Produk: Anarkisme

  • Ratusan Polisi dan TNI Terluka Saat Amankan Demo Rusuh di Jawa Timur

    Ratusan Polisi dan TNI Terluka Saat Amankan Demo Rusuh di Jawa Timur

    Surabaya (beritajatim.com) – Aksi demonstrasi yang berujung anarkis di wilayah hukum Polda Jawa Timur mengakibatkan ratusan personel kepolisian dan TNI mengalami luka-luka. Tercatat ada 105 personel Polri dan 12 anggota TNI yang terluka akibat lemparan batu, bom molotov, hingga benda keras lainnya saat mengamankan kerusuhan.

    Kapolda Jatim Irjen Nanang Avianto menyampaikan bahwa para personel tersebut mengalami luka ringan hingga berat, dan sebagian menjalani perawatan medis secara berkala. “Selain itu, ada pula warga sipil yang juga menjadi korban. Beruntung, tak ada korban jiwa selama aksi kerusuhan di Jatim,” ujarnya, Sabtu (20/9/2025).

    Polda Jatim mencatat sebanyak 111 warga sipil turut menjadi korban dengan luka-luka. Sebagian besar dari mereka sudah menjalani rawat jalan.

    Nanang mengingatkan masyarakat agar bijak dalam menyikapi informasi, terutama di media sosial. Ia menegaskan agar warga tidak mudah terprovokasi isu hoax dan segera melaporkan ke pihak kepolisian jika ada informasi yang meresahkan. “Mari kita jaga Jawa Timur tetap aman. Jangan mudah terprovokasi. Bila ada informasi yang meresahkan, segera laporkan ke pihak berwenang,” imbaunya.

    Kabid Humas Polda Jatim Kombes Jules Abraham Abast menambahkan, pihak kepolisian tidak hanya berhenti pada pelaku lapangan. “Kami akan terus mendalami, termasuk memburu aktor intelektual yang mendalangi kerusuhan ini. Jejak digital tidak bisa dihapus, dan tim kami sudah mengantongi sejumlah bukti,” katanya.

    Atas kasus tersebut, Polda Jatim menjerat para pelaku dengan berbagai pasal, di antaranya Pasal 406 KUHP tentang perusakan barang, Pasal 170 KUHP tentang kekerasan bersama, Pasal 187 KUHP tentang pembakaran, Pasal 212 KUHP tentang perlawanan terhadap pejabat, Pasal 160 KUHP tentang penghasutan, UU Darurat Nomor 12 Tahun 1951 tentang senjata api dan bahan peledak, serta UU ITE terkait provokasi melalui media sosial.

    Sebagai barang bukti, polisi menyita 11 buku paham anarkisme, 42 bongkahan batu, 10 jaket hoodie, 9 sepeda motor, 18 handphone, 1 tameng polisi, serta pakaian dan perlengkapan aksi. [uci/ian]

  • Buku-buku Kiri dan Anarkisme Disita Polisi, Istana: Tak Ada Larangan Baca
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        19 September 2025

    Buku-buku Kiri dan Anarkisme Disita Polisi, Istana: Tak Ada Larangan Baca Nasional 19 September 2025

    Buku-buku Kiri dan Anarkisme Disita Polisi, Istana: Tak Ada Larangan Baca
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Merespons penyitaan buku-buku anarkisme dan pemikiran kiri oleh polisi, Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Prasetyo Hadi menegaskan tidak ada larangan bagi masyarakat untuk membaca buku apapun.
    “Tapi kalau larangan membaca buku ya tentunya kan tidak ada,” kata Prasetyo di Kompleks Istana, Jakarta, Jumat (19/9/2025).
    Namun, ia enggan memberikan respons lebih jauh soal hal ini.
    “Aku belum monitor,” tuturnya singkat.
    Diketahui, Pos Lantas Waru Sidoarjo dirusak dan dibakar oleh kelompok tak dikenal saat ramai aksi demonstrasi yang berujung kericuhan di Surabaya pada Jumat (29/8/2025) malam hingga Sabtu (30/8/2025) dini hari.
    Sejumlah anggota yang berpatroli di lokasi tersebut mengalami pengeroyokan. Sebanyak 18 orang ditangkap atas pembakaran Pos Lantas Waru, termasuk 10 anak berhubungan dengan hukum atau ABH.
    Dari penangkapan tersebut, polisi menyita 11 buku dari satu pelaku berinisial GLM (24).
    Buku-buku ini dinilai polisi menganut paham-paham anarkisme.
    Sebagai informasi, 11 judul buku yang disita di antaranya adalah “Pemikiran Karl Marx” karya Franz Magnis-Suseno, “Anarkisme” karya Emma Goldman, “Kisah Para Diktator” karya Jules Archer, dan “Strategi Perang Gerilya” karya Che Guevara.
    Direktur Ditreskrimum Polda Jatim, Kombes Pol Widi Atmoko, menjelaskan bahwa penyitaan buku bertujuan untuk menyelidiki pengaruh pemahaman narasi buku terhadap tindakan tersangka.
    Sementara itu, Kapolda Jawa Timur (Jatim) Irjen Pol Nanang Avianto menegaskan bahwa ia tidak melarang pembacaan buku-buku tersebut oleh kalangan profesional sebagai bagian dari pendalaman pemahaman.
    “Tetapi kalau kemudian dipraktikkan, berarti kan proses pembelajarannya dari buku itu. Silakan baca buku, tetapi kalau tidak bagus jangan dipraktikkan,” ujar Nanang, Kamis (18/9/2025).
    Polda Jawa Barat memublikasikan sejumlah buku yang menjadi barang bukti kericuhan aksi demonstrasi di Bandung dalam konferensi pers di Mapolda Jabar, Selasa (16/9/2025).
    Beberapa buku tersebut disebut memuat teori anarkisme yang diduga menjadi referensi literasi kelompok pendemo anarkistis di Gedung DPRD Jawa Barat beberapa waktu lalu.
    Berdasarkan pantauan, buku-buku ini tersusun rapi di atas meja, disertai dengan barang bukti lainnya.
    “Bisa dilihat (buku) ajakan desersi juga ada, dan buku lainnya, tetapi ini semua narasinya setingkat anarkisme,” kata Kapolda Jabar Irjen Pol Rudi Setiawan.
    Beberapa judul buku yang dipublikasikan antara lain Menuju Estetika Anarkis, Why I Am Anarchist, dan Sastra dan Anarkisme. Buku-buku ini tidak hanya berasal dari dalam negeri, tetapi ada juga yang dibeli secara online dari luar negeri.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Duta Damai BNPT dan Unisla Perkuat Jejaring Pemuda untuk Kampanye Lawan Radikalisme

