Produk: Batu Bara

  • China, Raksasa Energi Bersih yang Enggan Pimpin Aksi Iklim Global

    China, Raksasa Energi Bersih yang Enggan Pimpin Aksi Iklim Global

    B

    Setelah Donald Trump dilantik sebagai presiden Amerika Serikat (AS), perintah eksekutif pertama yang ia bubuhkan justru membuka jalan bagi keluarnya AS dari Perjanjian Paris—kesepakatan global yang dibangun susah payah untuk membatasi pemanasan global dan memperlambat perubahan iklim.

    Sejak saat itu, serangkaian kebijakan iklim diputar balik: program energi bersih dipangkas, regulasi emisi dilucuti.

    Tindakan Trump menandai mundurnya AS dari perang melawan krisis iklim di dunia. Padahal, ekonomi terbesar dunia itu sebelumnya memainkan peran kunci dalam merundingkan kesepakatan iklim bersejarah Paris di bawah pemerintahan Barack Obama, sementara Joe Biden, bertahun kemudian, meloloskan paket legislatif untuk mendorong pengembangan energi hijau dan memangkas emisi secara domestik.

    Ketika Amerika angkat kaki, kevakuman yang tercipta menunggu munculnya pemimpin baru. Mata dunia pun beralih ke penghasil emisi gas rumah kaca terbesar: China.

    Beijing sejatinya bukan kandidat alami untuk memimpin aksi iklim global. Betapapun juga, China masih giat menambah deretan pembangkit batu bara untuk mengamankan suplai energi nasional.

    Namun di sisi lain, negeri tirai bambu itu juga tumbuh sebagai raksasa energi bersih.

    “China memproduksi sebagian besar produk teknologi bersih yang dibutuhkan dunia untuk mendekarbonisasi,” kata Li Shuo, direktur China Climate Hub di Asia Society Policy Institute (ASPI) yang berbasis di AS.

    China mendominasi pasar energi bersih

    China kini memproduksi lebih dari 85% panel surya dunia dan mendominasi pasar kendaraan listrik (EV) serta teknologi baterai. Hanya pada tahun 2024, negara ini menginvestasikan $625 miliar (sekitar Rp10,44 kuadriliun) dalam teknologi bersih, tertinggi di antara semua negara.

    “Mereka menyadari sekitar 20 tahun lalu bahwa teknologi bersih punya nilai strategis dan mereka bisa memanfaatkan keahlian serta kekuatan industri yang sedang mereka bangun untuk benar-benar mengembangkan sektor-sektor ini dan mendapatkan keunggulan strategis,” kata Chris Aylett, peneliti di Environment and Society Centre, think tank Chatham House yang berbasis di London.

    Strategi ini membuahkan hasil. Industri energi bersih berkontribusi sekitar seperempat dari pertumbuhan PDB China tahun lalu, dan angka itu bisa berlipat ganda dalam satu dekade ke depan. Hal ini sebagian karena pergeseran global menuju energi bersih yang mempercepat permintaan teknologi dan peralatan, kata Muyi Yang, analis energi senior untuk Asia di think tank energi global Ember.

    “China sebenarnya dapat memenuhi permintaan itu dengan menyediakan teknologi yang lebih terjangkau dan lebih inovatif,” ujarnya kepada DW, menambahkan bahwa langkah ini tidak hanya mempercepat transisi energi China sendiri tetapi juga memfasilitasi perubahan secara global.

    Pengaruh China mengalir ke Global South

    Kapasitas energi terbarukan domestik China telah berkembang pesat. Tenaga angin dan surya tercatat memenuhi 84% dari permintaan listrik baru pada 2024.

    Kemampuan China memproduksi panel surya secara murah juga terlihat di negara-negara di belahan Bumi Selatan atau Global South. Pada tahun yang sama, impor panel surya dari China meningkat 32 persen, melampaui pengiriman ke negara industri maju di belahan utara.

    Negara-negara yang mengimpor teknologi bersih dari China termasuk pasar berkembang besar seperti Brasil, Meksiko, dan Pakistan. Pertumbuhan pesat juga terlihat di pasar Asia Tenggara dan seluruh Afrika.

    Aylett mencatat bahwa meskipun impor energi hijau ini membantu negara-negara memenuhi target iklim mereka, pertimbangan yang lebih “praktis” kemungkinan besar mendorong tren tersebut.

    “Ini bagus untuk ketahanan energi,” katanya, menambahkan bahwa negara-negara kemungkinan berpikir, “Kami sebenarnya tidak ingin mengimpor minyak dan gas. Harganya tidak stabil, kami tidak tahu asalnya dari mana, dan kami tidak bisa yakin dengan pemasoknya.”

    Secara keseluruhan, lonjakan ekspor teknologi terbarukan China memiliki efek terukur, membantu mengurangi emisi karbon global sebesar 1% pada 2024.

    Melampaui target yang ‘tidak ambisius’

    Namun, tidak semuanya positif. Para pengamat mengkritik target pengurangan emisi China karena dianggap tidak ambisius. Emisi global mencapai rekor tertinggi tahun ini, dengan cuaca ekstrem meningkat di seluruh dunia. Para ilmuwan kini memperingatkan bahwa pada awal 2030-an, dunia kemungkinan akan melampaui batas 1,5 derajat Celsius (2,7 Fahrenheit), yang berpotensi memicu kerusakan iklim yang tidak dapat diubah.

    Di bawah Perjanjian Paris, negara-negara berkomitmen membatasi kenaikan suhu global jauh di bawah 2°C dan berusaha menjaga pemanasan di bawah 1,5°C. Untuk tetap pada jalurnya, negara-negara wajib mengajukan target pengurangan emisi baru setiap lima tahun.

    Namun, target China yang baru diajukan, yang menjanjikan pengurangan emisi gas rumah kaca secara keseluruhan sebesar 7-10%, jauh dari cukup untuk menghentikan pemanasan global pada level yang berpotensi katastrofik.

    Meski demikian, negara ini memiliki sejarah menetapkan target rendah tetapi melampauinya.

    Angka-angka ini mungkin tampak tidak ambisius, “Tetapi jika dilihat lebih dalam, Anda bisa melihat semua perubahan ini yang merupakan tindakan yang dibutuhkan untuk mencapai target tersebut,” kata Aylett kepada DW.

