Produk: CPO

  • Penampakan Uang Rp13 Triliun Kasus CPO Korporasi, Siap Diserahkan Kejagung ke Prabowo

    Penampakan Uang Rp13 Triliun Kasus CPO Korporasi, Siap Diserahkan Kejagung ke Prabowo

    Bisnis.com, JAKARTA — Kejaksaan Agung (Kejagung) bakal menyerahkan uang sitaan Rp13 triliun terkait kasus pemberian fasilitas ekspor crude palm oil (CPO) korporasi kepada Presiden Prabowo Subianto pada hari ini, Senin (20/10/2025).

    Berdasarkan pantauan Bisnis di lokasi sekitar 10.51 WIB, terlihat tumpukan uang triliunan itu disusun rapi di ruangan konferensi pers yang berlangsung di Gedung Utama Kejagung RI.

    Terlihat, uang itu terdiri dari pecahan Rp100.000 dan dikemas dengan bungkus plastik. Di samping itu, nampak juga papan penanda uang ini dengan tulisan Rp13.255.244.538.149,00 di atas tumpukan uang tersebut.

    Sebelumnya, Dirtut Jampidsus Kejagung RI, Sutikno mengatakan uang belasan triliun itu merupakan hasil sitaan dari tiga korporasi yaitu Wilmar Group, Permata Hijau Group dan Musim Mas Group.

    “Uang titipan 3 group korporasi total sebesar Rp13 triliun yang sudah disita pada Senin diserahkan ke negara,” ujar Sutikno saat dikonfirmasi, Senin (20/10/2025).

    Dia menambahkan dalam perkara ini masih ada total Rp4 triliun uang yang belum dibayar oleh dua korporasi, yakni Permata Hijau Group dan Musim Mas Group.

    Menurut Sutikno, apabila dua grup korporasi ini tidak bisa membayarkan beban uang pengganti dalam perkara CPO ini, maka nantinya barang bukti yang telah disita sebelumnya bakal dilelang.

    “Sedangkan sisanya sebesar Rp4 triliun ditagihkan kepada 2 Group Korporasi, yaitu Permata Hijau Group dan Musim Mas Group atau kalau tidak dibayar maka BB kedua Group tersebut dilelang,” pungkasnya.

    Dalam catatan Bisnis, setidaknya ada dua kali penyitaan dari tiga grup korporasi yang berkaitan dengan perkara rasuah tersebut. Perinciannya, penyitaan dari Wilmar Group sebanyak Rp11,8 triliun dilakukan pada Selasa (17/6/2025). 

    Kemudian, dari Musim Mas Group Rp1,8 triliun dan Permata Hijau Group Rp186 miliar pada Rabu (2/7/2025). Dengan demikian, total uang yang telah disita dalam perkara ini mencapai Rp13 triliun. 

  • Prabowo Bakal Saksikan Penyerahan Uang Korupsi CPO Rp13,2 Triliun di Kejagung

    Prabowo Bakal Saksikan Penyerahan Uang Korupsi CPO Rp13,2 Triliun di Kejagung

    Bisnis.com, JAKARTA – Presiden Prabowo Subianto bakal menghadiri agenda penyerahan uang pengganti kerugian negara dalam perkara tindak pidana korupsi pemberian fasilitas ekspor Crude Palm Oil (CPO) dan turunannya kepada industri kelapa sawit. 

    Acara berlangsung di Gedung Utama Kompleks Kejaksaan Agung, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Senin (20/10/2025).

    Dalam kegiatan tersebut, Kejaksaan Agung secara resmi menyerahkan uang pengganti senilai Rp13.255.244.538.149 (tiga belas triliun dua ratus lima puluh lima miliar dua ratus empat puluh empat juta lima ratus tiga puluh delapan ribu seratus empat puluh sembilan rupiah). 

    Tumpukan uang pecahan rupiah yang dibungkus rapi juga dipamerkan di hadapan Presiden dan jajaran pejabat negara sebagai simbol pengembalian kerugian keuangan negara.

    Penyerahan ini merupakan bagian dari eksekusi putusan pengadilan dalam kasus korupsi fasilitas ekspor CPO yang menyeret sejumlah pihak di industri kelapa sawit.

    Kasus tersebut sebelumnya menjadi perhatian publik karena nilai kerugiannya yang fantastis dan salah satu dampaknya terhadap stabilitas harga minyak goreng dalam negeri.

    Direktur Penuntut Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus), Sutikno mengatakan uang belasan triliun itu merupakan hasil sitaan dari tiga korporasi yaitu Wilmar Group, Permata Hijau Group dan Musim Mas Group.

    “Uang titipan 3 group korporasi total sebesar 13 triliun yang sudah disita senin diserahkan ke negara,” ujar Sutikno saat dikonfirmasi, Senin (20/10/2025).

    Dia menambahkan dalam perkara ini masih ada total Rp4 triliun uang yang belum dibayar oleh dua korporasi yakni Permata Hijau Group dan Musim Mas Group.

    Sekadar informasi, sejumlah pejabat akan hadir mulai dari Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa, Menteri Pertahanan (Menhan) Sjafrie Sjamsoeddin, Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Prasetyo Hadi.

    Termasuk Perwakilan sejumlah Bank Himabara mulai dari Wakil Direktur Utama Bank Mandiri Henry Panjaitan, Direktur Utama (Dirut) Bank BRI Hery Gunadi, dan Wakil Dirut BRI Agus Noorsanto.

    Hadirnya perwakilan Bank Himbara lantaran uang yang nanti diserahkan akan masuk ke rekening negara.

  • Kejagung Serahkan Uang Sitaan Kasus CPO Rp13 Triliun ke Negara Hari Ini

    Kejagung Serahkan Uang Sitaan Kasus CPO Rp13 Triliun ke Negara Hari Ini

    Bisnis.com, JAKARTA — Kejaksaan Agung (Kejagung) bakal menyerahkan uang Rp13 triliun hasil sitaan terkait kasus pemberian fasilitas ekspor CPO korporasi ke negara hari ini, Senin (20/10/2025).

    Direktur Penuntut Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus), Sutikno mengatakan uang belasan triliun itu merupakan hasil sitaan dari tiga korporasi yaitu Wilmar Group, Permata Hijau Group dan Musim Mas Group.

    “Uang titipan 3 group korporasi total sebesar 13 triliun yang sudah disita senin diserahkan ke negara,” ujar Sutikno saat dikonfirmasi, Senin (20/10/2025).

    Dia menambahkan dalam perkara ini masih ada total Rp4 triliun uang yang belum dibayar oleh dua korporasi yakni Permata Hijau Group dan Musim Mas Group.

    Menurut Sutikno, apabila dua grup korporasi ini tidak bisa membayarkan beban uang pengganti dalam perkara CPO ini, maka nantinya barang bukti yang telah disita sebelumnya bakal dilelang.

