Produk: Batu Bara

  • Perang India-Pakistan Pecah, RI Bisa Jadi Korban

    Perang India-Pakistan Pecah, RI Bisa Jadi Korban

    Jakarta, CNBC Indonesia – Indonesia Mining Institute (IMI) menilai, bila kondisi perang antara India dan Pakistan berlangsung lama, maka Indonesia bisa menjadi korbannya, khususnya mengenai ekspor batu bara.

    Tenaga Ahli IMI Irwandy Arif menyebut, ini dikarenakan India merupakan negara tujuan ekspor batu bara terbesar kedua Indonesia. Begitu juga dengan Pakistan, yang menjadi salah satu negara tujuan ekspor batu bara Indonesia, meski tidak besar.

    Apalagi, lanjutnya, India kini juga tengah menggencarkan pertambangan batu bara di dalam negeri. Hal ini tentunya dikhawatirkan akan membuat pasokan impor batu bara mereka akan menurun.

    “India salah satu pengimpor terbesar ke dua dari Indonesia. India saat ini juga sedang mengembangkan tambang-tambang batu bara mereka untuk supply ke PLTU mereka,” jelas Irwandy kepada CNBC Indonesia, Kamis (8/5/2025).

    Perihal konflik antar India dan Pakistan, Irwandy menilai hal tersebut bisa membuat anggaran kedua negara tersebut lebih fokus pada kebutuhan perang.

    Hal itu diproyeksikan bisa berpengaruh pada permintaan, khususnya India, terhadap batu bara Indonesia. “Perang India dan Pakistan, yang tentunya akan menyedot anggaran Pemerintah India bila perang berlanjut ke depan dan agak lama, punya pengaruh pembelian batu bara, termasuk pembelian dari Indonesia,” imbuhnya.

    “Tahun 2024 ekspor batu bara Indonesia ke India sekitar 110 juta ton. Ekspor ke Pakistan melalui importir terbesar di Pakistan hanya 600 ribu ton,” tandasnya.

    Plt. Direktur Eksekutif Asosiasi Perusahaan Batu Bara Indonesia (APBI) Gita Mahyarani mengungkapkan, saat ini belum merasakan adanya dampak signifikan dari kondisi geopolitik kedua negara tersebut.

    Namun, pihaknya mencatat adanya penurunan jumlah ekspor batu bara Indonesia ke India sejak awal tahun 2025 hingga 31,42% dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2024 lalu.

    “Ekspor batubara ke India pada maret 2025 7,42 Juta ton yang turun YoY 31.42%,” jelasnya kepada CNBC Indonesia, Kamis (8/5/2025).

    Yang terang, turunnya permintaan batu bara dari negara tersebut bukan karena adanya perang kedua negara tersebut. Melainkan, masuknya musim panas dan pengurangan porsi impor India untuk bisa memanfaatkan produksi batu bara lokalnya.

    Sementara dari Pakistan, permintaan batu bara juga terpantau mengalami penurunan. Bahkan sejak tiga tahun belakangan. Alasannya, kebijakan Pakistan yang mendorong untuk memanfaatkan batu bara produksi lokal.

    “Dalam tiga tahun terakhir pun terjadi penurunan impor batu bara Pakistan dari Indonesia, namun bukan karena perang melainkan karena kebijakan pemerintah Pakistan yang mendorong pemanfaatan batu bara lokal,” imbuhnya.

    Berkaca ke depan, APBI belum bisa memprediksi seperti apa dampak dari ekspor batu bara ke kedua negara tersebut.

    (pgr/pgr)

  • Ada Perang! Segini Proyeksi Ekspor Batu Bara ke India & Pakistan

    Ada Perang! Segini Proyeksi Ekspor Batu Bara ke India & Pakistan

    Jakarta, CNBC Indonesia – Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia (APBI) memproyeksikan permintaan batu bara Indonesia untuk India dan Pakistan tahun ini masih tinggi di tengah perang yang berkecamuk.

    Direktur Eksekutif APBI Gita Mahyarani mengungkapkan pihaknya memproyeksikan permintaan batu bara dari India tahun ini mencapai 162 juta ton. Sedangkan, proyeksi permintaan batu bara dari Pakistan tahun ini mencapai 94 juta ton. “Kalau proyeksinya India kurang lebih 162 juta ton. Pakistan kurang lebih 94 juta ton,” kata Gita kepada CNBC Indonesia, Rabu (7/5/2025).

    Sejatinya, sampai pada Maret 2025 ini, permintaan batu bara untuk kedua negara tersebut mengalami penurunan. Untuk India misalnya, turun hingga 31,42% atau 7,42 juta ton diperiode yang sama tahun lalu.

    Bukan karena adanya perang, penurunan terjadi karena musim panas dan kebijakan pengurangan impor demi menggenjot produksi di dalam negeri. “Banyak industri disana telah mengurangi impor untuk pasokan domestiknya,” tambahnya.