    Duta Damai BNPT dan Unisla Perkuat Jejaring Pemuda untuk Kampanye Lawan Radikalisme

    Lamongan (beritajatim-com) – Upaya mencegah penyebaran paham radikalisme di kalangan pemuda terus digalakkan. Duta Damai BNPT Jawa Timur bersama Universitas Islam Lamongan (Unisla) melakukan silaturahim dan audiensi untuk merancang sinergi kampanye damai di kalangan mahasiswa dan pemuda Lamongan.

    Pertemuan yang berlangsung di Ruang Rektorat Unisla tersebut, dihadiri Rektor Unisla Dr. Abdul Ghofur, Wakil Rektor III Dr. Winarto Eka Wahyudi, Ketua Duta Damai Jatim, Ahmad Reza beserta tim, serta perwakilan Bakesbangpol Lamongan.

    Ketua Duta Damai Jatim, Ahmad Reza, menegaskan bahwa generasi muda, perempuan, dan remaja menjadi kelompok paling rentan untuk menjadi target doktrinasi kelompok radikal.

    “Karena itu, kami mendorong kolaborasi dengan kampus-kampus di Lamongan untuk menyebarkan nilai perdamaian melalui media sosial maupun kegiatan edukatif,” ujarnya, Jumat (19/9/2025).

    Reza menyampikan, pergerakan radikalisme saat ini tidak selalu tampak dalam bentuk serangan fisik, seperi serangan bom atau penyerangan secara langsung. Tetapi bisa menyusup lewat aksi-aksi anarkisme yang kerap ditunggangi kepentingan tertentu.

    “Kami ingin membentengi generasi muda agar lebih kreatif, cerdas, dan tidak mudah terpengaruh,” ujarnya.

    Sementara itu, Wakil Rektor III Unisla, Winarto, mengapresiasi inisiatif ini. Ia menyinggung pengalaman kampusnya yang pernah mendapati mahasiswa dan dosen terpapar paham radikal, hingga berurusan dengan aparat.

    “Sehingga untuk kolaborasi program ini kami sangat menyambut sekali, agar bisa terkoneksi dengan kampus kami. Kami menyambut baik niat kolaborasi dengan Duta Damai, kami harapkan kerja sama ini bisa berkelanjutan agar kondusifitas dan keamanan daerah bisa terwujud,” ucapnya

    Antusiasme juga ditunjukkan Rektor Unisla, Abdul Ghofur, yang berkomitmen untuk segera menindaklanjuti kerja sama dengan Duta Damai, untuk membentengi generasi muda, khususnya kalangan mahasiswa dari paparan paham radikal.

    “Sinergi seperti ini penting bagi keberlangsungan generasi muda yang sehat dari pengaruh radikalisme. Kami siap melanjutkan kerja sama ini,” tegasnya.

    Selain Unisla, sebelumnya Duta Damai Jatim juga telah melaukan audiensi dengan perguruan tinggi lain di Lamongan, termasuk Universitas Muhammadiyah Lamongan. [fak/aje]

  • Represif Polisi: Menyita Buku Membungkam Pikiran
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        18 September 2025

