Produk: Beras

  • Zulhas, Political Selfie, dan Literasi Visual Publik
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        8 Desember 2025

    Zulhas, Political Selfie, dan Literasi Visual Publik Nasional 8 Desember 2025

    Zulhas, Political Selfie, dan Literasi Visual Publik
    Pengamat Komunikasi Politik dan Sosiologi Media
    VIDEO
    dan foto kunjungan Menteri Koordinator Bidang Pangan, Zulkifli Hasan, di lokasi banjir bandang Sumatera beredar luas di berbagai platform. Ia tampak memanggul karung beras, melangkah di tengah genangan, dengan kamera yang terus mengikuti setiap gerakan. Potongan lain memperlihatkan ia ikut membersihkan rumah warga terdampak banjir.
    Paket visual ini dengan cepat diberi label “
    pencitraan
    ” dan “akting” oleh banyak warganet. Setelahnya, unggahan dan pemberitaan itu direspons dengan kalimat sinis, kritis dan skeptis. Di mata para pengkritik, adegan memanggul beras dan menyapu lumpur itu tampak lebih mirip set pengambilan gambar daripada kerja darurat di tengah krisis.
    Tak ayal, perang klaim antara “turun langsung membantu” dan kecurigaan “sekadar pencitraan” menjadi sumbu polemik. Semua terjadi di tengah bencana yang skalanya jauh dari ringan. Pertanyaan utama tak pelak langsung mendera benak publik, bukan hanya apakah
    Zulkifli Hasan
    tulus atau tidak ketika memanggul karung beras.
    Yang lebih krusial, apakah praktik pejabat yang mengemas kehadiran di lokasi bencana sebagai materi visual ini dapat dipahami sebagai
    political selfie
    dalam pengertian yang dikaji di banyak negara. Bila ya, kita perlu menimbang dampaknya bagi korban, bagi kualitas demokrasi, dan bagi cara negara memaknai kehadiran di tengah bencana.
    Achilleas Karadimitriou dan Anastasia Veneti (2016) menyebut
    political selfie
    sebagai “image event” baru di medan komunikasi politik digital. Menurut mereka, ada empat fungsi utama
    political selfie
    , yaitu menghasilkan materi visual sendiri di luar filter redaksi, menciptakan rasa intim, menjadi alat branding politik, dan menarik perhatian media.
    Dalam kerangka ini, selfie bukan lagi foto spontan, melainkan bagian dari strategi permanen membangun citra. Dengan demikian,
    political selfie
    adalah momen ketika tubuh politisi dan kamera sengaja dipertemukan untuk tujuan politik, bukan sekadar dokumentasi.
    Melalui perspektif ini, video karung beras tampak sangat pas dengan anatomi
    political selfie
    . Materi visualnya diambil dari akun Instagram resmi @zul.hasan yang sepenuhnya dikelola tim. Sudut pengambilan gambar menonjolkan beban di pundak dan kedekatan fisik dengan warga, membangun kesan pemimpin yang “turun tangan”. Dari sana, potongan gambar diangkat ulang oleh media daring dan menjadi berita. Ini mengunci frame: menteri pekerja keras hadir di tengah lumpur banjir.
    Penelitian Mireille Lalancette dan Vincent Raynauld (2017, 2019) tentang Instagram Justin Trudeau menunjukkan pola serupa. Selfie dan potret santai sang perdana menteri dipakai untuk menjual citra pemimpin muda, dekat, dan hangat. Isu kebijakan hadir sebagai latar naratif, bukan pusat gambar.
    Penelitian ini menemukan bahwa logika “viral” dan estetika positif dalam membentuk persepsi publik sering kali menutupi konflik kebijakan yang jauh lebih kompleks.
    Studi lain tentang
    selfie journalism
    di pemilu Siprus (Papathanassopoulos et al., 2018) menunjukkan hampir seluruh selfie politisi yang dianalisis menggambarkan momen positif dan emosional, dengan konteks politik yang minim.
    Selfie menjadi alat mobilisasi kesan, bukan penjelasan kebijakan. Pola ini tampak berulang di banyak negara ketika kampanye dan kerja pemerintahan melebur dalam satu arus konten yang mengumbar visual dramatis. Di titik itu, bencana alam menyediakan panggung yang sangat “fotogenik” bagi politisi.
    Lebih jauh, Jeremiah Morelock dan Felipe Narita (2021) meyakini masyarakat sekarang hidup dalam
    society of the selfie
    , di mana promosi diri menjadi logika dasar yang merembes ke hampir semua ruang sosial, termasuk politik dan kebencanaan. Dalam logika ini, tidak cukup hadir dan bekerja, seorang pejabat juga harus terlihat bekerja, sebaik mungkin, dalam format yang mudah dibagikan.
