutan yang dilakukan secara intensif belakangan ini. 

    Mutiara menyebut pendekatan yang dipakai oleh pemerintah dan otoritas terkait belum sepenuhnya diterima dengan utuh oleh petani di lapangan. 

    “Efek psikologisnya besar. Informasi soal siapa subjeknya, apa objeknya, dan berapa luas kawasan yang ditertibkan itu tidak tersampaikan secara utuh ke seluruh anggota,” katanya.

    Dia menambahkan, petani bukan hanya bagian dari rantai pasok, tetapi juga menjadi subjek penting dalam penyelesaian status lahan dan bagian dari program ketahanan nasional, baik pangan maupun energi. 

    “Karena itu, penting sekali agar komunikasi kepada petani dilakukan dengan lebih transparan dan inklusif,” tegasnya.

    Kondisi yang dialami petani juga menjadi perhatian Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Anggota KPPU Eugenia Mardanugraha mengingatkan posisi Indonesia sebagai produsen sawit nomor satu di dunia tak boleh tergeser hanya karena persoalan lahan.

    “Kalau industri sawit kita menurun, maka perekonomian Indonesia secara keseluruhan juga akan terdampak. Dunia butuh sawit Indonesia. Jika pasokan terganggu, harga pangan global bisa melonjak,” kata Eugenia.

    Menurutnya, pemerintah bersama pelaku industri perlu segera merumuskan arah kebijakan dan konsep jangka panjang agar industri sawit Indonesia tetap kompetitif dan berkelanjutan.

    “Jangan sampai Malaysia menggantikan posisi kita hanya karena kita tidak menyelesaikan persoalan di dalam negeri,” kata Eugenia.

  • Kemendag Awasi Distribusi MINYAKITA di Wilayah Indonesia Timur

    Kemendag Awasi Distribusi MINYAKITA di Wilayah Indonesia Timur

    Jakarta

    Kementerian Perdagangan (Kemendag) melakukan pengawasan distribusi MINYAKITA di wilayah Indonesia timur. Kali ini, pengawasan dilakukan di Pasar Sentral Hamadi, Kota Jayapura, Papua, dan gudang Perum Bulog Kantor Wilayah Papua.

    “Pengawasan ini dilaksanakan untuk memastikan ketersediaan stok dan kesesuaian harga MINYAKITA di wilayah Papua. Hasil pengawasan menunjukkan, stok MINYAKITA tersedia dan mencukupi dengan harga sesuai HET, yaitu Rp 15.700/liter,” ujar Direktur Tertib Niaga, Direktorat Jenderal Perlindungan Konsumen dan Tertib Niaga, Mario Josko dalam keterangan tertulis, Selasa (24/6/2025).

    Mario menerangkan berdasarkan data Sistem Pemantauan Pasar dan Kebutuhan Pokok (SP2KP) Kemendag per 23 Juni 2025, harga rata-rata MINYAKITA di tingkat nasional tercatat Rp 16.700/liter. Adapun harga ini telah mengalami tren penurunan sebesar 1,76% dibandingkan bulan sebelumnya dan 0,60% dibandingkan minggu sebelumnya.

    Sedangkan harga MINYAKITA di wilayah Indonesia timur, khususnya Papua, masih mencapai Rp 18.000/liter. Indikasi penyebab tingginya harga MINYAKITA di wilayah ini dikarenakan kontinuitas pasokan MINYAKITA dan juga kondisi geografis kewilayahan di Papua.

    “Adapun yang menjadi pembentuk harga provinsi Papua hanya Kota Jayapura. Rata-rata MINYAKITA di Provinsi Papua, yaitu Rp 16.850/liter. Terjadi penurunan harga sebesar 6,39 persen dibandingkan minggu sebelumnya, yaitu Rp 18.000/liter. Kita berharap, dengan adanya pasokan yang kontinu, tren penurunan harga MINYAKITA terus berlanjut dan akan stabil sesuai HET,” tutur Mario.

    Mario menjelaskan saat ini, Perum Bulog Kantor Wilayah Papua telah mendapatkan pasokan MINYAKITA dari PT. Mahesi Agri Karya sebanyak 1.900 dus yang akan didistribusikan merata di Provinsi Papua. Pasokan MINYAKITA diharapkan akan terus berlanjut secara kontinyu guna memastikan ketersediaan stok MINYAKITA di wilayah Papua.

