Produk: Artificial Intelligence

  • Heboh Video AI ‘Hari Pertama di Neraka’, Anggota DPR Merasa Miris

    Heboh Video AI ‘Hari Pertama di Neraka’, Anggota DPR Merasa Miris

    Jakarta

    Anggota Komisi VIII DPR RI, Selly Andriany Gantina, merasa miris dengan beredarnya video artificial intelligence (AI) tentang ‘testimoni masuk neraka’. Dia meminta kemajuan teknologi seperti AI disikapi dengan bijak dan penuh tanggung jawab.

    “Sebagai anggota Komisi VIII DPR RI yang memiliki tanggung jawab moral terhadap kehidupan berbangsa dan beragama. Saya merasa miris dengan banyak postingan testimoni hari pertama neraka menggunakan AI,” kata Selly kepada wartawan, Selasa (10/6/2025).

    “Kita harus menyadari bahwa perkembangan teknologi, termasuk AI, adalah bagian dari kemajuan zaman yang tak terelakkan. Namun demikian, penggunaannya harus disertai dengan tanggung jawab etika, sosial, dan spiritual,” tambahnya.

    Selly menyebut gambaran tentang neraka yang hakiki tidak mungkin dapat ditangkap secara sempurna oleh imajinasi manusia, apalagi oleh teknologi buatan. Dia pun mempertanyakan tujuan dari pembuatan konten yang memvisualkan neraka tersebut.

    “Jika digunakan untuk menanamkan ketakwaan, meningkatkan kesadaran moral, dan sebagai bentuk tadabbur terhadap ayat-ayat Allah, maka perlu dilakukan dengan kehati-hatian dan rujukan yang benar,” ucap Selly.

    “Namun, jika justru menyederhanakan atau bahkan menyimpangkan pemahaman umat terhadap konsep akhirat, maka ini menjadi persoalan serius. Terlebih Indonesia merupakan negara Pancasila. Artinya kewajiban setiap warga negara untuk menjaga kehormatan dan kemuliaan agama,” sambungnya.

    “Jangan sampai konten seperti ini mengaburkan akidah dan menggantikan rujukan kita dari Al-Qur’an dan Sunnah kepada visualisasi artifisial,” ujarnya.

    Lebih jauh, Selly mengimbau kepada para kreator konten untuk menjadikan AI sebagai alat dakwah yang bertanggung jawab, bukan sekadar alat viral. Dia ingin teknologi digunakan dengan adab, bukan hanya dengan ambisi.

    Sebelumnya, media sosial dihebohkan dengan konten YouTube ‘hari pertama masuk neraka’ dan ‘hari kedua di neraka’. Ada dua unggahan video artificial intelligence (AI) terkait neraka itu. Video pertama berdurasi 9 detik dan video kedua berdurasi 41 detik. Video itu diunggah oleh salah satu akun YouTube.

    Video AI dengan judul ‘Hari Pertama masuk neraka cek’ menampilkan seorang pria sedang berada di dalam ‘sungai’ yang seolah-olah seperti aliran api. Pria tersebut berada di ‘sungai api’ dengan latar kobaran api.

    Video kedua ‘AI, hari kedua di negara cek part1’, menampilkan seorang pria mengenakan baju putih sedang membuat vlog dengan latar belakang kobaran api. Dalam video itu juga menampilkan pria lainnya mengenakan baju compang-camping, juga dengan latar kobaran api.

    Gambar selanjutnya menampilkan pria yang mengaku berenang di aliran lava. Di belakang pria tersebut tampak sekelompok orang berenang di ‘lava’.

    “Liburan dulu guys, nyobain mandi lava, ternyata seru juga, panasnya mantul,” kata pria dalam video itu.

    (fas/idh)

    Hoegeng Awards 2025

    Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

  • ParagonCorp Wakili RI di MI Conference 2025 International Accountants

    ParagonCorp Wakili RI di MI Conference 2025 International Accountants

    Jakarta, CNBC Indonesia – ParagonCorp kembali menunjukkan kiprah globalnya sebagai perusahaan Indonesia dengan praktik keuangan dan tata kelola berstandar tinggi.