    Represif Polisi: Menyita Buku Membungkam Pikiran Nasional 18 September 2025

    Represif Polisi: Menyita Buku Membungkam Pikiran
    Peneliti di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)
    SEJAK
    Agustus hingga awal September 2025, gelombang protes di sejumlah kota merefleksikan ketidakpuasan rakyat atas ketidakadilan, kemiskinan, pelanggaran HAM, dan berbagai kegagalan birokrasi.
    Namun, reaksi aparat keamanan terhadap protes itu, terutama penyitaan buku sebagai barang bukti, membuka bab baru dalam hubungan negara–masyarakat. Negara ternyata lebih takut terhadap ide daripada menangani masalah substantif.
    Dalam laporan
    Kompas.com
    (17/09/2025), Polda Jabar memublikasikan sejumlah buku yang merupakan barang bukti kericuhan aksi demonstrasi di Bandung dalam konferensi pers di Mapolda Jabar, Selasa (16/9/2025).
    Beberapa buku yang menjadi barang bukti ini disebut memuat tentang teori anarkisme yang diduga menjadi referensi literasi kelompok pendemo anarkistis di Gedung DPRD Jawa Barat beberapa waktu lalu.
    Dalam siaran persnya, tertulis beberapa buku dengan judul
    Menuju Estetika Anarkis, Why I Am Anarchist, Sastra dan Anarkisme
    , dan banyak buku lainnya.
    “Bisa dilihat (buku) ajakan desersi juga ada, dan buku lainnya, tetapi ini semua narasinya setingkat anarkisme,” kata Kapolda Jabar Irjen Pol Rudi Setiawan saat memperlihatkan barang buktinya (
    Kompas.com
    , 17/09/2025).
    Sementara itu, dalam kasus Delpedro Marhaen, Direktur Eksekutif Lokataru Foundation,
    Kompas.com
    (07/09/2025) melaporkan bahwa polisi menggeledah kantor Lokataru di Pulo Gadung, Jakarta Timur, pada 4 September 2025, dan menyita buku, spanduk, publikasi penelitian, dan laptop sebagai bagian dari barang bukti.
    Delpedro telah ditetapkan tersangka atas dugaan “penghasutan terhadap pelajar terkait demonstrasi dan perusakan” dalam rentang 25–31 Agustus 2025.
    Kasus penyitaan buku ini bukan hanya persoalan teknis penegakan hukum. Ia adalah gambaran kegagalan aparat negara dalam memahami esensi kebebasan berpikir dan bersuara, sekaligus cerminan ketakutan yang dalam terhadap ideologi alternatif.
    Paling menyedihkan, aparat yang mestinya menjadi penjaga hukum justru terjebak dalam sikap represif yang kontraproduktif, menyalahi prinsip hukum pidana, dan mengabaikan akar persoalan bangsa.
    Polisi menyita buku-buku yang dianggap memuat paham anarkisme dengan alasan buku tersebut menjadi “referensi” atau bahkan “alat” yang memotivasi para tersangka melakukan aksi anarkis.
    Padahal, paham anarkisme seringkali disalahpahami secara mendasar oleh aparat keamanan.
    Anarkisme bukan sekadar kekacauan atau ajakan pada kekerasan, melainkan filsafat politik yang menolak dominasi otoriter dan mengedepankan kebebasan, kesetaraan, dan solidaritas tanpa hierarki yang represif.
    Para pemikir anarkis seperti Peter Kropotkin, Emma Goldman, dan Mikhail Bakunin adalah contoh tokoh yang mengusung gagasan tentang kerja sama sosial dan perlawanan terhadap penindasan struktural.
    Lebih dari itu, nilai-nilai anarkisme justru sangat dekat dengan budaya kolektif masyarakat Indonesia, seperti gotong royong, musyawarah dalam pengambilan keputusan, dan sistem pengelolaan bersama tanah ulayat.
    Jadi, alih-alih “ideologi asing yang berbahaya”, anarkisme dalam konteks Indonesia bisa dilihat sebagai bagian dari warisan budaya dan cara masyarakat mengorganisasi diri secara egaliter dan mandiri.
    Namun, aparat tampaknya abai dengan hal ini. Penyitaan buku seolah menjadi bentuk kriminalisasi terhadap pemikiran kritis yang menolak ketidakadilan.
    Padahal, membaca buku, bahkan yang berisi kritik keras terhadap negara adalah hak setiap warga negara yang dilindungi oleh konstitusi.
    Menurut KUHAP, penyitaan barang bukti harus didasarkan pada keterkaitan langsung dengan tindak pidana yang sedang disidik.
    Buku, sebagai benda fisik dan sumber gagasan, hanya dapat disita apabila isi atau keberadaannya secara nyata digunakan untuk melakukan kejahatan, bukan sekadar karena ideologi yang diusungnya.
    Ketika polisi menyita buku semacam karya sastra, zine kritis, atau buku tentang anarkisme sebagai alat bukti, mereka mencampuradukkan antara tindakan kriminal dengan pikiran dan gagasan.
    Ini jelas berpotensi melanggar hak asasi manusia, khususnya kebebasan berekspresi dan kebebasan memperoleh informasi yang dilindungi oleh Undang-Undang HAM dan Pasal 28E UUD 1945.
    Penyitaan buku juga mengirimkan pesan buruk bahwa ide dan pemikiran alternatif bisa dijadikan alasan untuk menekan warga negara, membungkam kritik, dan menghapus ruang wacana demokratis.
    Ini merusak iklim kebebasan intelektual yang menjadi fondasi penting bagi kemajuan suatu bangsa.
    Ketika aparat menangkap pelaku perusakan dalam aksi massa, yang seharusnya menjadi fokus adalah alat bukti yang terkait langsung dengan tindakan kriminal tersebut.
    Batu yang dilempar, bahan yang digunakan untuk membakar, rekaman video, saksi mata, semua itu adalah alat bukti yang valid dan konkret.
    Menyita buku yang dibawa atau dimiliki demonstran justru menunjukkan ketidaktepatan aparat dalam memahami hukum dan proses penyidikan.
    Membaca buku, bagaimanapun isinya tidak sama dengan melakukan perbuatan kriminal. Tidak ada logika hukum yang menghubungkan memiliki buku dengan niat atau tindakan merusak.
    Dengan menyita buku, aparat justru menyerang identitas intelektual para demonstran, bukan membuktikan keterlibatan mereka dalam perusakan.
    Ini membingungkan antara tindakan kriminal dan kebebasan berpikir, sehingga berpotensi menjadi alat kriminalisasi bagi aktivis dan pembela hak asasi.
    Lebih parah lagi, aparat negara tampak lebih takut pada ide dan buku daripada menyentuh akar masalah bangsa.
    Ketimpangan sosial, kemiskinan, korupsi, pelanggaran hak asasi, dan ketidakadilan sistemik yang menjadi penyebab meluapnya protes justru luput dari perhatian.
    Alih-alih menyelesaikan persoalan struktural itu, aparat justru sibuk menindak ideologi alternatif yang menjadi alat kritik dan refleksi atas realitas yang ada.
    Ini berbahaya karena memperkuat sikap represif yang dapat memperlebar jurang ketidakpercayaan dan konflik sosial.
    Pemerintah dan aparat seharusnya mendengar suara kritis yang muncul dari masyarakat, termasuk dari mereka yang membaca dan mendiskusikan gagasan-gagasan radikal atau alternatif.
    Diskursus terbuka adalah jalan menuju perubahan yang bermakna, bukan pembungkaman.
    Tindakan penyitaan buku bukan hanya soal hukum dan politik, tetapi juga berdampak luas pada sosial dan budaya masyarakat.
    Pertama, menciptakan iklim ketakutan intelektual yang mematikan ruang diskusi dan wacana kritis. Orang akan takut membaca buku yang dianggap “berbahaya” atau terlibat dalam diskusi yang dianggap “melawan negara”.
    Kedua, memecah solidaritas sosial dengan menstigmatisasi siapa saja yang memiliki buku atau gagasan tertentu sebagai ancaman. Ini berpotensi menciptakan konflik horizontal yang memperlebar perpecahan masyarakat.
    Ketiga, menyabotase budaya literasi dan kebebasan berpikir yang sangat dibutuhkan untuk mengembangkan demokrasi yang sehat.
    Bila masyarakat takut terhadap buku dan ide, maka mereka kehilangan kemampuan untuk memahami kompleksitas dan menuntut perubahan substantif.
    Keempat, menciptakan narasi “musuh imajiner” yang mengalihkan perhatian dari persoalan sesungguhnya. Negara membangun ketakutan akan ideologi “berbahaya”, tapi mengabaikan pelanggaran dan ketidakadilan yang dialami rakyat.
    Kasus penyitaan buku oleh polisi pada massa aksi ataupun aktivis bukan sekadar persoalan teknis hukum, melainkan pertaruhan besar bagi masa depan demokrasi dan kebebasan intelektual di Indonesia.
    Aparat negara harus sadar bahwa buku dan gagasan adalah bagian dari hak dasar warga negara, bukan alat kriminalisasi. Penegakan hukum harus fokus pada fakta dan perbuatan, bukan mengadili ide dan pikiran.
    Lebih penting lagi, pemerintah dan aparat harus berani menyentuh akar masalah bangsa, ketidakadilan sosial, kemiskinan, dan pelanggaran HAM, bukan sibuk menakuti diri sendiri dengan ideologi alternatif.
    Jika aparat terus menyita buku dan membungkam pikiran kritis, yang terjadi bukan keamanan, tapi kemunduran demokrasi dan pembodohan masyarakat.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Pemerintah Diminta Punya Visi Atasi Isu Kepemudaan & Majukan Olahraga

