Produk: Batu Bara

  • Wajib Pajak Minerba Tumbuh 3% per Tahun, Penerimaan Mineral Logam Tembus Rp45 Triliun

    Wajib Pajak Minerba Tumbuh 3% per Tahun, Penerimaan Mineral Logam Tembus Rp45 Triliun

    Bisnis.com, JAKARTA — Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat jumlah wajib pajak subsektor pertambangan mineral dan batu bara (minerba) meningkat dalam lima tahun terakhir. Rata-rata pertambahannya mencapai sekitar 3% per tahun.

    “Pada tahun 2021 terdapat sebanyak 6.321 wajib pajak, dan pada tahun 2025 tumbuh menjadi 7.128 wajib pajak,” ucap Direktur Jenderal Pajak Kemenkeu, Bimo Wijayanto, melalui keterangan resmi, dikutip Minggu (7/12/2025).

    Menurutnya, penerimaan sektor pertambangan mineral logam mampu meningkat lebih dari 10 kali lipat, dari sebesar Rp4 triliun (2016) menjadi Rp45 triliun (2024). Sementara itu, penerimaan pajak sektor pertambangan batu bara mengalami fluktuasi sejalan dengan pergerakan harga komoditas global.

    Bimo menjelaskan bahwa pertambangan termasuk dalam kelompok wajib pajak berisiko tinggi sehingga pengawasan dilakukan berbasis compliance risk management.

    Dia juga menekankan pentingnya kepatuhan dalam pemotongan dan pemungutan PPh serta konsistensi penerapan Harga Patokan Mineral (HPM) dan Harga Batu Bara Acuan (HBA).

    Oleh karena itu, pemerintah bakal memasukkan komitmen pelunasan pajak sebagai salah satu dokumen kelengkapan pada saat perusahaan tambang mengajukan rencana kerja dan anggaran biaya (RKAB).

    “Tujuan DJP bukan menekan pelaku usaha, tetapi memastikan fairness dan level playing field, agar penerimaan negara sesuai potensi riil sektor pertambangan,” ujar Bimo.

    Dia menegaskan pentingnya keselarasan antara data RKAB, produksi, penjualan, dan laporan pajak yang disampaikan melalui SPT (Surat Pemberitahuan Tahunan).

    Menurutnya, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) bersama Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) terus memperkuat joint audit dan pemadanan data melalui MODI/MOMS, data ekspor Bea Cukai, serta laporan keuangan perusahaan.

  • Alasan Hipmi Sebut Insentif bagi Pengusaha Kelas Menengah Belum Proporsional

    Alasan Hipmi Sebut Insentif bagi Pengusaha Kelas Menengah Belum Proporsional

    Bisnis.com, JAKARTA — Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) menilai insentif yang digelontorkan pemerintah untuk dunia usaha belum proporsional terutama bagi pengusaha kelas menengah. 

    Sebagaimana diketahui, pemerintah masih akan menggelontorkan triliunan rupiah untuk insentif perpajakan berupa tax holiday maupun tax allowance pada 2026 untuk dunia usaha dan iklim investasi. 

    Sekjen Hipmi Anggawira menyampaikan bahwa pihaknya mengapresiasi keberlanjutan insentif perpajakan itu. Menurutnya, itu memberikan sinyal bahwa negara tetap proinvestasi termasuk untuk 2026. 

    Namun, dia menyebut pengusaha tetap masih memiliki catatan untuk alokasi insentif dimaksud. 

    “Untuk investasi skala besar dan sektor prioritas tertentu, skema tax holiday relatif memadai. Namun untuk pelaku usaha menengah, industri padat karya, dan hilirisasi sektor riil, banyak yang menilai insentif masih bersifat top-heavy dan belum sepenuhnya menjangkau kebutuhan lapangan,” terang Anggawira kepada Bisnis, Minggu (7/12/2025). 

    Selain itu, Anggawira mengingatkan perlunya melihat seberapa efektif dan mudah insentif itu dimanfaatkan oleh dunia usaha khususnya di tengah ketidakpastian global dan fluktuasi permintaan domestik.

    Saat ini, lanjutnya, sebagian pengusaha diakui olehnya masih dalam mode wait and see. Akan tetapi, dia menyebut alasannya bukan karena insentif yang tidak menarik, melainkan berbagai faktor lain. 

    Faktor-faktor itu meliputi kepastian regulasi dan konsistensi kebijakan fiskal–industri, kecepatan dan kepastian perizinan, stabilitas biaya produksi (energi, logistik, dan tenaga kerja), serta akses pembiayaan yang kompetitif. 

    Anggawira menyebut pihaknya mendorong sejumlah alternatif maupun penyempurnaan insentif pajak untuk dunia usaha. Misalnya, dia mendorong agar pemberian insentif berbasis kinerja nyata dan bukan hanya untuk investasi awal.

    Menurutnya, insentif bagi dunia usaha perlu dikaitkan juga dengan serapan tenaga kerja, peningkatan tingkat komponen dalam negeri atau TKDN, integrasi UMKM dalam rantai pasok, serta ekspor atau substitusi impor. 

    Selanjutnya, dia mendorong agar insentif fiskal tidak hanya dialamatkan untuk pembebasan atau keringanan pajak penghasilan (PPh), namun juga untuk cost structure. 

    “Misalnya insentif energi/listrik untuk industri strategis, super deduction tax untuk R&D, vokasi, dan digitalisasi; dan insentif PPN untuk mesin dan bahan baku tertentu,” lanjut pria yang juga menjabat Ketua Umum Asosiasi Pemasok Energi Mineral dan Batu Bara (Aspebindo) itu. 

    Lalu, dia meminta agar ke depan pemerintah bisa menerapkan skema insentif cepat dan sederhana untuk usaha menengah. Menurutnya, perlu ada insentif jalur cepat yang tidak terlalu administratif, berbasis online dan terukur, memberi kepastian waktu persetujuan, serta insentif sektoral yang lebih adaptif. 

    Catatan lain yang disampaikannya yakni bahwa insentif jangan sampai dialokasikan hanya untuk manufaktur besar, melainkan juga bagi industri pendukung hilirisasi, energi baru dan terbarukan, serta industri pangan dan ekonomi kesehatan.

