Zulhas, Political Selfie, dan Literasi Visual Publik
Pengamat Komunikasi Politik dan Sosiologi Media
VIDEO
dan foto kunjungan Menteri Koordinator Bidang Pangan, Zulkifli Hasan, di lokasi banjir bandang Sumatera beredar luas di berbagai platform. Ia tampak memanggul karung beras, melangkah di tengah genangan, dengan kamera yang terus mengikuti setiap gerakan. Potongan lain memperlihatkan ia ikut membersihkan rumah warga terdampak banjir.
Paket visual ini dengan cepat diberi label “
pencitraan
” dan “akting” oleh banyak warganet. Setelahnya, unggahan dan pemberitaan itu direspons dengan kalimat sinis, kritis dan skeptis. Di mata para pengkritik, adegan memanggul beras dan menyapu lumpur itu tampak lebih mirip set pengambilan gambar daripada kerja darurat di tengah krisis.
Tak ayal, perang klaim antara “turun langsung membantu” dan kecurigaan “sekadar pencitraan” menjadi sumbu polemik. Semua terjadi di tengah bencana yang skalanya jauh dari ringan. Pertanyaan utama tak pelak langsung mendera benak publik, bukan hanya apakah
Zulkifli Hasan
tulus atau tidak ketika memanggul karung beras.
Yang lebih krusial, apakah praktik pejabat yang mengemas kehadiran di lokasi bencana sebagai materi visual ini dapat dipahami sebagai
political selfie
dalam pengertian yang dikaji di banyak negara. Bila ya, kita perlu menimbang dampaknya bagi korban, bagi kualitas demokrasi, dan bagi cara negara memaknai kehadiran di tengah bencana.
Achilleas Karadimitriou dan Anastasia Veneti (2016) menyebut
political selfie
sebagai “image event” baru di medan komunikasi politik digital. Menurut mereka, ada empat fungsi utama
political selfie
, yaitu menghasilkan materi visual sendiri di luar filter redaksi, menciptakan rasa intim, menjadi alat branding politik, dan menarik perhatian media.
Dalam kerangka ini, selfie bukan lagi foto spontan, melainkan bagian dari strategi permanen membangun citra. Dengan demikian,
political selfie
adalah momen ketika tubuh politisi dan kamera sengaja dipertemukan untuk tujuan politik, bukan sekadar dokumentasi.
Melalui perspektif ini, video karung beras tampak sangat pas dengan anatomi
political selfie
. Materi visualnya diambil dari akun Instagram resmi @zul.hasan yang sepenuhnya dikelola tim. Sudut pengambilan gambar menonjolkan beban di pundak dan kedekatan fisik dengan warga, membangun kesan pemimpin yang “turun tangan”. Dari sana, potongan gambar diangkat ulang oleh media daring dan menjadi berita. Ini mengunci frame: menteri pekerja keras hadir di tengah lumpur banjir.
Penelitian Mireille Lalancette dan Vincent Raynauld (2017, 2019) tentang Instagram Justin Trudeau menunjukkan pola serupa. Selfie dan potret santai sang perdana menteri dipakai untuk menjual citra pemimpin muda, dekat, dan hangat. Isu kebijakan hadir sebagai latar naratif, bukan pusat gambar.
Penelitian ini menemukan bahwa logika “viral” dan estetika positif dalam membentuk persepsi publik sering kali menutupi konflik kebijakan yang jauh lebih kompleks.
Studi lain tentang
selfie journalism
di pemilu Siprus (Papathanassopoulos et al., 2018) menunjukkan hampir seluruh selfie politisi yang dianalisis menggambarkan momen positif dan emosional, dengan konteks politik yang minim.
Selfie menjadi alat mobilisasi kesan, bukan penjelasan kebijakan. Pola ini tampak berulang di banyak negara ketika kampanye dan kerja pemerintahan melebur dalam satu arus konten yang mengumbar visual dramatis. Di titik itu, bencana alam menyediakan panggung yang sangat “fotogenik” bagi politisi.
