Produk: CPO

  • Ada IEU-CEPA, Indef Harap Arus Investasi Eropa Lebih Deras Masuk ke RI

    Ada IEU-CEPA, Indef Harap Arus Investasi Eropa Lebih Deras Masuk ke RI

    Bisnis.com, JAKARTA — Institute for Development of Economics and Finance (Indef) berharap perjanjian Indonesia—European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement (IEU—CEPA) bisa menjadi pintu masuk Eropa menanamkan investasinya di Indonesia, termasuk investasi di sektor teknologi tinggi hingga energi terbarukan.

    Kepala Pusat Industri, Perdagangan, dan Investasi Indef Andry Satrio Nugroho mengatakan perjanjian IEU—CEPA bukan hanya sekadar meningkatkan kinerja perdagangan kedua negara, melainkan juga mendorong agar investasi Eropa masuk ke Indonesia.

    “Tentunya goals-nya itu [dari IEU—CEPA] menurut saya bukan hanya dari sektor perdagangan saja, tetapi bagaimana kita bisa mendorong agar investasi dari Eropa itu bisa masuk ke Indonesia,” kata Andry kepada Bisnis, Minggu (13/7/2025).

    Andry berharap sederet perusahaan yang bergerak di bidang maupun sektor kimia dan farmasi, teknologi tinggi, dan energi terbarukan bisa masuk ke Tanah Air. Apalagi, menurutnya, Eropa juga berminat jika diberikan kesempatan untuk berinvestasi di sektor tersebut.

    “Jadi, bagaimana kita bisa mendorong agar penggunaan sumber-sumber energi terbarukan ini semakin banyak dan banyak di antaranya itu berasal dari Eropa,” tuturnya.

    Selain itu, Andry juga berharap dengan produk asal Indonesia bisan masuk ke pasar Eropa dengan harga yang kompetitif tanpa adanya bea masuk seiring adanya perjanjian IEU—CEPA, termasuk minyak kelapa sawit (crude palm oil/CPO) dan produk turunannya.

    Pasalnya, sambung dia, selama ini produk CPO beserta turunannya asal Indonesia sulit menembus pasar Eropa.

    “Menurut saya produk-produk yang berbahan baku sawit rasa-rasanya jadi salah satu produk yang kita dorong untuk masuk ke pasar Eropa karena selama ini kan sulit untuk produk-produk CPO kita masuk ke pasar Eropa,” tuturnya.

    Sebelumnya, Menteri Perdagangan (Mendag) Budi Santoso mengatakan sudah tak ada lagi substansi yang menjadi permasalahan dalam perundingan IEU—CEPA.

    Budi menerangkan bahwa dalam hal bernegosiasi, semua pihak melakukan tawar-menawar, termasuk Indonesia dan Uni Eropa. Namun, lanjut dia, terkadang untuk mencapai kesepakatan yang menguntungkan bukan sesuatu hal yang mudah.

    Kendati demikian, Budi memastikan semua substansi yang menjadi permasalahan dalam perundingan IEU—CEPA sudah selesai.

    “Semua sudah selesai, secara substansi sudah tidak ada masalah [terkait perundingan IEU-CEPA]. Jadi besok Presiden [Prabowo Subianto] tinggal mengumumkan. Jadi, enggak ada masalah,” ujar Budi dalam keterangan pers dikutip dari YouTube Sekretariat Presiden, Minggu (13/7/2025).

    Untuk itu, Budi menyatakan Uni Eropa bisa menjadi pasar baru sekaligus pasar alternatif bagi Indonesia untuk memasarkan produk lebih luas. Hal ini sejalan dengan perundingan negosiasi IEU—CEPA yang telah rampung.

    “Dan ini alternatif baru buat pasar kita. Impor EU ke dunia kan US$6,6 triliun, kalau kita bandingkan Amerika US$3,3 something triliun. Jadi, kalau kita bisa masuk lebih besar ke EU, saya pikir ini pasar yang bagus buat kita untuk alternatif pasar-pasar di negara lain,” tuturnya.

    Ketika proses IEU—CEPA segera rampung, ungkap Budi, maka kebijakan produk bebas deforestasi alias European Deforestation Regulation (EUDR) yang berisiko menjadi hambatan rantai internasional akan mulai mereda. Sebabm menurutnya, Eropa akan menjalin kerja sama kemitraan dengan Indonesia ke depan.

    “Jadi nanti harapan kita, ini kita menyelesaikan EU—CEPA dulu yang lain itu sebenarnya sudah soft, sudah mulai melunak karena mereka juga tentu ingin bermitra dengan kita ke depannya,” imbuhnya.

    Dalam kesempatan yang sama, Menteri Koordinator (Menko) Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyatakan Presiden Prabowo akan menemui Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen dan Presiden Dewan Eropa Antonio Costa untuk membahas perundingan IEU—CEPA.

    Menko Airlangga menuturkan, negosiasi perjanjian dagang IEU—CEPA telah memasuki tahun ke-10 alias satu dekade dengan lebih dari 19 putaran. Namun, dia memastikan perundingan IEU—CEPA akan rampung dan segera ditandatangani Presiden.

    “IEU—CEPA ini kita sudah berunding masuk tahun ke-10, lebih dari 19 putaran. Namun seluruh isunya akan selesai. Dan ini tentu merupakan sebuah milestone baru di tengah situasi ketidakpastian,” ujar Airlangga.

    Airlangga menyebut melalui perjanjian dagang ini, maka produk Indonesia yang akan masuk ke Eropa tidak akan dikenakan bea masuk alias tarif 0%. “Berarti antara Indonesia dan EU itu akan produk kita bisa masuk ke Eropa dengan tarif 0%,” ungkapnya.

    Adapun, Airlangga menuturkan bahwa rencananya perjanjian IEU—CEPA ini akan ditandatangani pada kuartal III/2025 di Jakarta. Sayangnya, dia enggan memberikan informasi lebih detail terkait jadwal penandatanganan IEU—CEPA.

    “Nanti akan ada penandatanganan di kuartal ke-3 tahun ini dan di Jakarta. Tapi kita tunggu pengumuman dari Presiden. Jadi kita tidak, tidak spill-spill,” tandasnya.

  • Pemberantasan Mafia Hukum dan Peradilan Masih Setengah Hati

    Pemberantasan Mafia Hukum dan Peradilan Masih Setengah Hati

    JAKARTA – Beberapa waktu lalu, Kejaksaan Agung menangkap empat hakim dan dua pengacara serta seorang panitera terkait dugaan suap putusan lepas perkara korupsi pemberian fasilitas ekspor minyak kelapa sawit mentah atau CPO di PN Jakarta Pusat.

    Kasus itu menambah daftar panjang kasus terkait mafia peradilan yang telah diungkap oleh penegak hukum. Sebelumnya, Kejagung juga berhasil melakukan operasi tangkap tangan terhadap tiga orang hakim di Pengadilan Negeri Surabaya. Ketiga hakim itu ditangkap atas dasar tuduhan menerima suap dalam proses penanganan perkara pembunuhan dengan terdakwa Gregorius Ronald Tanur.