    “Sedangkan sisanya sebesar Rp4 triliun ditagihkan kepada 2 Group Korporasi yaitu Permata Hijau Group dan Musim Mas Group atau kalau tidak dibayar maka BB kedua Group tersebut dilelang,” pungkasnya.

    Dalam catatan Bisnis, setidaknya ada dua kali penyitaan dari tiga grup korporasi yang berkaitan dengan perkara rasuah tersebut.

    Perinciannya, penyitaan dari Wilmar Group sebanyak Rp11,8 triliun dilakukan pada Selasa (17/6/2025). Kemudian, dari Musim Mas Group Rp1,8 triliun dan Permata Hijau Group Rp186 miliar pada Rabu (2/7/2025).

    Dengan demikian, total uang yang telah disita dalam perkara ini mencapai Rp13 triliun. Uang ini rencananya bakal disalurkan untuk pemulihan kerugian negara.

  • Daftar Skandal Korupsi Besar yang Terkuak di Era Prabowo-Gibran
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        20 Oktober 2025

    Daftar Skandal Korupsi Besar yang Terkuak di Era Prabowo-Gibran Nasional 20 Oktober 2025

    Daftar Skandal Korupsi Besar yang Terkuak di Era Prabowo-Gibran
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Masa kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka genap satu tahun pada Senin (20/10/2025) sejak keduanya dilantik pada 20 Oktober 2024.
    Selama kurun waktu tersebut, terdapat beberapa kasus korupsi besar yang dibongkar dan menjadi sorotan publik.
    Kompas.com
    merangkum kasus korupsi besar yang terjadi di era Pemerintahan Prabowo-Gibran, sebagai berikut:
    Kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang di PT Pertamina periode 2018-2023 menjadi salah satu perkara yang menjadi sorotan publik.
    Dalam kasus ini, Kejaksaan Agung menetapkan sejumlah tersangka, salah satunya, pengusaha Mohammad Riza Chalid pada Kamis (10/7/2025).
    Kejagung juga telah menetapkan Riza Chalid masuk sebagai Daftar Pencarian Orang (DPO) atau buronan sejak 6 Agustus 2025. Hal ini dilakukan lantaran Riza sudah tiga kali mangkir dari pemanggilan penyidik.
    Sebelumnya, Kejagung telah menetapkan sembilan tersangka yakni Riva Siahaan (RS) selaku Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga, Sani Dinar Saifuddin (SDS) selaku Direktur Feedstock dan Product Optimization PT Kilang Pertamina Internasional, Yoki Firnandi (YF) selaku Direktur Utama PT Pertamina International Shipping, Agus Purwono (AP) selaku VP Feedstock Management PT Kilang Pertamina Internasional, Maya Kusmaya (MK) selaku Direktur Pemasaran Pusat dan Niaga PT Pertamina Patra Niaga, dan Edward Corne (EC) selaku VP Trading Operations PT Pertamina Patra Niaga.
    Kemudian, Muhammad Kerry Andrianto Riza (MKAR) selaku beneficial owner PT Navigator Khatulistiwa, Dimas Werhaspati (DW) selaku Komisaris PT Navigator Khatulistiwa sekaligus Komisaris PT Jenggala Maritim, dan Gading Ramadhan Joedo (GRJ) selaku Komisaris PT Jenggala Maritim dan Direktur Utama PT Orbit Terminal Merak.
    Berkas perkara sembilan tersangka telah dilimpahkan tahap 2 di Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat.
    Dalam penyidikan, Kejagung menemukan fakta bahwa adanya pemufakatan jahat (
    mens rea
    ) ada kegiatan pengadaan impor minyak mentah oleh PT Kilang Pertamina Internasional dan produk kilang oleh PT Pertamina Patra Niaga dengan para tersangka dari pihak swasta sehingga menyebabkan kerugian keuangan negara.
    Kejagung mengatakan, tindakan para tersangka menyebabkan kerugian keuangan negara hingga 285 triliun.
    Selain kasus korupsi tata kelola minyak mentah, ada juga kasus dugaan korupsi pengadaan laptop berbasis Chromebook di Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendidbudristek) pada 2019-2022.
    Awalnya, Kejaksaan Agung menetapkan empat tersangka pada Selasa (15/7/2025), di antaranya mantan Stafsus Mendikbudristek era Nadiem Makarim, Jurist Tan (JT); eks Konsultan Teknologi di lingkungan Kemendikbudristek Ibrahim Arief (IBAM); Direktur Jenderal PAUD Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah Kemendikbudristek tahun 2020-2021 Mulyatsyahda (MUL); dan Direktur Sekolah Dasar Kemendikbudristek Sri Wahyuningsih (SW).
    Keempatnya dianggap telah melakukan pemufakatan jahat dengan bersekongkol dalam pengadaan laptop berbasis Chromebook pada era Nadiem Makarim sebagai Mendikbudristek.
    Dari hasil penyelidikan, Kejagung menaksir kerugian keuangan negara mencapai Rp 1,98 triliun.
    Dua bulan berselang, Kejagung menetapkan mantan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Makarim sebagai tersangka baru pada Kamis (4/9/2025).
    Nadiem disangkakan dengan Pasal 2 Ayat 1 atau Pasal 3 jo, Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagai mana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP.
    Dalam perjalanannya, Nadiem Makarim mengajukan gugatan praperadilan untuk menguji sah atau tidaknya status tersangka yang dialamatkan oleh Kejagung.
    Namun, Hakim tunggal Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, I Ketut Darpawan menolak gugatan Nadiem sehingga status tersangka menjadi sah menurut hukum.
    Pada awal Maret 2025, publik dihebohkan dengan kasus korupsi pemberian fasilitas ekspor kepada tiga perusahaan crude palm oil (CPO) yaitu PT Wilmar Group, PT Permata Hijau Group, dan PT Musik Mas Group.
    Kasus ini menjerat empat orang yang berprofesi sebagai hakim. Mereka adalah Ketua Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan Muhammad Arif Nuryanta, Agam Syarif Baharuddin, Ali Muhtarom, keduanya hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, dan Djuyamto, seorang hakim dari PN Jaksel.
    Para hakim itu menerima uang dari pengacara yang mewakili perusahaan yaitu Ariyanto dan Marcella Santoso.
    Dari suap yang diterima, Djuyamto, Ali, dan Agam memutus vonis lepas untuk tiga korporasi, yaitu Permata Hijau Group, Wilmar Group, dan Musim Mas Group.
    Sementara, Arif Nuryanta dan Wahyu Gunawan terlibat dalam proses negosiasi dengan pengacara dan proses untuk mempengaruhi majelis hakim agar memutus perkara sesuai permintaan.
    Saat ini, hakim yang terlibat kasus korupsi tersebut sedang menjalani persidangan di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat.
    Pada awal Agustus 2025, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengumumkan kasus dugaan korupsi kuota haji 2024 yang terjadi pada masa Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas naik ke tahap penyidikan.
    “Terkait dengan perkara haji, KPK telah menaikkan status penyelidikan terkait penentuan kuota dan penyelenggaraan ibadah haji pada Kementerian Agama tahun 2023 sampai dengan 2024 ke tahap penyidikan,” kata Deputi Bidang Penindakan dan Eksekusi, Asep Guntur Rahayu, di Gedung KPK, Jakarta Selatan, Sabtu (9/8/2025) dini hari.
    KPK menaksir kerugian keuangan negara akibat kasus korupsi ini mencapai Rp 1 triliun.
    Dalam kasus ini, KPK telah memeriksa sejumlah saksi baik dari pihak Kementerian Agama, asosiasi penyelenggara haji hingga travel perjalanan.
    KPK pun sudah mencegah 3 orang berpergian ke luar negeri demi kepentingan penyidikan, yakni eks Menteri Agama Yaqut Cholil Qumas; eks staf khusus Yaqut, Ishfah Abidal Aziz; dan pengusaha biro perjalanan haji dan umrah, Fuad Hasan Masyhur.
    Meski demikian, hingga saat ini, KPK belum menetapkan tersangka dalam kasus kuota haji tersebut.
    Sementara itu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap eks Wakil Menteri Ketenagakerjaan (Wamenaker) Immanuel Ebenezer atau Noel dalam rangkaian operasi tangkap tangan (OTT) pada Rabu (20/8/2025).
    Immanuel Ebenezer dan 10 orang lainnya ditetapkan sebagai tersangka kasus pemerasan pengurusan sertifikat keselamatan dan kesehatan kerja (K3) di Kementerian Ketenagakerjaan.
    “KPK kemudian menaikkan perkara ini ke tahap penyidikan dengan menetapkan 11 orang sebagai tersangka, yakni IBM, kemudian GAH, SB, AK, IEG (Immanuel Ebenezer Gerungan), FRZ, HS, SKP, SUP, TEM, dan MM” kata Ketua KPK Setyo Budiyanto dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih, Jakarta, Jumat (22/8/2025).
    Dalam perkara ini, KPK menemukan bahwa Noel menerima aliran uang sebesar Rp 3 miliar pada 24 Desember 2024.
    Selain itu, KPK juga menyita 32 kendaraan yang terdiri dari 25 mobil dan 7 motor terkait kasus pemerasan tersebut.
    Akibat perbuatannya, Noel dan 10 tersangka lainnya dipersangkakan Pasal 12 huruf (e) dan/atau Pasal 12B UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU 20 Tahun 2001 jo Pasal 64 ayat (1) KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
    Pada September 2025, KPK juga menetapkan dua legislator Heri Gunawan dan Satori sebagai tersangka kasus dana Corporate Social Responsibility (CSR) Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
    Meski demikian, KPK belum melakukan penahanan terhadap dua tersangka lantaran masih membutuhkan keterangan dari tersangka.
    KPK menduga, yayasan yang dikelola Heri Gunawan dan Satori telah menerima uang dari mitra kerja Komisi XI DPR RI, yaitu Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
    Namun, keduanya diduga tidak melaksanakan kegiatan sosial sebagaimana dipersyaratkan dalam proposal permohonan bantuan dana sosial tersebut.
    Atas perbuatannya, Heri Gunawan dan Satori disangkakan melanggar Pasal 12 B Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP juncto Pasal 64 Ayat 1 KUHP.
    Tak hanya itu, keduanya juga dikenakan pasal sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP.
    Anggota Komisi III DPR RI Nasir Djamil menilai, Presiden Prabowo menunjukkan ketegasannya dalam pemberantasan korupsi khususnya di sektor sumber daya alam yang menyeret nama-nama besar.
    “Prabowo juga telah menampakkan ketegasannya dalam hal korupsi di sektor sumber daya alam yang melibatkan orang-orang besar dan oligarki hitam di negeri ini,” kata Nasir saat dihubungi, Jumat (17/10/2025).

