Produk: Artificial Intelligence

  • Pemerintah Ingin AI Berdikari, Namun Dukungan dari APBN Belum Terlihat

    Pemerintah Ingin AI Berdikari, Namun Dukungan dari APBN Belum Terlihat

    Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah mendorong pengembangan sovereign artificial intelligence (AI) atau kecerdasan artifisial yang berdikari. 

    Konsep sovereign AI merujuk pada kemampuan suatu negara untuk menciptakan, mengelola, dan mengamankan teknologi AI dengan sumber daya sendiri, mulai dari infrastruktur data hingga talenta manusia.

    Upaya tersebut salah satunya ditempuh melalui program unggulan AI Talent Factory yang digadang-gadang menjadi langkah strategis pemerintah dalam mencetak 12 juta talenta digital. 

    Namun, untuk mencapai sovereign AI secara utuh, Indonesia dinilai masih tertinggal jauh dibandingkan negara lain, terutama dari sisi dukungan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

    Executive Director Catalyst Policy Works Wahyudi Djafar menilai hingga kini belum terlihat alokasi anggaran negara yang signifikan untuk pengembangan AI.

    “India misalnya memperkuat software AI melalui India AI Mission. Ini inisiatif yang mencapai US$,25 miliar. Kalau kita lihat APBN 2026, belum nampak ini angka sampai US$1 miliar untuk pengembangan AI,” kata Wahyudi dalam Diskusi Publik “Menjelajahi Peta Jalan Kecerdasan Artifisial Nasional, Pijakan untuk Berdikari?” di Kantor Bisnis Indonesia, Kamis (18/12/2025).

    Kondisi tersebut, menurut Wahyudi, memunculkan tanda tanya mengenai tingkat keseriusan pemerintah dalam mewujudkan sovereign AI. 

    Dia menyebut sejumlah negara telah melangkah lebih jauh dengan membangun kolaborasi strategis lintas perusahaan untuk mengembangkan model AI lokal atau sovereign foundation model.

    Dia mencontohkan Uni Emirat Arab, Prancis, dan Korea Selatan yang telah menunjuk atau memfasilitasi kerja sama antarperusahaan untuk pengembangan model AI nasional. 

    Arab Saudi bahkan memanfaatkan sovereign fund untuk mendorong inisiatif serupa. Sementara itu, Kanada dan Inggris telah membentuk unit khusus di tingkat pemerintahan yang secara spesifik menangani pengembangan sovereign AI.

    Menurutnya, pembentukan unit semacam Sovereign AI Unit di Inggris menunjukkan pengembangan AI berkaitan erat dengan kepentingan strategis, termasuk keamanan nasional. Oleh karena itu, negara-negara tersebut secara aktif mendorong kemandirian AI melalui kebijakan, kelembagaan, dan pendanaan yang jelas.

    Lebih lanjut, Wahyudi menekankan pencapaian sovereign AI sangat bergantung pada komitmen pemerintah dalam menyiapkan berbagai prasyarat utama. 

    Prasyarat tersebut mencakup ketersediaan infrastruktur data, penguatan talenta, hingga standar kompetensi yang jelas agar tenaga kerja benar-benar siap terlibat dalam pengembangan AI tingkat lanjut. Dia menyoroti peluncuran AI Talent Factory oleh Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) yang telah dilakukan beberapa bulan lalu. Namun, menurutnya, capaian konkret dari program tersebut masih belum tergambarkan secara jelas.

    “Tapi kita kan belum mengetahui secara jelas ya, AI Talent Factory ini, talent yang diciptakan itu sampai pada level, apakah dia sebatas bisa melakukan prompt dengan baik, ataupun dia sampai level mana gitu kan,” katanya.

    Dia mempertanyakan apakah talenta yang dihasilkan sudah mencapai tingkat hands-on dalam pemodelan, atau bahkan telah didorong untuk melakukan riset dan pengembangan model AI secara mandiri. 

    Menurutnya, hal tersebut sangat bergantung pada keseriusan pemerintah dalam menyiapkan prasyarat pendukung secara menyeluruh. Wahyudi menegaskan, tantangan sovereign AI tidak hanya soal talenta, tetapi juga mencakup sejauh mana pemerintah menyalurkan dukungan terhadap infrastruktur digital, pengembangan tenaga kerja, riset dan inovasi, kerangka regulasi dan etika, stimulasi industri AI, hingga kerja sama internasional.

    Pengembangan AI di Berdikari di Jepang …..

  • Catalyst Policy Works Beberkan 6 Prasyarat untuk Capai AI Berdikari

    Catalyst Policy Works Beberkan 6 Prasyarat untuk Capai AI Berdikari

    Bisnis.com, JAKARTA— Catalyst Policy Works mendorong Indonesia untuk menerapkan sovereign artificial intelligence (AI) atau kecerdasan artifisial berdikari.

    Sovereign AI merujuk pada kemampuan sebuah bangsa untuk menciptakan, mengelola, dan mengamankan teknologi AI dengan sumber daya sendiri, mulai dari infrastruktur data hingga talenta manusia.

    Executive Director Catalyst Policy Works Wahyudi Djafar menjelaskan terdapat sejumlah prasyarat yang harus dipenuhi untuk mencapai sovereign AI.

    Prasyarat pertama berkaitan dengan ketersediaan infrastruktur digital. Menurutnya, Indonesia membutuhkan infrastruktur yang memadai dan berada di dalam negeri untuk mendukung pengembangan AI.

    “Seperti seberapa besar kapasitas GPU ya, graphic positioning unit yang bisa digunakan untuk learning AI dan sebagainya,” kata Wahyudi dalam editor meeting bertajuk Menjelajah Peta Jalan Kecerdasan Artifisial Nasional: Pijakan untuk Berdikari di Kantor Bisnis Indonesia, Kamis (18/12/2025).

    Prasyarat berikutnya menyangkut pengembangan tenaga kerja (workforce development), khususnya terkait talenta.

