Produk: CPO

  • Ekspor AS ke RI Bebas Tarif, Neraca Dagang Indonesia Bisa Terguncang

    Ekspor AS ke RI Bebas Tarif, Neraca Dagang Indonesia Bisa Terguncang

    JAKARTA – Direktur Indonesia-China Center of Economic and Law Studies (Celios), M. Zulfikar, menyoroti ketimpangan dalam kesepakatan dagang antara Indonesia dan Amerika Serikat (AS).

    Kata dia, meskipun tarif ekspor Indonesia ke AS telah diturunkan menjadi 19 persen, produk-produk asal AS justru masuk ke Indonesia dengan tarif 0 persen. Kondisi inilah bakal menimbulkan risiko jangka panjang yang cukup serius terhadap neraca perdagangan nasional.

    “Tarif ekspor Indonesia ke Amerika Serikat sebesar 19 persen, sementara produk AS mendapat tarif 0 persen, berpotensi menimbulkan risiko serius terhadap neraca perdagangan Indonesia,” katanya kepada VOI, Rabu, 16 Juli.

    Di satu sisi, lanjut dia, memang ada keuntungan bagi beberapa komoditas unggulan seperti alas kaki, pakaian jadi, minyak mentah kelapa sawit atau CPO, dan karet. Tapi kalau dibandingkan dengan Vietnam yang berhasil menurunkan tarif ekspor dari 46 persen ke 20 persen, posisi Indonesia terlihat kurang optimal.

    “Bila dibandingkan, penurunan tarif ekspor Vietnam dari 46 persen ke 20 persen jauh lebih signifikan dibanding Indonesia yang hanya turun dari 32 persen ke 19 persen. Ini menunjukkan bahwa posisi negosiasi Vietnam jauh lebih efektif, dan seharusnya Indonesia bisa mendorong penurunan tarif yang lebih optimal,” ujar Zulfikar.

    Ia menilai bahwa posisi negosiasi Indonesia belum maksimal dalam mendorong penurunan tarif ekspor secara lebih signifikan. Di sisi lain, Indonesia justru membuka peluang impor besar-besaran dari AS, terutama di sektor strategis.

    Zulfikar menyebut, sektor migas, elektronik, suku cadang pesawat, serealia (termasuk gandum), dan farmasi bakal membanjiri pasar domestik. Selama tahun 2024 saja, telah mencapai 5,37 miliar dolar AS atau sekitar Rp 87,3 triliun.

    Potensi lonjakan impor ini dinilai bisa semakin memperlebar defisit perdagangan migas dan menekan nilai tukar rupiah.

    “Ini akan membebani struktur subsidi energi di RAPBN 2026. Pemerintah memang mengajukan alokasi subsidi energi sebesar Rp 203,4 triliun, namun angka tersebut diperkirakan tidak mencukupi. Proyeksi kebutuhan riil bisa mencapai Rp 300–320 triliun, terlebih karena ketergantungan terhadap impor BBM dan elpiji terus meningkat,” katanya.

    Lebih lanjut, Celios memperingatkan bahwa perjanjian dagang ini berpotensi memaksa Indonesia membeli minyak dan elpiji dari Negeri Paman Sam tersebut dengan harga yang lebih tinggi dibandingkan harga pasar saat ini yang dijalankan oleh Pertamina.

    Jika terjadi, hal ini akan menjadi beban jangka panjang bagi APBN dan mengganggu stabilitas fiskal. “Ini tentu menjadi persoalan jika Indonesia terikat dalam kesepakatan yang merugikan secara jangka panjang. Karenanya, transisi energi bukan hanya penting, tapi mendesak,” tegas Zulfikar.

    Di sisi pangan, menurut Zulfikar, liberalisasi tarif juga berdampak pada ketahanan serta kedaulatan pangan nasional. “Dengan tarif 0 persen, produk gandum AS mendapat keuntungan besar di pasar Indonesia. Konsumen mungkin menikmati harga produk berbasis gandum yang lebih murah, seperti mi instan dan roti, namun produsen pangan lokal berpotensi terdampak secara negatif,” ungkapnya.