    Sementara Pakistan, permintaan batu baranya juga turun selama tiga tahun belakangan. Alasannya, Pakistan yang mendorong untuk memanfaatkan batu bara produksi lokal.

    “Dalam tiga tahun terakhir pun terjadi penurunan impor batu bara Pakistan dari Indonesia, namun bukan karena perang melainkan karena kebijakan pemerintah Pakistan yang mendorong pemanfaatan batu bara lokal,” imbuhnya.

    Berkenaan dengan kondisi global, belum bisa diprediksi pengaruhnya terhadap ekspor.

    “Hanya saja secara umum tanpa melihat kondisi perang, sudah ada penurunan permintaan dari Indonesia yang salah satu penyebab utamanya dikarenakan kedua negara tersebut menggenjot domestik,” tandas Gita

    (pgr/pgr)

  • Pengusaha Lakukan Efisiensi Imbas Harga Nikel Anjlok

    Pengusaha Lakukan Efisiensi Imbas Harga Nikel Anjlok

    Bisnis.com, JAKARTA — Pelaku usaha ancang-ancang melakukan efisiensi imbas harga nikel yang jeblok. Hal ini juga tak lepas dari biaya produksi yang tinggi.

    Direktur Eksekutif Indonesian Mining Association (IMA) Hendra Sinadia mengatakan, penurunan harga nikel tak lepas dari melemahnya permintaan dari China. Menurutnya, industri stainless steel atau baja anti karat di China tengah lesu.

    Padahal, pasokan nikel untuk industri baja anti karat Negeri Tirai Bambu berasal dari Indonesia. Hal ini pun membuat demand nikel RI anjlok sehingga harga turun.

    “Dengan meningkatnya biaya operasional, sementara harga turun membuat perusahaan terus melakukan efisiensi,” kata Hendra kepada Bisnis, Rabu (7/5/2025).

    Hendra pun mengingatkan pemerintah untuk memberikan dukungan kepada para pengusaha. Salah satunya dengan meninjau kembali beberapa regulasi yang membebani perusahaan.

    Dia mengatakan, regulasi yang perlu ditinjau ulang itu seperti pengenaan kewajiban retensi dana hasil ekspor (DHE) sebesar 100% selama 12 bulan. Selain itu, pemerintah juga perlu melakukan evaluasi pada kebijakan penyesuaian tarif royalti nikel.

    Pemerintah telah menetapkan tarif royalti nikel terbaru melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 19 Tahun 2025, yang mulai berlaku efektif pada 26 April 2025. Untuk bijih nikel (ore), tarif royalti naik dari sebelumnya 10% menjadi 14% hingga 19%, tergantung pada harga mineral acuan (HMA).

    Menurut Hendra, tarif royalti baru cukup memberatkan pengusaha di tengah pelemahan harga nikel. Tak hanya itu, pengusaha juga tengah dibebankan biaya operasional tinggi (infrastruktur, energi, dan pengolahan) akibat kenaikan biaya biosolar yaitu B40 yang signifikan hingga kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) 12%. 

    “Kami harapkan dukungan dari pemerintah dapat meninjau kembali beberapa regulasi yang membebani perusahaan apalagi di tengah tren harga yang rendah,” ucap Hendra.

    Sementara itu, Ketua Umum Forum Industri Nikel Indonesia (FINI) Arif Perdana Kusumah mengatakan, industri nikel RI tengah menghadapi tantangan imbas melemahnya permintaan dari China.

    Adapun, harga mineral acuan (HMA) nikel untuk periode pertama Mei 2025 dipatok US$15.049,23 per dmt. Harga ini pun turun dibanding HMA pada periode pertama April 2025, yakni US$16.126,33 per dmt.

    Sementara itu, FINI mencatat harga nikel global saat ini turun drastis sebesar 16% dalam 1 bulan terakhir dan 23% dalam 6 bulan terakhir, menyentuh level US$13.800 per ton. Angka ini merupakan titik terendah sejak 2020.

    “Di tengah lonjakan produksi yang menyeret harga nikel dunia turun terus sejak 2023. Saat ini, harga nikel mendekati level terendah sejak tahun 2020, dan dampaknya mulai dirasakan di dalam negeri,” kata Arif.

    Dia juga mengatakan pelemahan permintaan dari Negeri Panda dipicu oleh perang dagang yang semakin meningkat antara Amerika Serikat (AS) dan China.

    “Ini membuat permintaan nikel untuk industri stainless steel dan bahan baku baterai kendaraan listrik berbasis nikel semakin melemah,” ucapnya.

    Sementara itu, Dirjen Mineral dan Batu Bara (Minerba) Kementerian ESDM Tri Winarno mengatakan, pihaknya telah melakukan strategi untuk menstabilkan harga mineral dan batu bara, termasuk nikel. Menurutnya, strategi itu dibuat berdasarkan hasil focus group discussion (FGD) dengan pada ahli di Universitas Gadjah Mada (UGM).