    Tidak berhenti sampai di situ, penyidik berhasil mengembangkan informasi bahwa dalam perkara yang sama, terdapat upaya mempengaruhi proses hukum kasasi yang diajukan oleh Ronald Tanur. Benar saja, tidak lama berselang, pihak yang diduga sebagai makelar kasus akhirnya turut ditetapkan sebagai tersangka, yakni Zarof Ricar, mantan pejabat di Mahkamah Agung.

    Anggota Komisi III DPR RI, I Wayan Sudirta mengungkapkan, fenomena suap hakim dan mafia peradilan di Indonesia telah menjadi masalah sistemik yang merusak integritas penegakan hukum. Praktik suap, intervensi pihak eksternal, dan kolusi antara penegak hukum, pengacara, dan para pihak berperkara telah menggerogoti kepercayaan publik terhadap sistem peradilan.

    Bukan rahasia umum bahwa sistem peradilan dan penegakan hukum sangat rentan dengan suap maupun mafia atau calo. Hal ini sangat mempengaruhi tingkat kepercayaan masyarakat. Meski pemerintah dan DPR telah berupaya dengan berbagai cara seperti membentuk Satuan Tugas Khusus (Satgasus) maupun Panitia Kerja (Panja) untuk menyoroti hal ini, namun ternyata kartel hukum ini tidak hilang.

    ilustrasi

    “Sebenarnya sudah ada komitmen untuk mereformasi sistem hukum dan peradilan secara lebih terbuka, profesional, dan terpercaya. Seluruh model dan format kajian terhadap independensi, kemandirian, maupun upaya untuk meningkatkan integritas dan kualitas peradilan yang tinggi telah dicoba untuk digalakkan,” ujar Sudirta.

    Namun seolah permasalahan itu tidak akan pernah berhenti dan terus menerus terjadi, bahkan semakin marak dan kasat mata. Menurutnya, reformasi peradilan bukan hanya berbicara dari permasalahan suap di pengadilan yang diungkap Kejagung, tapi juga berbicara di seluruh tahap peradilan.

    “Ini berarti sistem peradilan pidana misalnya juga menyangkut penyidikan, upaya paksa, penuntutan, hingga putusan itu sendiri. Atau dari pengajuan gugatan atau permohonan, putusan, hingga eksekusi, seluruh tahap seolah memiliki tarif,” imbuhnya.

    Dalam praktek di lapangan, banyak modus yang telah tercipta untuk memuluskan peran dan pengaruh mafia hukum dan peradilan. Karena itu, reformasi peradilan tidak hanya berbicara soal struktur dan substansi dari hukum dan peraturan perundang-undangan, namun juga kultur dari hukum dan fenomena tersebut.

    Sudirta menjelaskan, permasalahan mengenai suap menyuap dalam sistem peradilan bukan hal baru karena terkait dengan penanganan perkara dan kewenangannya. Hal itu teridentifikasi dari beberapa akar permasalahan, pertama adalah korupsi yang sudah sangat kronis dan sistemik dibarengi dengan lemahnya pengawasan internal dan eksternal.

    “Kita sering mendengar adanya penanganan terhadap hakim yang bermasalah, tapi tampaknya tidak juga memberikan dampak yang signifikan. Penanganan permasalahan hakim dan aparat penegak hukum sepertinya hanya gesture belaka atau untuk meredam amarah publik,” tuturnya.

    Kedua, sistem rekrutmen dan seleksi hakim atau sistem karir yang seringkali tidak transparan dan banyak “titipan”. Hal ini terasa biasa saja namun berdampak cukup jauh, koneksi masuknya mafia hukum dan peradilan menjadi langgeng dan banyak yang kemudian tersandera dengan “utang budi” tersebut.

    “Kita tidak membicarakan terlebih dahulu soal kapasitas dan kualitasnya, karena pada akhirnya bergantung pula pada “koneksi”. Persoalan ini diperparah dengan sistem pembinaan karir yang tidak meritokratis. Sistem reward and punishment dikhawatirkan hanya menjadi slogan,” tukas Sudirta.

    Ketiga adalah permasalahan rendahnya gaji hakim dan kesejahteraannya dibandingkan dengan beban kerja dan godaan suap yang jauh timpang. Meskipun kini gaji dan tunjangan hakim sudah dinaikkan, tidak serta merta membuat hakim merasa “aman” dan tercukupi.

    Selanjutnya adalah banyaknya intervensi dan minimnya pengawasan karena pengaruh dari luar (mafia) cukup tinggi. Pengawasan internal dan eksternal tidak efektif karena kalah dengan asas kemandirian dan independensi yudikatif; yang bebas dan mandiri. Pengawasan eksternal dari Komisi Yudisial (KY) maupun lembaga pengawas eksternal lainnya akhirnya hanya mengandalkan publik untuk menekan, bukan komitmen dari pengawas yang memegang kewenangan.

    Persoalan selanjutnya kata Sudirta, adalah minimnya pendidikan dan pelatihan yang mendorong integritas, profesionalitas, dan akuntabilitas. Pelatihan integritas, pembangunan zona integritas dan wilayah bebas korupsi tidak memiliki tolok ukur yang jelas dan obyektif. Modus operandi penyuapan terhadap lembaga penegak hukum dan peradilan sebenarnya sudah teridentifikasi, namun tidak memiliki semacam denah (roadmap) untuk penanggulangannya.

    Hal yang paling dapat terlihat tentunya adalah menurunnya kepercayaan publik terhadap sistem peradilan atau penegakan hukum. Ketidakpastian berdampak pada sistem ekonomi dan investasi serta pelindungan Hak Asasi Manusia. Dengan demikian dapat terlihat adanya penyimpangan terhadap tujuan hukum yakni keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan. Hingga kini adagium seperti “keadilan hanya milik penguasa atau orang kaya” atau “hukum tajam ke bawah, tumpul ke atas” akan selalu muncul.

    Penguatan Sistem Pengawasan Internal dan Eksternal Bisa Menekan Praktik Mafia Peradilan

    Sudirta mengatakan, ada beberapa langkah yang bisa dilakukan untuk mengatasi persoalan suap dan penyimpangan dalam sistem peradilan di Indonesia. Pertama, reformasi struktur peradilan dan penegakan hukum perlu dijamin. Kedua, penguatan fungsi pengawasan melalui sistem, pengawasan internal, maupun pengawasan eksternal. Sistem peradilan pidana misalnya memiliki pengawasan hakim secara internal (Bawas MA), Komisi Yudisial sebagai pengawas eksternal, hingga aparat pengawasan intern pemerintah (APIP) ataupun penegakan hukum.