    Pemerintah Diminta Punya Visi Atasi Isu Kepemudaan & Majukan Olahraga

    Jakarta

    Ketua Perkumpulan Kader Bangsa Dimas Oky Nugroho menegaskan pemerintah harus memiliki visi strategis untuk mengatasi isu-isu kepemudaan. Pemerintah juga diminta memajukan olahraga secara holistik, inovatif, serta berorientasi pada penguatan kebangsaan dan kemajuan nasional.

    Hal ini dikatakan dalam rangka menanggapi pemilihan Menteri Pemuda dan Olahraga RI (Menpora). Menurut Dimas, momen ini menjadi krusial di tengah kompleksitas tantangan pembangunan kepemudaan dan olahraga nasional. Ia pun menyoroti urgensi pembinaan kepemudaan sebagai agenda prioritas pemerintah.

    “Pembinaan dan pengawalan isu-isu kepemudaan menjadi agenda yang sangat krusial yang harus dijalankan pemerintah hari-hari ini dan ke depan,” ujar Dimas, dalam keterangan tertulis, Minggu (14/9/2025).

    Dimas menekankan jumlah penduduk usia muda, sebagai angkatan produktif, merupakan pendorong utama pembangunan Indonesia. Namun, tantangan besar muncul dalam tiga aspek utama: penguatan karakter, partisipasi kewarganegaraan, dan aspek kewirausahaan.

    Penguatan Karakter di Era Digital

    Dimas menggarisbawahi tantangan pembangunan karakter pemuda di tengah era digitalisasi dan new media. Untuk menghadapi situasi ini, ia mendorong pemerintah merancang program prioritas yang inovatif untuk menanamkan pendidikan karakter, budi pekerti, cinta tanah air, dan patriotisme.

    “Era ini mendorong budaya materialisme, individualisme, sekaligus komunalisme yang begitu mengemuka,” kata Dimas.

    Menurut Dimas, program prioritas yang inovatif ini, harus berlandaskan pada nilai-nilai spiritualitas kebangsaan, keguyuban, kepedulian sosial, dan etika republikanisme.

    “Pemerintah harus memastikan kehadiran program yang menyasar pemuda di berbagai jenjang untuk membangun karakter yang kuat dari Aceh sampai Papua,” kata Dimas.

    Partisipasi Kewarganegaraan dan Tanggung Jawab Sosial

    Tantangan kedua yang disoroti Dimas adalah penguatan partisipasi kewarganegaraan dalam konteks masyarakat majemuk, demokratis, dan berbasis supremasi hukum.

    “Anak-anak muda Indonesia harus percaya diri, sehat mental sehat jasmani, berpengetahuan baik, berintegritas, mampu mengekspresikan pemikiran dan talentanya secara optimal,” ujar Dimas.

    Dimas menegaskan pemuda harus terlibat dan bertanggung jawab dalam ikut mengembangkan masyarakat yang sehat, inklusif, dan produktif, sejalan dengan tujuan mulia berbangsa dan bernegara. Dimas mendorong penguatan pendidikan kewarganegaraan (civic education), kepemimpinan, dan resolusi konflik untuk mencapai hal ini.

    “Pemerintah harus memastikan civic education dan pendidikan politik demokratis serta kesadaran tertib sosial di kalangan anak muda,” kata Dimas.

    Sembari, Dimas juga menekankan pentingnya konsistensi reformasi di tubuh pemerintahan agar tidak terjadi kesenjangan atau kontradiksi yang berpotensi memicu ketidakpuasan sosial (social grievance) atau bahkan perlawanan yang mengarah pada anarkisme.