Lebih jauh, Jeremiah Morelock dan Felipe Narita (2021) meyakini masyarakat sekarang hidup dalam
society of the selfie
, di mana promosi diri menjadi logika dasar yang merembes ke hampir semua ruang sosial, termasuk politik dan kebencanaan. Dalam logika ini, tidak cukup hadir dan bekerja, seorang pejabat juga harus terlihat bekerja, sebaik mungkin, dalam format yang mudah dibagikan.
Bencana lalu berisiko direduksi menjadi panggung yang menyediakan “stok gambar” bagi politisi, alih alih momentum untuk mengakui kegagalan tata kelola dan memperbaikinya.
Sejalan dengan banyak teoretisi yang mengkaji gejala
political selfie
, Kuntsman dan Stein (2017) memperkenalkan gagasan
selfie citizenship
untuk menjelaskan bagaimana warga biasa menggunakan selfie sebagai klaim kewargaan. Seturut itu, Butkowski (2023) lewat studi “I voted selfies” menunjukkan bahwa swafoto usai mencoblos dapat menjadi cara warga menegaskan diri sebagai bagian dari komunitas politik yang peduli.
Dalam kedua kasus ini, selfie mengalir dari bawah ke atas, dari mereka yang lemah kuasa ke ruang publik yang sering mengabaikan suara mereka. Sebaliknya,
political selfie
pejabat di tengah bencana bergerak dari atas ke bawah, dari pemegang kekuasaan kepada warga yang baru kehilangan rumah dan keluarga. Korban tidak benar-benar memiliki kuasa untuk menolak ikut masuk frame, apalagi mengatur bagaimana gambarnya akan digunakan.
Ketika tubuh mereka hadir sebagai latar yang memperkuat citra empatik pejabat, mereka lebih menjadi properti visual daripada subjek politik yang setara. Di titik ini, adalah krusial mengajukan kriteria etis terkait fenomena
political selfie
.
Pertama, siapakah yang menjadi pusat visual dalam
political selfie
di lokasi bencana: wajah pejabatkah atau informasi penting bagi korban? Kedua, apakah warga memiliki cukup ruang aman untuk mengatakan ‘tidak’ untuk difoto, tanpa tekanan simbolik dari aparat, staf, dan suasana resmi? Ketiga, apakah gambar tersebut disertai penjelasan kebijakan yang konkret, atau berhenti pada dramatisasi empati dan ketegasan?
Jika tiga pertanyaan itu diajukan pada video karung beras, jawabannya mengkhawatirkan. Frame jelas memusatkan tubuh pejabat, sementara korban dan relawan berada di belakang sebagai latar. Mustahil membayangkan pengungsi yang kelelahan berani menolak ketika anggota rombongan menjepret.
Sudah menjadi tabiat umum bahwa keterangan yang menyertai unggahan lebih banyak bicara tentang kehadiran pemerintah, bukan rincian langkah struktural untuk memulihkan nasib ratusan ribu pengungsi.
Pembelaan “memanggul beras bukan pencitraan, tetapi tugas pejabat sesuai Undang-Undang Penanggulangan Bencana” tidak cukup menjawab problem ini. Undang-Undang memang mewajibkan pejabat turun membantu, tetapi tidak pernah memerintahkan setiap gerak dijadikan konten yang memusatkan figur pejabat.
Justru di titik ini, kepekaan terhadap hierarki kuasa dan martabat korban harus menjadi perhatian utama, termasuk dalam keputusan sederhana: siapa yang diundang ke depan kamera, dan untuk tujuan apa.
Kontroversi
political selfie
di Sumatera sebenarnya menunjukkan tumbuhnya literasi visual publik. Ketika warganet cepat mengenali
staging
dan simbolisme yang berlebihan, hal itu secara implisit menunjukkan bahwa medan politik layar sudah tidak bisa lagi dianggap ruang pasif yang hanya menghamburkan agenda simbolis.
Namun literasi ini perlu diarahkan lebih bermakna, agar kritik tidak berhenti di soal gaya, tetapi menyasar juga pola komunikasi kekuasaan yang mereduksi lokasi bencana menjadi panggung citra.