    Adapun Executive Vice President & CFO ParagonCorp, Ilauddin Sopian menjadi salah satu panelis terpilih dalam MIA International Accountants Conference 2025 yang berlangsung pada 26-27 Mei 2025 di Malaysian International Trade & Exhibition Centre (MITEC), Kuala Lumpur.

    “Kesempatan ini bukan hanya untuk berbagi praktik baik dari Paragon, tapi juga untuk membangun dialog lintas negara demi keuangan yang lebih berkelanjutan dan relevan secara sosial,” ujar Ilauddin dalam keterangan resmi, dikutip Senin (9/6/2025).

    Konferensi akuntansi dan keuangan tahunan yang diselenggarakan oleh Malaysian Institute of Accountants (MIA)ini merupakan salah satu yang terbesar di Asia Tenggara, menghadirkan lebih dari 3.700 peserta dari berbagai sektor dan negara.

    Tahun ini menjadi momen spesial karena menandai perayaan ke-40 MIA Conference, dengan tema “Collaborative Leadership for a Sustainable Future.” Ilauddin Sopian tampil sebagai pembicara dalam Plenary 2: “From Co-Pilot to Strategic Catalyst”, bersama para pemimpin keuangan global seperti, Andrew Harding FCMA, CGMA – CEO Management Accounting, A ICPA-CIMA (UK), Ibrahim Sani FCMA, CGMA – CEO, Yayasan Peneraju (Malaysia), dan Kasturi Wilson FCMA, CGMA – COO, 5-hour International Corporation (Singapura) Dengan moderator: Venkkat Ramanan, Vice President A ICPA-CIMA. 

    Sesi ini membahas pergeseran peran profesional keuangan dari sekadar pendamping (co-pilot) menjadi katalis strategis dalam transformasi bisnis-termasuk integrasi ESG (Environmental, Social, Governance) dan pemanfaatan AI (Artificial Intelligence) dalam pengambilan keputusan masa depan. Topik ini juga mencerminkan transformasi yang sedang dijalankan di ParagonCorp, denganfungsi keuangan berkembang menjadi katalis strategi keberlanjutan.

    Kehadi ran ParagonCorp sebagai satu-satunya perwakilan dari industri kecantikan dan dari Indonesia menegaskan pengakuan terhadap praktik keuangan dan tata kelola yang kuat, serta komitmen terhadap keberlanjutan. Partisi pasi ini juga sejalan dengan semangat ParaGoNation-visi Paragon untuk terus berkontribusi membangun bangsa, dengan nilai kebermanfaatan yang nyata dan kolaboratif.

    “Di Paragon, kami percaya bahwa peran keuangan tidak hanya soal angka, tapi juga membawa makna dan dampak bagi masyarakat dan masa depan Indonesia,” tambah Ilauddin.

    Partisi pasi ini menegaskan komitmen ParagonCorp untuk terus melampaui batasan bisnis, berkontribusi aktif dalam membentuk sistem keuangan dan bisnis yang lebih inklusif dan berkelanjutan.

    (dpu/dpu)

  • Warga Indonesia Belum Percaya AI untuk Membantu Menyelesaikan Pekerjaan Rumit

    Warga Indonesia Belum Percaya AI untuk Membantu Menyelesaikan Pekerjaan Rumit

    Bisnis.com, JAKARTA — Masyarakat Indonesia enggan menggunakan kecerdasan buatan (AI) untuk membantu menyelesaikan pekerjaan yang rumit menurut sebuah riset. AI digunakan untuk tujuan yang lebih sederhana.

    Berdasarkan hasil survei Snapcart, sebanyak 43% responden di Indonesia mengaku sering menggunakan teknologi kecerdasan buatan atau artificial intelligence/AI pada April 2025. Kemudian, 41% responden jarang memakai AI. Di sisi lain, ada 16% responden yang menyatakan belum pernah menggunakan teknologi tersebut.

    Menurut tujuan penggunaannya, sebanyak 43% responden menggunakan teknologi AI untuk membantu mengerjakan tugas sekolah atau kuliah. Masyarakat belum menggunakan teknologi ini untuk sesuatu yang lebih berat.  

    “26% responden memanfaatkan AI untuk browsing dan/atau mencari data untuk penelitian dan hanya 14% responden menggunakan AI untuk membantu menyelesaikan pekerjaan yang rumit,” tulis laporan tersebut dilansir dari DataIndonesia, Senin (9/6/2025).