    Wahyudi menekankan pentingnya menyiapkan sumber daya manusia yang mumpuni dan mampu mengembangkan model AI serta teknologi turunannya. Selanjutnya, prasyarat lain adalah research development and innovation.

    Dia menjelaskan aspek ini menuntut adanya koordinasi dan hubungan yang solid antarpemangku kepentingan.

    “Hubungan yang pas gitu, antara dunia academic, universitas, lembaga-lembaga riset, BRIN, dan sebagainya, dengan industri, dengan inovasi,” katanya.

    Wahyudi mencontohkan Arab Saudi yang secara serius memanfaatkan sovereign fund untuk mengembangkan riset model AI berbasis bahasa Arab. “Nah disini kan Danantara belum melakukan itu kayaknya gitu kan, itu satu hal,” katanya.

    Prasyarat berikutnya berkaitan dengan regulatory and ethical framework yang mencakup regulasi serta prinsip etika.

    Menurut Wahyudi, Indonesia masih berada pada tahap awal karena baru mengandalkan pendekatan sukarela melalui surat edaran, tanpa regulasi yang lebih mengikat. Menurutnya, di tingkat regulasi, pengaturan AI di Indonesia juga masih sangat terbatas.

    “Karena basis regulasi undang-undang informasi dan transaksi elektronik, maupun juga undang-undang pelindung data pribadi, itu masih sangat terbatas bicara tentang artificial intelligence, bicara tentang kecerdasan artifisial,” katanya.

    Direktur Eksekutif Catalyst Policy-Works Wahyudi Djafar (dari kanan), SVP Regulatory and Government Affairs PT Indosat Tbk. Ajar A. Edi, dan Asisten Manajer Konten Bisnis Indonesia Leo Dwi Jatmiko berbincang seusai Editor Meeting di Jakarta, Kamis (18/12/2025).

    Selain itu, Wahyudi menyoroti pentingnya stimulating AI industry atau pemberian stimulus bagi industri AI, termasuk dalam bentuk kebijakan perpajakan, insentif fiskal lainnya, serta dukungan terhadap pengembangan sumber daya manusia.

    “Nah terakhir tentu international cooperation, jadi meskipun pada akhirnya ingin mencapai apa namanya, kecerdasan artifisial berdikasi. Tapi kerjasama internasional itu tetap diperlukan,” katanya.

    Menurutnya, pemenuhan seluruh elemen yang dibutuhkan dalam pengembangan kecerdasan artifisial berdikari tetap membutuhkan keterlibatan banyak negara. Setiap negara, lanjut Wahyudi, memiliki fokus yang berbeda dalam pengembangan AI.

    PERANG DINGIN AI

    Dia menyebutkan saat ini terdapat tiga kekuatan utama dalam “perang dingin” AI global, yakni Amerika Serikat, Uni Eropa, dan China.

    Wahyudi menjelaskan Amerika Serikat memprioritaskan investasi besar dalam riset teknologi canggih untuk mempercepat inovasi AI yang berkelanjutan dan kompetitif.

    “Nah menariknya adalah, kompetisi itu terjadi antar perusahaan Amerika Serikat sendiri, bagaimana investasi jor-joran yang dilakukan oleh Meta, Google, IBM, termasuk Microsoft gitu kan untuk berkejaran satu sama lain dalam konteks pengembangan AI ini,” katanya.

    Selain itu, Amerika Serikat juga menempatkan perlindungan kekayaan intelektual sebagai prioritas utama guna menjaga keunggulan kompetitif dalam pengembangan AI.

    “Nah ini yang kita juga masih mencari sebenarnya ya. Misalnya ketika kita bicara perlindungan kekayaan intelektual di dalam surat edaran Menkominfo 9/2023, itu kira-kira fokusnya kan seperti apa sih gitu kan,” katanya.

    Sementara itu, Uni Eropa menekankan regulasi perlindungan data yang ketat. Wahyudi menyebut Uni Eropa menetapkan standar tinggi dalam perlindungan privasi data untuk memastikan penggunaan AI berjalan secara etis.

    Dengan penerapan EU GDPR, Eropa juga menurunkan berbagai panduan yang dikembangkan oleh European Data Protection Board, khususnya dalam pemrosesan data pribadi untuk pengembangan AI. Selain itu, aspek etika menjadi perhatian utama dalam penerapan teknologi tersebut.

    “Karena di sana kalau kita baca EU AI Act, mereka kan sebenarnya mencoba untuk balancing, menyeimbangkan antara kepentingan inovasi dan ekonomi Uni Eropa dengan perlindungan terhadap fundamental rights dari warga negara Eropa gitu ya,” katanya.

    Menurut Wahyudi, negara-negara Uni Eropa juga mendorong kolaborasi lintas negara guna mencapai kedaulatan digital bersama di bidang AI. Adapun China, lanjut Wahyudi, memiliki tiga prioritas utama.

    Pertama adalah riset AI terpadu yang telah dilakukan dalam jangka panjang untuk memperkuat fondasi teknologi dan inovasi kecerdasan buatan. Termasuk di dalamnya pengembangan dan produksi chip khusus AI guna mendukung ekosistem AI yang mandiri.

    “Ini juga satu hal yang sedang digelut oleh pemerintah Indonesia kalau kita mengikuti kementerian koordinator bidang perekonomian yang itu sedang menyusun draft meta jalan semiproductor ya,” katanya.

    Wahyudi menambahkan ketersediaan chip menjadi faktor krusial bagi pengembangan AI. Selain itu, China juga mendorong aplikasi komersial AI melalui implementasi di berbagai sektor untuk mempercepat adopsi teknologi dan memperkuat kemandirian pasar.

    “Jadi ini tiga contoh yang apa namanya three peak ya di dalam konteks pertarungan dari AI,” ungkapnya.