    Bencana lalu berisiko direduksi menjadi panggung yang menyediakan “stok gambar” bagi politisi, alih alih momentum untuk mengakui kegagalan tata kelola dan memperbaikinya.
    Sejalan dengan banyak teoretisi yang mengkaji gejala
    political selfie
    , Kuntsman dan Stein (2017) memperkenalkan gagasan
    selfie citizenship
    untuk menjelaskan bagaimana warga biasa menggunakan selfie sebagai klaim kewargaan. Seturut itu, Butkowski (2023) lewat studi “I voted selfies” menunjukkan bahwa swafoto usai mencoblos dapat menjadi cara warga menegaskan diri sebagai bagian dari komunitas politik yang peduli.
    Dalam kedua kasus ini, selfie mengalir dari bawah ke atas, dari mereka yang lemah kuasa ke ruang publik yang sering mengabaikan suara mereka. Sebaliknya,
    political selfie
    pejabat di tengah bencana bergerak dari atas ke bawah, dari pemegang kekuasaan kepada warga yang baru kehilangan rumah dan keluarga. Korban tidak benar-benar memiliki kuasa untuk menolak ikut masuk frame, apalagi mengatur bagaimana gambarnya akan digunakan.
    Ketika tubuh mereka hadir sebagai latar yang memperkuat citra empatik pejabat, mereka lebih menjadi properti visual daripada subjek politik yang setara. Di titik ini, adalah krusial mengajukan kriteria etis terkait fenomena
    political selfie
    .
    Pertama, siapakah yang menjadi pusat visual dalam
    political selfie
    di lokasi bencana: wajah pejabatkah atau informasi penting bagi korban? Kedua, apakah warga memiliki cukup ruang aman untuk mengatakan ‘tidak’ untuk difoto, tanpa tekanan simbolik dari aparat, staf, dan suasana resmi? Ketiga, apakah gambar tersebut disertai penjelasan kebijakan yang konkret, atau berhenti pada dramatisasi empati dan ketegasan?
    Jika tiga pertanyaan itu diajukan pada video karung beras, jawabannya mengkhawatirkan. Frame jelas memusatkan tubuh pejabat, sementara korban dan relawan berada di belakang sebagai latar. Mustahil membayangkan pengungsi yang kelelahan berani menolak ketika anggota rombongan menjepret.
    Sudah menjadi tabiat umum bahwa keterangan yang menyertai unggahan lebih banyak bicara tentang kehadiran pemerintah, bukan rincian langkah struktural untuk memulihkan nasib ratusan ribu pengungsi.
    Pembelaan “memanggul beras bukan pencitraan, tetapi tugas pejabat sesuai Undang-Undang Penanggulangan Bencana” tidak cukup menjawab problem ini. Undang-Undang memang mewajibkan pejabat turun membantu, tetapi tidak pernah memerintahkan setiap gerak dijadikan konten yang memusatkan figur pejabat.
    Justru di titik ini, kepekaan terhadap hierarki kuasa dan martabat korban harus menjadi perhatian utama, termasuk dalam keputusan sederhana: siapa yang diundang ke depan kamera, dan untuk tujuan apa.
    Kontroversi
    political selfie
    di Sumatera sebenarnya menunjukkan tumbuhnya literasi visual publik. Ketika warganet cepat mengenali
    staging
    dan simbolisme yang berlebihan, hal itu secara implisit menunjukkan bahwa medan politik layar sudah tidak bisa lagi dianggap ruang pasif yang hanya menghamburkan agenda simbolis.
    Namun literasi ini perlu diarahkan lebih bermakna, agar kritik tidak berhenti di soal gaya, tetapi menyasar juga pola komunikasi kekuasaan yang mereduksi lokasi bencana menjadi panggung citra.
    Ringkasnya, alih-alih sebagai jembatan informasi yang menyejukkan, praktik
    political selfie
    (amat dikhawatirkan) menggeser fokus dari hak korban ke hak pejabat untuk tampil ‘sempurna’ bak pahlawan di layar. Padahal, dalam bencana sebesar ini, ukuran utama seharusnya terletak kepada seberapa jauh kebijakan yang lahir (setelah kamera dimatikan) mampu memulihkan asa korban dan berdampak signifikan terhadap mitigasi bencana ke depan.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Harga Bawang dan Cabai Melonjak, Mendag Sebut Pasokan Aman

    Harga Bawang dan Cabai Melonjak, Mendag Sebut Pasokan Aman

    Jakarta, Beritasatu.com — Menteri Perdagangan (Mendag) Budi Santoso menyampaikan harga bawang merah serta cabai di sejumlah daerah saat ini tercatat melampaui harga acuan pemerintah (HAP). Meski demikian, ia menekankan bahwa pasokan nasional kedua komoditas tersebut masih aman.