    “Perlu dipikirkan kembali bagaimana sistem dapat secara otomatis mengawasi akuntabilitas dan keakuratannya. Revisi Hukum Acara Pidana harus memungkinkan upaya untuk mengajukan keberatan terhadap beberapa tindakan atau upaya paksa yang telah diatur dalam undang-undang, secara obyektif dan transparan,” terangnya.

    Keempat, transparansi dari rekrutmen, pembinaan karir, uji kompetensi, dan peningkatan integritas harus dapat dijamin, diharapkan akan mendorong publik agar ikut mengawasi. Sistem pembinaan karir, mutasi, promosi, demosi, dan pengisian jabatan harus memiliki tolok ukur yang jelas, obyektif, dan kepastian atau ketegasan. Jaminan untuk pembinaan karir dan penempatan di wilayah harus dilakukan dengan sistem pengelolaan Sumber Daya Manusia yang sesuai dengan kompetensi dan profesionalitasnya.

    Kelima, perhatian terhadap hakim dan kesejahteraan maupun fasilitas yang mendukung optimalisasi kerja dan profesionalitas. Saat ini, banyak hakim atau aparat yang mengalami kekurangan dari sisi kesejahteraan maupun dukungan sarana dan prasarana kerja. Penanganan terhadap pelanggaran etik maupun hukum harus dapat dilakukan secara terbuka atau membuka ruang publik untuk dapat mengadu dan mendapat tindak lanjut yang jelas.

    “Pemanfaatan teknologi informasi juga dapat dioptimalkan untuk pengawasan dan transparansi publik. Hal terkait adalah penggunaan whistleblowing system dapat saling melaporkan penyimpangan tentunya dengan penghargaan jika terbukti dan bermanfaat,” tambah Sudirta.

    Keenam, peningkatan keterlibatan masyarakat sipil dalam pemantauan dan pengungkapan praktik mafia hukum dan peradilan. Selain edukasi terhadap seluruh aparat penegak hukum, hakim, dan termasuk advokat; dibutuhkan kejelasan sistem yang dapat memudahkan penanganan pelanggaran seperti hukum dan etik yang sangat berat dan dilakukan melalui SOP atau prosedur yang jelas dan obyektif.

    “Reformasi struktural, pemanfaatan teknologi, penegakan hukum tegas, dan peningkatan kesadaran integritas harus dilakukan secara konsisten dan simultan. Tanpa upaya serius, kepercayaan publik terhadap hukum di Indonesia akan terus merosot dan tentunya menghambat pembangunan bangsa dan sumber daya manusia Indonesia,” tegas politikus dari PDI Perjuangan itu.

    Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Diky Anandya menilai, pengungkapan kasus mafia peradilan seperti pada penangkapan Zarof Ricar bukan sesuatu yang mengejutkan. Sebab modus yang dilakukan oleh Zarof serupa dengan yang dilakukan oleh jaringan mafia peradilan lainnya yang sebelumnya pernah diproses hukum oleh KPK, yakni Sekretaris MA, Nurhadi dan Hasbi Hasan. Sekalipun ketiganya bukan merupakan hakim atau pihak yang menangani perkara, namun dengan pengaruh besar yang dimiliki, mereka memperdagangkan pengaruh itu untuk menjadi perantara suap kepada hakim yang menangani perkara.

    “Modus ini juga setidaknya juga menjadi salah satu modus korupsi yang telah dipetakan oleh ICW sejak tahun 2003 silam. Artinya, modus korupsi di sektor peradilan tidak pernah berubah. Pertanyaan yang kemudian muncul, mengapa, meski sudah pernah ada jaringan mafia peradilan yang diproses hukum, dan modus-modusnya sudah terpetakan, namun prakteknya masih ada hingga saat ini,” tuturnya.

    Menurut Diky, dua kemungkinan penyebab eksistensi mafia peradilan. Pertama, proses penegakan hukum dalam perkara tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh KPK atau penegak hukum lainnya tidak pernah menyasar hingga aktor-aktor intelektualnya. Kedua, tidak ada upaya signifikan yang dilakukan oleh MA untuk melakukan upaya reformasi yang berdampak signifikan untuk menutup ruang gerak bagi hakim, panitera, atau pegawai pengadilan untuk melakukan praktik-praktik bertindak sebagai makelar kasus.

    Kondisi ini tentu semakin menunjukkan bahwa moralitas para penegak hukum, khususnya hakim di lembaga peradilan, telah berada di titik nadir yang sangat mengkhawatirkan. Maka tidak berlebihan rasanya jika publik, yang notabene merupakan para pencari keadilan, mengharapkan bahwa pengungkapan Zarof Ricar dijadikan sebagai momentum bagi penegak hukum untuk mengungkap jaringan mafia peradilan yang lebih luas di Mahkamah Agung.

    Selain itu, penguatan kewenangan Komisi Yudisial sebagai lembaga otonom penjaga etika kehakiman juga perlu diperkuat. Sebab, prakteknya saat ini, Komisi Yudisial hanya dapat memberikan rekomendasi atas hasil pemeriksaan aduan mengenai pelanggaran kode etik dan kode perilaku hakim, dan kewenangan untuk memutusnya tetap di Mahkamah Agung.

    “Sebagai langkah menghindari adanya potensi konflik kepentingan, maka Komisi Yudisial perlu diberikan wewenang untuk melakukan pemeriksaan dan memberikan sanksi kepada hakim. Namun yang paling penting, agar simultan dengan strategi-strategi tersebut, perlu ada terobosan kebijakan dari Ketua MA untuk menjadi orkestrator dalam upaya mereformasi lembaganya guna mengembalikan kembali muruah lembaga peradilan,” tutup Diky.

  • Video: Cegah PHK Efek Tarif 32% Trump, DPR Minta Prabowo Lakukan Ini!

    Video: Cegah PHK Efek Tarif 32% Trump, DPR Minta Prabowo Lakukan Ini!

    Jakarta, CNBC Indonesia- Kegagalan negosiasi pemerintah RI kepada Pemerintah AS yang menyebabkan Indonesia dikenakan tarif impor sebesar 32% menjadi kekhawatiran bagi sejumlah sektor usaha. Hal ini tidak lepas dari ketergantungan sejumlah produk RI seperti alas kaki, pakaian jadi, elektronik, furnitur, CPO hingga produk perikanan seperti udang yang menjadikan Negeri Paman Sam sebagai pasar tujuan ekspor utama.

    Wakil Ketua Komisi I DPR RI, Dave Laksono menyebutkan jika AS resmi menetapkan tarif baru impor produk RI pada 1 Agustus 2025 maka daya saing produk RI akan semakin ketat dan menekan volume ekspor RI.

    Di sisi lain, kebijakan ini juga akan merugikan pasar AS mengingat barang asal Asia seperti Indonesia akan lebih mahal yang bisa memicu inflasi AS. Oleh karena itu diperlukan upaya meningkatkan daya saing produk RI dengan cara menekan biaya produksi ataupun menekan biaya logistik dan pengurangan pajak.