    Pada 2020, Presiden China Xi Jinping berjanji negara itu akan mencapai puncak emisi pada akhir dekade ini, target yang diyakini para ahli sudah atau hampir tercapai lima tahun lebih cepat. Itu, bersama dengan tercapainya target pengurangan emisi absolut pertama mereka, merupakan langkah maju yang baik, kata Yang.

    “Ini semua tanda positif bahwa transisi di konsumen energi terbesar dunia sedang mempercepat dan memperdalam, bukan melambat, dan itu berita sangat baik untuk seluruh dunia,” ujarnya.

    Memimpin diplomasi iklim internasional

    Namun, meski ada kemajuan, Beijing belum sepenuhnya mengambil peran sebagai pemimpin diplomasi iklim global. Meskipun penyebaran energi terbarukan dan pembiayaan teknologi bersih di luar negeri “secara tidak langsung merupakan bentuk kepemimpinan,” kata Aylett, ada “keengganan” untuk secara resmi mengambil peran itu.

    “Saya tidak tahu apakah itu konsep yang benar-benar nyaman bagi mereka,” tambahnya.

    Sebaliknya, Yang dari Ember menggambarkan upaya iklim China terutama fokus pada percepatan transisi sendiri dan pendekatan “memimpin dengan memberi contoh.”

    Secara resmi, China terus mendorong keterlibatan AS dalam isu iklim. Pada KTT iklim COP30 di Belem, kepala delegasi China, Li Gao, menyatakan harapannya agar negara itu kembali berpartisipasi dalam pembicaraan iklim.

    “Mengatasi perubahan iklim membutuhkan semua negara. Kami berharap suatu hari, dan kami juga percaya bahwa suatu hari di masa depan, AS akan kembali,” kata Gao.

    Artikel ini pertama kali terbit dalam bahasa Inggris
    Diadaptasi oleh Rahka Susanto
    Editor: Rizki Nugraha

    (nvc/nvc)

  • Kemenkeu Akui Perjanjian Dagang Gerus Penerimaan Negara

    Kemenkeu Akui Perjanjian Dagang Gerus Penerimaan Negara

    Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah menyatakan bahwa risiko penurunan penerimaan negara akibat tarif impor Amerika Serikat (AS) dan sejumlah perjanjian perdagangan bebas menjadi motif pemerintah untuk memperluas basis penerimaan dari kepabeanan dan cukai pada 2026. 

    Direktur Jenderal Strategi Ekonomi dan Fiskal Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Febrio Nathan Kacaribu, pada rapat Komisi XI DPR, Senin (17/11/2025) memaparkan, penerimaan bea cukai tahun depan yang ditargetkan Rp336 triliun diperkirakan terdampak akibat respons pemerintah terhadap dinamika global.

    Dinamika dimaksud utamanya adalah pengenaan bea masuk impor atau tarif resiprokal AS. Dalam hal ini, produk dan komoditas asal Indonesia bakal dikenakan tarif atau bea masuk impor sebesar 19%. Sebaliknya, produk maupun komoditas asal AS yang masuk ke RI dikenai tarif 0%.

    Sejalan dengan itu, pemerintah pun menandatangani sejumlah perjanjian ekonomi komprehensif (CEPA), salah satunya yakni dengan Uni Eropa atau IEU-CEPA. Manuver itu untuk mengimbangi dinamika tarif AS, sehingga Indonesia diharapkan memperluas pasar ekspornya. 

    Kendati demikian, konsekuensi dari penandatanganan CEPA itu, Indonesia dan Uni Eropa juga akan saling memberikan insentif dalam hal ini membebaskan bea masuk pengiriman barang oleh satu sama lain. 

    “Ke depan akan menjadi sumber risiko pendapatan negara, kenapa? Karena kami harus memberikan konsesi-konsesi dalam konteks perjanjian dagang dengan Amerika dan juga termasuk Eropa. Kemarin sudah ditandatangani IEU-CEPA di mana di sana akan banyak penurunan bea masuk dan bea keluar untuk mendorong pertumbuhan ekonominya,” terang Febrio di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, dikutip Selasa (18/11/2025). 

    Saat ini pun, lanjut Febrio, pemerintah Indonesia masih mendorong penyelesaian negosiasi dengan AS. Selain menyusun legal drafting, pemerintah turut mengupayakan agar komoditas asli Indonesia seperti kakao hingga sawit, serta terbaru tekstil dan alas kaki, dikecualikan dari tarif 19%. 

    Ke depan, Dirjen Kemenkeu lulusan Universitas Indonesia (UI) meyakini pertumbuhan ekspor Indonesia masih akan positif. Optimisme itu terlihat dari kinerja PDB kuartal III/2025, di mana ekspor tumbuh hingga 9,91% (yoy).  Akan tetapi, perlu dicatat pertumbuhan tinggi itu sebab eksportir melakukan frontloading guna menghindari tarif 19% ke AS. 

    Dengan potensi turunnya pemasukan sebab tarif AS dan IEU-CEPA, pemerintah pun berharap peluang penerimaan kepabeanan dan cukai lain. Oleh sebab itu, pemerintah berencana mengenakan bea keluar untuk emas dan batu bara, serta cukai MBDK. 

    Di sisi lain, tahun ini juga pemerintah telah mendapatkan sumber penerimaan kepabeanan baru dalam konteks bea keluar. Contohnya, bea keluar tembaga sejalan dengan Kementerian ESDM yang mengizinkan ekspor konsentrat untuk sementara waktu. 

    “Di mana konsentrat tembaga dikenakan bea keluar sehingga ada pendapatan dari sana, tetapi itu sifatnya tidak permanen. Kenapa? Karena arah kebijakan hilirisasi tetap kami dorong,” terang Febrio. 

    Resilien

    Menurut ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Yusuf Rendy Manilet, prospek ekspor Indonesia diperkirakan tetap cerah di tengah penerapan tarif 19%. Hal itu kendati beberapa komoditas tertentu diperkirakan bakal tetap tertekan seperti perikanan, minyak sawit olahan, dan komponen otomotif. 