  • Airlangga minta Pemprov DKI Jakarta akselerasi ekonomi “gig”

    Airlangga minta Pemprov DKI Jakarta akselerasi ekonomi “gig”

    Jakarta (ANTARA) – Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto meminta Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta mengakselerasi gig economy yaitu perusahaan merekrut pekerja independen/freelancer untuk melakukan pekerjaan temporer yang berbasis hasil.

    Menurut dia, akselerasi ekonomi gig di DKI dapat dilakukan mengingat daerah tersebut memiliki tingkat pendapatan per kapita yang cukup tinggi.

    “Saya minta di-gas aja untuk ekonomi gig karena dengan demikian ini akan menjadi akselerator, dan ini yang akan membuat Indonesia tumbuh di 8 persen. Kalau kita menggunakan engine gas dan rem seperti pada saat COVID, ini khusus DKI kita cuma ada satu aja, gas terus, gas full,” ucapnya dalam agenda Launching Program Pelatihan Gig Economy dan AI Open Innovation Challenge di Jakarta, Kamis.

    Gig Economy merupakan paket ekonomi ke 8 yang diselenggarakan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, serta diresmikan peluncuran AI Open Innovation Challenge atau Hackathon untuk mendukung inovasi generasi muda di bidang teknologi.

    Airlangga menyampaikan bahwa penggunaan aplikasi teknologi kecerdasan buatan atau Artificial Intelligence (AI) di Indonesia tumbuh 127 persen, dan 91 juta peluang kerja baru mengalir ke sektor AI di semester 1-2025.

    Data dari Google mengungkapkan Indonesia sebagai negara dengan perusahaan yang mengadopsi AI tertinggi di ASEAN dengan angka 24,6 persen, dan menduduki peringkat nomor 4 di seluruh Asia. Sementara nilai pasar AI di Indonesia diperkirakan mencapai 70,6 miliar dolar AS.

    Program tersebut diharapkan dapat meningkatkan ekosistem AI, serta akan dikembangkan di 15 daerah, bekerja sama dengan berbagai pihak di sektor digital.

    Pewarta: M Baqir Idrus Alatas
    Editor: Zaenal Abidin
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Era AI dan Tantangan Bisnis di Indonesia

    Era AI dan Tantangan Bisnis di Indonesia

    Bisnis.com, JAKARTA — Dalam beberapa tahun terakhir, dunia bisnis Indonesia menghadapi percepatan teknologi yang tidak dapat lagi diabaikan. Prediksi Goldman Sachs (2025) mengenai potensi gelombang pengurangan tenaga kerja akibat artificial intelligence (AI) memang menimbulkan kekhawatiran, tetapi bagi para pemimpin perusahaan, isu ini seharusnya dibaca sebagai momentum untuk meninjau kembali arah bisnis dan kesiapan organisasi.

    Kita memasuki fase di mana kemampuan membaca tanda-tanda zaman menjadi sama pentingnya dengan kemampuan mengelola operasi. Perusahaan tidak lagi cukup hanya efisien; mereka harus adaptif, presisi, dan bergerak dengan kecepatan yang sejalan dengan perubahan teknologi.

    Klaus Schwab, melalui konsep Fourth Industrial Revolution, mengingatkan bahwa teknologi bukan lagi sekadar elemen pendukung operasional, tetapi faktor struktural yang membentuk lanskap kompetisi. Namun kenyataannya, banyak organisasi masih menempatkan teknologi sebagai alat, bukan sebagai bagian dari strategi inti.

    Situasi ini menyebabkan perusahaan hanya memperbaiki permukaan, tetapi tidak mengubah fondasi. Padahal, dalam era yang penuh ketidakpastian, ketepatan membaca arah perubahan menentukan keberlanjutan perusahaan.

    Evolusi Pemikiran Digital: Dari Perubahan Bentuk ke Perubahan Logika

    Para pemikir seperti Yoo et al. (2010) telah membedakan secara jelas antara digitizing dan digitalization: yang pertama hanya memindahkan bentuk analog menjadi digital, sementara yang kedua mengubah proses dan logika organisasi.

    Digital transformation, sebagaimana dijelaskan oleh Westerman, McAfee, dan Brynjolfsson (MIT, 2014), merupakan fase ketika teknologi bukan lagi pelengkap, tetapi menjadi pusat strategi perusahaan. Perusahaan yang berhasil bertransformasi adalah perusahaan yang memahami bahwa teknologi membentuk cara baru untuk menciptakan dan menangkap nilai.

    Memasuki era AI, Soni (2019), Holmström (2021), dan Davenport (2018) menekankan bahwa AI membawa perubahan yang jauh lebih mendasar. AI tidak hanya melakukan otomatisasi; ia menjadi cognitive enabler yang memperluas kemampuan organisasi menganalisis, memahami pola, dan mengambil keputusan.

    Dengan kata lain, AI mengubah cara perusahaan berpikir, bekerja, dan berkompetisi. Bagi perusahaan Indonesia, ini berarti membangun kemampuan baru yang lebih dalam daripada sekadar membeli teknologi.

    Tiga Fondasi Strategis di Era AI

    Pertama, Data Advantage. Keunggulan bersaing hari ini bertumpu pada kualitas data. Bukan sekadar banyaknya data, tetapi kemampuan organisasi mengumpulkan, membersihkan, menghubungkan, dan menggunakan data untuk pengambilan keputusan.

    Davenport serta Brynjolfsson & McAfee menegaskan bahwa tanpa fondasi data yang kuat, AI tidak akan memberikan nilai strategis. Data bukan hanya aset, melainkan sumber augmented intelligence. Perusahaan yang menunda membangun fondasi data akan tertinggal jauh.

    Kedua, Network Effects. Ekonomi digital dibangun di atas logika jaringan. Nilai perusahaan meningkat seiring bertambahnya pengguna dan interaksi. Parker dan Van Alstyne menyebutnya sebagai “mesin pertumbuhan eksponensial.” AI pun bekerja dalam logika yang sama: semakin banyak input, semakin tajam kemampuan analitisnya.

