Berdasarkan catatan Lembaga Penyelidikan Ekonomi & Masyarakat (LPEM) Universitas Indonesia (UI), penerimaan PPN tetap andal di tengah pelemahan ekonomi akibat pandemi, mengingat cakupannya yang luas di berbagai sektor ekonomi. PPN juga secara konsisten menjadi kontributor utama penerimaan, bersama pajak penghasilan (PPh), sejak 2010.
Alhasil, masuk akal bila menaikkan tarif PPN menjadi jalur cepat yang dipilih Pemerintah untuk mengukuhkan instrumen keuangan negara.
Akan tetapi, kondisi ekonomi bergerak dinamis. Di antara banyak aspek yang mengalami pergeseran, kemampuan belanja masyarakat menjadi salah satunya.
Pada sisi ketenagakerjaan, peralihan dari industri padat karya ke padat modal menyebabkan peningkatan jumlah pekerja informal akibat menurunnya penyerapan tenaga kerja. Data terakhir menunjukkan porsi pekerja informal mencapai 57,95 persen, lebih dominan dari pekerja formal yang sebanyak 42,05 persen.
Sementara, bekerja di sektor informal berpotensi mengurangi kemampuan belanja. Pendapatan yang tidak stabil membuat konsumen menahan belanja karena mengutamakan pemenuhan kebutuhan dasar. Risikonya, penjualan barang sekunder bisa jadi terhambat.
Kondisi itu tercermin pada hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas). Porsi belanja kelas menengah untuk makanan meningkat pada 2024 dibandingkan 2019, sedangkan pengeluaran untuk hiburan dan kendaraan menurun. Padahal, kelas menengah merupakan salah satu penopang serapan PPN dari sektor-sektor sekunder itu.
Yang juga menjadi persoalan, jumlah kelas menengah mengalami penurunan hampir 10 juta orang pada periode waktu tersebut. Bila kondisi ini terus berlanjut, makin banyak orang yang bakal lebih mengutamakan pengeluaran makanan, yang berarti jual beli di sektor sekunder pun akan makin tertekan.