    Yusuf memperkirakan, penurunan ekspor awal pada Januari–Agustus 2025 sebesar 12,4% bisa distabilkan melalui peningkatan impor energi dan produk pertanian dari AS. Nilainya bisa mencapai US$15 miliar. 

    “Strategi ini membantu menjaga akses pasar sekaligus menyeimbangkan neraca perdagangan jangka pendek,” terangnya kepada Bisnis, Selasa (18/11/2025). 

    Kemudian, terkait dengan dampak IEU-CEPA, sekaligus sejumlah perjanjian perdagangan bebas dengan UAE, EFTA, Kanada dan Australia, turut diperkirakan berdampak signifikan secara teknis terhadap ekspor Indonesia. 

    Sebab, perjanjian perdagangan bebas itu mencakup penghapusan lebih dari 98% tarif pada produk ekspor strategis. Penerapan tarif 0% untuk ekspor Indonesia ke negara-negara dimaksud diyakini bisa meningkatkan daya saing harga, tetapi juga membuka peluang penetrasi pasar yang sebelumnya terhambat hambatan non-tarif. 

    Dia memperkirakan komoditas seperti minyak sawit, perikanan, dan komponen otomotif mengalami ekspansi volume ekspor secara substansial. 

    “Secara kuantitatif, proyeksi pertumbuhan ekspor dapat mencapai 8–10% pada 2026, dengan kontribusi ekspor terhadap PDB tetap di kisaran 23–24%,” jelas Yusuf.

    Kendati berkontribusi terhadap PDB, kebijakan baru dalam hal kepabenan ini bakal menekan penerimaan APBN dari sektor tersebut. Pada APBN 2026, target penerimaan kepabeanan dan cukai yakni Rp336 triliun. 

    “Meskipun pendapatan kepabeanan hingga Maret 2025 masih tumbuh 9,6% menjadi Rp77,5 triliun berkat meningkatnya volume perdagangan, potensi pengurangan tarif dari CEPA dan impor bebas tarif dari AS bisa menurunkan revenue secara signifikan jika tidak diimbangi oleh peningkatan volume perdagangan dan investasi asing langsung,” ungkapnya.

  • Sampai November 2025, Sektor Tambang Setor Rp114 Triliun ke Negara

    Sampai November 2025, Sektor Tambang Setor Rp114 Triliun ke Negara

    Jakarta, CNBC Indonesia – Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) membeberkan bahwa Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari sektor mineral dan batu bara (minerba) sudah tembus Rp 114 triliun per 15 November 2025.

    Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara (Dirjen Minerba) Kementerian ESDM Tri Winarno mengatakan, per 15 November 2025, PNBP Minerba telah mencapai 92% dari target PNBP Minerba tahun 2025 yang ditetapkan sebesar Rp 124 triliun.

    “PNBP sektor minerba sudah 92% atau Rp 114 triliun hingga 15 November 2025,” kata Tri ditemui di Kantor Kementerian ESDM, Jakarta, Selasa (18/11/2025).

    Sebelumnya, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia mencatat Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari sektor Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) hingga 10 November 2025 telah mencapai Rp 200,66 triliun.

    Menurut Bahlil, jumlah tersebut telah mencapai sekitar 78,74% dari target yang ditetapkan pada tahun ini, yakni sebesar Rp 254,83 triliun.

    “Kita alhamdulillah dari target sudah realisasi 78,74% dari target PNBP dan saya laporkan ke pimpinan dan anggota insya Allah target PNBP ini tercapai 31 Desember,” kata Bahlil dalam Rapat Kerja (Raker) bersama Komisi XII DPR RI, Selasa (11/11/2025).

    Bahlil mengakui harga komoditas energi global, termasuk minyak mentah dan batu bara, secara umum tengah berada dalam tren penurunan atau cenderung melemah. Namun, ia tidak ingin penurunan harga berdampak pada penerimaan negara.

    “Kami tidak mau menjadikan penurunan harga ICP (harga minyak mentah Indonesia) mengurangi target pendapatan negara karena negara lagi butuh pembiayaan termasuk ESDM kami patok target APBN dalam PNBP sudah 78,74%,” katanya.

    Kementerian ESDM mencatat, PNBP sektor ESDM mencapai Rp 269,65 triliun pada 2024,, di atas target yang ditetapkan sebesar Rp 238,39 triliun.

    Rinciannya, PNBP sektor migas pada 2024 sebesar Rp 110,92 triliun, minerba Rp 113,54 triliun, panas bumi Rp 2,84 triliun, dan lain-lain Rp 15,44 triliun.

    (wia)

    [Gambas:Video CNBC]

  • ESDM Ungkap Rencana Pangkas Produksi Batu Bara-Nikel Tahun Depan

    ESDM Ungkap Rencana Pangkas Produksi Batu Bara-Nikel Tahun Depan

    Jakarta

    Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengungkapkan adanya kemungkinan untuk menurunkan target produksi batu bara hingga nikel pada tahun 2026.

    Namun, Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara (Minerba) Kementerian ESDM Tri Winarno mengungkap secara detil pengurangan produksi tersebut.

    “(Rencana pangkas produksi) Kayanya begitu. Hilalnya belum nampak, termasuk nikelnya juga,” katanya saat ditemui di Kementerian ESDM, Jakarta, Selasa (18/11/2025).

    Meski target produksi dipangkas, Tri menegaskan pemenuhan kebutuhan dalam negeri tetap aman.

    “Kalau dalam negeri yang penting aman,” katanya.

    Di sisi lain, Tri menyebutkan bahwa Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari sektor mineral dan batu bara (minerba) per 15 November 2025 sudah mencapai Rp 114 triliun. Angka tersebut sebesar 92% dari target tahun ini yakni Rp 124 triliun.

    “PNBP sudah 92% sudah Rp 114 triliun untuk minerba per tanggal 15 November,” katanya.

    (acd/acd)

  • Aturan TKDN Baru Mulai Disosialisakan, Pelaku Industri Dapat Relaksasi

    Aturan TKDN Baru Mulai Disosialisakan, Pelaku Industri Dapat Relaksasi

    Jakarta

    Kementerian Perindustrian bersama PT SUCOFINDO (Persero) menyosialisasikan aturan baru terkait sertifikasi Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) dan Bobot Manfaat Perusahaan (BMP). Sosialisasi dilakukan secara hybrid dan diikuti asosiasi serta pelaku industri.