    Pemimpin bisnis perlu memahami ini, karena network effects menjadi pengungkit pertumbuhan yang tidak mungkin dicapai oleh model linear tradisional. Keunggulan kompetitif hari ini bukan hanya soal produk, tetapi soal jejaring.

    Ketiga, Ecosystem Power. Menurut Richard Adner, keberhasilan inovasi tidak ditentukan hanya oleh kompetensi internal, tetapi oleh kemampuan perusahaan mengorkestrasi kolaborasi lintas pihak.

    Pemenang masa depan bukan lagi perusahaan yang paling kuat secara individual, tetapi perusahaan yang mampu menjadi pusat gravitasi dalam sebuah ekosistem. Dalam konteks Indonesia, kemampuan menghubungkan mitra, pelanggan, regulator, dan teknologi menjadi faktor penentu keberhasilan transformasi.

    Pergeseran Pola Pikir Pemimpin: Dari Alat ke Arah Strategis

    Di tengah perubahan besar ini, pemimpin perusahaan dituntut meninggalkan pemikiran lama yang melihat teknologi hanya sebagai alat efisiensi. Era AI memerlukan pemimpin yang mengintegrasikan teknologi ke dalam inti strategi yang dimulai dari perumusan visi, pemetaan model bisnis, penataan struktur organisasi, hingga pola pengambilan keputusan.

    Pertanyaan kunci bagi pemimpin hari ini bukan lagi “teknologi apa yang harus dibeli,” tetapi “bagaimana teknologi mengubah model bisnis saya?”

    Era AI tidak bergerak pelan dan bertahap. Ia bersifat eksponensial. Menunggu hingga semuanya jelas justru membuat perusahaan kehilangan momentum. Transformasi bukan lagi pilihan tambahan; ia adalah keharusan strategis. Organisasi yang mampu bergerak cepat akan memimpin. Yang ragu-ragu akan tertinggal. Keberanian untuk melakukan lompatan menjadi kunci.

    Inilah waktu bagi para pemimpin perusahaan Indonesia untuk bergerak dan berani berpikir lebih jauh, berinovasi lebih berani, dan berkolaborasi lebih luas. Karena masa depan tidak menunggu untuk terjadi; masa depan harus dipimpin agar terwujud.

    Di tengah derasnya teknologi dan melimpahnya data, kita diingatkan oleh kerangka DIKW dari Russell Ackoff bahwa data, informasi, dan pengetahuan hanya menjadi keputusan yang benar ketika dipadukan dengan wisdom dan discernment.

    Di sinilah pemimpin tetap membutuhkan hikmat Tuhan agar setiap langkah bisnis tidak hanya cerdas, tetapi juga membawa kebaikan bagi manusia dan masa depan Indonesia yang sedang kita bangun bersama.

  • Google Bakal Bangun Data Center AI di Luar Angkasa pada 2027

    Google Bakal Bangun Data Center AI di Luar Angkasa pada 2027

    Bisnis.com, JAKARTA — Google sedang merencanakan proyek bernama Project Suncatcher, yaitu rencana membangun pusat data di luar angkasa, dengan tujuan menjalankan sistem Artificial Intelligence (AI) menggunakan satelit yang mengorbit bumi.

    Dalam proyek ini Google ingin menggunakan satelit bertenaga surya yang dilengkapi dengan chip TPU (chip khusus AI buatan Google). Satelit-satelit ini akan saling mengirim data menggunakan laser, bukan kabel atau sinyal radio biasa.

    Chip TPU ini sebenarnya sudah dipakai Google di pusat data di Bumi untuk menjalankan AI seperti Gemini 3. Sekarang Google ingin menguji apakah chip tersebut bisa bertahan di luar angkasa, yang penuh dengan radiasi, suhu ekstrem, dan kondisi keras lainnya.

    Rencananya pada awal 2027, Google akan meluncurkan dua satelit percobaan ke orbit rendah Bumi, sekitar 640 km di atas permukaan.

    Alasan utama pusat data dipindahkan ke luar angkasa adalah karena di Bumi pusat data membutuhkan listrik besar dan sistem pendinginan yang rumit. Di luar angkasa energi matahari tersedia hampir terus-menerus dan tidak terganggu awan atau malam hari, sehingga dianggap lebih efisien dan ramah lingkungan.

    Dilansir dari Space.com Rabu (17/12/2025), menurut CEO Google, Sundar Pichai, ke depan pusat data di luar angkasa bisa menjadi hal yang biasa, walaupun sekarang masih dalam tahap uji coba.

    “Bagi saya, tidak ada keraguan bahwa, sekitar satu dekade lagi, kita akan melihatnya sebagai cara yang lebih normal untuk membangun pusat data,” kata Sundar.

    Namun itu semua tidak lepas dari tantangan besar membangun pusat data di luar angkasa.

    Satelit dalam proyek ini akan ditempatkan di orbit khusus yang selalu terkena sinar matahari. Dengan posisi ini, panel surya bisa menghasilkan listrik hampir tanpa henti, tidak terganggu awan atau malam seperti di Bumi. 

    Karena itu sumber energi di luar angkasa dianggap lebih stabil dan efisien untuk menjalankan sistem AI yang membutuhkan daya besar.

    Google juga akan menguji chip AI (TPU) yang biasanya dipakai di pusat data di Bumi. 

    Hasil uji laboratorium menunjukkan chip ini cukup kuat menghadapi radiasi, tetapi tantangan sesungguhnya adalah memastikan chip tersebut bisa bekerja dengan stabil selama bertahun-tahun di luar angkasa, yang penuh dengan radiasi, suhu ekstrem, dan risiko kerusakan.

    Masalah besar lainnya adalah pendinginan dan komunikasi. Di luar angkasa tidak ada udara, sehingga panas dari komputer sulit dibuang dan harus menggunakan radiator besar dan berat. 

    Selain itu, data antar satelit akan dikirim lewat laser yang harus sangat presisi, karena satelit bergerak cepat dan sedikit kesalahan bisa membuat koneksi terputus.