    “Negara harus dapat membangun jembatan komunikasi dengan anak-anak muda, khususnya para pemimpin-pemimpin dan penggerak kepemudaan dan pelajar, baik BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa), organisasi kepemudaan, sosial budaya, komunitas kreatif secara inklusif untuk melibatkan mereka dalam mewujudkan harmoni sosial, partisipasi kewargaan, dan pembangunan sosial ekonomi serta sosial politik,” jelas Dimas.

    Kewirausahaan dan Kesejahteraan Sosial

    Dari sisi ekonomi, Dimas menyoroti pentingnya penguatan kewirausahaan dan sosial-ekonomi pemuda untuk menghadapi tantangan pembangunan.

    “Dibutuhkan anak-anak muda yang mandiri, sigap, dan produktif dalam menemukan solusi untuk mendorong kesejahteraan sosial yang adil dan merata, baik di tingkat komunitas maupun nasional,” ungkap mantan Presiden BEM Universitas Airlangga era 1998 tersebut.

    Dimas menekankan perlunya program kewirausahaan yang menyasar pemuda sejak tingkat menengah, perguruan tinggi, hingga pasca-perguruan tinggi, guna menciptakan lapangan kerja dan mendorong inovasi di berbagai sektor pembangunan.

    Inovasi Olahraga untuk Bangsa Juara

    Di bidang olahraga, Dimas menyerukan adanya terobosan dan konsistensi untuk memajukan pembinaan atlet sejak usia dini dan industrialisasi olahraga secara profesional dan prospektif.

    “Harus didorong inovasi-inovasi agar aspek industrialisasi olahraga dan pembinaan atlet menjadi lebih maju dan prospektif sebagai bangsa juara,” tegas Dimas.

    Dimas menekankan pentingnya pembinaan atlet sejak tingkat pelajar dengan memprioritaskan cabang olahraga unggulan untuk meraih prestasi di tingkat dunia, tanpa mengabaikan potensi cabang olahraga lainnya. Menurut Dimas, pengembangan olahraga tidak hanya penting untuk pembangunan karakter dan strategi kebangsaan, tetapi juga sebagai pendorong industri dan ekonomi nasional.

    “Indonesia adalah negara besar dengan potensi dan sumber daya yang sangat besar. Ini berarti prospek pengembangan olahraga sangat relevan, strategis, dan terbuka lebar, sesuai tujuan-tujuan nasional kita”, kata Dimas.

    Dimas menegaskan calon Menpora harus mampu mengintegrasikan pembangunan pemuda dan olahraga secara holistik. Dengan pendekatan yang inovatif dan strategis, Menpora diharapkan dapat membawa Indonesia menuju posisi unggul di kancah global, baik dalam pembinaan pemuda maupun prestasi olahraga.

    “Calon Menpora harus memiliki visi yang kuat untuk menjawab tantangan kompleks ini, baik dalam membina generasi muda yang berkarakter, produktif, dan bertanggung jawab, maupun dalam memajukan olahraga sebagai alat pembangunan nasional,” ujar Dimas.

    Kepemimpinan Menpora ke depan, menurut Dimas, akan menentukan arah pembangunan generasi muda dan olahraga nasional. Dengan potensi besar yang dimiliki Indonesia, calon Menpora harus mampu mengoptimalkan sumber daya untuk mewujudkan visi Indonesia sebagai bangsa yang kuat, produktif, dan berprestasi.

    (anl/ega)

  • Aktivis: Tindakan anarkis hanya akan merugikan rakyat

    Aktivis: Tindakan anarkis hanya akan merugikan rakyat

    Jakarta (ANTARA) – Koordinator Aliansi Masyarakat Solidaritas Indonesia (ASRI) dan Komite Nasional Perempuan Indonesia (KNPRI) menyatakan segala bentuk tindak anarkis, vandalisme serta upaya membenturkan dan mengadu domba rakyat dengan aparat Kepolisian dan TNI hanya akan merugikan rakyat.

    “Selain itu bisa merusak citra perjuangan dan mencederai semangat demokrasi itu sendiri serta merupakan tindakan tercela dan biadab,” kata Koordinator ASRI dan KNPRI Fikri dalam keterangannya yang disampaikan di Jakarta, Sabtu.

    Menurut dia, menyampaikan pendapat di muka umum adalah hak konstitusional setiap warga negara. Namun hak tersebut harus dilakukan dengan cara yang baik, tertib dan bermartabat.

    Dia pun menyampaikan sikap terkait situasi terkini yang terjadi di Indonesia melalui Prinsip G-DELAPAN. Yaitu “Demokrasi” yang menegaskan bahwa kebebasan berpendapat adalah hak setiap warga negara, namun harus disalurkan secara damai, tertib dan tanpa anarkisme agar demokrasi berjalan sehat.

    Selain itu, “Efektif” yang menuntut pemerintah untuk merespon aspirasi rakyat secara cepat, tepat dan nyata, bukan hanya sebatas wacana tanpa penyelesaian konkret.

    “‘Liberatif’ yang meminta kebebasan berekspresi dan dijamin konstitusi, tanpa adanya tekanan, kriminalisasi maupun pembungkaman suara rakyat yang kritis,” kata dia.

    Selanjutnya, “Adil” yang kemudian menuntut penegakan hukum yang adil, transparan dan tidak tebang pilih, termasuk mengusut tuntas aktor intelektual dalang kerusuhan yang merugikan rakyat Indonesia.

    “Partisipatif” yang berarti pemerintah harus membuka ruang partisipasi publik seluas luasnya dalam pengambilan kebijakan, terutama yang menyangkut nasib seluruh rakyat Indonesia.