    Insentif Pajak Gerus Tax Ratio

    Di sisi lain, otoritas fiskal mengakui bahwa pemberian insentif pajak beberapa tahun belakangan turut menggerus rasio penerimaan pajak alias tax ratio. Namun, efek itu diyakini hanya jangka pendek. 

    Pada rapat dengan Komisi XI DPR, Rabu (26/11/2025), Direktur Jenderal Pajak Kemenkeu Bimo Wijayanto memaparkan bahwa selisih antara potensi dan realisasi penerimaan pajak Indonesia (tax ratio) mencapai total 6,4% terhadap produk domestik bruto (PDB) selama 2016–2021. 

    Terdapat gap sebesar ratusan triliun masing-masing akibat kebijakan fiskal maupun ketidakpatuhan pajak, merujuk pada laporan Bank Dunia yang dipaparkan Bimo di Komisi XI DPR, Rabu (26/11/2205). Dia menjelaskan bahwa total rata-rata tax gap per tahun itu merupakan gabungan dari gap yang diakibatkan oleh kebijakan fiskal (policy gap) sebesar 2,7%, serta akibat ketidakpatuhan (compliance gap) sebesar 3,7%, terhadap PDB. 

    Otoritas pajak memandang bahwa kendati adanya dampak jangka pendek terhadap tergerusnya rasio pajak, pemberian tax holiday maupun tax allowance khususnya untuk dunia usaha berguna untuk memberikan nilai tambah. 

    Pemberian triliunan rupiah untuk insentif pajak dipandang perlu sebagai trade off dari sektor-sektor tertentu agar mampu meningkatkan nilai tambah. 

    “Perlu kami sampaikan bahwa dalam jangka panjang pemberian kebijakan ini merupakan trade-off dari sektor-sektor yang mendapatkan insentif agar mampu meningkatkan nilai tambah, menguatkan daya saing di pasar global, menciptakan lapangan pekerjaan baru, hingga meningkatkan konsumsi dalam negeri sehingga berimplikasi luas terhadap peningkatan penerimaan pajak,” terang Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak Kemenkeu, Rosmauli kepada Bisnis, dikutip Minggu (7/12/2025). 

    Untuk itu, lanjut Rosmauli, pemerintah akan terus melakukan penyempurnaan kebijakan pemberian insentif secara terukur dan terarah. Tujuannya, agar multiplier effect dari sektor yang mendapat insentif dapat mendorong akselerasi perekonomian, yang pada akhirnya juga meningkatkan penerimaan pajak dalam membiayai pembangunan negara.

    Dikutip dari Buku II Nota Keuangan RAPBN 2026, nilai belanja perpajakan selama 2021 sampai dengan proyeksi 2025 dan yang dianggarkan 2026 terus meningkat. Bermula dari Rp293 triliun pada 2021, nilainya terus meningkat ke Rp400,1 triliun pada 2024.

    Nilainya melonjak 32,5% secara tahunan (year-on-year/YoY) pada 2025 yang diproyeksikan mencapai Rp530,3 triliun. Kemudian, pada 2026, belanja perpajakan dicanangkan sebesar Rp563,6 triliun. 

    Pada 2025 dan 2026, belanja perpajakan terbesar masih untuk jenis pajak konsumsi yakni pajak pertambahan nilai (PPN) maupun pajak penjualan barang mewah (PPnBM), serta pajak penghasilan (PPh) masing-masing Rp343,3 triliun (2025) dan Rp371,9 triliun (2026). Nilainya juga meningkat pada APBN 2026 yakni masing-masing Rp150,3 triliun dan Rp160,1 triliun. 

    Berdasarkan tujuannya, belanja perpajakan untuk meningkatkan investasi dan mendukung dunia bisnis sama-sama meningkat. Untuk meningkatkan investasi, pemerintah menggelontorkan insentif pajak Rp84,3 triliun pada 2025 dan meningkat ke Rp84,7 triliun. 

    Sementara itu, untuk mendukung dunia bisnis, belanja perpajakan yang dianggarkan sebesar Rp56,9 triliun pada 2025 dan meningkat ke Rp58,1 triliun. 

  • APLSI Tegaskan Komitmen Kemandiran dan Transisi Energi Nasional

    APLSI Tegaskan Komitmen Kemandiran dan Transisi Energi Nasional

    Liputan6.com, Jakarta – Asosiasi Produsen Listrik Swasta Indonesia (APLSI) resmi melantik Pengurus dan Komite Kerja periode 2025–2029.Pelantikan ini merupakan tindak lanjut Musyawarah Nasional APLSI yang menetapkan Eka Satria sebagai Ketua Umum APLSI periode 2025–2029.

    Dalam pidatonya, Penasihat Khusus Presiden Bidang Energi Purnomo Yusgiantoro mengapresiasi atas peran APLSI dalam tata kelola energi nasional, menekankan pentingnya komunikasi yang baik antara APLSI, pemerintah, PLN, dan publik. Ia menilai kontribusi konstruktif APLSI sangat penting bagi stabilitas sektor energi ke depan.

    Sedangkan Wakil Ketua MPR RI Eddy Soeparno menuturkan, dunia usaha memegang peran sentral dalam transisi energi. “Dunia usaha bukan hanya pemasok megawatt, tetapi motor transisi energi,” kata dia seperti dikutip dari keterangan resmi, Minggu (7/12/2025).

    Ia berharap APLSI dapat menjadi mitra dialog pemerintah dalam menghasilkan kebijakan yang realistis dan implementatif.

    Sebagai asosiasi resmi Independent Power Producers (IPP), APLSI menaungi lebih dari 30 anggota IPP dan non-IPP dengan kapasitas pembangkit mendekati 20 gigawatt, setara dengan 50% kontribusi IPP non-PLN.

    Anggota APLSI mewakili seluruh energy mix Indonesia — mulai dari pembangkit gas, batu bara, panas bumi, hidro, biomassa, surya, hingga teknologi baru seperti battery storage dan interkoneksi. APLSI juga merupakan Anggota Luar Biasa KADIN Indonesia, yang memperkuat perannya dalam mendorong pertumbuhan investasi dan industri nasional.