    Lalu soal biaya dan perawatan. Memperbaiki satelit di orbit sangat mahal dan rumit, berbeda dengan pusat data di Bumi. 

    Uji coba dua satelit pada 2027 hanya langkah awal untuk melihat apakah teknologi dasarnya bisa bekerja. Walaupun berhasil, pusat data besar di luar angkasa masih membutuhkan waktu panjang, bahkan puluhan tahun, untuk benar-benar terwujud. (Nur Amalina)

  • Bursa Saham AS Wall Street Lesu di Tengah Kecemasan soal Investasi AI

    Bursa Saham AS Wall Street Lesu di Tengah Kecemasan soal Investasi AI

    Bisnis.com, JAKARTA – Bursa saham Amerika Serikat ditutup melemah pada perdagangan Rabu (17/12/2025) waktu setempat akibat kekhawatiran yang belum mereda terkait perdagangan berbasis kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) membebani saham-saham teknologi.

    Melansir Reuters pada Kamis (18/12/2025), indeks Dow Jones Industrial Average ditutup turun 183,16 poin atau 0,38% ke level 47.931,10. Sementara itu, indeks S&P 500 merosot 66,14 poin atau 0,97% menjadi 6.734,40, dan Nasdaq Composite anjlok 331,85 poin atau 1,44% ke posisi 22.779,61.

    Sebanyak enam dari 11 subsektor utama dalam indeks S&P 500 tercatat melemah, dengan sektor teknologi mencatatkan penurunan terbesar sebesar 1,9%.

    Saham Oracle jatuh hampir 5% setelah laporan menyebutkan mitra pusat data terbesar perusahaan cloud tersebut, Blue Owl Capital, tidak akan mendukung kesepakatan senilai US$10 miliar untuk fasilitas berikutnya.

    Di sisi lain, saham Amazon.com naik 0,3% setelah perusahaan mengungkapkan tengah menjajaki rencana investasi sekitar US$10 miliar di OpenAI, pengembang ChatGPT.

    Kekhawatiran bahwa sektor teknologi secara luas akan menambah beban utang untuk mendanai pengembangan AI turut menekan minat risiko investor dalam beberapa waktu terakhir.

    “Terlihat adanya kecemasan yang terus menguat terkait perdagangan AI. Pendorong utamanya adalah besarnya belanja modal dan sifat sirkular dari sebagian pengeluaran tersebut, dengan OpenAI berada di pusatnya,” ujar Ross Mayfield, analis strategi investasi di Baird Private Wealth Management.

    Menurutnya, pertanyaan utama menjelang tahun baru adalah mengenai keberlanjutan belanja besar tersebut serta tingkat imbal hasil investasinya.

    Saham Nvidia, yang kerap dijadikan barometer sektor AI, turun 3,4%, sementara produsen chip Broadcom merosot 5,5%. Pelemahan tersebut menyeret indeks saham semikonduktor secara luas turun 3,3%.

    Di tengah tekanan pasar, saham sektor energi justru menguat seiring kenaikan harga minyak dunia, setelah Presiden Amerika Serikat Donald Trump memerintahkan blokade terhadap seluruh kapal tanker minyak yang dikenai sanksi dan keluar-masuk Venezuela. Saham ConocoPhillips dan Occidental Petroleum masing-masing naik lebih dari 3%.

    Sentimen pasar sedikit terbantu oleh pernyataan Gubernur Federal Reserve Christopher Waller, yang dikenal berpandangan dovish dalam kebijakan moneter. Dia menilai bank sentral AS masih memiliki ruang untuk memangkas suku bunga di tengah pasar tenaga kerja yang mulai melunak.

    Pelaku pasar selanjutnya akan mencermati rilis data inflasi konsumen Amerika Serikat dari Departemen Perdagangan yang dijadwalkan pada Kamis waktu setempat.

  • Indonesia Serukan Dukungan Global atas Proposal Royalti di Hadapan Para Duta Besar Dunia

    Indonesia Serukan Dukungan Global atas Proposal Royalti di Hadapan Para Duta Besar Dunia