    Riset Snapchart tidak mengungkap alasan AI belum dipercaya untuk membantu menyelesaikan pekerjaan rumit. 

    Lebih lanjut riset juga mengungkap bahwa 9% responden yang memanfaatkan AI sebagai hiburan dan 6% responden memanfaatkannya sebagai teman untuk diajak bicara dan berbagi perasaan. Adapun, sebanyak 2% responden memanfaatkan AI untuk tujuan lainnya. 

    ChatGPT Kalahkan META AI

    Riset Snapcart juga mengungkap ChatGPT menjadi aplikasi kecerdasan buatan (AI) yang paling sering digunakan oleh responden Indonesia. Sebanyak 71% responden mengaku rutin memanfaatkan ChatGPT dalam aktivitas sehari-hari mereka. 

    Di posisi kedua, Meta AI digunakan oleh 52% responden, diikuti Capcut dengan 40%, Gemini 34%, dan Google Assistant 23%.

    Data ini menunjukkan bahwa adopsi teknologi AI di Indonesia semakin meluas, dengan ChatGPT mendominasi sebagai platform pilihan utama masyarakat. Sementara itu, aplikasi lain seperti Meta AI dan Capcut juga menunjukkan tingkat penggunaan yang cukup tinggi, menandakan minat masyarakat terhadap berbagai solusi AI yang dapat menunjang produktivitas dan kreativitas.

    Sebelumnya, Microsoft melihat akan ada enam tren kecerdasan buatan (AI) yang akan terjadi pada 2025, dengan salah satu yang terkuat yaitu evolusi AI dalam mengubah cara kerja.

    Executive Vice President of Business Development, Strategy and Ventures Microsoft, Chris Young menyampaikn AI telah membuat hal yang sebelumnya mustahil menjadi mungkin. 

    Dalam satu tahun terakhir, pihaknya telah melihat banyak individu dan organisasi beralih dari eksperimen dengan AI, menuju adopsi yang lebih bermakna.

    Dalam setahun terakhir saja, penggunaan AI generatif di antara pemimpin bisnis dan pengambil keputusan AI melonjak dari 55% menjadi 75%. Tools baru AI akan membawa potensi yang lebih besar lagi.

    “Ini adalah awal dari transformasi besar tentang bagaimana teknologi ini akan mengubah hidup kita,” kata Chris.

  • Meta Berencana Beli Scale AI Rp 162 Triliun

    Meta Berencana Beli Scale AI Rp 162 Triliun

    Jakarta, Beritasatu.com – Meta Platforms, perusahaan milik Mark Zuckerberg, dikabarkan tengah mengincar perusahaan artificial intelligence Scale AI. Diperkirakan nilai transaksinya melebihi US$ 10 miliar atau sekira Rp 162 triliun.

    Melansir Bloomberg, Minggu (8/6/2025), orang-orang yang mengetahui masalah tersebut menyebut kesepakatan belum dirampungkan, dan masih dapat berubah. Sayangnya, Scale AI menolak berkomentar dan Meta tidak memberikan komentar.

    Didirikan pada tahun 2016, Scale AI adalah perusahaan rintisan pelabelan data yang didukung oleh raksasa teknologi Nvidia, Amazon, dan Meta. Valuasi Scale AI sebelumnya diperkirakan mencapai US$ 14 miliar.

    Scale AI juga menyediakan platform bagi para peneliti untuk bertukar informasi terkait AI, dengan kontributor di lebih dari 9.000 kota dan kota kecil.

    Sekadar informasi, CEO Meta Mark Zuckerberg baru-baru mengungkapkan pandangan mengenai kemampuan AI menulis kode. Diwawancara dalam podcast The Joe Rogan Experience, pemilik Instagram, Facebook dan Treads tersebut yakin dalam waktu 18 bulan ke depan, AI bisa menulis kode melampaui engineer manusia.

    Pasalnya, saat ini AI sudah bisa menulis kode setara dengan engineer level menengah. Meta memproyeksikan bahwa sebagian besar kode di platform media sosial mereka nantinya ditulis oleh AI, bukan manusia.