    “Untuk strategi stabilitas harga, perlu kami sampaikan juga pada 2021 kami mencoba melakukan FGD dengan UGM bagaimana cara harga ini tetap stabil di angka harga yang tinggi,” kata Tri dalam Rapat Dengar Pendapat bersama Komisi XII DPR RI, Selasa (6/5/2025). 

    Adapun, strategi itu seperti perencanaan produksi sesuai dengan kebutuhan nasional dan rencana ekspor.

    Lalu, feasibility study (FS) atau studi kelayakan dan analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari proses RKAB. Kemudian, evaluasi terhadap persetujuan produksi pada RKAB yang telah diberikan.

    Selanjutnya, penetapan harga batu bara acuan (HBA) dan HMA serta harga patokan batu bara (HPB) dan harga patokan mineral (HPM) sebagai batas bawah harga penjualan sesuai Kepmen ESDM Nomor 72 Tahun 2025 tentang Pedoman Penetapan Harga Patokan Untuk Penjualan Komoditas Mineral Logam dan Batu bara).

    Selain itu, Kementerian ESDM juga melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan kegiatan penambangan agar sesuai dengan good mining practice. 

  • Pemerintah Terus Dorong Hilirisasi Batu Bara, Apa Kabar Insentif Royalti 0%?

    Pemerintah Terus Dorong Hilirisasi Batu Bara, Apa Kabar Insentif Royalti 0%?

    Bisnis.com, JAKARTA — Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengungkapkan perkembangan terbaru penyusunan aturan terkait insentif tarif royalti 0% bagi perusahaan yang menjalankan hilirisasi batu bara.

    Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja mengamanatkan bahwa pelaku usaha yang melakukan peningkatan nilai tambah batu bara dapat diberikan perlakuan tertentu terhadap kewajiban penerimaan negara berupa pengenaan royalti sebesar 0%.

    Ketentuan mengenai besaran, persyaratan, dan tata cara pengenaan royalti sebesar 0% akan diatur dalam peraturan menteri (Permen). 

    Dirjen Mineral dan Batu Bara (Minerba) Kementerian ESDM Tri Winarno mengatakan, penyusunan Permen terkait pengaturan royalti 0% itu hingga saat ini masih belum ada kelanjutan. Sebab, menurutnya belum ada tanda-tanda hilirisasi batu bara berjalan.

    “Permen-nya belum. Lagian belum ada tanda-tanda [hilirisasi] ini kan,” ucap Tri di Komplek DPR RI, Jakarta, Selasa (6/5/2025) malam.

    Adapun, ketentuan mengenai pengenaan royalti sebesar 0% untuk pelaku usaha yang melakukan peningkatan nilai tambah batu bara juga telah tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Energi dan Sumber Daya Mineral. 

    Secara umum, pengenaan royalti sebesar 0% tersebut diberikan dengan mempertimbangkan kemandirian energi dan pemenuhan kebutuhan bahan baku industri (Pasal 3 ayat 1). Lebih lanjut, dijelaskan bahwa pengenaan royalti 0% hanya berlaku terhadap volume batu bara yang digunakan dalam kegiatan peningkatan nilai tambah batubara (Pasal 3, ayat 3).

    Kendati demikian, Tri menjelaskan sekalipun Permen turunan Perpu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja dan PP Nomor 25 Tahun 2021 terbit, tetap ada kemungkinan pelaku usaha yang melakukan hilirisasi tidak mendapat royalti 0% sepenuhnya. 

    “Dapat ya [bisa], tapi juga bisa tidak dapat. Karena kalau dia keekonomiannya sudah ok, ya enggak usah dikasih [royalti 0%],” ucapnya.

    Sebelumnya, PT Bukit Asam Tbk (PTBA) meminta dukungan DPR untuk mempercepat pemberlakukan royalti 0% bagi perusahaan yang melakukan hilirisasi batu bara. Direktur Utama PTBA Arsal Ismail mengatakan, royalti 0% diperlukan untuk memberi dukungan fiskal bagi pelaku usaha.

    Apalagi, pemerintah terus mendorong pelaku usaha untuk melakukan hilirisasi batu bara. Kementerian ESDM bahkan mengingatkan tujuh perusahaan pemegang Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu bara (PKP2B) wajib melakukan hilirisasi.

    Tri mengatakan, hal itu sudah menjadi perhatian khusus meski terdapat sejumlah kendala.

    “Ini masih mengalami beberapa kendala, masih ada diskusi yang perlu. Tetapi, ini sudah jadi atensi,” kata Tri.

    Dia memerinci ketujuh perusahaan itu adalah PT Arutmin Indonesia, PT Kaltim Prima Coal, PT Adaro Indonesia, PT Kideco Jaya Agung, PT Multi Harapan Utama, PT Tanito Harum, dan PT Berau Coal.