    “Nasionalistik” yang menegaskan pentingnya menjaga persatuan dan kesatuan bangsa, menolak segala bentuk provokasi yang memecah belah serta mengutamakan kepentingan rakyat dan bangsa di atas kepentingan kelompok atau segelintir orang yang memiliki hasrat politik.

    “Kami percaya bahwa Indonesia adalah rumah bersama. Mari jaga persatuan, kedamaian dan demokrasi dengan cara yang bermartabat,” ujarnya.

    Pewarta: Khaerul Izan
    Editor: Sri Muryono
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • 3 Faktor Penyebab Demo Chaos Nepal yang Buat Pemerintahan Kolaps

    3 Faktor Penyebab Demo Chaos Nepal yang Buat Pemerintahan Kolaps

    Jakarta, CNBC Indonesia– Demonstrasi berujung aksi kekerasan dan anarkisme pecah di Nepal. Sejak Senin, negeri itu dilanda kekacauan, yang membuat pemerintahan kolaps.

    Pada awalnya, pemuda Nepal yang sangat melek digital, harus menerima kenyataan pahit bagaimana pemerintah yang dikuasai Partai Komunis mencoba mengekang akses ke 26 aplikasi media sosial, termasuk Facebook dan X. Keputusan yang dibuat pemerintah sejak Kamis pekan lalu itu, menjadi trigger awal kemarahan warga, yang didominasi Generasi Z.

    Belum lagi banyaknya pengangguran dan terbatasnya kesempatan kerja. Ketidakstabilan politik, korupsi dan lambatnya pembangunan ekonomi negeri Himalaya itu jadi soal lain.

    Sayangnya di tengah situasi sulit, pejabat dan keluarganya tak bisa berempati. Flexing kekayaan baik di muka umum atau media sosial menjadi masalah lain yang memicu warga semakin marah.

    Berikut penjelasan lengkap faktor penyebab demo chaos di Nepal membuat pemerintahannya kini runtuh, dirangkum CNBC Indonesia Kamis (11/9/2025).

    Kesulitan Ekonomi

    Sebenarnya Nepal adalah negara yang sakit secara ekonomi. Ini terlihat dari beberapa indikator.

    World Bank (Bank Dunia) mengatakan bahwa 82% tenaga kerja Nepal ternyata berada di sektor informal.
    Data ini mengejutkan sebagai sebuah negara, di mana data pekerja informal tersebut jauh lebih tinggi daripada rata-rata global dan regional.

    Sulitnya pekerjaan ini pun menjadi jawaban mengapa remitansi sangat penting bagi perekonomian Nepal, setara dengan sepertiga PDB negara itu tahun lalu dan merupakan tingkat tertinggi keempat di dunia. Remitansi sendiri adalah transfer uang yang dilakukan pekerja asing ke penerima di negara asalnya.

    Media sosial, yang coba dikekang pemerintah, adalah alat utama untuk tetap berhubungan dengan kerabat di luar negeri itu. Sehingga kekhawatiran berlebih muncul saat pemerintah memberlakukan kebijakan yang kontra media sosial.

    “Ketergantungan Nepal pada remitansi… telah menjadi pusat pertumbuhan negara tetapi belum menghasilkan lapangan kerja berkualitas di dalam negeri, yang memperkuat siklus hilangnya kesempatan dan berlanjutnya kepergian banyak warga Nepal ke luar negeri untuk mencari pekerjaan,” kata Bank Dunia dalam laporan negara terbarunya.

    Sebenarnya merujuk data paruh pertama 2025, perekonomian Nepal cenderung membaik. PDB riil tumbuh 4,9% dari 4,3% di periode yang sama 2024.

    Dua sektor menjadi pendorong utama. Yakni pertanian dan perindustrian.

    Namun, perlu diketahui Nepal menggelompokkan kaum mudanya pada mereka yang berusia 16-40 tahun. Mereka mencapai 43% dari populasi atau 12 juta orang.

    “Dengan sekitar 500.000 kaum muda memasuki dunia kerja setiap tahun di Nepal, urgensi untuk menciptakan lapangan kerja yang mengangkat keluarga keluar dari kemiskinan dan mendorong pembangunan berkelanjutan menjadi semakin penting,” kata Wakil Presiden Bank Dunia untuk Asia Selatan, Johannes Zutt.

    Foto: REUTERS/Stringer
    Sejumlah pendemo di Nepal berhasil merampas senjata laras panjang milik aparat kepolisian dan militer saat demonstrasi yang berujung kerciuhan. (REUTERS/Bikram Rai)

    Foto: Seorang tentara Nepal berjaga-jaga saat tim tentara mencoba memadamkan api di gedung Parlemen, menyusul tewasnya 19 orang pada hari Senin setelah protes antikorupsi yang dipicu oleh larangan media sosial, yang kemudian dicabut, di Kathmandu, Nepal, 10 September 2025. (REUTERS/Adnan Abidi)

    Korupsi

    Mengutip AFP, korupsi juga jadi hal lain yang membuat demonstrasi besar-besaran. Kelompok hak asasi manusia (HAM) Transparency International menempatkan Nepal di peringkat 107 dari 180 negara.

    Ini dibuktikan dengan vitalnya video yang yang membandingkan perjuangan rakyat biasa Nepal dengan anak-anak politisi yang memamerkan barang-barang mewah dan liburan mahal telah menjadi viral di TikTok. Salah seorang warga bernama Puja Manni (23), yang pernah bekerja di luar negeri mengatakan ekses elit penguasa telah “terungkap melalui media sosial”.

    Ini pun juga menjadi hal lain yang memicu ketidakpuasan anak muda pada para pemimpin yang telah berkuasa puluhan tahun. Perlu diketahui, negara ini menjadi republik federal pada tahun 2008 setelah perang saudara selama satu dekade dan kesepakatan damai yang membawa kaum Maois ke dalam pemerintahan dan menghapuskan monarki.