    “Produsen dan distributor lainnya diharapkan dapat ikut membantu mengoptimalkan pendistribusian MINYAKITA baik melalui distributor maupun BUMN Pangan. Kementerian Perdagangan secara aktif akan terus mendorong pasokan MINYAKITA ke wilayah Indonesia Timur guna mengisi pasokan ke pedagang pengecer di dalam pasar rakyat utamanya pasar pantauan,” jelas Mario.

    Kemendag meminta produsen MINYAKITA selalu mengedepankan kontinuitas distribusi ke pasar rakyat dan menaati ketentuan yang berlaku. Hal ini termasuk mengenai kesesuaian harga sebagaimana yang telah ditentukan dalam Permendag Nomor 18 Tahun 2024 tentang Minyak Goreng Sawit Kemasan dan Tata Kelola Minyak Goreng Rakyat.

    Mario mengungkapkan Kemendag akan terus berkoordinasi serta melakukan pengawasan ke berbagai daerah lain. Selain untuk memastikan ketersediaan stok dan kesesuaian harga, pengawasan juga dilakukan untuk memastikan kesesuaian produk dalam rangka perlindungan konsumen.

    Kemendag juga mendorong dinas daerah aktif melakukan pendampingan dan pengawasan bersama Satgas Pangan. Dinas setempat juga diharapkan dapat berkoordinasi dengan produsen, distributor, dan Perum Bulog guna memastikan ketersediaan stok dan keterjangkauan harga MINYAKITA di wilayahnya masing-masing.

    Mario mengungkapkan Kemendag melalui Direktorat Jenderal Perdagangan Dalam Negeri telah bersurat kepada produsen minyak goreng dan BUMN Pangan terkait imbauan untuk memprioritaskan distribusi DMO MINYAKITA, utamanya ke pedagang pengecer di pasar rakyat (pantauan) secara kontinu dan merata.

    Ia menjelaskan sumber pasokan MINYAKITA bergantung dari DMO para pelaku ekspor CPO. Adapun mekanisme pendistribusiannya juga melalui skema komersial tanpa subsidi maupun dana pemerintah.

    Selain itu, BUMN Pangan (Perum BULOG dan ID Food) diharapkan dapat meningkatkan koordinasi dengan dinas perdagangan setempat dan melaksanakan kewajiban pelaporan distribusi melalui Sistem Informasi Minyak Goreng Curah (SIMIRAH), serta melaksanakan distribusi yang mengacu pada ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

    “Tadi kita lihat bersama stok MINYAKITA di Jayapura tersedia, harga di tingkat konsumen juga sudah sesuai HET. Ke depan, kami harap makin banyak produsen yang ikut mendistribusikan MINYAKITA ke Papua, Maluku, dan wilayah Indonesia timur lainnya, sehingga masyarakat mudah mendapatkan MINYAKITA dengan harga yang terjangkau sesuai HET,” pungkas Mario.

    (prf/ega)

  • Bayang-bayang Penurunan Ekspor CPO – Batu Bara di Tengah Konflik Iran – Israel

    Bayang-bayang Penurunan Ekspor CPO – Batu Bara di Tengah Konflik Iran – Israel

    Bisnis.com, JAKARTA — Konflik Iran—Israel yang makin memanas berpotensi mengancam permintaan ekspor batu bara dan minyak kelapa sawit mentah (crude palm oil/CPO) yang merupakan dua komoditas unggulan Indonesia menjadi melemah.

    Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) mengkhawatirkan ketegangan geopolitik yang membara di kawasan Timur Tengah, terutama konflik yang melibatkan Iran dan negara-negara barat, akan berpotensi pada penurunan permintaan CPO Indonesia.

    Ketua Umum Gapki Eddy Martono mengatakan potensi penurunan permintaan CPO bakal terjadi jika konflik Iran—Israel terus berlanjut.

    “Kalau perang berkepanjangan dan terjadi krisis ekonomi global ini akan berpengaruh terhadap permintaan minyak sawit Indonesia, potensi penurunan sangat besar,” kata Eddy kepada Bisnis, Senin (23/6/2025).

    Eddy menilai, jika penurunan permintaan ini terjadi akibat dari krisis ekonomi global maka akan cukup sulit mengatasinya. Hal ini lantaran masing-masing negara importir akan sibuk menyelesaikan masalah ekonomi.

