Jakarta, Beritasatu.com – Indonesia berkomitmen menghapus sekitar 99% hambatan tarif terhadap berbagai produk asal Amerika Serikat (AS), termasuk produk industri, pangan, dan pertanian.
Selain itu, Indonesia juga akan mencabut pembatasan impor terhadap barang hasil rekondisi dan komponennya, menghapus kewajiban inspeksi prapengiriman untuk produk asal AS, serta menerapkan prinsip-prinsip regulasi yang baik.
Kesepakatan tersebut tertuang dalam perjanjian resiprokal antara Indonesia dan AS yang dijadwalkan mulai berlaku pada 1 Agustus 2025.
Sebagai imbal balik, AS menurunkan tarif timbal balik menjadi 19% untuk produk asal Indonesia, jauh lebih rendah dari ancaman tarif 32% yang sempat dilontarkan Presiden AS, Donald Trump.
Peneliti Departemen Ekonomi CSIS Riandy Laksono menilai, kebijakan tersebut tidak akan merugikan pelaku usaha dalam negeri.
“Yang kita impor dari AS itu sebenarnya produk-produk yang kita enggak terlalu bisa memproduksinya di dalam negeri atau memang tidak sesuai dengan kondisi iklim dan lain sebagainya. Misalkan yang kita impor itu adalah kapas,” jelas Riandy kepada Beritasatu.com, Kamis (24/7/2025).
Ia melanjutkan, bahwa Indonesia bukan produsen kapas. “At least bukan produsen kapas besar di dunia. Juga kedelai,” ucap dia.
Selain itu, juga komoditas gandum, dan harga gas dari AS itu sangat murah, bahkan salah satu yang paling efisien di dunia.
“Jadi produk-produk yang kita impor dari Amerika itu tidak head to head bersaing dengan industri dalam negeri kita,” ucap dia.
Ia menambahkan, sebagian besar komoditas dari AS, seperti gas, gandum, kedelai, dan kapas merupakan bahan baku penting bagi sektor industri unggulan Indonesia, seperti tekstil, pangan, dan industri padat energi.
Oleh karena itu, impor dari AS justru bisa memperkuat daya saing sektor industri nasional.
“Plus juga sektor digital, kita lebih banyak sebagai konsumen memang ketimbang sebuah negara yang produsen besar dunia untuk produk-produk digital atau bahkan elektronik. Jadi on that matters, saya merasa kita justru dapat manfaat paling tidak dari sisi konsumen atau industri penggunanya gitu. Karena tidak banyak juga industri yang head to head,” pungkas Riandy.