    Sejak saat itu, pergantian perdana menteri (PM) yang menua menjadi budaya tawar-menawar antar elit. Ini telah memicu persepsi publik bahwa pemerintah tidak peka pada warga.

    Foto: Asap mengepul setelah demonstran membakar gerbang utama Parlemen, selama protes terhadap pembunuhan 19 orang pada hari Senin setelah protes antikorupsi yang dipicu oleh larangan media sosial, yang kemudian dicabut, selama jam malam di Kathmandu, Nepal, 9 September 2025. (REUTERS/Adnan Abidi)

    Ketakutan akan Hilangnya Hak

    Sementara itu, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Nepal memperingatkan bahwa larangan media sosial merusak semangat pemerintahan demokratis. Hal ini setidaknya dikatakan Santosh Sigdel, dari Digital Rights Nepal.

    “Ini jalan yang licin,” ujarnya memberi kiasan.

    Sementara Kathmandu Post mengatakan larangan tersebut menyentuh “saraf yang sensitif” terutama di “kalangan pemuda yang marah”.

    “Mereka menggunakan platform ini untuk melampiaskan rasa frustrasi yang terpendam, terhubung dengan teman, dan tetap terhubung dengan dunia,” tulis surat kabar tersebut, yang kantornya dibakar massa pada hari Selasa.

    “Mereka sudah gelisah, muak dengan sistem kesehatan dan pendidikan negara yang menyedihkan, serta korupsi dan nepotisme yang merajalela, sedemikian rupa sehingga banyak dari mereka tidak melihat masa depan di negara ini.”

    (sef/sef)

    [Gambas:Video CNBC]

  • Situasi Kembali Kondusif, Mas Dhito Cabut Surat Edaran Jam Malam Pelajar

    Situasi Kembali Kondusif, Mas Dhito Cabut Surat Edaran Jam Malam Pelajar

    Kediri (beritajatim.com) – Satu pekan pasca kekacauan akibat aksi anarkis pembakaran dan penjarahan aset Pemerintah Kabupaten Kediri yang dilakukan massa, pada Sabtu (30/8) malam, kondisi Kabupaten Kediri berangsur kondusif.

    Mempertimbangkan perkembangan kondisi yang ada, Bupati Kediri Hanindhito Himawan Pramana atau biasa disapa Mas Dhito memutuskan untuk mencabut surat edaran bupati terkait pemberlakuan jam malam bagi pelajar.

    Pencabutan surat edaran itu disampaikan Mas Dhito saat menghadiri acara pengajian akbar peresmian SDI Ulumiah Al Ma’ruf, Desa Tertek, Kecamatan Pare, Minggu (7/9/2025) malam.

    “Saya cabut surat edaran bupati, saya tetapkan per malam ini saya nyatakan Kabupaten Kediri sudah menjadi kabupaten yang guyub rukun, adem tentrem gemah ripah loh jinawi,” kata Mas Dhito.

    Dari aksi kerusuhan malam itu, selain aksi perusakan yang dilakukan, keprihatinan juga muncul karena para pelaku mayoritas merupakan kalangan pelajar setingkat SMP dan SMA.

    Selain menyasar gedung pemerintahan Kabupaten Kediri, secara umum di wilayah Kediri para pelaku juga melakukan pembakaran Gedung DPRD, termasuk perusakan pos maupun kantor kepolisian.

    “Gedung yang hangus terbakar itu bisa kita bangun. Arsip yang hilang bisa kita cetak kembali, bangunan yang hancur bisa kita perbaiki tapi yang menjadi persoalan mayoritas pelaku anarkisme adalah anak pelajar,” ungkapnya.

    Kabupaten Kediri, lanjut Mas Dhito, tidak memberikan toleransi kepada siapapun pelaku tindakan anarkis. Dihadapan masyarakat yang hadir pada acara pengajian KH Anwar Zahid tersebut, Mas Dhito berpesan kepada semua orang tua untuk ikut mengawasi anaknya.

    “Bapak ibu, saya titip betul. Saya tidak bisa bekerja sendiri tanpa bergandengan erat dengan panjenengan semua,” ajaknya.

    Mas Dhito berharap dari SDI Ulumiyah Al Ma’ruf yang diresmikan Menteri Sosial Syaifullah Yusuf tersebut, nantinya lahir generasi penerus yang akan menggantikan tokoh-tokoh yang hadir dalam acara malam itu.

    Gus Ipul sapaan Menteri Sosial Syaifullah Yusuf dalam kesempatan itu juga menyampaikan keprihatinannya dengan kejadian pembakaran gedung-gedung pemerintahan yang terjadi di Kediri. Pihaknya berharap, semua elemen masyarakat untuk ikut berperan serta membangun Kabupaten Kediri.

    “Saya sampaikan apresiasi kepada bapak bupati dan bapak aparat keamanan yang telah bisa segera memulihkan kembali Kabupaten Kediri,” ucapnya. [ADV PKP/nm/but]

  • Akademisi Universitas Jember: Narasi Pembubaran DPR adalah Sesat dan Menyesatkan

    Akademisi Universitas Jember: Narasi Pembubaran DPR adalah Sesat dan Menyesatkan

    Jember (beritajatim.com) – Narasi pembubaran Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang mengemuka di sejumlah aksi unjuk rasa akhir-akhir ini sesungguhnya mematikan demokrasi. Lembaga parlemen tetap diperlukan dalam sistem demokratis.

    “Narasi itu sebetulnya dalam sudut pandang konstitusi negara hukum maupun komunikasi politik adalah sebuah narasi yang sesat dan menyesatkan,” kata Muhammad Iqbal, doktor ilmu komunikasi politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Jember, di Kabupaten Jember, Jawa Timur, Sabtu (6/9/2025).