    Eddy memperkirakan harga CPO ke depan akan berkisar di rentang US$900-1.000 per metric ton di tengah konflik Iran—Israel yang semakin memanas.

    Dihubungi terpisah, Kepala Biro Hubungan Masyarakat Kementerian Perdagangan (Kemendag) Kusuma Dewi mengatakan pihaknya masih melihat situasi, mengingat kondisinya yang saat masih terus berubah.

    Namun pada dasarnya, lanjut Dewi, Kemendag prihatin dengan eskalasi konflik dan berharap konflik Iran—Israel bisa segera usai.

    Petani sedang memanen kelapa sawit

    Di sisi lain, Dewi menuturkan Kemendag tetap berupaya mencari alternatif pasar di tengah konflik Iran—Israel melalui perjanjian dagang, seperti Indonesia—Tunisia yang selangkah lagi menunggu penandatangan.

    “Demikian pula halnya dengan Indonesia-Eurasia yang juga telah selesai. Pembukaan pasar itu tentu merupakan peluang yang ada untuk meningkatkan ekspor Indonesia,” ujar Dewi kepada Bisnis.

    Ekspor CPO dan Batu Bara

    Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Mohammad Faisal mengatakan rata-rata harga komoditas nonenergi, terutama nonminyak dan gas (nonmigas), justru mengalami penurunan. Hal ini seiring dengan kebijakan tarif Presiden AS Donald Trump yang semakin menekan sisi permintaan.

    Dia melihat efek tarif Trump berdampak pada penurunan harga batu bara dan sawit di pasar internasional sejak kuartal III/2024 sampai sekarang.

    “Konflik Timur Tengah ini memang mengubah tingkat harga, tetapi lebih di harga minyak dan gas. Harga minyak memang kembali naik setelah turun, kemudian naik. Gas mulai naik, tetapi tidak terlalu signifikan dibandingkan sebelumnya,” kata Faisal kepada Bisnis.

    Sementara itu, lanjut dia, batu bara dan CPO masih relatif tetap rendah meski sudah mulai terlihat mengalami peningkatan harga. Namun, dia melihat peningakatannya tidak terlalu besar dalam beberapa waktu terakhir sejak konflik.

    Dengan kata lain, Faisal menyebut tingkat elastisitas kenaikan harga komoditas nonenergi atau nonminyak masih relatif rendah meski ada kecenderungan meningkat.

    “Kalau lihat kondisi seperti ini terhadap neraca perdagangan kita, justru harga komoditas ekspor andalan kita seperti sawit dan batu bara harganya masih relatif rendah, karena ditambah lagi dengan kebijakan tarif yang menekan dari sisi permintaan,” ungkapnya.

    Menurutnya, jika harga CPO dan batu bara rendah, artinya prospek nilai ekspor juga tidak meningkat secara signifikan. Selain itu, volume perdagangan dua komoditas ini juga diperkirakan melemah lantaran faktor pelemahan permintaan di global.

    Di sisi lain, Faisal menilai konflik yang terjadi di Timur Tengah justru mengerek impor minyak, mengingat Indonesia merupakan net importir minyak. Alhasil, Faisal mewanti-wanti ekspor tidak meningkat signifikan, sedangkan keran impor meningkat.

    “Artinya potensi terhadap rasa perdagangan memang makin lama surplusnya makin tipis menurut saya dalam kondisi seperti sekarang, pasca perang dagang terutama dan juga ditambah lagi dengan konflik yang mendorong kenaikan harga minyak,” tuturnya.

    Sementara itu, ekonom dari Universitas Paramadina Wijayanto Samirin memproyeksi komoditas batu bara dan CPO akan mengalami defisit di tengah konflik Iran—Israel yang kian memanas.

    “Keduanya [batu bara dan CPO] merupakan ekspor terbesar kita. Pasti trade deficit akan makin lebar dan current accountmakin mengaga,” kata Wijayanto kepada Bisnis.

    Terlebih, Wijayanto menyebut Indonesia sangat bergantung pada ekspor batu bara dan CPO. Bahkan, kata dia, ekspor batu bara dan CPO mewakili sekitar 20–25% total ekspor Indonesia.