    Aturan baru ini tertuang dalam Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 35 Tahun 2025. SUCOFINDO yang menjadi verifikator independen menegaskan komitmen mendukung peningkatan penggunaan produk dalam negeri.

    Kepala Bagian Fasilitasi Kandungan Lokal PT SUCOFINDO (Persero) Andi Lukman Hakim menjelaskan bahwa implementasi Program Peningkatan Produk Dalam Negeri (P3DN) melalui sertifikasi TKDN dan BMP berperan penting dalam memperkuat industri.

    “Regulasi ini merupakan bentuk keberpihakan pemerintah untuk melindungi industri dalam negeri, sekaligus memberikan kemudahan dalam proses penerbitan sertifikat maupun tata cara perhitungan TKDN,” ujar Andi Lukman Hakim dalam keterangannya, Selasa (18/11/2025).

    Ia menambahkan, “Hal ini membuka peluang bagi produk dalam negeri untuk berkontribusi lebih luas di berbagai sektor seperti, sektor ketenagalistrikan, minyak dan gas bumi, mineral dan batu bara, pertahanan, pendidikan dan sektor komersial lainnya.”

    Andi menegaskan komitmen lembaganya. “SUCOFINDO akan terus komitmen untuk mendukung penerapan Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 35 Tahun 2025 sesuai dengan peran kami sebagai lembagai verifikasi independen TKDN dan BMP.”

    Dari sisi pemerintah, Kepala Pusat P3DN Kemenperin Heru Kustanto menyampaikan bahwa implementasi TKDN menjadi bukti nyata pemberdayaan industri nasional, sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2018.

    “Setiap produk dalam negeri harus dibuktikan melalui verifikasi TKDN yaitu diproduksi oleh perusahaan yang berinvestasi dan berproduksi di Indonesia, menggunakan seluruh/sebagian tenaga kerja warga negara Indonesia dan menggunakan seluruh atau sebagian bahan baku dalam negeri,” jelas Heru.

    Heru menambahkan bahwa perhitungan TKDN kini dipermudah. “Penghitungan TKDN kini lebih sederhana, tidak lagi menggunakan pendekatan biaya secara keseluruhan kecuali untuk TKDN Jasa Industri yang tetap berbasis biaya.”

    Untuk industri kecil, ada tambahan relaksasi. “Pelaku usaha industri kecil kini dapat memperoleh nilai TKDN di atas 40% melalui metode self declare dengan masa berlaku sertifikasi selama 5 tahun.”

    Ia menegaskan bahwa hanya produk hasil produksi industri dalam negeri yang dapat dinilai. “Barang harus sesuai dengan klasifikasi baku lapangan usaha Indonesia yang tercantum dalam Perizinan Berusaha,” tutup Heru.

    (fdl/fdl)

  • DPR Vs Kemenkeu Soal Pengenaan Bea Keluar untuk Batu Bara dan Emas

    DPR Vs Kemenkeu Soal Pengenaan Bea Keluar untuk Batu Bara dan Emas

    Bisnis.com, JAKARTA — Komisi XI DPR dan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) sempat berselisih pendapat terkait pembahasan regulasi rencana pengenaan tarif bea keluar untuk komodotas emas dan batu bara.

    Adapun DPR meminta Kemenkeu berkoordinasi dengan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) terkait dengan pengenaan bea keluar emas dan batu bara. 

    Wakil Ketua Komisi XI DPR Fauzi Amro menyatakan secara prinsip sepakat dengan rencana pemungutan bea keluar untuk ekspor emas, batu bara, maupun cukai untuk minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK), akan menambah pendapatan negara di 2026. 

    Apalagi, lanjut Fauzi, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kemenkeu menyebut Indonesia mengalami penurunan pendapatan negara dari sektor kepabeanan dan cukai sekitar 8,5%. 

    “Harapan kami karena sektornya di ESDM, apakah bapak pernah berkomunikasi? Itu pertanyaan dasar jangan sampai PMK [Peraturan Menteri Keuangan] yang diterbitkan tanpa melibatkan kementerian teknis. Mereka yang secara teknis hafal betul situasi batu bara dan emas,” jelasnya pada rapat bersama Direktorat Jenderal Strategi Ekonomi dan Fiskal Kemenkeu, di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Senin (17/11/2025). 

    Sementara itu, Ketua Komisi XI DPR Mukhamad Misbakhun mewanti-wanti agar pembahasan aturan turunan dari UU APBN 2026 terkait dengan pengenaan bea keluar batu bara dan emas, termasuk cukai MBDK, sejalan dengan yang sudah disepakati pada rapat-rapat sebelumnya.

    Misbakhun menegaskan bahwa sesuai dengan apa yang diamanatkan sebelumnya, bahwa perluasan pengenaan bea masuk dan pungutan cukai itu dilakukan pada APBN 2026. “Ini diterapkan pada APBN 2026, bukan APBN 2025,” kata Politisi Partai Golkar itu.

    Jawaban Kemenkeu

    Adapun Direktur Jenderal Strategi Ekonomi dan Fiskal Kemenkeu Febrio Nathan Kacaribu memaparkan bahwa regulasi pengenaan bea keluar emas itu akan tertuang dalam rancangan Peraturan Menteri Keuangan (RPMK) yang sudah dalam tahap finalisasi. Produk emas yang nantinya bakal dikenai tarif ekspor merupakan usulan dari Kementerian ESDM. 

    “Kami sudah laporkan bahwa saat ini PMK untuk penetapan bea keluar dari emas ini sudah dalam proses hampir pada titik akhir. Saat ini yang ada di dalam RPMK tersebut adalah pengenaan bea keluar terhadap dore, granules, cast bars dan minted bars,” terang Febrio pada rapat kerja Komisi XI DPR, Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Senin (17/11/2025).

    Febrio memaparkan bahwa PMK untuk bea keluar emas rencananya diundangkan pada November 2025, dan diberlakukan dua minggu sejak diundangkan. Setelah terbitnya PMK, peerintah akan menyiapkan implementasi di lapangan dengan penyusunan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) serta Keputusan Menteri Perdagangan (Kepmendag) terkait dengan Harga Patokan Ekspor (HPE) emas. 