Ringkasnya, alih-alih sebagai jembatan informasi yang menyejukkan, praktik
political selfie
(amat dikhawatirkan) menggeser fokus dari hak korban ke hak pejabat untuk tampil ‘sempurna’ bak pahlawan di layar. Padahal, dalam bencana sebesar ini, ukuran utama seharusnya terletak kepada seberapa jauh kebijakan yang lahir (setelah kamera dimatikan) mampu memulihkan asa korban dan berdampak signifikan terhadap mitigasi bencana ke depan.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Produk: Beras
-
/data/photo/2025/12/04/69315f6fae64d.png?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Zulhas, Political Selfie, dan Literasi Visual Publik Nasional 8 Desember 2025
-

Harga Bawang dan Cabai Melonjak, Mendag Sebut Pasokan Aman
Jakarta, Beritasatu.com — Menteri Perdagangan (Mendag) Budi Santoso menyampaikan harga bawang merah serta cabai di sejumlah daerah saat ini tercatat melampaui harga acuan pemerintah (HAP). Meski demikian, ia menekankan bahwa pasokan nasional kedua komoditas tersebut masih aman.
“Harga rata-rata nasional bawang merah Rp 47.600 per kilogram, sedangkan harga acuan Rp 41.500. Tapi tadi disampaikan (saat rapat) sebenarnya bawang merah itu surplus,” ujar Budi di Kementerian Perdagangan, Senin (8/12/2025), dilansir dari Antara.
Menurut Budi, kenaikan harga di tingkat nasional dipengaruhi oleh variasi harga antarwilayah, termasuk Papua yang secara konsisten mencatat harga lebih tinggi sehingga mengerek rata-rata nasional.
Untuk cabai merah dan cabai rawit, Budi menegaskan laporan asosiasi produsen menunjukkan bahwa produksi tidak bermasalah. Namun, kondisi cuaca yang kurang bersahabat membuat proses panen menjadi tidak optimal.
“Cabai itu tidak kekurangan produksi. Cuma kemarin karena cuacanya tidak bagus, memanennya saja. Memanennya kan tidak bisa setiap saat. Jadi makanya tadi dicari solusinya bagaimana supaya bisa lebih efisien dalam memanennya,” tuturnya.
Pemerintah, kata Budi, saat ini memfokuskan langkah pada penguatan distribusi dari daerah sentra produksi menuju wilayah konsumsi melalui koordinasi dengan Kementerian Perhubungan, pemerintah daerah, serta pelaku logistik.
Dari sejumlah laporan pemerintah daerah yang hadir dalam rapat, termasuk Sumatera Utara, pasokan pangan pokok di wilayah yang tidak terdampak bencana dilaporkan tetap terkendali.
“Kalau yang di luar bencana, tadi disampaikan pasokan cukup dan terkendali. Yang perlu dijaga jangan sampai distribusinya terlambat,” kata Budi.
Adapun untuk wilayah yang terdampak bencana di Sumatera, pemerintah melakukan penanganan khusus melalui jalur bantuan mengingat sebagian infrastruktur jalan masih dalam proses pemulihan.
“Kalau di daerah bencana itu kan memang yang kena bencana ditangani khusus dengan bantuan. Tapi di sekitarnya, yang tidak terjadi bencana, pasokan ada, terkendali,” jelasnya.
Ia juga menyampaikan komoditas daging dan telur berada dalam kondisi surplus berdasarkan laporan asosiasi, sehingga kecil kemungkinan menjadi pemicu inflasi menjelang Natal dan Tahun Baru (Nataru).
Budi menegaskan pemerintah akan terus memantau perkembangan harga bawang, cabai, dan komoditas pangan strategis lainnya. Ia meminta pemerintah daerah segera berkoordinasi jika terjadi lonjakan harga.
“Kalau nanti ada lonjakan atau kekurangan pasokan, kita harus cepat komunikasi karena setelah Nataru ada Imlek dan puasa yang waktunya berdekatan,” ujarnya.
Berdasarkan data Badan Pangan Nasional per Senin, harga cabai rawit merah naik 6,34% menjadi Rp 72.277 per kilogram, cabai merah keriting naik 1,58% menjadi Rp 61.454 per kilogram. Sementara itu, telur ayam ras naik 1,36% menjadi Rp 31.365 per kilogram dan beras medium naik 1,16% menjadi Rp 13.660 per kilogram. Di sisi lain, bawang merah turun 2,64% menjadi Rp 47.729 per kilogram, dan Minyakita turun 0,44% menjadi Rp 17.602 per liter.