    “Harga rata-rata nasional bawang merah Rp 47.600 per kilogram, sedangkan harga acuan Rp 41.500. Tapi tadi disampaikan (saat rapat) sebenarnya bawang merah itu surplus,” ujar Budi di Kementerian Perdagangan, Senin (8/12/2025), dilansir dari Antara.

    Menurut Budi, kenaikan harga di tingkat nasional dipengaruhi oleh variasi harga antarwilayah, termasuk Papua yang secara konsisten mencatat harga lebih tinggi sehingga mengerek rata-rata nasional.

    Untuk cabai merah dan cabai rawit, Budi menegaskan laporan asosiasi produsen menunjukkan bahwa produksi tidak bermasalah. Namun, kondisi cuaca yang kurang bersahabat membuat proses panen menjadi tidak optimal.

    “Cabai itu tidak kekurangan produksi. Cuma kemarin karena cuacanya tidak bagus, memanennya saja. Memanennya kan tidak bisa setiap saat. Jadi makanya tadi dicari solusinya bagaimana supaya bisa lebih efisien dalam memanennya,” tuturnya.

    Pemerintah, kata Budi, saat ini memfokuskan langkah pada penguatan distribusi dari daerah sentra produksi menuju wilayah konsumsi melalui koordinasi dengan Kementerian Perhubungan, pemerintah daerah, serta pelaku logistik.

    Dari sejumlah laporan pemerintah daerah yang hadir dalam rapat, termasuk Sumatera Utara, pasokan pangan pokok di wilayah yang tidak terdampak bencana dilaporkan tetap terkendali.

    “Kalau yang di luar bencana, tadi disampaikan pasokan cukup dan terkendali. Yang perlu dijaga jangan sampai distribusinya terlambat,” kata Budi.

    Adapun untuk wilayah yang terdampak bencana di Sumatera, pemerintah melakukan penanganan khusus melalui jalur bantuan mengingat sebagian infrastruktur jalan masih dalam proses pemulihan.

    “Kalau di daerah bencana itu kan memang yang kena bencana ditangani khusus dengan bantuan. Tapi di sekitarnya, yang tidak terjadi bencana, pasokan ada, terkendali,” jelasnya.

    Ia juga menyampaikan komoditas daging dan telur berada dalam kondisi surplus berdasarkan laporan asosiasi, sehingga kecil kemungkinan menjadi pemicu inflasi menjelang Natal dan Tahun Baru (Nataru).

    Budi menegaskan pemerintah akan terus memantau perkembangan harga bawang, cabai, dan komoditas pangan strategis lainnya. Ia meminta pemerintah daerah segera berkoordinasi jika terjadi lonjakan harga.

    “Kalau nanti ada lonjakan atau kekurangan pasokan, kita harus cepat komunikasi karena setelah Nataru ada Imlek dan puasa yang waktunya berdekatan,” ujarnya.

    Berdasarkan data Badan Pangan Nasional per Senin, harga cabai rawit merah naik 6,34% menjadi Rp 72.277 per kilogram, cabai merah keriting naik 1,58% menjadi Rp 61.454 per kilogram. Sementara itu, telur ayam ras naik 1,36% menjadi Rp 31.365 per kilogram dan beras medium naik 1,16% menjadi Rp 13.660 per kilogram. Di sisi lain, bawang merah turun 2,64% menjadi Rp 47.729 per kilogram, dan Minyakita turun 0,44% menjadi Rp 17.602 per liter.

  • Warga Aceh di Jakarta Ungkap Kondisi Keluarga: Krisis Beras dan Korban Gugur Saat Cari Makan
                
                    
                        
                            Megapolitan
                        
                        8 Desember 2025

    Warga Aceh di Jakarta Ungkap Kondisi Keluarga: Krisis Beras dan Korban Gugur Saat Cari Makan Megapolitan 8 Desember 2025

    Warga Aceh di Jakarta Ungkap Kondisi Keluarga: Krisis Beras dan Korban Gugur Saat Cari Makan
    Tim Redaksi