    Nasir mengatakan, Prabowo juga memberikan arahan dan perintah langsung ke Kejaksaan Agung untuk menuntaskan kawasan kebun sawit dan tambang di kawasan hutan yang notabene ilegal.
    “Ada ratusan triliun kerugian keuangan dan perekonomian negara akibat sumber daya alam kita dikelola secara ilegal,” ujarnya.
    Nasir juga mengatakan, selama satu tahun terakhir, banyak kasus besar yang ditangani KPK dan Kejaksaan Agung termasuk mereka yang tidak tersentuh di era pemerintahan Jokowi.
    “Orang-orang besar yang tidak tersentuh di masa Jokowi, justru kini dipersoalkan dan sepertinya Prabowo tidak menghalangi penegakan hukum jika mereka diduga terlibat dalam tindak pidana,” tuturnya.
    Meski demikian, Nasir mengatakan, saat ini, Presiden Prabowo perlu mengevaluasi regulasi dan aparat penegak hukum terkait dengan extraordinary crime.
    Sebab, kata dia, kerusakan yang ditimbulkan sangat besar.
    “Upaya pemulihan keuangan negara sulit untuk didapat dalam jumlah yang besar kalau regulasi dan aktor penegak hukumnya tidak direformasi,” ucap dia.
    Sementara itu, Pakar hukum tata negara Feri Amsari menilai, kasus korupsi yang ditangani dalam satu tahun terakhir lebih banyak menjaring lawan politik dari pada melakukan pemberantasan praktik rasuah tersebut.
    “Beberapa kasus korupsi yang ditangani kan lebih banyak sebagai upaya menjatuhkan lawan politik dibandingkan upaya sungguh-sungguh untuk melakukan pemerantasan korupsi,” kata Feri saat dihubungi, Jumat malam.
    Feri menyoroti, Kejaksaan Agung yang memamerkan uang hasil penindakan kasus korupsi. Namun, ia mengatakan masih dibutuhkan perbaikan anti orupsi agar Kejaksaan Agung dan KPK menjadi imbang.
    “Kalau KPK-nya dilarang lebih diminta untuk pencegahan, tetapi kalau institusi seperti Kejaksaan punya kecenderungan ya tidak melakukan pencegahan tapi penindakan. Anehnya itu tidak dilarang karena tidak bersentuhan dengan figur-figur kakap yang mestinya dipermasalahkan dalam praktik bernegara yang sangat koruptif,” ujarnya.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Hal Ini Berpotensi Tingkatkan Ekspor Indonesia ke UEA

    Hal Ini Berpotensi Tingkatkan Ekspor Indonesia ke UEA

    Tangerang, CNBC Indonesia – Indonesia terus mencari peluang untuk meningkatkan ekspor ke Uni Emirat Arab (UEA). Sebab, negara di Timur Tengah tersebut memiliki potensi pasar yang yang menarik serta didukung oleh perjanjian perdagangan yang saling menguntungkan.