    Untuk itu, Wijayanto menyarankan agar pemerintah perlu bersiap mencari pasar baru, mendiversifikasi usaha, melakukan efisiensi operasional, dan menghindari keputusan-keputusan yang berisiko, termasuk melakukan utang berlebih.

    Selain itu, dia mengimbau agar pemerintah harus mendorong energi baru terbarukan (EBT) untuk menekan impor energi.

    Di samping itu, pemerintah juga perlu mempercepat hilirisasi yang berpegang pada prinsip lingkungan, sosial, dan tata kelola (Environmental, Social, and Governance/ESG) untuk mendongkrak nilai tambah ekonomi.

    “Lalu, mendorong percepatan industrialisasi dengan memperbaiki iklim investasi agar kita tidak terjebak sebagai eksportir komoditas yang rentan terhadap siklus komoditas global,” ujarnya.

    Pasalnya, menurut dia, ketegangan di Timur Tengah akan mendorong banyak negara memperkuat kemandirian energi dan pangan. Adapun dalam hal energi, transisi ke energi hijau akan semakin cepat.

    Meski demikian, Wijayanto menilai lonjakan harga kedua komoditas ini hanya dampak sesaat.

    “Jika perang terus berkecamuk, pertumbuhan ekonomi dunia melambat, akhirnya demand terhadap komoditas juga ikut melambat walaupun taraf perlambatan demand masing-masing komoditas berbeda, tergantung elastisitas permintaan,” terangnya.

    Orang berjalan di tengah tumpukan batu bara

    Dalam catatan Bisnis, data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan nilai ekspor komoditas unggulan, yakni CPO dan turunannya mengalami kenaikan hingga 20% secara kumulatif sepanjang Januari—April 2025.

    Berdasarkan data BPS, nilai ekspor CPO dan turunannya mencapai US$7,05 miliar pada Januari—April 2025. Angkanya naik dibandingkan periode yang sama tahun lalu sebesar US$5,87 miliar.

    Tercatat, total volume ekspor CPO dan turunannya mencapai 6,41 juta ton pada Januari—April 2025, turun dibandingkan periode yang sama tahun lalu di level 6,78 juta ton.

    Dari sisi harga, CPO dan turunannya di tingkat global pada Januari—April 2025 berada di level US$1.099,82 per ton. Nilainya naik 26,54% dari Januari—April 2024 yang hanya mencapai US$869,16 per ton.

    Di sisi lain, nilai ekspor batu bara justru turun 9,89% secara kumulatif, yakni dari US$10,18 miliar pada Januari—April 2024 menjadi US$8,17 miliar pada Januari—April 2025. Sedangkan untuk share pada komoditas ini adalah 9,89%.

    Dari sisi volume, komoditas ini turun 5,79% dari 130 juta ton pada Januari—April 2024 menjadi 122,76 juta ton pada Januari—April 2025. Untuk rata-rata nilainya juga turun 14,92% dari US$78,2 per ton menjadi US$66,53 per ton.

  • Waspada Perang Dunia III di Depan Mata, Orang Indonesia Diimbau Lakukan Ini – Page 3

    Waspada Perang Dunia III di Depan Mata, Orang Indonesia Diimbau Lakukan Ini – Page 3

    Adapun jika perang dunia ketiga benar-benar terjadi, menurut Wijayanto akan sangat berdampak buruk untuk berbagai aspek, terutama ekonomi. Menurutnya, jika risiko global meningkat, sektor keuangan bergejolak, harga energi melejit dan inflasi naik.

    Ia menambahkan dalam situasi seperti ini, para investor cenderung menahan diri, perdagangan global akan menurun, dan pertumbuhan ekonomi dunia semakin melambat. Selain itu, harga minyak dan komoditas energi lainnya diperkirakan akan meningkat, sementara harga komoditas non-energi justru bisa menurun.

    “Harga minyak dan komoditas energi akan meningkat (batubara, Gas, CPO), tetapi komoditas non energi (mineral/tambang) justru berpotensi turun, karena demand turun,” ujar Wijayanto.

    Menurutnya, meski ada potensi eskalasi konflik, ia tidak yakin situasi ini akan memicu Perang Dunia ke-3. Namun demikian, ketidakpastian dan dampak ekonomi dari ketegangan ini tetap harus diwaspadai, terutama bagi negara-negara berkembang seperti Indonesia.