    Meskipun demikian, Zuckerberg menyebut peran manusia tetap tidak tergantikan. Pekerjaan seperti kreativitas, pemecahan masalah, serta pengawasan terhadap hasil kerja AI masih menjadi domain manusia. 

  • Mengenal Agentic AI dan Manfaatnya Bagi UMKM

    Mengenal Agentic AI dan Manfaatnya Bagi UMKM

    Bisnis.com, Jakarta – Wakil Presiden Futures Salesforce, Mick Costigan menyebut tahun 2025 sebagai momen kemunculan agentic artificial intelligence/kecerdasan buatan (AI) yakni kecerdasan buatan yang mampu bertindak secara otonom dan mendukung proses operasional bisnis.

    “Inilah killer app berikutnya. Bukan hanya menciptakan konten, tapi benar-benar mengambil keputusan dan bertindak dalam berbagai konteks bisnis,” ujarnya kepada Bisnis beberapa waktu lalu.

    Adapun, setelah kemunculan AI prediktif yang menganalisis data dan menggunakan algoritma pembelajaran mesin untuk memperkirakan hasil di masa mendatang, berkembang AI generatif yang membuat konten baru seperti teks, gambar, dan musik.

    Sekarang, dunia telah tiba di tahap agentic AI, yang tidak hanya menghasilkan konten, tetapi juga mampu berbicara dan bertindak serta bereaksi secara otonom.

    Yang membedakan dari sebelumnya adalah bahwa agentic AI agen dapat bernalar tidak hanya berdasarkan prediksi yang dibuatnya dari kumpulan data besar, tetapi juga berdasarkan kemampuan untuk memahami lingkungan dan kemudian mengambil tindakan otonom, dan bahkan belajar dari umpan balik dan beradaptasi.

    Melihat kemampuan otonom agentic AI, tidak mengherankan jika publik merasa khawatir keberadaannya akan menggerus peran manusia. Menjawab kekhawatiran itu, Costigan menyampaikan bahwa keberadaan AI tidak akan menggantikan manusia.

    “AI tidak menggantikan manusia, tapi memperkuat kemampuan manusia dalam hal judgment, kreativitas, dan interaksi,” ujar Costigan.

    Lebih lanjut, terkait adopsi di Indonesia, Costigan optimistis AI dapat membuka akses wirausaha dan meningkatkan produktivitas UMKM. Pasalnya, banyak pengusaha yang gulung tikar bukan karena kualitas produk melainkan kesulitan mengelola administrasi.

    “Agentic AI bisa mengambil alih pekerjaan administratif, sehingga pelaku usaha bisa fokus pada hal yang mereka cintai,” imbuhnya.

    Meskipun demikian, penerapan AI di berbagai lini bisnis di Indonesia, termasuk UMKM, masih akan menghadapi banyak tantangan. Salah satunya adalah literasi atau pengetahuan masyarakat terkait AI yang masih minim.

    Hasil survei Luminate dan Ipsos menunjukkan tingkat literasi kecerdasan buatan (AI) warga Indonesia masih rendah seiring dengan ada ketidakmampuan membedakan dengan konten asli.

    Praktisi tata kelola data dari Luminate, Dinita Putri, mengatakan dalam survei ini, 75% responden percaya bahwa konten buatan AI bisa mempengaruhi pandangan politik publik. Sebagian besar juga merasa konten tersebut bisa mempengaruhi orang-orang terdekat mereka (72%), dan bahkan diri mereka sendiri (63%).

    “Namun menariknya, dari 33% responden yang merasa pandangan politiknya tidak akan terpengaruh, 42% justru mengaku tidak yakin bisa membedakan mana konten asli dan mana yang dibuat AI,” kata Dinita dalam keterangannya, Senin (26/5/2025).

    Dia menambahkan makin banyak orang memahami AI, makin besar kemungkinan mereka menyadari risikonya. Riset ini juga hadir di momen penting karena Indonesia adalah salah satu negara paling aktif secara digital.

    Lebih dari 90% responden menggunakan WhatsApp setiap hari, dan penggunaan Instagram, Facebook, serta TikTok juga sangat tinggi. Dengan paparan sebesar itu, ditambah rendahnya literasi AI, risiko penyebaran disinformasi jadi semakin besar.