    JAKARTA, KOMPAS.com —
     Warga
    Gampong Isaq
    , Kecamatan Linge, Kabupaten Aceh Tengah, mulai mengalami
    krisis pangan
    setelah banjir bandang dan tanah longsor menerjang Aceh, Sumatera Barat, dan Sumatera Utara pada akhir November 2025.
    Yani, seorang warga yang suaminya tinggal di Gampong Isaq, mengatakan kondisi di wilayah tersebut sangat memprihatinkan.
    “Semalam suami baru telpon lagi. Suami telpon dari Kantor Polsek Isaq. Menurut suami keadaan di sana sangat memprihatinkan. Beras sudah tidak ada,” ujar Yani ketika dikonfirmasi
    Kompas.com
    , Senin (8/12/2025).
    Ia menuturkan, sejumlah kebutuhan pokok saat ini dijual dengan harga yang sangat tinggi karena langka.
    “Bensin ada yang jual pun dengan harga Rp 80.000 per liter. Itu pun sudah langka. Minyak goreng ada yg jual dengan harga Rp 100-150 ribu per liter,” lanjutnya.
    Yani kini berada di Jakarta, sementara suaminya, Aulia, tinggal di Gampong Isaq bersama keluarga besar. Ia sebenarnya berencana pulang ke kampung halaman pada Desember ini, namun rencana itu terpaksa tertunda akibat bencana.
    Gampong Isaq merupakan pusat pemerintahan Kecamatan Linge. Ketika banjir melanda, warga dari kampung lain berjalan kaki menuju Gampong Isaq untuk mencari bahan makanan karena jalan rusak dan tak bisa dilalui kendaraan.
    Menurut penuturan suami Yani, ada warga yang meninggal saat berjalan mencari pangan.
    “Banyak (warga) dari kampung-kampung pedalaman Kecamatan Linge yg berjalan kaki ke Gampong Isaq untuk mencari logistik. Menurut cerita suami bahkan ada yang gugur di jalan,” kata Yani.
    Ia mengatakan, logistik baru dapat disalurkan secara maksimal jika jalur darat kembali dibuka. Bantuan dari pemerintah yang tiba pada Kamis (4/12/2025) pun hanya bisa didistribusikan melalui helikopter. Warga sangat membutuhkan beras, tetapi jumlah bantuan yang datang jauh dari cukup.
    “Yang dibutuhkan di sana itu sekarang beras. Karena sudah masuk krisis beras. Bantuan yang masuk ke Isaq tanggal 4 kemarin tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan Gampong Isaq dan sekitar Kecamatan Linge,” ujar Yani.
    “Paling banyak 1 keluarga dpt 1-1,5 liter beras,” tuturnya.
    Bantuan yang tiba pada 4 Desember disalurkan di lapangan bola desa, setelah warga mendapat pemberitahuan dari kepala desa. Hingga kini, itu satu-satunya bantuan dari pemerintah.
    Yani mengungkapkan, keluarganya tinggal di gampong berbeda yang tak terdampak banjir, tetapi ia belum bisa menghubungi kedua orangtuanya. Suaminya sudah memastikan mereka dalam kondisi baik.
    Ia mengatakan hanya kendaraan roda dua yang kini dapat melintasi Isaq menuju Kota Takengon. Tetapi longsor masih terjadi di banyak titik.
    “Semalam pun suami bilang turun hujan kembali dan ada beberapa titik longsor kembali,” ujarnya.
    Lebih dari 11 hari listrik mati di sebagian besar wilayah, termasuk Gampong Isaq.
    “Sampai detik ini listrik belum menyala di semua lokasi. Hanya baru di Kota Takengon itu pun hanya dua titik (yang menyala),” kata Yani.
    Ia berharap pemerintah segera memperbaiki akses jalan penghubung antara Lhoksumawe-Takengon dan jaringan listrik, serta menyalurkan BBM dan pangan secara lebih merata.
    “Gas untuk memasak juga sudah tidak ada. Kayu dijual dgn harga tinggi. Makin tercekik hidup mereka di sana. Tolong pemerintah, Bapak Presiden segera dibantu saudara-saudara kita di Aceh Tengah, Bener Meriah, Gayo Lues,” ujar Yani.
    Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Letjen TNI Suharyanto melaporkan, 37.546 rumah warga rusak akibat banjir dan longsor di Aceh per Minggu (7/12/2025) pukul 19.00 WIB. Kerusakan meliputi kategori ringan, sedang, hingga berat.
    Data tersebut dipaparkan dalam rapat terbatas bersama Presiden Prabowo Subianto di Lanud Sultan Iskandar Muda, Kabupaten Aceh Besar, Minggu (7/12/2025) malam.
    BNPB memperkirakan kebutuhan anggaran pemulihan mencapai Rp 25,41 triliun. Selain itu, Kabupaten Bener Meriah dan Aceh Tengah hingga kini masih terisolasi.
    “Per hari ini, Pak Presiden, rumah masyarakat yang rusak mencapai 37.546. Rusak berat termasuk yang hilang kena sapu banjir. Untuk rusak sedang dan ringan ada kriterianya,” ujar Suharyanto sebagaimana dikutip dari YouTube Sekretariat Presiden.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Swasembada Pangan Kunci Kedaulatan, Sepertiga Masalah Indonesia Bisa Teratasi