    Sebelumnya, Presiden AS, Donald Trump memangkas tarif impor RI sebesar 19 persen. Sementara ekspor dari AS ke Indonesia tidak akan dikenakan pajak. Selain itu, Indonesia juga berkomitmen untuk berinvestasi terhadap sejumlah produk Amerika.

    “Indonesia akan membayar Amerika Serikat Tarif 19 persen untuk semua barang yang mereka ekspor kepada kami, sementara ekspor AS ke Indonesia akan bebas hambatan tarif dan non-tarif,” tulis Trump melalui akun @realDonaldTrump di media sosial Truth Social.

  • Potensi Besar Pasar Uni Eropa untuk Indonesia via IEU-CEPA

    Potensi Besar Pasar Uni Eropa untuk Indonesia via IEU-CEPA

    Bisnis.com, JAKARTA — Uni Eropa diyakini akan menjadi pasar baru bagi Indonesia sejalan dengan adanya Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif Indonesia–Uni Eropa (IEU-CEPA).

    Menteri Perdagangan (Mendag) Budi Santoso menuturkan bahwa Uni Eropa merupakan pasar yang cukup besar bagi Indonesia untuk mengerek kinerja ekspor. Terlebih, produk Indonesia yang masuk ke Eropa akan bebas dari tarif bea masuk alias 0%.

    Budi menjelaskan bahwa setelah hampir 1 dekade perjanjian dagang IEU—CEPA akan segera rampung. Adapun, perjanjian tersebut akan ditandatangani Presiden pada September 2025.

    “Mudah-mudahan itu menjadi alternatif pasar yang baru buat Indonesia karena potensi ekspor kita ke EU cukup besar, sehingga komoditas-komoditas kita banyak yang mendapatkan akses pasar dengan tarif 0%,” kata Budi saat ditemui di Gedung Parlemen DPR, Jakarta, Rabu (16/7/2025).

    Dengan begitu, lanjut dia, produk unggulan Indonesia termasuk minyak kelapa sawit (crude palm oil/CPO) dan produk turunan bisa segera masuk ke pasar Eropa.

    “Sehingga produk-produk unggulan kita dan tentu produk-produk lain yang potensial bisa segera masuk ke sana,” ujarnya.

    Menurut Budi, melalui perjanjian dagang ini Indonesia akan mendapatkan banyak akses pasar mengingat Uni Eropa yang mengenakan tarif bea masuk 0%. “Sehingga ini kesempatan yang besar,” tuturnya.

    Apalagi, kata Budi, perdagangan Uni Eropa lebih besar dari AS terhadap nilai impor di dunia. Jika nilai impor Uni Eropa dari dunia berada di sekitar US$6,6 triliun, imbuhnya, impor AS dari dunia hanya sekitar US$3,4 triliun.

    Sementara itu, total perdagangan Indonesia dengan Uni Eropa baru mencapai US$30 miliar. Dengan kata lain, Indonesia memiliki peluang lebar untuk mengerek neraca perdagangan.

    “Jadi kita mempunyai kesempatan yang besar karena kita telah mengusahakan produk-produk ekspor utama kita itu, untuk mendapatkan akses 0% dan sudah disetujui,” ujar Budi.

  • Produk Indonesia Dikenai Tarif 19 Persen Tapi Produk AS Nol Persen, Bhima Yudhistira: AS akan Untung Besar

    Produk Indonesia Dikenai Tarif 19 Persen Tapi Produk AS Nol Persen, Bhima Yudhistira: AS akan Untung Besar

    “Tarif 19 persen untuk barang ekspor Indonesia ke AS, sementara AS bisa mendapat fasilitas nol persen sebenarnya punya risiko tinggi bagi neraca dagang Indonesia,” ungkap Bhima dilansir jpnn, Rabu (16/7).

    Bhima tidak menampik jika kebijakan tarif ini memang sedikit akan menguntungkan ekspor produk alas kaki, pakaian jadi, CPO, dan karet.

    Namun dia memastikan, impor produk dari AS akan membengkak, salah satunya sektor migas, produk elektronik, suku cadang pesawat, serealia (gandum dsb), serta produk farmasi. “Tercatat sepanjang 2024, total impor lima jenis produk ini mencapai USD 5,37 miliar setara Rp87,3 triliun,” beber Bhima.