    Kepala Indonesia Trade Promotion Center (ITPC) Dubai, Widi Haryono mengatakan, pihaknya aktif memberikan bantuan dan pendampingan kepada para pengusaha yang akan melakukan ekspor ke UEA maupun impor dari negara tersebut.

    UEA termasuk salah satu negara yang potensial bagi eksportir Indonesia. Apalagi, pemerintah sudah berhasil menjalin kesepakatan melalui Indonesia-UAE Comprehensive Economic Partnership Agreement (IUAE-CEPA). Dengan adanya IUAE-CEPA, saat ini sebanyak 5.500 pos tarif sudah dieliminasi menjadi 0% sehingga membuka kesempatan lebih lebar bagi eksportir Indonesia masuk ke pasar UEA.

    “Jadi mudah-mudahan dengan adanya hasil IUAE-CEPA ini akan terus lebih mempermudah kita,” kata Widi dalam gelaran Semiar Trade Expo Indonesia 2025 : Indonesia’s Business Potentials in the Middle East (UAE, Iran) through UAE CEPA and Iran PTA di ICE, Tangerang, Sabtu (18/10/2025).

    Dia menyebut, ekspor Indonesia ke UEA mencapai US$ 2,4 miliar pada Januari-Agustus 2025. Berkat adanya perjanjian perdagangan, Indonesia mulai merasakan tren surplus neraca perdagangan dengan UEA sejak 2023. Adapun pada periode Januari-Agustus 2025, Indonesia berhasil surplus neraca perdagangan sebesar US$ 1,01 miliar dengan UEA.

    Produk-produk Indonesia yang banyak diekspor ke UEA antara lain perhiasan emas, olahan minyak kelapa sawit atau crude palm oil (CPO), hingga makanan halal. Produk-produk makanan atau minuman sehat juga sangat diminati di UEA dan bisa jadi potensi besar bagi para eksportir Indonesia.

    “Pemerintah di sana sangat concern juga untuk memperhatikan dalam hal kehidupan sehat yang bisa menghasilkan kualitas kesehatan bagi penduduknya,” ujar Widi.

    Untungnya, Indonesia dan UEA sudah memiliki perjanjian IUAE-CEPA yang mana salah satu isinya berupa kemudahan memperoleh sertifikat halal. Dengan begitu, produk-produk Indonesia yang sudah memiliki sertifikat halal tidak perlu lagi melalui pemeriksaan yang ketat ketika masuk ke pasar UEA. 

    (bul/bul)

    [Gambas:Video CNBC]

  • Pemerintah Bakal Uji BBM Etanol 10% di Iklim Tropis Indonesia

    Pemerintah Bakal Uji BBM Etanol 10% di Iklim Tropis Indonesia

    Jakarta

    Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) bakal menguji kecocokan bahan bakar minyak (BBM) dengan kandungan etanol 10 persen untuk negara tropis seperti Indonesia. Mereka akan menggandeng sejumlah industri otomotif di dalam negeri.

    Kepastian tersebut disampaikan Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Eniya Listiani Dewi setelah penandatanganan nota kesepahaman di Kementerian ESDM, Jakarta.

    “Jadi pengujiannya menyeluruh, statistiknya mesin-mesin seperti apa, korosif atau nggak, filternya diganti berapa, atau karetnya seperti apa, ini nanti akan persis seperti (uji) biodiesel,” ujar Eniya Listiani Dewi, dikutip dari Antaranews.

    Pemerintah mau uji coba BBM etanol 10 persen untuk negara tropis. Foto: Agung Pambudhy

    Masyarakat Indonesia sejauh ini masih menyimpan sejumlah kekhawatiran terhadap BBM dengan kandungan etanol, salah satunya saat dipakai di daerah dengan iklim tropis. Selain itu, mereka juga khawatir kandungan tersebut membuat komponen kendaraan mereka korosi.

    Pengimplementasian etanol, kata dia, direncanakan untuk diterapkan pada 2-3 tahun ke depan, sehingga memberi ruang bagi pemerintah untuk melakukan pemutakhiran.

    “Dua-tiga tahun ke depan, sekitar 2028,” kata Eniya.

    Menariknya, Eniya menegaskan, penerapan bioetanol saat ini belum menjadi bagian dari mandatori. Bioetanol yang dijual Pertamina dalam bentuk Pertamax Green juga merupakan bagian dari uji pasar, sehingga masyarakat masih memiliki opsi untuk membeli BBM yang lain.

    “Nanti bioetanol kami mandatorikan ke wilayah non-PSO dulu, seperti sekarang uji pasar yang 5 persen kan sudah berjalan,” kata dia.

    Diberitakan sebelumnya, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia mengatakan masih menyusun peta jalan atau road map pengimplementasian E10 atau bahan bakar minyak (BBM) yang mengandung etanol sebesar 10 persen.

    Rencana untuk mengembangkan E10 berangkat dari keberhasilan pemerintah mengimplementasikan biodiesel, dari yang semula B10 atau campuran 10 persen minyak mentah sawit (crude palm oil/CPO) dengan 90 persen solar untuk bahan bakar diesel.

    Kebijakan biodiesel tersebut sudah berkembang hingga B40. Bahkan untuk 2026, pemerintah menargetkan pengimplementasian B50.

    Menteri ESDM menjelaskan implementasi E10 masih menunggu persiapan pabrik etanol, baik yang berbahan baku tebu maupun singkong. Langkah tersebut selaras dengan arahan Presiden Prabowo Subianto soal pembangunan industri etanol.

    (sfn/lth)

