Di sisi lain, perusahaan keamanan siber DTrust menyoroti sebuah fakta, di mana saat ini banyak perusahaan hingga pemerintahan hanya mengandalkan teknologi keamanan, sehingga tidak cukup untuk mencegah serangan siber.
Ada aspek lainnya yang tidak kalah penting, yaitu ‘People’ atau manusia yang mengelola harus memiliki security awareness atau kesadaran tentang keamanan siber.
Juga diperlukan ‘Process’ atau proses yang digunakan untuk tata kelola dalam melaksanakan rencana kesinambungan bisnis.
MSSP Product Manager DTrus, Paulus Miki Resa Gumilang, menilai saat ini banyak pihak yang mengandalkan pendekatan keamanan siber berbasis teknologi atau technology-centric dengan asumsi bahwa memasang Firewall, EDR (Endpoint Detection and Response), atau WAF (Web Application Firewall) dan perimeter sistem keamanan siber lainnya sudah cukup untuk menjamin keamanan siber.
“Faktanya, pendekatan ini tidak sepenuhnya benar. Selain memperhatikan keamanan siber, perlu juga menekankan pada ketahanan siber (cyber resilience),” kata Paulus melalui keterangannya, Kamis (25/7/2024).
Esensi dari cyber resilience adalah memastikan bahwa jika terjadi serangan siber, sistem harus dapat pulih dan beroperasi secara normal dalam waktu singkat.
Insiden PDNS yang menimpa Kominfo merupakan contoh tragedi keamanan siber yang berdampak pada pelayanan publik.
“Oleh karena itu, seluruh sektor baik itu usaha kecil, menengah, besar, maupun pemerintah, harus mengadopsi paradigma keamanan siber (cyber security) yang tepat dan menyeluruh, agar kejadian serupa tidak terulang lagi,” Paulus memberi imbauan.