    Ketua Umum APLSI Eka Satria menuturkan, Indonesia memasuki periode penting transformasi energi, dengan konsumsi listrik yang terus meningkat dan potensi energi baru terbarukan yang mencapai lebih dari 3.600 GW.

    Ia mengatakan, potensi besar ini bukan hanya dapat memenuhi kebutuhan listrik dalam negeri, tetapi juga membuka peluang sebagai sumber devisa melalui ekspor energi hijau, yang pada gilirannya dapat mendorong investasi, pertumbuhan industri, dan penciptaan lapangan kerja.

     

  • KBRI Astana Jajaki Kolaborasi dengan ERG Kazakhstan untuk Penghiliran Mineral

    KBRI Astana Jajaki Kolaborasi dengan ERG Kazakhstan untuk Penghiliran Mineral

    Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah Indonesia dan Kazakhstan berkomitmen untuk meningkatkan kerja sama bidang penghiliran mineral melalui penjajakan dengan Eurasian Resources Group (ERG) Kazakhstan.

    ERG merupakan salah satu perusahaan pertambangan dan energi yang berpusat di Kazakhstan dan Luxembourg. Investasi perusahaan ERG di Kazakhstan sekitar US$15 miliar dan pemerintah Kazakhstan memiliki 40% saham di ERG.  ERG juga beroperasi di Kongo (Afrika) dan Brasil.

    Duta Besar RI untuk Kazakhstan dan Tajikistan M. Fadjroel Rachman memimpin langsung kunjungan delegasi ERG di Indonesia pada 19—30 November 2025. Sejumlah perusahaan yang dikunjungi delegasi ERG yakni PT Indonesia Asahan Aluminium atau Inalum di Kabupaten Batu Bara, Sumatra Utara, PT BAI Smelter-Grade Alumina Refinery di Mempawah, Kalimantan Barat, dan PT Aneka Tambang Tbk. di Tayan, Kalimantan Barat.

    “Kami sangat kagum dengan profesionalitas dan prestasi kerja ketiga Badan Usaha Milik Negara [BUMN] yang semuanya dikerjakan putera-puteri Indonesia,” ujar Fadjroel dalam keterangan resmi, Jumat (5/11/2025).

    Dubes Fadjroel menegaskan bahwa kunjungan delegasi ERG merupakan tindak lanjut dari arahan Presiden Prabowo dan Menlu Sugiono dalam rangka diplomasi ekonomi Indonesia di KBRI Astana guna mendukung penghiliran dan investasi hijau sesuai Asta Cita.

    “Arahan prioritas kerja Menteri Luar Negeri, Sugiono untuk mendorong diplomasi ketahanan nasional serta diplomasi ekonomi Pancasila,” ujar mantan Komisaris Utama Adhi Karya dan komisaris Waskita tersebut.

    Wakil Direktur Utama (Deputy CEO) Bidang Keuangan ERG Daniyar Ravshanovich Rakhmatullayev mengapresiasi pelayanan dan berbagai informasi terkait dengan peluang kerja sama di Indonesia.

    Dalam menunjukkan keseriusan ERG dalam membangun kerja sama strategis di Indonesia, Daniyar membawa tim lengkap di antaranya Gulnur Kanybekovna Abienova sebagai Direktur Jenderal JSC Aluminium Kazakhstan, Vladimir Nikolaevich Krasnoyarskiy sebagai Kepala Riset dan Rekayasa, Petr Petrovich Gorovoy sebagai Kepala Hidrometalurgi, dan Murat Bakhtybekovich Zhumabayef sebagai Direktur Produksi.

    “Semoga rencana kerja sama strategis antara ERG dengan MIND ID, PT Inalum, PT BAI, dan PT Antam dapat terwujud dalam waktu dekat,” ujar Daniyar.

    Kunjungan ERG di ini sekaligus untuk memperkuat finalisasi Nota Kesepahaman (MoU) kerja sama bilateral di bidang mineral antara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Indonesia (ESDM) dengan Kementerian Perindustrian dan Konstruksi Kazakhstan.

    Dirjen Minerba Kementerian ESDM Tri Winarno mengatakan bahwa kebijakan dan prioritas pemerintah Indonesia saat ini adalah penghiliran pada sektor mineral, serta membuka luas peluang investasi dan kolaborasi antara Indonesia dan Kazakhstan.

    Sementara itu, Direktur Utama PT Inalum Melati Sarnita meyakini bahwa ERG sebagai sebuah grup sumber daya alam global mempunyai potensi besar memperkuat industri mineral Indonesia serta meningkatkan nilai tambah dan daya saing industri mineral Indonesia di pasar dunia.

    Sejumlah anggota legislatif juga mendukung adanya penjajakan kerja sama dengan ERG. Dalam pertemuan di Kalimantan Barat, turut hadir Anggota DPR RI Komisi XII Gulam Muhammad Sharon dari Fraksi Nasdem, Wakil Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR RI Syarief Abdullah Alkadrie dari Fraksi Nasdem,  Wakil Ketua Komisi II DPR RI Bahtra Banong dari Fraksi Gerindra, serta Anggota Komisi II DPR RI Ujang Bey dari Fraksi Nasdem.

    Sharon menyampaikan dukungan peningkatan diplomasi ekonomi antara Indonesia dengan Kazakhstan dan Tajikistan. “Sebagai anggota DPR RI daerah pemilihan Kalimantan Barat yang membidani urusan Energi dan Sumber Daya Mineral [ESDM], lingkungan hidup, dan investasi, saya akan mendukung penuh penguatan kerja sama ekonomi antara Indonesia dengan Kazakhstan dan Tajikistan,” ucap politisi muda Kalbar tersebut.