    Swasembada Pangan Kunci Kedaulatan, Sepertiga Masalah Indonesia Bisa Teratasi

    Pemerintah menilai solusi utama untuk keluar dari jebakan impor adalah melakukan reformasi menyeluruh pada sistem produksi pangan. Zulhas menyebut tiga faktor kunci yang harus dibenahi, yakni ketersediaan pupuk, infrastruktur irigasi, dan kepastian harga bagi petani.

    Menurutnya, dengan keberpihakan kebijakan yang kuat, pemerintah menilai perbaikan tersebut mulai menunjukkan hasil. Produksi beras nasional meningkat signifikan, sementara ketergantungan impor berhasil ditekan hingga nol pada tahun berjalan.

    “Alhamdulillah tahun lalu kita impor beras 4,5 juta ton tahun ini impornya nol tahun lalu produksi kita 30 juta ton, tahun ini kita produksi kita 34,77 juta ton beras. Kalau tahun lalu kita impor 4,5 juta ton tahun ini kita kelebihan stok 4,77 juta ton tahun ini,” pungkasnya.

  • Biaya Produksi Mahal, Penyebab Indonesia Sering Impor Pangan

    Biaya Produksi Mahal, Penyebab Indonesia Sering Impor Pangan

    Liputan6.com, Jakarta – Menteri Koordinator Bidang Pangan (Menko Pangan)  Zulkifli Hasan mengungkapkan biaya produksi pangan di Indonesia masih jauh lebih tinggi dibanding negara-negara tetangga. Untuk menghasilkan 1 kilogram beras, petani Indonesia harus mengeluarkan biaya sekitar Rp 13.000, sementara di Vietnam ongkos produksi hanya berkisar Rp 4.000 per kilogram.

    “Saya ambil satu contoh kalau kita rakyat kita ini makan nasi dia beli beras untuk mendapatkan 1 kg beras dia mesti membayar Rp 14.000 karena untuk memproduksi 1 kg beras itu kita ongkosnya itu Rp 13.000 Vietnam untuk memproduksi ongkos 1 kg beras itu Rp 4000 nah jauh,” kata Zulkifli Hasan dalam acara Arah Bisnis 2026: Menuju Kedaulatan Ekonomi, di Jakarta, Senin (8/12/2025).

    Kondisi serupa juga terjadi pada komoditas gula. Thailand disebut hanya membutuhkan ongkos sekitar Rp 3.000 untuk memproduksi 1 kilogram gula, sedangkan Indonesia harus merogoh biaya Rp 13.000 hingga Rp 15.000 per kilogram. Selisih yang lebar ini membuat produk pangan domestik kalah bersaing.

    “Thailand itu untuk memproduksi 1 kg gula butuh Rp 3000, Kita untuk menghasilkan 1 kg gula itu ongkosnya Rp 13.000 sampai Rp 15.000 jauh sekali enggak mungkin kita akan maju karena jauh sekali sulit,” ujar dia.

    Menurut Zulkifli, mahalnya biaya produksi tidak hanya menekan daya saing, tetapi juga memicu ketergantungan kronis pada impor. Selama struktur biaya ini tidak dibenahi, Indonesia akan terus berada dalam posisi lemah di pasar pangan global. “Enggak mungkin kita akan maju, karena jauh sekali sulit. Oleh karena itu, kita ketergantungan (impor),” ujarnya.

     

  • Zulhas Siap Kirim Cadangan Beras Bulog 2 Kali Lipat untuk Korban Banjir Sumatra

    Zulhas Siap Kirim Cadangan Beras Bulog 2 Kali Lipat untuk Korban Banjir Sumatra

    Bisnis.com, JAKARTA – Menteri Koordinator Bidang Pangan Zulkifli Hasan menekankan bahwa pemerintah terus memperkuat ketahanan pangan nasional, termasuk percepatan distribusi cadangan pangan ke wilayah-wilayah terdampak bencana di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat.

    Hal itu dia sampaikan saat memberikan sambutan dalam agenda BIG Conference dengan tema “Arah Bisnis 2026: Menuju Kedaulatan Ekonomi” yang digelar Bisnis Indonesia Group di Hotel Raffles, Jakarta pada Senin (8/12/2025).