    Bhima memastikan, AS akan untung besar dari penetrasi ekspor gandum ke Indonesia karena tarif nol persen. Konsumen mungkin senang harga mie instan, dan roti bakal turun, tetapi produsen pangan lokal terimbas dampak negatifnya.

    Oleh karena itu, pemerintah sebaiknya mendorong akses pasar ke Eropa sebagai bentuk diversifikasi pasar paska EUI-CEPA disahkan. “Begitu juga dengan pasar intra-ASEAN bisa didorong. Jangan terlalu bergantung pada ekspor ke AS karena hasil negosiasi tarif tetap merugikan posisi Indonesia,” ungkap Bhima.

    Pemerintah juga harus memonitor pelebaran defisit migas, menekan kurs rupiah dan menyebabkan postur subsidi RAPBN 2026 untuk energi meningkat tajam.

    “Alokasi subsidi energi 2026 yang sedang diajukan pemerintah Rp 203,4 triliun, tentu tidak cukup. Setidaknya butuh Rp 300-320 triliun. Apalagi ketergantungan impor BBM dan LPG makin besar,” kata Bhima.

  • Ekonom: Ekspor unggulan RI diuntungkan, namun waspadai neraca dagang

    Ekonom: Ekspor unggulan RI diuntungkan, namun waspadai neraca dagang

    Jakarta (ANTARA) – Produk ekspor unggulan Indonesia seperti alas kaki, pakaian jadi, hingga karet dan CPO diuntungkan dengan tarif bea masuk 19 persen ke Amerika Serikat (AS) seperti yang baru saja diumumkan Presiden AS Donald Trump, kata ekonom lembaga wadah pemikir (think tank) Celios.

    Namun, menurut Direktur Eksekutif Celios Bhima Yudhistira Adhinegara yang dihubungi Antara di Jakarta, Rabu, Indonesia juga perlu mewaspadai impor produk dari AS yang diperkirakan membengkak, seperti migas, produk elektronik, suku cadang pesawat, sereal dan gandum, serta produk farmasi menyusul pernyataan Trump bahwa negaranya mendapat tarif nol persen ke Indonesia.

    “Tarif 19 persen untuk barang ekspor Indonesia ke AS, sementara AS bisa mendapat fasilitas 0 persen, sebenarnya punya risiko tinggi,” kata Bhima.

    Menurut Bhima, sektor migas, produk elektronik, suku cadang pesawat, serealia dan gandum, serta produk farmasi mencatat nilai impor yang tinggi pada 2024. Karena itu, dampak potensi meningkatnya impor terhadap neraca perdagangan harus diwaspadai.

    “Tercatat sepanjang 2024, total impor lima jenis produk ini mencapai 5,37 miliar dolar AS atau setara Rp87,3 triliun,” ujar dia.

    Bhima menjelaskan AS akan sangat diuntungkan dari penetrasi ekspor gandum ke Indonesia karena tarif 0 persen. Hal ini juga perlu diwaspadai menyusul pemerintah memiliki target swasembada pangan melalui pemberdayaan petani dan produsen pangan lokal.

    “Konsumen mungkin senang harga mie instan, dan roti bakal turun, tapi produsen pangan lokal terimbas dampak negatifnya,” kata Bhima.

    Lebih lanjut, ia menilai tarif untuk produk Indonesia ke AS idealnya masih bisa turun lagi.

    “Penurunan tarif Vietnam dari 46 persen ke 20 persen lebih signifikan dibanding penurunan tarif Indonesia yang sebelumnya 32 persen ke 19 persen. Idealnya Indonesia bisa lebih turun lagi,” katanya.

    Sebelumnya, Presiden Amerika Serikat Donald Trump menyatakan tarif impor senilai 19 persen akan diberlakukan terhadap produk-produk Indonesia yang masuk ke AS, berdasarkan negosiasi langsung yang dilakukannya dengan Presiden RI Prabowo Subianto.