    Selain itu juga diperlukan upaya ekspansi pasar baru ke negara non-tradisional untuk memastikan industri RI terap bergerak dan menghindari PHK.

    Seperti apa dampak dan upaya yang harus dilakukan pemerintah RI menghadapi tarif resiprokal AS? Selengkapnya simak dialog Andi Shalini dengan Wakil Ketua Komisi I DPR RI, Dave Laksono dalam Squawk Box, CNBC Indonesia (Rabu, 09/07/2025)

  • Pangsa Ekspor CPO RI ke AS Terancam Susut Imbas Tarif Trump

    Pangsa Ekspor CPO RI ke AS Terancam Susut Imbas Tarif Trump

    Bisnis.com, JAKARTA — Pengamat menyebut pangsa pasar ekspor minyak kelapa sawit (crude palm oil/CPO) Indonesia ke Amerika Serikat (AS) bisa menyusut imbas pengenaan tarif Presiden AS Donald Trump sebesar 32%.

    Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Mohammad Faisal mengatakan penurunan pangsa pasar ekspor CPO Indonesia ke Negara Paman Sam itu mengingat tarif yang dikenakan Trump lebih tinggi dibandingkan negara kompetitor seperti Malaysia.

    Jadi tarif yang dikenakan 32% termasuk untuk CPO, ini jelas akan berpotensi mengurangi market share kita di pasar Amerika, terlebih melihat Malaysia dikenakan tarif yang lebih rendah yakni 25%.

    “Dengan adanya perbedaan tarif ini, maka berpotensi share ekspor CPO Malaysia ke Amerika akan meningkat. Walaupun secara keseluruhan share impor Amerika terhadap CPO dari seluruh dunia tetap Indonesia lebih besar, tapi menyusut dari pangsa pasarnya,” kata Faisal kepada Bisnis, Selasa (8/7/2025).

    Dalam kondisi seperti ini, Faisal menyebut pemerintah perlu mencari pasar alternatif untuk mengekspor komoditas unggulan Indonesia, salah satunya CPO.

    “Jadi kita lebih serius untuk menggali pasar-pasar tradisional untuk CPO kita yang sebetulnya punya jangkauan pasar yang luas karena tingkat daya saingnya yang relatif tinggi dibandingkan pesaing-pesaingnya,” ujarnya.

    Dihubungi terpisah, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Eddy Martono menyebut kinerja ekspor CPO berpotensi menurun imbas kebijakan Trump yang tetap mengenakan tarif resiprokal sebesar 32% terhadap Indonesia.

    Berdasarkan catatan Gapki, ekspor minyak sawit Indonesia ke AS terus meningkat selama lima tahun terakhir. Adapun, volume ekspor tertinggi terjadi pada 2023, yakni mampu mencapai 2,5 juta ton. Sayangnya, volumenya turun menjadi 2,2 juta ton pada 2024 dengan pangsa pasar CPO adalah 89%.

    “Apabila tarif [AS terhadap Indonesia] tetap 32%, ada kemungkinan ekspor [CPO] akan menurun, besarnya berapa belum tahu,” ucap Eddy kepada Bisnis.

    Menurutnya, importir di Negara Paman Sam akan mengalihkan pasar ke negara dengan tarif lebih rendah, seperti Malaysia, imbas adanya tarif tinggi ini.

    “Yang paling mungkin importir di AS akan bergeser ke negara lain seperti Malaysia dan negara-negara di Amerika Latin, karena tarif mereka di bawah Indonesia,” ujarnya.

    Kendati demikian, Eddy menyebut ke depan, tren ekspor CPO Indonesia belum tentu bakal terus menurun. Sebab, kondisi ini tergantung pada kondisi minyak nabati lain, seperti minyak kedelai hingga minyak bunga matahari.

    “Belum tentu trennya turun terus, tergantung minyak nabati lain. Apabila supply mereka kurang, maka permintaan minyak sawit akan meningkat,” jelasnya.

    Dia menjelaskan bahwa harga minyak sawit harus kompetitif dibandingkan minyak nabati lain. Sebab, harga yang kompetitif akan mempengaruhi kinerja ekspor CPO ke depan.

    “Jangan sampai harga minyak sawit lebih mahal dari minyak nabati lain seperti bunga matahari dan minyak kedelai seperti di tahun 2024 dan di awal 2025 [sampai April], ini juga akan menurunkan ekspor minyak sawit,” jelasnya.

    Adapun untuk menghadapi tarif Trump, lanjut dia, diversifikasi ke pasar nontraditional merupakan kunci, seperti ke Afrika, Timur Tengah, Rusia, dan Asia Tengah.

    “Juga harus terus menjaga pasar tradisional agar jangan turun seperti China, India, Pakistan, dan Uni Eropa yang saat ini sebagai empat besar pasar minyak sawit Indonesia,” tandasnya.

  • Pengusaha Sawit Was-was Ekspor CPO Turun Imbas Tarif Trump 32%

    Pengusaha Sawit Was-was Ekspor CPO Turun Imbas Tarif Trump 32%

    Bisnis.com, JAKARTA — Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) menyebut kinerja ekspor minyak kelapa sawit (crude palm oil/CPO) berpotensi menurun imbas kebijakan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump yang tetap mengenakan tarif resiprokal sebesar 32% terhadap Indonesia.

    Ketua Umum Gapki Eddy Martono mengatakan bahwa ekspor minyak sawit Indonesia ke AS terus meningkat selama lima tahun terakhir.

    Adapun, volume ekspor tertinggi terjadi pada 2023, yakni mampu mencapai 2,5 juta ton. Sayangnya, volumenya turun menjadi 2,2 juta ton pada 2024 dengan pangsa pasar CPO adalah 89%.

    “Apabila tarif [AS terhadap Indonesia] tetap 32%, ada kemungkinan ekspor [CPO] akan menurun, besarnya berapa belum tahu,” kata Eddy kepada Bisnis, Selasa (8/7/2025).

    Menurut Eddy, importir di Negara Paman Sam akan mengalihkan pasar ke negara dengan tarif lebih rendah, seperti Malaysia, imbas adanya tarif tinggi ini.

    Sebagai pembanding, Trump mengumumkan pengenaan tarif 25% untuk Malaysia. Besaran tarifnya lebih rendah dibandingkan Indonesia sebesar 32%.

    “Yang paling mungkin importir di AS akan bergeser ke negara lain seperti Malaysia dan negara-negara di Amerika Latin, karena tarif mereka di bawah Indonesia,” ujarnya.

    Meski begitu, Eddy menyebut tren ekspor CPO Indonesia belum tentu akan terus menurun ke depan. Kondisi ini tergantung pada kondisi minyak nabati lain, seperti minyak kedelai hingga minyak bunga matahari.

    “Belum tentu trennya turun terus, tergantung minyak nabati lain. Apabila supply mereka kurang, maka permintaan minyak sawit akan meningkat,” terangnya.