    Zulhas, sapaan akrabnya, menyinggung duka mendalam akibat bencana alam di tiga provinsi di Sumatra. Dia menyatakan bahwa apa yang dialami para penyintas merupakan luka yang dirasakan bersama seluruh bangsa.

    “Hari-hari ini hari yang cukup berat bagi bangsa Indonesia. Bencana alam menimpa saudara-saudara kita di Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat. Menyebabkan luka yang kita rasakan bersama. Tidak ada kata yang cukup untuk menggambarkan rasa sedih dan pedih,” katanya. 

    Dia menegaskan komitmen pemerintah untuk memastikan tidak ada warga yang ditinggalkan dalam kondisi sulit tersebut.

    “Di tengah cobaan besar ini, kita tidak meninggalkan siapa pun. Kita saling bersama, saling menopang, terus merawat harapan untuk bangkit,” ujarnya.  

    Zulhas optimistis bahwa ketiga provinsi tersebut akan pulih dan kembali melangkah lebih kuat. Dalam konteks pemulihan ekonomi dan sosial, Menko Pangan menyebut sektor pertanian mendapat perhatian khusus dari Presiden Prabowo Subianto.

    Menurutnya, presiden langsung memberikan sejumlah instruksi terkait kondisi pertanian di Aceh, termasuk penanganan industri pendukung, persawahan, hingga kebijakan penghapusan kendala teknis yang menghambat produksi.

    Zulhas juga memastikan bahwa pemerintah telah menggandakan pengiriman cadangan pangan ke daerah terdampak melalui Bulog.

    “Kami juga memastikan pengiriman cadangan pangan dari Bulog dua kali lipat. Kalau biasa seribu ton, tiba-tiba dua ribu ton,” ujarnya. 

    Dia menambahkan bahwa cadangan pangan pemerintah terus disalurkan secara bertahap untuk memenuhi kebutuhan mendesak masyarakat. Zulhas juga menyampaikan harapan agar musibah banjir Sumatra dapat memperkuat solidaritas nasional.

    “Mudah-mudahan apa yang kita alami ini bisa membantu meningkatkan solidaritas,” tandas Zulhas.

  • Update Bencana di Sumatra-Aceh: 921 Meninggal Dunia, 392 Hilang

    Update Bencana di Sumatra-Aceh: 921 Meninggal Dunia, 392 Hilang

    Bisnis.com, JAKARTA – Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) merilis data korban bencana hidrometeorologi di Sumatra Utara, Sumatra Barat, dan Aceh.

    Melansir gis.bnpb.go.id, data per Minggu (08/11/2025), korban jiwa menjadi 921 orang, korban hilang menjadi 392 orang, dan 5 ribu orang luka-luka.

    Secara rinci, di Sumatra Utara korban jiwa menjadi 329 orang, 82 orang hilang, dan 647 orang luka-luka. Berdasarkan kabupaten/kota, korban jiwa di Tapanuli Tengah sebanyak 102 orang, Tapanuli Selatan 85 orang, Kota Sibolga 53 orang, Tapanuli Utara 35 orang, Deli Serdang 17 orang, Kota Medan, 12 orang, Langkat 11 orang, dan Humbang Hasundutan 9 orang.

    Sedangkan dari jumlah pengungsi di Tapanuli Tengah mencapai 18,3 ribu, Langkah 11,4 ribu, Tapanuli Selatan 7,2 ribu, Kota Sibolga 4,3 ribu, dan Humbang Hasundutan 2,3 ribu.

    Di Sumatra Barat, korban jiwa di Agam menjadi 170 orang, Padang Pariaman 21 orang, Kota Padang Panjang 20 orang, Kota Padang 11 orang, dan Pariaman Barat 4 orang.

    Berdasarkan jumlah pengungsi, di Tanah Dasar sebanyak 4,8 ribu jiwa, Pariaman Barat 4,6 ribu jiwa, Pesisir Selatan 2,7 ribu jiwa, dan Solok 2,6 ribu jiwa.

    Di Aceh, korban jiwa menjadi 366 orang, hilang sebanyak 96 orang, dan 4,3 ribu luka-luka. Berdasarkan kabupaten/kota, korban jiwa di Aceh Utara menjadi 128 orang, Aceh Tamiang 57 orang, Aceh Timur 47 orang, Bener Meriah 34 orang, Pidie Jaya 27 orang, Aceh Tengah 23 orang, Bireun 20 orang, Aceh Tenggara 14 orang, Kota Langsa 5 orang, Gayo Lues, 4 orang, dan Kota Lhokseumawe 4 orang.