-
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5436397/original/001522500_1765170430-IMG-20251208-WA0004.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Swasembada Pangan Kunci Kedaulatan, Sepertiga Masalah Indonesia Bisa Teratasi
Pemerintah menilai solusi utama untuk keluar dari jebakan impor adalah melakukan reformasi menyeluruh pada sistem produksi pangan. Zulhas menyebut tiga faktor kunci yang harus dibenahi, yakni ketersediaan pupuk, infrastruktur irigasi, dan kepastian harga bagi petani.
Menurutnya, dengan keberpihakan kebijakan yang kuat, pemerintah menilai perbaikan tersebut mulai menunjukkan hasil. Produksi beras nasional meningkat signifikan, sementara ketergantungan impor berhasil ditekan hingga nol pada tahun berjalan.
“Alhamdulillah tahun lalu kita impor beras 4,5 juta ton tahun ini impornya nol tahun lalu produksi kita 30 juta ton, tahun ini kita produksi kita 34,77 juta ton beras. Kalau tahun lalu kita impor 4,5 juta ton tahun ini kita kelebihan stok 4,77 juta ton tahun ini,” pungkasnya.
-
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5436385/original/070171100_1765170113-Menko_Bidang_Pangan_Zulkifli_Hasan-8_Desember_2025.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Biaya Produksi Mahal, Penyebab Indonesia Sering Impor Pangan
Liputan6.com, Jakarta – Menteri Koordinator Bidang Pangan (Menko Pangan) Zulkifli Hasan mengungkapkan biaya produksi pangan di Indonesia masih jauh lebih tinggi dibanding negara-negara tetangga. Untuk menghasilkan 1 kilogram beras, petani Indonesia harus mengeluarkan biaya sekitar Rp 13.000, sementara di Vietnam ongkos produksi hanya berkisar Rp 4.000 per kilogram.
“Saya ambil satu contoh kalau kita rakyat kita ini makan nasi dia beli beras untuk mendapatkan 1 kg beras dia mesti membayar Rp 14.000 karena untuk memproduksi 1 kg beras itu kita ongkosnya itu Rp 13.000 Vietnam untuk memproduksi ongkos 1 kg beras itu Rp 4000 nah jauh,” kata Zulkifli Hasan dalam acara Arah Bisnis 2026: Menuju Kedaulatan Ekonomi, di Jakarta, Senin (8/12/2025).
Kondisi serupa juga terjadi pada komoditas gula. Thailand disebut hanya membutuhkan ongkos sekitar Rp 3.000 untuk memproduksi 1 kilogram gula, sedangkan Indonesia harus merogoh biaya Rp 13.000 hingga Rp 15.000 per kilogram. Selisih yang lebar ini membuat produk pangan domestik kalah bersaing.
“Thailand itu untuk memproduksi 1 kg gula butuh Rp 3000, Kita untuk menghasilkan 1 kg gula itu ongkosnya Rp 13.000 sampai Rp 15.000 jauh sekali enggak mungkin kita akan maju karena jauh sekali sulit,” ujar dia.
Menurut Zulkifli, mahalnya biaya produksi tidak hanya menekan daya saing, tetapi juga memicu ketergantungan kronis pada impor. Selama struktur biaya ini tidak dibenahi, Indonesia akan terus berada dalam posisi lemah di pasar pangan global. “Enggak mungkin kita akan maju, karena jauh sekali sulit. Oleh karena itu, kita ketergantungan (impor),” ujarnya.
-
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5431508/original/078657800_1764740450-7.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Cerita Warga Huta Nabolon Tapanuli Tengah Bertahan dari Dinginnya Malam Tanpa Pakaian
Liputan6.com, Tapanuli Tengah – Banjir bandang menyisakan duka bagi warga di Lingkungan IV, Kelurahan Huta Nabolon, Kecamatan Tukka, Tapanuli Tengah, Sumatera Utara. Beberapa di antara mereka bahkan bertahan di tengah gelap dan dinginnya malam tanpa pakaian bersih. Semua harta benda dan rumah luluhlantak diterpa banjir, kalaupun masih ada yang tersisa, dibagikan kepada tetangga yang lebih membutuhkan.
