PRJ Jakarta Fair Lahir dari Dongeng yang Tak Pernah Dilihat Ali Sadikin
Penulis
JAKARTA, KOMPAS.com –
Pekan Raya Jakarta
(
PRJ
) yang kini menjadi ikon tahunan ibu kota ternyata berawal dari kisah masa kecil seorang anak Sumedang bernama
Ali Sadikin
, yang hanya bisa mendengar cerita tentang keramaian “Pasar Gambir” dari saudara-saudaranya.
Ali Sadikin, yang kelak menjadi Gubernur DKI Jakarta (1966–1977), menjadikan “dongeng Pasar Gambir” sebagai inspirasi lahirnya PRJ, sebagaimana memoarnya dalam buku “Bang Ali Demi Jakarta 1966–1977” karya Ramadhan KH (1992).
Ali kecil, yang lahir di Sumedang pada 7 Juli 1926, tumbuh dengan cerita-cerita tentang Pasar Gambir yang sering diceritakan oleh kakaknya dan pamannya di Batavia.
Dalam memoarnya, Ali mengisahkan, bahwa pada masa kecilnya ia hampir menyaksikan Pasar Gambir di Batavia (Jakarta saat itu), sebuah pesta rakyat tahunan yang terkenal meriah.
Namun, rencana itu kandas akibat pecahnya Perang Dunia II. Ia pun hanya bisa menikmati kisahnya dari cerita sang paman atau dari koran Java Bode.
Sejarah Lahirnya PRJ Jakarta Fair
Dongeng masa kecil Ali Sadikin itulah yang kelak menjadi dasar cita-cita untuk menghadirkan kembali suasana keramaian dan kegembiraan rakyat di Jakarta pasca-kemerdekaan.
Namun, tak hanya dari Pasar Gambir, lahirnya PRJ juga terinspirasi oleh berbagai pameran dunia seperti Hamburg Fair dan Leipzig Fair.
Melihat berbagai pameran tersebut, Ali Sadikin menyadari pentingnya sebuah ajang yang bisa menjadi wadah promosi dan pemasaran produk lokal.
Ketika ia mengusulkan gagasan PRJ kepada pemerintah pusat, respon yang diterima terasa dingin.
Ali menyebut sambutan dari pusat sebagai “melempem” dan tanpa semangat. Namun alih-alih mundur, ia memilih untuk melanjutkan inisiatif ini secara mandiri melalui Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
Maka lahirlah pameran pasar rakyat dengan nama “Jakarta Fair” yang digelar pertama kali pada 5 Juni hingga 20 Juli 1968 di kawasan Monas.
Namun, tak lama kemudian, nama itu ia ubah menjadi “Pekan Raya Jakarta” sebagai bagian dari upaya mendorong penggunaan bahasa Indonesia dan mengurangi ketergantungan pada istilah asing.
PRJ untuk Semua: Bukan Hanya Dagang, Tapi Ruang Inklusif
Ali Sadikin menyadari, bahwa tumbuhnya produksi nasional saat itu harus diiringi oleh tumbuhnya saluran pemasaran.
Ia menaruh perhatian khusus pada dua kelompok pelaku ekonomi, yakni pihak yang kuat (industri besar) dan pihak yang lemah (pengusaha kecil dan menengah).
Ali ingin PRJ menjadi ruang inklusif, di mana seluruh pelaku usaha bisa mendapatkan panggung.
Bagi Ali Sadikin, PRJ bukan sekadar pameran dagang dan industri. Ia juga melihatnya sebagai solusi untuk masalah sosial Jakarta saat itu,, yakni minimnya tempat hiburan yang sehat dan murah untuk warga kota.
Dengan PRJ, Ali ingin menghadirkan ruang publik tempat masyarakat bisa berkumpul, bersenang-senang, dan bangga akan produk dalam negeri.
Hari ini, Pekan Raya Jakarta tak hanya menjadi ajang pameran dagang, tetapi juga ruang kolektif yang menampung budaya, seni, hiburan, dan kebanggaan warga ibu kota.
Di balik gemerlapnya, ada semangat seorang gubernur yang menjadikan dongeng masa kecilnya sebagai inspirasi besar untuk membangun ruang kebersamaan rakyat.
PRJ adalah bukti bahwa visi besar bisa tumbuh dari kenangan sederhana asal digerakkan oleh keberanian dan keyakinan.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
/data/photo/2022/08/31/630ef3324fa7c.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)