  • 9
                    
                        Kala Para Wakil Tuhan Berjualan Perkara…
                        Nasional

    9 Kala Para Wakil Tuhan Berjualan Perkara… Nasional

    Kala Para Wakil Tuhan Berjualan Perkara…
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Hakim Djuyamto berulang kali menatap ke ujung ruangan di depannya: kemegahan meja dan kursi majelis hakim.
    Pada sisi singgasana itu, berderet dua baris tempat duduk untuk jaksa dan terdakwa dalam posisi yang lebih rendah.
    Saban Rabu, Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) itu datang ke Ruang Hatta Ali, Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat.
    Meski mengantongi lisensi hakim tindak pidana korupsi, kehadiran Djuyamto bukan untuk mengadili.
    Djuyamto menjadi hakim kedelapan yang diseret ke dalam jeruji besi dan diadili Kejaksaan Agung (Kejagung) selama setahun terakhir, sejak Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka resmi dilantik pada 20 Oktober 2024.
    Selain Djuyamto, tujuh orang lainnya adalah tiga hakim Pengadilan Negeri Surabaya: Erintuah Damanik, Mangapul, dan Heru Hanindyo.
    Lalu, eks Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan Pengadilan Negeri Surabaya, Rudi Suparmono.
    Menyusul mereka, hakim Agam Syarief Baharudin, Ali Muhtarom, dan eks Ketua PN Jaksel Muhammad Arif Nuryanta menyusul ke dalam bui.
    Puluhan tahun mengadili, hakim-hakim itu mendapat giliran untuk dihakimi. Para “wakil Tuhan di bumi” itu memperjualbelikan putusan pengadilan.
    Akibatnya, seperti Djuyamto yang kini setiap Rabu dihadirkan ke pengadilan, mereka menanti ketua majelis hakim membacakan vonis.
    Tahun pertama pemerintahan Prabowo menjadi musim “menghakimi para hakim”.
    Begitu panjang dan banyaknya orang-orang yang dibui membuat riwayat jual beli perkara di pengadilan itu bisa diceritakan menjadi dua babak.
    Babak pertama dalam riwayat wakil Tuhan yang khilaf ini datang dari timur Pulau Jawa, dari gerilya dengan maksud jahat untuk membebaskan pelaku pembunuhan Dini Serra Afrianti, Gregorius Ronald Tannur.
    Dengan dalih keyakinan anaknya tidak bersalah, ibu Ronald Tannur, Meirizka Widjaja Tannur dan pengacaranya, Lisa Rachmat bersekongkol untuk menyuap hakim.
    Atas bantuan pejabat Mahkamah Agung (MA) yang berperan sebagai makelar kasus (Markus) Zarof Ricar, Lisa mendapat akses untuk bertemu Ketua PN Surabaya saat itu, Rudi Suparmono.
    Lisa meminta formasi hakim disusun sesuai keinginannya. Dari sana, ia lalu bergerak menghubungi Erintuah, Mangapul, dan Heru satu per satu.
    Pengacara itu lalu memberikan uang dengan jumlah total Rp 4,6 miliar agar mereka menjatuhkan putusan bebas dalam perkara Ronald Tannur.
    Putusan pun diketok. Dakwaan jaksa dinyatakan tidak terbukti dan Ronald Tannur melenggang pulang.
    Meski targetnya tercapai, Lisa menyadari kasus Ronald Tannur tidak berhenti. Jaksa mengajukan kasasi ke MA.
    Lisa pun lanjut bergerilya, kembali berkontak dengan Zarof Ricar dan memintanya untuk mengkondisikan majelis kasasi.
    Tak tanggung-tanggung, ia menyiapkan uang Rp 6 miliar dengan pembagian Rp 5 miliar untuk hakim agung dan Rp 1 miliar sebagai fee jasa markus Zarof.
    Mantan pejabat elite di MA itu pun menyanggupi. Ia menemui Hakim Agung Soesilo dan menyampaikan permintaan Lisa.
    Namun, belum sempat kasasi itu diadili dan uangnya sampai pada majelis, penyidik Kejagung menangkap Erintuah dan kawan-kawan.
    Penangkapan lalu berkembang hingga ke Zarof Ricar.
    Menggelar operasi senyap, penyidik menemukan uang dan emas senilai lebih dari Rp 1 triliun di rumah Zarof.
    Harta benda itu terdiri dari uang dalam berbagai pecahan valuta asing (valas) senilai Rp 915 miliar dan Rp 51 kilogram emas batangan.
    Benda berharga tersebut dibungkus pada kantong-kantong berbeda dan ditandai dengan keterangan nomor perkara kasus-kasus di pengadilan.
    Meski pada akhirnya disimpulkan sebagai gratifikasi yang dianggap suap, penyidikan tidak dilanjutkan untuk mengungkap siapa hakim-hakim yang melakukan transaksi lewat Zarof.
    Namun demikian, kasus Zarof menjadi catatan publik bagaimana mengerikannya praktek jual beli perkara di pengadilan.
    Setelah berbulan-bulan menjalani persidangan, Erintuah dan kawan-kawan akhirnya diadili.
    Erintuah dan Mangapul dihukum 7 tahun penjara sementara Heru 10 tahun. Lalu, Rudi Suparmono 7 tahun, Lisa Rachmat 14 tahun, dan Meirizka 3 tahun penjara.
    Sementara, hukuman untuk Zarof Ricar paling berat: 16 tahun penjara.
    Majelis hakim menyebutkan, tindakan Zarof sangat meruntuhkan kepercayaan publik pada pengadilan.
    “Perbuatan terdakwa mencederai nama baik serta menghilangkan kepercayaan masyarakat kepada lembaga Mahkamah Agung,” kata Hakim Rosihan dengan terisak di ruang sidang Hatta Ali, Rabu (18/6/2025).
    Dari penanganan kasus suap Ronald Tannur, penyidik menemukan indikasi penyuapan vonis lepas kasus korupsi fasilitas ekspor crude palm oil (CPO) atau minyak sawit mentah.
    Penyidikan dilakukan dan berujung pada Djuyamto, Agam, dan Ali Muhtarom masuk bui.
    Ketiganya didakwa menerima suap Rp 21,9 miliar untuk membebaskan terdakwa korporasi kasus ekspor CPO.
    Dalam perkara itu, Djuyamto menerima Rp 9,5 miliar. Kemudian, Ali dan Agam masing-masing Rp 6,2 miliar.
    Sementara itu, Arif menerima Rp 15,7 miliar dan Panitera Muda nonaktif PN Jakarta Utara, Wahyu Gunawan, Rp 2,4 miliar.
    Dalam kasus itu, suap tidak diberikan langsung kepada para hakim. Pengacara terdakwa korporasi, Ariyanto, menyerahkan uang suap lewat Wahyu.
    Adapun Ariyanto mewakili korporasi di bawah Permata Hijau Group, Wilmar Group, dan Musim Mas Group.
    Sesuai pesanan, Djuyamto dan anggotanya membebaskan para terdakwa korporasi itu pada 19 Maret 2025.
    Saat ini, perkara mereka masih bergulir di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat.
    Dalam pemeriksaan, Djuyamto dan Arif mengaku bersalah menerima suap dari Ariyanto.
    Pengakuan disampaikan saat keduanya diperiksa sebagai saksi mahkota.
    “Kalau boleh dikatakan, (kasus ini) 75 persen sudah terang benderang. Saya sudah mengaku bersalah, sudah menerima uang,” kata Djuyamto dalam sidang di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Rabu (15/10/2025).
    Pada hari yang sama, Arif juga mengaku menerima uang haram dari pengacara terdakwa korporasi.
    Meski demikian, Arif mengaku tidak memberikan arahan tertentu kepada majelis hakim yang mengadili.
    “Mengenai ada uang, itulah salah saya dan khilaf saya, saya akui memang seperti itu,” ujar Arif.
    Terpilih menjadi Ketua Mahkamah Agung (MA) pada Oktober 2024, Sunarto langsung diguncang rentetan penahanan hakim.
    Belum selesai kasus Ronald Tannur, giliran Djuyamto dan kawan-kawan ditahan penyidik.
    Bak dipercaya memegang nakhoda saat badai, raut dan ucapan Sunarto seperti campuran marah, kecewa, dan rasa sedih.
    Berkali-kali Sunarto menebarkan peringatan keras kepada hakim-hakim yang bergaya hidup hedon dengan uang korupsi.
    Menurut Sunarto, publik mengetahui dengan jelas pendapatan sah hakim hanya berkisar Rp 27 juta.
    Oleh karena itu, seharusnya mereka malu ketika membeli dan menggunakan mobil mewah miliaran rupiah dan barang-barang branded.
    “Kalau enggak malu, apa tidak takut sama Tuhan, minimal takut sama wartawan. Difoto arlojinya Rp 1 miliar, apa tidak malu saudara-saudara?” kata Sunarto geran dalam acara pembinaan pimpinan pengadilan dan para hakim se-Jakarta di Gedung MA, Jakarta, Jumat (23/5/2025).
    “Gajinya Rp 27 juta, Rp 23 juta, pakai LV, pakai Bally, pakai Porsche, enggak malu,” lanjutnya.
    Tidak hanya itu, Sunarto pun menyatakan telah meminta jejaring sosial untuk melacak pegawai pengadilan atau hakim yang membawa mobil mewah ke kantor.
    Mereka akan melaporkan dan akhirnya kemewahan itu akan ditelusuri apakah bersumber dari pendapatan sah untuk kemudian disampaikan ke Badan Pengawas MA.
    “Setelah kita analisis dengan pendapatannya, maka Badan Pengawasan berkewajiban untuk melaporkan ke penegak hukum,” ujar Sunarto.
    Meski demikian, Sunarto tak patah arang. Ia mencoba memperbaiki kondisi kesejahteraan hakim yang dinilai buruk karena 13 tahun tidak mengalami kenaikan.
    Tak cuma bikin kepala Sunarto pusing, kasus korupsi di lingkungan MA juga membuat anggota DPR RI heran dan berang.
    Anggota Komisi III DPR RI Muhammad Nasir Djamil menyampaikan kritiknya dengan sarkas saat mencecar calon hakim agung pada MA, Annas Mustaqim yang menjalani fit and proper test.
    Politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu menyinggung bagaimana suap nasib kelembagaan MA jika hakim yang diduga seharusnya menerima jatah Rp 915 miliar dan 51 kilogram diungkap.
    “Belum lagi ada peristiwa Zarof yang mengumpulkan uang dari kasus ini, kasus ini, kalaulah dibuka misalnya, dibuka hakim mana saja, kasus apa saja, barangkali roboh itu gedung Mahkamah Agung, barangkali, tapi itulah kenyataan potret kita lihat saat ini,” kata Nasir, di Ruang Rapat Komisi III DPR RI, Jakarta, Selasa (9/9/2025).
    Nasir pun menggali mempertanyakan bagaimana MA memperbaiki kondisi tersebut.
    “Sehingga orang akan semakin lebih percaya kepada pengadilan,” ujar Nasir.
    Di tengah gonjang-ganjingnya dunia peradilan, ratusan hakim muda mogok kerja.
    Mereka protes pemerintah tidak menaikkan gaji dan tunjangan hakim sejak 13 tahun.
    Setelah mendengar banyak masukan, Presiden Prabowo mengumumkan kenaikan gaji hakim.
    “Saya Prabowo Subianto, Presiden Indonesia ke-8, hari ini mengumumkan bahwa gaji-gaji hakim akan dinaikkan demi kesejahteraan para hakim dengan tingkat kenaikan bervariasi sesuai golongan,” kata Prabowo di acara pengukuhan calon hakim di Mahkamah Agung (MA), Jakarta, Kamis (12/6/2025).
    Prabowo menyebut, kenaikan gaji paling tinggi mencapai 280 persen dan diberlakukan untuk hakim yang paling junior.
    “Di mana kenaikan tertinggi mencapai 280 persen dan golongan yang naik tertinggi adalah golongan junior, paling bawah,” kata Prabowo disambut tepuk tangan meriah.
     