“Pakaian yang sedang kami jemur, kami bagikan semua ke tetangga pak, tidak ada pakaian mereka,” kata Margembira Gultom (41), warga Lingkungan IV, Kelurahan Huta Nabolon, seperti dikutip dari Antara.
Tidak hanya membagikan pakaian bersih, Margembira juga menjadikan rumahnya sebagai tempat pengungsian darurat, di mana semua fasilitas yang ada bisa dimanfaatkan sepenuhnya oleh para warga sekitar yang terdampak.
Rumah yang dihuni Margembira bersama ayah, ibu, istri dan seorang anaknya itu selamat dari amukan banjir bandang yang meluluhlantakkan mayoritas rumah dan fasilitas infrastruktur di kawasan Lingkungan IV.
Hal tersebut dikarenakan rumah sederhana yang beratapkan seng itu berada di sebuah bukit, yang jauh lebih tinggi dari banyak rumah lainnya dan dari alur aliran banjir di Lingkungan IV.
“30 KK ada yang tinggal bersama kami di sini. Pak tahu tidak, kami delapan liter beras dimasak untuk sekali makan, karena tidak ada lagi lauk saat itu saya potong babi dan lembu ternak kami untuk dibagi-bagikan,” ungkapnya.
Namun beruntung, ia mengakui bahwa saat ini kondisi mereka saat ini jauh lebih baik karena bantuan logistik kebutuhan pokok sudah mulai tiba, baik dari pemerintah maupun keluarga.
“Juga sudah ada bantuan genset untuk penerangan. Hanya saja itu pak pakaian bersih dan layak pakai yang dibutuh sekali pakaian kami ini apalagi cuaca masih hujan terus ini air bisa kembali naik,” katanya.
-

Warga di Lebak Iuran Bangun Rumah Nenek yang Tidak Layak Huni
Lebak –
Warga Kampung Turus Elor, Desa Sukadaya, Kecamatan Cikulur, Kabupaten Lebak, Banten kompak melakukan aksi yang patut ditiru. Mereka secara bersama-sama membangun rumah milik Kanapiah (52) yang nyaris roboh.
Warga setempat bernama Saen merasa khawatir melihat kondisi rumah Kanapiah karena dinding sudah bolong, atap bocor dan kayu sudah lapuk dimakan usia. Atas kondisi itu, para warga kemudian iuran untuk melakukan perbaikan.
“Kami kumpulkan bantuan seikhlasnya, baik kayu, bambu, maupun uang. Alhamdulillah sampai sekarang terkumpul lebih dari Rp 6 juta,” katanya, Minggu (7/12/2025).
Saen menyebut jika rumah itu dibiarkan lama, khawatir membuat penghuni rumah tertimpa bangunan. Tindakan ini, katanya, bagian dari bentuk kepedulian sesama warga.
“Selain soal kebersamaan, ini bentuk kepedulian kepada tetangga yang hidupnya kurang mampu, kami saling bantu semampunya,” tambahnya.
“Kalau pemerintah mau ikut membantu, kami sangat terbuka,” katanya
Kanapiah mengaku sudah 20 tahun tinggal di rumah yang tidak layak bersama dengan enam anaknya. Ia mengatakan suaminya sebagai tulang punggung keluarga telah meninggal dunia beberapa tahun lalu.
Sebagai kepala rumah tangga, Kanapiah tidak memiliki pekerjaan tetap. Sisa-sisa tenaganya hanya bisa diandalkan oleh orang lain untuk menanam padi, yang hanya mendapatkan penghasilan Rp 20 ribu sehari.
“Penghasilan saya cuma Rp 20 ribu sehari, itu juga kalau lagi musim tanam padi, kalau enggak ya hanya bisa pasrah,” katanya.
“Kami sekeluarga pernah enggak makan juga, karena enggak ada uang buat beli beras,” tambahnya.
Ia mengaku sempat meminta bantuan kepada pemerintah untuk melakukan perbaikan rumah. Namun sampai saat ini, bantuan tak terealisasikan.
“Dulu pernah difoto-foto dari desa, tapi sampai sekarang tidak ada bantuan,” katanya.
(whn/whn)
/data/photo/2025/12/08/69361774bf162.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)