    Secara terperinci, pos tarif empat produk emas itu berkisar dari 7,5% sampai dengan 15% tertinggi. Febrio menyebut pemerintah menetapkan kisaran harga sesuai dengan naik-turun harga produk tersebut supaya negara turut berpotensi menerima windfall profit. 

    Kisaran tarif terendah dan tertinggi bea keluar yang ditetapkan itu tergantung dari harga emas dore, granules, cast bars maupun minted bars saat itu. Apabila harga sedang di bawah dari US$3.200 per troy ounce, maka dikenaik tarif terendah. Namun, apabila harga menyentuh lebih dari US$3.200 per troy ounce maka dikenai tarif tertinggi. 

    Pertama, untuk dore atau bentuk bongkah, ingot, batang tuangan dan bentuk lainnya dikenakan 12,5% sampai dengan 15%. Kedua, emas atau paduan emas dalam bentuk tidak ditempa berbentuk granules dan bentuk lainnya, tidak termasuk dore dikenai tarif 12,5% sampai dengan 15%. 

    Ketiga, emas atau paduan emas dalam bentuk tidak ditempa berbentuk bongkah, ingot, dan cast bars. tidka termasuk dore dikenai tarif berkisar 10% sampai dengan 12,5%. 

    Keempat, minted bars dikenai tarif 7,5% sampai dengan 10%. “Ketika harganya naik cukup tinggi, kami harapkan juga tarifnya lebih tinggi sehingga pendapatan negaranya bisa terjadi lebih tinggi juga. Nanti akan ditetapkan penyusunan Permendag dan Kepemndag terkait dengan harga patokan ekspor emasnya,” jelas Febrio.

    Skema pengenaan tarif bea masuk juga tidak hanya berdasarkan harga berlaku. Produk yang masih dalam bahan mentah akan semakin mahal bea keluarnya. Febrio mengungkap skema pengenaan tarif itu sejalan dengan upaya hilirisasi sehingga eskportasi produk yang sudah diolah atau setengah jadi atau jadi akan mendapatkan insentif. 

    “Yang granul juga ada tarifnya lebih tinggi dibandingkan kalau semakin hilir. Ketika dia sudahdalam bentuk ingot dan juga cast bars itu tarifnya lebih rendah, apalagi kalau sudah dibuat dalam bentuk minted bars,” papar Febrio.

  • Trump Ngamuk! AS Siap “Hajar” Negara yang Berbisnis dengan Rusia

    Trump Ngamuk! AS Siap “Hajar” Negara yang Berbisnis dengan Rusia

    Jakarta, CNBC Indonesia – Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump pada Minggu (16/11/2025) mengumumkan bahwa Partai Republik sedang menyusun undang-undang baru yang sangat keras, yang bertujuan menjatuhkan sanksi terhadap negara manapun di dunia yang tetap menjalin hubungan dagang dengan Rusia.

    Pengumuman ini menandai eskalasi signifikan dalam upaya AS untuk menekan Kremlin di tengah konflik yang berlarut-larut di Ukraina.

    Trump, ketika ditanya apakah sudah waktunya Kongres bertindak lebih keras terhadap Rusia, memberikan persetujuannya terhadap inisiatif dari anggota parlemen Republik.

    “Saya dengar mereka sedang melakukannya, dan itu tidak masalah bagi saya,” ujar Trump, dilansir Newsweek, Senin (17/11/2025).

    Langkah ini diambil setelah upaya Trump yang memposisikan dirinya sebagai “pembuat perdamaian” dalam konflik Ukraina-Rusia tidak membuahkan hasil, dan Presiden Rusia Vladimir Putin justru meningkatkan serangan. Desakan dari Ukraina dan sekutu-sekutu Eropa agar Trump mengambil tindakan yang lebih tegas kian meningkat.

    Trump menekankan bahwa undang-undang yang sedang dipersiapkan di Kongres AS ini akan memiliki cakupan yang sangat luas dan tegas. Sanksi ini tidak hanya menargetkan negara-negara yang membeli energi Rusia, tetapi juga negara-negara yang terlibat dalam perdagangan militer dan komoditas lainnya.

    “Mereka sedang mengesahkan undang-undang, Partai Republik sedang mengajukan undang-undang yang sangat keras, memberi sanksi dan lain-lain pada negara mana pun yang berbisnis dengan Rusia,” tegas Trump.

    “Negara manapun yang berbisnis dengan Rusia akan dikenakan sanksi yang sangat berat.”

    Sanksi baru ini diperkirakan akan menimbulkan dampak luas, bahkan mencakup beberapa sekutu AS sendiri. Data menunjukkan bahwa pelanggan energi utama Rusia adalah China (pembeli batu bara dan minyak mentah dominan), Turki (pembeli produk minyak utama), dan Uni Eropa (pembeli gas alam cair/LNG terbesar).

    Selain itu, sekutu AS di Asia seperti Jepang, Singapura, dan Korea Selatan juga tercatat membeli sejumlah kecil energi Rusia.

    Selain energi, negara-negara seperti India, Iran, China, Vietnam, dan Mesir juga diketahui membeli senjata dari Rusia, yang membuat mereka berpotensi menjadi target sanksi AS.

    Dmitry Medvedev, Wakil Ketua Dewan Keamanan Rusia, sebelumnya pada Oktober telah bereaksi terhadap sanksi AS dengan menegaskan bahwa AS adalah musuh Rusia, dan upaya damai yang dilakukan oleh Trump kini telah sepenuhnya mengambil jalur perang.

    Sementara itu, China, melalui juru bicara Kementerian Luar Negeri Guo Jiakun, selalu menekankan bahwa penyelesaian krisis Ukraina hanya dapat dicapai melalui “dialog dan negosiasi, bukan paksaan dan tekanan.”

    (tps/luc)

    [Gambas:Video CNBC]

  • PLTU Adipala Terapkan Digitalisasi, Pasokan Biomassa Lebih Terjamin

    PLTU Adipala Terapkan Digitalisasi, Pasokan Biomassa Lebih Terjamin

    Sebelumnya, PT PLN Energi Primer Indonesia (PLN EPI) berinovasi dalam menjaga pasokan energi primer nasional, salah satunya dengan mengelolaan limbah menjadi sumber energi baru dan terbarukan (EBT).