  • China Sapu Bersih Proyek Hilirisasi Prabowo

    China Sapu Bersih Proyek Hilirisasi Prabowo

    Bisnis.com, JAKARTA – Sejumlah investor asal China tengah menjajaki peluang investasi di proyek hilirisasi nikel hingga batu bara di Tanah Air.

    Salah satu proyek hilirisasi yang diminati investor China adalah hilirisasi batu bara menjadi dimethyl ether (DME). Proyek yang produknya diproyeksikan sebagai subtitusi liquefied petroleum gas (LPG) ini mandek usai ditinggal oleh investor asal Amerika Serikat, Air Products & Chemical Inc (APCI). Kini, pemerintahan Presiden Prabowo Subianto kembali mendorong pengembangan proyek ini.

    Untuk diketahui, Air Product semula berkomitmen mengembangkan dua proyek strategis nasional hilirisasi batu bara, salah satunya proyek gasifikasi batu bara menjadi DME di Muara Enim, Sumatra Selatan dengan membentuk joint venture bersama PT Bukit Asam Tbk. (PTBA) dan PT Pertamina (Persero).

    Baru-baru ini, Direktur Utama PTBA Arsal Ismail mengungkapkan bahwa Perseroan telah mendekati sejumlah perusahaan China untuk mencari mitra pengganti Air Product dalam proyek DME.

    Calon mitra yang telah dijajaki, yaitu CNCEC, CCESCC, Huayi, Wanhua, Baotailong, Shuangyashan, dan ECEC. Dari sejumlah perusahaan itu, hanya ECEC yang berminat sebagai mitra investor.

    “Dari seluruh calon mitra tersebut baru ECEC gitu ya, yang menyatakan minat menjadi mitra investor meskipun belum dari dalam skema investasi penuh atau full investment,” kata Arsal dalam RDP Komisi XII, Senin (5/5/2025).

    Merujuk pada paparan PTBA dalam rapat tersebut, ECEC telah menyampaikan preliminary proposal coal to DME pada November 2024.

    Di samping penjajakan yang masih berlanjut, PTBA masih terus mempersiapkan proyek DME ini secara paralel. Hingga saat ini, PTBA telah berhasil melakukan pembebasan lahan seluas 198 hektare atau sekitar 97% dari total kebutuhan lahan sebesar 203 hektare.

    “Itu merupakan komitmen dari kesiapan kami dalam menjalankan proyek ini. Nah, kami juga terus menjalin tentunya koordinasi intensif dengan berbagai pemangku kepentingan seperti Satgas Hilirisasi, Kementerian Sekretariat Negara, Kementerian Perindustrian, dan lembaga terkait lainnya untuk memproyek arahan dan dukungan kebijakan yang kami butuhkan,” tutur Arsal.

    Dominasi China di Proyek Hilirisasi Nikel

    Selain DME, investor asal China juga akan menggarap proyek hilirisasi nikel menjadi baterai kendaraan listrik (EV). Terbaru, pemerintah telah menunjuk Zhejiang Huayou Cobalt Co menjadi mitra strategis dalam megaproyek rantai pasok baterai. Huayaou akan menggantikan konsorsium asal Korea Selatan yang dipimpin LG Energy Solution yang semula akan berinvestasi senilai US$8,6 miliar atau Rp145 triliun di Proyek Titan. 

    Terpilihnya Huayou semakin menancapkan dominasi China dalam proyek hilirisasi nikel di Tanah Air. Hal ini mengingat mayoritas smelter nikel dalam negeri saat ini dimiliki oleh raksasa-raksasa logam China, seperti Tsingshan Group dan Jiangsu Delong Nickel Industry Co.

    Tak hanya itu, raksasa baterai China, Contemporary Amperex Technology Co Ltd. (CATL), juga telah berkomitmen menanamkan investasi dalam megaproyek rantai pasok baterai bernama Proyek Dragon. Melalui anak usahanya CBL International Development Pte Ltd, CATL membentuk joint venture dengan konsorsium BUMN Indonesia Battery Corporation (IBC) untuk membangun pabrik sel baterai dengan kapasitas produksi sebesar 15 gigawatt hour (GWh) per tahun. Nilai investasinya mencapai US$1,18 miliar atau sekitar Rp19,13 triliun.

    Terkait Huayou, Menteri Investasi dan Hilirisasi/Kepala BKPM Rosan P Roeslani mengungkap pemerintah mempercayakan Huayou untuk menggantikan LG karena pemerintah melihat minat Huayou yang tinggi. Pemerintah juga menilai kemampuan Huayou yang telah mumpuni lantaran sudah lama berinvestasi di Indonesia dalam bidang yang sama. 

    Rosan mengungkapkan bahwa saat ini investasi yang telah ditanamkan Huayou di RI sebesar US$8,8 miliar atau setara Rp147 triliun.

    “Huayou saja investasi di Indonesia per hari ini itu sudah mencapai US$8,8 miliar, sudah menanamkan investasi loh, sudah selesai. Mereka menyampaikan potensi untuk investasi dari Grup Huayou ini ke depannya menurut perhitungan mereka bisa akan mencapai US$20 miliar tambahan,” kata Rosan kepada wartawan, Selasa (29/4/2025).