    Nilai baru tersebut menunjukkan telah tercapai kesepakatan untuk menurunkan tarif impor AS untuk produk Indonesia dari angka 32 persen yang diumumkan pertama kali oleh Trump pada April lalu.

    Trump mengatakan Indonesia berjanji akan membebaskan semua halangan tarif dan non-tarif bagi produk AS yang masuk ke RI.

    Apabila ada produk dari negara ketiga dengan tarif lebih tinggi yang akan diekspor ke AS melalui Indonesia, tarif 19 persen itu akan ditambahkan pada produk tersebut.

    Selain penetapan nilai tarif, kesepakatan yang diteken antara Trump dan Prabowo juga mencakup komitmen RI membeli energi dari AS senilai 15 miliar dolar AS dan produk agrikultur senilai sebesar 4,5 miliar dolar AS.

    Pewarta: Arnidhya Nur Zhafira
    Editor: Indra Arief Pribadi
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Airlangga Pastikan Sawit RI Bisa Diterima Eropa Berkat IEU-CEPA

    Airlangga Pastikan Sawit RI Bisa Diterima Eropa Berkat IEU-CEPA

    Bisnis.com, PARIS — Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyatakan minyak kelapa sawit (crude palm oil/CPO) dan produk turunan Indonesia bisa diterima Eropa seiring dengan segera rampungnya perjanjian dagang Indonesia—European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement (IEU-CEPA).

    Airlangga menjelaskan, perjanjian IEU—CEPA akan membuat neraca perdagangan Indonesia ke Uni Eropa akan semakin menguat. Terlebih, dia mengungkap Indonesia bisa mengekspor sawit ke Uni Eropa dengan adanya IEU—CEPA.

    Bahkan, Airlangga mengeklaim Uni Eropa menyukai sawit meski selama ini kawasan tersebut keras terhadap CPO yang selama ini dijegal Uni Eropa lantaran dianggap deforestasi.

    “Harapan mereka [Uni Eropa] dari Indonesia, satu, mereka dapat sawit. Jadi walaupun selama ini mereka keras terhadap sawit, tetapi perundingan terakhir kita dengan EU tuh yang paling panjang mengenai sawit. Mereka suka dengan sawit,” kata Airlangga di Paris, Prancis, Selasa (15/7/2025).

    Adapun, Airlangga menyebut rampungnya perjanjian dagang IEU—CEPA menjadi tonggak baru perdagangan Indonesia di tengah adanya pengenaan tarif resiprokal dari Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump.

    Apalagi, negosiasi perjanjian dagang IEU—CEPA telah berlangsung selama 10 tahun dan 20 ronde negosiasi. Meski begitu, Airlangga menyebut bahwa sejatinya perjanjian ini ditargetkan rampung tahun lalu.

    “Jadi tahun kemarin, kita sudah lebih agresif dan sebetulnya apa yang membuat kita lebih agresif karena kita melihat negara lain, khususnya Vietnam, di mana ekspor Vietnam jauh lebih tinggi dari Indonesia,” tuturnya.

    Airlangga mengungkap bahwa penjualan produk sepatu asal Vietnam misalnya, lebih tinggi tiga kali lipat dari Indonesia, lantaran negara itu memiliki perjanjian dagang melalui CEPA dengan Eropa. Alhasil, pemerintah Indonesia ingin agar tarif bea masuk ke Uni Eropa menjadi 0%, sama seperti Vietnam.

    “Jadi ini adalah potensi-potensi yang kita bisa dorong karena bea masuk kita ke Uni Eropa antara 10-20%. Kita punya bea masuk juga ke Amerika 10-20%. Sedangkan bea masuk Vietnam ke Eropa 0%. Nah, jadi ini yang kita ingin selesaikan,” ujarnya.

    Dia menjelaskan, lewat perjanjian IEU—CEPA, Indonesia bisa mengekspor sejumlah produk, mulai dari elektronik, ikan tuna, termasuk CPO.

    “Jadi ini yang kita buka dengan adanya CEPA. Kemudian critical mineral yang sangat mereka perlukan itu juga menjadi isu utama. Dengan demikian, kita merelaksasi itu, sehingga tentu two way trade kita akan lebih tinggi lagi,” ungkapnya.