    Direktur Utama PLN Energi Primer Indonesia, Rakhmad Dewanto, mengatakan, pengembangan biomassa melalui pemanfaatan limbah merupakan bagian penting dari strategi dekarbonisasi PLN Group. Langkah ini juga menjadi kontribusi PLN terhadap target Nationally Determined Contribution (NDC) 2030 dan Net Zero Emission 2050.

    “Pengembangan biomassa di PLN Group yang dilaksanakan oleh PLN Energi Primer Indonesia adalah salah satu upaya nyata mengurangi emisi karbon nasional,” kata Rakhmad, Selasa (28/10/2025).

    Dalam mengembagkan limbah menjadi sumber EBT PLN EPI menggandeng PT Farmindo Multi Dimensi. Kerja sama ini menjadi langkah strategis PLN EPI dalam memperkuat ekosistem bioenergi dan biomassa di Indonesia, sekaligus mendukung target pemerintah mencapai Net Zero Emission (NZE) 2060.

    Potensi bioenergi Indonesia sangat besar, baik dari limbah pertanian, limbah industri, maupun tanaman energi. Jika dikelola optimal, limbah yang selama ini tidak bernilai dapat menjadi sumber energi sekaligus mengurangi emisi,” ujar Rakhmad.

    Rakhmad menjelaskan, saat ini PLN telah menerapkan cofiring biomassa di 52 unit PLTU dengan target pemanfaatan hingga 10 juta ton biomassa di tahun 2030. Selain itu, PLN juga tengah mengembangkan pembangkit biomassa, pembangkit berbasis sampah, dan biogas dengan total kapasitas hampir 1 Gigawatt (GW).

    “PLN EPI bertanggung jawab memastikan seluruh pasokan energi primer bagi pembangkit PLN Group. Kami suplai batu bara sekitar 100 juta ton per tahun dan gas hampir 1.400 juta kaki kubik per hari. Kini, Kami mulai mendorong bioenergi sebagai sumber pasokan baru yang berkelanjutan,” tambahnya.

     

  • ESDM Pertimbangkan Naikkan DMO Batu Bara di Atas 25%, Ini Alasannya

    ESDM Pertimbangkan Naikkan DMO Batu Bara di Atas 25%, Ini Alasannya

    Jakarta, CNBC Indonesia – Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) membuka peluang menggenjot persentase kewajiban penjualan batu bara untuk pasar domestik alias Domestic Market Obligation (DMO) menjadi lebih dari 25%.

    Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia menjelaskan, rencana ini sejalan dengan proyeksi kebutuhan batu bara di dalam negeri yang akan semakin meningkat, seperti untuk kebutuhan pembangkit listrik PT PLN (Persero), maupun untuk industri pupuk, semen, dan lainnya.

    Di sisi lain, menurutnya rencana kenaikan volume DMO batu bara ini juga akan mendongkrak harga batu bara global. Pasalnya, volume ekspor batu bara dari Indonesia di pasar global akan berkurang dengan kenaikan DMO ini.

    “Batu bara kita itu sekarang kan total konsumsi untuk nasional PLN itu kan 140 juta sampai 160 juta (ton per tahun). Dan DMO ke depan kita akan prioritaskan kepada industri-industri yang mempengaruhi hidup orang banyak. Apa itu PLN, pupuk, semen,” jelasnya saat ditemui di Kantor Kementerian ESDM, Jakarta, dikutip Senin (17/11/2025).

    Bahlil menyebut, produksi batu bara nasional yang tertuang dalam Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) nasional terhitung pernah mencapai 900 juta ton per tahun. Hal itu dinilai membuat permintaan dan kebutuhan global tidak seimbang. Hal itu pun turut memicu penurunan harga batu bara internasional.

    Oleh karena itu, pemerintah saat ini tengah mengevaluasi RKAB tahun depan, termasuk penurunan target produksi batu bara.

    “Nah teman-teman tahu sekarang kan RKAB kita itu kan sampai 900 juta. Akibatnya apa? Supply and demand-nya tidak seimbang,” terangnya.

    Dengan potensi penurunan produksi batu bara pada 2026 mendatang, pemerintah perlu memastikan suplai domestik tetap aman. Karena itu, porsi DMO kemungkinan akan dinaikkan jika hitung-hitungan kebutuhan nasional menunjukkan angka 25% tidak mencukupi.

    “Nah kita akan mengevaluasi RKAB, khususnya pada volume. Karena kita mengevaluasi RKAB, maka DMO yang 25% itu kemungkinan besar kita akan dorong kalau kita hitung kebutuhan nasional untuk memenuhi semen, kalau PLN dan pupuk itu cukup 20%, ya gak ada masalah. Tapi kalau kita masih kurang, kita akan naikkan volume DMO. Itu maksudnya,” jelasnya.

    Meski begitu, Bahlil menegaskan bahwa rencana tersebut masih dalam tahap kajian dan belum final. Evaluasi dilakukan sambil menghitung ulang volume produksi dalam RKAB 2025.

    “Mungkin akan dinaikkan lebih dari 25%. 2025 dong. Ini kita lagi meng-exercise,” tandasnya.

    Bahlil mengingatkan bahwa aturan minimal DMO 25% tetap berlaku, namun jika kebutuhan nasional meningkat, pemerintah akan menambah porsi tersebut.

    “Selesaikan DMO-nya dulu, baru ekspor. Ya, minimal 25%. Tapi kalau kebutuhan nasional kita lebih ya kita kasih lebih lagi,” tandasnya.

    Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara (Minerba) Kementerian ESDM Tri Winarno pun menegaskan bahwa rencana kenaikan porsi DMO tidak berkaitan dengan penurunan permintaan batu bara di China. Adapun, kebijakan ini lebih diarahkan pada upaya menjaga stabilitas harga.

    “Harga kan jeblok sekarang. Supaya harga bisa terangkat lagi,” ungkap Tri.

    Di sisi lain, ia menilai penurunan produksi juga menjadi salah satu instrumen yang dapat mendorong kembali penguatan harga batu bara yang kini tengah tertekan.

    “Ya paling enggak, ini kita nggak mengeksploitasi sumber daya alam yang ugalan-ugalan tapi dikontrol, harganya masih bisa bagus, kira-kira begitu,” ujar Tri.