    Membaca situasi tersebut, peneliti Transparency International Indonesia (TII), Alvin Nicola mengatakan, peringatan Ketua MA memang patut diapresiasi.
    Namun, kata Alvin, hakim yang korupsi tidak hanya didorong kondisi gaji yang kurang.
    Para pemegang palu pengadilan itu korup karena sistem pengawasan di pengadilan yang lemah.
    Maraknya hakim dan aparatus pengadilan yang tersandung suap menunjukkan bahwa integritas sistemik di lembaga pengadilan mengalami krisis. Alvin tidak sepakat jika kasus itu hanya persoalan personal hakim.
    “Penyakit ini terus muncul akibat banyak problem tata kelola peradilan, belum kuatnya pengawasan internal, dan kultur birokrasi yang permisif terhadap penyalahgunaan kewenangan,” ujar Alvin saat dihubungi
    Kompas.com
    , Jumat (17/10/2025).
    Selama penjatuhan sanksi yang setengah hati, proses hukum tertutup, dan laporan kekayaan yang disembunyikan, menurutnya, sulit berharap publik bisa percaya pada lembaga peradilan.
    Pihaknya memandang, pencegahan korupsi bisa dilakukan di lembaga peradilan mulai dengan mempublikasikan kekayaan hakim secara berkala.
    “Rekrutmen berbasis merit, digitalisasi proses peradilan, serta sinergi aktif MA–KY–KPK dalam pengawasan,” tegasnya.
    Senada dengan Alvin, peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM), Zaenurrohman memandang, kenaikan gaji hakim bukan jawaban tunggal dari
    judicial corruption
    atau korupsi di lembaga peradilan.
    Menurut Zaenur, dibandingkan aparatur Kejaksaan Agung dan Polri, pendapatan sah hakim sebenarnya masih lebih baik.
    “Hakim masih salah satu yang paling sejahtera,” kata Zaenur saat dihubungi, Jumat.
    Menurutnya, tindakan yang paling penting untuk menanggulangi korupsi itu adalah dengan memastikan pengawasan berjalan dengan benar.
    Pengawasan dilakukan dari pimpinan MA ke bawah atau vertikal maupun secara horizontal, yakni sesama pegawai.
    “Ini melulu soal kesejahteraan semata,” ujar Zaenur.
    Ia memandang, korupsi di pengadilan bisa terjadi karena mereka memiliki kesempatan untuk melakukan perbuatan rasuah tinggi.
    Oleh karena itu, tindakan yang paling tepat adalah mendorong pengawasan berjalan.
    Bahkan, bila perlu diberikan insentif bagi orang-orang yang melaporkan korupsi hakim dan aparatur pengadilan.
    Selain itu, pimpinan pengadilan yang gagal mengendalikan bawahannya juga harus disanksi berupa pencopotan.
    “Setiap pimpinan pengadilan yang gagal melakukan pembinaan dan pengawasan kepada anggotanya harus dicopot,” kata dia.
    Di luar itu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga harus memprioritaskan kasus rasuah di lembaga peradilan.
    KPK harus mengawasi dan memastikan program pencegahan korupsi di lembaga pengadilan berjalan efektif.
    “Itu menjadi tugas dari KPK tugas KPK itu kan dua ya penindakan dan pencegahan nah yang pencegahan ini saya belum lihat program KPK untuk pencegahan saya belum lihat,” ujar Zaenur.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Harga Minyak Goreng Diprediksi Naik Segini jika B50 Diterapkan