    Lebih lanjut, Airlangga menyatakan bahwa pemerintah saat ini tengah menyusun dokumen hukum yang telah mencapai 90% dan ditargetkan rampung pada September 2025. Setelahnya, dokumen hukum ini akan ditandatangani Presiden.

    “Dengan ditandatangani itu makanya masuk ke Parlemen Eropa dan masuk ke Parlemen Indonesia. Begitu 2 Parlemen ratifikasi, itu berarti mulai jalan,” ungkapnya.

    Namun, dia menjelaskan bahwa dokumen hukum itu harus memuat 24 bahasa dari 27 negara sebelum diserahkan ke Parlemen Eropa.

    “Tetapi sebelum masuk Parlemen Eropa perlu diterjemahkan ke 24 bahasa, karena 27 negara itu bahasanya ada 24. Jadi semuanya harus dalam bahasa masing-masing,” pungkasnya.

  • Video: IEU-CEPA Deal, Gapki: Percuma! Ekspor CPO Masih Kena EUDR

    Video: IEU-CEPA Deal, Gapki: Percuma! Ekspor CPO Masih Kena EUDR

    Jakarta, CNBC Indonesia – Ketua Umum Gapki Eddy Martono mengapresiasi tercapainya IEU-CEPA karena ekspor produk Indonesia ke Eropa kini tak lagi dikenai tarif alias 0%. Namun Eddy mengungkapkan, khusus untuk ekspor CPO dan sejumlah produk perkebunan masih terkena hambatan nontariff, yakni regulasi EUDR. Menurutnya, IEU-CEPA menjadi percuma karena saringan pertama produk ekspor RI ke eropa adalah EUDR.

    Selengkapnya dalam program Squawk Box CNBC Indonesia (Selasa, 15/07/2025) berikut ini.

  • Bea Masuk Turun 2,8%, Pemerintah Kurangi Impor Pangan

    Bea Masuk Turun 2,8%, Pemerintah Kurangi Impor Pangan

    Jakarta, CNBC Indonesia – Direktur Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan, Djaka Budhi mengungkapkan bahwa penerimaan bea masuk hingga semester pertama tahun 2025 mengalami penurunan meskipun nilai impor bahan baku dan barang modal menunjukkan kenaikan.

    Realisasi bea masuk tercatat Rp 23,6 triliun atau 44,6% dari target bea masuk dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025. Jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu, angka ini turun 2,8%.

    Djaka menjelaskan bahwa penurunan ini salah satunya disebabkan oleh kebijakan pemerintah untuk memperkuat ketahanan pangan nasional.

    “Akibat kebijakan untuk mendukung ketahanan pangan domestik sejalan dengan upaya swasembada pangan yaitu dengan tidak adanya impor bahan beras, jagung,” dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi XI DPR RI, Senin (14/7/2025).

    Sementara dari bea keluar, hingga akhir Juni penerimaan mencapai Rp 14 triliun atau meningkat 81,1% dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu. Pertumbuhan ini ditopang oleh kenaikan harga CPO dan kebijakan realisasi ekspor konsentrat tembaga.

    Dari sisi capaian cukai, penerimaan sampai dengan semester pertama tahun 2025 mencapai Rp109,2 triliun meningkat 7,3% dibanding tahun sebelumnya.

    “Di sisi lain produksi hasil tembakau tetap menunjukkan tren yang terkendali. Meskipun pada tahun 2025 tidak direncanakan adanya penyesuaian tarif cukai fenomena downtrading khususnya pergeseran konsumsi dari sigaret kretek mesin ke sigaret kretek tangan atau jenis rokok dengan harga lebih terjangkau turut menjadi faktor yang mempengaruhi dinamika tersebut,” ujarnya.

    (haa/haa)

    [Gambas:Video CNBC]

  • Berkah Cuan dari CPO, Setoran Bea Keluar Tembus Rp14 T

    Berkah Cuan dari CPO, Setoran Bea Keluar Tembus Rp14 T

    Jakarta, CNBC Indonesia – Direktorat Jenderal Bea dan Cukai mencatatkan pertumbuhan dalam sisi penerimaan bea keluar. Tercatat penerimaan mencapai Rp 14 triliun sepanjang semester pertama tahun 2025.