    Indonesia Serukan Dukungan Global atas Proposal Royalti di Hadapan Para Duta Besar Dunia
    Tim Redaksi
    KOMPAS.com
    – Tantangan ketimpangan ekonomi dalam industri musik digital semakin nyata di era ketika distribusi dan konsumsi karya tidak lagi mengenal batas negara. 
    Fragmentasi data, aliran
    royalti
    lintas yurisdiksi, serta pertumbuhan ekonomi
    streaming
    yang tidak merata menunjukkan perlunya perubahan mendasar dalam tata kelola
    global
    .
    Menyikapi kondisi tersebut, Indonesia memperkenalkan inisiatif pembentukan  instrumen hukum internasional yang bersifat mengikat dalam tata kelola royalti digital pada Sidang Standing Committee on Copyright and Related Rights (SCCR) ke-47 di Jenewa, yang berlangsung pada Senin (1/12/2025) hingga Jumat (5/12/2025).
    Sebagai tindak lanjut, Pemerintah Indonesia menggelar pertemuan dengan para duta besar dan perwakilan negara untuk memperdalam dialog serta menyampaikan perkembangan dukungan internasional terhadap inisiatif tersebut. Pertemuan itu berlangsung di The Ritz-Carlton Jakarta, Mega Kuningan, Selasa (16/12/2025).
    Forum tersebut menjadi momentum penting bagi Indonesia untuk memperluas pemahaman bersama mengenai urgensi instrumen global yang mampu menjawab tantangan industri kreatif di era digital.
    Wakil Menteri Hukum (Wamenkum) Edward Omar Sharif Hiariej menegaskan bahwa Indonesia mendorong inisiatif ini dengan semangat kolaboratif.
    Menurutnya, persoalan royalti digital bukan semata isu teknis, melainkan persoalan ekonomi global yang menuntut kerja sama antarnegara.
    “Kami ingin bekerja konstruktif dengan semua mitra, baik yang telah menyampaikan dukungan, yang memberikan panduan, maupun yang masih memerlukan pemahaman terhadap elemen-elemen
    proposal
    ,” ujar Edward, yang akrab disapa Eddy, dalam rilis pers yang diterima Kompas.com, Rabu (17/12/2025).
    Ia menyatakan bahwa tantangan ekonomi dalam industri musik digital harus dihadapi dengan dialog dan kemitraan yang terbuka.
    Direktur Jenderal (Dirjen) Kekayaan Intelektual (KI) Hermansyah Siregar menyebut kerangka proposal Indonesia lahir dari kesadaran bahwa sistem yang ada saat ini belum mampu mengimbangi dinamika sektor kreatif.
    Meskipun industri musik global terus bertumbuh, kesenjangan nilai dan distribusi royalti yang tidak adil masih terjadi dalam skala besar. 
    “Proposal ini diajukan sebagai respons proaktif Indonesia untuk mengisi kekosongan regulasi global, memastikan mekanisme pembayaran yang akuntabel, adil, dan transparan bagi para kreator, sekaligus memaksimalkan potensi ekonomi dari royalti digital,” ujar Hermansyah.
    Mempertegas gambaran tersebut, Kepala Badan Strategi Kebijakan Hukum Andry Indrady menyoroti ketimpangan yang semakin tajam akibat perkembangan kecerdasan buatan (
    artificial intelligence
    /AI).
    Menurut dia, AI telah mengubah cara karya diciptakan, didistribusikan, dan dikonsumsi, sehingga risiko pencipta tersingkir oleh sistem otomatis semakin besar.
    “Kesenjangan dalam ekonomi kreatif digital semakin melebar, terutama karena kecerdasan artifisial tengah membentuk ulang lanskapnya. Karena itu instrumen hukum yang mengikat bukan hanya relevan, tetapi mendesak untuk diwujudkan,” tegas Andry.
    Dalam kesempatan tersebut, Andry menjelaskan bahwa proposal Indonesia dirancang untuk memainkan beberapa peran strategis.
    Pertama
    , sebagai kerangka penyelaras berbagai inisiatif global mengenai hak cipta yang sebelumnya telah diajukan di Organisasi Kekayaan Intelektual Dunia (WIPO).
    Ia menjelaskan bahwa selama ini terdapat beragam upaya dari kelompok negara, seperti Group of Latin American and Caribbean Countries (GRULAC) dan African Group. Namun, belum ada fondasi tata kelola yang mampu menyatukan pendekatan tersebut.
    Ia menekankan bahwa proposal Indonesia tidak bertujuan mengatur isi kontrak atau lisensi, melainkan membangun struktur informasi dan tata kelola yang lebih adil bagi semua pemangku kepentingan.
    “Indonesia menawarkan kerangka transparansi dan akuntabilitas yang dapat menjadi dasar bersama, sehingga negara-negara dapat bergerak searah tanpa menghilangkan kebebasan kontraktual atau model bisnis masing-masing,” ucap Andry.
    Kedua
    , proposal ini juga menekankan dan memperkuat peran WIPO dalam menghadapi perubahan ekosistem digital yang semakin kompleks.
    Menurut Andry, instrumen dan mekanisme sukarela yang selama ini diterapkan sudah tidak memadai untuk menjawab tantangan pasar multi-teritorial, terlebih dengan pesatnya perkembangan AI.
    Ia menilai, proposal Indonesia memberikan arah yang jelas mengenai bagaimana negara-negara dapat bekerja sama dalam memperkuat tata kelola serta memastikan setiap pencipta memperoleh haknya secara adil.
    “WIPO membutuhkan peran koordinatif yang lebih kuat untuk memastikan interoperabilitas sistem dan konsolidasi data global. Tanpa fondasi bersama, kita tidak akan mampu melindungi pencipta secara proporsional dan transparan,” ujarnya. 
    Andry juga menekankan bahwa Indonesia tidak berdiri sendiri dalam perjuangan ini. Selama pembahasan di SCCR, banyak negara menyampaikan pengalaman serupa.
    Menurutnya, dukungan dan pengakuan dari berbagai kelompok negara menjadi bukti bahwa proposal Indonesia menjawab kebutuhan nyata komunitas internasional untuk membangun standar tata kelola royalti global yang lebih adil.
    Pada kesempatan itu, pemerintah turut memperkenalkan situs resmi proposal Indonesia, yakni
    justandfairroyalty.dgip.go.id
    , sebagai sarana publikasi terbuka mengenai posisi para pemangku kepentingan dan komponen proposal yang tengah dibahas.
    Peluncuran situs tersebut melengkapi proses konsultasi diplomatik yang telah berjalan, sekaligus menjadi kanal informasi bagi publik, pelaku industri kreatif, dan kalangan akademisi untuk memahami arah kebijakan Indonesia.
    Sebagai informasi, Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) merupakan unit eselon I di bawah Kementerian Hukum (
    Kemenkum
    ) Republik Indonesia (RI) yang bertugas merumuskan dan melaksanakan kebijakan di bidang kekayaan intelektual.
    DJKI menyelenggarakan layanan pendaftaran dan perlindungan hak cipta, paten, merek, desain industri, indikasi geografis, desain tata letak sirkuit terpadu, serta rahasia dagang.
    Melalui transformasi digital dan penguatan layanan publik, DJKI berkomitmen memberikan perlindungan hukum yang cepat, transparan, dan akuntabel bagi para pencipta, inventor, serta pelaku usaha di Indonesia.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Deretan HP yang Akan Meluncur pada 2026, Samsung S26 hingga iPhone 18 Pro Max

    Deretan HP yang Akan Meluncur pada 2026, Samsung S26 hingga iPhone 18 Pro Max

    Bisnis.com, JAKARTA — Persaingan industri smartphone diproyeksikan makin ketat memasuki tahun 2026. Sejumlah brand teknologi global mulai mematangkan strategi peluncuran perangkat andalan mereka untuk merebut perhatian pasar di Indonesia.