    Dari sisi jumlah pengungsi di Aceh Utara sebanyak 316,6 ribu jiwa, Aceh Tamiang 262,1 ribu jiwa, Aceh Timur 180 ribu jiwa, Bener Meriah 38,7 ribu jiwa, Pidie 25,8 ribu jiwa, Pidie Jaya 20,1 ribu jiwa, Kota Lhokseumawe 19,6 ribu jiwa, Gayo Lues 14,5 ribu jiwa, Aceh Tengah 13 ribu jiwa, Nagan Raya 8,1 ribu jiwa, dan Aceh Tenggara 5,6 ribu jiwa.

    Kementerian/lembaga dan stakeholder terkait terus menyalurkan bantuan logistik yang didominasi menggunakan jalur udara. Bantuan ini meliputi makanan, air bersih, popok, selimut, obat-obatan, beras, tenda, hingga matras.

    Pasokan bahan bakar minyak pun mulai disuplai melalui jalur darat. Kementerian ESDM mengeluarkan pengecualian penggunaan barcode bagi wilayah yang terdampak.

    Perbaikan listrik juga tengah dilakukan oleh PLN. Selain itu, pemerintah memberikan router Starlink agar akses komunikasi berjalan optimal. 

  • Cerita Warga Huta Nabolon Tapanuli Tengah Bertahan dari Dinginnya Malam Tanpa Pakaian

    Cerita Warga Huta Nabolon Tapanuli Tengah Bertahan dari Dinginnya Malam Tanpa Pakaian

     

    Liputan6.com, Tapanuli Tengah – Banjir bandang menyisakan duka bagi warga di Lingkungan IV, Kelurahan Huta Nabolon, Kecamatan Tukka, Tapanuli Tengah, Sumatera Utara. Beberapa di antara mereka bahkan bertahan di tengah gelap dan dinginnya malam tanpa pakaian bersih. Semua harta benda dan rumah luluhlantak diterpa banjir, kalaupun masih ada yang tersisa, dibagikan kepada tetangga yang lebih membutuhkan. 

    “Pakaian yang sedang kami jemur, kami bagikan semua ke tetangga pak, tidak ada pakaian mereka,” kata Margembira Gultom (41), warga Lingkungan IV, Kelurahan Huta Nabolon, seperti dikutip dari Antara.

    Tidak hanya membagikan pakaian bersih, Margembira juga menjadikan rumahnya sebagai tempat pengungsian darurat, di mana semua fasilitas yang ada bisa dimanfaatkan sepenuhnya oleh para warga sekitar yang terdampak.

    Rumah yang dihuni Margembira bersama ayah, ibu, istri dan seorang anaknya itu selamat dari amukan banjir bandang yang meluluhlantakkan mayoritas rumah dan fasilitas infrastruktur di kawasan Lingkungan IV.

    Hal tersebut dikarenakan rumah sederhana yang beratapkan seng itu berada di sebuah bukit, yang jauh lebih tinggi dari banyak rumah lainnya dan dari alur aliran banjir di Lingkungan IV.

    “30 KK ada yang tinggal bersama kami di sini. Pak tahu tidak, kami delapan liter beras dimasak untuk sekali makan, karena tidak ada lagi lauk saat itu saya potong babi dan lembu ternak kami untuk dibagi-bagikan,” ungkapnya.

    Namun beruntung, ia mengakui bahwa saat ini kondisi mereka saat ini jauh lebih baik karena bantuan logistik kebutuhan pokok sudah mulai tiba, baik dari pemerintah maupun keluarga.

    “Juga sudah ada bantuan genset untuk penerangan. Hanya saja itu pak pakaian bersih dan layak pakai yang dibutuh sekali pakaian kami ini apalagi cuaca masih hujan terus ini air bisa kembali naik,” katanya.

     

  • Akses Darat Terputus, Basarnas Kirim Bantuan ke Pasaman Barat Lewat Jalur Laut

    Akses Darat Terputus, Basarnas Kirim Bantuan ke Pasaman Barat Lewat Jalur Laut

    JAKARTA – Kondisi medan yang sulit ditembus jalur darat membuat beberapa daerah terdampak banjir hanya bisa dijangkau melalui perairan.

    Di tengah situasi tersebut, Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan (Basarnas) mulai mendistribusikan bantuan logistik melalui jalur laut ke dua wilayah terdampak banjir di Kabupaten Pasaman Barat karena akses darat masih belum memungkinkan untuk dilalui.

    Koordinator Pos SAR Pasaman (OSC) Novi Yurandi di Simpang Empat, Minggu, mengatakan bahwa bantuan logistik tersebut dikirim menggunakan Kapal KN SAR 240 Ramawijaya dari Pelabuhan Teluk Bungus Padang menuju Nagari Katiagan dan Maligi.