    Menurutnya, harga minyak sawit harus kompetitif dibandingkan minyak nabati lain. Sebab, harga yang kompetitif akan mempengaruhi kinerja ekspor CPO ke depan.

    “Jangan sampai harga minyak sawit lebih mahal dari minyak nabati lain seperti bunga matahari dan minyak kedelai seperti di tahun 2024 dan di awal 2025 [sampai April], ini juga akan menurunkan ekspor minyak sawit,” jelasnya.

    Adapun untuk menghadapi tarif Trump, Eddy menyebut diversifikasi ke pasar nontraditional harus terus dilakukan, seperti ke Afrika, Timur Tengah, Rusia, dan Asia Tengah.

    “Juga harus terus menjaga pasar traditional agar jangan turun seperti China, India, Pakistan dan Uni Eropa yang saat ini sebagai empat besar pasar minyak sawit Indonesia,” tuturnya.

    Untuk diketahui, Presiden AS Donald Trump memutuskan untuk mengenakan tarif resiprokal 32% terhadap Indonesia, alias tidak mengalami perubahan.

    Keputusan tersebut tertuang dalam surat tarif yang ditujukan Trump kepada Presiden Prabowo Subianto yang yang diunggah di akun Truth Social @realDonaldTrump pada Selasa (8/7/2025).

    Kepala Negara AS itu juga mengunggah surat terbuka penetapan tarif ke berbagai negara. Dalam surat tersebut, Trump menyebut pihak AS telah memutuskan untuk melanjutkan kerja sama dengan Indonesia, namun hanya dalam kerangka perdagangan yang lebih seimbang dan adil.

    “Mulai Agustus 2025, AS akan memberlakukan tarif sebesar 32% terhadap seluruh produk Indonesia yang masuk ke pasar AS, terpisah dari tarif sektoral lainnya. Produk yang dialihkan (transshipped) untuk menghindari tarif yang lebih tinggi akan tetap dikenakan tarif sesuai dengan kategori tertingginya,” demikian kutipan surat tersebut.

    Dia menjelaskan, tarif ini diperlukan untuk memperbaiki kondisi defisit perdagangan yang tidak berkelanjutan, yang selama ini disebabkan oleh kebijakan tarif, nontarif, serta hambatan perdagangan dari pihak Indonesia.

    “Sayangnya, hubungan dagang ini sejauh ini belum bersifat timbal balik,” terangnya.

    Menurutnya, pengenaan tarif 32% itu sebenarnya jauh lebih rendah dari tarif yang diperlukan untuk menutup kesenjangan defisit perdagangan AS dengan Indonesia.

    Dia menambahkan, tarif ini tidak akan berlaku jika Indonesia, atau perusahaan-perusahaan dari Indonesia, memutuskan untuk membangun fasilitas produksi di AS.

    Bukan hanya itu, Trump juga menyebut AS bakal membantu mempercepat proses perizinan secara profesional dan efisien dalam hitungan minggu.

    Selain itu, AS dapat mempertimbangkan penyesuaian tarif jika Indonesia bersedia membuka akses pasar dan menghapus kebijakan tarif maupun nontarif terhadap AS. Dia menyebut, besaran tarif dapat dinaikkan atau diturunkan, tergantung pada perkembangan hubungan bilateral Indonesia—AS. 

    Bahkan, Trump juga mengancam Indonesia untuk menambah tarif tersebut jika Indonesia melakukan retaliasi dagang. “Apabila Indonesia memutuskan untuk menaikkan tarif atas produk Amerika Serikat, maka besaran kenaikan tersebut akan langsung ditambahkan pada tarif 32% yang telah kami tetapkan,” tandasnya.

  • Momentum Reformasi Industri Nasional

    Momentum Reformasi Industri Nasional

    Jakarta

    Ketegangan geopolitik antara Iran dan Israel yang meletus pada pertengahan Juni lalu menyulut kekhawatiran global terhadap stabilitas pasokan energi dan kelancaran rantai logistik internasional. Selat Hormuz, yang menjadi jalur pengangkutan hampir sepertiga minyak dunia, terancam menjadi medan konflik.

    Rute dagang strategis seperti Terusan Suez juga mengalami tekanan akibat meningkatnya aksi kelompok bersenjata. Bagi Indonesia, yang selama ini masih bergantung besar pada energi dan bahan baku impor, kondisi ini menjadi pengingat keras bahwa kemandirian industri bukan lagi pilihan, melainkan keharusan.

    Dampaknya sudah terasa. Harga minyak Brent naik signifikan, bergerak di kisaran USD 73–92 per barel sepanjang Juni 2025. Analis memperingatkan kemungkinan harga menembus USD 100 jika konflik bereskalasi dan Selat Hormuz benar-benar ditutup.

    Ketegangan ini mendorong volatilitas tajam pasar energi dan bahan baku industri, memicu lonjakan biaya logistik hingga 200 persen, serta memperpanjang waktu pengiriman Asia–Eropa hingga dua pekan lebih lama dari biasanya.

    Di tengah kondisi ini, data Purchasing Managers’ Index (PMI) manufaktur Indonesia menunjukkan tren yang memprihatinkan. Pada April 2025, PMI turun ke level 46,7 — kontraksi paling dalam dalam hampir empat tahun terakhir. Sempat membaik ke 47,4 pada Mei 2025, namun pada bulan Juni PMI Indonesia kembali anjlok di angka 46,9. PMI di bawah 50 menunjukkan aktivitas di bawah ambang batas kontraksi.

    Sinyal ini bukanlah alarm biasa. Ini adalah panggilan untuk melakukan evaluasi mendasar atas arah pembangunan industri nasional. Sudah terlalu lama sektor industri kita berjalan tanpa arsitektur kebijakan yang tangguh.

    Di saat negara-negara besar menggunakan krisis sebagai pendorong reformasi, kita justru masih menunggu “the new normal” untuk bergerak. Padahal, dunia telah berubah, dan kita harus berubah bersamanya.

    Amerika Serikat telah menggelontorkan lebih dari USD 300 miliar melalui Inflation Reduction Act (IRA) dan CHIPS Act hanya dalam dua tahun untuk memperkuat basis industrinya, termasuk kendaraan listrik dan semikonduktor. India lewat program Atmanirbhar Bharat berhasil menarik gelombang relokasi industri global dengan pendekatan insentif produksi dan perlindungan pasar domestik. Sementara itu, Indonesia masih mengandalkan pasar ekspor komoditas mentah dan struktur impor bahan baku yang rapuh terhadap gangguan eksternal.

    Krisis ini semestinya menjadi “momentum reformasi”. Seyogyanya Pemerintah membentuk sistem cadangan darurat industri nasional, semacam “BNPB untuk sektor industri”, yang memiliki fungsi monitoring, mitigasi, dan respons cepat terhadap gangguan rantai pasok, fluktuasi nilai tukar, maupun lonjakan biaya logistik. Sistem ini bisa berupa pusat pemantauan logistik nasional, gudang cadangan bahan baku seperti semikonduktor, pupuk, dan baja, serta dana tanggap industri yang bisa digunakan secara fleksibel di masa krisis.