    Rosan menyebut, pihak Huayou meminta waktu untuk mematangkan rencana proyek baru tersebut. Rencana investasi proyek ini dijadwalkan akan dibeberkan secara terperinci pada pekan ketiga Mei 2025.

    Dalam hal ini, tak hanya sebagai pengganti LG Energy Solution di proyek rantai pasok baterai Indonesia, Huayou juga berencana untuk mengembangkan kawasan industri di Pomala, Sulawesi Tenggara.

    “Mereka sudah pelajari dan ingin mereka investasikan di Indonesia, termasuk adalah pengembangan klaster industrial park seperti yang di Morowali dan di Weda Bay. Yang di Weda Bay mereka adalah pemegang saham minoritas, nah mereka sekarang ingin mengembangkan juga sendiri,” jelasnya.

    Oleh karena itu, tak heran jika Huayou berencana untuk meningkatkan investasi jumbo di Indonesia. Menurut Rosan, untuk membangun industrial park seperti Morowali atau Weda Bay membutuhkan ongkos yang besar.

    “Tidak hanya dari Huayou, saya pun sudah bertemu lagi dari perusahaan lain yang ingin membangun yang sama dan nanti mereka akan bisa masuk investasi dari negara-negara lain juga,” pungkasnya.

    Meski menggandeng Huayou, pemerintah juga menegaskan tetap terbuka terhadap investasi dari negara lain untuk proyek hilirisasi dalam negeri. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia mengungkapkan bahwa akan ada investor baru yang akan menjadi mitra Huayou dalam proyek baterai. 

    Menurutnya, calon investor itu merupakan salah satu dari tujuh perusahaan besar di dunia. 

    “Nanti kita umumkan ya. Ini salah satu perusahaan yang masuk tujuh besar di dunia. Enggak mungkin dong kami memasukkan partner yang belum comply dan belum teruji. Semuanya sudah teruji,” ucap Bahlil di Kantor Kementerian ESDM, Senin (28/4/2025) sore.

    Namun, Bahlil belum bisa memerinci mitra baru tersebut berasal dari negara mana. Namun, dia menekankan bahwa pemerintah tak terpaku pada negara asal.

    “Kita sekarang tidak menghitung mau China, mau Arab, mau Eropa, mau Korea, yang mau ke Indonesia aku enggak membedakan,” katanya. (Afiffah Rahmah Nurdifa)

  • IESR temukan potensi EBT di pulau Timor NTT capai 30 GW

    IESR temukan potensi EBT di pulau Timor NTT capai 30 GW

    Dari hasil kajian sejak 2024, potensi tenaga surya mencapai 20 GW sementara untuk tenaga angin mencapai 10 GW

    Kupang (ANTARA) – Institute for Essential Services Reform (IESR) melakukan kajian dan menemukan bahwa potensi energi baru terbarukan (EBT) di Pulau Timor, Provinsi Nusa Tenggara Timur mencapai 30 gigawat (GW).

    Analis Ketenagalistrikan dan Energi Terbarukan IESR Alvin Putra Sisdwinugraha kepada ANTARA di Kupang, Selasa malam mengatakan bahwa potensi EBT itu diperoleh dari EBT tenaga surya dan juga EBT tenaga angin.

    “Dari hasil kajian sejak 2024, potensi tenaga surya mencapai 20 GW sementara untuk tenaga angin mencapai 10 GW,” katanya.

    Menurut dia, dengan potensi EBT yang mencapai 30 GW tersebut maka, dipastikan pada 2050 saat beban puncak penggunaan listrik diprediksi mencapai 1,5 GW, maka masyarakat di pulau Timor tidak perlu khawatir lagi.

    Saat ini, ujar dia, beban puncak listrik yang ada di pulau Timor mencapai 250 megawat. Dan sumbernya berasal dari PLTU yang menggunakan batu bara di Bolok, PLTU Timor.

    Menurut dia, penggunaan listrik dengan sumbernya dari solar, batu bara yang tidak ramah lingkungan, menurut dia, bisa diganti dengan EBT tenaga surya dan tenaga angin tersebut.

    Selain EBT dari tenaga surya dan tenaga angin, IESR juga menemukan ada potensi EBT lainnya yakni midnihidro air yang potensinya mencapai 100-an megawat, selain itu juga penggunaan Biomassa sebanyak 40 MW.

    “Pulau Timor ini kan digadang-gadangkan akan menjadi pulau biomasa, kami mencoba memetakan kira-kira potensi limbah pertanian dan kami temukan lumayan banyak limbah pertanian padi juga bisa dimanfaatkan, limbah lahan kopi bisa dimanfaatkan,” ujar dia.