    “Pemahaman soal AI sangat penting untuk melindungi demokrasi. Warga Indonesia yang sangat aktif di dunia maya perlu memiliki literasi AI yang memadai,” ujarnya.

  • Gen Z Ogah Menabung, Pakar Peringatkan Dampaknya Berbahaya

    Gen Z Ogah Menabung, Pakar Peringatkan Dampaknya Berbahaya

    Jakarta, Beritasatu.com – Generasi Z tengah menghadapi tantangan ekonomi yang cukup berat. Dalam sebuah survei terbaru dari Credit Karma, hampir separuh (49%) dari generasi ini, yang kini sebagian besar berada di usia 20-an merasa bahwa merencanakan masa depan adalah hal yang sia-sia.

    Sikap pasrah ini turut membentuk pola konsumsi yang bebas dan tanpa perencanaan, terutama selama musim panas. “Mereka merasa putus asa secara finansial dan berfikir apa gunanya menabung untuk masa depan,” ujar  advokat keuangan konsumen di Credit Karma Courtney Alev.

    Pola pikir seperti ini, yang dikenal dengan istilah “YOLO” (You Only Live Once), bisa berdampak negatif dalam jangka panjang. Jika tidak dikendalikan, hal ini dapat menyebabkan utang berbunga tinggi yang sulit dilunasi, serta menunda pencapaian tujuan hidup penting , seperti hidup mandiri dari orang tua atau menyiapkan dana pensiun.

    Menurut para ahli, justru usia muda, akhir remaja hingga awal 20-an adalah masa terbaik untuk membangun kebiasaan keuangan yang sehat. Meski investasi awal hanya dalam jumlah kecil, bunga majemuk dapat memberikan hasil signifikan dalam jangka waktu puluhan tahun.

    “Ada banyak konsekuensi keuangan jangka panjang jika generasi ini tidak mulai merencanakan masa depan dan terus menghabiskan uang tanpa kendali,” tegas Alev.

    Rasa frustrasi ini dipahami oleh para pakar sebagai reaksi terhadap situasi ekonomi saat ini. Pasar kerja dinilai kurang bersahabat bagi pendatang baru maupun mereka yang ingin pindah pekerjaan.

    Meskipun tingkat pengangguran nasional di AS berada di angka 4,2%, angka ini jauh lebih tinggi di kalangan usia 22–27 tahun. Menurut data Federal Reserve Bank of New York per Maret 2025, tingkat pengangguran mencapai 5,8% untuk lulusan perguruan tinggi baru dan 6,9% bagi mereka yang tidak memiliki gelar sarjana

    Masalah lain yang membebani kaum muda adalah utang. “Banyak dari mereka merasa tidak punya cukup uang dan terlilit utang,” jelas direktur pelaksana Sun Group Wealth Partners Winnie Sun.

    Ia menambahkan bahwa kecemasan juga datang dari ketidakpastian nilai gelar pendidikan mereka di tengah perkembangan artificial intelligence (AI).  “Mereka bertanya-tanya, apakah gelar ini akan tetap berguna jika AI mengambil alih pekerjaan mereka?”

    Sekitar 50% lulusan perguruan tinggi tahun akademik 2022-2023 meninggalkan kampus dengan utang rata-rata sebesar US$29.300, menurut College Board. Penagihan kembali utang mahasiswa yang gagal bayar juga telah dimulai kembali pada Mei setelah jeda lima tahun. Upaya pemerintahan Biden untuk meringankan beban pinjaman mahasiswa sebagian besar terhambat di pengadilan.

    Laporan dari New York Fed pada 2024 menunjukkan bahwa tunggakan kartu kredit meningkat paling cepat di kalangan gen Z dibandingkan generasi lain. Sekitar 15% di antaranya telah memaksimalkan penggunaan kartu kredit mereka.

    Kemudahan berbelanja juga menjadi faktor pemicu. “Belanja tidak pernah semudah sekarang,” kata Alev, menyoroti maraknya layanan beli sekarang, bayar nanti (BNPL).

    Survei Credit Karma mencatat bahwa 77% pengguna gen Z mengaku layanan BNPL mendorong mereka untuk belanja melebihi kemampuan finansial. Survei ini melibatkan 1.015 orang dewasa, termasuk 182 responden dari gen Z.