    Selain itu, arah hilirisasi nasional perlu diperluas. Hilirisasi selama ini lebih difokuskan pada sektor mineral dan tambang, padahal jantung industri Indonesia ada di manufaktur padat karya seperti tekstil, makanan dan minuman, furnitur, alas kaki, dan otomotif ringan. Sektor-sektor ini menyerap jutaan tenaga kerja dan menopang konsumsi rumah tangga nasional. Namun saat ini, mereka menghadapi tekanan berat.

    Sektor otomotif dan elektronik, yang 65 persen produksinya bergantung pada impor komponen, menghadapi kelangkaan semikonduktor dengan waktu tunggu hingga 26 minggu. Potensi kerugian ekspor diperkirakan mencapai USD 500 juta.

    Di sisi lain, sektor tekstil dan alas kaki menghadapi penyusutan margin laba hingga 7 persen akibat kenaikan tajam biaya logistik dan asuransi. Situasi ini diperparah oleh membanjirnya produk impor murah dari negara produsen besar seperti Tiongkok, di tengah lemahnya proteksi pasar domestik.

    Sementara itu, industri petrokimia nasional menghadapi beban ganda. Di satu sisi, kapasitas produksi dalam negeri baru mencapai 3,5 juta ton dari kebutuhan 8 juta ton plastik per tahun. Di sisi lain, bahan baku utama seperti nafta masih 100 persen impor, dengan volume mendekati 3 juta ton per tahun. Ketika harga minyak mentah melonjak dan jalur distribusi terganggu, industri dalam negeri menghadapi tekanan luar biasa.

    Di sinilah pentingnya mengembangkan bio-nafta berbasis CPO (crude palm oil), di mana Indonesia memiliki keunggulan sebagai produsen sawit terbesar dunia. Hilirisasi CPO bukan hanya soal ekspor, tetapi juga solusi strategis untuk menggantikan bahan baku fosil dalam industri petrokimia.

    Hanya saja, semua ini tidak akan berjalan tanpa reformasi kebijakan energi yang menyeluruh. Pemerintah mengalokasikan subsidi energi dalam RAPBN 2025 sebesar Rp 394,3 triliun. Namun, menurut kajian Bank Dunia, sekitar 72 persen subsidi BBM justru dinikmati kelompok masyarakat 40 persen teratas.

    Subsidi yang tidak tepat sasaran ini tidak memperkuat fondasi industri. Negara-negara seperti Jepang dan Korea Selatan sudah lama memiliki cadangan strategis energi setara konsumsi 200–240 hari. Indonesia? Masih nihil.

    Kita perlu merumuskan ulang kebijakan industri dan energi dalam satu ekosistem terintegrasi. Kementerian Perindustrian harus diberi mandat lebih kuat sebagai “arsitek industrialisasi nasional”, didukung oleh koordinasi lintas sektor: fiskal (Kemenkeu), investasi (BKPM), BUMN, dan perdagangan. Roadmap industri harus terintegrasi dari hulu ke hilir, dari bahan baku hingga produk jadi, dari pasar lokal hingga ekspor.

    Investasi baru yang masuk harus dipastikan membawa teknologi, menciptakan lapangan kerja, dan memperkuat rantai pasok dalam negeri. Infrastruktur yang dibangun pun harus mendukung kawasan industri, pusat logistik, dan pelabuhan produksi. Kita tidak hanya butuh investasi yang besar, tetapi investasi yang bermakna dan berkelanjutan.

    Terakhir, kita perlu memahami bahwa industri bukan lagi sekadar sektor ekonomi. Dalam situasi global yang penuh ketidakpastian, industri adalah alat pertahanan nasional.

    Di Amerika Serikat, kebijakan industri ditautkan langsung dengan strategi keamanan nasional. India memosisikan sektor manufakturnya sebagai pengungkit kekuatan geopolitik. Maka Indonesia pun harus menjadikan industri sebagai bagian dari sistem pertahanan non-militer — karena siapa yang menguasai pasokan energi dan pangannya sendiri, akan bertahan.

    Sejarah membuktikan hal ini. Saat industri nasional tumbang pada krisis 1998, tekanan sosial dan politik meningkat tajam. Namun saat industri bangkit pada era pasca-2004, stabilitas dan pertumbuhan berjalan beriringan. Maka menjaga industri bukan hanya menjaga ekonomi, tapi menjaga masa depan bangsa.

    Penurunan PMI selama dua bulan terakhir bukanlah kebetulan statistik. Ini adalah panggilan untuk bertindak. Pemerintah, DPR, pelaku industri, dan masyarakat harus duduk bersama membangun arah baru: sebuah peta jalan industrialisasi yang bukan hanya berorientasi ekonomi, tetapi berlandaskan pada kemandirian, keberlanjutan, dan ketahanan nasional.

    Indonesia punya segalanya: pasar domestik yang besar, tenaga kerja muda (bonus demografi), sumber daya alam yang melimpah, dan posisi geografis yang strategis. Dengan kepemimpinan nasional yang kuat di bahwa Presiden Prabowo, Indonesia seharusnya optimis bisa menjadi jangkar stabilitas kawasan lewat kekuatan industrinya. Semoga..

    Ilham Permana. Anggota Komisi VII DPR RI, Fraksi Partai Golkar

    (imk/imk)

    Hoegeng Awards 2025

    Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

  • Setoran BLU Ditarget Rp99 T, Kemenkeu Jamin Tak Ada Kenaikan Biaya

    Setoran BLU Ditarget Rp99 T, Kemenkeu Jamin Tak Ada Kenaikan Biaya

    Daftar Isi

    Jakarta, CNBC Indonesia – Kementerian Keuangan memperkirakan, setoran dari penerimaan Badan Layanan Umum (BLU) akan melampaui target pada tahun ini.

    Berdasarkan dokumen Prognosis APBN Semester II Tahun 2025, pendapatan BLU sampai akhir tahun akan mencapai Rp 99,3 triliun, lebih tinggi dari target tahun awal yang dicantumkan dalam APBN 2025 senilai Rp 77,9 triliun.

    Direktur Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Direktorat Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan, Rofyanto Kurniawan mengatakan, potensi penerimaan BLU yang akan mencapai 127,4% dari target itu tanpa harus menaikkan tarif layanan BLU.

    “Oh enggak-enggak (kenaikan tarif layanan),” kata Rofyanto saat ditemui di kawasan Gedung Parlemen, Jakarta, Senin (7/7/2025).

    Rofyanto menjelaskan, potensi kenaikan BLU itu kata dia murni karena naiknya kinerja perekonomian. Bila aktivitas ekonomi dalam negeri naik, ia memastikan pendapatan BLU biasanya ikut terkerek.