    Terkait panas bumi di pulau Timor, dia mengatakan bahwa potensinya memang sangat besar, namun pihaknya hanya fokus lakukan kajian untuk tenaga surya dan tenaga angin.

    Lebih lanjut, kata dia, keberadaan EBT di pulau Timor, nantinya dapat mendukung ekonomi masyarakat kecil, jika dimanfaatkan dengan baik dengan benar.

    IESR juga telah bertemu dengan Gubernur NTT Melki Laka Lena untuk membicarakan tentang hal tersebut, dan mendapatkan tanggapan positif dari Gubernur NTT.

    Pewarta: Kornelis Kaha
    Editor: Ahmad Buchori
    Copyright © ANTARA 2025

  • RI Punya Sumber Gas Baru Pengganti LNG Tapi Butuh Waktu

    RI Punya Sumber Gas Baru Pengganti LNG Tapi Butuh Waktu

    Jakarta, CNBC Indonesia – PT Bukit Asam Tbk (PTBA) mengungkapkan bahwa untuk bisa menggarap sumber gas baru berupa Synthetic Natural Gas (SNG) membutuhkan waktu bertahun-tahun.

    Direktur Utama PTBA Arsal Ismail mengungkapkan bahwa pihaknya bersama dengan PT PGN Tbk saat ini tengah merencanakan proyek SNG, salah satu produk hilirisasi batu bara. Proyek SNG ini akan dibangun di Kawasan Industri Tanjung Enim, Sumatera Selatan.

    Saat ini pihaknya bersama dengan PGN tengah menyusun Head of Agreement (HOA) untuk pengembangan proyek SNG ini. Dalam waktu dekat, lanjutnya, studi kelayakan atau Feasibility Study (FS) proyek ini akan mulai disusun, dari sisi aspek teknis, keekonomian, hingga formulasi harga yang kompetitif.

    “Berdasarkan kajian sementara di tahun 2024, SNG yang dihasilkan ini nanti diproyeksikan akan kompetitif dibandingkan dengan harga LNG impor,” ujarnya dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi XII DPR RI, Jakarta, dikutip Selasa (6/5/2025).

    Lebih jauh, dia mengungkapkan pada 2026 proyek ini masuk pada progres desain teknis/rekayasa atau Front-End Engineering Design (FEED). Sedangkan, target pekerjaan konstruksi akan dimulai pada 2028. Dengan demikian, target operasi bisa terealisasi pada 2032 mendatang.

    “Estimasi waktu konstruksi pabriknya berdasarkan masukan calon mitra teknologi yang memerlukan waktu kurang lebih 3,5 tahun,” tandasnya.

    Lebih lanjut, SNG sendiri bisa dimanfaatkan sebagai substitusi kebutuhan produk Liquefied Natural Gas (LNG) di dalam negeri.

    “Penelitian bersama PGN untuk mengembangkan Synthetic Natural Gas atau SNG sebagai salah satu upaya pemanfaatan batubara kalori rendah sebagai alternatif dari substitusi LNG,” ujarnya.

    Arsal mengatakan, SNG yang nantinya akan diproduksi oleh pihaknya diharapkan bisa menambah portofolio energi gas di Indonesia.

    “PTBA, karena cadangannya sangat besar, sekitar 2,9 miliar (ton), ini ada beberapa cadangan batu baranya yang berkalori rendah yang sangat sesuai untuk dikonversi menjadi gas sintetis,” imbuhnya.

    Adapun, proyek hilirisasi batu bara menjadi SNG tersebut akan memanfaatkan hingga 8,7 juta ton batu bara kalori rendah yang bisa menghasilkan hingga 240 BBTUD SNG.

    Untuk mendukung itu, PTBA akan menjadi pemasok batu bara hingga pembangunan pabrik dan konversi. Sedangkan PGN akan menjadi penyedia infrastruktur rencana proyek tersebut.

    “Skema visi yang disiapkan dalam proyek ini adalah PTBA sebagai coal supplier atau pemasok batubara, pembangunan pabrik dan konversi dilakukan oleh perusahaan pengelola atau processing company berbentuk joint venture antara PTBA, PGN, dan Mitra Teknologi. Jadi, kami nanti akan terlibat tidak hanya sebagai coal supplier, tapi juga di dalam joint venture-nya,” imbuhnya.

    (wia)

  • ESDM Wajibkan 7 Perusahaan Garap Hilirisasi Batu Bara, Ini Daftarnya

    ESDM Wajibkan 7 Perusahaan Garap Hilirisasi Batu Bara, Ini Daftarnya

    Bisnis.com, JAKARTA — Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengungkapkan tujuh perusahaan pemegang Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu bara (PKP2B) wajib melakukan hilirisasi.

    Dirjen Mineral dan Batu bara (Minerba) Kementerian ESDM, Tri Winarno mengatakan, hal itu sudah menjadi perhatian khusus meski terdapat sejumlah kendala.