    Dirjen Bea dan Cukai, Djaka Budhi mengatakan penerimaan tersebut meningkat 81,1% jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu. Lonjakan ini ditopang oleh dua faktor utama, yakni naiknya harga crude palm oil (CPO) di pasar global dan kebijakan realisasi ekspor konsentrat tembaga.

    “Capaian Rp14 triliun pertumbuhan ini ditopang oleh kenaikan harga CPO dan kebijakan relaksasi ekspor konsentrat tembaga,” ujar Djaka dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi XI DPR RI, Senin (14/7/2025).

    Berdasarkan data Bea dan Cukai Kementerian Keuangan menunjukkan BK dari ekspor produk sawit pada Januari-April 2025 menembus Rp 9,38triliun. Nilai tersebut melesat 767,4% dibandingkan periode yang sama tahun lalu.

    Setoran terbesar datang dari turunan CPO yakni Rp 7,77 triliun atau melesat 1.997% atau hampir 2.000%.

    Lonjakan BK dipengaruhi oleh tingginya harga sawit. Merujuk data Kementerian Perdagangan, harga acuan CPO April naik US$ 7,03 per ton menjadi US$ 961,54 per ton.

    Kendati demikian, bea masuk hingga semester pertama tahun 2025 mengalami penurunan meskipun nilai impor bahan baku dan barang modal menunjukkan kenaikan.

    Realisasi bea masuk tercatat Rp 23,6 triliun atau 44,6% dari target bea masuk dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025. Jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu, angka ini turun 2,8%.

    Djaka menjelaskan bahwa penurunan ini salah satunya disebabkan oleh kebijakan pemerintah untuk memperkuat ketahanan pangan nasional.

    “Akibat kebijakan untuk mendukung ketahanan pangan domestik sejalan dengan upaya swasembada pangan yaitu dengan tidak adanya impor bahan beras, jagung,” ujarnya.

    (haa/haa)

    [Gambas:Video CNBC]

  • Sawit RI Berpotensi Dijegal Uni Eropa Meski IEU-CEPA Rampung

    Sawit RI Berpotensi Dijegal Uni Eropa Meski IEU-CEPA Rampung

    Bisnis.com, JAKARTA — Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) menyebut ekspor minyak kelapa sawit (crude palm oil/CPO) dan produk turunannya dari Indonesia masih berpotensi terhambat oleh kebijakan Uni Eropa, meski perjanjian dagang Indonesia–European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement (IEU–CEPA) telah rampung.

    Ketua Umum Gapki Eddy Martono menjelaskan bahwa selesainya perjanjian IEU–CEPA tidak serta-merta membuat hambatan dari Peraturan Deforestasi Uni Eropa alias European Union Deforestation Regulation (EUDR) ikut terselesaikan.

    Menurut Eddy, IEU–CEPA berkaitan dengan penghapusan hambatan tarif (tariff barrier), sedangkan EUDR adalah hambatan non-tarif yang justru menjadi tantangan utama dalam ekspor komoditas seperti sawit, kopi, dan kakao ke Uni Eropa.

    “Kalau untuk sawit, kopi, kakao kan masih ada hambatan non-tariff barrier, yaitu EUDR. Ini artinya kalau EUDR-nya nanti bermasalah, nggak selesai juga. Artinya IEU–CEPA tidak [berlaku terhadap kebijakan EUDR]. Pasti pertama yang akan diseleksi dari non-tariff barrier-nya dulu. Jadi nggak otomatis,” jelas Eddy saat dihubungi Bisnis, Senin (14/7/2025).

    Lebih lanjut, Eddy menyebut bahwa implementasi kebijakan EUDR saat ini masih ditunda. Namun, Indonesia dikategorikan sebagai negara risiko menengah (medium risk), sehingga 3% dari produk ekspor wajib menjalani proses uji tuntas (due diligence), termasuk memiliki bukti ketelusuran (traceability) bahwa produk tersebut tidak berasal dari lahan hasil deforestasi setelah 31 Desember 2020.