    Harga Minyak Goreng Diprediksi Naik Segini jika B50 Diterapkan

    Jakarta

    Mandatori biodiesel 50% (B50) atau campuran BBM jenis solar dengan 50% minyak sawit mulai berlaku tahun 2026. Sejalan dengan itu, pemerintah juga menargetkan bisa menyetop impor solar agar tidak memberatkan APBN

    Namun, pemerintah diminta berhati-hati dalam menerapkan kebijakan B50. Terlebih, ada kekhawatiran bahwa harga minyak goreng ikut naik saat kebijakan tersebut berlaku.

    Guru Besar Kebijakan Agribisnis Institut Pertanian Bogor (IPB) Bayu Krisnamurthi memperkirakan harga minyak goreng akan naik sekitar Rp 1.900 per liter. Berlakunya B50 membuat pasokan sawit dialihkan untuk biodiesel.

    “Kemudian yang lain adalah bahwa harga minyak goreng itu akan naik kira-kira sekitar Rp 1.900 per liter,” ujar eks Wakil Menteri Pertanian (Wamentan) itu dalam Forum Group Discussion di Hotel Borobudur, Jumat (7/10/2025).

    Sementara itu, Tim peneliti Pusat Penelitian Pranata Pembangunan Universitas Indonesia (Pranata UI), Dr Surjadi menekankan pentingnya penerapan kebijakan biodiesel nasional secara terukur, adaptif, dan berbasis data ilmiah guna memperkuat agenda transisi energi hijau pemerintah.

    “Penelitian kami, merekomendasikan agar seluruh pemangku kepentingan dalam industri ini mempertimbangkan seksama kapasitas produksi sawit nasional, daya saing ekspor, dan kesejahteraan petani agar manfaat program ini terasakan secara menyeluruh,” kata Dr Surjadi.

    Indonesia saat ini merupakan produsen dan konsumen minyak sawit (CPO) terbesar di dunia, dengan produksi mencapai 48,2 juta ton atau 54% dari pasokan global, serta luas areal perkebunan sekitar 16,8 juta ha.

    Namun, produksi 2025 diproyeksikan hanya mencapai 49,5 juta ton, sementara implementasi mandatori B50 menuntut peningkatan kapasitas produksi minyak sawit nasional sekitar 59 juta ton per tahun guna memenuhi kebutuhan dalam negeri. Hal ini menjadi risiko utama dalam mendukung mandatori biodiesel dan daya saing ekspor.

    Simulasi menunjukkan bahwa penerapan mandatori biodiesel B50 dapat menghasilkan penghematan devisa impor solar sebesar Rp 172,35 triliun, namun berpotensi menekan ekspor CPO hingga Rp 190,5 triliun, angka yang justru lebih besar dari penghematan impor.

    “Kondisi ini berisiko mengurangi surplus neraca perdagangan, menekan cadangan devisa, dan memengaruhi stabilitas nilai tukar rupiah. Penurunan ekspor mendorong harga CPO naik, bahkan kerap lebih mahal dari minyak nabati lain seperti kedelai, dengan selisih harga mencapai lebih dari US$ 100 per ton,” terang dia.

    Sementara negara importir utama seperti India mulai mengalihkan permintaan ke minyak kedelai dan bunga matahari, sehingga impor CPO Indonesia diperkirakan turun ke titik terendah sejak 2019/2020. Kenaikan mandatori biodiesel dari B40 ke B50 berpotensi untuk meningkatkan harga minyak goreng domestik hingga 9%,

    Lalu mendorong harga Tandan Buah Segar (TBS) naik sekitar Rp 618 per kilogram, seiring meningkatnya permintaan minyak sawit untuk bahan baku biodiesel. Namun, di balik potensi keuntungan tersebut, kebijakan B50 juga menimbulkan beban fiskal baru karena kebutuhan subsidi yang semakin besar untuk menjaga keekonomian program biodiesel.

    Kenaikan tarif pungutan ekspor Crude Palm Oil (CPO) justru menekan harga TBS di tingkat petani. Peningkatan tarif sebesar 1% diperkirakan menurunkan harga TBS sekitar Rp 333 per kilogram.

    Bahkan, untuk mendanai pelaksanaan B50, jika tarif ekspor dinaikkan lebih jauh hingga 15,17% dari sebelumnya 10%, tekanan terhadap harga TBS bisa mencapai Rp1.725 per kilogram. Dampak ini paling berat dirasakan oleh petani swadaya yang memiliki posisi tawar lemah dalam rantai pasok sawit.

    (ily/rrd)

  • Peneliti UI: Mandatori biodiesel perlu dijalankan secara fleksibel

    Peneliti UI: Mandatori biodiesel perlu dijalankan secara fleksibel

    Pelaksanaan kebijakan mandatori biodiesel perlu dievaluasi berkala dan kebijakan blending rate yang lebih fleksibel

    Jakarta (ANTARA) – Pusat Penelitian (Puslit) Pranata Pembangunan Universitas Indonesia memandang kebijakan mandatori biodiesel sebaiknya dijalankan secara fleksibel agar tidak menimbulkan ketidakseimbangan antara energi, pangan, ekspor dan fiskal.

    “Pelaksanaan kebijakan mandatori biodiesel perlu dievaluasi berkala dan kebijakan blending rate yang lebih fleksibel seperti yang sudah dilakukan di beberapa negara lain, ini patut dipertimbangkan,” kata Peneliti Puslit Pranata Pembangunan UI Widyono Soetjipto di Jakarta, Jumat.

    Widyono mencatat beberapa pembelajaran internasional atas kebijakan mandatori fleksibel. Di Malaysia, penerapan B20 bersifat terbatas, dengan subsidi yang hanya diberikan pada konsumen dan wilayah tertentu, tidak menyeluruh seperti di Indonesia.

    Di Brasil, kadar campuran biodiesel disesuaikan dengan harga minyak nabati, seperti kedelai, bukan sawit. Jika harga minyak nabati tinggi, persentase campuran diturunkan, dan sebaliknya.

    Sementara di Thailand, penyesuaian dilakukan berdasarkan harga minyak bumi, sehingga jika harga solar turun, campuran minyak nabati dikurangi.