  • Pensiun Dini PLTU Cirebon-1 Batal, Berisiko Hambat Investasi Hijau

    Pensiun Dini PLTU Cirebon-1 Batal, Berisiko Hambat Investasi Hijau

    Bisnis.com, JAKARTA — Pembatalan rencana pensiun dini Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Cirebon-1 dinilai akan berdampak luas terhadap ekonomi nasional. Utamanya dalam menggaet investasi hijau yang saat ini diincar investor global. 

    Manajer Program Transformasi Sistem Energi Institute for Essential Services Reform (IESR) Deon Arinaldo mengatakan, industri dan perusahaan dengan target menggunakan energi baru terbarukan (EBT) 100% pada 2040 akan meninjau ulang investasi di Indonesia. 

    “Mereka akan tinjau ulang investasi maupun ekspansi fasilitas yang ada, toh sistem kelistrikan Indonesia akan didominasi fosil yang tidak selaras dengan aspirasi industri korporat ini,” kata Deon kepada Bisnis, Jumat (5/12/2025). 

    Risiko investasi dan ekspansi perusahaan EBT disebut akan memengaruhi target pertumbuhan ekonomi 8%, mengingat realisasi investasi berperan penting untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang jauh lebih besar dari tahun sebelumnya. 

    Pembatalan pensiun dini PLTU juga menunjukkan bahwa komitmen pemerintah berkurang jauh untuk transisi energi, meskipun Presiden Prabowo Subianto cukup ambisius berbicara transisi yang cepat di forum internasional. 

    “Padahal upaya dan biaya yang dialokasikan untuk ini sudah hampir 3 tahun oleh pihak terkait yaitu PT SMI, ADB, pemilik Cirebon, termasuk juga PLN sudah alokasikan waktu dan biaya untuk assess dampaknya,” jelasnya. 

    Dia juga menilai pembatalan rencana tersebut akan membuat upaya transisi energi makin berat karena pemangku kepentingan akan makin ragu untuk mengambil keputusan investasi ataupun memberi dukungan ke Indonesia karena tidak konsisten. 

    Oleh karena itu, Deon melihat implikasinya akan banyak, selain dari kredibilitas pemerintah dan negara yang turun, manfaat dari pensiun dini PLTU juga tidak didapatkan, seperti pengurangan polusi udara dan berkurangnya dampak ke kesehatan dan produktivitas utamanya komunitas di sekitar PLTU

    “Manfaat dari berkurangnya dampak negatif ke kesehatan serta berkurangnya subsidi ke fosil itu saja sudah jauh melebihi biaya pensiun PLTU,” tuturnya. 

    Untuk itu, IESR mendorong pemerintah untuk menindaklanjuti kembali upaya pensiun dini PLTU Cirebon-1 dengan mengukur ulang dampaknya mempertimbangkan faktor manfaat yang lebih luas seperti pengurangan polusi dan risiko aset terdampak. 

    “Serta penegasan Perpres 112/2022 untuk mendorong pensiun dini PLTU dan mengevaluasi regulasi yang mendukung penggunaan batu bara seperti DMO [domestic market obligation] dan DPO [domestic price obligation] dan menyusun strategi agar insentif itu ditiadakan lagi,” pungkasnya. 

    Adapun, pemerintah memutuskan untuk membatalkan rencana pensiun dini PLTU Cirebon-1. Sebagai gantinya, pemerintah kini tengah mencari pembangkit listrik alternatif yang berusia lebih tua dan memiliki dampak lingkungan yang lebih berat untuk dipensiunkan.

    Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengungkapkan bahwa keputusan ini didasari oleh pertimbangan teknis. Menurutnya, PLTU Cirebon-1 masih memiliki masa operasional yang panjang dan telah mengadopsi teknologi yang ramah lingkungan dibandingkan pembangkit lawas lainnya.

    “[PLTU] Cirebon itu salah satunya yang umurnya masih panjang, dan teknologinya juga sudah super critical, relatif itu lebih baik,” ujarnya di Kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta, Jumat (5/12/2025).

    Airlangga menyatakan bahwa program pensiun dini tidak dihentikan, melainkan dialihkan targetnya. Saat ini, sambungnya, PT PLN (Persero) tengah menyusun daftar (pipeline) PLTU pengganti yang dinilai lebih layak untuk disuntik mati lebih awal.

    “Nanti dicarikan alternatif lain yang usianya lebih tua, dan lebih terhadap lingkungannya memang sudah perlu di-retire [dipensiundinikan],” tambahnya.

  • Mendag: Pencabutan QCO India buka peluang ekspor serat buatan RI

    Mendag: Pencabutan QCO India buka peluang ekspor serat buatan RI

    Kami mendorong para produsen agar memanfaatkan peluang ini secara optimal dan segera mengakselerasi pemulihan ekspor VSF ke India

    Jakarta (ANTARA) – Kementerian Perdagangan (Kemendag) menyatakan bahwa Pemerintah India pada 18 November 2025 resmi mencabut Quality Control Order (QCO) untuk produk Viscose Staple Fiber (VSF) atau serat buatan asal Indonesia.

    Menteri Perdagangan (Mendag) Budi Santoso mengatakan pencabutan aturan ini membuka peluang bagi Indonesia untuk memperkuat posisi sebagai pemasok utama VSF di India dan meningkatkan daya saing industri tekstil lokal Indonesia.

    “Pencabutan QCO VSF merupakan momentum penting bagi pelaku usaha Indonesia. Kami mendorong para produsen agar memanfaatkan peluang ini secara optimal dan segera mengakselerasi pemulihan ekspor VSF ke India,” kata Budi dalam keterangan di Jakarta, Jumat.

    Keputusan yang berlaku segera (effective immediately) ini, menghapus kewajiban sertifikasi dari Biro Standar India (BIS) dan pemenuhan standar IS 17266:2019, baik bagi barang domestik maupun barang impor yang beredar di pasar India.

    Bagi Indonesia, pencabutan QCO diprediksi menyumbang surplus perdagangan dengan India. Hal ini karena India merupakan pasar utama ekspor produk VSF Indonesia.

    Akibat diberlakukannya QCO, terjadi hambatan signifikan bagi ekspor VSF Indonesia ke India. Pada 2024 nilai ekspor VSF hanya sebesar 14,03 juta dolar AS, turun drastis dibandingkan tahun 2022 yang mencapai 110,72 juta dolar AS.