    Kondisi ini berpotensi menghambat ekspor sawit dan produk turunannya ke Uni Eropa meskipun tarif ekspor telah disepakati menjadi 0% melalui IEU–CEPA.

    “Misalnya, nanti kita tidak lolos di EUDR, berarti ini nggak ada gunanya IEU–CEPA. Artinya, IEU–CEPA tidak bisa diberlakukan karena [Indonesia] enggak bisa ekspor [ke Uni Eropa]. Gimana mau diberlakukan IEU–CEPA, kalau itu kita ditolak barang kita karena dianggap deforestasi,” terangnya.

    Dia menegaskan, meskipun Indonesia telah memperoleh fasilitas bebas tarif ekspor dari Uni Eropa melalui IEU–CEPA, bukan berarti ekspor sawit dan produk turunannya akan otomatis diterima, selama hambatan non-tarif seperti EUDR belum terselesaikan.

    “IEU–CEPA adalah tariff barrier. Kalau EUDR itu non-tariff barrier. Jadi beda barang ini. Begitu non-tariff barrier-nya enggak terpenuhi, kita enggak bisa ekspor [ke Uni Eropa]. Gimana kita bisa pakai yang tariff barrier-nya 0%,” jelasnya.

    Karena itu, Gapki mendorong pemerintah untuk segera menyelesaikan masalah EUDR sebelum tenggat waktu diberlakukan. Salah satu usulan yang diajukan adalah melalui kerja sama antarpemerintah atau government-to-government (G2G).

    Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyatakan bahwa melalui perjanjian dagang IEU–CEPA, produk Indonesia dapat masuk ke pasar Uni Eropa tanpa bea masuk alias tarif 0%.

    Airlangga menjelaskan bahwa negosiasi IEU–CEPA telah berlangsung selama 10 tahun dan melewati lebih dari 19 putaran perundingan. Ia memastikan bahwa seluruh isu akan dirampungkan agar perjanjian dapat segera diteken Presiden.

    “IEU–CEPA ini kita sudah berunding masuk tahun ke-10, lebih dari 19 putaran. Namun seluruh isunya akan selesai. Dan ini tentu merupakan sebuah milestone baru di tengah situasi ketidakpastian,” ujar Airlangga dalam keterangan pers yang dikutip dari kanal YouTube Sekretariat Presiden, Minggu (13/7/2025).

    Lebih lanjut, Airlangga menyampaikan bahwa penandatanganan perjanjian IEU–CEPA direncanakan berlangsung pada kuartal III/2025 di Jakarta. Namun, dia belum memberikan kepastian soal jadwal detailnya.

  • Ekonom Sebut Uni Eropa Bisa Jadi Pasar Lebih Menjanjikan Daripada AS

    Ekonom Sebut Uni Eropa Bisa Jadi Pasar Lebih Menjanjikan Daripada AS

    Bisnis.com, JAKARTA — Ekonom menyebut Uni Eropa adalah pasar yang lebih menjanjikan dibandingkan Amerika Serikat (AS), terutama dengan adanya perjanjian dagang Indonesia—European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement (IEU—CEPA).

    Ekonom Universitas Paramadina Wijayanto Samirin menyebut sebagai mitra dagang, Uni Eropa mengantongi permintaan yang lebih tinggi dan potensi yang lebih menjanjikan daripada Negeri Paman Sam.

    “Uni Eropa merupakan pasar yang sangat potensial bagi Indonesia, bahkan lebih menjanjikan daripada AS,” kata Wijayanto kepada Bisnis.com, Minggu (13/7/2025).

    Terlebih, Wijayanto menilai perjanjian IEU—CEPA hadir pada saat Presiden AS Donald Trump mengenakan tarif resiprokal sebesar 32% terhadap Indonesia.

    Senada, Trump juga mengenakan tarif tinggi untuk Uni Eropa, yakni sebesar 30%. Untuk itu, dia memperkirakan nilai perdagangan Indonesia dan Uni Eropa akan melonjak.