    “Logistik itu merupakan barang dari posko Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Sumbar yang didistribusikan oleh kapal Basarnas karena masih ada warga terdampak yang sulit dijangkau bantuan melalui darat,” ujarnya.

    Ia menjelaskan total bantuan yang diangkut mencapai 14,3 ton. Di Nagari Katiagan, Kecamatan Kinali, logistik yang diturunkan antara lain mie instan 200 kardus, air mineral 50 kotak, beras, makanan instan, pakaian layak pakai, perlengkapan kebersihan, hingga susu dan perlengkapan bayi.

    Sementara itu, wilayah Maligi di Kecamatan Sasak Ranah Pasisie turut menerima jumlah bantuan yang sama karena masyarakat di daerah tersebut masih sangat terbatas akses kebutuhan dasar akibat banjir.

    Data dari posko komando bencana Pasaman Barat di Nagari Katiagan mencatat banjir yang terjadi sejak 24 November 2025 telah menyebabkan ribuan warga terdampak. Di Katiagan saja, 262 jiwa terpaksa mengungsi dan lebih dari 4.800 jiwa terdampak.

    Di Nagari Maligi, banjir mengakibatkan satu warga terluka, lebih dari 7.000 jiwa terdampak, empat rumah rusak sedang, dan satu jembatan mengalami kerusakan.

    Secara keseluruhan, hingga Sabtu (6/12) malam, banjir dan longsor di wilayah Pasaman Barat telah menyebabkan empat orang meninggal dunia, tiga orang dilaporkan hilang, lima warga terluka, serta 4.365 jiwa harus mengungsi. Total warga terdampak bencana mencapai lebih dari 55 ribu jiwa.

    Selain merendam permukiman, bencana ini juga menyebabkan kerusakan fasilitas umum dan infrastruktur, mulai dari rumah warga, sekolah, tempat ibadah, hingga jembatan dan ruas jalan. Lahan pertanian seluas lebih dari 900 hektare ikut terdampak.

  • Warga di Lebak Iuran Bangun Rumah Nenek yang Tidak Layak Huni

    Warga di Lebak Iuran Bangun Rumah Nenek yang Tidak Layak Huni

    Lebak

    Warga Kampung Turus Elor, Desa Sukadaya, Kecamatan Cikulur, Kabupaten Lebak, Banten kompak melakukan aksi yang patut ditiru. Mereka secara bersama-sama membangun rumah milik Kanapiah (52) yang nyaris roboh.

    Warga setempat bernama Saen merasa khawatir melihat kondisi rumah Kanapiah karena dinding sudah bolong, atap bocor dan kayu sudah lapuk dimakan usia. Atas kondisi itu, para warga kemudian iuran untuk melakukan perbaikan.

    “Kami kumpulkan bantuan seikhlasnya, baik kayu, bambu, maupun uang. Alhamdulillah sampai sekarang terkumpul lebih dari Rp 6 juta,” katanya, Minggu (7/12/2025).

    Saen menyebut jika rumah itu dibiarkan lama, khawatir membuat penghuni rumah tertimpa bangunan. Tindakan ini, katanya, bagian dari bentuk kepedulian sesama warga.

    “Selain soal kebersamaan, ini bentuk kepedulian kepada tetangga yang hidupnya kurang mampu, kami saling bantu semampunya,” tambahnya.

    “Kalau pemerintah mau ikut membantu, kami sangat terbuka,” katanya

    Kanapiah mengaku sudah 20 tahun tinggal di rumah yang tidak layak bersama dengan enam anaknya. Ia mengatakan suaminya sebagai tulang punggung keluarga telah meninggal dunia beberapa tahun lalu.

    Sebagai kepala rumah tangga, Kanapiah tidak memiliki pekerjaan tetap. Sisa-sisa tenaganya hanya bisa diandalkan oleh orang lain untuk menanam padi, yang hanya mendapatkan penghasilan Rp 20 ribu sehari.

    “Penghasilan saya cuma Rp 20 ribu sehari, itu juga kalau lagi musim tanam padi, kalau enggak ya hanya bisa pasrah,” katanya.

    “Kami sekeluarga pernah enggak makan juga, karena enggak ada uang buat beli beras,” tambahnya.

    Ia mengaku sempat meminta bantuan kepada pemerintah untuk melakukan perbaikan rumah. Namun sampai saat ini, bantuan tak terealisasikan.

    “Dulu pernah difoto-foto dari desa, tapi sampai sekarang tidak ada bantuan,” katanya.

    (whn/whn)