    “Sebetulnya kan kalau BLU yang kaya RS, kemudian perguruan tinggi, dan sebagainya itu kan memang kan kalau kinerja ekonominya bagus dia akan bisa melampaui targetnya. Kayak yang layanan Polri, Imigrasi, dan sebagainya,” ujar Rofyanto.

    Sebagai informasi, dalam dokumen Prognosis APBN Semester II Tahun 2025 disebutkan Kinerja Pendapatan BLU pada Semester II-2025 masih didukung oleh pendapatan BLU Nonsawit, antara lain berasal dari Pendapatan Satker BLU yang berada di bawah kewenangan Kemenkes, Kemendiktisaintek, Kemenkomdigi, Kemenhan, dan Polri.

    Sementara itu, penurunan rata-rata harga referensi CPO Kemendag, masih akan menjadi tantangan bagi Pendapatan BLU Sawit dari Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS).

    Pendapatan BLU pada Semester II-2025 diperkirakan mencapai Rp58,97 triliun atau 75,7% dari APBN tahun 2025. Secara keseluruhan sampai dengan akhir tahun 2025, Pendapatan BLU diperkirakan akan mencapai Rp99,30 triliun atau 127,4% dari APBN 2025.

    Sementara itu, Realisasi Pendapatan BLU sampai dengan Semester I-2025 sebesar Rp40,33 triliun atau mencapai 51,8% terhadap target APBN 2025.

    Realisasi tersebut mengalami penurunan sebesar 0,5% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Hal ini terutama disebabkan oleh penurunan pada pendapatan BLU sawit, pendapatan jasa layanan perbankan BLU, dan pendapatan pengelolaan kawasan otorita.

    Capaian realisasi penerimaan BLU pada enam K/L terbesar secara lebih rinci dijelaskan sebagai berikut:

    1. Kementerian Keuangan (Kemenkeu)

    Realisasi BLU Kemenkeu pada Semester I tahun 2025 mencapai Rp13.234,6 miliar atau 45,5 persen terhadap target APBN 2025. Realisasi tersebut terkontraksi 22,6 persen jika dibandingkan periode yang sama tahun 2024. Hal ini disebabkan oleh adanya penurunan tarif Pungutan Ekspor (PE) sawit sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 62 Tahun 2024 tentang Tarif Layanan Badan Layanan Umum Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit Pada Kementerian Keuangan.

    2. Kementerian Kesehatan (Kemenkes)

    Realisasi BLU Kemenkes pada Semester I tahun 2025 mencapai Rp9.878,2 miliar atau 46,2 persen terhadap target APBN 2025. Realisasi tersebut mengalami peningkatan sebesar 12,0 persen jika dibandingkan periode yang sama tahun 2024. Peningkatan tersebut bersumber dari perluasan layanan (seperti layanan di luar jam kerja dan poliklinik eksekutif) serta pendapatan dari belanja modal gedung yang dilakukan sepanjang tahun 2024 akan memberikan dampak peningkatan PNBP pada 2025.

    3. Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemendiktisaintek)

    Realisasi BLU Kemendiktisaintek pada Semester I tahun 2025 mencapai Rp4.035,6 miliar atau 45,6 persen terhadap target APBN 2025. Realisasi tersebut mengalami peningkatan 0,9 persen apabila dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun 2024. Peningkatan ini dikarenakan adanya penetapan 12 BLU Pendidikan sehingga dapat memberikan substitusi pada PNBP yang hilang dari 2 BLU yang menjadi PTN BH pada tahun 2024.

    4. Kementerian Komunikasi dan Digital (Kemenkomdigi)

    Realisasi BLU Kemenkomdigi pada Semester I tahun 2025 mencapai Rp3.552,2 miliar atau 97,2 persen terhadap target APBN 2025. Realisasi tersebut mengalami peningkatan 36,5 persen jika dibandingkan periode yang sama tahun 2024.

    Peningkatan berasal dari: (1) Kenaikan penerimaan Universal Service Obligation (USO) seiring pertumbuhan pendapatan kotor penyelenggaran telekomunikasi, dan (2) Realisasi Tahun Anggaran yang Lalu (TAYL) belanja modal BLU pada bulan Februari tahun 2025 dari pengembalian PPN Hot Back Up Satellite tahap tiga.

    5. Kementerian Agama (Kemenag)

    Realisasi BLU Kemenag pada Semester I tahun 2025 mencapai Rp1.743,6 miliar atau 45,4 persen terhadap target APBN 2025. Realisasi tersebut mengalami peningkatan sebesar 6,4 persen jika dibandingkan dengan realisasi periode yang sama tahun 2024, yang terutama disebabkan oleh peningkatan pada jasa layanan pendidikan.

    6. Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri)

    Realisasi BLU Polri pada Semester I tahun 2025 mencapai Rp1.181,2 miliar atau 47,3 persen terhadap target APBN 2025. Realisasi tersebut mengalami penurunan sebesar 8,7 persen jika dibandingkan periode yang sama tahun 2024. Penurunan tersebut terutama disebabkan oleh penurunan pada pendapatan jasa layanan rumah sakit

    (arj/haa)

    [Gambas:Video CNBC]

  • Segera Sidang, Kejagung Limpahkan Marcella Santoso Cs ke Kejari Jakpus

    Segera Sidang, Kejagung Limpahkan Marcella Santoso Cs ke Kejari Jakpus

    Bisnis.com, JAKARTA — Kejaksaan Agung (Kejagung) telah menyerahkan barang bukti dan tersangka atau tahap II kasus suap vonis lepas perkara crude palm oil (CPO) korporasi ke Kejari Jakarta Pusat.

    Direktur Penuntutan (Dirtut) Jampidsus Kejagung RI, Sutikno mengatakan jumlah tersangka yang dilimpahkan dalam perkara ini berjumlah lima orang.

    “5 orang tersangka dilakukan tahap 2,” ujarnya saat dikonfirmasi, Senin (7/9/2025).

    Dia merincikan dari lima tersangka itu terdapat dua pengacara yakni Marcella Santoso (MS) dan Ariyanto (AR). Selain perkara suap, empat tersangka kasus perintangan sejumlah perkara di Kejagung juga telah dilimpahkan.

    Mereka yakni Marcella Santoso; dosen sekaligus advokat, Junaidi Saibih (JS); Direktur Pemberitaan Jak TV non-aktif Tian Bahtiar (TB); dan Ketua Cyber Army, M Adhiya Muzakki (MAM).

    “Tersangka tahap II Tian Bahtiar, Adhiya Muzakki, Juanedi Saibih, Ariyanto, dan Marcella Santoso,” pungkasnya.