    Budi menyampaikan keputusan Pemerintah India mencabut QCO merupakan hasil dari upaya pengamanan perdagangan dari Pemerintah Indonesia selama dua tahun terakhir.

    Menurut dia, upaya tersebut dilakukan melalui komunikasi intensif dengan otoritas India, pembahasan teknis terkait prosedur sertifikasi BIS, dan penyampaian specific trade concerns dalam Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).

    Selama upaya itu dilaksanakan, Kementerian Perdagangan RI mendampingi para pelaku usaha Indonesia untuk memenuhi persyaratan teknis Pemerintah India.

    Pelaksana Tugas (Plt.) Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kemendag Tommy Andana mengatakan pihaknya terus berkomitmen mengupayakan pengamanan perdagangan dan pendampingan pelaku usaha untuk menjaga stabilitas dan keberlanjutan ekspor Indonesia.

    “Keputusan India telah memberikan kepastian baru bagi eksportir VSF asal Indonesia. Kami berkomitmen untuk memastikan bahwa tidak ada hambatan yang dapat mengganggu kelancaran perdagangan VSF Indonesia,” ujar Tommy.

    Total perdagangan Indonesia dengan India pada Januari-Oktober 2025 tercatat sebesar 19,37 miliar dolar AS dengan ekspor Indonesia ke India 15,33 miliar dolar AS dan impor Indonesia dari India 4,04 miliar dolar AS. Indonesia surplus perdagangan terhadap India sebesar 11,29 miliar dolar AS.

    Selama lima tahun terakhir (2020-2024) India menempati posisi ke-3 sebagai negara tujuan ekspor Indonesia dan posisi ke-10 sebagai negara asal impor Indonesia.

    Produk ekspor utama Indonesia ke India, yakni batu bara, minyak sawit mentah dan baja tahan karat.

    Sementara itu, produk impor utama Indonesia dari India, yakni daging, kacang tanah dan kendaraan berat.

    Pewarta: Maria Cicilia Galuh Prayudhia
    Editor: Agus Salim
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Panggilan Darurat dari Sumatera: Pemerintah Gamang Tetapkan Bencana Nasional?
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        5 Desember 2025

    Panggilan Darurat dari Sumatera: Pemerintah Gamang Tetapkan Bencana Nasional? Nasional 5 Desember 2025

    Panggilan Darurat dari Sumatera: Pemerintah Gamang Tetapkan Bencana Nasional?
    Sejak 2006 berkecimpung di dunia broadcast journalism, dari Liputan6 SCTV, ANTV dan Beritasatu TV. Terakhir menjadi produser eksekutif untuk program Indepth, NewsBuzz, Green Talk dan Fakta Data
    GUBERNUR
    Aceh, Muzakir Manaf, menyamakan banjir yang menerjang provinsinya sebagai tsunami kedua. Itu momen terkelam dalam sejarah Aceh sejak bergabung dengan republik Indonesia–gempa dahsyat dengan skala yang “menyundul” Skala Richter di akhir 2004 silam.
    Kini, “tsunami” itu berulang, tapi dari sebab lain: Diduga paduan faktor alam dan ulah manusia.
    “Aceh seakan mengalami tsunami kedua. Tugas kita adalah melayani mereka yang terdampak. Tidak boleh ada jeda kemanusiaan di lapangan,” kata Mualem, begitu gubernur Aceh itu karib disapa (
    Antara
    , 2/12/2025).
    Skala dampak banjir di tanah rencong menjangkau 18 kabupaten/kota, tersebar di 226 kecamatan serta 3.310 desa (gampong). Hingga 4 Desember 2025, sebanyak 277 orang meninggal di Aceh. Sedikitnya 193 korban hilang dan 1.800 luka-luka.
    Bukan hanya Aceh, banjir serupa menghumbalang Sumatera Utara dan Sumatera Barat. Data terakhir, korban meninggal di Sumut mencapai 299 orang, korban hilang 159 orang dan 610 luka-luka.
    Adapun di Sumatera Barat, sebanyak 200 orang meninggal, 212 orang lainnya masih hilang dan 111 orang luka-luka. Total warga terdampak banjir besar di Aceh, Sumut, dan Sumbar menembus 3,3 juta jiwa (
    Liputan6.com
    , 4/12/2025).
    Banjir besar itu juga meluluhlantakkan infrastruktur seperti jembatan, fasilitas pendidikan, rumah ibadah, kantor hingga rumah warga.
    Data di atas menggambarkan betapa daruratnya bencana di tiga provinsi itu. Panggilan yang mestinya mendesak pemerintah pusat di Jakarta merespons dengan sigap dan supercepat.
    Terlebih dalam bencana ini, terindikasi ada kejahatan korporasi dan manusia di balik banjir dan longsor. Pemandangan kayu gelondongan di sejumlah titik lokasi banjir memberi kabar tentang adanya ulah manusia di balik bencana ini. Menteri Lingkungan Hanif Faisol mulai mengakui soal ini.
    “Ada indikasi pembukaan-pembukaan kebun sawit yang menyisakan log-log. Karena memang kan
    zero burning
    , sehingga kayu itu tidak dibakar, tapi dipinggirkan,” ujar Hanif Faisol (
    Kompas.com
    , 3/12/2025).
    Sang menteri melanjutkan, “Ternyata banjirnya yang cukup besar, mendorong itu (gelondongan kayu) menjadi bencana berlipat-lipat.”
    Dalam UU 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana, bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah

    longsor.
    Sementara bencana nonalam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian peristiwa nonalam yang antara lain berupa gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemi, dan wabah penyakit.
    Bencana di Sumatera kali ini adalah kombinasi antara faktor alam (curah hujan ekstrem) dengan kerusakan ekologi yang diduga karena ulah manusia, khususnya korporasi.
    Daya rusaknya mencekam. Tak salah jika menteri Lingkungan Hidup bilang “bencana berlipat-lipat”. Maksudnya, dampak banjir itu ke mana-mana, sangat merusak, luas dan parah.
    Namun, mengapa pemerintah tak lekas menetapkannya sebagai bencana nasional? Apakah perlu data dan informasi lagi untuk menggedor Jakarta bertanggung jawab?
    Sebagian kepala daerah telah melempar handuk atau bendera putih, tanda tak sanggup. Mengapa Jakarta masih kagok dan gamang?
    Kemarin adalah masa lalu, hari ini adalah kenyataan, dan esok adalah masa depan. Korban banjir membutuhkan kehadiran pemerintah untuk menghadapi kenyataan pahit ini.
    Mereka perlu diyakinkan bahwa masa depannya bisa ditegakkan. Namun, tak mungkin mereka membangun rumah, sekolah, tempat ibadah, jembatan hingga infrastruktur publik lainnya dengan swadaya.
    Negara perlu hadir lewat pemerintah terdekat. Ketika pemerintah terdekat tak sanggup, Jakarta harus menanggung beban.
    Negeri kita punya UU 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana. Pasal 51 ayat 1 menyebutkan, “Penetapan status darurat bencana dilaksanakan oleh pemerintah sesuai dengan skala bencana.”
    Ayat 2 menorehkan siapa yang harus bertanggung jawab. Penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk skala nasional dilakukan oleh presiden, skala provinsi dilakukan oleh gubernur, dan skala kabupaten/kota dilakukan oleh bupati/wali kota.
    Sudah waktunya Presiden Prabowo Subianto mengambil tanggung jawab. Saat ini tak penting lagi memberi “cap” bantuan presiden untuk beras atau kebutuhan pokok untuk korban banjir di Sumatera.
    Kini dibutuhkan seorang komandan yang menggerakkan tim dari Jakarta untuk turun ke lokasi bencana.
    Data dan informasi dihimpun untuk menggerakkan pekerjaan raksasa ini. Skala prioritas dibuat paling penting menyelamatkan manusia.
    Mereka yang berada di pengungsian tak boleh lapar. Tak boleh lagi ada cerita korban banjir, seperti di Sibolga, Sumatera Utara yang berebut makanan di minimarket. Sebelumnya diberitakan “menjarah”.
    Jangan lagi ada penjabat yang dengan enteng bicara, ”
    Banjir Sumatera
    cuma besar di media sosial”. Korban banjir di Sumatera memanggil. Panggilan mereka darurat, terkait nyawa yang tak ada “penggantinya di toko”.
    Pemerintah pusat punya duit kok. Dana makan bergizi gratis (MBG) tidak seluruhnya terserap tahun ini. Untuk program ini Badan Gizi Nasional (BGN) pernah minta dana tambahan hingga berjumlah Rp 171 triliun.
    Dari dana teralokasi tahun ini, bisa dikembalikan ke kas negara jika tak sanggup diserap. Pemerintah harus tahu mana yang lebih darurat dan mana yang harus ditangguhkan.
    Ini bukan masa normal. Bertindak
    business as usual
    tidak cukup. Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa harus lentur. Menurut dia, saat ini, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) masih memiliki lebih dari Rp 500 miliar dana siap pakai. Apakah itu cukup?
    Keadaan dan situasi lapangan yang berbicara. Satu yang pasti, anggaran penanganan bencana justru turun pada RAPBN 2026 menjadi Rp 491 miliar. Padahal di APBN 2025 masih Rp 2,01 triliun (
    CNBCIndonesia.com
    , 1/12/2025).
    Negara ini berada di lintasan “cincin api Pasifik”. Indonesia rentan dengan gempa bumi. Pada 2004 silam, negeri kita telah berpengalaman menangani bencana superbesar: Tsunami Aceh dan lalu Nias.
    Seyogianya pengalaman itu tidak bikin pemerintah kagok dan gagap lagi. Itu menimpa ujung Sumatera di masa Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kala.
    Di masa itu pemerintah terpaksa dan harus rela membentuk Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh dan Nias.
    Duet militer dan sipil itu juga memobilisasi bantuan internasional karena super dahsyatnya kerusakan akibat tsunami dan gempa bumi saat itu.
    Dalam lima tahun BRR bekerja, badan ini menghabiskan Rp 74 triliun untuk merehabilitasi dan rekonstruksi Aceh dan Nias. BRR membangun 134.000 rumah, 3.600 kilometer jalan dan 1.400 gedung sekolah.
    Apakah badan semacam BRR ini diperlukan untuk menjawab masalah saat ini?
    Menurut saya, iya. Itu merupakan bentuk kehadiran negara. Skala masalah dan kerjanya mungkin tak sebesar di Aceh 2004. Namun ingat, banjir akhir November 2025 ini memorakporandakan tiga provinsi di Sumatera.
    Untuk saat ini, yang paling penting adalah segera menetapkan status bencana nasional di Sumatera. Wakil rakyat di DPR jangan hanya menyerahkan urusan ini kepada presiden.
    Sebaliknya, DPR harus di depan dalam memberikan saran kepada presiden untuk menyatakan status bencana nasional di Sumatera.
    Korban banjir menunggu bantuan, daerah yang aksesnya terputus perlu segera dibuka, kerusakan infrastruktur yang massal harus segera dibangun.
    Sementara itu, mulai sekarang layak dikaji ulang keserakahan bangsa ini dalam mengeruk alam. Dalam siaran pers bertajuk “Dari Hulu yang Robek ke Kampung yang Tenggelam: Banjir Sumatera dan Ledakan Izin Ekstraktif”, Jatam mengingatkan hal yang sudah lama tidak didengar.
    Mengutip data Kementerian ESDM, Jatam memperlihatkan bahwa Sumatera telah diperlakukan sebagai zona pengorbanan untuk tambang minerba, mineral dan batu bara. Di pulau ini, ada 1.907 wilayah izin usaha pertambangan minerba aktif dengan total luas 2.458.469,09 hektare.
    Kepadatan izin ini terkonsentrasi di Bangka Belitung (443 izin), Kepulauan Riau (338), Sumatera Selatan (217), Sumatera Barat (200), Jambi (195), dan Sumatera Utara (170).
    Sementara provinsi lain seperti Lampung, Bengkulu, Aceh, dan Riau juga dijejali puluhan hingga ratusan izin di darat maupun laut.
    Menurut Jatam, luasan dan sebaran konsesi ini berarti jutaan hektare jaringan hutan, kebun rakyat, dan lahan basah yang dulu berfungsi sebagai penyangga air kini berubah menjadi area galian, infrastruktur tambang, dan jalur angkut, yang melemahkan kemampuan DAS untuk menahan dan mengalirkan air secara perlahan.
    Tekanan terhadap ekosistem Sumatera tidak berhenti pada tambang minerba. Sedikitnya 28 proyek Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) beroperasi atau dikembangkan di pulau ini, dengan sebaran terbesar di Sumatera Utara sebanyak 16 titik, diikuti Bengkulu (5 PLTA), Sumatera Barat (3), Lampung (2), dan Riau (2).
    Negeri ini harus mengkaji ulang tentang pembangunan yang bertumpu pada industri ekstraktif.
    Saya ingin ulang lagi pernyataan Bjorn Hettne dalam buku “Teori Pembangunan dan Tiga Dunia” (1990). Di buku ini, ia menyebut pembangunan adalah salah satu gagasan yang tertua dan terkuat dari semua gagasan Barat (baca: Eropa).
    Unsur utamanya, kata Hettne, tak lain metafora pertumbuhan. Pembangunan sesuai dengan metafora ini dipahami sebagai organisme, imanen, terarah, kumulatif, dan bertujuan.
    Sumatera hari ini adalah kisah pembangunan yang kehilangan arah. Saat alam rusak, cuma soal waktu ia bakal memukul balik manusia.
    Bencana Sumatera
    bukan semata karena faktor alam, tapi juga karena ulah manusia–kepanjangan tangan dari korporasi–yang serakah.
    Sesuatu yang digugat dan tidak dikehendaki oleh Presiden Prabowo ketika berulang-ulang mengucapkan ‘Serakahnomics’ di sejumlah kesempatan.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Transformasi digital MIND ID jadi fondasi penguatan industri batu bara