    Gabungan dari tekanan ekonomi, utang, serta ketidakpastian politik dan kebijakan tarif yang berubah-ubah, semakin menambah beban mental anak muda.

    “Semua tantangan ini saling menumpuk dan menciptakan rasa pesimis di kalangan generasi muda yang ingin membangun kehidupan finansial mereka,” pungkas Alev.

  • Peneliti Kembangkan AI yang Bisa Prediksi Pandemi, Ini Cara Kerjanya – Page 3

    Peneliti Kembangkan AI yang Bisa Prediksi Pandemi, Ini Cara Kerjanya – Page 3

    Di sisi lain, kecerdasan buatan atau Artificial Intelligence (AI) semakin sering kita temukan di kehidupan sehari-hari. Berkat AI, fitur kamera smartphone, chatbot, sampai sistem rekomendasi di media sosial kini makin pintar. 

    Kendati begitu, masih banyak mitos yang beredar dan membuat masyarakat salah paham soal apa itu AI dan bagaimana cara kerjanya.

    Supaya tidak salah kaprah, berikut deretan mitos dan fakta soal AI yang sudah dirangkum Tekno Liputan6.com dari berbagai sumber. 

    1. Mitos: AI Akan Menggantikan Semua Pekerjaan Manusia

    Teknologi AI dirancang untuk membantu pekerjaan manusia. Namun perlu diingat, AI membantu dalam mengerjakan tugas yang bersifat rutin dan repetitif, sehingga bukan berarti semua profesi bakal hilang.

    Dengan bantuan AI, manusia bisa sangat terbantu dan bisa bekerja lebih efisien, serta memilih lebih banyak waktu untuk melakukan pekerjaan yang membutuhkan kreativitas. 

  • Integrasi AI dalam Pajak Tingkatkan Layanan dan Kepatuhan

    Integrasi AI dalam Pajak Tingkatkan Layanan dan Kepatuhan

    Jakarta, Beritasatu.com – Pemanfaatan teknologi artificial intelligence (AI) dalam sistem perpajakan menjadi kebutuhan strategis, terutama dalam menghadapi tantangan global serta tuntutan efisiensi dan akurasi.

    Managing Partner Tax RSM Indonesia Ichwan Sukardi mengatakan, penggunaan teknologi sangat krusial dari berbagai sisi, mulai dari harapan klien, efisiensi bisnis, hingga retensi tenaga profesional.

    “Klien kini menuntut layanan perpajakan yang tangkas, berbasis data, serta mampu memberikan insight secara real-time. Di sisi lain, efisiensi komersial tidak lagi menjadi pilihan, tetapi keharusan. Otomatisasi, kecepatan analisis, dan akurasi dalam penyampaian layanan menjadi elemen penting, apalagi di tengah kewajiban global seperti Pilar Dua,” jelas Ichwan pada Sabtu (7/6/2025).

    Ia juga menekankan bahwa retensi talenta menjadi perhatian utama. Untuk itu, tim pajak harus dibekali keterampilan dan teknologi terkini agar tetap termotivasi dan tidak terbebani tugas repetitif.

    Penggunaan teknologi dalam sistem kepatuhan pajak memiliki lima manfaat utama, pertama integrasi sistem pajak dengan akuntansi, ERP, penggajian, dan data klien yang mempercepat proses pelaporan. Kedua, dashboard real time yang memungkinkan pengambilan keputusan cepat dan tepat.

    Ketiga, pemutakhiran berkelanjutan melalui dokumen kerja (workpapers) otomatis. Keempat, pemanfaatan AI untuk memberi rekomendasi pajak dan menganalisis risiko, dan kelima pendekatan berbasis data, yang memastikan keputusan dan pelaporan berdasarkan data aktual.

    Partner Tax RSM Indonesia T Qivi Hady Daholi menjelaskan, AI juga memainkan peran penting dalam mendukung penyelesaian sengketa perpajakan.

    “AI dapat bertindak seperti GPS dalam merumuskan strategi penyelesaian sengketa, mengidentifikasi data relevan, meningkatkan ketepatan analisis, serta memberikan prediksi hasil kasus,” ujarnya.