    “Ini masih mengalami beberapa kendala, masih ada diskusi yang perlu. Tetapi, ini sudah jadi atensi,” kata Tri dalam Rapat Dengar Pendapat bersama Komisi XII DPR RI, Selasa (6/5/2025).

    Dia merinci ketujuh perusahaan itu adalah PT Arutmin Indonesia, PT kaltim Prima Coal, PT Adaro Indonesia, PT Kideco Jaya Agung, PT Multi Harapan Utama, PT Tanito Harum, dan PT Berau Coal.

    Lebih terperinci, PT Arutmin Indonesia akan memproduksi produk hilir berupa metanol dan amonia dengan kapasitas input batu bara 6 juta ton per tahun dari Blok Sarongga. Adapun rencana investasi perusahaan mencapai US$2,7 miliar. 

    Sementara, untuk kapasitas output produk ditargetkan mencapai 2,95 juta ton per tahun

    Lalu, PT kaltim Prima Coal akan memproduksi metanol dengan kapasitas input batu bara 6,5 juta ton per tahun. Nilai dari investasi proyek tersebut mencapai US$2,1 miliar. Adapun kapasitas output produksi ditargetkan mencapai 1,8 juta ton per tahun.

    Kemudian, PT Adaro Indonesia akan memproduksi metanol dan DME dengan kapasitas input batu bara mencapai 6,75 juta ton per tahun dari Pit Wara 1 dan Pit Wara 2. 

    Nilai investasi untuk proyek metanol dan DME itu masing-masing mencapai US$2,61 miliar dan US$2,83 miliar. Adapun kapasitas output produksi ditargetkan mencapai 2 juta ton per tahun untuk metanol dan 1,34 juta ton per tahun untuk DME.

    Selanjutnya, PT Kideco Jaya Agung akan memproduksi amonia dan urea. Adapun kapasitas input batu bara mencapai 566.062 ton per tahun. 

    Nilai investasi dari proyek ini mencapai US$244,23 juta. Sementara, kapasitas output produknya mencapai 100.000 ton untuk amonia per tahun dan 172.000 ton untuk urea per tahun

    Berikutnya, PT Multi Harapan Utama akan memproduksi semikokas dengan kapasita input batu bara sebanyak 1 juta ton per tahun dari Pit Belumpur dan Pit South Sentuk, Blok Gitan. 

    Nilai investasi dari proyek ini mencapai US$81,3 juta. Adaoun kapasitas output produk mencapai 552.000 ton per tahun untuk semikokas.

    Sementara itu, PT Tanito Harum akan memproduksi semikokas dengan kapasitas input batu bara sebesar 300.000 ton per tahun dari Blok Sukodadi. Nilai investasi dari proyek ini mencapai US$42,23 juta. Sementara kapasitas output produk mencapai 150.000 ton per tahun.

    Lalu, PT Berau Coal akan memproduksi metanol dengan kapasitas input batu bara 3,49 juta ton per tahun dari Blok Bunungan 10. 

    Adapun nilai investasi proyek ini mencapai US$774,8 juta. Sementara kapasitas output produk mencapai 940.000 ton per tahun.

  • Harga Impor LPG Masih Lebih Murah Jadi Alasan Proyek DME Mandek

    Harga Impor LPG Masih Lebih Murah Jadi Alasan Proyek DME Mandek

    Bisnis.com, JAKARTA – PT Bukit Asam Tbk (PTBA) mengungkap alasan dibalik mandeknya proyek hilirisasi batu bara menjadi Dimethyl Ether (DME) atau pengganti LPG yakni nilai ekonomis yang belum tercapai. 

    Direktur Utama PTBA Arsal Ismail mengatakan ongkos produksi proyek DME ini masih lebih tinggi dibandingkan harga jual yang dipatok Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan lebih tinggi dari ongkos impor LPG. 

    “Estimasi harga DME hasil produksi masih lebih tinggi dari harga patokan yang ditetapkan oleh Kementerian ESDM dan analisa perhitungan kami masih lebih tinggi dari harga LPG impor,” kata Arsal dalam RDP Komisi XII DPR RI, Senin (5/5/2025).

    Menurut perhitungan, harga DME yang dapat dihasilkan yakni senilai US$911-US$987 per ton atau lebih besar dari harga patokan DME yang diusulkan oleh Kementerian ESDM pada 2021 yakni sebesar US$617 per ton yang merupakan harga pasar, namun belum termasuk subsidi. 

    Dengan demikian, masih terdapat gap atau selisih yang kurang lebih mencapai US$300 per ton DME yang berpotensi memperbesar nilai subsidi dari pemerintah. 

    Di samping itu, Arsal memberikan perbandingan biaya subsidi LPG dengan DME apabila harga patokan DME US$911 per ton. Berdasarkan perhitungan, nilai subsidi untuk DME bisa mencapai US$710 per ton atau Rp123 triliun per tahun.

    Angka tersebut lebuh besar dibandingkan nilai subsidi untuk LPG pada kesetaraan DME saat ini sebesar US$474 per ton atau Rp82 triliun per tahun. Artinya, akan ada risiko kenaikan subsidi sebesar Rp41 triliun per tahun. 