    Bocoran mengenai spesifikasi dan jajaran model terbaru yang akan dirilis pada 2026 pun mulai mencuat ke publik.

    Menurut beberapa sumber, berikut adalah daftar HP terbaru rilisan 2026 yang paling menarik perhatian publik:

    Samsung Galaxy S26 Ultra

    Samsung Galaxy S26 Ultra diperkirakan masuk pasar Indonesia pada pertengahan Februari 2026, setelah peluncuran global yang dijadwalkan pada 25 Februari dalam acara Galaxy Unpacked. Perangkat flagship ini diproyeksikan dibanderol antara Rp21 juta hingga Rp24 juta.

    Spesifikasi yang dikabarkan meliputi chipset Snapdragon 8 Elite Gen 6 atau Exynos 2700, kamera utama 200 MP dengan sensor lebih besar, dan baterai 5.200 mAh dengan dukungan fast charging 60W.

    Samsung Galaxy A57, A37, dan A07 5G
    Samsung berencana merilis Galaxy A57 dan A37 pada Februari 2026 dengan sistem operasi Android 16. Kedua model tersebut akan menggunakan chipset Exynos 1680 dan 1480.

    Galaxy A07 5G dijadwalkan rilis paling lambat Januari 2026 sebagai opsi perangkat 5G dengan harga terjangkau. Harga resmi ketiga model belum diumumkan.

    Xiaomi 17 dan Xiaomi 17 Ultra

    Xiaomi diproyeksikan meluncurkan Xiaomi 17 secara global pada Januari 2026 dengan spesifikasi chipset Snapdragon 8 Elite Gen 5, RAM 12 GB, dan baterai 7.000 mAh dengan fast charging 100W.

    Varian premium Xiaomi 17 Ultra dijadwalkan rilis pada kuartal I/2026 sebagai pesaing Galaxy S26 Ultra. Model ini akan mengusung teknologi HyperCharge 200W yang diklaim mampu mengisi daya penuh dalam waktu kurang dari 8 menit, serta sistem kamera hasil kolaborasi dengan Leica.

    Xiaomi 17T dan Xiaomi 17T Pro

    Seri Xiaomi 17T dan 17T Pro diperkirakan masuk pasar Indonesia antara Februari hingga Maret 2026. Model standar akan menggunakan chipset MediaTek Dimensity terbaru dan layar AMOLED 1,5K 144Hz. Varian Pro dilengkapi sensor kamera 50 MP dan fast charging 120W.

    Redmi Note 15 Series

    Xiaomi juga berupaya memperkokoh dominasinya di segmen pasar menengah melalui peluncuran Redmi Note 15 Series yang diprediksi masuk ke Indonesia pada kuartal I/2026.

    Seri yang menyasar kisaran harga Rp3 juta hingga Rp5 juta ini menawarkan peningkatan spesifikasi signifikan meliputi layar AMOLED 1,5K 120Hz, sensor kamera utama 50 MP berbasis AI, serta baterai berkapasitas di atas 5.500 mAh untuk menjaga daya saing produk di tengah kompetisi yang ketat.

    Infinix NOTE 60 Series

    Infinix berencana memperkuat penetrasi di segmen pasar menengah ke bawah dan kalangan muda melalui peluncuran seri NOTE 60, yang meliputi varian standar, Pro, dan Note Edge, pada Maret 2026.

    Pabrikan ini mempertahankan strategi agresifnya dengan menawarkan spesifikasi tinggi seperti chipset MediaTek Dimensity dan baterai berkapasitas di atas 6.000 mAh. Khusus varian Note Edge, perusahaan menonjolkan desain layar lengkung dan teknologi pengisian daya cepat sebagai nilai tambah utama untuk bersaing di pasar domestik.

    Honor Magic 8 Series

    Honor memperluas jangkauan pasar flagship premiumnya ke Indonesia pada kuartal I/2026 melalui seri Magic 8 yang mengunggulkan integrasi kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) pada sistem operasi MagicOS 10.

    Didukung oleh chipset Snapdragon 8 Elite Gen 5 dan layar quad-curved OLED, perangkat yang dibanderol mulai dari Rp10 juta hingga di atas Rp17 juta ini menawarkan fitur navigasi tanpa sentuh serta kemampuan fotografi tingkat lanjut untuk bersaing dengan vendor global lainnya di segmen kelas atas.

    iPhone 17e

    Apple juga tengah bersiap meluncurkan iPhone 17e pada rentang Januari hingga Maret 2026 dengan harga tetap di angka US$599 atau Rp9,9 jutaan. Namun, untuk di negara Indonesia, harganya kemungkinan akan sedikit naik.

    Melansir dari NotebookCheck Rabu (17/12/2025), perangkat yang diproduksi di India ini akan tampil agresif dengan mengadopsi cip A19 kelas flagship dan kamera depan 18MP dengan fitur Center Stage dari seri iPhone 17, serta desain bezel tipis pada layar OLED 6,1 inci yang menawarkan performa dan umur pakai jauh melampaui kompetitor Android di kelas menengah.

    iPhone 18 Pro

    Meski dijadwalkan meluncur pada September 2026, antusiasme terhadap iPhone 18 Pro dan Pro Max telah mencuat lewat kabar perombakan desain yang meniadakan Dynamic Island berkat adopsi teknologi Face ID di bawah layar.

    Mengutip laporan The Information dan analis Ming-Chi Kuo, perangkat ini diprediksi membawa fitur variable aperture pada kamera utama 48 MP serta lonjakan performa dari cip A20 Pro berbasis fabrikasi 2nm TSMC, yang menggunakan teknologi pengemasan WMCM untuk efisiensi termal dan daya yang jauh lebih baik dibandingkan generasi sebelumnya.

    iPhone 18 Pro Max
    HP ini diproyeksikan membawa perombakan besar pada 2026 melalui integrasi cip A20 Pro berbasis fabrikasi 2nm yang menjanjikan lonjakan performa 15% dan efisiensi daya 30%, serta penggunaan modem 5G in-house untuk pertama kalinya demi mengurangi ketergantungan pada pihak ketiga.