    Ia menambahkan bahwa pendekatan berbasis AI mampu mengurangi bias serta mempercepat proses, sehingga menghasilkan keputusan yang lebih objektif dan transparan.

    Sementara, Partner Technology Consulting RSM Indonesia Kemal Alfadin memaparkan, pihaknya menerapkan pendekatan menyeluruh dalam implementasi AI. Mulai dari penetapan tujuan bisnis, perumusan pertanyaan utama, hingga pembuatan pipeline otomatis yang menjalankan use case secara berkala.

    “Fokus kami adalah menerapkan AI sebagai solusi strategis yang legal, etis, aman, dan bebas bias,” tegasnya.

    Saat ini, RSM Indonesia telah mengembangkan layanan Artificial Intelligence & Data Analytics yang mencakup tata kelola data, business intelligence, hingga machine learning.

    Selain itu, tersedia juga solusi integrasi digital, teknologi enterprise, dan infrastruktur teknologi, seperti IoT dan cloud computing, yang semuanya dirancang untuk mendukung transformasi digital yang berdampak nyata bagi dunia usaha.

  • Apakah Peran Manusia Tergantikan Teknologi AI? Ini Jawabannya

    Apakah Peran Manusia Tergantikan Teknologi AI? Ini Jawabannya

    Jakarta

    Perkembangan kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) yang kian masif memunculkan kekhawatiran jika teknologi itu menggantikan peran manusia di masa mendatang.

    Laporan SleekFlow yang bertajuk “AI Transformation in SEA: Aligining Consumer Demands with Business Goals” mengungkapkan peran manusia dalam era AI saat ini.

    AI kini tak lagi sekadar hanya inovasi pelengkap, namun sudah menjadi kebutuhan strategis. Hasil studi menunjukkan bahwa konsumen lebih cenderung menyelesaikan transaksi ketika mendapatkan rekomendasi dari sistem berbasis AI: 70% di Singapura, 75% di Indonesia, dan 79% di Malaysia.

    Konsumen menghargai kehadiran AI ini karena selain selalu tersedia sepanjang waktu, AI juga mampu merespon secara instan, dan menyediakan layanan mandiri yang mudah digunakan mulai dari pelacakan pesanan, pencarian informasi produk, hingga proses pembayaran.

    Sebanyak 88% responden bahkan menyebut tidak bersedia menunggu lebih dari lima menit hanya untuk berbicara dengan agen manusia. Fakta ini memperkuat peran penting AI dalam memberikan pengalaman pelanggan yang cepat dan bebas hambatan.

    Personalisasi Penting, Asal Relevan

    Promo yang sesuai dengan kebutuhan terbukti lebih efektif dalam mendorong konsumen untuk mengambil tindakan. Sebanyak 73% konsumen di Singapura, 80% di Malaysia, dan 86% di Indonesia mengaku lebih merasa terdorong untuk berbelanja jika promo yang mereka terima dirancang secara khusus.

    Namun, kunci utamanya adalah relevansi. Konsumen juga cenderung lebih mudah tertarik dan terdorong untuk membeli jika AI menawarkan sesuatu yang terasa relevan dan tepat sasaran. Lebih dari 70% responden menilai bahwa AI memberikan dampak positif terhadap keputusan akhir mereka dalam berbelanja.

    Konsumen Masih Menginginkan Sentuhan Manusia

    Meski penggunaan AI makin luas, 41% responden memperkirakan bahwa peran customer service manusia belum akan sepenuhnya tergantikan dalam waktu dekat.

    Sebagian besar konsumen menyatakan bahwa preferensi antara AI dan interaksi manusia sangat bergantung pada konteks. Sekitar 70% memilih AI untuk urusan yang simpel, namun jumlah yang hampir sama masih mengandalkan manusia untuk menangani pertanyaan yang lebih emosional atau kompleks.

    Meskipun teknologi otomatisasi terus berkembang, konsumen tetap merindukan sisi manusiawi. Unsur-unsur seperti nada bicara, bahasa tubuh, dan empati masih menjadi kunci dalam membangun kepercayaan serta menjalin hubungan yang bermakna. Masa depan bukan soal AI melawan manusia, melainkan kolaborasi antar keduanya.