    Presiden Soekarno pernah membubarkan konstituante saat berkuasa melalui dekrit 5 Juli 1959. “Dampaknya sistem demokrasi kita jatuh ke dalam jurang otokrasi, yakni sistem otoritarian yang dipimpin oleh pemimpin sentralistik dan diktator,” kata Iqbal.

    Undang-Undang Dasar melindungi trias politika. “Dalam pasal 7C, bahkan presiden tidak dapat membekukan dan/atau membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat. Konstitusi hasil amandemen belajar dari pembubaran konstituante melalui mekanisme dekrit presiden,” kata Iqbal.

    Iqbal menyadari, sistem demokrasi memiliki kelemahan dan kendala.”Namun dengan berbagai macam kelemahan dan kendalanya, demokrasi masih pilihan yang terbaik sebagai jalan tengah, di antara sistem tirani di satu pihak dan sistem anarki di lain pihak,” katanya.

    Anarkisme, menurut Iqbal, tidak memiliki aturan sama sekali. “Sedangkan tirani adalah sebuah sistem yang bajunya bisa seolah-olah demokrasi, tetapi dijalankan dengan sistem otokrasi, dengan otoritarian dan sangat diktator,” katanya.

    Iqbal melihat kelompok pemuja anarkisme dan pemuja tirani tengah berupaya mengambil kesempatan dan memiliki agenda terselubung untuk menunggangi aksi unjuk rasa mahasiswa.

    Bubarnya parlemen hanya akan memunculkan pemerintahan yang otoriter. “Jadi jangan sampai masyarakat sipil, gerakan mahasiswa, dan kelompok-kelompok rakyat terprovokasi atau termakan oleh jebakan kelompok-kelompok yang sejatinya bukan pecinta demokrasi, tetapi pemuja anarki atau pemuja tirani,” kata Iqbal.

    Iqbal percaya unjuk rasa demonstrasi dan kritik yang disampaikan masyarakat sipil masih murni. “Hanya kemampuan berkonsolidasi dan menjaga soliditas yang berbeda di setiap zaman,” katanya.

    Kendati menolak narasi pembubaran DPR, Iqbal setuju untuk mengevaluasi total parlemen. “Sudah seharusnya partai politik sebagai institusi demokrasi yang menempatkan orang-orangnya di parlemen harus mereformasi diri,” katanya. Hal ini harus menjadi komitmen bersama.

    Iqbal juga meminta evaluasi total oleh Presiden Prabowo terhadap semua struktur dan sistem institusional yang menciptakan jurang ketimpangan sosial, ketimpangan ekonomi, dan ketidakadilan akibat tidak tegaknya supremasi hukum. “Kalau itu tidak dilakukan, saya kira Presiden bukan lagi menjadi harapan untuk memecahkan krisis, tapi justru menjadi bagian dari krisis kepercayaan,” katanya. [wir]

  • Hal-hal yang Masih Jadi Misteri Usai Kerusuhan Demo – Page 3

    Hal-hal yang Masih Jadi Misteri Usai Kerusuhan Demo – Page 3

    Seorang sumber dari Politikus partai pemerintah bercerita, ada aliran duit besar yang menyokong aksi demo. Bahkan, jumlahnya fantastis mencapai ratusan miliar rupiah. Tujuannya, memprovokasi demo, menyebarkan hoaks sampai melakukan anarkisme.

    “Ujungnya seperti yang dikatakan Pak Prabowo, makar,” kata seorang politikus yang paham tentang skenario ini.

    Sumber liputan6.com dari lingkaran kekuasan ini menambahkan, Presiden Prabowo Subianto sudah tahu tokoh-tokoh yang bermain dalam kericuhan demonstrasi beberapa hari belakangan. Bahkan, menurut sumber, dana ini datang dengan nominal yang fantastis. “Uang ratusan miliar dari Kamboja,” ujar sumber Liputan6.com.

    Menurut dia, pelakunya bukan orang jauh Prabowo Subianto. Tak bisa dipungkiri pula, kata dia, kericuhan demo beberapa hari belakang itu terjadi karena pertempuran antar elite. “Pak Prabowo sudah tahu,” singkat dia.

    Senada dengan sumber liputan6.com, Menteri Komunikasi dan Digital (Menkomdigi) Meutya Hafid telah mencium adanya gerakan masif untuk memprovokasi ajakan demo di dunia maya. Termasuk menyebarkan berita bohong, atau hoaks.

    Meutya mengungkapkan, Komdigi menemukan adanya informasi keliru yang disebarkan, baik secara sengaja maupun tidak sengaja, dengan kecepatan penyebaran yang sangat tinggi.

    Menurut Meutya, indikasi awal menunjukkan adanya upaya terorganisir untuk memanfaatkan media sosial sebagai sarana provokasi.

    Temuan pemerintah juga memperlihatkan adanya aliran dana signifikan melalui platform digital, yang diduga digunakan untuk mendanai aktivitas anarkis.

    “Indikasi awal menunjukkan adanya upaya terorganisir untuk memanfaatkan media sosial sebagai sarana provokasi,” ujar Meutya di akun Instagram miliknya @meutyahafid.

    Meutya tak mengungkap, nominal duit yang mengalir guna memprovokasi demo. Namun, Politikus Golkar ini mengatakan, aliran dana itu jumlahnya signifikan, melalui platform digital.

    “Kami juga memantau adanya aliran dana dalam jumlah signifikan melalui platform digital. Konten kekerasan dan anarkisme disiarkan secara langsung (live streaming) dan dimonetisasi lewat fitur donasi maupun gifts bernilai besar. Beberapa akun yang terlibat terhubung dengan jaringan judi online,” tutur Meutya.