    Perangkat yang ditaksir memiliki bobot lebih berat akibat peningkatan kapasitas baterai signifikan ini juga menawarkan fitur kamera utama 48 MP dengan variable aperture, opsi penyimpanan masif hingga 2TB, serta desain layar baru yang mengadopsi teknologi Face ID di bawah layar demi memaksimalkan area visual pengguna. (Muhammad Diva Farel Ramadhan)

  • Teknologi AI pada AC LG Bisa Hemat Energi hingga 27 Persen, Apa Saja Kecanggihannya?

    Teknologi AI pada AC LG Bisa Hemat Energi hingga 27 Persen, Apa Saja Kecanggihannya?

    Liputan6.com, Jakarta – LG Electronics Indonesia (LGEIN) mengklaim telah menyematkan teknologi kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) dengan kemampuan deep learning pada unit pendingin ruangan (AC) untuk segmen Business-to-Business (B2B).

    Teknologi ini bertujuan untuk mengoptimalkan kenyamanan pengguna sekaligus mencapai efisiensi energi yang signifikan.

    Department Leader B2B HVAC (Heating, Ventilation, and Air Conditioning) of LG Electronics Indonesia, Ronny Ardiyanto, menjelaskan kecanggihan AI pada AC LG terletak pada kemampuannya untuk mempelajari dan merespons kondisi lingkungan serta perilaku pengguna secara otomatis.

    “Teknologi AI ini disematkan di unit outdoor (luar ruangan). Di AC, kontroler utama itu ada di outdoor. Dia yang nanti mengatur pendinginan, kerja kompresor, dan bagaimana kerja unitnya,” Ronny menjelaskan, Selasa (16/12/2025) di Jakarta.

    Meskipun ukurannya kecil, chip AI yang bertindak sebagai prosesor ini sangat kuat (powerful). Dalam menciptakan algoritma dan proses pembelajarannya, AI di AC LG berfokus pada pengontrolan dua faktor kunci yang menentukan kenyamanan dalam ruangan, yaitu temperature (suhu) dan humidity (kelembapan).

    “Kita bisa membuat AC dingin, tapi kalau akhirnya jadi kedinginan itu juga tidak bagus. Yang diperlukan sebetulnya adalah bagaimana kita merasa nyaman. Cukup dingin tapi tidak kedinginan dan tidak kepanasan,” ia menambahkan.

    Salah satu kemampuan utama AI ini adalah melakukan sensing (penginderaan) terhadap kondisi di dalam dan di luar ruangan.

  • Regulasi AI Tunggu Tanda Tangan Prabowo, Ditarget Terbit Awal 2026

    Regulasi AI Tunggu Tanda Tangan Prabowo, Ditarget Terbit Awal 2026

    Bisnis.com, JAKARTA— Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) mengungkapkan dua regulasi kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI), yakni peta jalan AI dan etika AI, tinggal menunggu tanda tangan Presiden Prabowo Subianto. Kedua regulasi tersebut akan diterbitkan dalam bentuk peraturan presiden (Perpres).

    Direktur Jenderal Ekosistem Digital Komdigi Edwin Hidayat Abdullah mengatakan, pihaknya telah menyampaikan draf regulasi tersebut kepada Kementerian Hukum untuk proses lebih lanjut.

    “Karena akan dibuat Keppres-nya [keputusan presiden] sendiri. Jadi, Keppresnya itu apa? Keppres untuk Perpres-perpres yang akan ditandatangani di 2026,” kata Edwin usai acara peresmian AI Innovation Hub yang digelar Telkomsel di Kampus ITB, Bandung, Jawa Barat, Selasa (16/12/2025).

    Edwin menjelaskan kedua regulasi tersebut saat ini sudah masuk dalam antrean penandatanganan. Dia berharap aturan tersebut sudah berada di meja presiden pada awal 2026, mengingat drafnya telah rampung sejak sekitar 2 bulan lalu.

    “Belum [ditandatangani], sudah ditandatangani mungkin sekitar kuartal pertama atau kedua,” ujarnya.

    Sebelumnya, Menteri Komunikasi dan Digital (Menkomdigi) Meutya Hafid mengatakan, pemerintah telah menyelesaikan sekitar 90% dari dua peraturan terkait AI, yakni peta jalan AI dan etika AI.

    “Ini akan mudah-mudahan ditandatangani presiden di awal tahun, jadi ini sudah dalam menunggu antrean dan menurut Mensesneg [Prasetyo Hadi] sudah masuk diprioritaskan untuk ditandatangani segera,” ungkapnya dalam konferensi pers Deklarasi Arah Indonesia Digital: Terhubung, Tumbuh, Terjaga di Jakarta, Rabu (10/12/2025).

    Meutya menuturkan, terdapat dua Perpres terkait AI yang akan diterbitkan. Namun, Komdigi tidak akan mengatur perkembangan AI secara sektoral, melainkan menyiapkan payung kebijakan secara umum.

    “Harapan kami nanti kalau payung besarnya memang sudah ditandatangani presiden. Mungkin silakan kementerian-kementerian pun lembaga-lembaga untuk membuat aturan AI per sektor masing-masing,” katanya.

    Dia menegaskan kementerian dan lembaga paling memahami kebutuhan pengaturan AI di sektor masing-masing. Lebih lanjut, Meutya menjelaskan Komdigi pada tahun ini telah meluncurkan sejumlah innovation hub, yakni Garuda Spark Innovation Hub di Jakarta, Bandung, dan Medan, serta berharap jumlahnya terus bertambah di berbagai daerah.

    “Inisiatif tersebut diharapkan dapat melahirkan lebih banyak talenta digital dan inovasi yang lebih merata di seluruh wilayah Indonesia,” katanya.