    Kendati demikian, terdapat sejumlah tantangan teknis yang disampaikan oleh Pertamina sebagai offtaker proyek DME dalam Forum Satgas Hilirisasi yang kami lakukan rapat pada tanggal 19 Maret 2025. 

    Adapun, tantangan dari Pertamina yakni terkait dengan kebutuhan konversi infrastruktur seperti jalur distribusi dan perangkat kompor rumah tangga yang kompatibel dengan DME. 

    “Jadi jaraknya itu kurang lebih 172 kilometer serta perlunya kesiapan jaringan niaga dan distribusi ban bakar alternatif ini secara luas,” imbuhnya. 

    Pihaknya berharap seluruh tantangan tersebut dapat diselesaikan melalui kajian yang komprensif, objektif dan melibatkan semua pihak secara menyeluruh. 

    “Kami PTBA tentunya terbuka terhadap evaluasi dan arahan lanjutan agar proyek ini dapat dikembangkan secara terukur, akuntabel dan memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi bangsa dan negara,” jelansya. 

  • Nggak Mudah Garap Proyek DME Pengganti LPG, Ini Kendalanya

    Nggak Mudah Garap Proyek DME Pengganti LPG, Ini Kendalanya

    Jakarta

    Direktur Utama PT Bukit Asam Tbk (PTBA) Arsal Ismail, buka-bukaan soal tantangan proyek hilirisasi batu bara menjadi Dimethyl Ether (DME). Ia menyebut, produksi DME kerap kali terkendala oleh nilai keekonomiannya.

    Ia menjelaskan, biaya produksi DME masih jauh lebih tinggi ketimbang harga jual yang ditetapkan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Selain itu, harga DME juga masih lebih tinggi dari Liquefied Petroleum Gas (LPG) yang diperoleh dari impor.

    “Estimasi harga DME hasil produksi masih lebih tinggi dari harga patokan yang ditetapkan oleh Kementerian ESDM, dan juga analisa perhitungan kami masih lebih tinggi dari harga LPG impor,” ungkap Arsal dalam RDP bersama Komisi VI DPR RI di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (5/5/2025).

    Arsal menjelaskan, harga subsidi LPG yang eksisting saat ini ditetapkan sebesar Rp 22.727 per 3 kg atau sekitar US$ 474 per ton. Jika dikalkulasikan secara tahunan, diasumsikan sekitar 10,78 juta ton per tahun atau setara Rp 82 triliun per tahun.

    Sementara untuk DME subsidi, ia menjelaskan harga per 3 kg sebesar Rp 34.069 atau setara US$ 710 per ton. Sementara dalam setahun, estimasi DME sebesar 10,78 juta ton per tahun atau setara Rp 123 triliun per tahun.

    Persoalan kedua, kata Arsal, hilirisasi batu bara menjadi DME terkendala tantangan teknis, sebagaimana hasil rapat yang dilakukan Satuan Tugas (Satgas) hilirisasi bersama PT Pertamina (Persero) Tbk pada tanggal 10 Maret 2025.

    Dalam rapat tersebut, kendala yang dialami yakni kebutuhan infrastruktur konversi yang meliputi jalur distribusi dan perangkat kompor rumah tangga yang kompatibel dengan DME.

    “Jadi jaraknya itu kurang lebih 172 km, serta perlunya kesiapan jaringan niaga dan distribusi bahan bakar alternatif ini secara luas,” ungkapnya.

    Ia menjelaskan, perseroan siap menjalankan proyek hilirisasi tersebut. Saat ini, ia juga menyebut ada sejumlah investor yang turut melirik proyek DME milik Indonesia. Namun begitu, Arsal meminta agar pemerintah turut memberi dukungan kebijakan.

    Adapun proyek hilirisasi batu bara menjadi DME ini merupakan langkah strategis perseroan untuk mendukung ketahanan energi nasional agar tidak lagi bergantung pada LPG impor. Mulanya, proyek ini memanfaatkan 6 juta ton bartu bara per tahun.

    “Nah, produk DME yang dihasilkan ini diharapkan dapat menjadi alternatif energi bersih yang kompetitif dan dapat digunakan sebagai substitusi LPG bagi kebutuhan rumah tangga dan industri,” terangnya.

    Namun pada Februari 2023, terang Arsal, Air Products yang sebelumnya menjadi mitra penyedia teknologi yang direncanakan sebagai processing company, mengundurkan diri dari proyek hilirisasi batu bara menjadi DME. Akhirnya, skema hilirisasi belum bisa diwujudkan.

    “Di dalam skema awal, PTBA berperan sebagai coal supplier, Pertamina sebagai off-taker, dan Air Products sebagai pihak yang membangun serta mengoperasikan fasilitas produksi DME, ini belum jadi terwujud,” tutupnya.

    (fdl/fdl)