    Seperti diketahui, aturan paling baru soal DMO batu bara sebesar 25% dari RKAB tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) 39 Tahun 2025 yang merupakan peraturan turunan dari UU No 2 Tahun 2025 tentang Minerba.

    Dalam aturan tersebut, pemerintah menegaskan kewajiban pasok industri minerba ke BUMN yang mengelola sektor ketenagalistrikan, energi, pupuk, dan industri strategis nasional.

    (wia)

    [Gambas:Video CNBC]

  • Ekonomi Tanpa Warna

    Ekonomi Tanpa Warna

    Jakarta

    Ternyata ekonomi itu punya warna. Bahkan warna warni. Dikutip dari tulisan Fanny Yolan Tamba (2024), paling tidak ekonomi itu memiliki 11 warna. Yaitu, ekonomi hitam, abu-abu, merah, perak, putih, ungu, emas, biru, hijau, kuning dan coklat. Namun, dari sebelas warn itu, ada tiga warna dominan. Yaitu, coklat, hijau dan biru. Atau bahasa kerennya: brown, green dan blue economy.

    Ketiga warna ini dilihat dari implikasi ekonomi atau perekonomian pada lingkungan. Dalam tulisan singkat ini, saya akan mencoba mengurai ketiganya, dan berusaha menemukan mana yang cocok untuk kita terapkan. Salah satunya atau bukan ketiganya.

    Ekonomi Coklat

    Entah siapa yang pertama kali mengemukakan istilah ekonomi coklat (brown economy). Namun, secara definisi, seperti dikutip dari tulisan Change Oracle (2022), ekonomi coklat merujuk pada sistem ekonomi yang bersifat destruktif terhadap lingkungan.

    Sistem ekonomi ini memacu dan memicu pertumbuhan ekonomi dengan mengandalkan energi fosil (minyak, batu bara dan gas), sumberdaya alam (hutan, laut, air dan tanah) dan mengabaikan kerusakan lingkungan dan depelesi sumberdaya alam sebagai dampaknya.

    Meminjam istilah Herman Daly, dalam karya magnum opusnya, Ecological Economic, hubungan antara perekonomian semacam ini dengan lingkungan bersifat linear. Ambil bahan baku dari alam, lalu diproses, ambil manfaatnya, buang sisanya pada lingkungan dan abaikan kerusakannya. Itulah sebabnya perekonomian ini bersifat destruktif alias tidak berkelanjutan.

    Timbul pertanyaan, sejak kapan ekonomi coklat ini dimulai dan siapa penggagasnya? Sejak adanya perubahan sistem produksi dan konsumsi, dari demand side ke supply side serta rekayasa keinginan menjadi seolah-olah kebutuhan. Dan itu dimulai sejak sistem ekonomi kapitalisme lahir lalu diterapkan, kemudian menguat dan mendominasi sistem perekonomian dunia.

    Sisetm ekonomi kapitalisme saat ini telah menjadi mindset kebanyakan orang. Mulai dari kaum berdasi yang menduduki gedung-gedung pencakar langit, ilmuwan bertoga yang menghuni kampus-kamus megah dan ternama, hingga lapisan masyarakat bawah yang menghuni rumah-rumah kumuh bantaran kali, atau masyarakat pedesaan terpencil.

    Lantas, siapa yang pertama kali memunculkan istilah ekonomi kapitalisme? Merujuk pada sejumlah referensi, istilah ini pertama kali dikemukakan oleh Louis Blanc, pada tahun 1850 dan Pierre Joseph Proudon, pada tahun 1861. Kemudian dipopulerkan oleh Karl Marx, dalam karya besarnya, Das Kapital. Adam Smith sendiri yang dianggap bapak ekonomi kapitalisme klasik, tidak pernah menggunakan istilah tersebut, dalam bukunya The Wealth of Nations.

    Ia hanya meletakkan urgensi kebebasan pasar (invisible hand), minim campur tangan pemerintah (laissez faire), spesialisasi dan kepemilikan pribadi (property right) dalam menciptakan kesejahteraan bangsa-bangsa.

    Karl Marx menggunakan istilah kapitalisme dalam rangka mengkritisi sistem ekonomi gagasan Adam Smith sebagai perekonomian yang menciptakan ketimpangan (enequality) dan eksplotasi kaum buruh.

    Lantas, apa itu kapitalisme dan apa kaitannya dengan ekonomi coklat? Banyak definisi ynag dikembangkan oleh para ahli mengenai sistem ekonomi kapitalisme. Namun, salah satunya adalah definisi dari Andrew Zimbalist dalam bukunya Comparing Economic Systems: A Political Economy Approach, terbit tahun 1988.

    Menurut Andrew, sistem ekonomi kapitalisme adalah sistem ekonomi dimana faktor produksi berupa barang (mesin, lahan) dan uang (financial capital) dimiliki dan diusahakan secara pribadi (kaum kapitalis) dengan tujuan utamanya untuk mendapatkan laba dan mengakumulasi kapital dengan cara reinvestasi laba yang didapat.

    Sementara, mereka yang tidak memiliki modal, cukup menjadi pekerja para kapitalis untuk mendapatkan upah. Para pekerja, siapa pun ia, baik direksi maupun buruh kasar, sejatinya adalah buruh yang tidak punya saham atas perusahaan dan tidak berhak atas produk yang dihasilkan. Ia hanya pekerja kaum kapitalis dengan tugas untuk mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya.

    Apakah mengakumulasi kapital sebuah kesalahan? Tentu tidak. Kesalahannya terletak pada nafsu mengakumulasi kapital sebanyak-banyaknya dengan berusaha sekuat tenaga untuk menguasai kapital, termasuk menguras sumberdaya alam, dan mengabaikan dampaknya. Mengapa mereka mengabaikan dampak lingkungan? Karena mengurusi lingkungan, dalam pandangan bisnis mereka, akan meningkatkan biaya dan menurunkan keuntungan. Meskipun saat ini ada kebijakan Corporate Social Responsibility (CSR), aslinya tidak gratis.