    Setelah dilakukan Tahap II, tim Jaksa Penuntut Umum akan segera mempersiapkan Surat Dakwaan untuk pelimpahan berkas perkara tersebut ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

  • RI Negosiasi Tarif Trump, Pakar Usul Kebijakan DHE Dikaji Ulang

    RI Negosiasi Tarif Trump, Pakar Usul Kebijakan DHE Dikaji Ulang

    Bisnis.com, JAKARTA — Center of Economic and Law Studies (Celios) menilai, pemerintah harus pintar bernegosiasi dengan Amerika Serikat (AS) untuk bisa menurunkan tarif perdagangan Indonesia ke Negeri Paman Sam itu. Salah satunya, dengan mengkaji kebijakan yang dinilai dapat menghambat produk AS masuk ke Indonesia.

    Direktur Celios Nailul Huda menyampaikan, salah satu kebijakan yang patut dikaji ulang adalah Devisa Hasil Ekspor (DHE). Kebijakan ini disebut merugikan pihak AS lantaran dolar AS akan lebih lama tersimpan di Indonesia.

    Namun, tidak hanya AS, Nailul menyebut bahwa kebijakan ini juga merugikan pengusaha dalam negeri lantaran ketersediaan dolar akan terbatas.

    “Saya rasa kebijakan DHE ini memang patut dikaji ulang karena bagi pelaku usaha dalam negeri pun tidak menguntungkan,” kata Nailul kepada Bisnis, dikutip Minggu (6/7/2025).

    Nailul menuturkan, kenaikan atau pemberian tarif impor barang luar negeri dari AS tentu akan berdampak terhadap Indonesia. Dia mengatakan, kebijakan ini akan menyebabkan kenaikan harga barang yang dikonsumsi oleh masyarakat AS.

    Akibatnya, permintaan agregat barang-barang impor tersebut akan mengalami koreksi. Menurut publikasi Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF) pada 2024, kenaikan tarif impor 1% akan mengurangi impor barang sebesar 0,8%. 

    “Artinya, ekspor Indonesia ke AS bisa turun hingga 25%,” ungkap Nailul.

    Dampaknya, kata dia, surplus perdagangan luar negeri Indonesia bisa terancam turun karena AS merupakan salah satu penyumbang surplus terbesar Indonesia yakni sebesar US$16 miliar.

    Dampak lanjutan dari pelemahan ekspor Indonesia ke AS adalah penurunan produksi dalam negeri. Dia menjelaskan, ketika produksi dalam negeri menurun, maka perusahaan di Indonesia akan “menyesuaikan” dengan cara, salah satunya, memberhentikan karyawannya atau melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK).

    Angka PHK di dalam negeri berisiko meningkat seiring dengan penurunan permintaan AS. Menurut perkiraannya, industri tekstil dan produk tekstil akan mengalami PHK massal sebanyak 191.000 tenaga kerja.

    Untuk itu, Nailul menyebut bahwa Indonesia harus berkoalisi dengan negara lain untuk menghadapi situasi ini. Misalnya, menjadikan BRICS sebagai salah satu pintu masuk, atau bilateral dengan negara yang memiliki komoditas yang sama, seperti Malaysia untuk kasus minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO).

    Selain itu, menurutnya pemerintah dapat pula menguatkan permintaan domestik dengan memperbaiki daya beli masyarakat. Salah satunya, melalui insentif-insentif bagi masyarakat kelas menengah ke bawah seperti kebutuhan listrik dan energi.

    “Insentif ini bisa memberikan kekuatan bagi ekonomi domestik di saat ekonomi global terkena resesi,” ujarnya. 

    Untuk diketahui, Presiden AS Donald Trump akan memberlakukan tarif baru terhadap seluruh negara mitra dagangnya mulai 9 Juli 2025. Sejumlah negara akan dikenakan tarif dengan besaran yang berbeda-beda.

    Adapun, Trump sebelumnya menyatakan bakal menerapkan tarif resiprokal kepada Indonesia sebesar 32%, lantaran Indonesia dianggap menghambat laju perdagangan AS, yakni penerapan tarif sepihak (tidak timbal balik), TKDN, sistem perizinan impor kompleks, dan devisa hasil ekspor (DHE).

    Namun, Trump menunda pemberlakuan kebijakan tersebut selama 90 hari sambil dilakukan proses negosiasi antar kedua negara. Hingga saat ini, belum diketahui, hasil kesepakatan dari negosiasi yang dilakukan pemerintah Indonesia dengan AS.

  • Harga Bioetanol Juli 2025 Anjlok jadi Rp10.832 per Liter

    Harga Bioetanol Juli 2025 Anjlok jadi Rp10.832 per Liter

    Bisnis.com, JAKARTA — Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengumumkan harga indeks pasar (HIP) untuk bahan bakar nabati jenis biodiesel dan bioetanol untuk Juli 2025. 

    Tercatat, HIP bioetanol dipatok Rp10.832 per liter untuk Juli 2025. Harga tersebut turun dibandingkan HIP bioetanol pada Juni yang sebesar Rp13.356 per liter.

    Perhitungan HIP BBN bioetanol tersebut menggunakan formula yang telah ditetapkan, yaitu HIP = (harga tetes tebu KPB rata-rata periode 3 bulan x 4,125 kg per liter) + US$0,25 per liter. Dengan harga tetes tebu KPB rata-rata (15 Maret 2025 – 14 Juni 2025) adalah Rp1.636 per kg.  

    Kemudian, 4,125 kg per liter merupakan faktor satuan konversi dari kilogram ke liter. Lalu, untuk US$0,25 per liter adalah nilai konversi bahan baku menjadi bioetanol. Untuk konversi nilai kurs menggunakan rata-rata kurs tengah Bank Indonesia sebesar Rp16.339 per US$. 

    Sementara itu, HIP biodiesel Juli 2025 ditetapkan sebesar Rp12.874 per liter ditambah ongkos angkut. Angka ini turun tipis dibanding HIP biodiesel Juni yang sebesar Rp12.890 per liter ditambah ongkos angkut.  

    Lalu, besaran konversi crude palm oil (CPO) menjadi biodiesel adalah sebesar US$85 per metrik ton pada Juli 2025 ini. Angka tersebut masih tak berubah dari Juni 2025 lalu. 

    Adapun, besaran HIP BBN jenis biodiesel dimaksud dihitung berdasarkan ketentuan Diktum KESATU Keputusan Menteri ESDM Nomor 3.K/EK.05/DJE/2024 tentang Harga Indeks Pasar Bahan Bakar Nabati Jenis Biodiesel yang Dicampurkan ke Dalam Bahan Bakar Minyak Jenis Minyak Solar dan besaran Ongkos Angkut berdasarkan ketentuan Lampiran I Keputusan Menteri ESDM Nomor 153.K/EK.05/DJE/2024. 

    Lebih terperinci, harga HIP BBN biodiesel diperoleh dari formula, HIP = (harga CPO KPB rata-rata + US$85 per ton) x 870 kg per m³ + ongkos angkut. 

    Sementara itu, 870 kg per m³ adalah faktor satuan dari kilogram ke liter. Lalu, untuk konversi nilai kurs menggunakan rata-rata kurs tengah Bank Indonesia sebesar Rp16.303 per US$.