    Adopsi AI Meningkat di Berbagai Industri

    Dari total 570 bisnis yang disurvei, 67% di antaranya sudah menerapkan teknologi AI atau otomatisasi, dengan chatbot sebagai aplikasi yang paling banyak digunakan terutama di sektor ritel, jasa profesional, dan keuangan.

    Kedepannya, lebih dari 90% bisnis menyatakan akan memperluas penggunaan AI dalam dua tahun mendatang, dengan fokus pada pengembangan agen AI, sistem analitik cerdas, CRM berbasis AI, serta keterlibatan omnichannel lainnya.

    Di Indonesia, 65,12% bisnis melaporkan bahwa penggunaan AI secara signifikan meningkatkan kepuasan pelanggan, khususnya pada tahap awal seperti kesadaran dan pertimbangan dalam perjalanan konsumen.

    Namun, biaya masih menjadi hambatan utama dalam adopsi AI, disusul oleh keterbatasan sumber daya internal dan ketidakpastian soal imbal hasil investasi (ROI). Meski begitu, di tengah pesatnya perkembangan industri, resiko dari tidak bertindak justru bisa lebih besar daripada investasi yang diperlukan agar tetap bersaing.

    “AI bukan lagi tentang menggantikan manusia, tapi memperkuat kontribusinya,” ujar Asnawi Jufrie, VP dan GM SleekFlow Asia Tenggara dikutip dari keterangan tertulisnya.

    (agt/agt)

  • Krisis Seks Makin Parah, Populasi Bumi Tinggal 100 Juta Orang

    Krisis Seks Makin Parah, Populasi Bumi Tinggal 100 Juta Orang

    Jakarta, CNBC Indonesia – Dampak Artificial Intelligence bukan hanya terkait pekerjaan manusia yang menghilang. Lebih dari itu, diperkirakan teknologi bisa membuat penghuni Bumi hanya tersisa 100 juta orang pada 2030.

    Penulis Age of Artificial Intelligence, Subhash Kak dari Oklahoma State University menjelaskan masa depan itu akan terjadi karena pekerjaan yang diganti oleh komputer atau robot.

    “Komputer atau robot tidak akan pernah punya kesadaran, namun mereka akan melakukan semua yang kita lakukan karena sebagian besar yang dilakukan dalam hidup kita bisa digantikan,” jelasnya dikutip dari New York Post, Kamis (5/6/2025).

    Banyak pakar yang mengkhawatirkan AI membuat banyak manusia tergantikan di segala sektor. Ini nampaknya akan membuat angka kelahiran menurun drastis karena kebanyakan orang ragu memiliki anak.

    Mereka memikirkan risiko anak menjadi pengangguran di masa depan. Selain itu biaya membesarkan anak yang juga tak sedikit.

    Dampaknya saat banyak orang enggan punya anak, membuat populasi akan menurun secara drastis. Dengan hanya 100 juta orang pada tahun 2300, beberapa kota besar seperti London dan New York kemungkinan akan berubah menjadi kota hantu.

    Dia memastikan memiliki semua data yang mendukung teorinya. “Bukan hanya pendapat pribadi saya,” ucapnya.

    Penurunan populasi memang sudah terjadi di beberapa wilayah. Subhash Kak mencontohkan Eropa, China, Jepang hingga Korea telah mengalami penurunan jumlah populasi.

    “Sekarang saya tidak mengatakan tren ini akan terus berlanjut, namun sulit mengembalikannya karena banyak orang punya anak dengan berbagai alasan,” kata Subhash Kak.

    Dia bahkan mengutip pernyataan Elon Musk soal membangun koloni di planet lain. Musk diketahui sebagai orang yang cukup vokal soal anjloknya angka kelahiran dan penurunan populasi.

    Pengusaha dan bos SpaceX juga berulang kali menggunakan alasan tersebut untuk memulai kehidupan manusia di Mars. Termasuk menginginkan adanya koloni baru di luar Bumi.

    “Itu sebabnya Musk mengatakan mungkin manusia harus pergi ke luar angkasa, membangun koloni di tempat lain, jadi saat tragedi seperti itu menimpa Bumi maka bisa ditanami lagi,” jelasnya.

    (fab/fab)