    Transformasi digital MIND ID jadi fondasi penguatan industri batu bara

    Jakarta (ANTARA) – Corporate Secretary MIND ID Pria Utama menjelaskan bahwa transformasi digital menjadi fondasi penting bagi MIND ID dalam mendorong penguatan industri batu bara nasional.

    Holding Industri Pertambangan Indonesia MIND ID, menurut dia, terus memperkuat transformasi digital di sektor pertambangan nasional melalui penerapan inisiatif smart mining.

    “Melalui transformasi digital ini, kami berupaya agar sektor pertambangan mampu menjadi tulang punggung untuk kemajuan bangsa,” kata Pria dalam keterangan di Jakarta, Kamis.

    Salah satu langkah strategis tersebut dihadirkan oleh PT Bukit Asam Tbk (PTBA), yang mengembangkan integrasi digital secara menyeluruh dari tingkat operasional hingga sistem informasi perusahaan.

    Transformasi tersebut, lanjutnya, menjadikan operasional penambangan batu bara Indonesia semakin efisien, aman, guna menghasilkan nilai tambah sekaligus kontribusi yang besar bagi negara.

    Inisiatif digital PTBA, ia mengatakan dikembangkan melalui kerangka kerja yang menghubungkan Operational Technology (OT) dengan Information Technology (IT), sehingga seluruh proses operasional dapat terpantau secara real time, terukur, dan terkoneksi dalam satu ekosistem digital.

    Melalui platform CiSEA (Corporate Information System for Enterprise Application), sistem produksi, pengangkutan, keselamatan kerja, hingga perawatan peralatan tambang, kini dapat dikelola secara komprehensif berdasarkan data terintegrasi.

    Selain itu, menurut dia, penerapan digitalisasi secara real-time mampu meningkatkan produksi batu bara sebesar 10-20 persen dibandingkan sebelum diterapkannya digitalisasi.

    Digitalisasi juga akan menjadi fondasi bagi Grup MIND ID dalam meningkatkan produksi batu bara dari 41 juta ton menjadi 100 juta ton ke depan.

    Bukit Asam saat ini mengoperasikan lebih dari seratus modul digital yang digunakan oleh lebih dari tujuh ribu pengguna internal, dengan tingkat pengumpulan data mencapai tujuh puluh persen dari seluruh aktivitas operasional.

    Sistem tersebut, menurut dia, telah mengintegrasikan jaringan sensor, peralatan otomatis, sistem pemantauan alat berat, hingga analitika berbasis machine learning. Melalui pendekatan ini, proses produksi batu bara dapat dikontrol dengan lebih presisi, termasuk perencanaan tambang, penjadwalan alat produksi, hingga pemantauan energi dan emisi.

    Sistem digital juga memungkinkan perusahaan memperkuat tata kelola lingkungan melalui pemantauan kualitas air, rehabilitasi lahan, serta pengendalian area operasional secara digital. Dengan otomatisasi dan transparansi data, PTBA memastikan seluruh proses penambangan berjalan sesuai kaidah good mining practice.

    Pria menambahkan bahwa digitalisasi tambang merupakan lompatan penting bagi masa depan pertambangan Indonesia karena mampu menekan biaya produksi, meningkatkan produktivitas, sekaligus memastikan standar keselamatan kelas dunia.

    “MIND ID meyakini bahwa masa depan pertambangan Indonesia ada pada kemampuan kita dalam mengoptimalkan teknologi. Kami tidak hanya meningkatkan produktivitas, tetapi juga membangun landasan pertambangan yang lebih bertanggung jawab, modern, dan siap menyongsong peradaban masa depan Indonesia,” ujar dia.

    Pewarta: Maria Cicilia Galuh Prayudhia
    Editor: Virna P Setyorini
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Pendapatan ESDM Tembus Rp210,9 Triliun per November 2025, dari Batu Bara Hingga Panas Bumi

    Pendapatan ESDM Tembus Rp210,9 Triliun per November 2025, dari Batu Bara Hingga Panas Bumi

    Bisnis.com, BOGOR — Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat penerimaan negara bukan pajak (PNBP) sektor ESDM mencapai Rp210,9 triliun per November 2025. Angka tersebut setara 82,87% dari target anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) 2026 sebesar Rp254,49 triliun.