    Seberapa pun uang yang dikeluarkan harus menguntungkan perusahaan. Paling tidak keuntungan intangible, berupa citra baik perusahaan yang sekan-akan peduli pada urusan sosial dan lingkungan.

    Jadi, penurunan kualitas lingkungan, baik lokal, regional maupun global seperti kelangkaan air, kenaikan suhu global, penurunan kualitas udara, air dan tanah, adalah akibat ulah para kapitalis. Oleh karena itu, ekonomi coklat tiada lain adalah wajah asli sistem ekonomi kapitalisme yang rakus, boros dan serakah. Ibarat serigala tanpa topeng. Kelihatan wajah aslinya.

    Ekonomi Hijau

    Setelah sekian ratus tahun sistem kapitalisme global menguras bumi dan mengotorinya, lalu mereka tersadar bahwa ada ancaman terhadap keberlanjutan bisnisnya bila model bisnis itu tetap dipertahankan. Namun di sisi lain, ia tetap tidak ingin mengubah tujuannya untuk memperoleh keuntungan dan mengakumulasi kapital. Ada konflik antara ekonomi dan lingkungan. Maka, dibuatlah konsep ekonomi hijau untuk keberlanjutan.

    Apa itu ekonomi hijau? Ekonomi hijau adalah sistem ekonomi kapitalisme yang dalam menjalankan perekonomiannya mencoba untuk mengurangi dampak lingkungan dan berusaha menghemat sumberdaya. Mengurangi dampak lingkungan dilakukan dengan cara meningkatkan efisiensi produksi dan mengolah sisa yang dihasilkan, baik sisa produksi maupun sisa konsumsi, menjadi produk lain yang bermanfaat.

    Sedangkan penghematan sumberdaya dilakukan dengan cara mencari subtitusinya. Sebagai contoh untuk mengganti bahan bakar fosil sebagai sumber energi maka dicarilah sumber energi non fosil yang dapat diproduksi sehingga lahir konsep energi dan terbarukan (EBT).

    Tujuan di balik itu semua bukan untuk memikirkan keberlanjutan bumi demi generasi mendatang melainkan untuk mempertahankan keberlanjutan bisnis kaum kapitalis. Itulah sebabnya, ekonomi hijau dan keberlanjutan terus digaungkan, dikampanyekan, diperlombakan dan diajarkan. Sehingga membentuk mindset global.

    Kita merasakan hal itu saat ini di mana setiap merindukan ekonomi hijau dan berkelanjutan.

    Jadi, ekonomi hijau adalah sistem ekonomi kapitalisme yang rakus dengan tujuan utama tetap untuk meraup keuntungan dan mengakumulasi kapital namun berlindung dibalik warna hijau yang seakan menyejukkan. ekonomi hijau itu seperti serigala namun berbulu domba.

    Ekonomi biru

    Konsep ekonomi biru pertama kali dikemukakan oleh Gunter Pauli dalam bukunya yang berjudul ‘Blue Economy’. Awalnya, konsep ini bertujuan untuk memanfaatkan potensi sumberdaya perairan (darat dan laut) untuk kesejahteraan. Kata blue bisa jadi merujuk pada warna air laut yang nampak berwarna biru.

    Konsep ini terus berkembang, tidak terbatas hanya pada pemanfaatan potensi sumberdaya perairan, melainkan menjadi gambaran sebuah sistem ekonomi yang menyerupai ekosistem perairan. Dimana nutrisi dan energi terus mengalir tanpa menghasilkan limbah. Belakangan, ekonomi biru pun meliputi sistem produksi tradisional seperti yang dilakukan oleh masyarakat adat.

    Itulah sebabnya, para pegiat ekonomi biru, merasa berada pada kasta lebih tinggi dari ekonomi hijau karena ia mengusung nilai-nilai tradisional dan ekonomi tanpa limbah. Secara konsep sih cocok banget. Terasa ada keluruhan budi. Namun, dalam pelaksanaannya apakah konsep ini dapat bertarung pada aras global? Setahu saya, blue ekonomi baru sampai pada wacana dari seminar ke seminar. Tidak memiliki instrument yang kuat untuk bisa menjelma dalam kehidupan.

    Ekonomi Tanpa Warna

    Mungkin ketika Adam Smith melahirkan bayi kapitalisme tidak membayangkan bayinya itu akan menjadi serigala yang rakus dan opportunistic. Ia hanya memimpikan sistem ekonomi berkeadilan dimana setiap individu memiliki kesempatan untuk berusaha; transaksi diatur secara natural dengan menggunakan mekanisme pasar (invisible hand); dan minim intervensi pemerintah.

    Mengapa hal ini menjadi spiritnya dalam upaya menciptakan kesejahteraan? Karena, kala itu, ketiga hal tadi merupakan barang mahal. Kita ketahui bahwa pada era Adam Smith, ekonomi dikuasai oleh tuan tanah yang berselingkuh dengan penguasa yang lalim. Rakyat kebanyakan hanya berperan sebagai buruh atau budak yang dibayar sangat murah. Menurut berbagai referensi, selama kurun 200 ratus tahun, upah buruh di Eropa tak pernah naik. Rakyat hidup dalam kemiskinan, penindasan dan kesengsaraan.

    Di mana letak kesalahan Adam Smith? Ia abai terhadap intervensi pemerintah. Ini yang dikritik habis oleh Thorten Veblen (1899), penggagas aliran ekonomi kelembagaan, dalam bukunya The Leisure Class, mewanti-wanti bahwa ketidakhadiran pemerintah dalam sistem ekonomi maka ekonomi akan dikuasai oleh segelintir orang yang rakus dan serakah. Yang sekarang menjadi kenyataan. Dan ini mengulang kembali sejarah era Adam Smith. Bisa jadi ia menyesal dalam keabadiannya.

    Atas dasar itu, maka saya berpandangan, pemerintah harus hadir dalam perekonomian yang mengatur sekaligus menjadi wasit demi terwujudnya pemerataan yang berkeadilan. Mengendalikan kerakusan yang besar sekaligus menguatkan yang kecil agar ekonomi tumbuh secara merata. Inilah ekonomi tanpa warna. Yang bening dan bersih dari noda ketidakadilan.

    Aceng Hidayat. Dekan Sekolah Vokasi IPB, dosen Departement ESL IPB.

    (rdp/imk)