    Dari ketiga contoh negara tersebut, peneliti menilai bahwa fleksibilitas yang terukur dapat menjaga keseimbangan antara kebutuhan domestik, ekspor, dan stabilitas harga energi.

    “Tetapi fleksibilitas ini harus bersifat terukur serta harus didukung oleh data pasar yang akurat dan sifatnya real time, dan juga teknologi monitoring yang sesuai dengan keadaan dan juga koordinasi yang baik antar sektor,” kata Widyono.

    Berdasarkan hasil penelitian, tingkat mandatori biodiesel yang optimal adalah 37,8 persen, di mana keseimbangan terjaga tanpa menurunkan ekspor atau merugikan pemangku kepentingan.

    Meski begitu, Widyono berharap ada penelitian lebih lanjut untuk menentukan batas atas dan bawah campuran biodiesel yang optimal, misalnya antara B35 hingga B40.

    “Untuk bisa mempertahankan ekspor dengan kondisi produksi CPO saat ini, yaitu diperkirakan 49,5 juta ton, tingkat mandatori optimumnya 37,8 persen,” kata dia.

    Tim peneliti memperkirakan ekspor CPO hanya sebesar 20,8 juta ton apabila B50 diterapkan. Subsidi biodiesel, yang dihitung dari selisih harga biodiesel dan solar, diperkirakan mencapai Rp46 triliun pada skenario ini.

    Karena pungutan ekspor menjadi sumber utama pembiayaan subsidi, penurunan ekspor akan mengurangi penerimaan negara, sehingga diperlukan kenaikan tarif dari 10 persen menjadi 15,17 persen.

    Namun, peneliti menekankan bahwa kenaikan pungutan ekspor dapat menekan harga tandan buah segar (TBS) dan berdampak pada kesejahteraan petani swadaya.

    Simulasi tim peneliti menunjukkan bahwa setiap peningkatan 5 persen mandatory blending, maka agar ekspor tidak berkurang harus dikompensasi dengan peningkatan produksi CPO sekitar 4,2 juta ton.

    Dengan skenario B50, produksi CPO minimal harus mencapai 54 juta ton, jauh di atas proyeksi produksi 2025 yang hanya 49,5 juta ton.

    Sebagai informasi, penelitian bertajuk “Produksi Sawit, Dinamika Pasar, serta Keseimbangan Biodiesel di Indonesia” ini menggunakan analisis kuantitatif dan metode ekonometrika dengan periode data 1990-2025.

    Sumber data berasal dari Badan Pusat Statistik (BPS), Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (Aprobi), Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo), Kementerian ESDM, dan sumber lainnya. Peneliti juga melakukan wawancara mendalam kepada pemangku kepentingan.

    Pewarta: Rizka Khaerunnisa
    Editor: Agus Salim
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Peneliti UI: B50 hemat devisa tapi berpotensi tekan neraca perdagangan

    Peneliti UI: B50 hemat devisa tapi berpotensi tekan neraca perdagangan

    menghemat Rp172 triliun, tapi ada risiko kehilangan Rp190 triliun. Secara agregat ada negatif Rp18,15 triliun dari segi neraca perdagangan

    Jakarta (ANTARA) – Pusat Penelitian (Puslit) Pranata Pembangunan Universitas Indonesia mencatat bahwa program mandatori biodiesel B50 berpotensi menghemat devisa dalam jumlah besar dari berkurangnya impor solar, namun pada saat yang sama dapat menimbulkan tekanan terhadap neraca perdagangan.

    Penghematan devisa akibat berkurangnya impor solar diperkirakan mencapai Rp172 triliun ketika campuran biodiesel ditingkatkan menjadi B50. Namun, penerapan B50 diperkirakan menekan ekspor CPO, dengan volume ekspor yang turun menjadi sekitar 20,8 juta ton dan potensi penurunan nilai ekspor mencapai Rp190,5 triliun karena sebagian pasokan dialihkan untuk kebutuhan biodiesel dalam negeri.

    “Kita bisa menghemat Rp172 triliun, tapi ada risiko bahwa kita kehilangan Rp190 triliun. Secara agregat ada negatif. Negatif Rp18,15 triliun dari segi neraca perdagangannya,” kata Peneliti Puslit Pranata Pembangunan UI Surjadi di Jakarta, Jumat.

    Pungutan ekspor menjadi sumber utama pembiayaan selisih harga biodiesel dengan solar. Saat ekspor menurun, penerimaan dari pungutan tersebut otomatis ikut berkurang, padahal kebutuhan subsidi meningkat.

    Berdasarkan perhitungan tim peneliti, untuk menutup tambahan subsidi sekitar Rp46,45 triliun, tarif pungutan ekspor perlu dinaikkan dari 10 persen menjadi 15,17 persen.

    Surjadi bersama tim peneliti mengestimasikan bahwa kenaikan tarif pungutan ekspor sebesar itu dapat menurunkan harga tandan buah segar (TBS) di tingkat petani hingga Rp1.725 per kilogram.

    Selain menekan ekspor, kondisi ini dinilai berpotensi menimbulkan tekanan pada harga minyak sawit mentah (CPO) domestik dan kesejahteraan petani sawit, terutama petani swadaya yang memiliki lahan terbatas.

    “Petani sawitlah yang akan terdampak, kesejahteraannya menurun apabila harga TBS ini tertekan akibat peningkatan pungutan ekspor, terutama petani sawit yang swadaya yang lahannya tidak luas itu yang akan paling terdampak,” kata Surjadi.

    Simulasi yang dilakukan tim peneliti juga menunjukkan bahwa agar ekspor tidak menurun ketika B50 diterapkan, Indonesia harus mampu meningkatkan produksi CPO hingga 54 juta ton. Angka ini jauh di atas proyeksi produksi tahun 2025 yang hanya sekitar 49,5 juta ton.

    “Jadi ini semoga bisa menjadi pertimbangan apabila ingin menerapkan B50, tapi ekspornya tetap bertahan, jangan sampai ada kehilangan devisa kalau ekspornya turun. Dan segala macam dampak tidak menyenangkannya yang terjadi apabila ekspor turun, maka kita harus upayakan agar dicapai tingkat produksi itu, 59,6 juta ton CPO dan CPKO atau 54 juta ton kalau CPO-nya saja,” kata Surjadi.

    Sebagai informasi, penelitian bertajuk “Produksi Sawit, Dinamika Pasar, serta Keseimbangan Biodiesel di Indonesia” ini menggunakan analisis kuantitatif dan metode ekonometrika dengan periode data 1990-2025.

    Sumber data berasal dari Badan Pusat Statistik (BPS), Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (Aprobi), Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo), Kementerian ESDM, dan sumber lainnya. Peneliti juga melakukan wawancara mendalam kepada pemangku kepentingan.

    Pewarta: Rizka Khaerunnisa
    Editor: Agus Salim
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.