    Berdasarkan data Kementerian ESDM, realisasi PNBP minyak dan gas (migas) hingga November mencapai Rp85,89 triliun, PNBP mineral dan batu bara (minerba) sebesar Rp114,55 triliun. Selanjutnya, PNBP dari sektor panas bumi tercatat Rp1,78 triliun, sedangkan PNBP lain mencapai Rp8,68 triliun.

    Wakil Menteri ESDM Yuliot Tanjung optimistis target PNBP 2025 dapat tercapai. Ia menyampaikan masih ada waktu satu bulan untuk mengejar kekurangan penerimaan.

    “Kami mengharapkan dengan konsolidasi yang dilakukan karena PNBP itu kan bukan hanya dari hulu migas, tetapi juga ada dari minerba, ada dari energi baru terbarukan dan juga ada PNBP lain. Jadi, kami mengharapkan ini apa yang sudah ditargetkan itu akan bisa tercapai,” ujar Yuliot di Sentul, Kabupaten Bogor, Rabu (3/12/2025).

    Realisasi PNBP sektor ESDM selama lima tahun terakhir konsisten melampaui target APBN. Pada 2020, realisasi PNBP sektor ini mencapai Rp108,7 triliun atau 120% dari target Rp90,7 triliun. Saat itu, PNBP migas berkontribusi Rp69,7 triliun, minerba Rp34,6 triliun, EBTKE Rp2 triliun, dan penerimaan lain Rp2,4 triliun.

    Pada 2021, penerimaan meningkat menjadi Rp189,2 triliun atau 156% dari target Rp121,2 triliun. Kontribusi terbesar berasal dari migas sebesar Rp103,2 triliun dan minerba Rp75,5 triliun.

    Kenaikan signifikan terjadi pada 2022 ketika PNBP sektor ESDM mencatat Rp351 triliun atau 138% dari target Rp254 triliun. Pada tahun tersebut, PNBP migas mencapai Rp148,7 triliun dan minerba Rp183,4 triliun.

    Meski sempat turun, PNBP ESDM pada 2023 tetap melampaui target, yakni Rp300,3 triliun atau 116% dari target Rp259,2 triliun. Penerimaan migas mencapai Rp117 triliun, minerba Rp173 triliun, EBTKE Rp3,1 triliun, dan lainnya Rp7,3 triliun.

    Pada 2024, realisasi kembali turun menjadi Rp269,5 triliun, tetapi tetap melewati target Rp234,2 triliun. Kontribusinya meliputi migas Rp110,9 triliun, minerba Rp140,5 triliun, EBTKE Rp2,8 triliun, dan PNBP lainnya Rp15,4 triliun.

  • RI tetap catat surplus perdagangan dengan AS meski ada tarif Trump

    RI tetap catat surplus perdagangan dengan AS meski ada tarif Trump

    Dampak penerapan tarif impor Amerika belum terlalu signifikan karena banyak eksportir yang melakukan ‘front loading’

    Jakarta (ANTARA) – Kepala Riset Makroekonomi dan Pasar Keuangan Bank Mandiri Dian Ayu Yustina mengatakan Indonesia masih mampu mencatat surplus perdagangan dengan Amerika Serikat sepanjang Januari—Oktober 2025, meski terdapat tekanan dari penerapan tarif impor oleh pemerintahan Presiden AS Donald Trump.

    Menurut Dian Ayu, surplus perdagangan tersebut terjadi karena banyak eksportir melakukan front loading atau percepatan pengiriman barang sebelum tarif impor AS resmi diberlakukan awal Agustus 2025. Kondisi ini membuat Neraca Perdagangan Indonesia dengan AS tetap terjaga.

    “Dampak penerapan tarif impor Amerika belum terlalu signifikan karena banyak eksportir yang melakukan front loading,” ujar Dian Ayu dalam paparan Economic Outlook 4Q2025 yang diikuti secara daring di Jakarta, Rabu.

    Data Badan Pusat Statistik (BPS) yang diolah tim ekonom Bank Mandiri menunjukkan bahwa AS dan India menjadi dua negara dengan surplus terbesar bagi Indonesia sepanjang Januari–Oktober 2025.

    Surplus perdagangan dengan AS meningkat signifikan dari 11,6 miliar dolar AS pada Januari—Oktober 2024 menjadi 14,9 miliar dolar AS pada periode yang sama tahun 2025, atau tumbuh 28,4 persen.

    Sementara itu, surplus perdagangan dengan India menurun dari 12,6 miliar dolar AS pada Januari—Oktober 2024 menjadi 11,3 miliar dolar AS pada periode yang sama tahun 2025, atau turun 10,3 persen.

    Kendati demikian, India tetap tercatat sebagai mitra dagang dengan surplus terbesar kedua bagi Indonesia.

    Sementara itu, Indonesia mencatat defisit perdagangan yang semakin dalam dengan China, dari -9,3 miliar dolar AS pada Januari—Oktober 2024 menjadi 16,3 miliar dolar AS pada periode tersebut tahun 2025.

    Berdasarkan komoditas, surplus perdagangan Indonesia masih ditopang oleh komoditas utama seperti minyak nabati terutama crude palm oil (CPO), dengan nilai surplus mencapai 28,1 miliar dolar AS.

    Selanjutnya, komoditas batu bara dan gas menyumbang surplus sebesar 22,6 miliar dolar AS. Adapun besi dan baja turut memberikan dukungan dengan surplus sebesar 15,8 miliar dolar AS.

    Dian Ayu menekankan bahwa perkembangan ekspor perlu terus didukung melalui pembukaan perjanjian perdagangan baru, baik bilateral maupun regional.

    “Sehingga bisa menjadi bantalan apabila memang ada nanti potensi tekanan akibat penerapan tarif AS,” kata dia.

    Pewarta: Shofi Ayudiana
    Editor: Agus Salim
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.