    “Nilai perdagangan Indonesia dan Uni Eropa akan meningkat pesat, karena selama ini terhambat oleh tarif yang tinggi sehingga produk kita kalah bersaing dari produk negara lain seperti Malaysia, Vietnam, dan Thailand,” ujarnya.

    Adapun, Wijayanto menuturkan minyak kelapa sawit (crude palm oil/CPO) dan produk turunannya hingga tekstil dan produk tekstil dari Indonesia berpeluang meluas ke pasar Eropa. Pasalnya, dia menilai permintaan sederet produk tersebut akan melonjak di pasar Eropa.

    “CPO dan produk turunannya, tekstil dan produk tekstil, sepatu, elektronik, dan produk perhiasan atau kerajinan. Demand produk tersebut dari Uni Eropa sangat tinggi, sedangkan Indonesia merupakan produsen yang kompetitif,” tuturnya.

    Dihubungi terpisah, Kepala Pusat Industri, Perdagangan, dan Investasi Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Andry Satrio Nugroho mengatakan perjanjian IEU—CEPA bukan hanya sekadar meningkatkan kinerja perdagangan kedua negara, melainkan juga mendorong agar investasi Eropa masuk ke Indonesia.

    “Tentunya goals-nya itu [dari IEU—CEPA] menurut saya bukan hanya dari sektor perdagangan saja, tetapi bagaimana kita bisa mendorong agar investasi dari Eropa itu bisa masuk ke Indonesia,” ujar Andry.

    Untuk itu, dia berharap sederet perusahaan yang bergerak di bidang maupun sektor kimia dan farmasi, teknologi tinggi, dan energi terbarukan bisa masuk ke Tanah Air. Apalagi, menurut Andry, Eropa juga berminat jika diberikan kesempatan untuk berinvestasi di sektor tersebut.

    “Jadi bagaimana kita bisa mendorong agar penggunaan sumber-sumber energi terbarukan ini semakin banyak dan banyak di antaranya itu berasal dari Eropa,” ujarnya.

    Indef juga berharap dengan produk asal Indonesia bisan masuk ke pasar Eropa dengan harga yang kompetitif tanpa adanya bea masuk seiring adanya perjanjian IEU—CEPA, termasuk CPO dan produk turunannya. Sebab, selama ini produk yang menjadi komoditas unggulan Indonesia ini sulit menembus pasar Eropa.

    “Menurut saya produk-produk yang berbahan baku sawit rasa-rasanya jadi salah satu produk yang kita dorong untuk masuk ke pasar Eropa karena selama ini kan sulit untuk produk-produk CPO kita masuk ke pasar Eropa,” tuturnya.

    Finalisasi IEU-CEPA

    Diberitakan sebelumnya, Menteri Koordinator (Menko) Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyebut melalui perjanjian dagang IEU—CEPA, produk Indonesia yang akan masuk ke Eropa tidak akan dikenakan bea masuk alias tarif 0%.

    “Berarti antara Indonesia dan EU itu akan produk kita bisa masuk ke Eropa dengan tarif 0%,” kata Airlangga dalam keterangan pers dikutip dari YouTube Sekretariat Presiden, Minggu (13/7/2025).

    Menko Airlangga mengungkap bahwa negosiasi perjanjian dagang IEU—CEPA telah memasuki tahun ke-10 dengan lebih dari 19 putaran. Namun, dia memastikan perundingan IEU—CEPA akan rampung dan segera ditandatangani Presiden.

    “IEU—CEPA ini kita sudah berunding masuk tahun ke-10, lebih dari 19 putaran. Namun seluruh isunya akan selesai. Dan ini tentu merupakan sebuah milestone baru di tengah situasi ketidakpastian,” ujarnya.

    Rencananya, Airlangga menuturkan bahwa perjanjian IEU—CEPA ini akan ditandatangani pada kuartal III/2025 di Jakarta. Sayangnya, dia enggan memberikan informasi lebih detail terkait jadwal penandatanganan IEU—CEPA.

    “Nanti akan ada penandatanganan di kuartal ke-3 tahun ini dan di Jakarta. Tapi kita tunggu pengumuman dari Presiden. Jadi kita tidak, tidak spill-spill,” katanya.